OLEH:
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas karunia dan rahmat-Nya,
shalawat serta salam penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. Berkat karunia
dan izin dari Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan Laporan Studi Kasus Bangsal
Neurologi sebagai syarat Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di RSUD Solok ini
dengan baik. Kegiatan PKPA ini dilaksanakan mulai dari tanggal 5 Februari - 30 Maret
2018. Laporan ini ditujukan sebagai salah satu syarat menyelesaikan program profesi
apoteker pada Fakultas Farmasi Universitas Andalas, Padang.
Laporan Studi Kasus ini dapat selesai dengan baik tidak terlepas dari doa,
dorongan, dan semangat yang diberikan olehorang tua dan keluarga tercinta, serta
seluruh teman dan orang-orang terdekat. Laporan ini merupakan tanda bakti dan ucapan
terima kasih penulis kepada mereka.Pada kesempatan ini penulis juga ingin
mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat Bapak dr. Yulson, Sp.S selaku
preceptor yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan
Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di bangsal anak RSUD Solok serta telah
memberikan bimbingan dan bantuan selama penulis melaksanakan PKPA.
ii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI........................................................................................................................... ii
2.1.5 Diagnosis......................................................................................................................... 5
iii
BAB IV ANALISI FARMAKOTERAPI........................................................................28
BAB V PEMBAHASAN.............................................................................................. 47
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN .........................................................................49
6.1.Kesimpulan.................................................................................................................49
6.2.Saran ..........................................................................................................................49
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lanjut usia (lansia) merupakan tahap akhir dari kehidupan dan merupakan
proses alami yang tidak dapat dihindari oleh setiap individu. Proses alami ditandai
dengan menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk
memperbaiki diri/mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga
tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita
(Contantinides, 1994 dalam Nugroho, 2000). Kelompok geriatri adalah semua
orang yang berusia 60 tahun atau lebih (WHO) yang dimaksud dengan lanjut usia
adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas (P ejčić T, Đorđević I,
Stanković I, Borovac DN, Petković TR, 2011). Menurut Menkes (2012) masalah
yang sering ditemui pada lansia dalam kehidupan sehari-hari yaitu penyakit
jantung koroner (32 %), hipertensi (31,7%), arthritis (30,3%), cedera (7,5%).
Stroke merupakan penyebab kematian tertinggi di Indoneia (15,4%) (Riskesdas,
2007). Stroke adalah salah satu penyakit yang sampai saat ini masih menjadi
masalah serius di dunia kesehatan. Stroke merupakan penyakit pembunuh nomor
dua di dunia, dan pembunuh nomor tiga di Amerika Serikat, setelah penyakit
jantung dan kanker. Penyakit yang merupakan hasil dari gangguan sirkulasi
serebral pada susunan saraf pusat ini tidak hanya menyebabkan kematian namun
juga dapat menyebabkan kecacatan bagi penderitanya (Fagan and Hess, 2008).
Disisi lain, Pada populasi geriatri Amerika, pneumonia masuk dalam lima
besar penyebab kematian terkait infeksi. Angka kejadian tahunan pneumonia pada
pasien geriatri diperkirakan mencapai 25–44 kasus per 1000
penduduk(Rahmatullah, 2009). Di indonesia, pneumonia merupakan penyebab
kematian nomor 3 setelah kardiovaskuler dan tuberkulosis. Faktor sosial ekonomi
yang rendah mempertinggi angka kematian (Setiawan,2009). Bronkopneumonia
adalah salah satu jenis pneumonia yang mempunyai pola penyebaran bercak,
teratur dalam satu atau lebih area terlokalisasi di dalam bronchi dan meluas ke
parenkim paru yang berdekatan di sekitarnya (Smeltzer & Suzanne C,2002).
Selain bronkopneumonia, diabetes melitus juga menjadi penyakit yang
sering diderita geriatri. Diabetes militus merupakan salah satu penyakit atau
1
gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan
tingginya kadar gula darah (hiperglikemia) disertai dengan gangguan metabolisme
karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufiensi
fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defesiensi produksi insulin
oleh sel-sel beta langerhans kelenjar pankreas atau disebabkan oleh kurang
responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (Dipiro dkk,2008). Menurut WHO
tahun 2011, diabetes mellitus termasuk penyakit yang paling banyak diderita oleh
penduduk di seluruh dunia dan merupakan urutan ke empat dari prioritas
penelitian nasional untuk penyakit degeneratif. Prevalensi Diabetes Mellitus pada
populasi dewasa di seluruh dunia diperkirakan akan meningkat sebesar 35%
dalam dua dasawarsa dan menjangkit 300 juta orang dewasa pada tahun 2025.
Bagian terbesar peningkatan angka pravalensi ini akan terjadi di negara-negara
berkembang (Gibney, 2009).
Geriatri dapat menderita ketiga penyakit tersebut dalam waktu yang
bersamaan, baik karena komplikasi penyakit lain atau karena faktor lainnya.
Tingginya angka kejadian dan kematian akibat penyakit tersebut, menyebabkan
perlunya kajian ilmiah. Terutama geriatri dengan kondisi fisiologis tubuh yang
mulai menurun dan membutuhkan pengkajian terlebih dahulu dalam proses
terapinya, khususnya obat-obatan. Oleh karena itu dalam karya tulis ini akan
dibahas mengenai salah satu kasus dari bangsal neurologi RSUD Solok, dimana
pasien menderita stroke hemoragik, hipoglikemi, DM tipe 2 dan bronkopneumoni.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Stroke Hemoragik
2.1.1 Defenisi
Stroke hemoragik merupakan pecahnya pembuluh darah otak yang
menyebabkan keluarnya darah ke jaringan parenkim otak, ruang serebrospinal
disekitar otak, atau kombinasi keduanya (Goetz CG,2007). Sekitar 13 % stroke
terjadi ketika pembuluh darah pecah pada / disekitar otak. Saat terjadi stroke
hemoragik, darah terkumpul di jaringan otak. Hal ini merupakan racun bagi
jaringan otak yang menyebabkan sel di daerah tersebut melemah dan mati
(American Heart Association, 2015).
2.1.2 Epidemiologi
Penyakit stroke dibagi menjadi dua macam yaitu stroke iskemik dan stroke
hemoragik. Kejadian stroke iskemik sekitar 80-85% sedangkan untuk stroke
hemoragik sekitar 20% (Agustina, 2012). Insiden penyakit stroke hemoragik
antara 15%-30%, sedangkan untuk kejadian stroke iskemik sekitar 70-85%. Di
negara-negara berkembang seperti Asia kejadian stroke hemoragik sekitar 30%
dan iskemik 70%. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa kejadian
stroke iskemik memiliki proporsi lebih besar jika dibandingkan dengan stroke
hemoragik (Nastiti, 2012).
Di negara Asia khususnya Indonesia diperkirakan 500 ribu orang
mengalami stroke untuk setiap tahunnya. Dari jumlah kejadian tersebut,
didapatkan sekitar 2,5% meninggal dunia dan sisanya mengalami cacat berat dan
ringan. Stroke merupakan penyebab kecacatan yang serius dan menetap nomor
satu di seluruh dunia. Di Indonesia masalah stroke semakin penting karena angka
kejadian stroke di Indonesia merupakan terbanyak di negara Asia (laily,
2016).Prevalensi stroke meningkat seiring dengan adanya pertambahan usia,
kejadian tertinggi pada usia ≥75 tahun (67%). Prevalensi stroke sering dijumpai
pada laki-laki daripada perempuan. Prevalensi stroke cenderung lebih banyak
dialami oleh masyarakat dengan pendidikan rendah (32,8%). Prevalensi lebih
tinggi pada masyarakat yang tidak bekerja (Riskesdas, 2013).
3
2.1.3 Etiologi
Stroke hemoragik terjadi akibat adanya perdarahan. Perdarahan dapat
terjadi bila arteri di otak pecah, darah tumpah ke otak atau rongga antara
permukaan luar otak dan tengkorak.
a. Perdarahan Intraserebral
Kira-kira 10% stroke disebabkan oleh perdarahan intraserebral. Hipertensi,
khususnya yang tidak terkontrol, merupakan penyebab utama. Penyebab lain
adalah pecahnya aneurisma, malformasi arterivena, angioma kavernosa,
alkoholisme, diskrasia darah, terapi antikoagulan, dan angiopati amiloid (IDI,
2011).
b. Perdarahan Subaraknoid
Sebagian besar kasus disebabkan oleh pecahnya aneurisma pada
percabangan arteri-arteri besar. Penyebab lain adalah malformasi arterivena atau
tumor (IDI, 2011)
2.1.4 Patofisiologi
Perdarahan intrakranial meliputi perdarahan di parenkim otak dan
perdarahan subarachnoid. Insiden perdarahan intrakranial kurang lebih 20 %
adalah stroke hemoragik, dimana masing-masing 10% adalah perdarahan
subarachnoid dan perdarahan intraserebral (Caplan, 2000). Perdarahan
intraserebral biasanya timbul karena pecahnyamikroaneurisma akibat hipertensi
maligna. Hal ini paling sering terjadi di daerah subkortikal, serebelum, dan
batang otak. Hipertensi kronik menyebabkan pembuluh arteriola berdiameter 100
– 400 mikrometer mengalami perubahan patologi pada dinding pembuluh darah
tersebut berupa lipohialinosis, nekrosis fibrinoid serta timbulnya aneurisma tipe
Bouchard. Pada kebanyakan pasien, peningkatan tekanan darah yang tiba-
tiba menyebabkan rupturnya penetrating arteri yang kecil. Keluarnya
darah dari pembuluh darah kecil membuat efek penekanan pada arteriole dan
pembuluh kapiler yang akhirnya membuat pembuluh ini pecah juga. Hal ini
mengakibatkan volume perdarahan semakin besar (Caplan, 2000).
Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemik akibat
menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan neuron-neuron di dearah yang terkena
darah dan sekitarnya lebih tertekan lagi. Gejala neurologik timbul karena
4
ekstravasasi darah ke jaringan otak yang menyebabkan nekrosis (Caplan, 2000).
Perdarahan subarachnoid (PSA) terjadi akibat pembuluh darah disekitar
permukaan otak pecah, sehingga terjadi ekstravasasi darah ke ruang
subarachnoid. Perdarahan subarachnoid umumnya disebabkan oleh rupturnya
aneurisma sakular atau perdarahan dari arteriovenous malformation (AVM)
2.1.5 Diagnosis
Penegakan diagnose stroke didasarkan pada anamnesis yang cermat,
pemeriksaan fisik-neurologik dan pemeriksaan penunjang (Misbach, 1999).
Beberapa institusi telah mengembangkan sistim penilaian berdasarkan gejala
klinis untuk membantu menentukan jenis GPDO (Gangguan Peredaran Darah
Otak), antara lain Siriraj scoring system, Djoenaidi scoring system, atau
algoritma Gajahmada, tetapi penggunaannya tetap kurang populer, mungkin
karena kurang praktis akibat banyaknya hal yang harus dinilai (Siriraj dan
Djoenaidi scoring system) atau karena kurang akurat meskipun sederhana
(algoritma Gajahmada) (Wreksoatmodjo, 2006). Pemeriksaan LDL-Kolesterol
termasuk pemeriksaan profil lemak di laboratorium untuk menunjang
diagnosa tingkat risiko stroke. Sedangkan untuk membedakan jenis stroke
iskemik dengan stroke hemoragik dilakukan pemeriksaan radiologi CT-
Scankepala (Misbach, 1999). Pada stroke hemoragik akan terlihat adanya
gambaran hiperdens, sedangkan pada stroke iskemik akan terlihat adanya
gambaran hipodens.
2.1.6 Penatalaksanaan Stroke Hemoragik
1. Terapi umum
Pasien stroke hemoragik harus dirawat di ICU jika volume hematoma >30
mL, perdarahan intraventrikuler dengan hidrosefalus, dan keadaan klinis
cenderung memburuk. Tekanan darah harus diturunkan sampai tekanan darah
premorbid atau 15-20% bila tekanan sistolik >180 mmHg, diastolik >120 mmHg,
MAP >130 mmHg, dan volume hematoma bertambah. Bila terdapat gagal
jantung, tekanan darah harus segera diturunkan dengan labetolol (i.v) 10 mg
(pemberian dalam 2 menit) sampai 20 mg (pemberian dalam 10 menit) maksimum
300 mg; enalapril (i.v) 0,625-1.25 mg per 6 jam; captopril 3 kali 6,25-25 mg per
oral. Jika didapatkan tanda tekanan intrakranial meningkat, posisi kepala
5
dinaikkan 300, posisi kepala dan dada di satu bidang, pemberian manitol (lihat
penanganan stroke iskemik), dan hiperventilasi (pCO2 20-35 mmHg).
Penatalaksanaan umum sama dengan pada stroke iskemik, tukak lambung diatasi
dengan antagonis H2 parenteral, sukralfat, atau inhibitor pompa proton;
komplikasi saluran napas dicegah dengan fisioterapi dan diobati dengan antibiotik
spektrum luas.
2. Terapi khusus
Neuroprotektor dapat diberikan kecuali yang bersifat vasodilator.
Tindakan bedah mempertimbangkan usia dan letak perdarahan yaitu pada pasien
yang kondisinya kian memburuk dengan perdarahan serebelum berdiameter >3
cm3, hidrosefalus akut akibat perdarahan intraventrikel atau serebelum, dilakukan
VP-shunting, dan perdarahan lobar >60 mL dengan tanda peningkatan tekanan
intrakranial akut dan ancaman herniasi.Pada perdarahan subaraknoid, dapat
digunakan antagonis Kalsium (nimodipin) atau tindakan bedah (ligasi, embolisasi,
ekstirpasi, maupun gamma knife) jika penyebabnya adalah aneu- risma atau
malformasi arteri-vena (arteriovenous malformation, AVM).
2.2 Bronkopneumonia
2.2.1 Defenisi
Pneumonia merupakan infeksi yang mengenai parenkim paru. Kebanyakan
kasus pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme, tetapi ada sejumlah penyebab
non infeksi yang kadang-kadang perlu dipertimbangkan. Penyebab non infeksi ini
meliputi aspirasi makanan dan atau asam lambung, benda asing, hidrokarbon, dan
hipersensitivitas serta pneumonitis akibat obat atau radiasi (Behrman, Kliegman,
Arvin, 2000). Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis dinyatakan
dengan adanya daerah infeksi yang berbecak dengan diameter sekitar 3 sampai
4 cm yang mengelilingi dan melibatkan bronkus (Price, 2012).
Bronkopneumonia adalah salah satu jenis pneumonia yang mempunyai
pola penyebaran bercak, teratur dalam satu atau lebih area terlokalisasi di dalam
bronchi dan meluas ke parenkim paru yang berdekatan di sekitarnya (Smeltzer &
Suzanne C,2002). Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang
melibatkan bronkus atau bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-
bercak (patchy distribution). Pneumonia merupakan penyakit peradangan akut
6
pada paru yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme dan sebagian kecil
disebabkan oleh penyebab non-infeksi yang akan menimbulkan konsolidasi
jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat (Bradley et.al., 2011).
2.2.2 Epidemiologi
Pada populasi geriatri Amerika, pneumonia masuk dalam lima besar
penyebab kematian terkait infeksi. Angka kejadian tahunan pneumonia pada
pasien geriatri diperkirakan mencapai 25–44 kasus per 1000 penduduk. Angka
rawat inap pasien geriatri mencapai hampir lima kali lebih besar daripada pasien
dewasa muda (Putri dan Hasan, 2014). Pneumonia komunitas atau community
acquired pneumonia (CAP) merupakan salah satu masalah kesehatan yang
sering dijumpai dan mempunyai dampak yang signifikan di seluruh dunia,
terutama pada populasi usia lanjut (Joseph dan Hillary, 2006; Hoare dan Wei,
2006).
Insiden pneumonia komunitas dilaporkan meningkat sesuai dengan
bertambahnya usia. Pada pasien usia ≥65 tahun yang dirawat di rumah sakit,
pneumonia merupakan diagnosis terbanyak ketiga. Angka ini menjadi
semakin penting mengingat bahwa diperkirakan sebanyak 20% dari penduduk
dunia akan berusia lebih dari 65 tahun di tahun 2050 (Sari, Rumende dan
Harimurti, 2016).
2.1.3 Etiologi
Sebagian besar penyebab bronkopneumonia adalah mikroorganisme
(virus, bakteri, jamur) dan sebagian kecil oleh penyebab lain seperti hidrokarbon
(minyak tanah, bensin, atau sejenisnya) dan masuknya makanan, minuman, susu,
isi lambung kedalam saluran pernafasan (aspirasi). Berbagai penyebab
bronkopneumonia tersebut di kelompokkan berdasarkan gologan umur, berat
ringannya penyakit dan penyulit yang menyertainya (komplikasi).
Mikroorganisme tersering sebagai penyebab bronkopneumonia adalah virus dan
bakteri yaitu diplokokous pneumonia, streptococus pneumonia, virus influenza.
Awalnya mikroorganisme masuk melalui percikan ludah (droplet) kemudian
terjadi penyebaran mikroorganisme dari saluran afas bagian atas ke jaringan
(parenkim) paru dan sebagian kecil karena penyebaran melalui aliran darah
(misnadiarly, 2008).
7
Menurut mansjoer (2008), etiolgi terjadinya pneumonia diantaranya:
1. Bakteri
a. Pneumotorakokus, merupakan penyebab utama pneumonia. Pada orang
dewasa umumnya disebabkan oleh pneumococus srotype 1 sampai dengan
8. Sedangkan pada anak-anak serotype 14,1,6 dan 9. Insiden meningkat
pada usia lebih kecil 4 tahun dan menurun dengan meningkatnya umur.
b. Streptococus, sering merupakan komlikasi dari penyakit virus lain, seperti
mobil dan varisela atau komlikasi penyakit kuman lainnya seperti pertusis,
pneumonia dan pneumokokus.
c. Himiphilus influenza, pneumococus dan aureginosa, tuberkulosa.
d. Streptococus, lebih banyak pada anak-anakdan bersifat progresif, resisten
terhadap pengobatan dan sering menimbulkan komplikasi seperti abses
paru, empiema, tension pneumotoraks.
2. Virus: Virus respiratory syncytial, virus influenza, virus adeno, virus
sistomegalik.
3. Aspirasi: Makanan, benda asing, koreson.
4. Pneumonia hipostatik: Penyakit ini disebabkan tidur terlentang terlalu lama,
misal pada anak sakit dengan kesadaran menurun.
5. Jamur: Histoplasmamosis capsultatum, candida albicans, biastomocass,
kalsedis mycosis, aspergylosis dan actino mycosis.
2.2.4 Patofisiologi
8
kapiler (Price & Wilson, 2005). Gambar berikut menunjukan gambaran perbedaan
alveoli normal dan alveoli pada pasienbronkopneumonia.
9
2.2.5 Diagnosa dan Penatalaksanaan
1. Pencegahan dan deteksi
a. Pemberian antibiotik profilaks tidak dianjurkan karena dapat
memperburuk kondisi saat fase akut storke
b. Pneumonia akibat disfagia atau gangguan refleks menelan erat
hubungannya dengan aspirasi penumonia. Oleh karena itu, tes refleks
batuk perlu dilakukan untuk mengidentifikasi risiko pneumonia.
c. Pemberian pipa nasogastrik segera (dalam 48 jam) dianjurkan pada
pasien dengan gangguan menelan.
d. Pencegahan aspirasi pneumonia dapat dilakukan dengan:
1) Elevasi kepala 30-45⁰
2) Menghindari sedasi berlebihan
3) Mempertahankan tekanan endotracheal cuff yang tepat pada
pasien dengan intubasi dan trakeostomi.
4) Memonitor volume residual lambung selama pemberian
makanan secara enteral.
5) Menghindari pemakaian pipa nasogastrik yang lama.
6) Seleksi diit yang tepat untuk pasien dengan disfagia.
7) Mengaspirasi sekresi subglotis secara teratur.
8) Rehabilitasi fungsi menelan.
9) Merubah posisi pasien saat berbaring dan terapi fisik.
10) Terapi farmakologis seperti pemberian ACE inhibitor, amantadine
dan cilostazol, diduga dapat mengurangi resiko aspirasi
pneumonia pada pasien stroke melalui mekanisme peningkatan
kadar dopamine dan substansi P.
11) Oleh karena disfagi dapat beresiko terjadi pneumonia aspirasi,
maka untuk mencagah komplikasi pneumonia dan memperbaiki
fungsi menelan dilakukan modifikasi diit serta latihan otot-otot
menelan dan stimulasi struktur mulut dan faring.
2. Penatalaksanaan
a) Fisioterapi (chest therapy) dengan spidometri, inhalasi ritmik, dan
menepuk-nepuk dada.
10
b) Pemberian antibiotik sesuai indikasi (kalau perlu tes resistensi kuman)
antara lain :
1) Tanpa komorbiditas
a) Makrolida (azithromycin, clarithromycin, atau erythromycin)
(Evidence Based Review Of Stroke Rehabilitation; EBRSR,
level of evidence I).
b) Doksisiklin (EBRSR, level of evidence III).
2) Disertai penyakit lain seperti diabetes mellitus, alkoholisme,
keganasan, penyakit jantung, paru, liver, dan ginjal kronik serta
penyakit imunosupresi.
a) Fluorokuinolon (moxifloxacin, gemifloxacin, atau
levofloxacin) (EBRSR, Level of evidence I).
b) Β-lactam dengan makrolida ( EBRSR, Level of evidence I)
amoxillin dosis tinggi 3x1 g/hari atau amoxillin-klavulanat,
alternatif lainnya adalah ceftriaxone, cefpodoxime, atau
cefuroxime, dan doxycycline sebagai alternatif pengganti
makrolida ( EBRSR, level of evidence II).
3) Panduan lain mengenai pemberian antibiotik adalah:
a) Tanpa faktor resiko untuk bakteri resiko tinggi resistensi:
ampicillin/sulbactam, cefuroxime, ceftriaxon, levoflaxacin,
moxifloxacin.
b) Dengan factor resiko untuk bakteriresiko tinggi resistensi :
ceftazidim, kombinasi dengan gentamisin.
c) Pemberian terapi antiinfeksi pascastroke disesuaikan dengan
guideline terapi Hospital Acquired Pneumonia (HAP). Setelah
dimulai pemberian antibiotic, dilakukan kultur dantes
sensitifitas serta resistensi kuman penyebab.
3. Mobilisasi bertahap
Jika terjadi gagal nafas akut, dapat dilakukan pemasangan ventilator
sesuai indikasi dan kondisi pasien (Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia,
2011).
11
2.3 Diabetes Melitus
2.3.1 Definisi
Diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit atau gangguan
metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar
gula darah (hiperglikemia) disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat,
lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufiensi fungsi
insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defesiensi produksi insulin oleh sel-
sel beta langerhans kelenjar pankreas atau disebabkan oleh kurang responsifnya
sel-sel tubuh terhadap insulin (Dipiro dkk,2008).
Berdasarkan standard of medical care in diabetes, klasifikasi diabetes
dijabarkan secara lengkap berdasarkan penyebabnya (ADA, 2013). Diabetes tipe 1
adalah tubuh sangat sedikit atau tidak mampu memproduksi insulin akibat
kerusakan sel beta pankreas ataupun adanya proses autoimun. Umumnya DM tipe
1 menyerang di usia anak-anak dan remaja. DM tipe 2 adalah hasil dari gangguan
sekresi insulin progresif yang menyebabkan terjadinya resistensi insulin. DM tipe
spesifik lain terjadi sebagai hasil kerusakan genetik spesifik sekresi insulin dan
pergerakan insulin ataupun pada kondisi-kondisi lain. Diabetes gestasional adalah
diabetes yang terjadi selama kehamilan (ADA, 2013; Alberti, 2010). Dalam DM
Tipe 2, pankreas dapat menghasilkan cukup jumlah insulin untuk metabolisme
glukosa (gula), tetapi tubuh tidak mampu untuk memanfaatkan secara efisien.
Seiring waktu, penurunan produksi insulin dan kadar glukosa darah meningkat
(Adhi, 2011).
2.3.2 Epidemiologi
Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan
peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM tipe 2 diberbagai penjuru dunia.
World Health Organization (WHO) memprediksikan adanaya peningkatan jumlah
penyandang diabetes yang cukup besar pada tahun-tahun mendatang. WHO
memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada
tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 (soewondo,2011).
Peningkatan prevalensi terjadinya DM ini di akibatkan karena faktor gaya hidup,
etnis dan usia. Gaya hidup penduduk dunia masa kini yang lebih banyak
mengkonsumsi makanan dengan kadar lemak tinggi dalam porsi yang besar
12
menyebabkan seseorang dapat mengalami obesitas.di United States, saat ini
populasi penduduk yang mengalami overweight mencapai 65% dan populasi
penduduk yang mengalami obesitas mencapai 30% dari total penduduk.
Overweight di defenisikan sebagai body mass index (BMI) yang lebih besar dari
pada 25 kg/m³, dimana BMI > 30 kg/m³ disebut sebagai obesitas (Dipiro dkk,
2008).
Berdasarkan data pusat statistik indonesia tahun 2003, diperkirakan
penduduk indonesia yang berusia diatas 20 tahun sebanyak 133 juta jiwa dengan
prevalensi DM sebesar 14,7% pada daerah urban dan 7,2% pada daerah rural,
maka diperkirakan pada tahun 2003 terdapat sejumlah 8,2 juta penyandang
diabetes didaerah urban dan 5,5 juta didaerah rural. Selanjutnya berdasarkan pola
pertambahan penduduk diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta
penduduk yang berusia diatas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi DM pada
urban (14,7%) dan rural (7,2%) maka diperkirakan terdapat 12 juta penyandang
diabetes didaerah urban dan 8,1 juta didaerah rural.
2.3.3. Etiologi
Pada pasien-pasien dengan Diabetes Mellitus tak tergantung insulin
(NIDDM), penyakitnya mempunyai pola familial yang kuat. NIDDM ditandai
dengan adanya kelainan dalam sekresi insulin maupun dalam kerja insulin. Pada
awalnya kelihatan terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin.
Insulin mula-mula mengikat dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel
tertentu, kemudian terjadi reaksi intraselular yang meningkatkan transport glukosa
menembus membrane sel. Pada pasien-pasien dengan NIDDM terdapat kelainan
dalam pengikatan insulin dengan reseptor. Ini dapat disebabkan oleh
berkurangnya jumlah tempat reseptor yang responsive insulin pada membrane sel.
Akibatnya, terjadi penggabungan abnormal antara kompleks reseptor
insulin dengan sistem transport glukosa. Kadar glukosa normal dapat
dipertahankan dalam waktu yang cukup lama dengan meningkatkan sekresi
insulin, tetapi pada akhirnya sekresi insulin menurun, dan jumlah insulin yang
beredar tidak lagi memadai untuk mempertahankan euglikemia. Sekitar 80%
pasien NIDDM mengalami obesitas. Karena obesitas berkaitan dengan resistensi
insulin, maka kemungkinan besar gangguan toleransi glukosa dan diabetes
13
mellitus yang pada akhirnya terjadi pada pasien-pasien NIDDM merupakan akibat
dari obesitasnya. Pengurangan berat badan seringkali dikaitkan dengan perbaikan
dalam sensitivitas insulin dan pemilihan toleransi glukosa (Rakhmadany,2010).
2.3.4. Patifisiologi DM tipe 2
DM tipe 2, sekresi insulin di fase 1 atau early peak yang terjadi dalam 3-
10 menit pertama setelah makan yaitu insulin yang disekresi pada fase ini adalah
insulin yang disimpan dalam sel beta (siap pakai) tidak dapat menurunkan glukosa
darah sehingga merangsang fase 2 adalah sekresi insulin dimulai 20 menit setelah
stimulasi glukosa untuk menghasilkan insulin lebih banyak, tetapi sudah tidak
mampu meningkatkan sekresi insulin sebagaimana pada orang normal. Gangguan
sekresi sel beta menyebabkan sekresi insulin pada fase 1 tertekan, kadar insulin
dalam darah turun menyebabkan produksi glukosa oleh hati meningkat, sehingga
kadar glukosa darah puasa meningkat. Secara berangsur-angsur kemampuan fase
2 untuk menghasilkan insulin akan menurun. Dengan demikian perjalanan DM
tipe 2, dimulai dengan gangguan fase 1 yang menyebabkan hiperglikemi dan
selanjutnya gangguan fase 2 di mana tidak terjadi hiperinsulinemi akan tetapi
gangguan sel beta. Penelitian menunjukkan adanya hubungan antara kadar
glukosa darah puasa dengan kadar insulin puasa.
Pada kadar glukosa darah puasa 80-140 mg/dl kadar insulin puasa
meningkat tajam, akan tetapi jika kadar glukosa darah puasa melebihi 140 mg/dl
maka kadar insulin tidak mampu meningkat lebih tinggi lagi; pada tahap ini mulai
terjadi kelelahan sel beta menyebabkan fungsinya menurun. Pada saat kadar
insulin puasa dalam darah mulai menurun maka efek penekanan insulin terhadap
produksi glukosa hati khususnya glukoneogenesis mulai berkurang sehingga
produksi glukosa hati makin meningkat dan mengakibatkan hiperglikemi pada
puasa. Faktor-faktor yang dapat menurunkan fungsi sel beta diduga merupakan
faktor yang didapat (acquired) antara lain menurunnya massa sel beta, malnutrisi
masa kandungan dan bayi, adanya deposit amilyn dalam sel beta dan efek toksik
glukosa (glucose toxicity) (Schteingart, 2005 dikutip olehIndraswari, 2010).
Pada sebagian orang kepekaan jaringan terhadap kerja insulin tetap dapat
dipertahankan sedangkan pada sebagian orang lain sudah terjadi resistensi insulin
dalam beberapa tingkatan. Pada seorang penderita dapat terjadi respons metabolik
14
terhadap kerja insulin tertentu tetap normal, sementara terhadap satu atau lebih
kerja insulin yang lain sudah terjadi gangguan. Resistensi insulin merupakan
sindrom yang heterogen, dengan faktor genetik dan lingkungan berperan penting
pada perkembangannya. Selain resistensi insulin berkaitan dengan kegemukan,
terutama gemuk di perut, sindrom ini juga ternyata dapat terjadi pada orang yang
tidak gemuk. Faktor lain seperti kurangnya aktifitas fisik, makanan mengandung
lemak, juga dinyatakan berkaitan dengan perkembangan terjadinya kegemukan
dan resistensi insulin (Indraswari, 2010).
2.3.5. Penatalaksanaan
1. Terapi non farmakologi
Terapi gizi medis merupakan salah satu terapi non farmakologi yang
sangat direkomendasikan bagi penyandang diabetes. Terapi gizi medis ini
prinsipnya adalah melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada status
gizi diabetes dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individual.
Beberapa manfaat yang telah terbukti dari terapi gizi medis ini antara lain :
menurunkan berat badan, menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik,
menurunkan kadar glukosa darah, memperbaiki profil lipid, meningkatkan
sensifitas reseptor insulin, memperbaiki sistem koagulasi darah. Adapun tujuan
dari terapi gizi medis ini adalah untuk mencapai dan mempertahankan :
1) Kadar glukosa darah mendekati normal,
Glukosa puasa berkisar 90-130 mg/dL.
Glukosa darah 2 jam setelah makan < 180 mg/dL.
Kadar HbAlC < 7%.
2) Tekanan darah < 130/80 mmHg
3) Profil lipid
Kolesterol LDL < 100 mg/dL.
Kolesterol HDL > 40 mg/dL.
Trigliserida < 150 mg/dL.
4) Berat badan senormal mungkin
Pada tingkat individu target pencapaian terapi gizi medis ini lebih
difokuskan pada perubahan pola makan yang didasarkan pada gaya hidup dan
pola kebiasaan makan, status nutrisi dan faktor khusus lain yang perlu diberikan
15
prioritas. Beberapa faktor yang harus diperhatikan sebelum melakukan perubahan
pola makan diabetes antara lain, tinggi badan, berat badan, status gizi, status
kesehatan, aktivitas fisik, dan faktor usia (Soebardi, 2006).
2. Terapi Farmakologi
a) Terapi dengan Insulin
Terapi farmakologi untuk pasien diabetes melitus geriatri tidak berbeda
dengan pasien dewasa sesuai dengan algoritma,dimulai dari monoterapi untuk
terapi kombinasi yang digunakan dalam mempertahankan kontrol glikemik.
Apabila terapi kombinasi oral gagal dalam mengontrol glikemik maka pengobatan
diganti menjadi insulin setiap harinya. Meskipun aturan pengobatan insulin pada
pasien lanjut usia tidak berbeda dengan pasien dewasa, prevalensi lebih tinggi dari
faktor-faktor yang meningkatkan risiko hipoglikemia yang dapat menjadi masalah
bagi penderita diabetes pasien lanjut usia. Alat yang digunakan untuk menentukan
dosis insulin yang tepat yaitu dengan menggunakan jarum suntik insulin premixed
atau predrawn yang dapat digunakan dalam terapi insulin. Lama kerja insulin
beragam antar individu sehingga diperlukan penyesuaian dosis pada tiap pasien.
Oleh karena itu, jenis insulin dan frekuensi penyuntikannya ditentukan secara
individual. Umumnya pasien diabetes melitus memerlukan insulin kerja sedang
pada awalnya, kemudian ditambahkan insulin kerja singkat untuk mengatasi
hiperglikemia setelah makan. Namun, karena tidak mudah bagi pasien untuk
mencampurnya sendiri, maka tersedia campuran tetap dari kedua jenis insulin
regular (R) dan insulin kerja sedang (Anonim, 2000).
16
Insulin Short/Rapid acting 0,1 U/kg tiap makan
Jika tercapai sesuaikan insulin rapid acting untuk mencapai kadar glukosa
darah sebelum makan dan sebelum tidur 120-200 mg/dL.
17
b) Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
1). Pemicu sekresi insulin:
a. Sulfonilurea
Efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas.
Pilihan utama untuk pasien berat badan normal atau kurang .
Sulfonilurea kerja panjang tidak dianjurkan pada orang tua, gangguan
gagal hati dan ginjal serta malnutrisi.
b. Glinid
Terdiri dari repaglinid dan nateglinid.
Cara kerja sama dengan sulfonilurea, namun lebih ditekankan pada
sekresi insulin fase pertama.
Obat ini baik untuk mengatasi hiperglikemia postprandial.
2) Peningkat sensitivitas insulin:
a. Biguanid
Golongan biguanid yang paling banyak digunakan adalah Metformin.
Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap
kerja insulin pada tingkat seluler, distal reseptor insulin, dan
menurunkan produksi glukosa hati.
Metformin merupakan pilihan utama untuk penderita diabetes gemuk,
disertai dislipidemia, dan disertai resistensi insulin.
b. Tiazolidindion
Menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein
pengangkut glukosa sehingga meningkatkan ambilan glukosa perifer.
Tiazolidindion dikontraindikasikan pada gagal jantung karena
meningkatkan retensi cairan.
3) Penghambat glukoneogenesis:
a. Biguanid (Metformin).
Selain menurunkan resistensi insulin, metformin juga mengurangi
produksi glukosa hati.
Metformin dikontraindikasikan pada gangguan fungsi ginjal dengan
kreatinin serum > 1,5 mg/ dL, gangguan fungsi hati, serta pasien
dengan kecenderungan hipoksemia seperti pada sepsis
18
Metformin tidak mempunyai efek samping hipoglikemia seperti
golongan sulfonilurea.
Metformin mempunyai efek samping pada saluran cerna (mual) namun
bisa diatasi dengan pemberian sesudah makan.
4). Penghambat glukosidase alfa :
a. Acarbose
Bekerja dengan mengurangi absorbsi glukosa di usus halus.
Acarbose juga tidak mempunyai efek samping hipoglikemia seperti
golongan sulfonilurea.
Acarbose mempunyai efek samping pada saluran cerna yaitu kembung
dan flatulens.
Penghambat dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4) Glucagon-like peptide-1
(GLP-1) merupakan suatu hormone peptide yang dihasilkan oleh sel L
di mukosa usus. Peptida ini disekresi bila ada makanan yang masuk.
GLP-1 merupakan perangsang kuat bagi insulin dan penghambat
glukagon. Namun GLP-1 secara cepat diubah menjadi metabolit yang
tidak aktif oleh enzim DPP-4. Penghambat DPP-4 dapat meningkatkan
penglepasan insulin dan menghambat penglepasan glukagon
(PERKENI, 2011; Rodbard, 2009).
19
BAB III
TINJAUAN UMUM KASUS
3.1 Identitas Pasien
No MR 095410
Nama Pasien M
Agama Islam
Jenis Kelamin Laki – Laki
Umur 82 tahun
Ruangan Neurologi
Penurunan Kesadaran ec susp
stroke hemoregik + hipoglikemia
Diagnosa + DM Tipe II
Mulai perawatan 22 Februari 2018
Dokter yang merawat dr. Yulson. R, Sp.S
20
TD 160/80 mmHg
GDR 24
21
3.3.2 Data Organ Vital
Tanggal
Data
Klinik
23/2 24/2 25/2 26/2 27/2 28/2 1/3 2/3 3/3 4/3 5/3 6/3 7/3
Suhu (°C) 37,9 37,4 37,1 38,2 36 38,0 37,6 36,8 36,6 36,9 37,3 36, 36,4
8
Nadi 92 86 86 90 80 92 80 92 85 83 82 90 100
Nafas 28 22 30 20 20 26 22 28 22 22 20 24 28
Tekanan
130/80 120/6 130/7 130/6 100/ 120/ 130/ 120/70 100/ 130/70 150/ 13 110/60
Darah 70 70 80 0/8
0 0 0 60 60
0
22
3.3.3 Data Laboratorium
Pemeriksaan Tanggal
Darah Normal
22/2 23/2 24/2 25/2 26/2 28/2 1/3 2/3
Kolesterol 112 - - - - - -
150-220 mg/dL -
Total
Trigliserida 40-160 g/dL - 50 - - - -
HDL >55 mg/dL - 56 - - - - - -
LDL < 150 mg/dL - 56 - - - - - -
Ureum 20-50 mg/dL 37 - - - - - - -
kreatinin 0,5-1,5 mg/dL 0,87 - - - - - - -
Lk: 3,4-7,0 mg/dL 5,4
Asam Urat -
Pr:2,4-5,7 mg/dL
Natrium 135-145 mEq/L 144 - - - - - - -
Kalium 3,9-5,5 mEq/L 3,5 - - - - - - -
Klorida 98-108 mEq/L 106 - - - - - - -
Glukosa 70-120 mg% - 112 96 - - - - -
Puasa
Glukosa 2 <140 mg% - 168 169 - - - - -
jam pp
23
Glukosa <180 mg% 186 - - - - - - -
random
3.4 Diagnosis
Tanggal masuk 22 Februari 2018
Riwayat penyakit dahulu Hipertensi, Diabetes
3.5. Follow Up
Diagnosa : Stroke hemoregik dan
Nama : M Dokter : dr. Yulson. R, Sp.S
Bronkopneumonia
Umur : 82 Tahun Ruangan : Neuro Apoteker : M. S.Farm., Apt.
BB : -
Tanggal S O A P
22/2/2018 Penurunan Suhu : 37,4oC Resiko ketidakefktifan Terapi yang diberikan:
Kesadaran KU : Sopor perfusi jaringan otak, IVFD D10%, Asam Folat 2x5 mg B.Comp
Riwayat HT (+) BP : 120/70 Hambatan Mobililitas fisik, 3x1, Amlodipin 1x5 mg. Dilakukan Cek GDR
Riwayat DM (+) Resiko Jatuh /tiap 4 jam, Catat status Neurologi, Elevasi
24
kepala 30 0, Berikan O2
23/2/2018 Tidak sadar (+) Suhu : 36,4oC Resiko ketidakefktifan Terapi yang diberikan : Ringer Laktat, Injeksi
KU : Sopor perfusi jaringan otak, Sitikolin 2x 250, Amlodipin di aff.. Cek gula
BP : 130/70 Hambatan Mobililitas fisik, puasa dan 2 jam puasa Pantau kesadran/pupil,
dan sulit menelan sistem neurologi.
24/2/2018 Penurunan Suhu : 37,4oC Ketidakefktifan perfusi Terapi yang diberikan:
Kesadaran KU : Sopor jaringan otak Asam Folat 2x5 mg B.Comp 3x1, Ambroxol
Pasien mengalami BP : 120/80 3x1, Aminofilin 2x1, KSR 2x1. Dilakukan
batuk GDP: 96 Cek GDR /tiap 4 jam, Catat status Neurologi,
GD2PP: 169 Elevasi kepala 30 0, Kolaborasi
Pasien sudah kontak Suhu : 36,5 C
o
25/2/2018 Resiko ketidakefktifan Terapi yang diberikan : Terapi dilanjutkan.
mata, belum bicara perfusi jaringan otak Stroke 0
KU : Delerium hemoregik perbaikan., , Catat status Neurologi, Elevasi kepala 30 ,
BP : 130/70 bronkopenumonia perbaikan Monitor TTV
26/2/2018 Penurunan Suhu : 36,6oC Resiko ketidakefktifan Terapi yang diberikan : Terapi dilanjutkan.
Kesadaran perfusi jaringan otak,
KU : Sopor Hambatan Mobililitas fisik. , Catat status Neurologi, Elevasi kepala 30 0,
Buka Mata (+) Monitor TTV, berikan o2
BP : 120/80
27/2/2018 Bicara Isyarat (+) Suhu : 36,3oC Resiko ketidakefktifan Terapi yang diberikan : Terapi dilanjutkan.
Sesak (-) perfusi jaringan otak, Stroke
Batuk(-) KU : Sopor hemoregik perbaikan., , Catat status Neurologi, Elevasi kepala 30 0,
2,
BP : 110/60 bronkopenumonia perbaikan Monitor TTV, berika o Bantu ADL Pasien
28/2/2018 Sadar (+) Suhu : 36oC Resiko ketidakefktifan Terapi yang diberikan : Terapi dilanjutkan.
Bicara (+) perfusi jaringan otak, Stroke
, Catat status Neurologi, Elevasi kepala 30 0,
25
KU : Sedang hemoregik Monitor TTV, berika o2, Bantu ADL Pasien
BP : 120/80
1/3/2018 Kesadaran (+) Suhu : 36oC Hambatan mobiliitas fisik, Terapi yang diberikan : Terapi dilanjutkan.
Bisa Duduk (+) Stroke hemoregik perbaikan
Sesak (-) KU : Sedang , Catat status Neurologi, Elevasi kepala 30 0,
Batuk (+) Monitor TTV, Bantu ADL Pasien, Nebulizer
BP : 120/80 di aff
2/3/18 Kesadaran (+) Suhu : 36oC Hambatan mobiliitas fisik, Terapi yang diberikan : Terapi dilanjutkan,
Aktivitas dibantu ditambahkan Haloperidol 1x0,5.
Letih KU : Sedang
Gelisah , Catat status Neurologi, Elevasi kepala 30 0,
BP : 120/80 Pantau TTV, Bantu ADL Pasien, Kolaborasi
3/3/18 Gelisah (+) Suhu : 36oC Hambatan mobiliitas fisik, Terapi yang diberikan : Terapi dilanjutkan
ADL dibantu (+) dosis Haloperidol ditingkatkan menjadi 3x1,5
KU : Sedang
, Catat status Neurologi, Elevasi kepala 30 0,
BP : 100/70 Pantau TTV, Bantu ADL Pasien, Kolaborasi
4/3/18 Gelisah (+) Suhu : 36oC Hambatan mobiliitas fisik Terapi yang diberikan : Terapi dilanjutkan,
ADL dibantu (+) terapi yang ditambahkan Triheksifenidil 3x2
KU : Sedang mg
BP : 130/70 , Pantau TTV, Bantu ADL Pasien,
26
Kolaborasi, dampingi Pasien
5/3/18 Gelisah (+) Suhu : 36oC Resiko Jatuh Terapi yang diberikan : Terapi dilanjutkan
KU : Sedang , Pantau TTV, bantu ADL pasien, kolaborasi,
pasang kenyamanan tempat tidur
BP : 150/80
6/3/18 Gelisah terutama Suhu : 36,8oC Resiko jatuh Terapi yang diberikan : Terapi dilanjutkan.
malam hari
Batuk (+) Sering KU : Sedang , Pantau TTV, Bantu ADL pasien,
Kolaborasi, dilakukan fisioterapi
BP : 130/80
7/3/18 Gelisah (+) Suhu : 36,5oC Stroke hemoregik dan Terapi yang diberikan : Terapi dilanjutkan.
Batuk (+) bronkoneumonia, hambatan Dilakukan aff IVFD Ringer Laktat.
Rutinitas dibantu KU : Sedang mobilitas fisik, resiko jatuh
, pantau TTV, Bantu ADL pasien, pasang
BP : 110/60 Bagian pengaman tempat tidur
8/3/18 Keluhan (-) KU: Sedang Stroke Hemoragik dan Pasien diperbolehkan pulang. Kontrol ulang
Makan(+) Bronkopneumonia di poli syaraf pada kamis 15/03/18. Obat
Pasien mengeluhkan BP:150/90 perbaikan pulang diberikan: Asam Folat 2x1 (5 mg), B
tidak bisa BAB kompleks 2x1 tab, KSR 2 x1, Ambroxol 3x1,
Dulcolax supp, Opilax Syrup 2x cth
27
BAB IV
ANALISIS FARMAKOTERAPI-DRP
Lembar 1. Lembar Pengobatan
Tanggal Pemberian
Tgl
No Nama Obat Aturan Pakai 22 23/ 24/ 25/ 26/ 27/ 28/ 1/3 2/ 3 4/ 5/ 6/ 7/
Mulai
/2 2 2 2 2 2 2 3 / 3 3 3 3
3
1 Asam Folat 2x 1 22/2 √ √ √ √ √ √ √ √ √ aff aff aff Aff Aff
(5mg)
2 Vitamin B 3x1 22/2 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Complex
3 Amlodipin 1 x 1(5 22/2 √ af af af af af af A aff aff aff aff Aff Aff
mg) f f f f f f ff
4 Ambroxol 2 x1 24/2 - - √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
5 Aminofilin 3x1 24/2 - - √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Aff aff
6 KSR 2x1 24/2 - - √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
7 Haloperidol 1x 1(0,75) 2/3 - - - - - - - - √ aff aff aff Aff Aff
3x 1 (1,5) 3/3 - - - - - - - - - √ √ √ √ √
8 Triheksipenid 3x2 4/3 - - - - - - - - - - √ √ √ √
il
9 IVFD D10% 12j/k 22/2 √ af af af af af af A aff aff aff aff Aff Aff
f f f f f f ff
Ringer Laktat
10 12 22/2 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ aff
gr/infuse
28
11 Injeksi 2X250 24/2 - - √ √ √ √ √ A aff aff aff aff Aff Aff
Citikolin mg ff
12 Injeksi 2 x 1gr 24/2 - - √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
ceftriaxone
13 Nebu 3X1 24/2 - - √ √ √ √ √ A aff aff aff aff Aff Aff
Combiven ff
14 Onzapine 1x1 8/3 - - - - - - - - - - - - - √
15 Lorazepam (Puyer)
29
Terapi yang diterapkan sesuai karena pasien datang dengan
3. Amlodipin 22/2 Digunakan sebagai tekanan darah
antihipertensi tinggi yang harus diterapi dengan antihipertensi.
4. Ambroxol 24/2 Digunakan sebagai Terapi yang diterapkan sesuai karena pasien mengalami batuk
pengencer dahak selama perawatan
5. Aminofilin 24/2 Digunakan sebagai Terapi yang diterapkan sesuai karena pasien mengalami
bronkodilator bronkopneumonia dan mengalami sesak
6. KSR 24/2 Digunakan sebagai Terapi yang diterapkan sesuai karena pasien mengalami kadar
penambah kalium kalium yang rendah dan keseimbangan elektrolit
7. Haloperidol 2/3 Digunakan sebagai Terapi sudah tepat terapi diberikan atas dasar keluhan pasien
antipsikosis terus gelisah
Digunakan sebagai
8. Triheksifinidil 4/3 terapi Terapi sudah tepat diberikan untuk mengatasi gerakan yang
antikolinergik tidak bisa dikendalikan dan dari efek samping dari haloperidol
yaitu ektrapirmidal
Digunakan untuk
9. IVFD D10% 22/2 keseimbangan Terapi sudah tepat diberikan untuk mengatasi hipoglikemia
glukosa
Mengembalikan
10. IVFD Ringer 22/2 keseimbangan Terapi sudah sesuai ntuk mencegah pasien dari kekurangan
Laktat Eletrolit elektrolit
Digunakan untuk
11. Injeksi 24/2 memperbaiki sirkulasi darah Terapi sudah sesuai untuk mencegah pasien dari Kehilangan
Sitikolin di otak kesadaran akibat trauma serebral
Digunakan sebagai antibiotik
12. Injeksi 24/2 Terapi sudah sesuai untuk mengatasi infeksi saluran
Ceftriaxone pernafasan seperti Bronkopneumonia
Terapi sudah tepat karena diberikan atas dasar keluhan pasien
13. Nebu 24/2 Sebagai bronkodilator yang mengalami sesak nafas
Combiven
30
Terapi sudah sesuai untuk mencegah pasien dari gangguan
14. Onzapine 7/3 Untuk Skrizopenia ganggua seperti halusinasi dan gangguan berbicara
psikosis lain
Untuk anxietas
15. Lorazepam 7/3 Terapi sudah sesuai untuk mencegah pasien dari gangguan
seperti anxietas seperti gelisah
31
Lembar 3. Lembar Monitoring Rencana Pelayanan Kefarmasian
Diagnosa : Stroke hemoregik dan
Nama : M Dokter : dr. Yulson. R, Sp.S
Bronkopneumonia
Umur : 82 Tahun Ruangan : Neuro Apoteker : M. S.Farm., Apt.
BB : -
32
4 4 Maret 2018 9 (Efek Samping Haloperidol dapat menyebabkan Ditambahkan terapi THP untuk
Obat) efek samping ekstrapiramidal. menghilangkan efek ekstrapiramidal (sudah
teratasi).
5 22 Februari 1b (ada indikasi, Pasien mengalami diagnosa stroke Diberikan terapi stroke hemoragik yaitu
2018 tidak diterapi hemoragik koagula seperti Vitamin K dan asam
traneksamat. Menghilangkan resiko
pendarahan akibat stres ulcer dan stroke
6 7 Maret 2018 8a Haloperidol dan Lorazepam Dihindari pemberian secara bersamaa antara
(interaks meningkatkan efek sedasi ( Monitor Lorazepam dengan Haloperidol dan onzapine.
i obat- Closely) dan menyebabkan Apnea, Dihindari pemberian secara bersamaa antara
obat) koma, bradikardia, aritmia, serangan Onzapin dan trihexipenidil
jantung, dan kematian dilaporkan.
Onzapine dan Lorazepam
Meningkatkan efek sedasi (Monitor
Closely).
Onzapine dan Trihexipenidil Interaksi
Farmakodinamik secara sinergis (
Monitor Closely)
33
Lembar 4. Lembar rencana pelayanan kefarmasian
Nama : M Diagnosa : Stroke hemoragik dan Bronkopneumonia Dokter : dr. Yulson. R, Sp.S
34
Mengatasi sesak nafas , Injeksi Pantau Whezing pasien Pasien tidak batuk dan
Setiap
Batuk dan penyakit paru Combiven dan Rhonki mengalami sesak
hari
Obstruktif Kronik Aminofilin
(PPOK) Ambroxol
Memperbaiki sirkulasi Citikolin Pantau kesadaran pasien Kesadaran umum dan bisa
darah ke otak berinteraksi Setiap hari
35
Lembar 5. Lembar Konseling
URAIAN REKOMENDASI / SARAN
Asam Folat Diguanakan sehari dua kali untuk mencegah meningkatnya resiko stroke
Vitamin B Complex Diguanakan sehari tiga kali untuk mencegah meningkatnya resiko stroke
Digunakan teratur pada pagi hari dan dikonsumsi seumur hidup untuk
Amlodipin
menjaga tekanan darah agar normal
dapat diminum pada saat perut kosong atau bersama makanan. Bila lupa
minum obat Gunakan secepatnya pada saat ingat. Bila saat ingat, sudah
Aminofilin
hampir waktunya untuk minum dosis berikutnya, maka tidak perlu minum
dosis sebelumnya, cukup minum dosis berikutnya. Jangan mendobel dosis
36
Digunakan sehari tiga kali sampai efek gelisah berkurang, obat
Triheksifinidil
berpotensi untuk gangguan kewaspadaan mental atau koordinasi fisik
37
Disimpan pada suhu 25 C. Pentingnya pemberian combiven paling sedikit
Injeksi combivent
15-30 menit sebelum berolahraga untuk pencegahan bronkospasme
38
4.1. Tinjauan Farmakologi Obat
1. Asam Folat
2. Vitamin B Kompleks
Kelas Terapi Vitamin dan Suplemen Makanan
39
3.Amlodipin
Kelas Terapi Antihipertensi (CCB)
4. Ambroxol
Kelas Terapi Mukolitik (Pengencer dahak)
40
Efek Samping Reaksi ringan gastro-intestinal, seperti nyeri ulu hati,
dispepsia, dan kadang-kadang mual, dan muntahl.
Reaksi alergi jarang terjadi, terutama ruam kulit. Ada
laporan kasus yang sangat jarang, yaitu reaksi
anafilaksis akut tipe berat, tapi hubungannya dengan
ambroxol tidak past.
5.Aminofilin
Kelas Terapi Bronkodilator santin
41
Indikasi Hipoklaemia, Hipertensi, Aritmia
7. Haloperidol
Kelas Terapi Antipsikosis
8. Triheksipenidil
Kelas Terapi Antimuskarinik
42
Merek Dagang Artane, Trihexx
9. IVFD D10%
Kelas Terapi Cairan Elektrolit
Interaksi Obat -
Kontra Indikasi Pada pasien yang berusia lebih dari 28 hari (termasuk
orang dewasa), ceftriaxone tidak boleh diberikan
bersamaan dengan larutan yang mengandung kalsium,
termasuk RL karena meyebakan prespitasi
43
11. Injeksi Citikolin
Kelas Terapi Neutropik
44
Indikasi Penyakit Saluran Pernafasan atau sumbatan atau
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
Dosis Bronkospasama:
Salbutamol Inhalasi nebulizer: Dosis awal 2.5 mg 4 Kali
sehari dan kombinasi ipratropium bromide (0.5 mg per
dose)
Geriatrik : Oral : 2 mg 3- 4 kali sehari. maximum of 8
mg 3-4 kali shari
Inhalation aerosol: terapi awal dengan terapi lebih
rendah baru dilakukan usual dose
14. Onzapine
Kelas Terapi Anti psikosa
Dosis Schizophrenia:
Dosis Awal: 5-10 mg perhari. Maintenance dose: 10-20
mg/hari
Geriatrik : Oral : dosis awal 2,5- 5 mg PO
Inhalation aerosol: terapi awal dengan terapi lebih
rendah baru dilakukan usual dose
45
14. Lorazepam
Kelas Terapi Benzodiazepi, Antikonvulsan
46
BAB V
PEMBAHASAN
Seorang pasien pria bernama Tn. M berumur 82 tahun, dilaporkan masuk ke
RSUD Solok bangsal neurologi pada tanggal 25 Februari 2018 dengan keluhan
penurunan kesadaran sejak 5 jam SMRS (jam 05.00). Menurut keterangan keluarga,
pasien memiliki riwayat hipertensi dan diabetes melitus.
Berdasarkan hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik dr. Y, Sp. S Pasien datang
dengan keadaan umum tidak sadar sepenuhnya. Tekanan darah 160/80 mmHg, Nadi 98
kali/menit, pernapasan 20 kali/menit, suhu 37,4oC dan GDR 24 mg/mL. Nadi, dan
tekanan darah pasien diatas normal (hipertensi) sedangkan gula darah rutin pasien
dibawah normal yang menyebabkan pasien hipoglikemia ketika masuk ke RSUD Solok.
Diagnosa dokter jaga e.c stroke haemoragik, hipoglikemia dan diabetes mellitus. Saat di
IGD pasien mendapatkan IVFD Dektrosa 10 % per 12/jam dan IVFD RL 12 jam/kolf,
asam folat 2x5mg, vitamin b kompleks 3x1, amlodipin 5 mg 1x1, cek GDR/ 4 jam.
Pemberian IVFD Dextrose 10% diindikasikan untuk kondisi yang membutuhkan
penggantian cairan dan kalori (MIMS,2016). IVFD RL 12 jam/kolf diindikasikan untuk
konduksi saraf dan otak, mengganti cairan yang hilang akibat dehidrasi, syok
hipovolemik dan mengembalikan tekanan osmotik pasien ke keadaan yang normal.
Pemberian Amlodipine 1x5 mg digunakan sebagai antihipertensi karena pasien datang
dengan tekanan darah 160/80 mmHg yang harus diterapi dengan antihipertensi.
Amlodipine merupakan salah satu terapi obat yang dapat untuk hipertensi yang disertai
dengan stroke (Iskandar, 2011). Amlodipin merupakan obat pilihan antihipertensi untuk
penderita yang sudah berusia lanjut, karena amlodipin mempunyai kelebihan
dibandingkan dengan antihipertensi lain, seperti efisien dalam pembayaran yaitu cukup
satu kali sehari. Dengan penggunaan sekali sehari dapat menurunkan tekanan darah
secara perlahan dan absorpsinya sempurna dalam tubuh (Dharma, 2016). Untuk waktu
pemberian amlodipin boleh di pagi atau malam hari, tapi biasanya pada terapi diberikan
dipagi hari. Yang terpenting dari waktu pemberian amlodipin harus diberikan di waktu
yang sama setiap harinya, agar terkanan darah dapat terkontrol dengan baik.
Pemberian obat lain yaitu Vitamin B Komplek 3x1 tablet dan Asam Folat 2x1
tablet digunakan untuk mencegah peningkatan homosistein (PERDOSSI, 2011). Hasil
penelitian Bayir et al (2010) penggunaan asam folat dan vitamin B Komplek pada
penderita stroke iskemik dan stroke hemoragik memiliki hubungan dalam mempengaruhi
47
kesadaran pasien, sehingga diharapkan setelah pemberian obat tersebut dapat
meningkatkan hasil pemeriksaan nilai Glasgow coma scale (GCS) pasien sebagai
parameter yang digunakan untuk mengukur tingkat kesadaran pasien. Vitamin B
kompleks dan asam folat sebaiknya diberikan sesudah makan agar menghindari efek
tidak enak pada saluran cerna dan dapat diserap dengan baik jika bersamaan dengan
makanan.
Hari ke-2 (dua) rawatan setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium diperoleh
kadar asam urat pasien sebesar 5,4 mg/dL dengan kadar normal pada laki-laki sekitar 3,4-
7,0 mg/dL. Kadar asam urat pasien normal sehingga tidak ada ditambahkan terapi.
Hari ke-3 (dua) rawatan pasien mengeluhkan batuk sehingga dokter menambahkan
terapi Ambroxol 2x1. Hari ke-3 rawatan, keluarga pasien menjelaskan bahwa angota
gerak pasien sebelah kiri masih melemah dan belum bisa digerakkan. Kesadaran pasien
juga masih dalam tingkat somnolen, sama dengan hari-hari rawatan sebelumya. Maka
dari itu sebaiknya pasien disarankan ditambahkan terapi neuroprotektor seperti injeksi
citicholine atau piracetam. Pemberian neuroprotektor seperti citicholine diindikasikan
untuk memperbaiki membran sel saraf melalui peningkatan sintesis phosphatidylcholine
dan perbaikan neuron kolinergik yang rusak melalui potensiasi dari produksi asetilkolin,
meningkatkan kemampuan kognitif pasien (MIMS, 2016).
Hari ke- 8 rawatan Inj. Citicolin dan Nebu Combiven dihentikan. Inj. Citicolin
dihentikan karena pasien sudah menunjukkan penyembuhan stroke hemoragik. Indikasi
Inj. Citikolin ialah kehilangan kesadaran yang menyertai trauma serebral, ganggaun
psikiatrik atau gangguan saraf dan untuk memperbaiki aliran darah serebral (stroke
iskemik/hemoragik) (MIMS, 2016)
Hari Ke-10 (sepuluh) rawatan masih mengalami gelisah. Sehingga dokter
menyarankan untuk menambah terapi obat haloperidol 1x 0,75 mg. Menurut PERDOSSI
(2011) Haloperidol menjadi salah satu terapi tambahan terhadap pasien stroke yang
mengalami gelisah. Haloperidol digunakan sebagai antipsikosis (ISO 2016). Selanjutnya
pada Hari ke-11 (tujuh) rawatan hasil pemeriksaan menunjukkan pasien masih terus
gelisah. Sehingga dosis Haloperidol ditingkatkan menjadi 3x1,5 mg serta ditambah terapi
dengan obat Triheksifinidil 3x2 mg. Triheksifenidil diindikasikan sebagai terapi
antikolinergik, setelah dipantau hingga hari ke-12 (sembilan) pasien masih mengalami
gelisah dan dilanjutkan dengan terapi sebelumnya
48
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Penegakan diagnosa stroke iskemik atau stroke hemoregik harus dilakukan
sesegara dan setepat mungkin karena kedua jenis stroke ini berbeda tata laksana
terapinya.
2. Berdasarkan kajian pengobatan yang dilakukan terhadap Tn. M, ada beberapa
masalah terkait obat yang diresepkan, yaitu terdapat indikasi penyakit pasien yang
perlu diterapi, adanya interaksi obat yang perlu dimonitoring, dan efek samping
obat.
3. Hari rawatan 10 pasien masih mengalami gelisah sehingga pasien ditambahkan
terapi Haloperidol dan Triheksifenidil.
4. Pasien diperbolehkan pulang pada hari ke 15 setelah masa rawatan dengan
membawa obat pulang yakni : asam folat 2x1, vitamin B komplek 3x1, KSR 2x1,
ambroxol 3x1, dulcolac suppositoria 2 supp pada malam hari, opilax syr 2x1 cth.
5.2 Saran
Sebaiknya pasien dilakukan pemeriksaan CT scan jika memungkinkan untuk
melihat seberapa parah tingkat pendarahan di otak pasien, sehingga bisa disesuaikan
untuk terapi obat dan penatalaksanaannya.
49
DAFTAR PUSTAKA
Agustina. E.2009. Prevalensi Stroke Iskemik Pada Pasien Rawat Inap Di RSUP
Fatmawati Jakarta Selatan. Skripsi Sarjana Kedokteran. Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta
Nastiti. 2012. Gambaran Faktor Risiko Kejadian Stroke pada Pasien Stroke
Rawat Inap di Rumah Sakit Krakatau Medika Tahun 2011. Jakart:
Universitas Indonesia.
50