Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN KASUS PROFESI FISIOTERAPI

MANAJEMEN FISIOTERAPI TERHADAP GANGGUAN GERAK DAN


FUNGSI GERAK AKIBAT NYERI PUNGGUNG BAWAH E.C
FRAKTUR KOMPRESI L3 SEJAK 10 TAHUN YANG
LALU DENGAN RIWAYAT HIPERURICEMIA
SEJAK 8 TAHUN YANG LALU

OLEH
ULI ASTUTI
R024211039

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI FISIOTERAPI


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2022
Lembar Pengesahan

Laporan kasus profesi fisioterapi interna di RS Pendidikan UNHAS Bagian Poli


Fisioterapi dengan judul “Manajemen Fisioterapi Terhadap Gangguan
Gerak dan Fungsi Gerak Akibat Nyeri Punggung Bawah E.C
Fraktur Kompresi L3 Sejak 10 Tahun Yang Lalu Dengan
Riwayat Hiperuricemia Sejak 8 Tahun Yang Lalu”
Pada tanggal 12 Oktober 2022

Mengetahui,

Clinical Educator Clinical Instructor

Hamisah, S.Ft., Physio., M.Biomed Nindrahayu, S.Ft., Physio


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang

telah melimpahkan rahmat dan anugerah-Nya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan laporan kasus ini sebagai pembuka pintu menyelesaikan studi,

laporan kasus berjudul “Manajemen Fisioterapi Terhadap Gangguan Gerak dan

Fungsi Gerak Akibat Nyeri Punggung Bawah E.C Fraktur Kompresi L3 Sejak

10 Tahun Yang Lalu Dengan Riwayat Hiperuricemia Sejak 8 Tahun Yang

Lalu”.

Sholawat dan taslim semoga tercurah atas Nabi Muhammad SAW

beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya. Penulis menyadari bahwa dalam

penyusunan laporan kasus ini masih banyak kekurangan dan keterbatasan,

namun berkat doa, bimbingan, arahan dan motivasi dari berbagai pihak, penulis

mampu menyelesaikan satu tahapan menyelesaikan studi. Harapan penulis

semoga laporan kasus yang diajukan ini dapat diterima dan diberi kritikan,

masukan yang mendukung sehingga penelitian penulis dapat berjalan dan

bermanfaat.

Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada penulis dan

semua pihak yang telah membantu dalam menyusun laporan kasus ini, besar

harapan dan doa penulis agar kiranya laporan kasus ini dapat diterima.

Makassar, Oktober 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................iii
DAFTAR ISI......................................................................................................iv
DAFTAR TABEL..............................................................................................vi
DAFTAR GAMBAR........................................................................................vii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................1
A. Latar Belakang..........................................................................................1

B. Tujuan Praktik...........................................................................................2

C. Manfaat Praktik.........................................................................................3

D. Tempat dan Waktu....................................................................................4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................5


A. Definisi......................................................................................................5

B. Biomekanik...............................................................................................6

C. Epidemilogi...............................................................................................8

D. Etiologi......................................................................................................9

E. Patofisiologi.............................................................................................15

F. Manifestasi Klinik...................................................................................17

G. Pemeriksaan Spesifik..............................................................................18

H. Penanganan Fisioterapi............................................................................20

BAB III MANAJEMEN FISIOTERAPI...........................................................24


A. Identitas Pasien........................................................................................24

B. Asesmen Fisioterapi................................................................................24

C. Diagnosis Fisioterapi...............................................................................28

D. Problem Fisioterapi.................................................................................28

E. Tujuan Fisioterapi....................................................................................29

F. Program Fisioterapi.................................................................................29

G. Evaluasi...................................................................................................30
H. Home Program........................................................................................30

I. Rencana Tindak Lanjut Proses Fisioterapi..............................................31

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................32
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar...............................................................25

Tabel 2. Intervensi Fisioterapi..................................................................................29

Tabel 3. Evaluasi Sebelum dan Sesudah Intervensi.................................................30

Tabel 4. Home Program...........................................................................................30

Tabel 5. Rencana Tindak Lanjut Fisioterapi............................................................31


DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Mobility Test of the Kidney.....................................................................20

Gambar 2. Manipulation of the Right Kidney Supine Position................................22

Gambar 3. Direct Manipulation of the Right Kidney Seated Position.....................22


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Hiperurisemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan kadar asam urat

serum di atas normal. Pada sebagian besar penelitian epidemiologi, disebut

sebagai hiperurisemia jika kadar asam urat serum orang dewasa lebih dari 7,0

mg/dl pada laki-laik dan lebih dari 6,0 mg/dl pada perempuan. Peningkatan kadar

asam urat ini bisa terjadi karena sintesis asam urat terlalu banyak

(overproduction), penurunan fungsi ginjal yang mengakibatkan penurunan eksresi

asam urat urin (underexcretion), atau gabungan keduanya. Kelebihan zat asam

urat yang berkepanjangan akan menyebabkan terbentuknya kristal-kristal

monosodium urat (MSU) pada sendi-sendi dan jaringan sekitarnya. Kristal-kristal

berbentuk seperti jarum ini mengakibatkan reaksi peradangan yang jika berlanjut

akan menimbulkan nyeri hebat yang disebut artritis gout (Brzezinska et al., 2021).

Asam urat adalah hasil akhir dari kumpulan purin eksogen dan metabolisme

purin endogen. Purin eksogen banyak didapatkan dari makanan, protein hewani

sangat berpengaruh dalam peningkatan purin ini. Purin endogen didapatkan dari

produksi asam urat dalam tubuh yang utamanya berasal dari hati, usus, dan

jaringan lainnya seperti otot, ginjal, dan endotelium pembuluh darah (Maiuolo et

al., 2016).

Prevalensi hiperurisemia adalah 1-4% dari seluruh populasi. Pada beberapa

negara prevalensinya dapat meningkat hingga 10%. Tiap tahunnya angka kejadian

asam urat yaitu 2,68 per 1000 orang. Angka terjadinya pada pria 2-6 kali lipat

daripada wanita. Di seluruh dunia angka terjadinya asam urat semakin meningkat
akibat dari buruknya kebiasaan makan seperti fast food, kurangnya melakukan

aktifitas dan olahraga, meningkatnya kasus obesitas dan metabolik sindrom

(Ragab et al., 2017).

Menurut WHO, penderita asam urat pada tahun 2007 mencapai 230 juta dan

angka tersebut di perkirakan akan meningkat tajam pada tahun 2020. Jumlah

penderita asam urat bertambah banyak dari tahun 2004 dan menyerang pada usia

pertengahan 40-59 tahun. Penyakit asam urat yang terus meningkat prevalensinya,

baik di negara maju maupun berkembang dan hanya sedikit penderita asam urat

yang terkontrol dengan baik (Yankusuma & Putri, 2016).

Menurut Riskesdas tahun 2013, prevalensi penyakit gout berdasarkan

diagnosa tenaga kesehatan di Indonesia 11,9% dan berdasarkan diagnosis atau

gejala 24,7% jika dilihat dari karakteristik umur, prevalensi tertinggi pada umur

≥75 tahun (54,8%). Penderita wanita juga lebih banyak (27,5%) dibandingkan

dengan pria (21,8%).

B. Tujuan Praktik

1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari laporan kasus ini memberikan pengalaman yang nyata

kepada penulis dalam penatalaksanaan fisioterapi pada kasus Hiperuricemia.

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari laporan kasus ini adalah penulis dapat melakukan:

a. Pengkajian pada kasus Hiperuricemia.

b. Analisis data pada kasus Hiperuricemia.


c. Perumusan diagnosa fisioterapi yang muncul pada kasus

Hiperuricemia.

d. Intervensi fisioterapi pada kasus Hiperuricemia.

e. Evaluasi tindakan fisioterapi pada kasus Hiperuricemia.

C. Manfaat Praktik

1. Manfaat bagi penulis

Memberikan pengalaman yang nyata terkait dengan penatalaksanaan

program fisioterapi pada kasus Hiperuricemia.

2. Manfaat bagi pasien dan keluarga

Keluarga pasien dapat mengetahui gambaran umum tentang

Hiperuricemia dan mampu memberikan perawatan secara mandiri di rumah

yang disesuaikan dengan program home program yang telah diajarkan oleh

fisioterapis.

3. Manfaat bagi institusi akademik

Dapat digunakan sebagai referensi bagi institusi pendidikan untuk

mengembangkan dan meningkatkan mutu pendidikan terutama pada kasus

Hiperuricemia di masa yang mendatang.

4. Manfaat bagi rumah sakit

Dapat dijadikan pedoman untuk mengevaluasi program pengobatan

penyakit dalam upaya peningkatan kesehatan serta peningkatan mutu

pelayanan kesehatan rumah sakit.

5. Manfaat bagi pembaca

Dapat memahami tentang penatalaksaan, perawatan, dan pencegahan

terhadap kasus Hiperuricemia.


D. Tempat dan Waktu

Praktik ini dilakukan sejak tanggal 03 – 14 Oktober 2022 yang bertempat di

RS Pendidikan UNHAS Bagian Poli Fisioterapi.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi

Hiperurisemia didefinisikan sebagai peningkatan kadar asam urat dalam

darah. Batasan hiperurisemia untuk pria dan wanita tidak sama tergantung dari

golongan umur. Seorang pria dewasa dikatakan menderita hiperurisemia bila

kadar asam urat serumnya lebih dari 7,0 mg/dl. Sedangkan hiperurisemia pada

wanita dewasa terjadi bila kadar asam urat serum di atas 6,0 mg/dl. Ginjal

merupakan organ yang berperan megendalikan kadar asam urat di dalam darah

agar selalu dalam batas normal. Organ ginjal mengatur pembuangan asam urat

melalui urin. Namun bila produksi asam urat menjadi sangat berlebihan atau

pembuangannya berkurang kadar asam urat di dalam darah menjadi tinggi,

keadaan ini disebut Hiperurisemia (Chi et al., 2020).

Asam urat memiliki hubungan erat dengan gangguan metabolisme purin yang

dapat memicu terjadinya peningkatan kadar asam urat dalam darah, Peningkatan

kadar asam urat ini dapat menyebabkan gangguan pada tubuh, seperti rasa nyeri

didaerah persendian yang sering, disertai dengan rasa nyeri yang teramat sangat

bagi penderitanya (Untari & Wijayanti, 2017)

Asam urat merupakan hasil metabolisme didalam tubuh yang kadarnya tidak

boleh berlebih, setiap individu memiliki asam urat didalam tubuh, karena pada

setiap metabolisme yang normal akan dihasilkan asam urat. Asam urat merupakan

hasil dari metabolisme akhir dari purin yaitu sebagai salah satu komponen asam

nukleat yang terdapat dalam inti sel tubuh (Andri & Yudha, 2017).

Menurut WHO asam urat merupakan bagian dari metabolisme purin, namun

apabila metabolisme terjadi secara tidak normal maka akan terjadi sebuah proses
penumpukan kristal dari asam urat pada persendian yang menyebabkan rasa sakit

yang cukup tinggi. Pada keadaan normal, kadar asam urat pada laki-laki mulai

meningkat setelah pubertas sedangkan pada perempuan kadar asam urat tidak

mengalami peningkatan sampai setelah menopause ini disebabkan karena estrogen

meningkatkan ekskrsi asam urat melalui ginjal. Setelah menopause, kadar asam

urat akan mengalami peningkatan seperti yang dialami pria (Fajarina, 2011 dalam

Kussoy, 2019).

Kadar asam urat tinggi atau hiperurisemia merupakan keadaan terjadinya

peningkatan kadar asam urat di atas normal dan juga merupakan suatu keadaan

dimana konsentrasi monosodium berlebih dalam kelarutannya dan lebih banyak

menyerang pada pria dibandingkan wanita (Andri & Yudha, 2017).

B. Biomekanik

1. Mobility

Mobility ginjal terjadi karena gerakan yang dibuat oleh diafragma dan

ritme dari pernapasan Selama pernapasan, ginjal bergerak 3 – 4 cm kearah

caudal mengikuti jalur dari psoas. Bagian upper/superior dari ginjal tertekan

kearah anterior dan ginjal bergerak kearah yang berlawanan arah (rotasi

eksternal). Pergerakan yang berbanding terbalik terjadi selama hembusan

napas. Kelenjar adrenalin bergerak dengan cara yang sama seperti

ginjal.Gerakan ginjal ini diulang lebih dari 20.000 kali per hari dengan jarak

total lebih dari 600m (Brzezinska et al., 2021).

2. Motility

Untuk pergerakan motility gerakannya mirip dengan pergerakan pada

mobility, kecuali kita tidak pernah merasakan goyangan maju dari kutub
superior ginjal selama melakukan motility. Untuk mendeteksi gerakan

motility, dibagi menjadi tiga komponen yaitu naik dan turun secara vertikal

pada ginjal. Kedua ialah rotasi internal dan eksternal yang lembut.

Selanjutnya yang ketiga ialah gerakan pendulum ke depan pada bagian

inferior dari kutub ginjal. Selama inhalasi, akan terasa suatu gerakan dari

mediocranial hingga ke laterocaudal berhubungan dengan rotasi kearah luar

atau pada saat inhalasi ginjal bergerak kearah caudal dan berotasi jauh dari

poros medial. Selama ekshalasi, ginjal bergerak/berpindah ke arah yang

berlawanan (Brzezinska et al., 2021).

Ginjal merupakan salah satu organ yang menempati rongga abdomen, berada

di bagian belakang dari perioteum serta terletak di kiri kanan dari kolumna

vertebralis. Ginjal pada tubuh manusia terdiri dari buah yaitu ginjal kanan dan

ginjal kiri. Pada ginjal kanan, batas atasnya ialah T12 sedangkan untuk batas

bawahnya L3. Sedangkan ginjal kiri, batas atasnya ialah T11 dan untuk batas

bawah dari ginjal kiri ialah sejajar dengan L2. Pada orang dewasa, ginjal memiliki

ukuran dengan panjang 11 – 12 cm dengan lebar 5 – 7 cm dan tebal sekitar 2,3 – 3

cm. Fungsi utama dari ginjal ialah memfiltrasi atau menyaring zat sisa hasil

metabolisme dan toksin dari darah serta mempertahankan keseimbangan cairan

dan eletrolit tubuh dimana nantinya akan dibuang melalui urin. Dalam hal ini,

ginjal berfungsi untuk pembentukan urin. Untuk orang dewasa yang sehat

memiliki 1200 ml darah yang mengalir ke kedua ginjal yang ada di tubuh

(Brzezinska et al., 2021).


C. Epidemilogi

Prevalensi hiperurisemia di dunia mengalami peningkatan. Berdasarkan

data dari National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES III),

menyebutkan bahwa hiperurisemia meningkat pada orang dewasa di Amerika

Serikat, yaitu 2,7% pada tahun 1994 dan menjadi 3,9% pada tahun 2008.

Berdasarkan data RISKESDAS 2013, Prevalensi tertinggi pada umur ≥75 tahun

(33% dan 54,8%), perempuan memiliki angka lebih tinggi yaitu (13,4%)

dibanding laki-laki (10,3). Sebagian besar penyebabnya diperkirakan akibat

kelainan proses metabolisme dalam tubuh dan 10% kasus dialami wanita

menopause karena gangguan hormon estrogen (Singh & Gaffo, 2020).

Prevalensi penyakit sendi berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan di

Indonesia 11,9% dan berdasarkan diagnosis atau gejala 24,7%. Prevalensi

berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan tertinggi di Bali (19,3%), diikuti Aceh

(18,3%), Jawa barat (17,5%), dan Papua (15,4%). Prevalensi penyakit sendi

berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan atau gejala tertinggi di Nusa Tenggara

Timur (33,1%), diikuti Jawa Barat (32,1%), dan bali (30%). Jika dilihat dari

karakteristik umur, Prevalensi penyakit sendi berdasarkan diagnosis tenaga

kesehatan di Indonesia 11,9% dan berdasarkan diagnosis atau gejala 24,7%.

Prevalensi berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan tertinggi di Bali (19,3%), diikuti

Aceh (18,3%), Jawa barat (17,5%), dan Papua (15,4%). Prevalensi penyakit sendi

berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan atau gejala tertinggi di Nusa Tenggara Timur

(33,1%), diikuti Jawa Barat (32,1%), dan bali (30%). Jika dilihat dari karakteristik

umur, prevalensi tertinggi pada umur ≥ 75 tahun (54,8%). Penderita wanita juga lebih
banyak (13,4 %) dibandingkan laki-laki (10,3%) demikian juga yang gejala pada

perempuan (27,5%) lebih tinggi daripada laki-laki (21,8).

Menurut WHO (World Health Organization) pada tahun 2015, prevalensi

penyakit gout di dunia mengalami peningkatan jumlah penderita hingga dua kali

lipat antara tahun 1990-2010. Pada orang dewasa, di Amerika Serikat penyakit

gout mengalami peningkatan sebanyak 8,3 juta (4%) orang. Penyakit gout

diperkirakan terjadi pada 840 orang dari 100.000 orang.

Berdasarkan hasil Kemenkes (2013) menunjukan, penyakit sendi di

Indonesia yang didiagnosis tenaga kesehatan sebesar 11,9% dan yang didiagnosis

berdasarkan diagnosis dan gejala sebesar 24,7%, sedangakn berdasarkan daerah

tertinggi di Nusa Tenggara Timur (NTT) sebesar 33,1%, diikuit oleh Jawa Barat

sebesar 32,1% dan Bali 30%. Di Sumatera Utara jumlah penduduk yang

menderita gout berjumlah 1.800.000 orang (14,5%) dari 12.333.974 jumlah

penduduk.

D. Etiologi

Penyebab hiperurisemia dan gout dapat dibedakan menjadi hiperurisemia

primer, sekunder, dan idiopatik. Hiperurisemia dan gout sekunder adalah

hiperurisemia atau gout yang disebabkan karena penyakit lain atau penyebab lain.

Hiperurisemia dan gout idiopatik adalah hiperurisemia yang tidak jelas penyebab

primer, kelainan genetik, tidak ada kelainan fisiologi atau anatomi yang jelas.

a) Hiperurisemia Primer

Hiperurisemia primer terjadi akibat kelainan molekul yang belum jelas

dan akibat kelainan enzim spesifik. Hiperurisemia akibat kelainan molekul


yang belum jelas paling banyak didapatkan, terdiri dari hiperurisemia akibat

penurunan ekskresi (80-90%) dan karena peningkatan produksi asam urat

(10-20%). Hiperurisemia primer akibat kelainan enzim spesifik diperkirakan

hanya 1% akibat peningkatan varian dari enzim phoribosylpyrophospatase

(PRPP) synthetase dan kekurangan enzim hypoxanthine

phosphoribosyltransferase (HPRT). Hiperurisemia primer akibat penurunan

ekskresi ada kemungkinan disebabkan karena faktor genetik dan

menyebabkan gangguan pengeluaran asam urat sehingga menyebabkan

hiperurisemia. Mekanisme bagaimana kelainan molekular di ginjal sehingga

menyebabkan gangguan pengeluaran asam urat belum diketahui,

kemungkinan disebabkan karena gangguan sekresi asam urat dari tubulus

ginjal (Hüzmeli et al. 2019).

Diperkirakan terdapat tiga mekanisme overproduction asam urat. Pertama,

kekurangan enzim menyebabkan kekurangan inosine monophosphate (IMP)

atau purine nucleotide yang mempunyai efek feedback inhibition proses

biosintesis denovo. Kedua, penurunan pemakaian ulang menyebabkan

peningkatan jumlah PRPP yang tidak dipergunakan. Peningkatan jumlah

PRPP menyebabkan biosintesis denovo meningkat. Ketiga, kekurangan enzim

HPRT menyebabkan hipoxantin tidak bisa diubah kembali menjadi IMP,

sehingga terjadi peningkatan oksidasi hipoxantin menjadi asam urat.

Kekurangan enzim HPRT diturunkan secara X-linked dan bersifat resesif,

sehingga didapatkan terutama pada laki-laki. Telah diketahui terjadi berbagai

jenis mutasi genetik dari kelainan enzim ini (Dehlin et al., 2020).

b) Hiperurisemia Sekunder
Hiperurisemia sekunder dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu

kelainan yang menyebabkan peningkatan biosintesis denovo, kelainan yang

menyebabakan peningkatan degradasi ATP atau pemecahan asam nukleat dan

kelainan yang menyebabakan underexcretion. Hiperurisemia sekunder karena

peningkatan biosintesis denovo terdiri dari kelainan karena kekurangan

menyeluruh enzim HPRT pada sindrom Lesh-Nyhan, kekurangan enzim

glucosa 6-phosphatase pada glycogen storage disease (Von Gierkee), dan

kelainan karena kekurangan enzim fructose-1-phosphate aldolase.

Kekurangan enzim HPRT akan menyebabkan peningkatan biosintesis denovo

sehingga terjadi hiperurisemia type overproduction. Sindrom ini terjadi pada

usia anak-anak dengan gejala hiperurisemia type overproduction dan gout

prematur bersifat gejala neurologis berupa retardasi mental berat, self

mutation, choreathetosis, dan spastisitas (Hüzmeli et al. 2019).

Hiperurisemia juga dapat disebabkan oleh penyakit glycogen storage

disease tipe III, V, dan VI yang disebut hiperurisemia miogenik. Aktivitas

fisik yang berat secara normal dapat menyebabkan hiperurisemia karena

terjadi pemecahan ATP dan adanya resorpsi abnormal pada ginjal. Pada

keadaan normal atau keadaan anaerob, aktivitas yang menyebabkan

peningkatan hasil pemecahan ATP berupa iosin, hipoxantin, dan didalam hati

dipecah menjadi xantin dan asam urat. Peningkatan pemecahan ATP

menyebabakn pembentukan asam urat meningkat dan laktic acidosis serta

renal tubular acidosis menyebabkan hambatan pengeluaran asam urat melalui

ginjal, sehingga terjadi hiperurisemia (Dehlin et al., 2020).


Beberapa penyakit atau kelainan dapat menyebabkan hiperurisemia

sekunder karena gangguan pengeluaran asam urat melalui ginjal

(underexcretion). Gangguan pengeluaran asam urat melalui ginjal dapat

melalui gangguan dalam filtrasi, reabsorbsi, sekresi, dan reasorbsi pasca

sekresi.

Hiperurisemia sekunder yang disebabkan karena underexcretion

dikelompokkan dalm beberapa kelompok yaitu karena penurunan masa.

ginjal, penurunan filtrasi glomerulus, penurunan fractional uric acid clearance

dan pemakaian obat-obatan. Hiperurisemia karena penurunan masa ginjal

disebabkan penyakit ginjal kronik yang menyebabkan gangguan filtrasi asam

uratl. Hiperurisemia karena penurunan filtrasi glomerulus dapat terjadi pada

dehidrasi dan diabetes insipidus. Hiperurisemia karena gangguan fractional

uric acid clearance adalah penyakit pada hipertensi, myxodema,

hiperparatiroid, sindrom Down, peningkatan asam organik seperti pada

latihan berat, kelaparan, peminum alkohol, keadaan ketoasidosi, lead

nephropaty, sarkoidosis, sindrom Barter dan keracunan berilium. Pemakaian

obat seperti obat diuretik dosis terapeutik, salisilat dosis rendah, pirasinamid,

etambutol, asam nikotinat dan siklosporin (Hüzmeli et al. 2019).

c) Hiperurisemia Idiopatik

Hiperurisemia idiopatik adalah hiperurisemia yang tidak jelas

penyebabnya primer, kelainan genetik, tidak ada kelainan fisiologi atau

anatomi yang jelas.


Menurut Misnadiarly (2007) ada beberapa penyebab meningkatnya kadar

asam urat di dalam tubuh antara lain :

1. Nutrisi

Asupan nutrisi merupakan salah satu fakor terbesar tercetusnya penyakit.

Beberapa penyakit seperti asam urat merupakan salah satu penyakit dimana

nutrisi/makanan merupakan faktor utama. Hampir semua makanan yang kita

konsumsi memiliki kadar purin hanya saja kadarnya berbeda. Purin yang

berasal dari makanan memiliki peranan 70-80% dalam pembentukan asam

urat di dalam tubuh. Sisanya sekitar 20-30% merupakan sintesis tubuh yang

dihasilkan dari bahan seperti glitamin, glisin, dan asam aspartat.

2. Obat- Obatan

Obat-obatan diuretika (furosemid dan hidroklorotiazida), obat kanker,

vitamin B12 dapat meningkatkan absorbsi asam urat di ginjal sebaliknya

dapat menurunkan ekskresi asam urat urin, sehingga tak jarang dapat

mengakibatkan kadar asam urat di dalam darah meningkat.

3. Obesitas

Berat badan merupakan salah satu penyebab meningkatnya kadar asam

urat di dalam tubuh. Dimana seseorang dengan kriteria obesitas mempunya

faktor resiko tinggi. Menurut Supariasa (2009), batasan indeks masa tubuh

berbeda-beda disetiap negara karena dipengaruhi berbagai faktor. Di

Indonesia, rentang indeks masa tubuh untuk pria adalah 20,1-25, dan untuk

wanita normalnya IMT pada seseorang adalah berkisar antara 18,50 – 24,99.

Diatas nilai tersebut yakni 25,00 – 29,99 sudah termasuk kategori pre

obesitas. Sedangkan nilai 30,00 – 40,00 bisa dikategorikan obesitas.


4. Riwayat Keluarga

Seseorang dengan riwayat genetik/keturunan yang mempunyai

hiperurisemia mempunyai risiko 1-2 kali lipat di banding pada penderita yang

tidak memiliki riwayat genetik/ keturunan. Kadar asam urat dikontrol oleh

beberapa gen (Purwaningsih, 2010). Analisis The National Heart, Lung, and

Blood Institute Family studies menunjukkan hubungan antara faktor

keturunan dengan asam urat sebanyak kira-kira 40% . Kelainan genetik FJHN

(Familial Juvenile Hiperuricarmic Nephropathy) merupakan kelainan yang

diturunkan secara autosomal dominant, dan secara klinis sering terjadi pada

usia muda. Pada kelainan ini, terjadi penurunan Fractional Uric Acid

Clearance (FUAC) yang menyebabkan penurunan fungsi ginjal secara cepat.

5. Usia & Jenis Kelamin

Kadar rata-rata asam urat di dalam darah dan serum tergantung usia dan

jenis kelamin. Asam urat tergolong normal apabila pria dibawah 7mg/dl dan

wanita dibawah 6mg/dl. Sebelum pubertas sekitar 3,5 mg/dl. Setelah pubertas

pada pria kadarnya meningkat secara bertahan dan dapat mencapai 5, mg/dl.

Pada perempuan, kadar asam urat biasanya tetap rendah , baru pada usia pra

menopause kadarnya meningkat mendekati kadar pada laki -laki, bisa

mencapai 4,7 mg/dl. Jadi faktor resiko hiperurisemia meningkat pada laki-laki

ketika usia pubertas sampai diatas usia 40tahun. Sedangkan pada perempuan

meningkat ketika usia pra menopause hal tersebut diakibatkan karena hormon

esterogen. Perempuan yang telah menopause dan memasuki masa usia lanjut

mengalami penurunan hormon estrogen sehingga terjadi ketidakseimbangan

aktivitas osteoblas dan osteoklas yang mengakibatkan penurunan massa


tulang sehingga menyebabkan tulang menjadi tipis, berongga, kekakuan

sendi, pengelupasan tulang rawan sendi sehingga terjadi nyeri sendi.

Perbedaan juga tergantung pada perbedaan struktur tulang dan ligamen,

seperti kekuatan dan keselarasan, kelemahan ligamen atau penurunan volume

tulang rawan pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki

E. Patofisiologi

Patofisiologinya hiperurisemia atau peningkatan asam urat terjadi akibat

produksi asam urat yang berlebih, pembuangan asam urat yang kurang atau

kombinasinya. Peningkatan produksi asam urat terjadi akibat peningkatan

kecepatan biosintesa purin dari asam amino untuk membentuk inti sel DNA dan

RNA. Hal ini disebabkan kelainan produksi enzim yaitu Hipoxantin guanine

fosforibosil transferase (HGPRT) dan kelebihan aktivitas enzim Fosforibosil piro

fosfatase (PRPP) sehingga terjadi kelainan metabolisme purin (inborn errors of

purin metabolism). Kekurangan enzim HGPRT dapat menyebabkan akumulasi

PRPP dan penggunaan enzim PRPP untuk inhibisi umpan balik menurun sehingga

semua hipoxantin akan digunakan untuk memproduksi asam urat. Selain itu

aktivitas berlebih enzim PRPP akan menyebabkan pembentukan nukleotida asam

guanilat (GMP) dan Adenilat deaminase (AMP) menurun sehingga menstimulasi

proses inhibisi umpan balik yang akibatnya meningkatkan proses pembentukan

asam urat. Keadaan ini ditemukan pada mereka yang memiliki kelainan herediter

(genetik).

Asam urat akan meningkat dalam darah jika ekskresi atau pembuangannya

terganggu. Sekitar 90% penderita hiperurisemia mengalami gangguan ginjal

dalam pembuangan asam urat ini. Biasanya penderita gout mengeluarkan asam
urat 40% lebih sedikit dari orang normal. Dalam kondisi normal, tubuh mampu

mengeluarkan 2/3 asam urat melalui urin (sekitar 300 sampai dengan 600mg

perhari). Sedangkan sisanya diekresikan melalui saluran gastrointestinal. Asam

urat larut dalam plasma darah sebagai monosodium urat yang pada suhu 370C

kelarutannya dalam plasma sebanyak 7 mg/dl. Secara normal, pengeluaran asam

urat seecara otomatis akan lebih banyak jika kadarnya meningkat dalam darah

akibat asupan purin dari luar atau pembentukan purin. Tapi pada penderita gout

kadar asam urat tetap lebih tinggi 1-2 mg/dl dibandingkan orang normal.

Di dalam tubuh, terdapat enzim urikinase untuk mengoksidasi asam urat

menjadi alotinin yang mudah dibuang. Apabila terjadi gangguan pada enzim

urikinas akibat proses penuaan atau stress maka terjadi hambatan pembuangan

asam urat sehingga kadar asam urat akan naik dalam darah. Hambatan

pembuangan asam urat juga terjadi akibat gangguan fungsi ginjal. Pembuangan

asam urat terganggu akibat penurunan proses filtrasi ginjal di glomerulus ginjal,

penurunan ekskresi dalam tubulus ginjal dan peningkatan absorpsi kembali.

Penurunan filtrasi tidak langsung menyebabkan hiperurisemia, namun berperan

dalam meningkatkan kadar asam urat pada penderita gangguan ginjal. Penurunan

ekskresi pada tubulus ginjal disebabkan karena akumulasi asam-asam organik lain

yang berkompetisi dengan asam urat untuk diekskresikan. Hal ini terjadi pada

keadaan starvasi, asidosis, keracunan dan pada penderita diabetes. Hiperurisemia

yang terjadi karena peningkatan reabsopsi asam urat banyak dialami oleh

penderita diabetes dan terapi kerusakan ginjal biasanya hal ini berkaitan dengan

herediter.
Kombinasi asam urat berlebih dan pembuangan yang berkurang. Mekanisme

kombinasi keduanya terjadi pada kelainan intolerans fruktosa, defisiensi enzim

tertentu yaitu Glukosa 6-fosfat. Pada kelainan tersebut akan diproduksi asam

laktat berlebihan, pembuangan asam urat menjadi menurun karena berkompetisi

dengan asam laktat dan hiperurisemia menjadi lebih parah. Kekurangan enzim

glukose 6-fosfat biasanya menyebabkan hiperurisemia sejak bayi dan menderita

gout usia muda.

F. Manifestasi Klinik

Pada umumnya serangan pertama terjadi pada satu bagian sendi lalu serangan

akan dengan cepat menghilang. Serangan berikutnya dapat terjadi lagi namun

dalam jangka waktu yang lama hingga bertahun-tahun. Serangan awal yang

dengan cepat menghilang ini membuat banyak para penderitanya tidak menyadari

bahwa telah mengalami gejala asam urat (Misnadiarly, 2007 dalam Komariah,

2017).

a. Akut, serangan awal gout berupa nyeri berat, terjadinya pembengkakan,

berlangsung cepat dan lebih sering sering dijumpai pada ibu jari atau jempol

kaki. Ada kalanya serangan disertai kelelahan, sakit kepala dan demam.

b. Interkrit, tahap ini adalah tahap yang terjadi diantara serangan asam urat akut,

namun sakit peradangan berikutnya mungkin tidak terjadi selama berbulan-

bulan atau bertahun-tahun.

c. Ikal, stadium ini merupakan kelanjutan dari stadium akut, dimana pada

periode ini terjadi interkritikal asimtomatik, namun secara klinik tidak dapat

ditemukan tanda-tanda radang akut.


d. Kronis, pada tahap kronis terjadi penumpukan tofi (monosodium urat) dalam

jaringan yaitu dibagian telinga, pangkal jari dan ibu jari kaki.

e. Tanda dan gejala asam urat yang sering dialami berupa rasa nyeri di

persendian yang terjadi secara mendadak, biasanya terjadi pada malam hari

atau menjelang pagi.

f. Gejala lain yang muncul diantaranya terjadinya kemerahan dan

pembengkakan pada bagian yang diserang.

g. Terjadinya demam disertai kedinginan

h. Irama detak jantung yang berubah menjadi cepat.

G. Pemeriksaan Spesifik

1. Pemeriksaan laboratorium

Seseorang dikatakan menderita asam urat ialah apabila pemeriksaan

laboratorium menunjukkan kadar asam urat dalam darah diatas 7 mg/dL

untuk pria dan lebih dari 6,5 mg/dL untuk wanita (Andrabeni & Probosari,

2019). Bukti adanya kristal urat dari cairan sinovial atau dari topus melalui

mikroskop polarisasi sudah membuktikan, bagaimanapun juga pembentukan

topus hanya setengah dari semua pasien dengan gout. Pemeriksaan gula darah

dilakukan untuk mendeteksi ada dan tidaknya penyakit diabetes mellitus.

Ureum dan kreatinin diperiksa untuk mengetahui normal dan tidaknya fungsi

ginjal. Sementara itu pemeriksaan profil lemak darah dijadikan penanda ada

dan tidaknya gejala aterosklerosis.

2. Pemeriksaan cairan sendi

Pemeriksaan cairan sendi dilakukan di bawah mikroskop. Tujuannya ialah

untuk melihat kristal urat atau monosodium urat (kristal MSU) dalam cairan
sendi. Untuk melihat perbedaan jenis artritis yang terjadi perlu dilakukan

kultur cairan sendi

3. Pemeriksaan radiografi

Pemeriksaan ini baiknya dilakukan pada awal setiap kali pemeriksaan

sendi. Dan jauh lebih efektif jika pemeriksaan rontgen ini dilakukan pada

penyakit sendi yang sudah berlangsung kronis. Pemeriksaan rontgen perlu

dilakukan untuk melihat kelainan baik pada sendi maupun pada tulang dan

jaringan di sekitar sendi.

4. Visual Listening Technique (VLT)

General listening merupakan diagnosis yang melibatkan penggunaan

tangan pada tubuh pasien dengan teknik “mendengarkan”. Sedangkan local

listening merupakan teknik diagnosis dengan cara mendengarkan secara lokal

pada area yang dirasakan organnya mengami gangguan. Jika dilakukan tes

kemudian pasien mengeluhkan rasa sakit, dapat saja disimpulkan baah organ

mengalami restriktif atau adhesive sehingga gerakan mobility dan motility

terganggu. Ketika melakukan palpasi pada organ yang mengalami gangguan,

tangan akan ketarik ke area yang terganggu karena organ akan bergerak jauh

lebih sedikit daripada yang sehat (Barral, 2007).

Untuk tes mobilitas, temukan aspek anteroinferior ginjal untuk di palpasi

setelah itu pasien menarik napas dan rasakan ginjal mendorong ke bawah

terhadap jari-jari. Tes ini dilakukan dalam posisi terlentang. Tes mobilitas

digunakan sebagian besar untuk menentukan lokasi ginjal. Ginjal yang

prolaps bisa menjadi mobile tetapi masih kehilangan motilitasnya. Ginjal


yang tidak bergerak telah kehilangan vitalitasnya dan fungsi terganggu

(Kurniawan & Sulaiman, 2019).

Gambar 1. Mobility Test of


the Kidney
Sumber : Barral, 2007
H. Penanganan Fisioterapi

Adapun peran fisioterapi menurut Aras, (2017) adalah sebagai berikut:

1. Melakukan pemeriksaan fisioterapi

Dalam penegakan diagnosis fisioterapi untuk problem terkait fisioterapi

pada pasien dengan kasus tumor paru, seorang fisioterapis dapat melakukan

proses pemeriksaan. Salah satunya dengan menggunakan model CHARTS

dengan makna akronim yakni (Chief of complaint, History taking,

Assymetry, Restrictif, Tissue impairment and psychogenic, Spesific test)

(Aras, 2017).

2. Diagnosis fisioterapi

Setelah melakukan pemeriksaan, maka fisioterapis dapat menegakkan

diagnosa fisioterapi. Fisioterapis harus tetap menegakkan diagnosanya sendiri

yang terkait dengan masalah gerak dan fungsi gerak pasien. Diagnosis

fisioterapi adalah penentuan jenis kelainan atau gangguan gerak dan fungsi

gerak tubuh yang disusun berdasarkan pengkajian berupa pemeriksaan

fisioterapi yang ilmia dan berbasis bukti (Aras, 2017).


3. Program Fisioterapi

Program fisioterapi merupakan tindakan fisioterapis yang tersusun secara

sistematis yang diambil dari karakter-karakter problem fisioterapi yang terkait

dengan gangguan gerak dan fungsi gerak suatu kondisi atau patofisiologi

tertentu susunannya terdiri atas problem primer, sekunder dan kompleks.

Dengan adanya program fisioterapi yang disusun secara tertulis ini, maka

tindakan fisioterapi akan lebih terarah dan terjadwal (Aras, 2017).

4. Intervensi fisioterapi

Intervensi fisioterapi adalah penerapan program fisioterapi yang telah

disusun dan direncanakan. Intervensi fisioterapi harus dilakukan dengan baik

dan benar agar tercapai hasil terapi yang diinginkan sehingga pasien

mengalami kemajuan dari waktu ke waktu, sehingga membantu pasien agar

mampu melakukan aktivitas fungsional sehari hari dengan baik (Aras, 2017).

Adapun intervensi yang disusun adalah sebagai berikut:

a. Manipulation of the Right Kidney Supine Position

Pasien berbaring telentang di atas meja dengan pinggul dan lutut

ditekuk untuk mengendurkan dinding perut. Berdiri di sebelah kiri

pasien, Palpasi sekum dengan tiga jari dan kemudian geser ke medial,

mendorong kembali loop jejunoileum. Jeda saat jari berada sepertiga

dari jalan sepanjang garis horizontal yang menghubungkan ke kanan

ASIS ke garis median, dan di lateral tepi psoas. Pindahkan di

sepanjang garis yang berakhir pada prosesus xiphoid. Minta pasien

untuk bernapas perlahan, mendorong ke inferior ke atas sepanjang


sumbu longitudinal ginjal selama ekspirasi, dan mempertahankan

posisi ini sebanyak mungkin selama inhalasi ulangi ini 5-10 kali.

Gambar 2.
Manipulation of the Right Kidney Supine Position
Sumber : Barral, 2007

b. Direct Manipulation of the Right Kidney Seated Position

Pasien relaks baring di tempat tidur, Berdiri di sisi superior pasein,

letakkan tangan pada kutub inferior ginjal menggunakan tiga jari.

Secara bertahap, kulit bergerak ke atas, melokalisasi puncak kyphosis

lumbal lebih tinggi dan lebih tinggi. Ketika berada dalam posisi untuk

memobilisasi ginjal, puncaknya harus terlokalisasi di T l2/11. Ini

memungkinkan untuk memiliki kontak yang baik menunjuk ke kutub

inferior ginjal dan relaksasi perut maksimal. Kemudian lakukan teknik

langsung, dengan menghembuskan napas.

Gambar 3. Direct
Manipulation of the Right Kidney Seated Position
Sumber: Barral, 2007

5. Evaluasi fisioterapi

Setelah melakukan tindakan intervensi fisioterapi kepada pasien, maka

untuk melihat hasil intervensi terhadap perkembangan kondisi pasien, maka

perlu dilakukan evaluasi.Evaluasi tersebut dapat dilakukan setiap selesai

melakukan intervensi dan atau dilakukan setelah beberapa kali tindakan

intervensi, biasanya setiap tiga kali dan atau setelah enam kali setelah

tindakan fisioterapi. Dengan melakukan evaluasi, maka fisioterapis dapat

mengetahui kadar perubahan patofisiologi dan keefektifan suatu modalitas

intervensi yang diberikan pasien sebagai dasar perencanaan fisioterapi lebih

lanjut (Aras, 2017).


BAB III
MANAJEMEN FISIOTERAPI
A. Identitas Pasien

Nama : Ny. H
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 53 thn
Agama : Islam
Alamat : Nusa Tamalanre Indah
Pekerjaan : IRT
Hobi : Memasak

B. Asesmen Fisioterapi

1. Chief of Complain (C)


Nyeri punggung bawah disertai peningkatan kadar asam urat
2. History Taking (H)

Pasien mengalami fraktur kompresi sejak 10 tahun yang lalu. Sejak itu
pasien sering mengalami nyeri punggung bawah. pasien sudah rutin ke
fisioterapi sejak satu tahun yang lalu dengan keluhan nyeri punggung
bawah. pasien memiliki riwayat asam urat sejak 8 tahun yang lalu dan
mengontrol makanannya, dimana pasein tidak lagi mengomsumsi biji-
bijian dan makanan yang dapat meningkatkan kadar asam urat. Jika pasien
mengomsumsi makanan yang dapat mengingkatkan kadar asam urat,
pergelangan kaki pasien akan mengalami pembengkakan. Pasien tidak
mengonsumsi obat untuk kadar asam urat yang tinggi. Pasein rutin
melakukan pemeriksaan asam urat di rumah dengan menggunakan
easytouch pemeriksaan asam urat, hasil paling tinggi adalah 9 mg/dl dan
pemeriksaan bulan september iyalah 7 mg/dl.

3. Asymmetric (A)
a. Inspeksi Statis
1) Pasien tampak pre-obesitas
b. Inspeksi Dinamis
1) Pola berjalan Pasien nampak tidak simetris
c. Palpasi

a) Suhu : DBN
b) Oedem : (-) Tidak terdapat Oedem
c) Tenderness: (+) pada erektor spine
d) Kontur kulit: (-) Normal
d. Tes Orientasi
a) Merubah posisi,balik kanan dan kiri : terdapat nyeri
b) Baring – duduk : mampu terdapat nyeri.
c) Duduk - Berdiri : mampu namun terdapat nyeri minimal
d) Berdiri - duduk : mampu tanpa nyeri
e) Berjalan : mampu namun disertai sedikit nyeri pada lumbal
e. Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar (PFGD

Tabel 1. Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar


Aktif Pasif TIMT
Gerakan
Dx Sin Dx Sin Dx Sin
Lumbal
Sedikit nyeri,
Full ROM, tidak
Fleksi Full ROM, nyeri mampu melawan
ada nyeri
tahanan
Sedikit nyeri,
Full ROM, tidak
Ekstensi Full ROM, nyeri mampu melawan
ada nyeri
tahanan
Lateral
Full ROM, tidak ada Full ROM, tidak Mampu melawan
Fleksi
nyeri ada nyeri tahanan minimal
Dextra
Lateral
Full ROM, tidak ada Full ROM, tidak Mampu melawan
Fleksi
nyeri ada nyeri tahanan minimal
Sinistra
Sedikit nyeri,
Full ROM, sedikit
Rotasi Full ROM, nyeri mampu melawan
nyeri
tahanan
Hip Joint
Mampu Mampu
Full
Full Full Full melawa melawa
ROM,
ROM, ROM, ROM, n n
Fleksi tidak
tidak ada tidak ada tidak ada tahanan tahanan
ada
nyeri nyeri nyeri maksim maksim
nyeri
al al
Ekstensi Full Full Full Full Mampu Mampu
melawa melawa
ROM,
ROM, ROM, ROM, n n
tidak
tidak ada tidak ada tidak ada tahanan tahanan
ada
nyeri nyeri nyeri maksim maksim
nyeri
al al
Mampu Mampu
Full
Full Full Full melawa melawa
ROM,
ROM, ROM, ROM, n n
Adduksi tidak
tidak ada tidak ada tidak ada tahanan tahanan
ada
nyeri nyeri nyeri maksim maksim
nyeri
al al
Mampu Mampu
Full
Full Full Full melawa melawa
ROM,
ROM, ROM, ROM, n n
Abduksi tidak
tidak ada tidak ada tidak ada tahanan tahanan
ada
nyeri nyeri nyeri maksim maksim
nyeri
al al
Mampu Mampu
Full
Full Full Full melawa melawa
ROM,
Eksorota ROM, ROM, ROM, n n
tidak
si tidak ada tidak ada tidak ada tahanan tahanan
ada
nyeri nyeri nyeri maksim maksim
nyeri
al al
Mampu Mampu
Full
Full Full Full melawa melawa
ROM,
Endorota ROM, ROM, ROM, n n
tidak
si tidak ada tidak ada tidak ada tahanan tahanan
ada
nyeri nyeri nyeri maksim maksim
nyeri
al al
Knee Joint
Full Mampu Mampu
Full Full Full
ROM, melawa melawa
ROM, ROM, ROM,
Fleksi tidak n n
tidak ada tidak ada tidak ada
ada tahanan tahanan
nyeri nyeri nyeri
nyeri minimal minimal
Full Mampu Mampu
Full Full Full
ROM, melawa melawa
ROM, ROM, ROM,
Ekstensi tidak n n
tidak ada tidak ada tidak ada
ada tahanan tahanan
nyeri nyeri nyeri
nyeri minimal minimal
Ankle Joint
Full Full Full Full Mampu Mampu
ROM, ROM, ROM, ROM, melawa melawa
Dorso tidak ada tidak ada tidak ada tidak n n
Fleksi nyeri nyeri nyeri ada tahanan tahanan
nyeri minimal minimal

Plantar Full Full Full Full Mampu Mampu


ROM, ROM, ROM, ROM, melawa melawa
tidak ada tidak ada tidak ada tidak n n
Fleksi nyeri nyeri nyeri ada tahanan tahanan
nyeri minimal minimal

Full Full Full Full Mampu Mampu


ROM, ROM, ROM, ROM, melawa melawa
Inversi tidak ada tidak ada tidak ada tidak n n
nyeri nyeri nyeri ada tahanan tahanan
nyeri minimal minimal

Full Full Full Full Mampu Mampu


ROM, ROM, ROM, ROM, melawa melawa
Eversi tidak ada tidak ada tidak ada tidak n n
nyeri nyeri nyeri ada tahanan tahanan
nyeri minimal minimal

4. Restrictive (R)

a. Limitasi ROM : Tidak ada


b. Limitasi ADL : Berjalan (Pola berjalan)
c. Limitasi Pekerjaan: Tidak ada
d. Limitasi Rekreasi : Tidak ada
5. Tissue Impairment (T)

a) Muskulotendinogen : Muscle spasme erector spine


b) Osteoarthrogen : Fraktur kompresi L3
c) Neurogen : (-)
d) Psikogenik : Kecemasan
6. Spesific Test (S)
a. Visual Analog Scale (VAS)
1) Nyeri diam : 0
2) Nyeri tekan : erector spine 4
3) Nyeri gerak : Lumbal 3
b. Visual Listening Test (VLT)
Adanya restriktif pada ginjal kanan.
c. Tes Sensasi
1) Tajam-Tumpul: Normal.
2) Kasar-Halus : Normal.
d. Gait Analysis
Hasil : Hilangnya fase heel-off
Interpretasi : Gangguan pola berjalan

e. Easytouch pemeriksaan asam urat (September)


Hasil : 7 mg/dl
f. Palpasi
g. MMT 5 5
Hasil : 4 4

h. Skala jatuh MORSE (morse fall scale)


Hasil : 20
Interpretasi : Resiko Jatuh Rendah
C. Diagnosis Fisioterapi
Adapun diagnosis fisioterapi yang ditegakkan dari hasil pengukuran
dan pemeriksaan fisioterapi yang dilakukan yaitu “Manajemen fisioterapi
terhadap gangguan gerak dan fungsi gerak akibat nyeri punggung bawah
e.c fraktur kompresi L3 sejak 10 tahun yang lalu dengan riwayat
hiperuricemia sejak 8 tahun yang lalu”
D. Problem Fisioterapi
a. Primer : Restriktif ginjal kanan

b. Sekunder : Nyeri pada Erector Spine

c. Kompleks : Walking (pola berjalan) dan Balancing.


E. Tujuan Fisioterapi
1. Tujuan jangka pendek : Mengatasi restriktif ginjal kanan,
Mengatasi muscle spasme (muscle erector spine) dan gangguan
keseimbangan
2. Tujuan jangka panjang : Mengembalikan ADL berupa walking.

F. Program Fisioterapi

Tabel 2. Intervensi Fisioterapi


Problem FT Modalitas FT Dosis
F: 1x/terapi
Muscle Spasme Elektrotherapy I : 50 Hz
T : SWD
T : 8 menit

Elektrotherapy F : 1x/terapi
Nyeri pada erector I : 45,3 mA
spine (TENS, pain
T : Co-pad
manajement)
T : 2 menit
F : 1x/terapi

Exercise Therapy I : 6 hit 3 rep


T : Bridging Exercise
Gangguan
T : 1 menit
keseimbangan F : 1x/terapi

Exercise Therapy I : 6 hit 3 rep


T : Single leg exercise
T : 1 menit
Restriktif Ginjal Manual Therapy F : 1x/hari
Kanan (Asam Urat I : batas kemampuan pasien
Meningkat) T : manipulation of right kidney
T : 5 menit
F: 2x/minggu

Limitasi ADL ADL Exercise I : batas kemampuan pasien


T: Gait training
T: 3 menit
G. Evaluasi
Tabel 3. Evaluasi Sebelum dan Sesudah Intervensi
Problem Sebelum Setelah Intervensi Keterangan
Intervensi
Kelemahan 5 5 5 5 Terjadi
otot 4 4 4+ 4+ peningkatan
(MMT)
Balancing 10 detik 20 detik Terjadi
(Bridging peningkatan
test)
Balancing 5 detik 15 detik Terjadi
(single leg peningkatan
stance test)
H. Home Program
Edukasi pasien untuk melakukan latihan sebagai berikut:

Tabel 4. Home Program


F : 1x/hari

Exercise Therapy I : 6 hit 3 rep


T : Bridging Exercise
T : 1 menit
F : 1x/hari

Exercise Therapy I : 6 hit 3 rep


T : Single leg exercise
T : 1 menit
F: 1x/hari

ADL Exercise I : batas kemampuan pasien


T: Gait training
T: 3 menit
I. Rencana Tindak Lanjut Proses Fisioterapi
Tabel 5. Rencana Tindak Lanjut Fisioterapi
Problem FT Modalitas FT Dosis
F : 1x/terapi
Mencegah Muscle I : 8 hit 3 rep
Exercise Therapy
Weakness T : Strengthening exercise
T : 2 menit
F : 1x/terapi

Exercise Therapy I : 6 hit 3 rep


T : Bridging Exercise
Gangguan
T : 1 menit
keseimbangan F : 1x/terapi

Exercise Therapy I : 6 hit 3 rep


T : Single leg exercise
T : 1 menit
F: 1x/terapi

ADL Exercise I : batas kemampuan pasien


T: Step Box Excercise

Limitasi ADL T: 3 menit


F: 1x/terapi

Exercise Therapy I : batas kemampuan pasien


T: Gait Training
T: 3 menit
DAFTAR PUSTAKA
ABehm, D. G. et al. (2021) ‘Non-local Acute Passive Stretching Effects on Range
of Motion in Healthy Adults: A Systematic Review with Meta-analysis’,
Sports Medicine. Springer International Publishing, 51(5), pp. 945–959. doi:
10.1007/s40279-020-01422-5.

Daulay, N. M., Hidayah, A. and Santoso, H. (2021) ‘Pengaruh Latihan Range Of


Motion ( ROM ) Pasif Terhadap Kekuatan Otot dan Rentang Gerak Sendi
Ekstremitas Pada Pasien Pasca Stroke’, Jurnal Kesehatan Ilmiah Indonesia,
6(1), pp. 22–26.

Hlaing, S. S. et al. (2021) ‘Updates on core stabilization exercise and


strengthening exercise: A review article’, Asia-Pacific Journal of Science and
Technology, 26(4).

Lenz, M. et al. (2022) ‘Comparison of Different Approaches in Lumbosacral


Spinal Fusion Surgery: A Systematic Review and Meta-Analysis’, Asian Spine
Journal, 16(1), pp. 141–149. doi: 10.31616/ASJ.2020.0405.

Rashid, S. A. et al. (2022) ‘Muscle activation patterns around knee following


neuromuscular training in patients with knee osteoarthritis: secondary analysis
of a randomized clinical trial’, Archives of Physiotherapy. BioMed Central,
12(1), pp. 1–10. doi: 10.1186/s40945-022-00140-7.

Andrabeni, L., & Probosari, E. (2019). Perbedaan kadar asam urat pada wanita
lansia dan persen lemak tubuh obesitas dan non-obesitas. Journal of
Nutrition COllege, 8, 231–237.
Hebgen, E. U. (2011). Visceral Manipulation in Ostheopathy. Thieme Publishing
Group.
Dehlin, M., Jacobsson, L., & Roddy, E. (2020). Global epidemiology of gout:
prevalence, incidence, tratment patterns and risk factors. Nature Reviews
Rheumatology Volume, 16, pages380–390.
Hüzmeli, C., Timucin, M., Güllü, M., & Öztürk, K. (2019). Prevalence of Chronic
Kidney Disease and Hyperuricemia In Gout Arthritis Patients. Acta Medica
Alanya, 3(1), 54–58. https://doi.org/10.30565/medalanya.505058
Huang, J., Ma, Z. F., Tian, Y., & Lee, Y. Y. (2020). Epidemiology and Prevalence
of Gout in Mainland China: an Updated Systematic Review and Meta-
Analysis. SN Comprehensive Clinical Medicine, 2(9), 1593–1606.
https://doi.org/10.1007/s42399-020-00416-8
Mattiuzzi, C., & Lippi, G. (2020). Recent updates on worldwide gout
epidemiology. Clinical Rheumatology, 39(4), 1061–1063.
https://doi.org/10.1007/s10067-019-04868-9
Singh, J. A., & Gaffo, A. (2020). Gout epidemiology and comorbidities. Seminars
in Arthritis and Rheumatism, 50(3), S11–S16.
https://doi.org/10.1016/j.semarthrit.2020.04.008
Vaidya, B., Bhochhibhoya, M., & Nakarmi, S. (2018). Synovial fluid uric acid
level aids diagnosis of gout. Biomedical Reports, 9(1), 60–64.
https://doi.org/10.3892/br.2018.1097
Yin, C., Liu, B., Wang, P., Li, X., Li, Y., Zheng, X., Tai, Y., Wang, C., & Liu, B.
(2020). Eucalyptol alleviates inflammation and pain responses in a mouse
model of gout arthritis. British Journal of Pharmacology, 177(9), 2042–
2057. https://doi.org/10.1111/bph.14967
Kurniawan, I., & Sulaiman. (2019). Exercise Relationship, Stress and Eating
Patterns with Hypertension Levels in Posyandu Lansia In Sudirejo Village I
Sub District Medan City. Journal of Health Science and Prevention, 1(1),
10–17.

Anda mungkin juga menyukai