Anda di halaman 1dari 28

Nama : Uswatun Hasanah

Npm : 200106107

Kelas : Farmasi C

Tugas Mata Kuliah : Menejemen Farmasi 1

Uraikan UU Berikut ini !

1.UU Obat Keras (St.No.419 tgl 22Desember 1949)

2. UU 3 Th 1953 tentang Pembukaan Apotek (Lembaran Negara Th 1953 No 18);

3. UU No. 7 Th 1963 tentang Farmasi (LN Th 1963 No.81, Tambahan LN No2580)

4. UU No. 23 Th 1992 Tentang: Kesehatan (mencabut UU No 3 Th 1953 dan UU No 7


th 1963)

5. UU No. 5 Th 1997 tentang Pssikotropika

6. UU No. 35 Th 2009 tentang Narkotika (mencabut UU no 22 tahun 1997)

7. UU No. 8 Th 1999 tentang Perlindungan Konsumen

8. UU No. 29 Th 2004 tentang: Praktik Kedokteran

9. UU No. 36 Th 2009 Tentang : Kesehatan (mencabut UU 23 tahun 1992)

10. Permenkes No. 688/Menkes/PER/VII/1997 tentang peredaran Psikotropika

11. Permenkes No. 284 Tahun 2007 ttg APOTEK RAKYAT

12. Permenkes No. 1148/MENKES/PER/VI/2011 Ttg PEDAGANG BESAR


FARMASI

13. Permenkes No 889 Th 2011 ttg Registrasi ijin kerja, ijin praktek, Tenaga
kefarmasian

14. Permenkes No 73 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Farmasi Di Apotek

15. Permenkes No. 9 Tahun 2017 Tentang Apotek


1. UNDANG-UNDANG OBAT KERAS(St. No. 419 tgl. 22 Desember 1949
Pasal I

Yang dimaksud dalam ordonansi ini dengan :

a. “ Obat-obat keras “ yaitu obat-obatan yang tidak digunakan untuk keperluan tehnik,
yang mempunyai khasiat mengobati, menguatkan, membaguskan, mendesinfeksikan dan
lain-lain tubuh manusia, baik dalam bungkusan maupun tidak, yang ditetapkan oleh
Secretaris Van Staat, Hoofd van het Departement van Gesondheid, menurut ketentuan
pada Pasal 2.

b. “Apoteker “ : Mereka yang sesuai dengan peraturan yang berlaku mempunyai


wewenang untuk menjalankan praktek peracikan obat di Indonesia sebagai seorang
Apoteker sambil memimpin sebuah Apotek.

c. “Dokter pemimpin Apotek” : yaitu Dokter-dokter yang memimpin Apotek Dokter


sesuai dengan Pasal 49 dari “Reglement D.V. G”.

d. “Dokter-dokter” : Mereka yang menjalankan praktek-praktek pengobatan dan yang


memegang wewenang menurut peraturanperaturan yang berlaku.

e. “Dokter-dokter Gigi” : Mereka yang menjalankan praktek-praktek pengobatan Gigi


dan yang memegang wewenang menurut peraturanperaturan yang berlaku.

f. “Dokter-dokter Hewan” :

1. Mereka yang menjalankan pekerjaan Kedokteran Hewan di Indonesia dan


berijazah Dokter Hewan Belanda.

2. Mereka yang menjalankan kedokteran Hewan di Indonesia yang memegang


Ijazah dari Negara lain dan kemudian diberi izin menjalankan praktek di tanah
Belanda atau dapat diangkat sebagai Dokter Hewan pemerintah.

3. Mereka yang menjalankan pekerjaan Kedokteran Hewan di Indonesia dan


berijazah Dokter Hewan Bogor.
g. ”Pedagang-pedagang Kecil yang diakui” : Mereka yang bukan AApoteker atau Dokter,
atau Dokter Hewan yang sesuai dengan Pasal 6.

Pasal 2

(1). Sec. V. St. mempunyai wewenang untuk menetapkan bahan-bahan sebagai obat-obat
keras.

(2). Penetapan ini dijalankan denganb menempatkan bahan-bahan itu pada suatu daftar G
ataudaftar W.

(3). Daftar G dan W beserta tambahan-tambahannya diumumkan oleh Sec. V. St. dalam
Javase-Courant.

(4). Penetapan ini dianggap telah berlaku untuk/Jawa dan madura mulai hari yang ke 30
dan untuk daerah-daerah lain di Indonesia mulai hari yang ke 100 setelah pengumuman
dari daftar-daftar dan tambahan-tambahan di javase Courant.

Pasal 3

(1). Penyerahan persediaan untuk penyerahan dan penawaran untuk penjualan dari bahan-
bahan G, demikian pula memiliki bahan-bahan ini dalam jumlah sedemikian rupa
sehingga secara normal tidak dapat diterima bahwa bahan-bahan ini hanya diperuntukkan
pemakaian pribadi, adalah dilarang. Larangan ini tidak berlaku untuk pedagang-pedagang
besar yang diakui, Apoteker-apoteker, yang memimpin Apotek dan Dokter Hewan.

(2). Penyerahan dari bahan-bahan G, yang menyimpang dari resep Dokter, Dokter Gigi,
Dokter Hewan dilarang, larantgan ini tidak berlaku bagi penyerahan-penyerahan kepada
Pedagang – pedagang Besar yang diakui, Apoteker-apoteker, Dokter-dokter Gigi dan
Dokter-dokter Hewan demikian juga tidak terhadap penyerahan-penyerahan menurut
ketentuan pada Pasal 7 ayat 5.
2. UU 3 Th 1953 tentang Pembukaan Apotek (Lembaran Negara Th 1953 No
18);
Pasal 1

(1) Dilarang membuka apotik termasuk juga membuka kembali apotik jang telah
menghentikan pekerjaannya sekurang-kurangnya selama setahun di tempat-tempat
atau/dan daerah-daerah jang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan, kecuali bila diizinkan.

(2) Larangan di atas tidak berlaku bagi apotik jang akan dibuka atau/dan jang akan
dibuka kembali oleh Penguasa militer atau sipil.

Pasal 2

Dalam tiap-tiap surat-izin, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, ditentukan jangka


waktu, jang menetapkan bilamana apotik itu harus memulai menjalankan pekerjaannya.

Pasal 3

(1) Barang siapa jang melanggar larangan jang tersebut dalam Pasal 1, dihukum dengan
hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan atau dengan denda. sebanyak-banyaknya
sepuluh ribu rupiah.

(2) Bilamana hal jang diancam hukuman tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh atau
atas nama sesuatu badan hukum, maka pengusutan hukum dan hukumannya sendiri
dijatuhkan kepada pengurus atau wakil badan hukum itu di daerah/tempat itu

Pasal 4.

(1) Perbuatan (hal) jang diancam hukuman dalam Pasal 3 dianggap sebagai
pelanggaran.

(2) Untuk mengusut perbuatan (hal) jang diancam dengan hukuman menurut Undang-
undang ini, juga turut berkewadjiban pegawai jang bertugas mengawas-awasi keadaan
kesehatan rakjat.

Pasal 5.

Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan. Agar supaya setiap orang
dapat mengetahuinya.
3. UU No. 7 Th 1963 tentang Farmasi (LN Th 1963 No.81, Tambahan LN
No2580)

Pasal 1

Maksud dan tujuan Undang-undang ini ialah menetapkan ketentuan-ketentuan dasar


dibidang farmasi dalam rangka pelaksanaan Undang-undang tentang Pokok-pokok
Kesehatan.

Pasal 2

Yang dimaksud dalam Undang-undang ini dengan:

a. Perbekalan Kesehatan dibidang farmasi, adalah perbekalan yang meliputi obat. bahan
obat, obat asli Indonesia. bahan obat asli Indonesia, alat kesehatan, kosmetik dan
sebagainya,

b. Obat, adalah obat yang dibuat dari bahan-bahan yang berasal dari binatang, tumbuh-
tumbuhan, mineral dan obat syntetis;

c. Obat asli Indonesia, adalah obat-obat yang didapat langsung dari bahan-bahan
alamiah di Indonesia, terolah secara sederhana atas dasar pengalaman dan dipergunakan
dalam pengobatan tradisionil;

Pasal 3

Usaha-usaha untuk keperluan rakyat akan perbekalan kesehatan dibidang farmasi,


adalah sebagai berikut:

a. Usaha-usaha dalam bidang produksi, yang meliputi: penggalian kekayaan alam.


Penanaman tumbuh-tumbuhan, pemeliharaan dan pengembangan binatang yang
berguna untuk farmasi, pembuatan bahan-bahan farmasi, pembuatan obat-obat syntetis,
pembuatan obat-obat jadi, pembuatan alat-alat kesehatan dan alat-alat yang
berhubungan dengan kesehatan, termasuk alatalat untuk laboratorium dan alat-alat
untuk pembuatan obat-obat dan lain-lain.
Pasal 4

1. Dengan Peraturan Perundang-undangan ditetapkan peraturan-peraturan mengenai


produksi dan distribusi dibidang farmasi.

2. Menteri Kesehatan menetapkan peraturan-peraturan mengenai penyelidikan da


pengawasan konsumsi dibidang farmasi, pekerjaan kefarmasian dan hal-hal lain yang
dianggap perlu

Pasal 5

Untuk kepentingan rakyat, Pemerintah berusaha agar tercapai harga obat dan alat
kesehatan serendahrendahnya.

4. UU No. 23 Th 1992 Tentang: Kesehatan (mencabut UU No 3 Th 1953 dan


UU No 7 th 1963)

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:

1. Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan
setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

2. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan


kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah dan atau masyarakat.

Pasal 2

Pembangunan kesehatan diselenggarakan berasaskan perikemanusiaan yang


berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan, adil
dan merata, perikehidupan dalam keseimbangan, serta kepercayaan akan kemampuan
dan kekuatan sendiri.

Pasal 3

Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, Kemauan, dan


kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat
yang optimal.
Pasal 4

Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang
optimal.

Pasal 5

Setiap orang berkewajiban untuk ikut serta dalam memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatan perseorangan, keluarga, dan lingkungannya.

5. UU No. 5 Th 1997 tentang Pssikotropika

Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :

1. 1. Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika,
yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang
menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan prilaku.

2. 2. Pabrik obat adalah perusahaan berbadan hukum yang memiliki izin dari Menteri
untuk melakukan kegiatan produksi serta penyaluran obat dan bahan obat, termasuk
tropika.

Pasal 2

(1) Ruang lingkup pengaturan dibidang psikotropika dalam undangundang ini adalah
kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika yang mempunyai potensi
mengakibatkan sindroma ketergantungan.

(2) Psikotropika yang mempunyai potensi mengakibatkan sindrom ketergantungan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digolongkan menjadi:

a. a. psikotropika golongan I;
b. b. psikotropika golongan II;
c. c. psikotropika golongan III;
d. d. psikotropika golongan IV.

(3) Jenis psikotropika golongan I, psikotropika golongan II, psikotropika golongan III,
psikotropika golongan IV sebagaimana dimaksud pada ayuat

(4) untuk pertamakali ditetapkan dan dilampirkan dalam undang-undang ini, yang
merupakan bagian yang tak terpisahkan.
Pasal 3

Tujuan pengaturan di bidang psikotropika adalah :

a. menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan


kesehatan dan ilmu pengetahuan;
b. mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika;
c. memberantas peredaran gelap psikotropika.

Pasal 4

(1) Psikotropika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan


dan/atau ilmu pengetahuan.

(2) Psikotropika golongan I hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan.

(3) Selain penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), psikotropika golongan I
dinayatakan sebagai barang terlarang.

6. UU No. 35 Th 2009 tentang Narkotika (mencabut UU no 22 tahun 1997)

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman menghilangkan rasa nyeri,
dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongangolongan
sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.

2. Prekursor Narkotika adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat
digunakan dalam pembuatan Narkotika yang dibedakan dalam tabel sebagaimana
terlampir dalam Undang-Undang ini.

3. Produksi adalah kegiatan atau proses menyiapkan, mengolah, membuat, dan


menghasilkan Narkotika secara langsung atau tidak langsung melalui ekstraksi atau
nonekstraksi dari sumber alami atau sintetis kimia atau gabungannya, termasuk
mengemas dan/atau mengubah bentuk Narkotika.

4. Impor adalah kegiatan memasukkan Narkotika dan Prekursor Narkotika ke dalam


Daerah Pabean.
5. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan Narkotika dan Prekursor Narkotika dari
Daerah Pabean.

6. Peredaran Gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika adalah setiap kegiatan atau
serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak atau melawan hukum yang
ditetapkan sebagai tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika.

7. Surat Persetujuan Impor adalah surat persetujuan untuk mengimpor Narkotika dan
Prekursor Narkotika.

Pasal 2

Undang-Undang tentang Narkotika berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar


Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 3

Undang-Undang tentang Narkotika diselenggarakan berasaskan:

a. keadilan;
b. pengayoman;
c. kemanusiaan;
d. ketertiban;
e. perlindungan;
f. keamanan;
g. nilai-nilai ilmiah; dan
h. kepastian hukum

Pasal 4

Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan:

a. menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau


pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;

b. mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dar penyalahgunaan


Narkotika;

c. memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan


d. menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan social bagi Penyalah Guna dan
pecandu Narkotika.

Pasal 5

Pengaturan Narkotika dalam Undang-Undang ini meliputi segala bentuk kegiatan


dan/atau perbuatan yang berhubungan dengan Narkotika dan Prekursor Narkotika.

Pasal 6

(1) Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 digolongkan ke dalam:

a. Narkotika Golongan I;
b. Narkotika Golongan II; dan
c. Narkotika Golongan III.

(2) Penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat 1.untuk pertama kali
ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dan merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari Undang-Undang ini.

(3) Ketentuan mengenai perubahan penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud


pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 7

Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau


pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pasal 8

(1) Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan.


7. UU No. 8 Th 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:

1. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian


hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.

2. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk
hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

3. Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha,baik yang berbentuk
badan hukum maupun bukan badan hokum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri
maupun bersama-sama melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha dalam
berbagai bidang ekonomi.

4. Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud,baik bergerak
maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat
untuk diperdagangkan, dipakai,dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.

5. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan
bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.

6. Promosi adalah kegiatan pengenalan atau penyebarluasan informasi suatu barang


dan/atau untuk menarik minat beli konsumen terhadap barang dan atau jasa yang akan
dan sedang diperdagangkan.

7. Impor barang adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean.

8. Impor jasa adalah kegiatan penyediaan jasa asing untuk digunakan di dalam wilayah
Republik Indonesia.

9. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah lembaga non-


Pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh Pemerintah yang mempunyai kegiatan
menangani perlindungan konsumen.
8. UU No. 29 Th 2004 tentang: Praktik Kedokteran

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :

1. Praktik kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter dan dokter
gigi terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan.

2. Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi
spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di
luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.

3. Konsil Kedokteran Indonesia adalah suatu badan otonom,mandiri, nonstruktural, dan


bersifat independen, yang terdiri atas Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi.

4. Sertifikat kompetensi adalah surat tanda pengakuan terhadap kemampuan seorang


dokter atau dokter gigi untuk menjalankan praktik kedokteran di seluruh Indonesia
setelah lulus uji kompetensi.

5. Registrasi adalah pencatatan resmi terhadap dokter dan dokter gigi yang telah
memiliki sertifikat kompetensi dan telah mempunyai kualifikasi tertentu lainnya serta
diakui secara hokum untuk melakukan tindakan profesinya.

6. Registrasi ulang adalah pencatatan ulang terhadap dokter dan dokter gigi yang telah
diregistrasi setelah memenuhi persyaratan yang berlaku.

Pasal 2

Praktik kedokteran dilaksanakan berasaskan Pancasila dan didasarkan pada nilai ilmiah,
manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, serta perlindungan dan keselamatan
pasien.

Pasal 3

Pengaturan praktik kedokteran bertujuan untuk :

a. memberikan perlindungan kepada pasien;


b. mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang
diberikan oleh dokter dan dokter gigi; dan
c. memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi.
Pasal 4

(1) Untuk melindungi masyarakat penerima jasa pelayanan kesehatan dan meningkatkan
mutu pelayanan kesehatan dari dokter dan dokter gigi dibentuk Konsil Kedokteran
Indonesia yang terdiri atas Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi.

(2) Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung
jawab kepada Presiden.

Pasal 5

Konsil Kedokteran Indonesia berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia.

Pasal 6

Konsil Kedokteran Indonesia mempunyai fungsi pengaturan,pengesahan, penetapan,


serta pembinaan dokter dan dokter gigi yangmenjalankan praktik kedokteran, dalam
rangka meningkatkan mutu pelayanan medis.

Pasal 7

(1) Konsil Kedokteran Indonesia mempunyai tugas :

a. melakukan registrasi dokter dan dokter gigi;


b. mengesahkan standar pendidikan profesi dokter dan dokter
gigi; dan
c. melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan praktik
kedokteran yang dilaksanakan bersama lembaga terkait sesuai
dengan fungsi masing-masing.

(2) Standar pendidikan profesi dokter dan dokter gigi yang disahkan Konsil
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan bersama oleh Konsil
Kedokteran Indonesia dengan kolegium kedokteran, kolegium kedokteran gigi, asosiasi
institusi pendidikan kedokteran, asosiasi institusi pendidikan kedokteran gigi, dan
asosiasi rumah sakit pendidikan.
Pasal 8

Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Konsil Kedokteran


Indonesia mempunyai wewenang :

a. menyetujui dan menolak permohonan registrasi dokter dan dokter


gigi;
b. menerbitkan dan mencabut surat tanda registrasi dokter dan
dokter gigi;
c. mengesahkan standar kompetensi dokter dan dokter gigi;
d. melakukan pengujian terhadap persyaratan registrasi dokter dan
dokter gigi;
e. mengesahkan penerapan cabang ilmu kedokteran dan kedokteran
gigi;
f. melakukan pembinaan bersama terhadap dokter dan dokter gigi
mengenai pelaksanaan etika profesi yang ditetapkan oleh
organisasi profesi; dan
g. melakukan pencatatan terhadap dokter dan dokter gigi yang
dikenakan sanksi oleh organisasi profesi atau perangkatnya
karena melanggar ketentuan etika profesi.

Pasal 9

Ketentuan lebih lanjut mengenai fungsi dan tugas Konsil Kedokteran Indonesia diatur
dengan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.

Pasal 10

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang Konsil
Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi diatur dengan Peraturan Konsil Kedokteran
dan Konsil Kedokteran Gigi.
9. UU No. 36 Th 2009 Tentang : Kesehatan (mencabut UU 23 tahun 1992)

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun
sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan
ekonomis.

2. Sumber daya di bidang kesehatan adalah segala bentuk dana, tenaga,


perbekalan kesehatan, sediaan farmasi dan alat kesehatan serta fasilitas
pelayanan kesehatan dan teknologi yang dimanfaatkan untuk menyelenggarakan
upaya kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau
masyarakat.

3. Perbekalan kesehatan adalah semua bahan dan peralatan yang diperlukan


untuk menyelenggarakan upaya kesehatan.

4. Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika.

5. Alat kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin dan/atau implan yang tidak
mengandung obat yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosis
menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat orang sakit, memulihkan
kesehatan pada manusia,dan/atau membentuk struktur dan memperbaiki fungsi
tubuh.

Pasal 2

Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan,


keseimbangan, manfaat, pelindungan,penghormatan terhadap hak dan kewajiban,
keadilan, gender dan nondiskriminatif dan norma-norma agama.

Pasal 3

Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan


kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat
yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia
yang produktif secara sosial dan ekonomis.

Pasal 4

Setiap orang berhak atas kesehatan

Pasal 5

(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya
di bidang kesehatan.

(2) Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman,
bermutu, dan terjangkau.

(3) Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri
pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.

Pasal 6

Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat
Kesehatan.

Pasal 7

Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan yang
seimbang dan bertanggung jawab.

Pasal 8

Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk
tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga
kesehatan.
10. Permenkes No. 688/Menkes/PER/VII/1997 tentang peredaran
Psikotropika

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,
baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa
nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam
golongangolongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang tentang
Narkotika.

2. Psikotropika adalah zat/bahan baku atau obat, baik alamiah maupun sintetis
bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada
susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan
perilaku.

3. Prekursor Farmasi adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat
digunakan sebagai bahan baku/penolong untuk keperluan proses produksi
industri farmasi atau produk antara, produk ruahan, dan produk jadi yang
mengandung ephedrine, pseudoephedrine, norephedrine/phenylpropanolamine,
ergotamin, ergometrine, atau Potasium Permanganat.

4. Penyaluran adalah setiap kegiatan distribusi Narkotika, Psikotropika dan


Prekursor Farmasi dalam rangka pelayanan kesehatan atau kepentingan ilmu
pengetahuan.

5. Penyerahan adalah setiap kegiatan memberikan narkotika,psikotropika dan


prekursor farmasi, baik antar penyerah maupun kepada pasien dalam rangka
pelayanan kesehatan.

6. Industri Farmasi adalah badan usaha yang memiliki izin dari Menteri
Kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan obat.

7. Pedagang Besar Farmasi yang selanjutnya disingkat PBF adalah perusahaan


berbentuk badan hukum yang memiliki izin untuk pengadaan, penyimpanan,
penyaluran obat dan/atau bahan obat dalam jumlah besar sesuai ketentuan
peraturan perundangundangan.

Pasal 2

Pengaturan peredaran, penyimpanan, pemusnahan dan pelaporan Narkotika,


Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam Peraturan Menteri ini meliputi
Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi untuk kepentingan pelayanan
kesehatan atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pasal 3
Peredaran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi terdiri dari
Penyaluran dan Penyerahan.

Pasal 4
Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang diedarkan harus memenuhi
persyaratan keamanan, khasiat, dan mutu.

Pasal 5
(1) Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi
hanya dapat diedarkan setelah mendapatkan izin edar dari Menteri.

(2) Untuk mendapatkan izin edar Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor


Farmasi dalam bentuk obat jadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
melalui pendaftaran pada Badan Pengawas Obat dan Makanan.

(3) Ketentuan mengenai tata cara untuk mendapat izin edar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 6

(1) Industri Farmasi yang memproduksi Narkotika dan PBF atau Instalasi
Farmasi Pemerintah yang menyalurkan Narkotika wajib memiliki izin khusus
dari Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Izin khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:


a. Izin Khusus Produksi Narkotika;
b. Izin Khusus Impor Narkotika; atau
c. Izin Khusus Penyaluran Narkotika.
(3) Lembaga Ilmu Pengetahuan yang memperoleh, menanam, menyimpan, dan
menggunakan Narkotika dan/atau Psikotropika untuk kepentingan ilmu
pengetahuan dan teknologi harus memiliki izin dari Menteri sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 7

Peredaran Narkotika dalam bentuk obat jadi yang digunakan dalam program
terapi dan rehabilitasi medis dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 8

Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi wajib memenuhi


Cara Distribusi Obat yang Baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

11. Permenkes No. 284 Tahun 2007 ttg APOTEK RAKYAT

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:


1. Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek
kefarmasian oleh Apoteker.

2. Fasilitas Kefarmasian adalah sarana yang digunakan untuk melakukan


pekerjaan kefarmasian.

3. Tenaga Kefarmasian adalah tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian,


yang terdiri atas Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian.

4. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah
mengucapkan sumpah jabatan Apoteker.

5.Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam


menjalankan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli
Madya Farmasi dan Analis Farmasi.
6. Surat Tanda Registrasi Apoteker yang selanjutnya disingkat STRA adalah
bukti tertulis yang diberikan olehkonsil tenaga kefarmasian kepada apoteker
yang telah diregistrasi.

7. Surat Izin Apotek yang selanjutnya disingkat SIA adalah bukti tertulis yang
diberikan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota kepada Apoteker sebagai izin
untuk menyelenggarakan Apotek.

8. Surat Izin Praktik Apoteker yang selanjutnya disingkat SIPA adalah bukti
tertulis yang diberikan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota kepada Apoteker
sebagai pemberian kewenangan untuk menjalankan praktik kefarmasian.

9. Surat Izin Praktik Tenaga Teknis Kefarmasian yang selanjutnya disingkat


SIPTTK adalah bukti tertulis yang diberikan oleh pemerintah daera
kabupaten/kota kepada tenaga teknis kefarmasian sebagai pemberian
kewenangan untuk menjalankan praktik kefarmasian.

Pasal 2

Pengaturan Apotek bertujuan untuk:

a. meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian di Apotek;


b. memberikan perlindungan pasien dan masyarakat dalam
memperoleh pelayanan kefarmasian di Apotek; dan
c. menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian
dalam memberikan pelayanan kefarmasian di Apotek.

Pasal 3

(1) Apoteker dapat mendirikan Apotek dengan modal sendiri dan/atau modal dari
pemilik modal baik perorangan maupun perusahaan.

(2) Dalam hal Apoteker yang mendirikan Apotek bekerjasama dengan pemilik modal
maka pekerjaan kefarmasian harus tetap dilakukan sepenuhnya oleh Apoteker yang
bersangkutan.
Pasal 4

Pendirian Apotek harus memenuhi persyaratan, meliputi:

a. lokasi;
b. bangunan;
c. sarana, prasarana, dan peralatan; dan
d. ketenagaan.

Pasal 5

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat mengatur persebaran Apotek di wilayahnya


dengan memperhatikan akses masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kefarmasian.

12. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 1148/MENKES/PER/VI/2011 TENTANG PEDAGANG BESAR
FARMASI
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Pedagang Besar Farmasi, yang selanjutnya disingkat PBF adalah perusahaan
berbentuk badan hukum yang memiliki izin untuk pengadaan, penyimpanan,
penyaluran obat dan/atau bahan obat dalam jumlah besar sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
2. PBF Cabang adalah cabang PBF yang telah memiliki pengakuan untuk melakukan
pengadaan, penyimpanan, penyaluran obat dan/atau bahan obat dalam jumlah besar
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan
untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam
rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan
kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia.
4. Bahan Obat adalah bahan baik yang berkhasiat maupun tidak berkhasiat yang
digunakan dalam pengolahan obat dengan standar dan mutu sebagai bahan baku
farmasi termasuk baku pembanding. 5. Cara Distribusi Obat yang Baik, yang
selanjutnya disingkat CDOB adalah cara distribusi/penyaluran obat dan/atau bahan
obat yang bertujuan untuk memastikan mutu sepanjang jalur distribusi/penyaluran
sesuai persyaratan dan tujuan penggunaannya.
BAB II PERIZINAN
Bagian Kesatu Umum
Pasal 2
(1) Setiap pendirian PBF wajib memiliki izin dari Direktur Jenderal.
(2) Setiap PBF dapat mendirikan PBF Cabang.
(3) Setiap pendirian PBF Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
memperoleh pengakuan dari Kepala Dinas Kesehatan Provinsi di wilayah PBF
Cabang berada.
Pasal 3
(1) Izin PBF berlaku 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi
persyaratan.
(2) Pengakuan PBF Cabang berlaku mengikuti jangka waktu izin PBF.
Pasal 4
(1) Untuk memperoleh izin PBF, pemohon harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. berbadan hukum berupa perseroan terbatas atau koperasi;
b. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
c. memiliki secara tetap apoteker Warga Negara Indonesia sebagai penanggung
jawab;
d. komisaris/dewan pengawas dan direksi/pengurus tidak pernah terlibat, baik
langsung atau tidak langsung dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan di
bidang farmasi;
Pasal 5
Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, PBF yang akan
menyalurkan bahan obat juga harus memenuhi persyaratan:
a. memiliki laboratorium yang mempunyai kemampuan untuk pengujian bahan obat
yang disalurkan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan Direktur Jenderal; dan
b. memiliki gudang khusus tempat penyimpanan bahan obat yang terpisah dari
ruangan lain.
Pasal 6
(1) Terhadap permohonan izin PBF dikenai biaya sebagai penerimaan negara bukan
pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal permohonan izin PBF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak,
maka biaya yang telah dibayarkan tidak dapat ditarik kembali oleh pemohon. Bagian
Kedua Tata Cara Pemberian Izin PBF
Pasal 7
(1) Untuk memperoleh izin PBF, pemohon harus mengajukan permohonan kepada
Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan, Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi dan Kepala Balai POM dengan menggunakan contoh Formulir 1
sebagaimana terlampir.
(2) Permohonan harus ditandatangani oleh direktur/ketua dan apoteker calon
penanggung jawab disertai dengan kelengkapan administratif sebagai berikut:
a. fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP)/identitas direktur/ketua;
b.susunan direksi/pengurus;
c. pernyataan komisaris/dewan pengawas dan direksi/pengurus tidak pernah terlibat
pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang farmasi;
d. akta pendirian badan hukum yang sah sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan; e. surat Tanda Daftar Perusahaan;
Pasal 8
(1) Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak diterimanya tembusan
permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi melakukan verifikasi kelengkapan administratif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3).
(2) Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak diterimanya tembusan
permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Kepala Balai POM
melakukan audit pemenuhan persyaratan CDOB.
(3) Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak dinyatakan memenuhi
kelengkapan administratif, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi mengeluarkan
rekomendasi pemenuhan kelengkapan administratif kepada Direktur Jenderal dengan
tembusan kepada Kepala Balai POM dan pemohon dengan menggunakan contoh
Formulir 2 sebagaimana terlampir.
13. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 889/MENKES/PER/V/2011 TENTANG REGISTRASI, IZIN
PRAKTIK, DAN IZIN KERJA TENAGA KEFARMASIAN

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan
farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran
obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat,
serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.
2. Tenaga kefarmasian adalah tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian, yang
terdiri atas Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian.
3. Apoteker adalah Sarjana Farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah
mengucapkan sumpah jabatan Apoteker.
4. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam
menjalankan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya
Farmasi, Analis Farmasi dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker;
5. Sertifikat kompetensi profesi adalah surat tanda pengakuan terhadap kompetensi
seorang Apoteker untuk dapat menjalankan pekerjaan/praktik profesinya di seluruh
Indonesia setelah lulus uji kompetensi.

BAB II REGISTRASI
Bagian Kesatu Umum
Pasal 2
(1) Setiap tenaga kefarmasian yang menjalankan pekerjaan kefarmasian wajib
memiliki surat tanda registrasi.
(2) Surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. STRA bagi Apoteker; dan
b. STRTTK bagi Tenaga Teknis Kefarmasian.
Pasal 3
(1) STRA dan STRTTK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dikeluarkan oleh
Menteri.
(2) Menteri mendelegasikan pemberian:
a. STRA kepada KFN; dan
b. STRTTK kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.
Pasal 4
(1) Apoteker warga negara asing lulusan luar negeri yang akan menjalankan
pekerjaan kefarmasian di Indonesia dalam rangka alih teknologi atau bakti sosial
harus memiliki STRA Khusus.
(2) STRA khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan oleh KFN
untuk jangka waktu kurang dari 1 (satu) tahun.
(3) Untuk dapat menjalankan pekerjaan kefarmasian, Apoteker yang telah
memiliki STRA Khusus tidak memerlukan SIPA atau SIKA, tetapi wajib melapor
kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Pasal 5
(1) Apoteker lulusan luar negeri yang akan menjalankan pekerjaan kefarmasian di
Indonesia harus melakukan adaptasi pendidikan.
(2) Adaptasi pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada
institusi pendidikan Apoteker yang terakreditasi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai adaptasi pendidikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri.

Bagian Kedua
Persyaratan Registrasi
Pasal 7
(1) Untuk memperoleh STRA, Apoteker harus memenuhi persyaratan:
a. memiliki ijazah Apoteker;
b. memiliki sertifikat kompetensi profesi;
c. memiliki surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji Apoteker;
(2) Selain memenuhi pesyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi
Apoteker lulusan luar negeri harus memenuhi:
a. memiliki surat keterangan telah melakukan adaptasi pendidikan Apoteker dari
institusi pendidikan yang terakreditasi; dan
b. memiliki surat izin tinggal tetap untuk bekerja sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan dan keimigrasian bagi
Apoteker warga negara asing.

14. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 73 TAHUN 2016 TENTANG STANDAR PELAYANAN
KEFARMASIAN DI APOTEK
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik
kefarmasian oleh Apoteker.
2. Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolak ukur yang dipergunakan sebagai
pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan
kefarmasian.
3. Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung
jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud
mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.
4. Resep adalah permintaan tertulis dari dokter atau dokter gigi, kepada apoteker,
baik dalam bentuk paper maupun electronic untuk menyediakan dan menyerahkan
obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku.
5. Sediaan Farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika.

Pasal 2
Pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bertujuan untuk:
a. meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian;
b. menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian; dan
c. melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan Obat yang tidak rasional
dalam rangka keselamatan pasien (patient safety).
Pasal 3
(1) Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi standar:
a. pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai;
dan
b. pelayanan farmasi klinik.
Pasal 4
(1) Penyelenggaraan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek harus didukung
oleh ketersediaan sumber daya kefarmasian yang berorientasi kepada keselamatan
pasien.
(2) Sumber daya kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. sumber daya manusia; dan
b. sarana dan prasarana.
Pasal 5
(1) Untuk menjamin mutu Pelayanan Kefarmasian di Apotek, harus dilakukan
evaluasi mutu Pelayananan Kefarmasian.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai evaluasi mutu Pelayananan Kefarmasian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 6
Penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian di Apotek harus menjamin ketersediaan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang aman,
bermutu, bermanfaat, dan terjangkau.
Pasal 7
Penyelenggarakan Pelayanan Kefarmasian di Apotek wajib mengikuti Standar
Pelayanan Kefarmasian sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini.

15. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 9 TAHUN 2017 TENTANG APOTEK
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek
kefarmasian oleh Apoteker.
2. Fasilitas Kefarmasian adalah sarana yang digunakan untuk melakukan pekerjaan
kefarmasian.
3. Tenaga Kefarmasian adalah tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian,
yang terdiri atas Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian.
4. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah
mengucapkan sumpah jabatan Apoteker.
5. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam
menjalankan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya
Farmasi dan Analis Farmasi.
Pasal 2
Pengaturan Apotek bertujuan untuk:
a. meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian di Apotek;
b. memberikan perlindungan pasien dan masyarakat dalam memperoleh pelayanan
kefarmasian di Apotek; dan
c. menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian dalam memberikan
pelayanan kefarmasian di Apotek.
BAB II
PERSYARATAN PENDIRIAN Bagian Kesatu Umum
Pasal 3
(1) Apoteker dapat mendirikan Apotek dengan modal sendiri dan/atau modal dari
pemilik modal baik perorangan maupun perusahaan.
(2) Dalam hal Apoteker yang mendirikan Apotek bekerjasama dengan pemilik
modal maka pekerjaan kefarmasian harus tetap dilakukan sepenuhnya oleh
Apoteker yang bersangkutan.

Pasal 4
Pendirian Apotek harus memenuhi persyaratan, meliputi:
a. lokasi;
b. bangunan;
c. sarana, prasarana, dan peralatan; dan
d. ketenagaan.
Pasal 5
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat mengatur persebaran Apotek di
wilayahnya dengan memperhatikan akses masyarakat dalam mendapatkan
pelayanan kefarmasian

Anda mungkin juga menyukai