Npm : 200106107
Kelas : Farmasi C
13. Permenkes No 889 Th 2011 ttg Registrasi ijin kerja, ijin praktek, Tenaga
kefarmasian
a. “ Obat-obat keras “ yaitu obat-obatan yang tidak digunakan untuk keperluan tehnik,
yang mempunyai khasiat mengobati, menguatkan, membaguskan, mendesinfeksikan dan
lain-lain tubuh manusia, baik dalam bungkusan maupun tidak, yang ditetapkan oleh
Secretaris Van Staat, Hoofd van het Departement van Gesondheid, menurut ketentuan
pada Pasal 2.
f. “Dokter-dokter Hewan” :
Pasal 2
(1). Sec. V. St. mempunyai wewenang untuk menetapkan bahan-bahan sebagai obat-obat
keras.
(2). Penetapan ini dijalankan denganb menempatkan bahan-bahan itu pada suatu daftar G
ataudaftar W.
(3). Daftar G dan W beserta tambahan-tambahannya diumumkan oleh Sec. V. St. dalam
Javase-Courant.
(4). Penetapan ini dianggap telah berlaku untuk/Jawa dan madura mulai hari yang ke 30
dan untuk daerah-daerah lain di Indonesia mulai hari yang ke 100 setelah pengumuman
dari daftar-daftar dan tambahan-tambahan di javase Courant.
Pasal 3
(1). Penyerahan persediaan untuk penyerahan dan penawaran untuk penjualan dari bahan-
bahan G, demikian pula memiliki bahan-bahan ini dalam jumlah sedemikian rupa
sehingga secara normal tidak dapat diterima bahwa bahan-bahan ini hanya diperuntukkan
pemakaian pribadi, adalah dilarang. Larangan ini tidak berlaku untuk pedagang-pedagang
besar yang diakui, Apoteker-apoteker, yang memimpin Apotek dan Dokter Hewan.
(2). Penyerahan dari bahan-bahan G, yang menyimpang dari resep Dokter, Dokter Gigi,
Dokter Hewan dilarang, larantgan ini tidak berlaku bagi penyerahan-penyerahan kepada
Pedagang – pedagang Besar yang diakui, Apoteker-apoteker, Dokter-dokter Gigi dan
Dokter-dokter Hewan demikian juga tidak terhadap penyerahan-penyerahan menurut
ketentuan pada Pasal 7 ayat 5.
2. UU 3 Th 1953 tentang Pembukaan Apotek (Lembaran Negara Th 1953 No
18);
Pasal 1
(1) Dilarang membuka apotik termasuk juga membuka kembali apotik jang telah
menghentikan pekerjaannya sekurang-kurangnya selama setahun di tempat-tempat
atau/dan daerah-daerah jang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan, kecuali bila diizinkan.
(2) Larangan di atas tidak berlaku bagi apotik jang akan dibuka atau/dan jang akan
dibuka kembali oleh Penguasa militer atau sipil.
Pasal 2
Pasal 3
(1) Barang siapa jang melanggar larangan jang tersebut dalam Pasal 1, dihukum dengan
hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan atau dengan denda. sebanyak-banyaknya
sepuluh ribu rupiah.
(2) Bilamana hal jang diancam hukuman tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh atau
atas nama sesuatu badan hukum, maka pengusutan hukum dan hukumannya sendiri
dijatuhkan kepada pengurus atau wakil badan hukum itu di daerah/tempat itu
Pasal 4.
(1) Perbuatan (hal) jang diancam hukuman dalam Pasal 3 dianggap sebagai
pelanggaran.
(2) Untuk mengusut perbuatan (hal) jang diancam dengan hukuman menurut Undang-
undang ini, juga turut berkewadjiban pegawai jang bertugas mengawas-awasi keadaan
kesehatan rakjat.
Pasal 5.
Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan. Agar supaya setiap orang
dapat mengetahuinya.
3. UU No. 7 Th 1963 tentang Farmasi (LN Th 1963 No.81, Tambahan LN
No2580)
Pasal 1
Pasal 2
a. Perbekalan Kesehatan dibidang farmasi, adalah perbekalan yang meliputi obat. bahan
obat, obat asli Indonesia. bahan obat asli Indonesia, alat kesehatan, kosmetik dan
sebagainya,
b. Obat, adalah obat yang dibuat dari bahan-bahan yang berasal dari binatang, tumbuh-
tumbuhan, mineral dan obat syntetis;
c. Obat asli Indonesia, adalah obat-obat yang didapat langsung dari bahan-bahan
alamiah di Indonesia, terolah secara sederhana atas dasar pengalaman dan dipergunakan
dalam pengobatan tradisionil;
Pasal 3
Pasal 5
Untuk kepentingan rakyat, Pemerintah berusaha agar tercapai harga obat dan alat
kesehatan serendahrendahnya.
Pasal 1
1. Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan
setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Pasal 2
Pasal 3
Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang
optimal.
Pasal 5
Setiap orang berkewajiban untuk ikut serta dalam memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatan perseorangan, keluarga, dan lingkungannya.
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. 1. Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika,
yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang
menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan prilaku.
2. 2. Pabrik obat adalah perusahaan berbadan hukum yang memiliki izin dari Menteri
untuk melakukan kegiatan produksi serta penyaluran obat dan bahan obat, termasuk
tropika.
Pasal 2
(1) Ruang lingkup pengaturan dibidang psikotropika dalam undangundang ini adalah
kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika yang mempunyai potensi
mengakibatkan sindroma ketergantungan.
a. a. psikotropika golongan I;
b. b. psikotropika golongan II;
c. c. psikotropika golongan III;
d. d. psikotropika golongan IV.
(3) Jenis psikotropika golongan I, psikotropika golongan II, psikotropika golongan III,
psikotropika golongan IV sebagaimana dimaksud pada ayuat
(4) untuk pertamakali ditetapkan dan dilampirkan dalam undang-undang ini, yang
merupakan bagian yang tak terpisahkan.
Pasal 3
Pasal 4
(2) Psikotropika golongan I hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan.
(3) Selain penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), psikotropika golongan I
dinayatakan sebagai barang terlarang.
Pasal 1
1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman menghilangkan rasa nyeri,
dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongangolongan
sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.
2. Prekursor Narkotika adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat
digunakan dalam pembuatan Narkotika yang dibedakan dalam tabel sebagaimana
terlampir dalam Undang-Undang ini.
6. Peredaran Gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika adalah setiap kegiatan atau
serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak atau melawan hukum yang
ditetapkan sebagai tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika.
7. Surat Persetujuan Impor adalah surat persetujuan untuk mengimpor Narkotika dan
Prekursor Narkotika.
Pasal 2
Pasal 3
a. keadilan;
b. pengayoman;
c. kemanusiaan;
d. ketertiban;
e. perlindungan;
f. keamanan;
g. nilai-nilai ilmiah; dan
h. kepastian hukum
Pasal 4
Pasal 5
Pasal 6
a. Narkotika Golongan I;
b. Narkotika Golongan II; dan
c. Narkotika Golongan III.
(2) Penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat 1.untuk pertama kali
ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dan merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Pasal 7
Pasal 8
Pasal 1
2. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk
hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
3. Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha,baik yang berbentuk
badan hukum maupun bukan badan hokum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri
maupun bersama-sama melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha dalam
berbagai bidang ekonomi.
4. Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud,baik bergerak
maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat
untuk diperdagangkan, dipakai,dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.
5. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan
bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
8. Impor jasa adalah kegiatan penyediaan jasa asing untuk digunakan di dalam wilayah
Republik Indonesia.
Pasal 1
1. Praktik kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter dan dokter
gigi terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan.
2. Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi
spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di
luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
5. Registrasi adalah pencatatan resmi terhadap dokter dan dokter gigi yang telah
memiliki sertifikat kompetensi dan telah mempunyai kualifikasi tertentu lainnya serta
diakui secara hokum untuk melakukan tindakan profesinya.
6. Registrasi ulang adalah pencatatan ulang terhadap dokter dan dokter gigi yang telah
diregistrasi setelah memenuhi persyaratan yang berlaku.
Pasal 2
Praktik kedokteran dilaksanakan berasaskan Pancasila dan didasarkan pada nilai ilmiah,
manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, serta perlindungan dan keselamatan
pasien.
Pasal 3
(1) Untuk melindungi masyarakat penerima jasa pelayanan kesehatan dan meningkatkan
mutu pelayanan kesehatan dari dokter dan dokter gigi dibentuk Konsil Kedokteran
Indonesia yang terdiri atas Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi.
(2) Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung
jawab kepada Presiden.
Pasal 5
Pasal 6
Pasal 7
(2) Standar pendidikan profesi dokter dan dokter gigi yang disahkan Konsil
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan bersama oleh Konsil
Kedokteran Indonesia dengan kolegium kedokteran, kolegium kedokteran gigi, asosiasi
institusi pendidikan kedokteran, asosiasi institusi pendidikan kedokteran gigi, dan
asosiasi rumah sakit pendidikan.
Pasal 8
Pasal 9
Ketentuan lebih lanjut mengenai fungsi dan tugas Konsil Kedokteran Indonesia diatur
dengan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.
Pasal 10
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang Konsil
Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi diatur dengan Peraturan Konsil Kedokteran
dan Konsil Kedokteran Gigi.
9. UU No. 36 Th 2009 Tentang : Kesehatan (mencabut UU 23 tahun 1992)
Pasal 1
1. Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun
sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan
ekonomis.
4. Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika.
5. Alat kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin dan/atau implan yang tidak
mengandung obat yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosis
menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat orang sakit, memulihkan
kesehatan pada manusia,dan/atau membentuk struktur dan memperbaiki fungsi
tubuh.
Pasal 2
Pasal 3
Pasal 4
Pasal 5
(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya
di bidang kesehatan.
(2) Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman,
bermutu, dan terjangkau.
(3) Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri
pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.
Pasal 6
Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat
Kesehatan.
Pasal 7
Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan yang
seimbang dan bertanggung jawab.
Pasal 8
Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk
tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga
kesehatan.
10. Permenkes No. 688/Menkes/PER/VII/1997 tentang peredaran
Psikotropika
Pasal 1
1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,
baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa
nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam
golongangolongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang tentang
Narkotika.
2. Psikotropika adalah zat/bahan baku atau obat, baik alamiah maupun sintetis
bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada
susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan
perilaku.
3. Prekursor Farmasi adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat
digunakan sebagai bahan baku/penolong untuk keperluan proses produksi
industri farmasi atau produk antara, produk ruahan, dan produk jadi yang
mengandung ephedrine, pseudoephedrine, norephedrine/phenylpropanolamine,
ergotamin, ergometrine, atau Potasium Permanganat.
6. Industri Farmasi adalah badan usaha yang memiliki izin dari Menteri
Kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan obat.
Pasal 2
Pasal 3
Peredaran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi terdiri dari
Penyaluran dan Penyerahan.
Pasal 4
Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang diedarkan harus memenuhi
persyaratan keamanan, khasiat, dan mutu.
Pasal 5
(1) Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi
hanya dapat diedarkan setelah mendapatkan izin edar dari Menteri.
(3) Ketentuan mengenai tata cara untuk mendapat izin edar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 6
(1) Industri Farmasi yang memproduksi Narkotika dan PBF atau Instalasi
Farmasi Pemerintah yang menyalurkan Narkotika wajib memiliki izin khusus
dari Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 7
Peredaran Narkotika dalam bentuk obat jadi yang digunakan dalam program
terapi dan rehabilitasi medis dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 8
Pasal 1
4. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah
mengucapkan sumpah jabatan Apoteker.
7. Surat Izin Apotek yang selanjutnya disingkat SIA adalah bukti tertulis yang
diberikan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota kepada Apoteker sebagai izin
untuk menyelenggarakan Apotek.
8. Surat Izin Praktik Apoteker yang selanjutnya disingkat SIPA adalah bukti
tertulis yang diberikan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota kepada Apoteker
sebagai pemberian kewenangan untuk menjalankan praktik kefarmasian.
Pasal 2
Pasal 3
(1) Apoteker dapat mendirikan Apotek dengan modal sendiri dan/atau modal dari
pemilik modal baik perorangan maupun perusahaan.
(2) Dalam hal Apoteker yang mendirikan Apotek bekerjasama dengan pemilik modal
maka pekerjaan kefarmasian harus tetap dilakukan sepenuhnya oleh Apoteker yang
bersangkutan.
Pasal 4
a. lokasi;
b. bangunan;
c. sarana, prasarana, dan peralatan; dan
d. ketenagaan.
Pasal 5
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan
farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran
obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat,
serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.
2. Tenaga kefarmasian adalah tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian, yang
terdiri atas Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian.
3. Apoteker adalah Sarjana Farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah
mengucapkan sumpah jabatan Apoteker.
4. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam
menjalankan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya
Farmasi, Analis Farmasi dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker;
5. Sertifikat kompetensi profesi adalah surat tanda pengakuan terhadap kompetensi
seorang Apoteker untuk dapat menjalankan pekerjaan/praktik profesinya di seluruh
Indonesia setelah lulus uji kompetensi.
BAB II REGISTRASI
Bagian Kesatu Umum
Pasal 2
(1) Setiap tenaga kefarmasian yang menjalankan pekerjaan kefarmasian wajib
memiliki surat tanda registrasi.
(2) Surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. STRA bagi Apoteker; dan
b. STRTTK bagi Tenaga Teknis Kefarmasian.
Pasal 3
(1) STRA dan STRTTK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dikeluarkan oleh
Menteri.
(2) Menteri mendelegasikan pemberian:
a. STRA kepada KFN; dan
b. STRTTK kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.
Pasal 4
(1) Apoteker warga negara asing lulusan luar negeri yang akan menjalankan
pekerjaan kefarmasian di Indonesia dalam rangka alih teknologi atau bakti sosial
harus memiliki STRA Khusus.
(2) STRA khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan oleh KFN
untuk jangka waktu kurang dari 1 (satu) tahun.
(3) Untuk dapat menjalankan pekerjaan kefarmasian, Apoteker yang telah
memiliki STRA Khusus tidak memerlukan SIPA atau SIKA, tetapi wajib melapor
kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Pasal 5
(1) Apoteker lulusan luar negeri yang akan menjalankan pekerjaan kefarmasian di
Indonesia harus melakukan adaptasi pendidikan.
(2) Adaptasi pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada
institusi pendidikan Apoteker yang terakreditasi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai adaptasi pendidikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri.
Bagian Kedua
Persyaratan Registrasi
Pasal 7
(1) Untuk memperoleh STRA, Apoteker harus memenuhi persyaratan:
a. memiliki ijazah Apoteker;
b. memiliki sertifikat kompetensi profesi;
c. memiliki surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji Apoteker;
(2) Selain memenuhi pesyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi
Apoteker lulusan luar negeri harus memenuhi:
a. memiliki surat keterangan telah melakukan adaptasi pendidikan Apoteker dari
institusi pendidikan yang terakreditasi; dan
b. memiliki surat izin tinggal tetap untuk bekerja sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan dan keimigrasian bagi
Apoteker warga negara asing.
Pasal 2
Pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bertujuan untuk:
a. meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian;
b. menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian; dan
c. melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan Obat yang tidak rasional
dalam rangka keselamatan pasien (patient safety).
Pasal 3
(1) Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi standar:
a. pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai;
dan
b. pelayanan farmasi klinik.
Pasal 4
(1) Penyelenggaraan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek harus didukung
oleh ketersediaan sumber daya kefarmasian yang berorientasi kepada keselamatan
pasien.
(2) Sumber daya kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. sumber daya manusia; dan
b. sarana dan prasarana.
Pasal 5
(1) Untuk menjamin mutu Pelayanan Kefarmasian di Apotek, harus dilakukan
evaluasi mutu Pelayananan Kefarmasian.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai evaluasi mutu Pelayananan Kefarmasian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 6
Penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian di Apotek harus menjamin ketersediaan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang aman,
bermutu, bermanfaat, dan terjangkau.
Pasal 7
Penyelenggarakan Pelayanan Kefarmasian di Apotek wajib mengikuti Standar
Pelayanan Kefarmasian sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini.
Pasal 4
Pendirian Apotek harus memenuhi persyaratan, meliputi:
a. lokasi;
b. bangunan;
c. sarana, prasarana, dan peralatan; dan
d. ketenagaan.
Pasal 5
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat mengatur persebaran Apotek di
wilayahnya dengan memperhatikan akses masyarakat dalam mendapatkan
pelayanan kefarmasian