Anda di halaman 1dari 20

NAMA : RIKI RENALDO

NPM : 200106120
KELAS :D

TUGAS MANAJEMEN FARMASI I

1. UU Obat Keras (St. No.419 tgl 22 Desember 1949)

Pasal I

Undang – undang obat keras (St. 1937 No. 541) ditetapkan kembali sebagai berikut :

Pasal 1
(1) Yang dimaksud dalam ordonansi ini dengan :
a) “ Obat-obat keras “ yaitu obat-obatan yang tidak digunakan untuk keperluan tehnik,
yang mempunyai khasiat mengobati, menguatkan, membaguskan, mendesinfeksikan
dan lain-lain tubuh manusia, baik dalam bungkusan maupun tidak, yang ditetapkan
oleh Secretaris Van Staat, Hoofd van het Departement van Gesondheid, menurut
ketentuan pada Pasal 2.
b) “Obat-obatan G” : obat-obat keras yang oleh Sec. V. St. didaftar pada daftar
obatobatan berbahaya (gevaarlijk; daftar G).
c) “Obatan-obatan W” : Obat-obat keras yang oleh Sec.V.St. didaftar pada daftar
peringatan ( warschuwing; daftar W).

Pasal 2

(1) Obat-obat keras yang ditunjuk, surat-surat kuasa yang diberikan dan peraturan-peraturan,
syarat-syarat atau tindakan-tindakan lain yang ditetapkan oleh Kepala D.v.G. sebelum
saat berlakunya Ordonansi ini, untuk melaksankan “Ordonansi Obat-obat Keras”, jika
belum dicabut atau belum batal dianggap telah ditunjuk , diberikan atau ditetapkan oleh
Sec. V. St. sesuai dengan peraturan-peraturan dari Ordonansi ini.
(2) Mereka yang pada saat berlakunya Ordonansi Obat Keras ini memiliki obatobat keras
tanpa wewenang sesuai dengan Pasal 3 dan 4, harus menyerahkan obat-obat ini dalam
jangka waktu 1 bulan setelah berlakunya Ordonansi ini kepada orang-orang yang
mempunyai wewenang.
(3) Mereka kepada siapa saat berlakunya Ordonansi ini telah dikirimi obat-obat keras, yang
menurut Pasal 5 pemasukannya, pengeluarannya, pengangkutannya, atau menyuruh
mengangkutnya dilarang, dapat berhubungan dengan Inspektur Farmasi dari D.V.G. di
jakarta, yang berwenang untuk mengeluarkan berdasarkan pendangannya suatu izin
pemasukan khusus (jika telah tiba pengeluaran dari Luar Negeri) atau izin untuk
pengeluaran atau untuk pengangkutan atau untuk menyuruh mengangkutnya di dalam
Wilayah Indonesia.

2. UU 3 Th 1953 tentang Pembukaan Apotek (Lembaran Negara Th 1953 No 18)

Pasal 1
(1) Dilarang membuka apotik termasuk juga membuka kembali apotik jang telah
menghentikan pekerjaannya sekurang-kurangnya selama setahun di tempat-tempat
atau/dan daerah-daerah jang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan, kecuali bila diizinkan.
(2) Larangan di atas tidak berlaku bagi apotik jang akan dibuka atau/dan jang akan dibuka
kembali oleh Penguasa militer atau sipil.

Pasal 2
Dalam tiap-tiap surat-izin, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, ditentukan jangka waktu,
jang menetapkan bilamana apotik itu harus memulai menjalankan pekerjaannya.

3. UU No 7 Th 1963 tentang Farmasi (LN Th 1963 No. 81, Tambahan LN No2580)

Pasal 2
Yang dimaksud dalam Undang-undang ini dengan:
a) Perbekalan Kesehatan dibidang farmasi, adalah perbekalan yang meliputi obat. bahan
obat, obat asli Indonesia. bahan obat asli Indonesia, alat kesehatan, kosmetik dan
sebagainya,
b) Pekerjaan kefarmasian, adalah pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk,
pencampuran, penyimpanan dan penyerahan obat atau bahan obat.
Pasal 3
Usaha-usaha untuk keperluan rakyat akan perbekalan kesehatan dibidang farmasi, adalah
sebagai berikut :
a) Usaha-usaha dalam bidang produksi, yang meliputi: penggalian kekayaan alam.
penanaman tumbuh-tumbuhan, pemeliharaan dan pengembangan binatang yang berguna
untuk farmasi, pembuatan bahan-bahan farmasi, pembuatan obat-obat syntetis, pembuatan
obatobat jadi, pembuatan alat-alat kesehatan dan alat-alat yang berhubungan dengan
kesehatan, termasuk alat-alat untuk laboratorium dan alat-alat untuk pembuatan obat-obat
dan lain-lain.
b) Usaha-usaha dalam bidang distribusi yang dilakukan oleh Pemerintah dan Swasta yang
meliputi: alat-alat distribusi, apotek-apotek, rumah obat-rumah obat, toko-toko penyalur
obat dan lain-lain.
c) Usaha-usaha penyelidikan (penelitian) oleh Lembaga Farmasi Nasional,
Universitasuniversitas dan lain-lain.
d) Usaha-usaha pengawasan oleh Pemerintah, Pusat maupun Daerah.
e) Membentuk dan menggunakan Dewan Farmasi.
f) Usaha-usaha lain.

4. UU No. 23 Th 1992 Tentang: Kesehatan (mencabut UU No 3 th 1953 dan UU No 7 th


1963)

Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
(1) Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan
setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
(2) Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan
yang dilakukan oleh pemerintah dan atau masyarakat.
(3) Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan
serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang
kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya
kesehatan.
(4) Sarana kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya
kesehatan.
(5) Kesehatan matra adalah upaya kesehatan yang dilakukan untuk meningkatkan
kemampuan fisik dan mental guna menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang berubah
secara bermakna baik lingkungan darat, udara, angkasa, maupun air.
(6) Alat kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin, implan yang tidak mengandung obat
yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan dan meringankan
penyakit, merawat orang sakit serta memulihkan kesehatan pada manusia dan atau untuk
membentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh.
(7) Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi,
pengamanan pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat, pengelolaan obat, pelayanan
obat atas resep doktcr, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat,
dan obat tradisional.
(8) Perbekalan kesehatan adalah semua bahan dan peralatan yang diperlukan untuk
menyelenggarakan upaya kesehatan.
(9) Jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat adalah suatu cara penyelenggaraan
pemeliharaan kesehatan yang paripurna berdasarkan asas usaha bersama dan
kekeluargaan, yang berkesinambungan dan dengan mutu yang terjamin serta pembiayaan
yang dilaksanakan secara praupaya.

Pasal 2
Pembangunan kesehatan diselenggarakan berasaskan perikemanusiaan yang berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa, manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan, adil dan merata,
perikehidupan dalam keseimbangan, serta kepercayaan akan kemampuan dan kckuatan
sendiri.

Pasal 3
Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan
kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang
optimal.

5. UU No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika

Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :
(1) Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang
berkhasiat psikoatif melalui pangaruh selektif pada susunan saraf pusat yang
menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
(2) Pabrik obat adalah perusahaan berbadan hukum yang memiliki izin dari Menteri untuk
melakukan kegiatan produksi serta penyaluran obat dan bahan obat, termasuk
psikotropika.
(3) Produksi adalah kegiatan atau proses menyiapkan, mengolah, membuat, menghasilkan,
mengemas, dan/atau mengubah bentuk psikotropika.
(4) Kemasan psikotropika adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi dan/atau
membungkus psikotropika, baik yang bersentuhan langsung maupun tidak.
(5) Peredaran adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan
psikotropika, baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan maupun
pemindahtanganan.
(6) Perdagangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka pembelian
dan/atau penjualan, termasuk penawaran untuk menjual psikotropika, dan kegiatan lain
berkenaan dengan pemindahtanganan psikotropika dengan memperoleh imbalan.
(7) Pedagang besar farmasi adalah perusahaan berbadan hukum yang memiliki izin dari
Menteri untuk melakukan kegiatan penyaluran sediaan farmasi, termasuk psikotropika
dan alat kesehatan.
(8) Pengangkutan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka
memindahkan psikotropika dari satu tempat ke tempat lain, dengan cara, moda atau
sarana angkutan apapun, dalam rangka produksi dan peredaran.
(9) Dokumen pengangkutan adalah surat jalan dan/atau faktur yang memuat keterangan
tentang identitas pengiriman, dan penerima, bentuk, jenis, dan jumlah psikotropika yang
diangkut.
(10) Transito adalah pengangkutan psikotropika di wilayah Republik Indonesia dengan atau
tanpa berganti sarana angkutan antara dua negara lintas.
(11) Penyerahan adalah setiap kegiatan memberikan psikotropika, baik antar-penyerahan
maupun kepada pengguna dalam rangka pelayanan kesehatan.
(12) Lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan adalah lembaga yang secara khusus
atau yang salah satu fungsinya melakukan kegiatan penelitian dan/atau menggunakan
psikottropika dalam penelitian, pengembangan, pendidikan, atau pengajaran dan telah
mendapat persetujuan dari Menteri dalam rangka kepentingan ilmu pengetahuan.
(13) Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan
badan hukum maupun bukan.
(14) Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan.

Pasal 2
(1) Ruang lingkup pengaturan di bidang Psikotropika dalam undang-undang ini adalah segala
kegiatan yang berhubungan dengan Psikotropika yang mempunyai potensi
mengakibatkan sindroma ketergantungan.
(2) Psikotropika yang mempunyai potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digolongkan menjadi :
a. Psikotropika golongan I;
b. Psikotropika golongan II;
c. Psikotropika golongan III;
d. Psikotropika golongan IV.
(3) Jenis-jenis Psikotropika golongan I, Psikotropika golongan II, Psikotropika golongan III;
Psikotropika golongan IV.sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk pertama kali
ditetapkan dan dilampirkan dalam undang-undang ini, yang merupakan bagian yang tak
terpisahkan.
(4) Ketentuan lebih lanjut untuk penetapan dan perubahan jenis-jenis Psikotropika
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur oleh Menteri.

Pasal 3

Tujuan pengaturan di bidang Psikotropika adalah :


a) Menjamin ketersediaan Psikottropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu
pengetahuan;
b) Mencegah terjadinya penyalahgunaan Psikotropika;
c) Memberantas peredaran gelap Psikotropika.

6. UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika (mencabut UU No 22 tahun 1997)

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
(1) Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik
sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongangolongan
sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.
(2) Prekursor Narkotika adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat
digunakan dalam pembuatan Narkotika yang dibedakan dalam tabel sebagaimana
terlampir dalam Undang-Undang ini.
(3) Produksi adalah kegiatan atau proses menyiapkan, mengolah, membuat, dan
menghasilkan Narkotika secara langsung atau tidak langsung melalui ekstraksi atau
nonekstraksi dari sumber alami atau sintetis kimia atau gabungannya, termasuk
mengemas dan/atau mengubah bentuk Narkotika.
(4) Impor adalah kegiatan memasukkan Narkotika dan Prekursor Narkotika ke dalam
Daerah Pabean.
(5) Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan Narkotika dan Prekursor Narkotika dari Daerah
Pabean.
(6) Peredaran Gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika adalah setiap kegiatan atau
serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak atau melawan hukum yang
ditetapkan sebagai tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika.
(7) Surat Persetujuan Impor adalah surat persetujuan untuk mengimpor Narkotika dan
Prekursor Narkotika.
(8) Surat Persetujuan Ekspor adalah surat persetujuan untuk mengekspor Narkotika dan
Prekursor Narkotika.
(9) Pengangkutan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan memindahkan
Narkotika dari satu tempat ke tempat lain dengan cara, moda, atau sarana angkutan apa
pun.
(10) Pedagang Besar Farmasi adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin
untuk melakukan kegiatan pengadaan, penyimpanan, dan penyaluran sediaan farmasi,
termasuk Narkotika dan alat kesehatan.
(11) Industri Farmasi adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin untuk
melakukan kegiatan produksi serta penyaluran obat dan bahan obat, termasuk
Narkotika.
(12) Transito Narkotika adalah pengangkutan Narkotika dari suatu negara ke negara lain
dengan melalui dan singgah di wilayah Negara Republik Indonesia yang terdapat kantor
pabean dengan atau tanpa berganti sarana angkutan.
(13) Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika
dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis.
(14) Ketergantungan Narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk
menggunakan Narkotika secara terusmenerus dengan takaran yang meningkat agar
menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi dan/atau
dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas.
(15) Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan
hukum.
(16) Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk
membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika.
(17) Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik,
mental maupun sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali melaksanakan
fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.

Pasal 6
(1) Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 digolongkan ke dalam:
a. Narkotika Golongan I;
b. Narkotika Golongan II; dan
c. Narkotika Golongan III.
(2) Penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pertama kali
ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dan merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari Undang-Undang ini.
(3) Ketentuan mengenai perubahan penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

7. UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
(1) Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum
untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
(2) Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk
hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
(3) Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah lembaga
nonPemerintah yang terdaftar dan diakui oleh Pemerintah yang mempunyai kegiatan
menangani perlindungan konsumen.
(4) Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah badan yang dibentuk untuk membantu
upaya pengembangan perlindungan konsumen.

Pasal 2
Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan
keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.

Pasal 3
Perlindungan konsumen bertujuan:
a) meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
b) mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses
negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
c) meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut
hakhaknya sebagai konsumen;
d) menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum
dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
e) menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen
sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha;
f) meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi
barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

8. UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :
(1) Praktik kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi
terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan.
(2) Sertifikat kompetensi adalah surat tanda pengakuan terhadap kemampuan seorang dokter
atau dokter gigi untuk menjalankan praktik kedokteran di seluruh Indonesia setelah lulus
uji kompetensi.
(3) Surat izin praktik adalah bukti tertulis yang diberikan pemerintah kepada dokter dan
dokter gigi yang akan menjalankan praktik kedokteran setelah memenuhi persyaratan.
(4) Sarana pelayanan kesehatan adalah tempat penyelenggaraan upaya pelayanan kesehatan
yang dapat digunakan untuk praktik kedokteran atau kedokteran gigi.

Pasal 2
Praktik kedokteran dilaksanakan berasaskan Pancasila dan didasarkan pada nilai ilmiah,
manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, serta perlindungan dan keselamatan pasien.

Pasal 3
Pengaturan praktik kedokteran bertujuan untuk :
a) memberikan perlindungan kepada pasien;
b) mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter
dan dokter gigi; dan
c) memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi.

9. UU No. 36 Th 2009 Tentang : Kesehatan (mencabut UU 23 th 1992)

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
(1) Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang
memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
(2) Sumber daya di bidang kesehatan adalah segala bentuk dana, tenaga, perbekalan
kesehatan, sediaan farmasi dan alat kesehatan serta fasilitas pelayanan kesehatan dan
teknologi yang dimanfaatkan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan yang dilakukan
oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
(3) Perbekalan kesehatan adalah semua bahan dan peralatan yang diperlukan untuk
menyelenggarakan upaya kesehatan.
(4) Alat kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin dan/atau implan yang tidak
mengandung obat yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan dan
meringankan penyakit, merawat orang sakit, memulihkan kesehatan pada manusia,
dan/atau membentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh.
(5) Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan
serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang
kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya
kesehatan.
(6) Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk
menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif
maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau
masyarakat.
(7) Teknologi kesehatan adalah segala bentuk alat dan/atau metode yang ditujukan untuk
membantu menegakkan diagnosa, pencegahan, dan penanganan permasalahan
kesehatan manusia.
(8) Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan
secara terpadu, terintregasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan
kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau
masyarakat.
(9) Pelayanan kesehatan promotif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan
pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat promosi
kesehatan.
(10) Pelayanan kesehatan preventif adalah suatu kegiatan pencegahan terhadap suatu
masalah kesehatan/penyakit.
(11) Pelayanan kesehatan kuratif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan
pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan
akibat penyakit, pengendalian penyakit, atau pengendalian kecacatan agar kualitas
penderita dapat terjaga seoptimal mungkin.
(12) Pelayanan kesehatan rehabilitatif adalah kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan untuk
mengembalikan bekas penderita ke dalam masyarakat sehingga dapat berfungsi lagi
sebagai anggota masyarakat yang berguna untuk dirinya dan masyarakat semaksimal
mungkin sesuai dengan kemampuannya.
(13) Pelayanan kesehatan tradisional adalah pengobatan dan/atau perawatan dengan cara dan
obat yang mengacu pada pengalaman dan keterampilan turun temurun secara empiris
yang dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku
di masyarakat.

Pasal 2
Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan,
keseimbangan, manfaat, pelindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan,
gender dan nondiskriminatif dan norma-norma agama.

Pasal 3
Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan
kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif
secara sosial dan ekonomis.

10. Permenkes No. 688/Menkes/PER/VII/1997 tentang Peredaran Psikotropika

Pasal 1
Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan :
(1) Psikotropika adalah zal atau obat baik alamiah maupun sintetis, bukan narkotika, yang
berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang
menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
(2) Peredaran adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan
psikotropika, baik dalam rangka perdagangan, bukan Pendagangan maupun pemindah
tanganan.
(3) Penyaluran adalah setiap kegiatan memberikan psikotropika, baik antar penyalur maupun
dari penyalur kepada penyerah dalam rangka pelayanan kesehatan atau kepada penerima
dalam rangka kepentingan ilmu pengetahuan.
Pasal 2
(1) Ruang lingkup peredaran psikotropika meliputi penyaluran dan penyerahan psikotropika
yang mempunyai potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan.
(2) Psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
1. Psikotropika golongan l,
2. Psikotropika golongan II;
3. Psikotropika golongan lll,
4. Psikotropika golongan lV;

Pasal 3
Psikotropika sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 hanya dapat diedarkan setelah terdaftar
pada Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan

Pasal 4
(1) Peredaran psikotropika hanya dapat dilakukan oleh sarana kesehatan yang memiliki izin
dari Menteri.
(2) Sarana kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pabrik obat, pedagang
besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, Apotek, Rumah Sakit,
Puskesmas, Balai Pengobatan, lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan dan
dokter.

11. Permenkes No. 284 tahun 2007 tentang APOTEK RAKYAT

Pasal 1
peraturan menteri ini yang dimaksud :
(1) Apotek Rakyat adalah sarana kesehatan tempat dilaksanakannya pelayanan kefarmasian
dimana dilakukan penyerahan obat dan perbekalan kesehatan dan tidak melakukan
peracikan.

Pasal 2
Pengaturan Apotek Rakyat bertujuan untuk :
(1) Memberikan pedoman bagi toko obat yang ingin meningkatkan pelayanan dan status
usahanya menjadi Apotek Rakyat.
(2) Pedoman bagi perorangan atau usaha kecil yang ingin mendirikan apotek rakyat.
(3) Melindungi masyarakat untuk dapat memperoleh pelayanan kefarmasian yang baik dan
benar.

Pasal 3
(1) Setiap orang atau badan usaha dapat mendirikan Apotek Rakyat.
(2) Apotek rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki izin yang dikeluarkan
oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota Setempat.
(3) Untuk memperoleh izin Apotek Rakyat tidak dipungut biaya.
(4) Tatacara memperoleh izin Apotek Rakyat sebagaimana terlampir dalam Lampiran
Peraturan ini.

Pasal 5
(1) Apotek Rakyat dalam pelayanan kefarmasian harus mengutamakan obat generik.
(2) Apotek Rakyat dilarang menyediakan Narkotika dan Psikotropika, meracik obat dan
menyerahkan obat dalam jumlah besar.

Pasal 6
(1) Setiap Apotek Rakyat harus memiliki 1 (satu) orang Apoteker sebagai penanggung jawab
dan dapat dibantu oleh Asisten Apoteker.
(2) Apoteker dan Asisten Apoteker sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
melaksanakan tugasnya harus sesuai dengan standar profesi masing-masing.

Pasal 7
(1) Apotek Rakyat harus memenuhi standar dan persyaratan.
(2) Standar dan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagaimana terlampir
dalam Lampiran Peraturan ini.

12. Permenkes No. 1148/MENKES/PER/VI/2011 Ttg PEDAGANG BESAR FARMASI


Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
(1) Pedagang Besar Farmasi, yang selanjutnya disingkat PBF adalah perusahaan berbentuk
badan hukum yang memiliki izin untuk pengadaan, penyimpanan, penyaluran obat
dan/atau bahan obat dalam jumlah besar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) PBF Cabang adalah cabang PBF yang telah memiliki pengakuan untuk melakukan
pengadaan, penyimpanan, penyaluran obat dan/atau bahan obat dalam jumlah besar sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 2
(1) Setiap pendirian PBF wajib memiliki izin dari Direktur Jenderal.
(2) Setiap PBF dapat mendirikan PBF Cabang.
(3) Setiap pendirian PBF Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memperoleh
pengakuan dari Kepala Dinas Kesehatan Provinsi di wilayah PBF Cabang berada.

Pasal 3
(1) Izin PBF berlaku 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan.
(2) Pengakuan PBF Cabang berlaku mengikuti jangka waktu izin PB.

13. Permenkes No 889 thn 2011 ttg Registrasi Ijin Kerja, Ijin Praktek Tenaga
Kefarmasian

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
(1) Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi,
pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat,
pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta
pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.
(2) Tenaga kefarmasian adalah tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri
atas Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian.
(3) Apoteker adalah Sarjana Farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah
mengucapkan sumpah jabatan Apoteker.
(4) Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam
menjalankan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya
Farmasi, Analis Farmasi dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker;
(5) Sertifikat kompetensi profesi adalah surat tanda pengakuan terhadap kompetensi
seorang Apoteker untuk dapat menjalankan pekerjaan/praktik profesinya di seluruh
Indonesia setelah lulus uji kompetensi.
(6) Registrasi adalah pencatatan resmi terhadap tenaga kefarmasian yang telah memiliki
sertifikat kompetensi dan telah mempunyai kualifikasi tertentu serta diakui secara
hukum untuk menjalankan pekerjaan/praktik profesinya.
(7) Registrasi ulang adalah pencatatan ulang terhadap tenaga kefarmasian yang telah
diregistrasi setelah memenuhi persyaratan yang berlaku.
(8) Surat Tanda Registrasi Apoteker, yang selanjutnya disingkat STRA adalah bukti tertulis
yang diberikan oleh Menteri kepada Apoteker yang telah diregistrasi.
(9) Surat Tanda Registrasi Apoteker Khusus, yang selanjutnya disingkat STR Khusus
adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Menteri kepada Apoteker warga negara asing
lulusan luar negeri yang akan melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia.
(10) Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian, yang selanjutnya disingkat
STRTTK adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Menteri kepada Tenaga Teknis
Kefarmasian yang telah diregistrasi.
(11) Surat Izin Praktik Apoteker, yang selanjutnya disingkat SIPA adalah surat izin yang
diberikan kepada Apoteker untuk dapat melaksanakan praktik kefarmasian pada
fasilitas pelayanan kefarmasian.
(12) Surat Izin Kerja Apoteker, yang selanjutnya disebut SIKA adalah surat izin praktik
yang diberikan kepada Apoteker untuk dapat melaksanakan pekerjaan kefarmasian pada
fasilitas produksi atau fasilitas distribusi atau penyaluran.
(13) Surat Izin Kerja Tenaga Teknis Kefarmasian, yang selanjutnya disebut SIKTTK adalah
surat izin praktik yang diberikan kepada Tenaga Teknis Kefarmasian untuk dapat
melaksanakan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas kefarmasian.
(14) Komite Farmasi Nasional, yang selanjutnya disingkat KFN adalah lembaga yang
dibentuk oleh Menteri Kesehatan yang berfungsi untuk meningkatkan mutu Apoteker
dan Tenaga Teknis Kefarmasian dalam melakukan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas
kefarmasian.
(15) Organisasi profesi adalah organisasi tempat berhimpun para Apoteker di Indonesia.
(16) Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal pada Kementerian Kesehatan yang tugas dan
tanggung jawabnya di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan.

Pasal 2
(1) Setiap tenaga kefarmasian yang menjalankan pekerjaan kefarmasian wajib memiliki surat
tanda registrasi.
(2) Surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. STRA bagi Apoteker; dan
b. STRTTK bagi Tenaga Teknis Kefarmasian.

Pasal 3
(1) STRA dan STRTTK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dikeluarkan oleh Menteri.
(2) Menteri mendelegasikan pemberian:
a. STRA kepada KFN; dan
b. STRTTK kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.

Pasal 14
(1) Untuk memperoleh STRTTK, Tenaga Teknis Kefarmasian harus mengajukan
permohonan kepada kepala dinas kesehatan provinsi dengan menggunakan contoh
sebagaimana tercantum dalam Formulir 4 terlampir.
(2) Surat permohonan STRTTK harus melampirkan:
a. Fotokopi ijazah Sarjana Farmasi atau Ahli Madya Farmasi atau Analis Farmasi atau
Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker;
b. Surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki surat izin praktik;
c. Surat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika kefarmasian;
d. Surat rekomendasi kemampuan dari Apoteker yang telah memiliki STRA, atau
pimpinan institusi pendidikan lulusan, atau organisasi yang Menghimpun Tenaga
Teknis Kefarmasian; dan
e. Pas foto terbaru berwarna ukuran 4 x 6 cm sebanyak 2 (dua) lembar dan ukuran 2 x
3 cm sebanyak 2 (dua) lembar.
(3) Kepala Dinas Kesehatan Provinsi harus menerbitkan STRTTK paling lama 10 (sepuluh)
hari kerja sejak surat permohonan diterima dan dinyatakan lengkap menggunakan contoh
sebagaimana tercantum dalam Formulir 5 terlampir.
14. Permenkes No73 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Farmasi di Apotek

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
(1) Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh
Apoteker.
(2) Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolak ukur yang dipergunakan sebagai pedoman
bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian.
(3) Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada
pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti
untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.

Pasal 2
Pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bertujuan untuk:
a) Meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian;
b) Menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian; dan
c) Melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak rasional dalam
rangka keselamatan pasien (patient safety).

Pasal 3
(1) Standar pelayanan kefarmasian di apotek meliputi standar:
a. Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai; dan
b. Pelayanan farmasi klinik.
(2) Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. Perencanaan;
b. Pengadaan;
c. Penerimaan;
d. Penyimpanan;
e. Pemusnahan;
f. Pengendalian; dan
g. Pencatatan dan pelaporan.
(3) Pelayanan farmasi klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a.
Pengkajian resep;
b. Dispensing;
c. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
d. Konseling;
e. Pelayanan kefarmasian di rumah (home pharmacy care);
f. Pemantauan Terapi Obat (PTO); dan
g. Monitoring Efek Samping Obat (MESO).

15. Permenkes No 9 tahun 2017 Tentang Apotek

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
(1) Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh
Apoteker.

Pasal 2
Pengaturan apotek bertujuan untuk:
a) Meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian di apotek;
b) Memberikan perlindungan pasien dan masyarakat dalam memperoleh pelayanan
kefarmasian di apotek; dan
c) Menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian dalam memberikan pelayanan
kefarmasian di apotek.

Pasal 4
Pendirian Apotek harus memenuhi persyaratan, meliputi:
a) Lokasi;
b) Bangunan;
c) Sarana, prasarana, dan peralatan; dan
d) Ketenagaan.
Pasal 6
(1) Bangunan Apotek harus memiliki fungsi keamanan, kenyamanan, dan kemudahan dalam
pemberian pelayanan kepada pasien serta perlindungan dan keselamatan bagi semua
orang termasuk penyandang cacat, anak-anak, dan orang lanjut usia.
(2) Bangunan Apotek harus bersifat permanen.
(3) Bangunan bersifat permanen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat merupakan
bagian dan/atau terpisah dari pusat perbelanjaan, apartemen, rumah toko, rumah kantor,
rumah susun, dan bangunan yang sejenis.

Pasal 7
Bangunan apotek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 paling sedikit memiliki sarana ruang
yang berfungsi:
a) Penerimaan Resep;
b) Pelayanan Resep dan peracikan (produksi sediaan secara terbatas);
c) Penyerahan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan;
d) Konseling;
e) Penyimpanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan; dan
f) Arsip.

Anda mungkin juga menyukai