Anda di halaman 1dari 10

TUGAS UNDANG-UNDANG DAN ETIKA KESEHATAN

PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA


PEMBERIAN IZIN APOTEK

Oleh :
I Gede Dwija Bawa Temaja
0808505031

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS UDAYANA

2011
PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA
PEMBERIAN IZIN APOTEK

Pembukaan apotek pertama kali disinggung dalam Undang-Undang Republik Indonesia


Nomor 3 Tahun 1953 Tentang Pembukaan Apotik. Dalam Pasal 1 Ayat 1 tertulis mengenai
pelarangan untuk membuka apotek yang telah menghentikan pekerjaannya selama satu tahun di
daerah-daerah tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan kecuali telah mendapatkan izin.
Namun larangan ini tidak berlaku untuk apotek yang akan dibuka oleh pemerintah.
Pasal 1
(1) Dilarang membuka apotik termasuk juga membuka kembali apotik yang telah
menghentikan pekerjaannya sekurang-kurangnya selama setahun di tempat-tempat
atau/dan daerah-daerah yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan, kecuali bila diizinkan.
(2) Larangan di atas tidak berlaku bagi apotik yang akan dibuka atau/dan yang akan dibuka
kembali oleh Penguasa militer atau sipil.

Pada tahun 1965, dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun
1965 Tentang Apotik disebutkan yang dimaksud dengan apotik adalah “suatu tempat tertentu,
di mana dilakukan usaha-usaha dalam bidang farmasi dan pekerjaan kefarmasian”. Dalam
Pasal 5 PP No 26 ini disebutkan bahwa untuk mendirikan apotek harus memiliki izin dari
Menteri Kesehatan yang menetapkan ketentuan-ketentuan mengenai:
a. Syarat-syarat kesehatan daripada ruangan (tempat) apotik
b. Alat-alat perlengkapan dan obat-obat yang diperlukan untuk menjalankan pekerjaan
kefarmasian
c. Hal-hal lain yang dianggap perlu.
Izin Menteri Kesehatan ini bermaksud untuk memberikan jaminan terhadap umum, bahwa baik
tempatnya maupun segala usaha perkerjaan sebuah apotik, teknik farmasi dapat dipertanggung
jawabkan.

Selanjutnya pada tahun 1980, keluarlah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia


Nomor 25 Tahun 1980 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun
1965 Tentang Apotik. Dalam peraturan ini, apotek itu sendiri mengalami perubahan definisi
menjadi “Suatu tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran obat
kepada masyarakat”. Perubahan ini disebabkan karena apotik dirasa lebih mendahulukan
usahanya dalam mengejar keuntungan dari pada usaha penyediaan penyediaan dan penyaluran
obat yang dibutuhkan oleh golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah, sehingga fungsi,
sosial yang harus dipenuhi oleh usaha farmasi swasta tidak dapat terlaksana sebagaimana
mestinya. Oleh karena itu, apotik.dikembalikan kepada fungsi semula sebagai sarana penyalur
perbekalan farmasi, dan sebagai sarana tempat dilakukan pekerjaan kefamasian oleh. tenaga-
tenaga farmasi dalam rangka pengabdian profesi kepada masyarakat. Pendirian apotek
disebutkan dalam Pasal 5 dimana setelah mendapatkan izin Menteri Kesehatan, maka sebuah
apotek dapat diusahakan oleh
a. Lembaga atau Instansi Pemerintah dengan tugas pelayanan kesehatan di Pusat.
Dan di Daerah.
b. Perusahaan milik Negara yang ditunjuk oleh Pemerintah
c. Apoteker yang telah .mengucapkan sumpah. dan telah memperoleh izin kerja dari.
Menteri Kesehatan

Persyaratan tentang apotek kemudian diperjelas dalam Peraturan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia No. 26/Men.Kes/Per/1/1981 Tentang Pengelolaan dan Perizinan
Apotek. Dalam peraturan ini disebutkan mengenai persyaratan dan perizinan Apotek antara lain
sebagai berikut:
 Lokasi, bangunan, perlengkapan apotik, perbekalan farmasi dan tenaga kesehatan, harus
menunjang penyebaran dan pemerataan pelayanan kesehatan pada masyarakat, tanpa
mengurangi mutu pelayanan (Pasal 22)
 Izin Apotik pada tempat tertentu diberikan oleh Menteri kepada Apoteker pemilik Surat
Izin Pengelolaan Apotik (SIPA) (Pasal 24 Ayat 1)
 Untuk Apoteker pemohonnya harus memenuhi persyaratan antara lain (Pasal 24 Ayat 2)
a. Tidak merangkap bekerja pada perusahaan farmasi lain.
b. Harus bertempat tinggal dalam jarak tertentu yang memungkinkannya
melaksanakan tugas sehari-hari sebagai APoteker Pengelola Apotik.
c. Tidak terikat pada suatu kewajiban lain, sehingga tidak memungkinkannya
melaksanakan tugas sebagai Apoteker Pengelola Apotik.
d. Kepala Apoteker Pegawai Negeri, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan
Apoteker yang bekerja pada instansi Pemerintah lainnya harus mendapatkan izin
atasannya sesuai dengan kketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 Bagi apotik yang diselenggarakan oleh Perusahaan milik Negara yang ditunjuk
Lembaga/Instansi Pelayanan Kesehatan atau Rumah Sakit, bangunan, perlengkapan
Apotik, perbekalan farmasi dan tenaga yang dimaksud Pasal 22 merupakan milik
Perusahaan Milik Negara, Lembaga/Instansi Pelayanan Kesehatan Pemerintah atau
Rumah Sakit yang bersangkutan. (Pasal 25)
 Surat Izin Pengelolaan Apotik (SIPA) diberikan oleh Menteri kepada seseorang Apoteker
setelah memenuhi ketentuan sebagai berikut (Pasal 26):
a. Ijasahnya telah terdaftar pada Departemen Kesehatan
b. Telah mengucapkan sumpah/janji sebagai Apoteker
c. Memiliki Surat Izin Kerja dari Menteri.
d. Memenuhi syarat-syarat kesehatan fisik dan mental untuk melaksanakan tugasnya
sebagai Apoteker.
e. Memiliki pengetahuan dan ketrampilan pengelolaan Apotik.
 Surat Izin yang dimaksud Pasal 26 berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang
(Pasal 27)

Selain itu terdapat juga Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


No.278/Menkes/Sk/V/1981 Tentang Persyaratan Apotik yang didalamnya memuat tentang
persyaratan meliputi lokasi, jumlah Apotik dan jarak minimal antara Apotik, persyaratan
bangunan, perlengkapan Apotik, perbekalan kesehatan di bidang farmasi dan tenaga kesehatan.
Persyaratan dalam Keputusan Menteri ini antara lain:
 Lokasi untuk Apotik baru atau perpindahan Apotik beserta jumlah dan jarak minimal
antara Apotik yang diperkenankan untuk suatu wilayah tertentu, ditetapkan oleh Menteri
c.q. Direktur Jenderal atas usul Kepala Kantor Wilayah (Pasal 3 Ayat 1).
 Lokasi dan jarak Apotik harus mempertimbangkan segi penyebaran dan pemerataan
pelayanan kesehatan, jumlah penduduk, jumlah dokter yang berpraktek, saran pelayanan
kesehatan, hygiene lingkungan dan faktor lainnya (Pasal 3 Ayat 2).
 Luas bangunan Apotik sekurang-kurangnya 50 m2, terdiri dari ruang tunggu, ruang
peracikan dan penyerahan obat, ruang administrasi, ruang laboratorium pengujian
sederhana, ruang penyimpanan obat, tempat pencucian alat dan jamban (W.C) (Pasal 4
Ayat 2)

Ketentuan lebih jelas mengenai tata cara perizinan Apotek dibahas dalam Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.279/Menkes/Sk/V/1981 Tentang Ketentuan dan
Tata Cara Perizinan Apotik. Dalam keputusan Menteri ini terdapat penjelasan mengenai Surat
Izin Pengelolaan Apotik (SIPA), persetujuan lokasi serta Surat Izin Apotik.
Untuk memiliki Surat Izin Pengelolaan Apotik (SIPA), seorang Apoteker dapat mengajukan
permohonan secara tertulis di atas kertas bermaterai kepada Menteri dan Direktur Jendral dengan
mencantumkan: nama dan alamat Apoteker pemohon, nama Perguruan Tinggi tempat pendidikan
Apoteker dan tanggal lulus sebagai Apoteker, nomor dan tanggal Surat Izin Kerja serta
keterangan tempat bekerja bagi yang telah bekerja. Bersama dengan surat permohonan ini,
disertakan juga lampiran yang memuat: salinan atau fotokopi ijasah, salinan atau fotokopi Surat
Sumpah atau Janji Apoteker, salinan atau fotokopi Surat Izin Kerja, surat keterangan kesehatan
dari dokter Pemerintah, surat keterangan telah memiliki pengetahuan dan ketrampilan untuk
mengelola apotik yang diberikan Perguruan Tinggi atau Apoteker yang telah memiliki Surat Izin
Pengelolaan Apotik yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal. (Pasal 2 Ayat 1 dan 2)
Selanjutnya, untuk permasalahan lokasi Apotik, disebutkan dalam Pasal 3 Ayat 1-10 dimana
Kepala Kantor Wilayah dapat mengusulkan tentang wilayah untuk dibangun Apotik beserta
jumlah Apotik yang dapat didirikan dan jarak minimal antar Apotik secara berkala setahun sekali
kepada Menteri atau Direktur Jendral. Setelah ditetapkan wilayah yang diperkenankan untuk
mendirikan Apotik maka Apoteker yang telah memiliki SIPA dan memilih salah satu lokasi yang
diperkenankan untuk pembukaan Apotik dapat mengajukan permohonan persetujuan lokasi
kepada Kepala Kantor Wilayah. Apabila permohonan tersebut telah disetujui maka lokasi
tersebut tertutup bagi pemohon lain sampai persetujuan lokasi yang telah diberikan dinyatakan
batal.
Setelah memperoleh persetujuan lokasi maka Apoteker dapat mengajukan permohonan Izin
Apotik secara tertulis di atas kertas bermaterai kepada Menteri atau direktur Jendral melalui
Kepala Kantor Wilayah. Permohonan ini berisi nama dan alamat Apoteker pemohon. Nomor dan
tanggal Kartu Tanda Penduduk, nomor dan tanggal Surat Izin Pengelolaan Apotik, lokasi Apotek
lengkap, nama calon Apotik, nomor dan tanggal persetujuan lokasi serta nama pemilik sarana.
Bersama dengan surat permohonan tersebut maka dilampirkan juga salinan atau fotokopi Surat
Izin Pengelolaan Apotik, salinan atau fotokopi Kartu Tanda Penduduk, denah situasi dan
sekitarnya yang menyatakan jarak antara lokasi yang dipilih dengan Apotik atau calon Apotik
terdekat, denah bangunan, keterangan tentang bangunan, sumber air dan penerangan, surat yang
menyatakan status bangunan, daftar tenaga keehatan, daftar terperinci alat perlengkapan Apotik,
surat pernyataan tidak bekerja tetap atau akan berhenti bekerja pada perusahaan farmasi lain,
surat izin atasan bagi pemohon pegawai Negeri, ABRI atau pegawai Instansi Pemerintah lainnya,
serta surat keterangan pindah dari Kantor Wilayah bagi yang pindah dari propinsi lain. (Pasal 4)

Pada tahun 1990, muncul Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


No.244/Menkes/Sk/V/1990 Tentang Ketentuan dan Tatacara Pemberian Izin Apotik.
Keluarnya peraturan Menteri ini sekaligus mencabut Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 26 Tahun 1981 tentang Pengelolaan dan Perizinan Apotik, Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 278 Tahun 1981 tentang Persyaratan Apotik,
Nomor 279 Tahun 1981 tentang Ketentuan dan Tata Cara Apotik serta Nomor 280 Tahun 1981
tentang Ketentuan dan Tata Cara Apotik.
Dalam peraturan ini, definisi Apotik yang dimaksud adalah suatu tempat tertentu tempat
dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran perbekalan farmasi kepada masyarakat.
Pemberian izin Apotik diberikan oleh Menteri dengan pelimpahan kewenangan kepada
Direktorat Jenderal dan selanjutnya Kepala Kantor Wilayah (Pasal 4). Sedangkan untuk
persyaratan Apotik yang akan diberikan izin harus memenuhi persyaratan tempat, perlengkapan
dan perbekalan farmasi. Tempat dan perbekalan farmasi disesuaikan dengan kebutuhan untuk
pelayanan/kefarmasian dan perbekalan farmasi tersebut sekurang-kurangnya terdiri dari obat
generik sesuai dengan DOEN untuk Rumah Sakit kelas C dan D (Pasal 6 Ayat 1-3).
Adapun tata cara pemberian izin Apotik dalam peratutan ini tertuang dalam Pasal 7, Pasal 8
dan Pasal 9. Permohonan izin apotik diajukan kepada Kepala Kantor Wilayah dengan tembusan
kedapa Direktur Jenderal. Selanjutnya Kepala Kantor Wilayah akan menugaskan Kepala Balai
Pemeriksaan Obat dan Makanan untuk melakukan pemeriksaan setempat terhadap kesiapan
Apotik untuk melakukan kegiatan yang selanjutnya akan memberikan laporan apakah Apotik
tersebut sudah memenuhi syarat atau belum.

Pada tahun 1993, keluar Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 922/Menkes/Per/X/1993


Tentang Ketentuan Dan Tata Cara Pemberian Izin Apotik. Dengan keluarnya peraturan ini
sekaligus mencabut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.244/Menkes/Sk/V/1990 tentang Ketentuan dan Tatacara Pemberian Izin Apotik.
Dalam peraturan ini, definisi Apotik yang dimaksud adalah suatu tempat tertentu tempat
dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran perbekalan farmasi kepada masyarakat.
Pemberian izin Apotik diberikan oleh Menteri dengan pelimpahan kewenangan kepada
Direktorat Jenderal dan selanjutnya Kepala Kantor Wilayah (Pasal 4).
Persyaratan Apotik yang diharapkan dalam peraturan ini adalah memenuhi persyaratan
harus siap dengan tempat, perlengkapan termasuk sediaan farmasi dan perbekalan lainnya yang
merupakan milik sendiri atau milik pihak lain. Sarana Apotik dapat didirikan pada lokasi yang
sama dengan kegiatan pelayanan komoditi lainnya di luar sediaan farmasi serta Apotik dapat
melakukan kegiatan pelayanan komoditi lainnya di luar sediaan farmasi (Pasal 6 Ayat 1-3)
Adapun tata cara pemberian izin Apotik dalam peratutan ini tertuang dalam Pasal 7, Pasal 8
dan Pasal 9. Permohonan izin apotik diajukan kepada Kepala Kantor Wilayah dengan tembusan
kedapa Direktur Jenderal. Selanjutnya Kepala Kantor Wilayah akan menugaskan Kepala Balai
Pemeriksaan Obat dan Makanan untuk melakukan pemeriksaan setempat terhadap kesiapan
Apotik untuk melakukan kegiatan yang selanjutnya akan memberikan laporan apakah Apotik
tersebut sudah memenuhi syarat atau belum.

Pada tahun 2002 terjadi perubahan dengan keluarnya Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor. 1332/Menkes/Sk/X/2002 tentang perubahan atas Peraturan
Menteri Kesehatan Rl Nomor. 922/Menkes/Per/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara
Pemberian Izin Apotik.
Dalam peraturan ini, definisi Apotik yang dimaksud adalah suatu tempat tertentu tempat
dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran Sediaan farmasi, Perbekalan Kesehatan
lainnya kepada masyarakat. Pemberian izin Apotik mengalami perubahan dimana izin diberikan
oleh Menteri dengan pelimpahan kewenangan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
(semula kepada Direktur Jenderal dan selanjutnya Kepala Kantor Wilayah) (Pasal 4).
Adapun tata cara pemberian izin Apotik dalam peratutan ini juga mengalami perubahan
sebagaimana tertuang dalam Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9. Permohonan izin apotik diajukan
kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (semula Kepala Kantor Wilayah dengan
tembusan kedapa Direktur Jenderal). Selanjutnya Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat
meminta bantuan Kepala Balai Pemeriksaan Obat dan Makanan untuk melakukan pemeriksaan
setempat terhadap kesiapan Apotik untuk melakukan kegiatan yang selanjutnya akan
memberikan laporan apakah Apotik tersebut sudah memenuhi syarat atau belum.

Persyaratan mengenai Apotek juga tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian
Di Apotek. Dalam peraturan ini disebutkan bahwa Apotek harus berlokasi pada daerah yang
dengan mudah dikenali oleh masyarakat. Pada halaman terdapat papan petunjuk yang dengan
jelas tertulis kata apotek. Apotek harus dapat dengan mudah diakses oleh anggota masyarakat.
Pelayanan produk kefarmasian diberikan pada tempat yang terpisah dari aktivitas pelayanan dan
penjualan produk lainnya, hal ini berguna untuk menunjukkan integritas dan kualitas produk
serta mengurangi resiko kesalahan penyerahan. Masyarakat harus diberi akses secara langsung
dan mudah oleh apoteker untuk memperoleh informasi dan konseling.
Lingkungan apotek harus dijaga kebersihannya. Apotek harus bebas dari hewan pengerat ,
serangga/pest. Apotek memiliki suplai listrik yang konstan, terutama untuk lemari pendingin.
Apotek harus memiliki :
1. Ruang tunggu yang nyaman bagi pasien.
2. Tempat untuk mendisplai informasi bagi pasien, termasuk penempatan brosur/materi
informasi.
3. Ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien yang dilengkapi dengan meja dan kursi
serta lemari untuk menyimpan catatan medikasi pasien
4. Ruang racikan.
5. Keranjang sampah yang tersedia untuk staf maupun pasien.
Perabotan apotek harus tertata rapi, lengkap dengan rak-rak penyimpanan obat dan barang-
barang lain yang tersusun dengan rapi, terlindung dari debu, kelembaban dan cahaya yang
berlebihan serta diletakkan pada kondisi ruangan dengan temperatur yang telah ditetapkan.

Pada tahun 2007, terdapat juga Peraturan Menteri Kesehatan Nomor


284/Menkes/Per/III/2007 tentang Apotik Rakyat. Yang dimaksud dengan Apotik rakyat adalah
sarana kesehatan tempat dilaksanakannya pelayanan kefarmasian dimana dilakukan penyerahan
obat dan perbekalan kesehatan, dan tidak melakukan peracikan (Pasal 1 Ayat 1)
Permohonan izin Apotik Rakyat diajukan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
(semula Kepala Kantor Wilayah dengan tembusan kedapa Direktur Jenderal). Selanjutnya
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat meminta bantuan Kepala Balai Pemeriksaan
Obat dan Makanan untuk melakukan pemeriksaan setempat terhadap kesiapan Apotik untuk
melakukan kegiatan yang selanjutnya akan memberikan laporan apakah Apotik tersebut sudah
memenuhi syarat atau belum.
DAFTAR PUSTAKA

Hartini, Yustina Sri dan Sulasmono. 2008. Apotek Ulasan Beserta Naskah Peraturan-peraturan
Undang-undang Terkait Apotik Termasuk Naskah dan Ulasan Permenkes Tentang
Apotik Rakyat. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Anda mungkin juga menyukai