Anda di halaman 1dari 3

NAMA : ANNISA AZHAR JANNAH

NIM : 2008020014
1. Peran Apoteker sebagai tenaga kesehatan dalam pengelolaan obat
Peran apoteker yang dimaksud Pasal 108 dalam ayat (1) Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu
sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian obat, pelayanan
obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat
dan obat tradisional.
 Pengadaan
Pengadaan Sediaan Farmasi dilakukan pada fasilitas produksi, fasilitas distribusi
atau penyaluran dan fasilitas pelayanan sediaan farmasi. Pengadaan Sediaan Farmasi
harus dapat menjamin keamanan, mutu, manfaat dan khasiat Sediaan Farmasi.
 Penyimpanan
Apoteker menyimpan Obat/bahan Obat pada kondisi yang sesuai sehingga
terjamin keamanan dan stabilitasnya. Sistem penyimpanan dilakukan dengan
memperhatikan bentuk sediaan dan kelas terapi Obat serta disusun secara alfabetis.
Pengeluaran Obat memakai sistem FEFO atau FIFO. Obat/bahan Obat harus disimpan
dalam wadah asli dari pabrik. Apabila isinya dipindahkan pada wadah lain, maka harus
dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi yang jelas pada wadah baru.
 Distribusi
Distribusi merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam rangka menyalurkan atau
menyerahkan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dari
tempat penyimpanan sampai kepada unit pelayanan/pasien dengan tetap menjamin mutu,
stabilitas, jenis, jumlah, dan ketepatan waktu. Rumah Sakit, puskesmas dan apotik harus
menentukan sistem distribusi yang dapat menjamin terlaksananya pengawasan dan
pengendalian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai di unit
pelayanan.
 Pelayanan Informasi Obat
Pelayanan Informasi Obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh Apoteker
dalam pemberian informasi mengenai Obat yang tidak memihak, dievaluasi dengan kritis
dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan Obat kepada profesi kesehatan
lain, pasien atau masyarakat. Informasi mengenai Obat termasuk Obat Resep, Obat bebas
dan herbal. Informasi meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi khusus, rute dan metoda
pemberian, farmakokinetik, farmakologi, terapeutik dan alternatif, efikasi, keamanan
penggunaan pada ibu hamil dan menyusui, efek samping, interaksi, stabilitas,
ketersediaan, harga, sifat fisika atau kimia dari obat dan lain-lain.
2. Posisi tenaga kesehatan lain dalam pengelolaan obat jika dibandingkan dengan
Apoteker
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa
pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan,
penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan
informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan
oleh tenaga kefarmasian dan dalam hal tidak ada tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan
tertentu dapat melakukan praktik kefarmasian secara terbatas, antara lain, dokter dan/atau
dokter gigi, bidan, dan perawat yang melakukan tugasnya dalam keadaan darurat yang
mengancam keselamatan jiwa dan diperlukan tindakan medis segera untuk
menyelamatkan pasien. Sedangkan menurut Pasal 6 Peraturan Perundangan No. 51
Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, apoteker bertanggung jawab dalam
pengadaan sediaan farmasi sehingga dokter, bidan, perawat atau tenaga kesehatan lain
tidak boleh melakukan pengadaan sediaan farmasi tanpa izin apoteker.
Praktik kefarmasian secara terbatas  dijelaskan dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, yaitu :
a. Menyimpan obat dalam jumlah dan jenis yang diizinkan. Ketentuan ini dimaksudkan
untuk memberikan kewenangan bagi dokter dan dokter gigi untuk menyimpan obat
selain obat suntik sebagai upaya untuk menyelamatkan pasien. Obat tersebut
diperoleh dokter atau dokter gigi dari apoteker yang memiliki izin untuk mengelola
apotek. Jumlah obat yang disediakan terbatas pada kebutuhan pelayanan.
b. Meracik dan menyerahkan obat kepada pasien, bagi yang praktik di daerah terpencil
yang tidak ada apotek.
3. Hasil putusan judisiaal review yang diajukan oleh sejawat perawat, terkait pasal 108
Berdasarkan pasal 108 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, dalam kondisi tidak tersedianya tenaga kefarmasian, maka tenaga kesehatan
tertentu seperti dokter, dokter gigi, perawat dan bidang dapat melakukan praktik
kefarmasian secara terbatas dalam keadaan darurat yang mengancam kesehatan dan
diperlukan tindakan medis segera untuk menyelamatkan nyawa pasien (Dibacakan pada
sidang MK tanggal 27 Juni 2011).
Jika para Pemohon melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dalam
penjelasan Pasal 108, melebihi batas yang telah ditentukan, maka diancam dengan pidana
denda sebagaimana dimaksud Pasal 198 UndangUndang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan menyatakan : Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan
untuk melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam pasal 108 dipidana
denda paling banyak Rp.100.000.000,00,- (seratus juta rupiah).

Anda mungkin juga menyukai