Anda di halaman 1dari 36

ASUHAN KEPERAWATAN KOMUNITAS

POPULASI TERLANTAR

Makalah disusun guna memenuhi tugas


Mata Kuliah Keperawatan Komunitas II

Dosen Pengampu: Ns. Diah Ratnawati, Skep, M.Kep, Sp. Kep. Kom

Disusun oleh:
Kiana Alif Fatwa Supendi 1810711025 Syifa Putri Salsabila 1810711080
Gilang Dermawan 1810711046 Frida Anindita 1810711081
Rifki Anugerah 1810711050 Srimpi Pamulatsih 1810711082
Gabriell Regina Solagracia 1810711064 Zahrah Rasyida Rasa F 1810711091
Ni Made Anggun Millenia 1810711065 Zihan Evrianti Susanto 1810711096

UNIVERSITAS PEMBAGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
2021
A. Pengertian Populasi rentan
Populasi menurut KBBI adalah adalah kumpulan individu sejenis yang hidup
pada suatu daerah dan waktu tertentu.
Flaskerud dan Winslow (1998, dalam Stanhope & Lancaster, 2010)
mengatakan bahwa kerentanan merupakan hasil gabungan efek dari keterbatasan
sumber keadaan tidak sehat dan tingginya faktor risiko. Kerentanan juga
menunjukkan interaksi antara keterbatasan fisik dan sumber lingkungan, sumber
personal (human capital), dan sumber biopsikososial (adanya penyakit dan
kecenderungan genetik) (Aday, 2001 dalam Stanhope & Lancaster, 2010).
Populasi rentan adalah populasi yang lebih besar kemungkinannya untuk
mengalami masalah kesehatan akibat paparan berbagai risiko daripada populasi yang
lainnya (Stanhope & Lancaster, 2010).
Pengertian kelompok rentan tidak disampaikan secara eksplisit dalam
peraturan perundang-undangan, seperti tercantum dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-
Undang No.39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa setiap orang yang termasuk
kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan
lebih berkenaan dengan kekhususannya. Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan kelompok masyarakat yang rentan, antara lain, adalah
orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil dan penyandang cacat.
Menurut Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia, kelompok rentan
adalah semua orang yang menghadapi hambatan atau keterbatasan dalam menikmati
standar kehidupan yang layak. Dapat disimpulkan bahwa kelompok rentan adalah
kelompok yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup yang layak yang perlu
mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah.

B. Pengertian Populasi Terlantar


Dikatakan oleh Markum (2009) dalam jurnalnya bahwa tunawisma merupakan
orang miskin yang tidak memiliki rumah dan biasanya tinggal di taman kota, pinggir
jalan, tenda atau tempat tempat yang disediakan oleh lembaga sosial dan gereja.
kemudian Prasetyawati (2015) dalam artikelnya menyatakan bahwa tunawisma atau
gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan
norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai
tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di
tempat umum.
Masyarakat yang menjadi tunawisma bisa dari semua lapisan masyarakat
seperti orang miskin, anak-anak, masyarakat yang tidak memiliki keterampilan,
petani, ibu rumah tangga, pekerja sosial, tenaga kesehatan profesional serta ilmuwan.
Beberapa dari mereka menjadi tunawisma karena kemiskinan atau kegagalan sistem
pendukung keluarga mereka. Selain itu alasan lain menjadi tunawisma adalah
kehilangan pekerjaan, ditinggal oleh keluarga, kekerasan dalam rumah tangga,
pecandu alkohol, atau cacat. Walaupun begitu apapun penyebabnya, tunawisma lebih
rentan terhadap masalah kesehatan dan akses ke pelayanan perawatan kesehatan
berkurang.
Dapat disimpulkan bahwa Tunawisma menggambarkan seseorang yang tidak
memiliki tempat tinggal secara tetap maupun yang hanya sengaja dibuat untuk tidur.
Tunawisma biasanya di golongkan ke dalam golongan masyarakat rendah dan tidak
memiliki keluarga.

C. Prevalensi Populasi Terlantar


Data Dinas Sosial Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta tahun 2020
mencatat sebanyak 4.622 orang berstatus penyandang masalah kesejahteraan sosial
(PMKS). Dari jumlah tersebut, orang berstatus gelandangan menempati posisi teratas
dengan jumlah 1.044 orang.
Dikutip dari data Dinsos DKI Jakarta melalui web dinsos.dki.jakarta.go.id,
posisi kedua ditempati orang terlantar dengan jumlah 647 orang. Adapun Dinsos DKI
mencatat sebanyak 1.602 orang lainnya sebagai kategori PMKS lain-lain.
Berdasarkan Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Barat
Tentang Jumlah permasalahan sosial menurut jenisnya pada Tahun 2016 didapatkan
jumlah gelandangan & pengemis terbanyak terdapat di Kabupaten Indramayu dengan
jumlah 4.154, dan yang paling sedikit adalah di Kota Cimahi dengan jumlah 1 orang.
Anak terlantar paling banyak terdapat di Kabupaten Sukabumi dengan jumlah 61.239
orang, dan yang paling sedikit berada di Kabupaten Garut dengan jumlah 71 orang.
Penyandang disabilitas terbanyak terdapat di Sukabumi dengan jumlah 11.727 orang,
dan yang paling sedikit berada di Kota Bogor dengan jumlah 795 orang. Jumlah
lansia/Jompo terbanyak terdapat di kabupaten/kota Garut dengan jumlah 80.686
orang dan yang paling sedikit di Kota Depok sebanyak 23 orang

Jumlah Permasalahan Sosial Menurut Jenis di Jawa Barat, 2016

Anak Wanita
dan Lansia
Korban Tindak
Anak Anak Korban Orang Dengan Bekas
Lansia/ Cacat/ Gelandangan & Kekerasan/
Kabupaten/Kota Terlantar/ Nakal/ Narkotika/ Tuna Susila/ HIV/AIDS/ HIV Narapidana/
Jompo/ Handicape Pengemis/Loite Children
Regency/City Neglected Naughty Drug Prostitute Patient Eksprisoner
Decrepit d Person rer & Beggar Womens &
Children Children Abuser (Jiwa/Persons) (Jiwa/Persons)
Victim of
Hardness
(Jiwa/Persons)

Kabupaten/Regency
1. Bogor 6.999 8.878 133 43 8.387 711 372 7 1.635 458
2. Sukabumi 61.239 14.223 165 252 11.727 1.361 164 68 769 68
3. Cianjur 1.678 1.264 43 247 5.077 587 258 - 661 645
4. Bandung 7.625 36.044 72 402 6.770 779 390 26 1.145 679
5. Garut 71 80.686 26 1.642 8.275 371 173 58 660 815
6. Tasikmalaya 629 8.200 28 - 9.586 323 64 53 463 271
7. Ciamis 851 1.430 34 33 4.522 33 45 - 416 225
8. Kuningan 4.052 4.349 60 56 5.793 86 31 - 268 221
9. Cirebon 889 11.914 333 129 10.567 800 193 - 1.339 482
10. Majalengka 5.441 21.751 509 164 7.570 23 116 6 312 162
11. Sumedang 728 5.214 96 87 3.149 39 122 2 357 224
12. Indramayu 13.940 31.990 77 41 1.980 4.154 1.582 26 1.421 791
13. Subang 7.134 23.278 52 78 9.236 136 139 4 417 156
14. Purwakarta 495 960 7 58 2.897 133 371 - 204 120
15. Karawang 5.231 19.251 660 1.731 6.288 270 313 - 611 164
16. Bekasi 4.393 54 30 - 3.010 1.385 541 - 1.698 2.130
17. Bandung Barat 345 6.357 20 338 6.134 274 61 - 532 130
18. Pangandaran 76 4.394 5 - 1.684 10 14 - - 283
Kota/City
1. Bogor 1.128 644 9 112 795 186 79 - 699 77
2. Sukabumi 345 1.575 49 33 1.096 84 39 - 152 78
3. Bandung 2.800 2.108 19 - 8.038 263 52 - 1.357 189
4. Cirebon 1.200 1.803 50 111 1.097 66 38 6 572 19
5. Bekasi 681 1.204 34 216 - 62 18 - 527 32
6. Depok 205 23 8 27 1.050 94 5 - 1.124 187
7. Cimahi 670 3.435 35 112 1.434 1 4 4 499 15
8. Tasikmalaya 6.290 3.125 22 4 1.200 43 67 - 228 2.709
9. Banjar 652 4.418 16 19 1.253 8 20 - 40 44

Jawa Barat 135.787 298.572 2.592 5.935 128.615 12.282 5.271 260 18.106 11.374

Sumber: Di nas Sosi al Provinsi Jawa Barat


Source: Provi ncial Soci al Servi ce of Jawa Barat

D. Faktor Penyebab Munculnya Tunawisma


a. Kemiskinan
Kemiskinan dapat memaksa seseorang menjadi gelandangan karena tidak
memiliki tempat tinggal yang layak, serta menjadikan mengemis sebagai
pekerjaan.
b. Rendah Tingginya Pendidikan
Seseorang dengan pendidikan rendah akan sangat sulit mendapatkan sebuah
pekerjaan. Pada umumnya tingkat pendidikan gelandangan dan pengemis
relatif rendah sehingga menjadi kendala bagi mereka untuk memperoleh
pekerjaan layak.
c. Keluarga
Hubungan keluarga yang tidak harmonis atau anak dengan keluarga broken
home membuat mereka merasa kurang perhatian, kemyamanan dan
ketenangan sehingga mereka cenderung mencari kebebasan, belas kasih dan
ketenangan dari orang lain.
d. Umur
Umur yang semakin rentan serta kemampuan fisik yang menurun, membuat
seseorang lebih sulit mendapatkan pekerjaan. Hal ini menyebabkan mereka
sulit untuk memenuhi kebutuhannya.
e. Cacat Fisik
Kondisi fisik yang tidak sempurna membuat seseorang sulit mendapatkan
pekerjaan. Kebanyakan seserang yang memiliki cacat fisik memilih menjadi
tunawisma untuk dapat bertahan hidup.
f. Rendahnya Keterampilan
Ketrampilan sangatlah penting dalam kehidupan,dengan ketrampilan
seseorang dapat memiliki asset produksi. Pada umumnya gelandangan dan
pengemis tidak memiliki keterampilan yang sesuai dengan tuntutan pasar
kerja.
g. Masalah Sosial Budaya
Faktor sosial budaya yang menagkibatkan seseorang menjadi gelandangan:
1) Rendahnya harga diri
Rendahnya harga diri kepada sekelompok orang, mengakibatkan
mereka tidak memiliki rasa malu untk meminta- minta.
2) Sikap pasrah pada nasib
Mereka menganggap kemiskinan adalah kondisi mereka sebagai
gelandangan dan pengemis adalah nasib, sehingga tidak ada kemauan
untuk berubah.
3) Kebebasan dan kesenangan hidup mengelandang.
h. Faktor Lingkungan
Menjadi gelandangan dan pengemis dapat disebabkan oleh faktor
lingkungan yang mendukungnya. Contohnya saja jika bulan ramadhan
banyak sekali ibu-ibu rumah tangga yang bekerja sebagai pengemis. Momen
ini digunakan mereka untuk membantu suaminya mencari nafkah.
i. Letak Geografis
Kondisi wilayah yang tidak dapat diharapkan potensi alamnya membuat
masyarakat yang tinggal di daerah tersebut mengalami kemiskinan dan
membuat masyarakat harus meninggalkan tempat tersebut untuk mencari
peruntungan lain. Akan tetapi, keputusannya untuk pindah ke kota lebih
memperburuk keadaan. Oleh karena itu ia lebih memilih menjadi pengemis
sehingga kebutuhan hidupnya sedikit terpeuhi dengan uang hasil meminta-
minta.
j. Lemahnya Penangan Masalah Gelandangan dan Pengemis
Selama ini penanganan yang telah nyata dilakukan adalah razia, rehabilitasi
dalam panti sosial, kemudian setelah itu dipulangkan ketempat asalnya.
Pada kenyataannnnya, penanganan ini tidak menimbulkan efek jera bagi
mereka sehingga suatu saat mereka akan kembali lagi menjadi gelandangan
dan pengemis.

b. Faktor Perilaku Psikososial yang Menyebabkan Masalah Kesehatan


Tunawisma
a. Kemiskinan
1) Makanan yang tidak cukup atau makanan yang kurang gizi
2) Persediaan air yang kurang, sanitasi yang jelek dan perumahan
tidak layak
3) Tidak mendapatkan pelayanan yang baik
b. Gender
Gender sebagai suatu kontruksi sosial mempengaruhi tingkat kesehatan,
dan karena peran jender berbeda dalam konteks cross cultural berarti
tingkat kesehatan wanita juga berbeda-beda.
c. Pendidikan yang Rendah
Kemiskinan mempengaruhi kesempatan untuk mendapatkan pendidikan.
Tingkat pendidikan ini mempengaruhi tingkat kesehatan. Orang yang
berpendidikan biasanya mempunyai pengertian yang lebih besar terhadap
masalah-masalah kesehatan dan pencegahannya.
d. Kawin Muda
Di negara berkembang termasuk Indonesia kawin muda pada wanita masih
banyak terjadi (biasanya di bawah usia 18 tahun). Ini berarti wanita muda
hamil mempunyai resiko tinggi pada saat persalinan. Di samping itu resiko
tingkat kematian dua kali lebih besar dari wanita yang menikah di usia 20
tahunan.
e. Seks Bebas
Hal ini menyebabkan seseorang rentan penyakit kelamin misalnya HIV atau
AIDS.
f. Penggunaan Drugs
Anak jalanan rela melakukan hal apapun yang penting bisa mendapatkan
uang untuk membeli minuman keras, pil dan zat aditif lainnya. Mereka
menggunakan itu karena ingin menumbuhkan keberanian saat melakukan
kegiatan di jalanan.
g. Eksploitasi Seksual
Keberadaan anak jalanan perempuan yang tinggal dijalanan sangat rentan
terhadap eksploitasi khususnya eksploitasi seksual seperti pelecehan,
penganiyaan secara seksual, pemerkosaan, penjerumusan anak dalam
prostitusi dan adanya indikasi perdagangan anak keluar daerah khususnya
Riau dan Batam.
E. Masalah Kesehatan Pada Tunawisma
a. Gangguan Fisik Akut
Pada umumnya tunawisma akan mengalami gangguan fisik akut seperti:
No Gangguan fisik akut Gangguan fisik kronik
1. ISPA (infeks sistem pernfasan atas) Kecanduan alkohol dan zat lain
2. Trauma-cedera ringan hingga berat Hipertensi
3. Penyakit kulit Gangguan pencernaan
4. TBC Gangguan sistem saraf tepi
5. Terserng kutu dan tungau Masalah gigi
6. Gizi buruk/ kekurangan gizi Diabetes melitus
7. - HIV/AIDS

b. Masalah Kesehatan pada Tunawisma Anak-Anak


Selain masalah kesehatan fisik, masalah lain juga banyak timbul seperti :
1) Kegelisahan
2) Tidak mendapatkan
imunisasi
3) Masalah bahasa dan
berbicara
4) Penyakit pernafasan atas, asma
5) Infeksi telinga
6) Gangguan pencernaan/mata
7) Trauma
8) Terserang kutu rambut
c. Masalah kesehatan yang berhubungan dengan kehamilan
1) Perawatan pre-natal yang kurang baik
2) Kurang nutrisi
3) Komplikasi kehamilan
d. Masalah kesehatan mental
1) Skizofrenia
2) Gangguan bipolar
3) Depresi
4) Gangguan kecemasan dan kepribadian antisosial
5) Kepribadian yang kacau
F. Peran Perawat Di Area Homeless (Tunawisma)
a. Perawat sebagai pemberi perawatan
Para tunawisma biasanya mengalami kurang perhatian dari orang tua dan
lingkungan. Alhasil banyak masalah yang terjadi seperti kesehatan fisik,
psikologis dan sosial. Peran perawat disini adalah memberikan asuhan
keperawatan kepada mereka yang mengalami masalah kesehatan secara holistik
atau menyeluruh.
b. Perawat sebagai pendidik
Salah satu faktor penyebab dari tunawisma adalah rendahnya pendidikan
mereka yang membuat mereka menjadi miskin. Oleh karena itu, perawat
menjelaskan kepada mereka informasi seputar kesehatan dan menanamkan gaya
hidup sehat.
c. Perawat sebagai pengamat kesehatan (monitoring)
Perawat memonitoring perubahan yang terjadi pada tunawisma. Bentuk
monitoring dapat berupa observasi, kunjungan rumah, pertemuan atau
pengumpulan data.
d. Perawat sebagai panutan (role model)
Perawat dapat memberikan contoh yang baik dalam bidang kesehatan kepada
masyarakat tunawisma tatacara hidup sehat yang dapat ditiru dan dicontoh oleh
mereka.
e. Perawat sebagai komunikator
Peran sebagai komunikator merupakan pusat dari seluruh peran perawat yang
lain. Semua itu dilakukan dengan komunikasi yang jelas agar kualitas hidup
terpenuhi.
f. Perawat sebagai rehabilitator
Seringkali tunawisma mengalami gangguan fisik dan emosi yang mengubah
kehidupan mereka dan perawat membantu mereka untuk beradaptasi
semaksimal mungkin dengan keadaan tersebut.
G. Cara Pencegahan Populasi Terlantar

1. Pencegahan Primer
Tujuan dalam pencegahan primer adalah menjaga populasi terlantar agar
tetap berada di rumah. Langkah untuk pencegahan primer yaitu:
a. Bantuan finansial
Memberikan pelayanan publik untuk mencegah terjadinya bantuan
publik, mengetahui tersedianya dana, dan mengajukan permohonan untuk
mendapatkan bantuan bagi populasi terlantar yang membutuhkan.
b. Bantuan hukum
Membantu populasi terlantar untuk berkonsultasi secara hukum
agar tidak terjadinya pengusiran.
c. Saran finansial
Menyediakan program konseling keuangan secara gratis kepada
populasi terlantar
d. Program relokasi
Memberikan dana yang dibutuhkan bagi tunawisma untuk
membayar rumah dan kebutuhan dasar.

2. Pencegahan Sekunder
Memfokuskan pada populasi populasi terlantar dengan mendaftar
segala kebutuhan serta pelayanan kesehatan. Dalam hal ini, para tunawisma
sulit mengakses khususnya system pelayanan kesehatan karena mereka tidak
memiliki tempat atau alamat yang tetap, sehingga dengan tujuan
mengeluarkan populasi tersebut dari kondisi tersebut dan mengatasi dampak
yang timbul akibat menjadi populasi terlantar. Langkah untuk pencegahan
sekunder ialah
a. Membutuhkan rumah tradisional tanpa dipungut biaya yang rendah dan
menimbulkan persoalan umum bagi populasi tunawisma adalah mereka
menjalani medikasi dan regimen terapi.
b. Obat –obatan yang dapat disimpan dengan mudah
c. Mengikuti dan mempelajari makanan yang disediakan ditempat
penampungan agar tunawisma tetap mendapatkan asupan makanan sesuai
yang ada di tempat penampungan tersebut.
d. Memberikan vitamin kepada tunawisma untuk mengompensasi defisit
nutrisi.
e. Memahami dan memfasilitasi bahwa para tunawisma selalu melakukan
usaha terbaik untuk mengikuti program terapi
f. Mengidentifikasi faktor –faktor yang menghambat para tunawisma agar
tetap mendapatkan pelayanan kesehatan3)Pencegahan tersier
(Rehabilitasi)

3. Pencegahan tersier (Rehabilitasi)


Pencegahan tersier adalah pencegahan untuk mengurangi
ketidakmampuan dan mengadakan rehabilitasi (Budiarto,2003). Langkah
pencegahan tersier pada Populasi terlantar antara lain:
a) Bimbingan mental
Bimbingan mental ini dilakukan secara intensif oleh pihak dinas
sosial kepada para PMKS. Bagian ini merupakan bagian yang sangat
penting guna menumbuhkan rasa percaya diri serta spiritualitas para
gelandangan dan pengemis. Karena pada dasarnya mereka memiliki
semangat dan rasa percaya diri yang selama ini tersimpan jauh di dalam
dirinya. Selain itu mereka juga mempunyai potensi yang cukup besar,
hanya saja belum memiliki penyaluran atau sarana penghantar dalam
memanfaatkan potensi-potensi tersebut. Pada saat pertama kali para
gelandangan dan pengemis (gepeng) yang tercakup dalam razia,
keadaan mereka sangat memprihatinkan, ada yang memasang muka
memelas ada juga yang dengan santainya mengikuti semua proses dalam
therapy ini, dalam therapy individu dilakukan pengecekan terhadap
semua gelandangan dan pengemis (gepeng) satu persatu secara psikis.
b) Bimbingan kesehatan
Sebelum pihak dinas kesehatan melakukan bimbingan kesehatan,
terlebih dahulu para penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS)
diberikan fasilitas penanganan kesehatan yaitu pemeriksaan kesehatan
bagi mereka yang sedang sakit. Kemudian kegiatan bimbingan
kesehatan dimulai dengan penyadaran tentang pentingnya kesehatan
badan atau jasmani. Mulai dari hal kecil seperti pentingnya mandi,
gosok gigi dan memakai pakaian bersih. Melihat selama ini kehidupan
di jalanan yang sangat keras dan serba tidak sehat, para gelandangan dan
pengemis (gepeng) tentu masih merasa kesulitan untuk menerapkan
gaya hidup sehat sehingga apa yang diperoleh dalam bimbingan
kesehatan tidak diterapkan sepenuhnya dalam kehidupan mereka.
c) Bimbingan ketertiban
Bimbingan ketertiban ini diisi oleh Satpol PP yang dilakukan 1
bulan sekali, dengan tujuan memberikan pengarahan tentang tata tertib
lalu lintas, serta peraturan di jalan raya, sehingga para gelandangan dan
pengemis tidak lagi berkeliaran dijalan raya, karena keberadaan mereka
di jalanan sangat mengganggu keamanan serta ketertiban lalu lintas.
Dalam proses bimbingan ketertiban ini biasanya pihak dinas sosial
mendatangkan narasumber dari Satpol PP atau pihak kepolisian
setempat. Menurut pengamatan peneliti pada saat pertama mengikuti
wejangan dari pak polisi para gelandangan dan pengemis (gepeng)
terlihat sangat antusias. Mungkin mereka takut berhadapan dengan
polisi, karena pada dasarnya para gelandangan dan pengemis (gepeng)
dijalanan sangat berhati-hati terhadap polisi, takut ditangkap dan
kemudian dipenjarakan.
d) Bimbingan keagamaan
Bimbingan keagamaan dilakukan secara intensif oleh pihak dinas
sosial, guna untuk menguatkan kembali spiritualitas para Populasi
terlantar gelandangan dan pengemis.

H. Penatalaksanaan Kesehatan Secara Umum


1) PEMBERDAYAAN KOMUNITAS.
a. Pengertian pemberdayaan
Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya memfasilitasi agar
masyarakat mengenal masalah yang dihadapi, merencanakan dan
melakukan upaya pemecahannya dengan memanfaatkan potensi
setempat sesuai situasi, kondisi, dan kebutuhan setempat. Menurut
Wallerstein (1992), pemberdayaan masyarakat adalah suatu proses
kegiatan sosial yang meningkatkan partisipasi masyarakat dan organisasi
yang bertujuan meningkatkan kontrol individu dan masyarakat,
kemampuan politik, memperbaiki kualitas hidup masyarakat, dan
keadilan sosial.
b. Proses pemberdayaan
Kartasasmita (1995) menyatakan bahwa proses pemberdayaan
dapat dilakukan melalui tiga proses. Pertama, menciptakan suasana atau
iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling).
Titik tolaknya adalah setiap manusia memiliki potensi yang dapat
dikembangkan. Artinya tidak ada sumber daya manusia atau masyarakat
tanpa daya. Dalam konteks ini, pemberdayaan adalah membangun daya,
kekuatan atau kemampuan, dengan mendorong (encourage) dan
membangkitkan kesadaran (awareness) akan potensi yang dimiliki serta
berupaya mengembangkannya. Kedua, memperkuat potensi atau daya
yang dimiliki oleh masyarakat (empowering), sehingga diperlukan
langkah yang lebih positif, selain dari iklim atau suasana. Ketiga,
memberdayakan juga mengandung arti melindungi. Dalam proses
pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah,
oleh karena kekurangberdayaannya dalam menghadapi yang kuat.
c. Strategi dalam pemberdayaan masyarakat
Beberapa strategi dalam pemberdayaan masyarakat yang
digunakan, yaitu menumbuhkembangkan potensi masyarakat, kontribusi
masyarakat dalam pemberdayaan masyarakat, mengembangkan gotong
royong, bekerja bersama masyarakat, komunikasi informasi dan edukasi
(KIE) berbasis masyarakat, kemitraan dengan Lembaga Swadaya
Masyarakat serta organisasi masyarakat lain, dan desentralisasi.
d. Langkah-langkah pemberdayaan masyarakat dalam bidang kesehatan
Langkah-langkah pemberdayaan masyarakat melalui pengorganisasian
masyarakat adalah sebagai berikut.

a. Mengidentifikasi masalah dan penyebabnya


1) Melalui survei mawas diri (Community Self Survey).
2) Didahului dengan rekrutmen kader.
3) Pelatihan kader tentang survei mawas diri.
b. Merumuskan alternatif pemecahan masalah
1) Melalui lokakarya desa, selain diikuti oleh kader, juga
mengundang stakeholders (pemerintah, masyarakat madani, dan
dunia usaha).
2) Didahului dengan pelatihan kader tentang hakikat masalah &
cara mengatasi masalah secara teoritis dan berdasar pengalaman
di desa-desa lain.
c. Menetapkan dan melaksanakan pemecahan masalah
1) Diantara alternatif-alternatif pemecahan masalah,pilihlah yang
layak dan efektif dilaksanakan.
2) Didahului dengan pelatihan kader tentang cara-cara menyusun
prioritas dan menetapkan pemecahan masalah.
3)Di sini harus dirumuskan dengan jelas peran kontribusi semua
pihak yang terlibat (masyarakat, pemerintah, LSM, swasta).
d. Memantau dan mengevaluasi untuk pelestarian
1) Sistem informasi (pencatatan, pelaporan & pengolahan data),
termasuk Survei Mawas Diri ulang.
2) Didahului dengan pelatihan kader tentang cara-cara mengelola
sistem informasi serta bagaimana memanfaatkan data untuk
pemantauan, evaluasi dan pembinaan kelestarian.
2) PROMOSI KESEHATAN
Promosi kesehatan merupakan salah satu bentuk intervensi keperawatan
komunitas yang ditujukan pada individu, keluarga, kelompok, dan
komunitas dengan tujuan agar dapat meningkatkan kondisi kesehatan secara
optimal.
1. Pengertian Promosi Kesehatan
Lawrence Green (1984) merumuskan definisi promosi kesehatan
sebagai segala bentuk kombinasi pendidikan kesehatan dan intervensi
yang terkait dengan ekonomi, politik, dan organisasi, yang dirancang
untuk memudahkan perubahan perilaku dan lingkungan yang kondusif
bagi kesehatan.
Dari batasan di atas jelas, bahwa promosi kesehatan pendidikan
kesehatan plus, atau promosi kesehatan adalah lebih dari pendidikan
kesehatan. Promosi kesehatan bertujuan untuk menciptakan suatu
keadaan, yakni perilaku dan lingkungan yang kondusif bagi kesehatan.
2. Strategi Promosi Kesehatan.
Guna mewujudkan atau mencapai visi dan misi kesehatan secara
efektif dan efisien, diperlukan cara dan pendekatan yang strategis. Cara
ini sering disebut “strategi”, yakni teknik atau cara bagaimana mencapai
atau mewujudkan visi dan misi tersebut secara berhasil guna.
Berdasarkan rumusan WHO (1994), strategi promosi kesehatan secara
global terdiri atas tiga (3) hal, sebagai berikut.
a. Advokasi (Advocacy)
Advokasi adalah kombinasi kegiatan individu dan sosial
yang dirancang untuk memperoleh komitmen politis, dukungan
kebijakan, penerimaan sosial, dan sistem yang mendukung tujuan
atau program kesehatan tertentu.
b. Bina Suasana
Bina suasana adalah upaya menciptakan opini atau
lingkungan sosial yang mendorong individu anggota masyarakat
untuk mau melakukan perilaku yang diperkenalkan. Seseorang
akan terdorong untuk mau melakukan sesuatu apabila lingkungan
sosial di mana pun ia berada (keluarga di rumah, orang-orang
yang menjadi panutan/idolanya, kelompok arisan, majelis agama,
dan sebagainya, bahkan masyarakat umum) memiliki opini yang
positif terhadap perilaku tersebut.
Di lain pengertian, bina suasana adalah menjalin kemitraan
untuk pembentukan opini publik dengan berbagai kelompok
opini yang ada di masyarakat, seperti tokoh masyarakat, tokoh
agama, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dunia
usaha/swasta, media massa, organisasi profesi pemerintah, dan
sebagainya. Bina suasana dilakukan untuk sasaran sekunder atau
petugas pelaksana di berbagai tingkat administrasi (dari pusat
hingga desa).
c. Pemberdayaan masyarakat (Empowerment)
Freira (dalam Hubley 2002) mengatakan, bahwa
pemberdayaan adalah suatu proses dinamis yang dimulai dari
masyarakat yang belajar langsung dari tindakan. Pemberdayaan
masyarakat biasanya dilakukan dengan pendekatan
pengembangan masyarakat. Pengembangan masyarakat biasanya
berisi bagaimana masyarakat mengembangkan kemampuannya
serta bagaimana meningkatkan peran serta masyarakat dalam
pengambilan keputusan.
3. Sasaran promosi kesehatan
Secara prinsip, sasaran promosi kesehatan adalah masyarakat.
Masyarakat dapat dilihat dalam konteks komunitas, keluarga, ataupun
individu. Sasaran promosi kesehatan juga dapat dikelompokkan menurut
ruang lingkupnya, yakni tatanan rumah tangga, tatanan sekolah, tatanan
tempat kerja, tatanan tempat-tempat umum, dan institusi pelayanan
kesehatan.
4. Metode dan teknik promosi kesehatan
Metode dan teknik promosi kesehatan adalah suatu kombinasi
antara cara-cara atau metode dan alat-alat bantu atau media yang
digunakan dalam setiap pelaksanaan promosi kesehatan. Berdasarkan
sasarannya, metode dan teknik promosi kesehatan dibagi menjadi tiga
sebagai berikut.
a. Metode Promosi kesehatan individual
1) Bimbingan dan penyuluhan.
2) Interview (wawancara).
b. Metode Promosi kesehatan kelompok
1) Kelompok Besar: ceramah, seminar, dan sebagainya.
2) Kelompok Kecil: diskusi kelompok, curah pendapat
(brain storming), dan sebagainya.

c. Metode promosi kesehatan massa


1) Ceramah umum.
2) Penggunaan media massa elektronik, misalnya TV, dan
sebagainya.
3) Penggunaan media cetak, misalnya majalah, dan
sebagainya.
4) Penggunaan media di luar ruang, misalnya spanduk, dan
sebagainya.

3) MENJALIN KEMITRAAN

Kemitraan dalam upaya kesehatan (partnership for health) adalah


kebersamaan dari sejumlah pelaku untuk mencapai tujuan yang sama, yaitu
meningkatkan kesehatan masyarakat yang didasarkan atas kesepakatan
tentang peranan dan prinsip masing-masing pihak.

Agar kemitraan dapat berjalan dengan baik, perlu memperhatikan


prinsip dasar, landasan, dan kunci keberhasilan.

1. Pengertian Kemitraan
Hubungan (kerja sama) antara dua pihak atau lebih, berdasarkan
kesetaraan, keterbukaan, dan saling menguntungkan (memberikan
manfaat) untuk mencapai tujuan bersama berdasarkan atas kesepakatan,
prinsip, dan peran masing-masing.
2. Tujuan Kemitraan
Meningkatkan percepatan, efektivitas, dan efisiensi upaya kesehatan
untuk mencapai Indonesia Sehat .
3. Prinsip Dasar Kemitraan
a. Kesetaraan
Setiap mitra dalam melaksanakan pembangunan kesehatan harus
diberi kepercayaan penuh, dihargai, dihormati, dan diberikan
pengakuan dalam hal kemampuan dan nilai-nilai yang dimiliki.
b. Keterbukaan
Setiap mitra dalam melaksanakan pembangunan kesehatan yakin dan
percaya setiap perjanjian akan dilakukan dengan terbuka, jujur, dan
tidak saling merahasiakan sesuatu.
c. Saling menguntungkan
Setiap mitra dalam melaksanakan pembangunan kesehatan akan
mendapatkan keuntungan dan manfaat bersama dari kemitraan
tersebut.

4. Landasan Kemitraan
Dalam bermitra perlu diperhatikan beberapa landasan kemitraan
sebagai berikut.
a. Saling memahami kedudukan, tugas, fungsi, dan struktur masing-
masing.
b. Saling memahami kemampuan (capacity).
c. Saling menghubungi (linkage).
d. Saling mendekati (proximity).
e. Saling bersedia membantu dan dibantu (openess).
f. Saling mendorong dan mendukung (support).
g. Saling menghargai (reward).

5. Landasan Kemitraan

Dari berbagai pengalaman kemitraan, baik secara global maupun

lokal, maka diketahui beberapa kunci sukses kemitraan sebagai berikut.

a. Adanya komitmen/kesepakatan bersama.

b. Adanya kerja sama yang harmonis.

c. Adanya koordinasi yang baik.

d. Adanya kepercayaan antarmitra.

e. Adanya kejelasan tujuan yang akan dicapai.

f. Adanya kejelasan peran dan fungsi dari masing-masing mitra.

g. Adanya keterlibatan yang berkesinambungan.

6. Peran Mitra

Beberapa alternatif peran yang dapat dilakukan, sesuai dengan

keadaan masalah dan potensi para mitra. Adapun peran mitra sebagai

berikut.

• Inisiator, memprakarsai kemitraan dalam rangka


sosialisasi dan operasionalisasi Indonesia Sehat.
• Motor atau dinamisator, sebagai penggerak kemitraan,
melalui pertemuan, kegiatan bersama, dan sebagainya.
• Fasilitator, memfasilitasi, memberi kemudahan
sehingga kegiatan kemitraan dapat berjalan lancar.
• Anggota aktif, berperan sebagai anggota kemitraan
yang aktif.
• Peserta kreatif, sebagai peserta kegiatan kemitraan yang
kreatif.
• Pemasok input teknis, memberi masukan teknis
(Program Kesehatan)
• Dukungan sumber daya, memberi dukungan sumber
daya sesuai keadaan, masalah, dan potensi yang ada.

7. Langkah-langkah dalam kemitraan.

Untuk mengembangkan kemitraan dalam promosi kesehatan dapat


dilakukan beberapa langkah kegiatan sebagai berikut.

a. Penjajagan
Mencakup identifikasi dan pengenalan calon mitra dengan
segala potensi yang dimiliki.
b. Penyamaan persepsi
Tujuannya untuk memperoleh pandangan yang sama dalam
penanganan masalah yang dihadapi bersama, maka para mitra
perlu bertemu untuk saling memahami kedudukan, tugas, fungsi,
serta peran masing-masing secara terbuka dan kekeluargaan.
Penyamaan persepsi ini dapat dilakukan melalui forum-forum yang
sudah ada atau melalui forum khusus.
c. Pengaturan peran
Tujuannya agar masing-masing mitra mengetahui perannya
dalam penanggulangan suatu masalah. Peran sektor kesehatan,
peran sektor lain, dan peran swasta sangatlah penting untuk
dipahami dan disepakati bersama. Lebih baik pengaturan peran ini
tertulis secara jelas dan merupakan dokumen yang resmi. Untuk
mencapai indikator Indonesia Sehat 2010, potensi para mitra dapat
diarahkan dalam upaya mencapai indikator tersebut. Misalnya,
untuk indikator perilaku tidak merokok, dapat melibatkan LSM-
LSM yang berperan dalam kegiatan antirokok, sarana pelayanan
kesehatan berperan membantu orang-orang yang ingin berhenti
merokok, Yayasan Lembaga Konsumen berperan dalam somasi
iklan rokok.
d. Komunikasi intensif
Untuk menjalin dan mengetahui perkembangan kemitraan
maka perlu dilakukan komunikasi antarmitra secara teratur dan
terjadwal sehingga permasalahan yang dihadapi di lapangan dapat
langsung diselesaikan. Hal ini perlu untuk melihat masing- masing
mitra, apakah sudah melaksanakan kegiatan sesuai dengan peran
dan tujuan yang ingin dicapai atau dapat juga dengan pemantauan.
e. Melakukan kegiatan
Harus dilaksanakan dengan baik sesuai dengan rencana
kerja tertulis yang telah disepakati bersama. Mitra yang sudah
sepakat untuk mencapai tujuan Indonesia Sehat 2010, perlu
melaksanakan kegiatan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi dari
masingmasing mitra tersebut. Pelaksanaan kegiatan tersebut
biasanya dilaksanakan bersamasama atau sendiri-sendiri, seperti
program penanggulangan masalah merokok, kampanye konsumsi
buah dan sayur yang kaya serat.
f. Pemantauan dan penilaian
Kegiatan ini juga harus disepakati sejak awal dalam
pelaksanaan kegiatan kemitraan. Hasil pemantauan dan penilaian
ini dapat dipergunakan untuk penyempurnaan kesepakatan yang
telah dibuat.

4) ADVOKASI
Advokasi merupakan suatu cara perawat untuk meningkatkan
partisipasi secara aktif komunitas. Perawat membantu masyarakat dalam
mengambil keputusan secara mandiri. Advokasi merupakan suatu usaha
sistematik dan terorganisasi, untuk memengaruhi dan mendesak terjadinya
perubahan dalam kebijakan publik secara bertahap maju dan semakin baik,
sehingga untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan advokasi yang efektif
dan berkesinambungan.
1. Pengertian.
Advokasi merupakan suatu usaha sistematik dan terorganisasi
untuk memengaruhi dan mendesak terjadinya perubahan dalam
kebijakan publik secara bertahap maju dan semakin baik (Pusat Promosi
Kesehatan, Kemenkes RI). Dalam pengertian lain, advokasi adalah
proses komunikasi yang terencana untuk mendapatkan dukungan dan
keputusan guna memecahkan masalah. Suatu keberhasilan advokasi bisa
dilakukan secara sistematis. Advokasi adalah proses aplikasi informasi
dan sumber daya yang digunakan untuk membuat suatu perubahan
terhadap suatu masalah di masyarakat.
2. Tujuan advokasi
Diperolehnya komitmen dan dukungan dalam upaya kesehatan,
baik berupa kebijakan, tenaga, dana, sarana, kemudahan, keikutsertaan
dalam kegiatan, maupun berbagai bentuk lainnya sesuai keadaan dan
usaha.

3. Pendekatan dan langkah dalam advokasi


Kata kunci dalam proses atau kegiatan advokasi ini adalah
pendekatan persuasif, secara dewasa, bijak, sesuai keadaan, yang
memungkinkan tukar pikiran secara baik (free choice). Menurut UNFPA
dan BKKBN (2002), terdapat lima pendekatan utama dalam advokasi,
yaitu melibatkan para pemimpin, bekerja dengan media massa,
membangun kemitraan, memobilisasi massa, dan membangun kapasitas.
Strategi advokasi dilakukan melalui pembentukan koalisi,
pengembangan jaringan kerja, pembangunan institusi, pembuatan forum,
dan kerja sama bilateral.
Langkah-langkah pokok dalam advokasi meliputi:
 identifikasi dan analisis masalah atau isu yang memerlukan
advokasi;
 identifikasi dan analisis kelompok sasaran;
 siapkan dan kemas bahan informasi;
 rencanakan teknik atau cara kegiatan operasional;
 laksanakan kegiatan, pantau dan evaluasi serta lakukan tindak
lanjut.

5) SUPERVISI
1. Pengertian Supervisi
Supervisi adalah suatu proses kemudahan untuk penyelesaian
tugas-tugas keperawatan (Swansburg & Swansburg, 1999). Supervisi
adalah merencanakan, mengarahkan, membimbing, mengajar,
mengobservasi, mendorong, memperbaiki, mempercayai, mengevaluasi
secara terus menerus pada setiap perawat dengan sabar, adil serta
bijaksana (Kron, 1987). Berdasarkan definisi tersebut, dapat
disimpulkan bahwa supervisi merupakan suatu cara yang efektif untuk
mencapai tujuan organisasi.
2. Tujuan Supervisi
Memberikan bantuan kepada bawahan secara langsung, sehingga
dengan bantuan tersebut bawahan akan memiliki bekal yang cukup
untuk dapat melaksanakan tugas atau pekerjaan dengan hasil yang baik
(Suarli, 2009).

3. Manfaat supervisi
Apabila supervisi dapat dilakukan dengan baik, akan diperoleh
banyak manfaat, antara lain sebagai berikut.

a. Dapat lebih meningkatkan efektifitas kerja. Peningkatan ini erat


kaitannya dengan peningkatan pengetahuan dan keterampilan
bawahan, serta makin terbinanya hubungan dan suasana kerja
yang lebih harmonis antara atasan dan bawahan.
b. Dapat lebih meningkatkan efisiensi kerja. Peningkatan ini erat
kaitannya dengan makin berkurangnya kesalahan yang dilakukan
bawahan, sehingga pemakaian sumber daya (tenaga, harta, dan
sarana) yang sia-sia akan dapat dicegah (Azwar 1996, dalam
Nursalam, 2007).
Apabila kedua peningkatan ini dapat diwujudkan, maka
sama artinya bahwa tujuan organisasi telah tercapai dengan baik.

4. Cara Supervisi
Supervisi dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung,
penerapannya disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta tujuan
supervisi.
a. Supervisi Langsung
Supervisi dilakukan langsung pada kegiatan yang sedang
berlangsung. Cara supervisi ini ditujukan untuk bimbingan dan
arahan serta mencegah dan memperbaiki kesalahan yang terjadi.
Cara supervisi adalah berikut ini.
1) Merencanakan
Seorang supervisor, sebelum melakukan supervisi harus
membuat perencanaan tentang apa yang akan
disupervisi, siapa yang akan disupervisi, bagaimana
tekniknya, kapan waktunya dan alasan dilakukan
supervisi (Kron, 1987).
2) Mengarahkan
Pengarahan yang dilakukan supervisor kepada staf
meliputi pengarahan tentang bagaimana kegiatan dapat
dilaksanakan, sehingga tujuan organisasi dapat tercapai.
Dalam memberikan pengarahan diperlukan kemampuan
komunikasi dari supervisor dan hubungan kerja sama
yang demokratis antara supervisor dan staf.

3) Membimbing
Agar staf dapat menyelesaikan pekerjaan dengan baik,
maka dalam melakukan suatu pekerjaan, staf perlu
bimbingan dari seorang supervisor. Supervisor harus
memberikan bimbingan pada staf yang mengalami
kesulitan dalam menjalankan tugasnya, bimbingan
harus diberikan dengan terencana dan berkala. Staf
dibimbing bagaimana cara untuk melakukan dan
menyelesaikan suatu pekerjaan. Bimbingan yang
diberikan di antaranya dapat berupa pemberian
penjelasan, pengarahan dan pengajaran, bantuan, serta
pemberian contoh langsung.
4) Memotivasi
Supervisor mempunyai peranan penting dalam
memotivasi staf untuk mencapai tujuan organisasi.
Kegiatan yang perlu dilaksanakan supervisor dalam
memotivasi antara lain adalah:
a) memberikan dukungan positif pada staf untuk
menyelesaikan pekerjaan;
b) memberikan kesempatan pada staf untuk
menyelesaikan tugas dan memberikan tantangan-
tantangan yang akan memberikan pengalaman yang
bermakna;
c) memberikan kesempatan pada staf untuk mengambil
keputusan sesuai tugas limpah yang diberikan;
d) menciptakan situasi saling percaya dan kekeluargaan
dengan staf;
e) menjadi role model bagi staf.

5) Mengobservasi (Nursalam, 2007)


Untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi staf dalam
melaksanakan tugasnya, sehingga dapat menyelesaikan
pekerjaan sesuai dengan yang diharapkan, maka
supervisor harus melakukan observasi terhadap
kemampuan dan perilaku staf dalam menyelesaikan
pekerjaan dan hasil pekerjaan yang dilakukan oleh staf.
6) Mengevaluasi
Evaluasi merupakan proses penilaian pencapaian
tujuan, apabila suatu pekerjaan sudah selesai dikerjakan
oleh staf, maka diperlukan suatu evaluasi upaya
pelaksanaan dan membandingkan dengan rencana yang
telah disusun sebelumnya.
Evaluasi juga digunakan untuk menilai apakah
pekerjaan tersebut sudah dikerjakan sesuai dengan
ketentuan untuk mencapai tujuan organisasi. Evaluasi
dapat dilakukan dengan cara menilai langsung kegiatan
dan memantau kegiatan melalui objek kegiatan.
Apabila suatu kegiatan sudah dievaluasi, maka
diperlukan umpan balik terhadap kegiatan tersebut.
b. Supervisi Tidak Langsung
Supervisi dilakukan melalui laporan tertulis, seperti laporan
pasien dan catatan asuhan keperawatan dan dapat juga dilakukan
dengan menggunakan laporan lisan, seperti saat timbang terima
dan ronde keperawatan. Pada supervisi tidak langsung dapat
terjadi kesenjangan fakta, karena supervisor tidak melihat
langsung kejadian di lapangan. Oleh karena itu, agar masalah
dapat diselesaikan, perlu klarifikasi dan umpan balik dari
supervisor dan staf.

I. Pengkajian

1. Data Inti (core )

a. Sejarah
wilayah desa Lamo secara administratif termasuk dalam wilayah kecamatan Batango,
Kabupaten banyuwangi. Terletak ± 5 Km arah utara Kota purwokerto . Desa Lamo
terdiri dari 2 dusun, 4 RW dan terbagi menjadi 10 RT dengan jumlah kepala keluarga
sebanyak 98 KK. Desa Lamo banyak mengalami perubahan, yakni bangunannya
banyak yang terbengkalai dan tidak terurus sehingga menjadi seperti tanah kosong
(kebon) karena tingginya tanaman liar yang tumbuh.
b. Demografik
Jumlah populasi terlantar di desa lamo sebanyak 25 Kepala Keluarga dengan jumlah
145 jiwa.
c. Etnisitas
warga di daerah ini berasal dari suku jawa dan beberapa pendatang berasal dari suku
sumatra.
d. nilai dan keyakinan
mayoritas populasi terlantar beragama islam, mempunyai 4 mushola yang terbagi di
setiap RT. Tidak terdapat budaya tahlilan ataupun pengajian rutin. Nilai dan norma
yang ada di masyarakat terbilang tidak begitu baik, karena warganya apatis, tidak
gotong royong dan tidak ada kegiatan kemasyarakatan.

2. Sub Sistem

A. Lingkungan fisik
kondisi tempat tinggal hanya beralas terpal dan berpindah-pindah. Kebersihan
lingkungan pemukiman kotor dan kumuh, aktifitas yang dilakukan diluar
rumah adalah memulung, mengemis, dan meminta makanan kepada warga
desa. Pasokan air bersih di dapatkan dari mushola.
B. Pelayanan kesehatan dan social
Layanan kesehatan dapat di akses 1 jam dari desa, biaya dalam pelayanan
kesehatan dapat menggunakan BPJS, namun hanya 12 orang dari jumlah
populasi terlantar yang memiliki jaminan kesehatan. Fasilitas pelayanan
kesehatannya cukup lengkap adanya posyandu dan posbindu namun tidak
adanya antusias masyarakat akan pelayanan kesehatan, dan tidak
memanfaatkan jaminan kesehatan.
C. Ekonomi
Sebagian besar populasi terlantar bekerja sebagai pemulung, dengan jumlah
pendapatan 15 – 30 ribu/hari
D. Transportasi dan Keamanan
Transportasi mayoritas menggunakan kendaraan umum seperti angkutan
umum. Namun biasanya berjalan kaki. Jarak dari tempat tinggal ke fasilitas
pelayanan kesehatan lumayan jauh perlu sekitar 1 jam perjalanan.
E. Politik dan Pemerintahan
Dalam kasus populasi terlantar pemerintah masih kurang memperhatikannya.
Namun ada beberapa komunitas yang mendirikan rumah singgah untuk
populasi terlantar.
F. Komunikasi
Bahasa yang digunakan bahasa Indonesia dan media informasi yang diterima
melalui spantuk, poster atau koran.
G. Pendidikan
Kurangnya pengetahuan akan masalah kesehatan yang dikarenakan rata-rata
masyarakat populasi terlantar tidak bersekolah dan ada yang putus sekolah.
H. Rekreasi
Orang yang populasi terlantar jarang atau bahkan tidak pernah melakukan
rekreasi.
3. Persepsi
a. Persepsi masyaraka
Persepsi masyarakat terhadap populasi terlantar ada sebagian masyarakat yang
merasa terganggu dan terusik dengan adanya populasi terlantar tetapi ada juga
yang menerima populasi tersebut. Hasil penelitian juga menemukan respons
penerimaan dan rasa simpati masyarakat terhadap populasi terlantar.
b. Persepsi perawat yang mengkaji
Berdasarkan hasil observasi, dukungan pelayanan kesehatan serta masyarakat
cukup dirasakan manfaatnya oleh populasi terlantar. Dengan memberi mereka
sebagian rejeki, perhatian dan simpati sudah dirasa cukup.

J. Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul pada Populasi Terlantar

No. Data Diagnosa Keperawatan


1. Gejala dan tanda mayor Perilaku kesehatan cenderung berisiko
Subjektif : - (SDKI, D.0099)
Objektif
1. Menunjukan terhadap perubahan
status kesehatan
2. Gagal melakuakan pencegahan
masalah kesehatan
3. Menunjukan upaya peningkatan
status kesehatan yang terminal

Gejala dan tanda minor


Subjektif: -
Objektif
1. Gagal mencapai pengendalian
yang optimal

2. Gejala dan tanda mayor Harga Diri Rendah Kronik


Subjektif (SDKI, D.0086, hal 192)
1. Menilai diri negatif
2. Merasa malu/bersalah
3. Merasa tidak mampu melakukan
apapun
4. Meremehkan kemampuan
mengatasi masalah
5. Merasa tidak memiliki
kemampuan positif
Objektif
1. Enggan mencoba hal baru
2. Berjalan menunduk
3. Postur tubuh menunduk

Gejala dan tanda minor


Subjektif
1. Mengungkapkan keputusasaan
2. Sulit tidur
3. Sulit konsentrasi
Objektif
1. Kontak mata kurang
2. Berbicara pelan
3. Sulit membuat keputusan
4. Lesu dan tidak bergairah
5. Pasif
3. Gejala dan tanda mayor Defisit perawatan diri
Subjektif (SDKI, D.0109, Hal 240)
1. Menolak melakukan perawatan
diri
Objektif
1. Minat melakukan perawatan diri
kurang
2. Tidak mampu mandi/berhias
secara mandiri

Gejala dan tanda minor


(tidak tersedia)
4. Gejala dan tanda mayor Defisit pengetahuan (mengenai gaya hidup
Subjektif: - sehat)
Objektif (SDKI, D.0111, Hal 246)
Menunjukan perilaku tidak sesuai
anjuran
Menunjukan persepsi yang keliru
terhadap masalah

Gejala dan tanda minor


1. Menunjukan perilaku berlebihan
(mis. Apatis, bermusuhan,
agitasi, histeria)
2. Menjalani pemeriksaan yang
tepat
Intervensi Keperawatan

Diagnosa Rencana Kegiatan Evaluasi


N Keperawata
Tujuan Strate Krit Standar Evalu
o n Kegiatan
gi eria ator
Komunitas
1 Perilaku Tujuan Pendid 1. Penyuluhan Kog 1. Meningka Mahas
. kesehatan umum: ikan mengenai nitif tkan iswa
cenderung Setelah keseha penyakit, tanda pengetah Kader
berisiko dilakukan tan uan klien Puskes
dan gejala
(NANDA tindakan masyarak mas
2018, keperawatan
penyakit, proses at yang Super
Domain 1, selama 4 penyakit, mengikuti visor
Kelas 2, minggu komplikasi penyuluh
Kode diharapkan penyakit an
Diagnosis masalah 2. Penyebaran Psik 2. Peningkat
00188) Perilaku omo an atau
informasi
kesehatan tor perbaikan
cenderung melalui leaflet,
Proses sikap
berisiko Kelom poster, dan klien,
teratasi . pok spanduk keluarga,
3. Mengadakan dan
Tujuan seminar atau Psik masyarak
khusus: 1. Kemit webinar untuk omo at sekitar.
meningkatny raan tor
meningkatkan
a perilaku
hidup bersih pengetahuan
pada tentang penyakit
masyarakat 1. Berjalann
1. Membentuk ya
2. kelompok dan program
Masyarakat berdiskusi kesehatan
mengetahui
mengenai Psik
faktor-faktor Pembe omo pada
penyebab dan rdayaa
penanganan komunita
tor
faktor yang masalah yang s
n
berkontribusi dialami 2. Terbinan
, faktor 2. Membentuk ya
resiko, tanda kelompok dan
dan gejala populasi
penyakit,
berdiskusi yang
komplikasi, mengenai tanda terlantar
serta strategi dan gejala yang yang
untuk dialami melibatka
meminimalka 3. Membentuk
n penyakit n peran
Peer Grup serta
2. Populasi masyarak
Masyarakat terlantar at.
dapat
melakukan
deteksi dini 1. Bekerjasama 1. Berjalann
kesehatan dengan ya
dan puskesmas program
memantau
perubahan untuk kesehatan
penyakit dilakukannya pada
skrining, komunita
pemeriksaan s
berkala, dan 2. Teridentif
sistem rujukan ikasinya
2. Bekerjasama faktor
risiko
dengan dinas
penyakit
kesehatan untuk pada
membantu populasi
dalam fasilitas terlantar
pada populasi
terlantar
3. Bekerjasama
dengan LSM
untuk
membantu 1. meningka
dalam pelayanan tnya
kesehatan pada partisipas
populasi i
terlantar masyarak
at dalam
1. Memfasilitasi membant
dan membuat u
program populasi
Masyarakat terlantar
Peduli Populasi
Terlantar

2 Harga Diri Tujuan Pendid 1. Memberikan Kog 1. Meningka Mahas


. Rendah Umum: ikan nitif tnya iswa
penyuluhan
Kronik Setelah Keseh Pengetah Kader
dilakukan mengenai
(NANDA atan uan klien Puskes
tindakan konsep diri :
2018, keperawatan terkait mas
Domain 6, harga diri, ideal konsep Super
selama 4
Kelas 2, minggu diri, peran diri visor
Kode diharapkan diri,citra tubuh 2. meningka
Diagnosis masalah dan identitas diri tnya
00119) Harga Diri konsep
Rendah 2. Penyebaran
Psik diri pada
teratasi informasi
Tujuan
omo klien
Kemit melalui leaflet, tor
Khusus:
raan poster, dan
1. meningka
tnya spanduk
konsep 3. Mengadakan Psik
diri omo
seminar atau
2. meningka Proses tor
tnya webinar untuk
Kelom
penilaian meningkatkan
diri pok
pengetahuan
menuju
positif mengenai
pada konsep diri
populasi 1. teratasiny
a masalah
1. Bekerjasama konsep
dengan diri pda
puskesmas klien di
untuk populasi
melakukan terlantar
konseling
konsep dan
harga diri pada 1. Berjalann
populasi ya
terlantar program
kesehatan
2. Membentuk pada
kelompok dan komunita
berdiskusi s
mengenai 2. meningka
penanganan tnya
masalah yang partisipas
dialami i dan
3. Membentuk konsep
kelompok dan diri klien
berdiskusi dalam
mengenai kelompok
konsep diri

3 Defisit Tujuan Pendid 1. Memberikan Kog 1. Meningk Mahas


. perawatan Umum: ikan penyuluhan nitif atkan iswa
diri Setelah Keseh mengenai pengetah Kader
(SDKI, dilakukan atan pentingnya uan Puskes
D.0109, Hal tindakan klien mas
perawatan diri
240) keperawatan masyara Super
selama 4 2. Penyebaran kat yang visor
minggu Psik mengiku
informasi
diharapkan Kemit omo ti
masalah raan melalui leaflet, tor penyulu
Deficit poster, dan han
perawatan spanduk. 2. Peningk
diri teratasi atan atau
perbaika
Tujuan n sikap
Khusus: 1. Melakukan Psik klien,
1. meningk Pembe
indentifikasi omo keluarga
atkan rdayaa kebiasaan tor , dan
minat n perawatan diri masyara
perawat bersama dengan kat
an diri Proses puskesmas Psik sekitar.
pada Kelom terdekat omo
populasi pok 2. Kerja sama tor 1. Teridenti
terlantar dengan fikasinya
2. meningk puskesmas dan kebiasaa
atkan masyarakat n
kemamp untuk perawata
uan menyediakan n diri
populasi lingkungan yang pada
terkait terapeutik dan populasi
perawat keperluan terlantar
an diri pribadi 2. tersedian
komunitas ya
fasilitas
1. Pembinaan dan dan
pelatihan kader lingkung
dalam upaya an yang
memberikan menduk
dukungan ung
perawatan diri perawata
pada populasi n diri
terlantar

1. Melakukan 1. dukunga
demontrasi n pada
perawatan diri populasi
secara bersama terkait
pada populasi perawata
terlantar n diri
meningk
at

1. meningk
atnya
kebiasaa
n
perawata
n diri
pada
populasi
terlantar

4 Defisit Tujuan Pendid 1. Penyuluhan Kog 1. Meningka Mahas


. pengetahuan Umum: ikan mengenai nitif tkan iswa
tentang Setelah Keseh penyakit, pengetah Kader
perilaku dilakukan atan uan klien Puskes
tanda dan
sehat tindakan serta mas
(SDKI, keperawatan
gejala masyarak Super
D.0111, Hal selama 4 penyakit, Psik at yang visor
246) minggu Pembe proses omo mengikuti
diharapkan rdayaa penyakit, tor penyuluh
masalah n komplikasi an
defisit 2. Peningkat
penyakit
pengetahuan Psik an atau
tentang 2. Penyuluhan
Kemit omo perbaikan
perilaku mengenai
raan tor sikap
sehat teratasi PHBS
klien dan
masyarak
Tujuan at sekitar.
1. Pelatihan
Khusus: 1. meningka
kader
1.meningkatk tnya
Kesehatan
an upaya
dalam upaya
pemahaman pengenda
pengendalia
serta lian
n penyakit
kesadaran penyakit
klien tentang dan PHBS
dan
pentingnya PHBS
menjaga
kesehatan 1. Kerja sama
1. Meningka
dan dengan
tkan
memelihara Puskesmas
kualitas
PHBS untuk
kesehatan
melakukan
populasi
pemeriksaan
kesehatan
berkala

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat Tahun 2018 Tentang Jumlah Permasalahan Sosial
Menurut Jenis di Jawa Barat Tahun 2016.

CNN Indonesia. (2021). Data Dinsos DKI Jakarta 2020: Ada 1044 Gelandangan. Diakses pada
20 Maret 2021. From CNN Indonesia. URL :

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210107162759-32-590820/data-dinsos-dki-jakarta-
2020-ada-1044-gelandangan

Fu’adah, L., Astuti, T. M. P., & Utomo, C. B. (2017). Tindakan Sosial Tunawisma terhadap
Strategi Bertahan Hidup di Kota Semarang. Journal of Educational Social

Studies, 6(1),45-51
Efendi, Ferry Uddan Makhfudi. 2010. Keperawatan Komunitas Teori dan Praktik dalam
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Iman B, Aisiyah. Dkk. 2017. Askep Pada Agregat Dalam Komunitas Populasi Rentan (Penyakit
Mental, Kecacatan, Dan Populasi Terlantar)
Badan Pemberdayaan Masyarakat Provinsi DKI Jakarta. 2004. Manajemen pemberdayaan

masyarakat. Jakarta: Pemda Provinsi DKI Jakarta.

Departemen Kesehatan RI. 2003. Kemitraan menuju Indonesia sehat 2010. Jakarta: Sekretariat

Jenderal Departemen Kesehatan RI.

Entjang., Indan., 2000., Ilmu Kesehatan Masyarakat, Bandung: Citra Aditya Bakti

Anda mungkin juga menyukai