Anda di halaman 1dari 14

TUGAS AKHIR SEMESTER

Dampak Tawuran bagi Perkembangan


Psikologis Remaja
Dosen Pembimbing : Dr.Maria Goretti Adiyanti

Disusun oleh :
Jonathan Ferdinand Setiawan_A_219114104

1
Daftar isi
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………….3
1.1 Latar Belakang ……………………………………………………………3
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………………3
1.3 Tujuan ………………..…………………………………………………….3
BAB II ISI ………………………………………………………………………5
2.1 Telaah Pustaka………………………………………………………………5
a) Tawuran………………………………………..……………………….5
b) Keluarga ……………………………………………………………….5
c) Karakter Keluarga………………….……………………………………6
d) Tawuran bagian dari Agresivitas………………………………….…….7
e) Agresi disebabkan oleh Media …………………………………………7
f) Kecerdasan Emosi ………………….…………………………………8
2.2 Diskusi ……………………………………………………………………..9
BAB III PENUTUP …………………………………………………………13
3.1 Kesimpulan……………………………………………………………….13
3.2 Saran……………………………………………………………………….13
Dafter Pustaka………………………………………………………………….14

2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tawuran menjadi salah satu masalah yang sering terjadi di kalangan remaja. Mirisnya
frekuensi terjadinya tawuran di Indonesia masih tergolong tinggi, salah satu faktornya adalah
mudahnya masyarakat atau siswa untuk marah oleh masalah kecil. Mereka yang terlibat dalam
tawuran pada umumnya memiliki rasa solidaritas tinggi karena mereka mementingkan
golongan yang telah mereka anggap memiliki satu nilai moral dan diperkuat dengan
pengalaman emosional (Johnson, 1986). Tawuran terjadi akibat beberapa sebab, antara lain:
(1) rasa permusuhan turun temurun yang terjadi antara dua sekolah; (2) saling mengejek antara
dua kelompok, atau (3) akibat perbedaan yang mencolok (Mustofa dikutip dari Aprilia dan
Indrijati, 2014).
Dikutip dari KPAI, pada tahun 2021 telah terjadi sekitar 17 kasus tawuran, yang
melibatkan lebih dari 202 siswa(PikiranRakyat.com, 2021). Baru-baru ini terjadi lagi kasus
tawuran antara SMP di Sukabumi pada tanggal 6 Juni 2022, di langsir dari Okenews (2022)
peristiwa tersebut mengakibatkan satu siswa terluka di punggung dan tangan kanan akibat
senjata tajam. Tawuran juga terjadi satu bulan sebelumnya pada tanggal 16 Mei 2022, peristiwa
ini menewaskan satu orang, penyebab tawuran ini terjadi akibat sepulang sekolah siswa SMA
tersebut melakukan konvoi, kemudian tanpa sengaja bertemu kelompok lain, pertemuan
tersebut sontak berujung pada tawuran (detiknews, 2022).
Kedua peristiwa tersebut memberikan contoh kenapa tawuran bersifat merugikan.
Kedua kelompok tersebut akan mencoba saling melukai untuk menjaga identitas atau harga
diri mereka. Bentuk agresi dalam tawuran tidak hanya memukul atau menendang, tetapi
mereka juga menggunakan batu, benda tumpul, senjata tajam, dan masih banyak lagi. Benda-
benda tersebut mampu melukai secara fatal dan mematikan. Tidak hanya bagi lawan mereka,
tetapi bisa melukai orang di sekitar mereka juga. Dampak paling buruk yang dapat terjadi
akibat tawuran adalah kematian, tidak hanya itu tawuran juga mampu memberikan luka
permanen, trauma secara psikologis, dan kecemasan sosial. Mereka yang terlibat tawuran juga
mendapat stigma negatif olah masyarakat, penolakan dari keluarga juga bisa terjadi, hal ini
akan mempengaruhi perkembangan mereka.
Remaja yang terlibat tawuran akan memiliki karakteristik mudah emosi dan kasar,
perilaku ini bertolak belakang dengan harapan masyarakat terhadap laki-laki. Dalam sebuah
studi menunjukan bahwa anak laki-laki menunjukan tindakan agresi lebih sering dari pada
perempuan (Edward dan Whiting, 1980). Hal ini memperkuat alasan kenapa lebih banyak
siswa laki-laki ikut tawuran dari pada siswa perempuan.

3
1.2 Rumusan Masalah
Mengapa remaja melakukan tawuran ?
Bagaimana perkembangan psikologis remaja yang mengikuti tawuran ?

1.3 Tujuan
Untuk mengetahui penyebab dan dampak secara psikologis remaja yang mengikuti tawuran.

4
BAB II
ISI
2.1 Telaah Pustaka
a. Tawuran
Tawuran merupakan fenomena perkelahian antar pelajar berbentuk agresi yang terjadi
secara berkelompok. Pada umumnya tawuran terjadi pada siswa yang berbeda sekolah (Arnet,
2006), salah satu penyebab tawuran menurut Wirumoto (dikutip dari Wikipedia, 2019) untuk
menghilangkan rasa stress selama ujian. Tawuran paling sering dijumpai berakar dari
pertikaian antara dua kelompok golongan yang tidak pernah terselesaikan, permusuhan
tersebut akan diturunkan ke generasi selanjutnya (Malinah dkk, 2014). Rata-rata siswa yang
ikut tawuran merupakan siswa dengan golongan ekonomi kelas menengah ke bawah. Hal ini
sejalan dengan pendapat Kartono (dikutip dari Aprilia dan Indrijati, 2014), faktor eksternal
seperti lingkungan, keluarga, dan pergaulan akan mempengaruhi karakter remaja. Sedangkan
faktor internal, remaja sering gagal menguasai dirinya, dan masih mencari true self sehingga
banyak remaja ikut tawuran karena ingin menunjukan jati dirinya.
b. Keluarga
Menurut Amalia dkk (2014) masyarakat dengan kelas ekonomi menengah ke bawah
memiliki kemungkinan lebih besar untuk ikut tawuran. Siswa dari keluarga menengah ke
bawah cenderung masuk ke sekolah dengan biaya administrasi rendah, hal ini mengakibatkan
mereka mengabaikan tujuan utama sekolah. Faktor keluarga juga memengang peranan kunci
bagi mereka, dalam penelitian yang dilakukan Susmiyati dan Ikawati (2018) ditemukan
beberapa aspek yang mempengaruhi kognisi remaja dengan keluarga.
1. Kondisi keluarga
a) Keluarga yang tidak saling memahami kesibukan dan pekerjaan satu sama lain
akan menimbulkan perpecahan, situasi ini jika tidak diperbaiki akan berdampak
kepada anak. Situasi tersebut akan memberikan ketegangan emosi pada anak,
dampaknya anak menjadi mudah terpengaruh hal negatif atau salah mengambil
keputusan.
b) Perbedaan Prinsip mendidik antara ayah dan ibu, akan menimbulkan
kebingungan pada anak. Kondisi ini akan mengakibatkan anak tidak tahu harus
memenuhi keinginan ayah atau keinginan ibu. Broken home sendiri dapat dipicu
oleh hal ini, perbedaan sikap, pemahaman, pandangan, atau perbedaan agama akan
membuat anak tidak nyaman berada di rumah. Hasilnya anak dengan kondisi
mental yang buruk akan cenderung menghabiskan waktunya di luar rumah, dengan
kondisi mental ini mereka akan lebih mudah terpengaruh perilaku-perilaku negatif.
c) Keluarga yang kurang kasih sayang, kurangnya pengertian, mudah cemburu,
sering berbantah, atau tidak adanya keharmonisan, akan membuat anak merasa
tidak nyaman berada di rumah. Mereka akan merasa lebih bahagia saat berkumpul
bersama kelompok sebaya. Kelompok sebaya yang salah akan menjerumuskan
mereka ke perilaku negatif

5
d) Kekerasan dalam rumah tangga juga akan menanamkan perilaku agresi kepada
anak, hal ini akan dilihat oleh anak. Melihat ayah mereka memukul atau ibu mereka
menangis akan mengganggu kognisi mereka. Perilaku agresi akan mereka
praktekan dalam aktivitas sosial mereka.
2. Kondisi pengasuhan
a) Sikap otoriter orang tua yang selalu menuntut anak selalu patuh dan sesuai
dengan keinginan mereka, akan menimbulkan keinginan untuk memberontak.
Keinginan ini timbul akibat batasan-batasan yang terlalu menekan, mereka akan
mengembangkan tingkah laku pemberontak dan menolak norma atau aturan yang
diberikan oleh orang tua.
b) Penolakan orang tua terhadap anak dapat terjadi secara tidak langsung, seperti ;
1)tidak menasihati atau memarahi saat membuat kesalahan, 2)jarang mengajak
bicara, 3)orang tua cenderung sibuk dengan pekerjaan, 4)orang tua tidak
memperhatikan anak. Hal ini akan membuat anak menjadi meragukan dirinya
sendiri. Anak-anak yang kekurangan perhatian orang tua cenderung mencari
perilaku atau tindakan nakal supaya mereka mendapat perhatian dari orang tua.
c) Orang tua terlalu melindungi (overprotective) akan menjadikan anak sulit
beradaptasi, tidak mandiri, kurang bertanggung jawab, dan bergantung kepada
orang lain. Hal ini terjadi akibat orang tua yang terlalu membatasi anaknya, seperti
tidak mengizinkan keluar rumah, selalu khawatir terhadap anaknya, atau setiap
waktu bertanya keadaanya.

c. Karakter remaja
Remaja merupakan masa sebelum dewasa, tahap ini merupakan tahap penting
dikarenakan anak harus mendapatkan ego identitiy. Menurut erikson (dikutip dari Jess Feist,
2013) masa remaja memiliki krisis berupa identity and identity confusion, mereka
bereksperimen terhadap perilaku mereka berdasarkan pengalaman dan percobaan. Remaja
akan mencari peranan mereka di masyarakat. Perubahan remaja terbagi menjadi beberapa tahap
(Agustiani, 2009), antara lain:
i. Masa awal remaja (12-15 tahun) seorang individu akan mulai tidak bergantung
kepada orang tua, mereka mampu menerima diri mereka, disertai kedekatan dengan
teman sebaya.
ii. Masa remaja pertengahan (15-18 tahun) kemampuan berpikir remaja sudah lebih
matang dan mampu membuat keputusan lebih bijak. Teman sebaya juga memengaruhi
pengambilan keputusan, tetapi remaja cenderung mendengarkan diri sendiri. Remaja
tengah juga memiliki tujuan yang ingin di capai.
iii. Masa remaja akhir (19-22 tahun) seorang individu mulai menetapkan tujuan
hidupnya dan bersikap dewasa dengan tujuan ingin diterima dalam kelompok orang
dewasa lainya. Remaja tahap akhir juga mengembangkan sense of personality, yang
membentuk identitas mereka.

6
Saat remaja mampu mengatasi krisis dan menemukan identitasnya mereka akan
mendapatkan kekuatan dasar remaja yaitu kesetiaan, mereka akan menjadi individu yang setia
terhadap pasangannya. Kesetiaan juga menjadikan individu memegang teguh ideologi, politik,
kepercayaan, dan pemikiran mereka.
Sebaliknya saat individu gagal menyelesaikan krisis pada masa remaja, mereka akan
mengembangkan role repudiation, atau penolakan peran. Hasilnya individu tidak akan mampu
menggabungkan nilai dan identitas diri supaya bekerja di masyarakat. Penolakan peran akan
menghasilkan karakter anak diffidence (malu-malu) atau defiant (menantang). Diffidence
adalah sikap kurangnya kepercayaan diri yang diwujudkan dalam bentuk rasa malu dan
kesulitan dalam mengekspresikan diri sendiri. Defiant merupakan sikap keras kepala untuk
berpegang terhadap keyakinan pergaulan yang tidak sesuai dengan norma atau aturan
masyarakat. Perilaku remaja yang melakukan tawuran menunjukkan agresi, agresi tersebut
merupakan hasil karakter defiant. Perilaku ini apabila tidak dirubah maka individu tersebut
akan menolak mendengarkan orang lain.
d. Tawuran bagian dari agresivitas
Tawuran tidak sama dengan agresivitas, tetapi tawuran merupakan salah satu
perwujudan dari agresivitas. Agresivitas di definisikan oleh Tylor, Peplau, & Sears (2009)
adalah tindakan-tindakan yang dilakukan untuk menyakiti orang lain. Pernyataan ini diperkuat
oleh Buss dan Perry (1992) bahwa agresivitas diwujudkan dengan menyakiti orang lain baik
secara fisik maupun psikologis dengan tujuan menyakiti orang lain sesuai keinginannya. Dalam
sebuah studi yang dilakukan oleh Oesman (2010) dibuktikan dengan perilaku agresi dalam
tawuran yang dibagi menjadi 3 antara lain :
1) Tipologi dominan adalah perilaku yang selalu dijumpai pada tawuran, diwujudkan
dalam bentuk tindakan verbal dan fisik
2) Tipologi pengikut adalah perilaku yang sering dijumpai dalam tawuran berbentuk
tindakan verbal
3) Tipologi pemimpin adalah perilaku yang jarang dijumpai dalam tawuran
berbentuk tindakan kompleks menggunakan verbal, fisik, dan alat
e. Agresi disebabkan oleh media
Penyebab lain perilaku agresi pada remaja dapat ditimbulkan dari penggunaan media
yang berlebihan. Media sendiri merupakan sarana untuk memindahkan data dan informasi,
media juga berfungsi sebagai alat komunikasi. Salah satu media yang bertanggung jawab atas
perilaku agresi adalah media sosial.
Media sosial dapat diartikan sebagai sarana penyampaian komunikasi dalam bentuk
online, setiap orang yang memiliki media sosial dapat berkomunikasi antara satu dengan yang
lain tanpa harus bertemu secara fisik (Istiqomah, 2017). Kehadiran sosial media sendiri
memudahkan individu untuk bekomunikasi, media sosial juga tidak terbatas pada dua individu
saja, tetapi bisa meliput orang banyak. Kemudahan dalam mengakses sosial media juga
mengakibatakan penggunaan yang sering di rumah, remaja akan lebih sering menghabiskan
waktunya berkomunikasi dengan teman di sosial media dari pada berkumpul bersama keluarga.

7
Kebebasan mengekpresikan diri di sosial media dapat memengaruhi individu lain.
Mengingat teori belajar Bandura, melalui pengamatan kita meniru dan belajar mengenai suatu
subjek, maka apa yang remaja lihat di sosial media akan memengaruhi perilaku dan pemikiran
remaja. Penelitian yang dilakukan Istiqomah (2017) memperkuat pernyataan ini, dimana
remaja yang sering menggunakan sosial media menujukan skor agresivitas yang lebih tinggi,
mereka yang melihat konten yang berunsur kekerasan akan menunjukan agresivitas.
f. Kecerdasan emosi
Kecerdasan emosi adalah kemampuan sosial individu dalam mengatur perasaan,
berdasarkan kondisi, situasi, dan stimulus untuk membuat keputusan, pikiran, atau tindakan
yang sesuai dan tepat. Menurut Goleman (1990) supaya berhasil memiliki kecerdasan emosi
individu harus memiliki 5 kemampuan dasar, antara lain :
1. Mengenali emosi diri, dengan memahami emosi yang dirasakan, maka
individu mampu memisahkan emosi dengan perilaku dan tindakan, sehingga
tidak dikuasai emosi dengan mudah.
2. Mengelola emosi, merupakan kemampuan individu untuk menguasai dan
menangani perasaan yang dirasakan, kemampuan ini lebih dibutuhkan saat
individu mengalami emosi negatif.
3. Memotivasi diri sendiri, dengan memotivasi diri sendiri maka individu akan
mampu mencari tujuan tanpa memenuhi keinginan hati.
4. Mengenali emosi orang lain, kemampuan untuk mengenali emosi orang
lain disebut juga empati, dengan memahami emosi yang dimiliki orang lain
maka kita akan mampu memahami kebutuhan sosial yang dibutuhkan, sehingga
kita mampu melihat dari sudut pandang yang berbeda.
5. Membina hubungan, dengan membangun hubungan maka individu akan
belajar memahami perasaan yang dirasakan pasangannya.
Selain itu terdapat faktor internal dan eksternal yang memengaruhi kecerdasan emosi
seorang remaja. Faktor internal adalah kemampuan dari diri individu untuk yang memengaruhi
kecerdasan emosi. Faktor internal sendiri terbagi menjadi dua yaitu jasmani dan psikologis.
Jasmani sendiri ditunjukan secara fisik seperti kesehatan, regulasi tubuhnya, dan lain-lain.
Sedangkan psikologis lebih ke arah pengalaman, kognisi, motivasi, dan perasaan.
Faktor eksternal meliputi stimulus yang diberikan dari luar tubuh dan lingkungan
dimana individu tersebut dibesarkan. Priantini dan kawan-kawan (2008) membagi lagi
lingkungan menjadi beberapa faktor, antara lain :
a) Karakteristik keluarga, pengasuhan orang tua terhadap anaknya menjadi titik
vital perkembangan remaja, orang tua yang sibuk akan memengaruhi
perkembangan mental anak, mereka yang sering bertengkar juga akan
berdampak kepada suasana hati (Conger & Elder, 1994).
b) Karakteristik anak, perbedaan jenis kelamin dan usia akan mempengaruhi
perkembangan anak, sikap orang tua terhadap anak harus berbeda, sesuai dengan
gender dan usianya (Gunarsa dan Gunarsa, 2001)

8
c) Lingkungan sekolah, sekolah dapat membentuk pribadi remaja, membangun
relasi, dan membimbing mereka dalam mengungkapkan emosi (Ali dan Asror,
2004).
d) Disiplin, kedisiplinan sendiri bisa diajarkan oleh guru dan orang tua, pentingnya
kedisiplinan supaya remaja menjadi teratur dalam melakukan aktivitas (Mulyasa,
2005).
e) Pembelajaran emosional, pembelajaran emosional dapat dilakukan secara
langsung maupun tidak langsung, guru dapat melibatkan siswa secara langsung
dalam pembelajaran, aktif berinteraksi di kelas maupun di luar kelas, mengajar
dengan kondusif, dan memberikan respon positif terhadap siswa (Mulyasa, 2005).
f) Kegiatan ekstrakurikuler, kegiatan ekstrakurikuler bisa menjadi sarana siswa
dalam memahami dirinya, mengikuti apa yang dia sukai, dengan menumbuhkan
rasa bertanggung jawab berdasarkan pilihan ekstrakurikuler yang dipilhnya, maka
siswa tersebut bisa belajar menghargai pilihan (Suryosubroto, 2002).
g) Hubungan guru dengan siswa, guru sama seperti orang tua, bedanya mereka
menyampaikan materi di kelas, sehingga peran mereka juga penting bagi
kemampuan kecerdasan emosi siswa.
h) Peran teman sebaya, teman sebaya memiliki peran penting setelah keluarga dan
sekolah, karena teman sebaya berfungsi sebagai sebagai sahabat, sumber
dukungan semangat, sumber dukungan fisik, sumber dukungan ego, fungsi
komparasi sosial, dan fungsi kasih sayang (Santrock & Yussen, 1989).
Faktor-faktor eksternal tersebut mempengaruhi 67% kecerdasan emosi yang dimiliki
remaja. Perkembangan remaja yang memiliki kecerdasan emosi tinggi, cenderung memiliki
1)lingkungan keluarga yang harmonis dan memenuhi fungsi keluarga, 2)lingkungan sekolah
yang mengajarkan kedisiplinan, 3)guru yang mendukung penuh aspirasi siswa dan
memberikan respon positif, 4)lingkungan teman sebaya yang memahami perasaan dan
kepribadian siswa lain.

2.2 Diskusi
Salah satu perilaku agresi yang merugikan banyak pihak adalah tawuran. Pada era ini
sering terjadi tawuran yang melibatkan siswa SMP dan SMA/SMK. Perlilaku ini jadi
memprihatinkan dikarenakan dalam beberapa kasus telah dijumpai korban jiwa. Rasa bersalah
atau trauma yang mereka alami, akan mempengaruhi perkembangan mental mereka.
Berdasarkan masalah tersebut, perlu diketahui penyebab terjadinya tawuran, yaitu
perilaku agresi yang muncul dari diri siswa, kemudian mereka menyalurkanya dengan tawuran.
Penyebab tawuran sendiri bermacam-macam, faktornya ada faktor internal dan faktor
eksternal.
Pertama, seorang remaja belum memiliki kemampuan mengendalikan emosi secara
matang, mereka juga mencari jati diri, dan posisi mereka di masyarakat. Perkembangan
biologis mereka juga belum berkembang secara maksimal. Perkembangan amygdala pada

9
remaja telah matang tetapi perkembangan lobus prefrontal mereka belum matang, sehingga
remaja belum mampu mengendalikan emosi mereka. Kedua aspek tersebut, menjadikan
mereka rentan terpapar hal-hal negatif, remaja juga cenderung membangkang mereka ingin
bersikap mandiri, sehingga mereka akan menghabiskan waktu lebih banyak bersama teman
sebaya. Keluarga memengaruhi perkembangan remaja, hal ini juga terjadi akibat cara
pengajaran orang tua terhadap anaknya. Keluarga yang sering bermasalah atau bertengkar akan
mengakibatkan anak merasa tidak nyaman, mereka akan menerima tekanan yang berubah
menjadi stress. Dampaknya remaja yang stress akan menunjukan agresivitas dengan bentuk
verbal.
Setelah membaca sebuah skripsi dan artikel, beberapa kasus tawuran yang terjadi
melibatkan anak dengan kondisi keluarga yang berkecukupan atau lebih dari cukup. Hal ini
mematahkan landasan teori yang mengutarakan bahwa pelaku tawuran biasanya berasal dari
keluarga menengah kebawah yang memiliki masalah ekonomi. Argumen ini diperkuat dengan
penelitian yang dilakukan oleh Oesman (2010) bahwa siswa yang melakukan tawuran memiliki
hubungan yang baik dengan keluarga, mereka juga sering berkumpul bersama keluarga.
Mereka juga memiliki uang saku yang cukup berkisaran Rp. 100.000- Rp. 400.000 per minggu.
Kondis tempat tinggal mereka juga layak beberapa diantaranya tinggal di kompleks elit, sarana
hiburan dirumah mereka juga tergolong baik.
Kedua, kelompok teman sebaya juga menjadi penguat perilaku agresi tersebut, rata-rata
mereka memiliki kondisi stress yang sama dan latar belakang yang sama. Pertemanan tersebut
akan menjadi solidaritas yang kuat, mereka akan mencoba mempertahankan harga diri teman-
teman mereka. Gabungan beberapa remaja yang belum matang secara emosional akan
mengakibatkan mereka mudah terpancung terhadap hal-hal kecil. Contohnya saat mereka
berpapasan dengan kelompok lain yang sebaya, mereka akan meninggikan harga diri mereka,
mereka tanpa sengaja menyenggol kelompok lain tersebut, hal ini dapat menyebabkan
pertikaian verbal dan berdampak tawuran. Kebencian antar kelompok yang diturunkan oleh
senior mereka menjadi faktor terakhir. Kebencian ini akan terus dilanjutkan dari generasi ke
generasi, penyebabnya sederhana, generasi selanjutnya harus menunujukan kemampuan
kelompok mereka lebih unggul terhadap kelompok lain. Mereka juga ingin menguasai dan
mendominasi lingkungan sekitar sekolah mereka.
Pernyataan tersebut diperkuat oleh penelitian Oesman (2010) yang menujukan bahwa
remaja yang mengikuti tawuran sering bertemu dengan teman sebaya, mereka bertemu secara
rutin baik saat di sekolah maupun diluar sekolah. Remaja yang dekat dengan teman sebaya juga
menunjukan kepercayaan yang tinggi terhadap kelompok mereka, mereka cenderung bercerita
mengenai masalah-masalah yang mereka alami. Hubungan dengan teman sebaya yang sudah
erat akan membuat mereka menganggap kelompok tersebut keluarga ke dua mereka.
Kedekatan ini bisa terjalin tanpa harus bertemu langsung, hal ini dipengaruhi oleh sosial media.
Dengan kehadiran sosial media, kebencian antar kelompok akan lebih mudah
disebarkan. Terkadang banyak individu yang lupa batasan di sosial media, mengingat bahwa
sosial media memberikan kebebasan yang semu. Penyebaranya yang cepat juga menjadi faktor
yang mengakibatkan siswa-siswa mudah menerima informasi. Saat individu dari sebuah
kelompok membuka media, mereka yang kecerdasan emosinya belum matang akan mudah
terpancing amarahnya dan menyebarkan informasi tersebut tanpa mengetahui kebenaranya
(hoax). Tindakan ini dapat mengakibatkan tawuran. Tidak hanya saling menghina di media

10
dapat menimbulkan pertikaian dua kelompok, tetapi media juga bisa menjadi sarana
menentukan tempat tawuran dan mencari anggota kelompok untuk ikut tawuran.
Perillaku agresi juga ditunjukan oleh siswa yang melakukan game online berunsur
kekerasan. Penelitian yang dilakukan oleh Febrina (2014) menunjukkan bahwa perilaku agresi
pada anak dapat muncul akibat bermain game online, anak-anak yang terpapar game online
akan menunjukan agresi secara verbal (berteriak, mengumpat) maupun fisik (memukul,
menendang). Mereka juga menghina temannya dengan bahasa yang seharusya tidak mereka
gunakan. Penelitian oleh Febrina ini dilakukan pada anak SD tetapi, bisa diterapkan pada
remaja, perlu di ingat bahwa perkembangan akan dipengaruhi oleh perkembangan sebelumnya.
Agresi yang ditimbulkan anak-anak ini bila tidak ditangani akan menanamkan kepribadian
yang buruk, dampakanya saat remaja anak yang menunjukan agresi akan mudah terpicu
amarahnya akan melakukan tindakan agresi ke teman sebayanya.
Kecerdasan emosi yang belum matang sudah terlihat dari perilaku mereka terhadap
informasi yang beredar di sosial media. Saling menghina di sosial media ditambah kurangnya
kemampuan mereka dalam mengendalikan emosi akan membuat mereka mudah marah. Ejekan
atau perkataan yang melaukai harga diri salah satu anggota kelompok akan diagnggap sebagai
ajakan berkelahi oleh pihak yang menghina, tawuran sendiri dapat terjadi.
Dengan beberapa macam faktor di atas remaja yang mengikuti tawuran akan terganggu
secara mental. Seperti pembahasan sebelumnya usia remaja adalah tahap identity and identity
confusion, remaja yang ikut tawuran akan tumbuh menjadi individu defiant (pembangkang),
mereka juga mudah melakukan tindakan agresi. Saat remaja tersebut tumbuh ke tahap intimacy
and isolation mereka akan gagal mengembangkan love karena mereka menolak mendengarkan
pendapat orang lain. Kemudian kecerdasan emosi yang belum matang apabila terbawa ketahap
selanjutnya akan memperngaruhi keputusan, perilaku, dan perasaan individu tersebut.
Sebagai contoh seorang mantan perilaku tawuran yang sudah dipenjara selama 2 tahun
dikarenakan ada korban jiwa dari pihak lawan. Pertama, dia kehilangan 2 tahun masa hidupnya
untuk perkembangan kognisi dan emosi. Kedua, perialku mudah marah yang dia miliki akan
terbawa ke masa dewasa awal. Tanpa sengaja dia bersenggolan dengan orang yang lebih muda,
maka dia akan marah dan menunjukan tindakan agresi secara verbal baik dari segi intonasi atau
pilihan kata. Hubungan asmara juga tidak akan berjalan dengan baik, karena dia pasti kesulitan
memahami perasaan yang dimiliki oleh pasangannya. Setelah menikah dia akan menjadi
individu yang memiliki keinginan untuk dipatuhi, saat keinginannya tidak dipatuhi maka dia
akan menunjukan agresi. Hal ini menunjukan ada kemungkinan dia melakukan kekerasan
terhadap pasangan (KDRT). Saat anak mereka lahir, dia tidak akan siap menjadi orang tua,
dengan beban keluarga yang bertamabah dia tidak akan menemukan kebahagiaan di keluarga
tersebut. Dia akan mengulang perilaku yang dilakukan sebelumnya, yaitu mencari teman
sebaya. Pada usia dewasa madya pergaulan yang salah lebih banyak ditemui, dimana perilaku
yang dilakukan melebihi perilaku agresi, contohnya narkoba, sex bebas, dan alkohol.
Dampak ikut tawuran pada perkembangan remaja, terlebih lagi dengan frekuensi sering
akan menghasilkan perilaku agresi terhadap pasangan, rekan kerja, dan lingkungan sekitar.
Kemudian mengulangi kesalahan yang dilakukan seperti melakukan pergaulan bebas. Terakhir
mereka tidak mampu mengambil keputusan diakibatkan pengaruh emosi yang tidak bisa
mereka kendalikan.

11
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

12
Berdasarkan hasil diskusi di atas dapat disimpulkan bahwa tawuran merupakan salah
satu bentuk agresivitas yang dilakukan remaja secara berkelompok. Penyebabya bermacam
macam antara lain 1) kondisi keluarga, 2) pergaulan yang salah, 3) pelampiasan emosi, 4)
solidaritas yang disalahgunakan, dan 5) kebebasan berpendapat di media sosial. Kemudian
dampaknya, remaja akan mengembangkan sifat agresi, mereka juga tidak peduli terhadap
keluarga, kecerdasan emosi yang kurang, dan tidak mendengarkan orang lain (membangkang).
Saat menginjak usia dewasa maslaah hidup yang dialami akan meningkat, akibat tawuran akan
membuat mereka berpikir untuk menyelesaikan masalah dengan bentuk agresi.

3.2 Saran
Untuk menanggulangi tawuran upaya yang bisa dilakukan adalah menjaga
keharmonisan keluarga, bisa diwujudkan dengan saling memahami kesibukan masing-masing
dan apabila ada perselisihan selesaikan dengan kasih sayang. Kesadaran diri remaja untuk
mencari teman yang baik, mereka mampu dijadikan sahabat mendorong ke perkembangan
positif. Remaja juga perlu melampiaskan rasa stress dan depresi akibat tugas melalui liburan,
berekreasi, dan sebagainya.
Sepulang sekolah siswa dianjurkan untuk langsung pulang sehingga mengurangi
kemumngkinan terjadinya pertikaian antar kelompok. Guru juga harus berperan aktif dalam
mencegah perilaku tawuran. Dengan mengobservasi anak baik secara akademis maupun secara
non akademis guru yang baik seharsunya tahu bahwa anak tersebut mengalami gangguan atau
memiliki masalah. Sehingga guru bisa mencoba untuk berkonsultasi dengan anak yang
bermasalah, atau memanggil kedua orang tua mereka untuk mengurangi ketegangan akibat
masalah yang dialami.

Saran untuk penelitian selanjutnya untuk mengambil data dengan cara observasi
longitudinal untuk mengetahui secara lebih spesifik mengenai stimulus yang memicu perilaku
agresi. Kemudian menentukan faktor-faktor psikologis yang akan mempengaruhi kemampuan
kognitif mereka.

Daftar Pustaka

Aprilia, Nuri., & Herdina Indrijati. (2014). Hubungan antara Kecerdasan Emosi dengan
Perilaku Tawuran pada Remaja Laki-laki yang Pernah Terlibat Tawuran di SMK 'B'
Jakarta. Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan, 3(01), 1-11.

13
Ashari, Muhammad. (2012). KPAI Rilis Data Perundungan Selama 2021, Tawuran Pelajar
Paling Banyak. PikiranRakyatcom. Diakses dari :https://www.pikiran-
rakyat.com/pendidikan/pr-013345547/kpai-rilis-data-perundungan-selama-2021-
tawuran-pelajar-paling-banyak

Edwards, Carolyn Pope., & Beatrice BIyth Whiting. (1980). Differential Socialization of Girls
and Boys in Light of Cross-Cultural Research. New Directions for Child Dcuclopmmt, 8,
45-57.

Febrina, Conni L. (2014). Pengaruh Intensitas Bermain Game On-line terhadap Agresivitas
Siswa. Jurnal Ilmiah VISI P2TK PAUD NI,9(01), 28-35.
Ferdinand. (2011). Sudah Tradisi, Tawuran Anak Artis & Pejabat di SMA 6. okenews. Diakses
dari: https://megapolitan.okezone.com/read/2011/09/19/338/504446/sudah-tradisi-
tawuran-anak-artis-pejabat-di-sma-6
Hadi, Dharmawan. (2022). Tawuran Antar Siswa SMP di Sukabumi, 1 Pelajar Kena Bacok.
okenews. Diakses dari:
https://news.okezone.com/read/2022/06/07/525/2607228/tawuran-antar-siswa-smp-di-
sukabumi-1-pelajar-kena-bacok?page=1
Istiqomah. (2017). Penggunaan Media Sosial dengan Tingkat Agresivitas Remaja. Jurnal
Insight Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Jember, 13(02), 96-112.

Malihah, Elly., Bunyamin Maftuh., & Rizki Amalia. (2014). Tawuran Pelajar: Solidarity in the
Student Group and its Influence on Brawl Behaviour. Jurnal Komunitas, 6(2), 212-221.
DOI : http://dx.doi.org/10.15294/komunitas.v6i2.3301

Oesman, A.Tamimi. (2010). Fenomena Tawuran sebagai Bentuk Aagresivitas Remaja.


Diakses dari https://adoc.pub/fenomena-tawuran-sebagai-bentuk-agresivitas-remaja.html

Priatini, Woro., Melly Latifah,. & Suprihatin Guhardja. (2008). Pengaruh Tipe Pengasuhan,
Lingkungan Sekolah, dan Peran Teman Sebaya Terhadap Kecerdasan Emosional Remaja.
I(01), 43-53.
Susmiyati, Sri Hastuti., & Ikawati. (2018). Tawuran Remaja Ditinjau dari Kehidupan dan
Pengasuhan Keluarga. Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, 42(01), 105-114.
(2022) . Konvoi Berujung Tawuran Tewaskan 1 Pelajar di Kemayoran. detiknews. Diakses
dari: https://news.detik.com/berita/d-6087796/konvoi-berujung-tawuran-tewaskan-1-
pelajar-di-kemayoran/1

14

Anda mungkin juga menyukai