Anda di halaman 1dari 49

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fungsi keluarga adalah memberi pengayoman sehingga menjamin rasa

aman, maka dalam masa kritisnya remaja sungguh-sungguh membutuhkan

realsasi fungsi tersebut. Masa kritis diwarnai oleh konflik-konflik internal,

pemikiran kritis, perasaan mudah tersinggung, cita-cita dan kemauan yang

tinggi tetapi sukar ia kerjakan sehingga frustasi dan sebagainya. Masalah

keluarga yang broken home bukan menjadi masalah baru tetapi merupakan

masalah yang utama dari akar-akar kehidupan seorang remaja.

Salzman (Yusuf 2008:184) berpendapat bahwa remaja merupakan

masa perkembangan sikap tergantung terhadap orang tua ke arah kemandirian,

minat–minat seksual, perenungan diri, dan perhatian terhadap nilai–nilai

etestika dan isu – isu moral. Sedangkan menurut Yusuf (2011:12) berpendapat

bahwa periode remaja adalah masa transisi antara masa anak dengan masa

dewasa, terentang dari usia sekitar 12/13 tahun sampai usia 19/20 tahun, yang

ditandai dengan perubahan dalam aspek biologis, kognitif, dan

sosioemosional. Yang menjadi tugas kunci remaja adalah persiapan

menghadapi masa dewasa”.

Meningkatnya jumlah kasus perceraian dewasa ini berjalan seiring

dengan berubahnya gaya hidup dan harapan, serta datangnya arus modernisasi.

Menurut Tasmin dan Rini (Tasmin, 2002:1) di Indonesia sendiri angka

perceraian setingkat dengan di Amerika Serikat, yaitu 66,6%. Perceraian

1
2

merupakan salah satu jalan terbaik bagi suami dan isteri untuk mendapatkan

apa yang mereka inginkan. Namun apapun alasannya, perceraian dapat

menimbulkan akibat buruk pada reamaja.

Menurut Pujosuwarno (Setyaningsih, 2010:4) kondisi keluarga yang

kurang baik biasanya terdapat pada keluarga yang mengalami banyak masalah

dan tidak dapat terselesaikan sampai mengakibatkan broken home, yaitu

keretakan di dalam keluarga yang berarti rusaknya hubungan satu dengan

yang lain diantara anggota keluarga tersebut. Suasana keluarga yang retak,

sudah tidak ada keharmonisan antara ayah dan ibu, tidak ada kesatuan

pendapat, sikap dan pandangan terhadap sesuatu yang dihadapinya.

Selain itu, menurut Pujosuwarno (Setyaningsih, 2010:5) akibat dari

keretakan keluarga tersebut anak-anak akan merasa terlantar, terutama

pendidikannya dalam keluarga, karena tidak jarang anak-anak terpaksa ikut

ayah atau ibu tiri sehingga akan merasa kurang mendapat kasih sayang dari

orang tuanya. Selain itu, anak akan merasa malu dan minder terhadap orang

disekitarnya, menjadi gunjingan teman sekitar, proses belajarnya juga

terganggu karena pikirannya tidak terkonsentrasi pada pelajaran. Memiliki

pikiran-pikiran dan bayangan-bayangan negatif seperti menyalahkan takdir

yang seolah membuat keluarganya seperti itu. Tidak bisa menerima takdirnya

atau kenyataan yang harus dijalani. Tekanan mental itu mempengaruhi

kejiwaannya sehingga dapat mengakibatkan stres dan frustasi bahkan seorang

anak bisa mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Selain itu anak-anak dapat
3

saja terjerumus dalam hal-hal negatif, seperti merokok, obat-obat terlarang

(narkoba) bahkan pergaulan bebas yang menyesatkan.

Sejalan dengan itu, Moeljatno (Sudarsono, 2004:125) menyatakan

bahwa broken home memliki dampak berupa kemungkinan besar terjadinya

kenakalan remaja, dimana terutama perceraian atau perpisahan orang tua

mempengaruhi perkembangan anak. Menurut Glasser (Rosjidan, 1988:207)

konseling realita berfokus pada bagaimana kita mampu dengan lebih efektif

mengendalikan kehidupan sekarang ini dengan jalan mengevaluasi tingkah

laku dan memilih tingkah laku yang lebih baik. Selain itu konseling realita

juga menilai dan memperbaiki persepsi-persepsi individu.

Menurut Glasser (Rosjidan, 1988:213) konselor dituntut agar peka dan

mengarahkan klien untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka

sendiri secara realita. Selain itu, konselor juga dituntut untuk mendengarkan

berbagai perjuangan klien secara terbuka, memperkenankan nilai-nilainya

sendiri ditantang oleh klien, tidak menerima permintaan maaf untuk

mengelakkan tindakan yang bertanggung jawab, menunjukkan keberanian

menghadapi klien secara berkelanjutan, memahami dan berempati pada klien,

dan menciptakan suatu keterlibatan pada klien secara tulus.

Menurut Glasser (Komalasari, 2011:241), ”Ketika seseorang berhasil

memenuhi kebutuhannya, orang tersebut mencapai identitas sukses”.

Pencapaian identitas ini terikat pada konsep 3R, yaitu keadaan dimana

individu dapat menerima kondisi yang dihadapinya, dicapai dengan


4

menunjukkan total behavior (perilaku total) secara bertanggung jawab

(responsibility), sesuai realita (reality), dan benar (right).

Menurut Hansen (Taufik, 2012:218) pada dasarnya terdapat dua

konsep pokok yang menjadi inti dari pendekatan realitas yaitu disebut dengan

”3R” (Right, Reality, dan responsibility) dan identitas keberhasilan (succes

identity) dan identitas kegagalan (failure identity).

Menurut Komalasari (2011:242) pendekatan realitas adalah proses

rasional yang menekankan pada perilaku sekarang dan saat ini. Artinya,

konseli ditekankan untuk melihat perilakunya yang dapat diamati daripada

motif-motif bawah sadarnya. Terapis berfungsi sebagai guru dan model serta

mengkonfrontasikan klien dengan cara-cara yang bisa membantu klien

menghadapi kenyataan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar tanpa

merugikan dirinya sendiri atupun orang lain. Inti dari terapi realitas adalah

penerimaan tanggung jawab pribadi, yang dipersamakan dengan kesehatan

mental (Corey, 2003:267).

Menurut Glasser (Latipun, 2006:153) perilaku yang menyimpang yaitu

individu yang berperilaku tidak tepat disebabkan oleh ketidak mampuan dalam

memuaskan kebutuhannya, akibatnya kehilangan ”sentuhan” dengan realitas

objektif, tidak dapat melihat sesuatu sesuai dengan realitanya, tidak dapat

melakukan atas dasar kebenaran, tanggung jawab dan realita. Identitas itu

ditandai dengan keterasingan, penolakan diri dan irrasionalitas, perilakunya

kaku, tidak objektif, lemah, tidak bertanggung jawab, kurang percaya diri dan

menolak kenyataan.
5

Dari hasil observasi yang telah dilaksanakan pada tanggal 23 April

2018 di Jorong Haru Kenagarian Bunga Tanjung, diketahui ada beberapa

remaja yang memiliki latar belakang keluarga broken home. Di antara remaja

broken home tersebut, terdapat dua orang remaja yang memiliki perilaku

berbeda dengan remaja seusianya.

Peneliti juga melakukan wawancara pada tanggal 24 April 2018

dengan ibu dari remaja tersebut yang menyatakan bahwa memang remaja

yang bersangkutan memiliki latar belakang keluarga yang broken home

dimana ayah dan ibunya sudah berpisah atau bercerai beberapa tahun yang

lalu, ia tinggal dengan ibu dan neneknya. Namun remaja tersebut tidak dapat

menerima kenyataan perceraian orang tuanya dengan melakukan berbagai

protes secara verbal dan non verbal atau tindakan, seperti secara terang-

terangan menyatakan bahwa tidak menyukai perceraian orang tuanya, selalu

melawan saat dinasehati ibu atau neneknya, sering merokok, malas belajar di

rumah, beberapa kali tinggal kelas, dan kerap mendapat aduan dari warga

sekitar bahwa remaja tersebut suka ngebut-ngebutan mengendarai sepeda

motor di jalan perkampungan maupun di jalan raya. Berdasarkan wawancara

pada tanggal 24 April 2018 dengan salah seorang tetangga remaja broken

home juga membenarkan apa yang diungkapkan ibunya, bahwa remaja

tersebut sering membantah, melawan, kurang menghormati ibunya, bergaul

dengan remaja yang usianya lebih besar dan tidak sekolah, menonton video

yang tidak senonoh, kerap melihat remaja tersebut merokok, bahkan

menghisap lem. Berdasarkan wawancara pada tanggal 24 April 2018 dengan


6

remaja yang bersangkutan, menyatakan bahwa dia merasa tidak suka dan tidak

menyetujui perceraian orang tuanya, ia juga mengakui segala perilaku negatif

yang dilakukan secara sengaja dan merasa itu bukan tindakan yang salah

karena dilingkungan pertemanannya juga melakukan tindakan yang sama,

seperti merokok, menghisap lem, dan diperbolehkan mengendarai sepeda

motor. Permasalahan di atas mempunyai dampak negatif terhadap remaja,

diantaranya menurunkan kepercayaan diri remaja, menimbulkan perilaku-

perilaku negatif yang dapat mengganggu interaksi dan hubungan sosial

remaja.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul ”Bentuk Permasalahan Remaja Broken Home

Berdasarkan Pendekatan Konseling Realita di Jorong Haru, Kenagarian

Bunga Tanjung, Kecamatan Batipuh, Kabupaten Tanah Datar”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat diidentifikasi

masalah penelitian sebagai berikut:

1. Adanya remaja yang tidak dapat menerima kondisi keluarga.

2. Adanya remaja yang sering merokok.

3. Adanya remaja yang sering menghisap lem.

4. Adanya remaja yang malas belajar di rumah.

5. Adanya remaja yang beberapa kali tinggal kelas.

6. Adanya remaja di bawah umur yang sering kebut-kebutan mengendarai

sepeda motor.
7

7. Adanya remaja yang bergaul dengan orang lebih besar dan tidak

bersekolah.

8. Adanya remaja yang sering menonton video tidak senonoh.

C. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka batasan masalah dapat

dibatasi, sebagai berikut:

1. Bentuk permasalahan remaja broken home terkait perilaku yang tidak

benar (right).

2. Bentuk permasalahan remaja broken home terkait perilaku yang tidak

realistis (reality).

3. Bentuk permasalahan remaja broken home terkait perilaku yang tidak

bertanggung jawab (responsibility).

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, dapat dirumuskan masalah

penelitian ini adalah “Bagaimana bentuk permasalahan remaja broken home

berdasarkan pendekatan konseling realita?”

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka

tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan:

1. Bentuk permasalahan remaja broken home terkait perilaku yang tidak

benar (right).

2. Bentuk permasalahan remaja broken home terkait perilaku yang tidak

realistis (reality).
8

3. Bentuk permasalahan remaja broken home terkait perilaku yang tidak

bertanggung jawab (responsibility).

F. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk

memperkaya khasanah penelitian dibidang Bimbingan dan Konseling

individu.

b. Sebagai bahan masukan dan sumbangan pemikiran yang akan

menambah perbendaharaan dibidang Bimbingan dan Konseling, guna

meningkatkan pelayanan Bimbingan dan Konseling.

2. Manfaat Praktis

a. Remaja broken home, diharapkan dapat memberikan pemahaman

kepada remaja dalam memahami dirinya, dan mengetahui bagaimana

mengubah sikap dan perilaku negatif yang dimiliki menjadi positif.

b. Keluarga, dapat memahami sikap dan perilaku remaja yang

bermasalah dan mengarahkannya untuk mencapai tugas-tugas

perkembangan dengan baik.

c. Masyarakat, penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan dalam

menciptakan linkungan yang kondusif guna mengarahkan remaja

mencapai tugas-tugas perkembangan dengan baik.

d. Kenagarian, acuan untuk mengarahkan dan mengembangkan sikap

dan nilai positif remaja sebagai generasi penerus pembangunan

nagari yang lebih baik ke depannya.


9

e. Pengelola Program Studi Bimbingan dan Konseling STKIP PGRI

Sumatera Barat, agar dapat mempersiapkan lulusan yang memiliki

wawasan, pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap (WPKNS).

f. Peneliti, sebagai syarat untuk menyelesaikan tugas akhir skripsi dan

mendapatkan gelar strata satu dari jurusan Program Studi Bimbingan

dan Konseling di STKIP PGRI Sumatera Barat.

g. Peneliti selanjutnya, sebagai bahan acuan penelitian lebih lanjut dan

menambah keilmuan dalam bidang penelitian.


10

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Remaja

1. Pengertian Remaja

Masa remaja dianggap mulai pada saat anak secara seksual

menjadi matang dan berakhir saat ia mencapai usia matang secara

hukum. Awal masa remaja berlangsung kira-kira dari tiga belas tahun

sampai tujuh belas tahun dan akhir masa remaja bermula dari usia tujuh

belas tahun sampai delapan belas tahun.

Yusuf (2008:184) berpendapat bahwa:

“Fase remaja merupakan segmen perkembangan individu yang

sangat penting, yang diawali dengan matangnya organ-organ fisik

(seksual) sehingga mampu berproduksi”.

Sedangkan Salzman (Yusuf, 2008:184) berpendapat bahwa

“Remaja merupakan masa perkembangan sikap tergantung terhadap

orang tua ke arah kemandirian, minat-minat seksual perenungan diri,

dan perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu moral”. Menurut

Prayitno (2006:6) bahwa “Remaja ialah individu yang telah mengalami

masa baligh atau telah berfungsi hormon reproduksi sehingga wanita

mengalami menstruasi dan laki-laki mengalami mimpi basah”.

Para pakar psikologi sepakat (Prayitno, 2006:6) bahwa yang

dimaksud dengan remaja adalah “Seorang individu yang berada pada

rentangan umur antara 13 sampai dengan 21 tahun, pencapaian periode

10
11

remaja berbeda antara wanita dan pria. Yaitu wanita remaja 13-15

tahun dan berakhir umur 18-21 tahun, dan remaja pria berumur 15-17

tahun dan berakhir umur 19-22 tahun”. Yusuf dan Nani (2011:12)

berpendapat bahwa, “Periode remaja adalah masa transisi antara masa

anak dengan masa dewasa, terentang dari usia sekitar 12/13 tahun

sampai usia 19/20 tahun, yang ditandai dengan perubahan dalam aspek

biologis, kognitif, dan sosioemosional, yang menjadi tugas kunci

remaja adalah persiapan menghadapi masa dewasa”.

Berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa masa

remaja adalah dimana seseorang individu mengalami perubahan dari

masa anak-anak, dengan rentang umur 13 hingga 22 tahun, dimana

remaja sudah mencapai kematangan secara mental, emosional, sosial

dan fisik, sehingga mereka merasa bahwa bukan lagi di bawah

naungan orang dewasa, melainkan mereka merasa dirinya sejajar

dengan orang dewasa lainnya.

2. Tugas-tugas Perkembangan Remaja

Key (Yusuf, 2008:72-73) mengatakan tugas perkembangan remaja

sebagai berikut:

a. Menerima fisiknya sendiri berikut keragaman kualitasnya.

b. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua atau figur-figur

yang mempunyai otoritas.


12

c. Mengembangkan keterampilan komunikasi interpersonal belajar

bergaul dengan teman sebaya atau orang lain, baik secara

individual maupun kelompok.

d. Menemukan manusia model yang dijadikan identitasnya.

e. Menerima dirinya sendiri dan memiliki kepercayaan terhadap

kemampuannya sendiri.

f. Memperkuat self-control (kemampuan mengendalikan diri) atas

dasar skala nilai, prinsip-prinsip atau falsafah hidup.

g. Mampu meninggalkan reaksi dan penyesuaian diri (sikap atau

perilaku) kekanak-kanakan.

Havighurst (Prayitno, 2006:42) menyatakan ada 9 jenis tugas

perkembangan yang seharusnya dicapai pada masa remaja yaitu:

a. Menguasai kemampuan membina hubungan baru dan lebih

matang dengan teman sebaya yang sama atau berbeda jenis

kelamin. Kemampuan membina hubungan baru tersebut adalah

kemampuan berfikir positif, empati, dan kontrol emosi.

b. Menguasai kemampuan melaksanakan peranan sosial sesuai

dengan jenis kelamin.

c. Menerima keadaan fisik sesuai dengan jenis kelamin.

d. Mencapai kemerdekaan (kebebasan) emosional dari orang tua dan

orang dewasa lainnya.


13

e. Memiliki kemampuan untuk mandiri secara ekonomi, remaja

yang matang memiliki dorongan untuk mencari biaya hidup

sendiri.

f. Memperoleh kemampuan untuk memilih dan mempersiapkan diri

dalam karir.

g. Mengembangkan kemampuan intelektual, dan konsep– konsep

yang perlu untuk menjadi warga negara yang berkemampuan.

h. Memiliki keinginan untuk bertanggung jawab terhadap tingkah

laku sosial.

i. Memiliki perangkat nilai dan sistem etika dalam bertingkah laku.

Menurut Hartinah (2010:47) tugas-tugas perkembangan yang

harus diselesaikan remaja ialah:

a. Mampu menjalin hubungan yang lebih matang dengan sebaya dan

jenis kelamin lainnya.

b. Mampu melakukan peran-peran sosial sebagai laki-laki dan

wanita.

c. Menerima kondisi jasmaninya dan dapat menggunakannya secara

efektif.

d. Memiliki emosional yang berbeda dengan orang tua dan orang

dewasa lainnya.

e. Memiliki perasaan mampu berdiri sendiri dalam bidang ekonomi.

f. Mampu memilih dan mempersiapkan diri untuk sebuah pekerjaan.


14

g. Belajar mempersiapkan diri untuk perkawinan dan kehidupan

berkeluarga.

h. Mengembangkan konsep-konsep dan keterampilan intelektual

untuk hidup bermasyarakat

i. Memiliki perilaku sosial seperti yang diharapkan masyarakat.

j. Memiliki seperangkat nilai yang menjadi pedoman bagi

perbuatannya.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa remaja

yang berkembang sempurna dapat memperlihatkan berbagai

kemampuan. Kemampuan-kemampuan itu disebut dengan tugas-tugas

pada periode remaja.

3. Karakteristik Perkembangan Masa Remaja

Karakteristik remaja merupakan suatu ciri khas yang menetap

pada diri seseorang remaja dalam berbagai situasi dan dalam berbagai

kondisi, yang mampu membedakan antara remaja yang satu dengan

remaja yang lain. Menurut Yusuf (2008:193-204) karakteristik

perkembangan masa remaja:

a. Perkembangan Fisik

Masa remaja merupakan salah satu di antara dua masa

rentang kehidupan individu, dimana terjadi perubahan fisik yang

sangat pesat.
15

b. Perkembangan Kognitif (Intelektual)

Ditinjau dari perkembangan kognitif, masa remaja sudah

mencapai masa operasi formal (kegiatan-kegiatan mental tentang

berbagai gagasan). Remaja secara mental telah dapat berfikir logis

tentang berbagai gagasan yang abstrak. Dengan kata lain berfikir

operasi formal lebih bersifat hipotesis dan abstrak, serta sistematis

dan ilmiah dalam memecahkan masalah.

c. Perkembangan Emosi

Pertumbuhan fisik, terutama organ-organ seksual

mempengaruhi perkembangannya emosi atau perasaan-perasaan

dan dorongan-dorongan baru yang dialami sebelumnya seperti

perasaan cinta, rindu, dan keinginan untuk berkenalan lebih intim

dengan lawan jenis.

d. Perkembangan Sosial

Kemampuan untuk memahami orang lain, remaja

memahami orang lain sebagai individu yang unik, baik

menyangkut sifat-sifat pribadi, minat nilai-nilai maupun

perasaannya.

e. Perkembangan Moral

Melalui pengalaman atau berinteraksi sosial dengan orang

tua, guru, teman sebaya atau orang dewasa lainnya, tingkat

moralitas remaja sudah lebih matang jika dibandingkan dengan

usia anak. Mereka sudah lebih mengenal tentang nilai-nilai moral


16

atau konsep-konsep, moralitas seperti kejujuran, keadilan,

kesopanan, dan kedisiplinan.

f. Perkembangan Kepribadian

Kepribadian merupakan sistem yang dinamis dari sifat,

sikap, dan kebiasaan yang menghasilkan tingkat kosistensi respon

individu yang beragam. Sifat-sifat kepribadian mencerminkan

perkembangan fisik, seksual, emosional, sosial, kognitif, dan

nilai-nilai.

g. Perkembangan kesadaran beragama

Kemampuan berfikir abstrak remaja memungkinkannya

untuk dapat mentransformasikan keyakinannya terhadap agama.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa setiap

remaja memiliki ciri khas tersendiri antara remaja satu dengan remaja

yang lain, yang akan membedakan setiap kondisi dan situasi yang

terjadi dalam hidup dan dirinya.

4. Ciri-ciri Perkembangan Remaja

Ciri-ciri perkembangan seorang remaja biasanya ditunjukkan

dengan munculnya tingkah laku yang negatif seperti suka melawan,

gelisah, periode badai, dan berbagai label buruk lainnya. Tingkah laku

negatif yang keluar dari diri remaja tersebut merupakan

ketidaknormalan perkembangan remaja itu. Remaja normal yang

sedang berkembang biasanya ditandai dengan menampilkan perilaku

positif.
17

Menurut Bisir dan Jonses, dkk (Prayitno, 2006:8) ciri-ciri khas

remaja yaitu:

a. Mengalami perubahan fisik (pertumbuhan) paling pesat

dibandingkan dengan periode perkembangan sebelum dan

sesudahnya maka perubahan fisik pada periode remaja sangat

cepat. Sehingga mereka merasa tubuh mereka semakin kokoh.

b. Mempunyai energi yang berlimpah secara fisik dan psikis remaja

mempunyai energi yang berlimpah yang mendorong mereka

berprestasi dan beraktivitas. Periode remaja merupakan periode

paling kuat secara fisik dan kreatif secara mental sepanjang periode

kehidupan manusia.

c. Mengarahkan perhatian kepada teman sebaya dan secara berangsur

melepaskan diri dari keterkaitan dengan keluarga. Hal itu bukan

berarti bahwa remaja tidak membutuhkan keluarga, tetapi

sebaliknya mereka sangat membutuhkan bantuan atau sokongan

keluarga dalam membina hubungan sosial dengan teman sebaya.

d. Remaja memiliki ketertarikan dan keterikatan yang kuat dengan

lawan jenis. Pada periode remaja mulai timbul keinginan untuk

akrab dengan lawan jenis, tempat untuk menyatakan isi hati atau

berbagai rasa.

e. Periode yang idealis, periode remaja merupakan periode

terbentuknya keyakinan tentang kebenaran, dan konsep-konsep

yang ideal.
18

f. Menunjukkan kemandirian, remaja menunjukkan keinginan untuk

mengambil keputusan sendiri tentang diri mereka sendiri.

g. Berada dalam periode transisi, remaja berada pada periode antara

masa anak-anak dengan kehidupan orang dewasa. Oleh karena itu

mereka akan mengalami berbagai kesulitan dalam penyesuaian diri

untuk menempuh kehidupan sebagai calon orang dewasa.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa munculnya

perubahan-perubahan pada diri remaja merupakan ciri-ciri khas

perkembangan yang dialami oleh remaja, sebagian ada remaja yang bisa

menanggapi atau menerima ciri-ciri perkembangan tersebut secara

positif dan ada juga beberapa remaja yang susah untuk menerima ciri

khas perkembangan tersebut.

B. Keluarga Broken Home

1. Pengertian Keluarga Broken Home

Kondisi keluarga yang kurang baik biasanya terdapat pada

keluarga yang mengalami banyak masalah yang tidak dapat terselesaikan

sampai mengakibatkan broken home, yaitu keretakan di dalam keluarga

yang berarti rusaknya hubungan satu dengan yang lain diantara anggota

keluarga tersebut (Pujosuwarno, 1994:7). Broken home adalah keadaan

dimana individu berada dalam keluarga yang tidak harmonis. Sejalan

dengan itu Atriel, (diakses 2018) orang tua tidak dapat lagi menjadi

teladan. Bisa jadi hal tersebut dikarenakan mereka bercerai, pisah ranjang

atau keributan yang terus-menerus dalam keluarga.


19

Menurut Chaplin dalam kamus psikologi (2004:71) Broken home

adalah keluarga atau rumah tangga tanpa hadirnya salah seorang dari

kedua orang tua (ayah atau ibu) disebabkan oleh meninggal, perceraian,

meninggalkan keluarga, dan lain-lain. Broken home dapat dilihat dari dua

aspek: (1) keluarga itu terpecah karena strukturnya tidak utuh sebab salah

satu dari kepala keluarga itu meninggal dunia atau telah bercerai; (2) orang

tua tidak bercerai akan tetapi struktur keluarga itu tidak utuh karena ayah

atau ibu sering tidak di rumah, dan atau tidak memperlihatkan hubungan

kasih sayang lagi (Willis, 2009:66). Sedangkan menurut Gerungan

(2004:199) keluarga dikatakan tidak utuh apabila tidak ada ayah, ibu, atau

keduanya jarang pulang ke rumah, berbulan-bulan meninggalkan anak-

anaknya karena tugas atau hal-hal lain, dan hal itu terjadi berulang-ulang.

Demikian juga ketika ayah dan ibunya bercerai, maka keluarga itu tidak

utuh lagi.

Menurut Sudarsono (2004:125) dalam broken home pada

prinsipnya struktur keluarga tersebut sudah tidak lengkap lagi yang

disebabkan adanya hal-hal:

a. Salah satu kedua orang tua atau kedua-duanya meninggal dunia.

b. Perceraian orang tua.

c. Salah satu kedua orang tua atau keduanya ”tidak hadir” secara

kontinyu dalam tenggang waktu yang cukup lama.

Menurut Moeljatno (dalam Sudarsono, 2004:125) broken home ada

kemungkinan besar bagi terjadinya kenakalan remaja, terutama perceraian


20

atau perpisahan orang tua yang dapat mempengaruhi perkembangan

remaja. Sedangkan menurut Coleman (Markam, 2003:48) contoh keluarga

patogenik dan merupakan bentuk keluarga broken home diantaranya yaitu:

a. Keluarga yang tidak adekuat, yakni keluarga yang tidak mampu

menyelesaikan masalah-masalah keluarga sehari-hari dan terus-

menerus memerlukan bantuan dari luar. Masalah ini dapat berupa

masalah keuangan, pemecahan masalah biasa, dan lain-lain sebabnya

mungkin terletak pada kepribadian orang tua yang kurang matang,

kurang pendidikan atau kekurangan lain pada orang tua.

b. Keluarga terganggu, ialah keluarga yang membuat suasana di rumah

dalam ketegangan emosional yan terus menerus, misalnya karena

orang tua yang terus menrus bertengkar dan menjadikan anak

mengalami ketegangan dan kecemasan di rumah.

c. Keluarga antisosial, ialah keluarga yang menunjukkan sikap antisosial.

Ini terjadi bila keluarga tersebut menganut nilai yang tidak disetujui

oleh masyarakat sekitarnya.

d. Keluarga terpecah, yakni keluarga dimana ayah dan ibu berpisah

karena perceraian, kematian, dan lain-lain sehingga keadaan ini dapat

mengganggu perkembangan anak.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa broken

home merupakan kondisi keluarga tidak harmonis yang disebabkan oleh

faktor-faktor tertentu. Kondisi keluarga yang mengalami broken home

biasanya akan menimbulkan keretakan hubungan dari anggota-anggota


21

keluarga tersebut. Kondisi broken home tersebut dapat menimbulkan

dampak negatif terhadap perkembangan anak, salah satunya terjadi

kenakalan remaja.

2. Ciri-ciri Keluarga Broken Home

Ciri-ciri keluarga yang mengalami broken home menurut Syamsu

(Artitriani, 2010:39) adalah:

a. Kematian salah satu atau kedua orang tua.


b. Kedua orang tua berpisah atau bercerai (divorce).
c. Hubungan orang tua dengan anak tidak baik (poor mariage).
d. Hubungan anak dengan orang tua tidak baik (poor parent-children
relationship).
e. Suasana rumah tangga tegang dan tanpa kehangatan (high tensen and
low warmth).
f. Salah satu atau kedua orangtua mempunyai kelainan kepribadian atau
gangguan kejiwaan (personality or psychological disorder).

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat

beberapa ciri-ciri kondisi keluarga yang mengalami broken home. Ciri-ciri

keluarga broken home bukan hanya mengenai satu anggota keluarga, tetapi

keseluruhan situasi dan kondisi dalam sebuah keluarga.

3. Penyebab Timbulnya Keluarga Broken Home

Banyaknya permasalahan yang terjadi di dalam suatu keluarga

tentunya diakibatkan oleh beberapa faktor yang cukup membawa dampak

tidak baik dalam keluarga itu sendiri. Menurut Willis (2008:18) penyebab

timbulnya keluarga broken home dikarenakan beberapa faktor, yaitu:

a. Masalah kesibukan

Menurut Willis (2008:18) kesibukan yang dimaksud adalah

terfokusnya suami istri dalam pencarian materi yaitu harta dan uang.
22

Setiap pasangan mulai mempunyai kesibukan masing-masing, berupa

pekerjaan yang seakan-akan tidak ada habisnya.

b. Orang tua yang bercerai

Perceraian menunjukkan suatu kenyataan dari kehidupan suami

istri yang tidak lagi dijiwai oleh rasa kasih sayang dasar-dasar

perkawinan yang telah terbina bersama telah goyah dan tidak mampu

menopang keutuhan kehidupan keluarga yang harmonis.

c. Sikap egosentrisme

Sikap egosentrisme masing-masing suami istri merupakan

penyebab terjadinya konflik rumah tangga yang berujung pada

pertengkaran yang terus menerus. Egoisme adalah suatu sifat buruk

manusia yang mementingkan diri sendiri. Yang lebih berbahaya lagi

adalah sikap egosentrisme, yaitu sifat yang menjadikan dirinya pusat

perhatian yang diusahakan seseorang dengan segala cara. Bagi tipe

orang seperti ini, orang lain dianggap tidak penting. Dia hanya ingin

mementingkan diri sendiri, dan hanya memikirkan bagaimana orang

lain mau mengikuti apa yang dikehendakinya.

d. Kebudayaan bisu dalam keluarga

Kebudayaan bisu ditandai oleh tidak adanya hubungan dan dialog

antar anggota keluarga. Masalah yang muncul dalam kebudayaan bisu

tersebut justru terjadi dalam komunitas yang saling mengenal dan diikat

oleh tali bathin. Masalah tersebut tidak akan bertambah berat jika

kebudayaan bisu terjadi diantara orang yang saling mengenal dalam


23

situasi perjumpaan yang sifatnya sementara saja. Sifat kebudayaan bisu

ini akan mampu mematikan kehidupan itu sendiri dan pada sisi yang

sama dialog mempunyai peranan yang sangat penting.

e. Perang dingin dalam keluarga

Dapat dikatakan perang dingin adalah lebih berat daripada

kebudayaan bisu, sebab dalam perang dingin selain kurang terciptanya

dialog juga disisipi oleh rasa perselisihan dan kebencian masing-masing

pihak. Awal perang dingin dapat disebabkan karena suami mau

memenangkan pendapat dan pendiriannya sendiri, sedangkan istri

hanya mempertahankan keinginan dan kehendaknya sendiri.

f. Jauh dari Tuhan

Segala sesuatu keburukan perilaku manusia disebabkan karena dia

jauh dari Tuhan. Sebab Tuhan mengajarkan agar manusia berbuat baik.

Jika keluarga jauh dari Tuhan dan mengutamakan materi dunia semata

maka kehancuran dalam keluarga itu akan terjadi. Karena dari keluarga

tersebut akan lahir anak-anak yang tidak taat kepada Tuhan dan kedua

orang tuanya.

g. Kehilangan kehangatan di dalam keluarga antara orang tua dan anak

Kurang atau putusnya komunikasi diantara anggota keluarga

menyebabkan hilangnya kehangatan di dalam keluarga antara orang tua

dan anak. Faktor kesibukan biasanya sering dianggap penyebab utama

dari kurangnya komunikasi. Dimana ayah dan ibu bekerja dari pagi

hingga sore hari.


24

h. Masalah pendidikan

Masalah pendidikan merupakan penyebab terjadinya kritis dalam

keluarga. Jika kedua belah pihak memiliki pendidikan yang memadai,

maka wawasan kehidupan keluarga dapat dipahami oleh mereka.

Sebaliknya pada suami istri yang pendidikannya rendah sering tidak

dapat memahami dan mengatasi permasalahan keluarga, karena itu

yang sering terjadi adalah saling menyalahkan bila terjadi persoalan

dalam keluarga. Terkadang konflik akan sulit diselesaikan apabila

masing-masing dari komponen keluarga memiliki pengetahuan yang

minim mengenai cara bagaimana menjaga hubungan dengan baik dalam

sebuah keluarga.

i. Masalah ekonomi

Rumah tangga akan berjalan stabil dan harmonis bila didukung

oleh kecukupan dan kebutuhan hidup, segala keperluan dan kebutuhan

rumah tangga dapat stabil bila telah terpenuhi keperluan hidup

(ekonomi). Terdapat dua penyebab masalah ekonomi, yaitu:

1) Kemiskinan

Kemiskinan merupakan salah satu faktor yang sangat

berpengaruh terhadap kondisi keluarga broken home. Hal ini timbul

karena kondisi emosional keluarga yang tidak dewasa dalam

menghadapi masalah, dikarenakan bagian dari keluarga tersebut

menuntut hal-hal di luar kebutuhan rumah tangga mereka,

sedangkan suami tidak dapat memenuhi tuntutan istri dan anak-


25

anaknya sehingga pertengkaran suami istri terjadi dan timbullah

konflik yang mengganggu keharmonisan di dalam keluarga tersebut.

2) Gaya hidup

Berbeda dengan keluarga miskin, maka keluarga kaya lebih

mengedepankan gaya hidup internasional, serba mewah dan

mengikuti mode dunia. Namun, gaya hidup tersebut tidak selalu

disukai oleh kedua belah pihak. Terkadang tidak semua suami

menyukai hidup glamour ataupun sebaliknya. Disinilah awal

pertentangan suami istri dan pada akhirnya pertengkaran tersebut

dapat menimbulkan krisis dalam keluarga.

Menurut Hurlock (2005:216) penyebab perpecahan dalam keluarga

ada tiga, yaitu:

1. Kematian

Apabila anak menyadari bahwa orang tuanya tidak akan pernah

kembali, mereka akan bersedih hati dan akan mengalihkan kasih

sayangnya pada orang tua yang masih ada dengan harapan

memperoleh kembali rasa aman sebelumnya. Jika orang tua yang

masih ada tenggelam dalam kesedihan dan masalah praktis yang

ditibullkan keluarga yang tidak lengkap lagi, anak akan merasa ditolak

dan tidak diinginkan. Seandainya anak kehilangan kedua orang tuanya,

pengaruhnya akan lebih serius lagi. Anak harus melakukan perubahan

besar dalam pola kehidupannya dan menyesuaikan diri dengan

pengasuh orang lain yang mungkin tidak dikenalinya.


26

2. Perceraian

Perceraian akan menyebabkan anak dan hubungan keluarga

menjadi rusak, karena masa penyesuaian terhadap perceraian lebih

lama dan sulit bagi anak daripada masa penyesuaian karena kematian

orang tua. Perceraian akan menyebabkan anak menjadi malu dan serba

salah saat ditanya dimana orang tuanya, mengapa mereka mempunyai

orang tua baru. Selain itu mungkin anak akan merasa bersalah jika

lebih menikmati atau lebih suka tinggal dengan orang tua yang tidak

tinggal bersama daripada tinggal dengan orang tua yang mengasuh

mereka.

3. Perpisahan sementara

Kondisi ini lebih membahayakan hubungan keluarga daripada

perpisahan yang tetap permanen. Misalnya ayah atau ibunya pergi

sementara untuk bekerja dalam waktu yang cukup lama. Perpisahan

yang sementara dapat menimbulkan situasi menegankan bagi anak dan

orang tua, dan akan mengakibatkan memburuknya hubungan keluarga.

Keluarga harus menyesuaikan dengan perpisahan itu kemudian harus

menyesuaikan kembali setelah kembali berkumpul.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa penyebab

timbulnya keluarga broken home sangat beragam. Namun secara garis

besar, penyebab timbulnya keluarga broken home berasal dari faktor

dalam keluarga tersebut (internal) dan dari luar (eksternal).


27

4. Dampak Keluarga Broken Home

Akibat keretakan hidup keluarga (broken home), anak-anak dan

remaja terlibat dalam masalah kenakalan remaja. Bahkan karena

hubungan yang dekat antara kenakalan remaja dengan family breakdown

(broken home), banyak para peneliti seperti Sheldon dan Glueck, 1957

(Amin, 2010:372) menyatakan bahwa delinquency menjadi gejala-gejala

sangat penting dari broken home, baik karena keluarga itu mengalami

disintegrasi, atau karena tekanan-tekanan emosional, kematian atau

perceraian, maka anak-anak kehilangan rasa kasih sayang dari orang

tuanya, kehilangan rasa aman serta kebutuhan-kebutuhan fisik dan

kesempatan-kesempatan sosial lainnya.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa broken

home memiliki dampak negatif terhadap kehidupan remaja. Remaja

merasa tidak terima dengan kondisi broken home yang ia alami, sehingga

terjadi pemberontakan dengan cara yang berbeda-beda, seperti

menunjukkan perilaku melanggar aturan, mencari perhatian orang-orang

sekitar dengan melakukan kenakalan-kenakalan, dan lain-lain.

C. Pendekatan Konseling Realita

1. Sejarah Pendekatan Konseling Realita

Menurut Corey (1998:520) ”Terapi Realitas pertama kali

dikembangkan oleh William Glasser, yang lahir tahun 1925, mendapatkan

pendidikannya di Cleveland dan menyelesaikan sekolah dokter di

Casewestern Reserve University pada tahun 1953.” Dia menjadi insinyur


28

kimia pada usia 19 tahun dan dokter pada usia 28 tahun. Ia kemudian

mengikuti latihan psikiatri pada Veterans Administration Centre (pusat

Administrasi Veteran) di Los Angeles barat, melewatkan tahun

terakhirnya di University of California di Los Angeles pada tahun 1957,

dan mengondol sertifikat pada tahun 1961. Selama masa latihannya, dia

makin menjadi sadar bahwa ada perbedaan besar antara apa yang

diajarkan kepadanya untuk dilakukan (mengikuti model Freud) dengan

yang diperkirakan olehnya bisa dikerjakan. Menjelang tahun 1965, pada

waktu ia menerbitkan bukunya tentang terapi realitas, dia mampu

menyatakan keyakinan dasarnya yaitu bahwa kita semua bertanggung

jawab atas pilihan yang kita ambil untuk kemudian kita lakukan dalam

hidup ini dan bahwa dalam lingkungan terapeutik yang hangat dan tidak

bernada hukuman, kita bersedia untuk belajar lebih baik lagi untuk

menentukan pilihan yang lebih efektif, atau cara yang lebih bertanggung

jawab terhadap kehidupan kita.

Berdasarkan kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan

konseling realitas ditokohi oleh William Glasser.

2. Pengertian Pendekatan Konseling Realita

Menurut Corey (2005:263) ”Konseling realita adalah suatu sistem

yang difokuskan kepada tingkah laku sekarang.” Terapis berfungsi

sebagai guru dan model serta mengkonfrontasikan klien dengan cara-cara

yang bisa membantu klien menghadapi kenyataan dan memenuhi

kebutuhan-kebutuhan dasar tanpa merugikan dirinya sendiri ataupun


29

orang lain. Inti dari terapi realitas adalah penerimaan tanggung jawab

pribadi, yang dipersamakan dengan kesehatan mental.

Glasser mengembangkan terapi realitas dari keyakinannya bahwa

psikiatri konvensional sebagian besar berlandaskan asumsi-asumsi yang

keliru. Terapi realitas yang menguraikan prinsip-prinsip dan prosedur-

prosedur yang dirancang untuk membantu orang-orang dalam mencapai

suatu ”identitas keberhasilan” dapat diterapkan pada psikoterapi,

konseling, pengajaran, kerja kelompok, konseling perkawinan,

pengelolaan lembaga, dan perkembangan masyarakat.

Menurut Palmer (2011:525) ”Konseling realitas sebuah metode

konseling dan psikoterapi perilaku kognitif yang sangat berfokus dan

interaktif, serta merupakan salah satu yang telah diterapkan dengan sukses

dalam berbagai macam lingkup.” Karena fokusnya pada problem

kehidupan saat ini yang dirasakan klien (realitas terbaru klien) dan

penggunaan teknik pengajuan pertanyaan oleh terapis realitas, terapi

realitas terbukti sangat efektif dalam jangka pendek meskipun tidak

terbatas pada itu saja. Menurut Gibson (2011:224) ”Terapi realitas

berfokus pada perilaku saat ini, dan sebagai konsekuensinya, tidak

menekankan kepada masa lalu klien, terapi realitas didasarkan kepada

premis bahwa ada satu kebutuhan psikologis tunggal yang selalu hadir

disepanjang hidup seseorang yaitu kebutuhan identitas, di dalamnya

terkandung kebutuhan untuk merasakan keunikan, keterpisahan dan

perbedaan dari orang lain.”


30

Menurut Corey (Rahman, 2015:48) Fokus konseling realitas adalah

memberikan bantuan kepada konseli dalam memenuhi kebutuhan-

kebutuhannya. Menurut pendekatan ini, setiap tindakan manusia

dimotivasi oleh lima kebutuhan dasar universal, yaitu: kebutuhan untuk

survive, kebutuhan untuk mencintai dan dicintai, kebutuhan untuk merasa

berdaya (berprestasi, diakui, berharga, dan sejenisnya), kebutuhan akan

kebebasan dan independensi, serta kebutuhan untuk merasa gembira.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa konseling

realitas adalah suatu pendekatan yang difokuskan pada tingkah laku

sekarang yang berfungsi untuk membantu klien menghadapi kenyataan

dan memenuhi kebutuhan psikologis serta kebutuhan akan identitas diri

yaitu merasa unik tanpa merugikan diri sendiri dan orang lain.

Menurut Pieter (Gibson, 2011:225) konseling realita adalah

pendekatan konseling yang bersifat aktif, direktif, dan didaktif. Konselor

sering menggunakan kontrak, dan bila kontrak telah selesai, maka

kegiatan konseling ini berakhir sehingga konselor realitas tidak mengikuti

diagnosis dan evaluasi model medis. Sasarannya adalah menjadikan klien

mampu membuat penafsiran dan pertimbangan nilai dirinya sendiri. Sifat

pendekatan tekhnik ini adalah suportif dan konfrontasional.

Menurut Glasser (Gibson, 2011:223) mengkonsepkan konseling

realita menjadi delapan langkah sebagai berikut:

1) Berteman, menjadi terlibat, atau mendampingi menciptakan sebuah

relasi untuk memperoleh kondisi hubungan baik.


31

2) Tidak terlalu menekankan sejarah hidup klien, melainkan lebih fokus

kepada yang sedang dikerjakan sekarang.

3) Membantu klien belajar membuat evaluasi tentang perilakunya dan

membantu klien menemukan bahwa yang diinginkannya memang

bermanfaat.

4) Sekali anda telah mengevaluasi perilaku, maka anda bisa mulai

mengeksplorasi perilaku alternatifnya, yaitu perilaku yang banyak

terbukti berguna.

5) Berkomitmenlah pada rencana perubahan.

6) Mempertahankan sikap jangan merasa bersalah kalau anda tidak

melakukannya. Namun demikian klien tetap harus belajar

bertanggung jawab menuntaskannya.

7) Tetaplah tegas namun tanpa perasaan menghukum atau terhukum.

Ajarkan orang mengerjakannya, hal ini akan menciptakan sebuah

motivasi yang lebih positif.

8) Menolak untuk menyerah. Sekali saja klien sadar bahwa konselor

tidak menyerah dengan dirinya, ia akan merasa didukung dan

bersedia terus mengupayakan perubahan yang lebih efisien dan

memegang teguh komitmen.

Dapat disimpulkan bahwa pendekatan konseling realita adalah

lebih menekankan pada tingkah laku sekarang, perilaku bermasalah pada

konseling realita disebut dengan identitas kegagalan.


32

3. Pandangan tentang Manusia Berdasarkan Pendekatan Konseling


Realita

Glasser meyakini bahwa motivasi tingkah laku semua manusia

didasarkan pada dua kebutuhan yaitu kebutuhan fisiologis dan kebutuhan

psikologis. Kebutuhan fisiologis seperti makan, minum, udara segar dan

seks, yang diperlukan bagi kelangsungan hidup manusia. Sedangkan

kebutuhan psikologis terdiri dari dua jenis, yaitu untuk mencintai dan

dicintai, serta kebutuhan merasa berharga, baik bagi dirinya sendiri

maupun orang lain. Glasser dalam Hansen (Taufik, 2012:217) menyadari

bahwa bila tindakan seorang manusia misalnya dalam memberi kepada

orang lain, maka tingkah lakunya adalah benar dan bermoral. Dua

kebutuhan dasar psikologi ini bergabung dalam satu kebutuhan yang

disebutnya sebagai identitas. Pendekatan konseling realita berpandangan

identitas sebagai bagian tersendiri dan persyaratan dasar dari keberadaan

semua umat manusia.

Lebih lanjut, Corey (Taufik, 2012:218) menguraikan bahwa

kebutuhan-kebutuhan yang esensi mengacu pada keadaan disini, yaitu

meliputi kebutuhan untuk dicintai dan mencintai, kebutuhan untuk merasa

berharga, kebutuhan untuk memiliki hidup senang dan kebutuhan untuk

bebas dan mengontrol nasib. Dengan demikian apabila seseorang tidak

mampu memenuhi kebutuhan dasarnya tersebut, maka mereka cenderung

seringkali kembali kepada bentu-bentuk tingkah laku yang negatif.


33

Glasser percaya bahwa setiap manusia memiliki kebutuhan

psikologis yang secara konstan (terus-menerus) hadir sepanjang rentang

kehidupannya dan harus dipenuhi. Ketika seseorang mengalami masalah,

hal tersebut disebabkan oleh satu faktor, yaitu terhambatnya seseorang

dalam memenuhi kebutuhan psikologisnya. Keterhambatan tersebut pada

dasarnya karena penyangkalan terhadap realitas, yaitu kecenderungan

seseorang untuk menghindari hal-hal yang tidak menyenangkan, mengacu

pada teori hierarki kebutuhan yang dikemukakan oleh Maslow, Glasser

mendasari pendangannya tentang kebutuhan manusia untuk dicintai dan

mencintai, serta kebutuhan untuk merasa berharga bagi orang lain.

Secara lebih rinci Glasser (Komalasari, 2011:236) menjelaskan

kebutuhan-kebutuhan dasar psikologis manusia meliputi:

1) Cinta (Belonging/love)

Salah satu kebutuhan psikologis manusia adalah kebutuhannya

untuk merasa memiliki dan terlibat atau melibatkan diri dengan orang

lain. Kebutuhan ini disebut Glasser identity society yang menekankan

pentingnya hubungan personal. Beberapa aktivitas yang menunjukkan

kebutuhan ini antara lain: persahabatan, acara perkumpulan tertentu,

dan keterlibatan dalam organisasi kemahasiswaan. Kebutuhan ini oleh

Glasser dibagi dalam tiga bentuk social belonging, work belonging,

dan family belonging.


34

2) Kekuasaan (power)

Kebutuhan akan kekuasaan (power) meliputi kebutuhan untuk

berprestasi, merasa berharga, dan mendapakan pengakuan. Kebutuhan

ini biasanya diekspresikan melalui kompetensi dengan orang-orang di

sekitar kita, memimpin, mengorganisir, menyelesaikan pekerjaan

sebaik mungkin, menjadi tempat bertanya atau meminta pendapat bagi

orang lain, melontarkan ide atau gagasan dan sebagainya.

3) Kesenangan (fun)

Merupakan kebutuhan untuk merasa senang dan bahagia. Pada

anak-anak terlihat dalam aktivitas bermain. Kebutuhan ini muncul

sejak dini, kemudian terus berkembang hingga dewasa. Misalnya

berlibur untuk menghilangkan kepenatan, bersantai, melucu, humor

dan sebagainya.

4) Kebebasan (freedom)

Kebebasan merupakan kebutuhan untuk merasakan kemerdekaan

dan tidak bergantung pada orang lain, misalnya membuat pilihan (aktif

pada organisasi kemahasiswaan) memutuskan akan melanjutkan studi

pada jurusan apa, bergerak, dan berpindah dari satu tempat ke tempat

lain. Kebutuhan-kebutuhan tersebut bersifat universal, tetap dipenuhi

dengan cara unik oleh masing-masing manusia (picture album: berisi

gambaran tentang bagaimana kita akan memenuhi kebutuhan tersebut,

atau disebut juga keinginan). Glasser memiliki pandangan yang

optimis tentang kemampuan dasar manusia, yaitu kemampuan untuk


35

belajar memenuhi kebutuhannya dan menjadi orang yang bertanggung

jawab. Tingkah laku yang bertanggung jawab merupakan upaya

manusia mengontrol lingkungan untuk memenuhi kebutuhan dan

menghadapi realita yang dialami dalam kehidupannya.

Pandangan Glasser tentang manusia adalah sebagai berikut:

a. Setiap individu bertanggung jawab terhadap kehidupannya.

b. Tingkah laku seseorang merupakan upaya mengontrol lingkungan

untuk memenuhi kebutuhannya.

c. Individu ditantang untuk menghadapi realita tanpa memperdulikan

kejadian-kejadian dimasa lalu, serta tidak memberi perhatian pada

sikap dan motivasi di bawah sadarnya.

d. Setiap orang memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu pada

masa kini.

Dapat disimpulkan bahwa pandangan manusia pada konseling

realita adalah individu dapat bertanggung jawab atas apa yang

dilakukannya tanpa melihat kehidupan masa lalunya.

4. Konsep-konsep Pokok Pendekatan Konseling Realita

Menurut Hansen (Taufik, 2012:218) pada dasarnya terdapat dua

konsep pokok yang menjadi inti dari pendekatan realitas yaitu disebut

dengan ”3R” (Right, Reality, dan responsibility) dan identitas

keberhasilan (succes identity) dan identitas kegagalan (failure identity).

Pemahaman kedua konsep ini dijadikan sebagai titik tolak kegiatan


36

konselor realitas dalam menganalisis masalah-masalah klien, selanjutnya

dijelaskan kedua konsep tersebut.

a. Right, Reality, dan Responsibility

Secara umum tingkah laku yang mencerminkan ”succes

identity” adalah yang diwarnai oleh right, reality dan responsibility.

Right adalah kebenaran dari tingkah laku seseorang dengan standar

norma yang berlaku, baik norma agama, hukum adat, dan sebagainya.

Orang yang mencuri, korupsi, tidak bersih dan mencontek telah

berada di luar kebenaran. Reality adalah kenyataan yaitu individu

bertingkah laku sesuai dengan kenyataan yang ada. Bentuk tingkah

laku yang tidak realitas misalnya gosip, isu prasangka, dugaan,

rasionalisasi dan sebagainya. Sedangkan responsibility atau

bertanggung jawab yaitu tingkah laku individu dalam memenuhi

kebutuhannya dengan menggunakan cara yang tidak merugikan orang

lain. Orang tua yang mementingkan diri sendiri dan mengabaikan

kebutuhan anaknya, para pegawai yang sering terlambat, para remaja

yang kecanduan obat bius, siswa yang melakukan tawuran, dan orang

suka jajan adalah contoh-contoh dari tingkah laku yang tidak

bertanggung jawab.

b. Identitas keberhasilan (succes identity) dan identitas kegagalan

(failure identity)

Dalam proses perkembangan hidup seorang individu,

terdapat kecenderungan dalam dirinya untuk menganut suatu


37

perasaan yang disebut dengan ”succes identity” atau identitas

keberhasilan dan ”failure identity” atau identitas kegagalan. Adapun

yang menjadi tujuan konseling dengan memakai pendekatan

konseling realitas adalah membantu orang mencapai identitas

keberhasilan. Orang yang mempunyai identitas keberhasilan, melihat

dirinya sebagai orang yang sanggup memberi dan menerima cinta,

perasaan dimana mereka berarti bagi orang lain, merasa dirinya

berharga, merasa dibutuhkan orang lain, dan memenuhi

kebutuhannya dengan menggunakan cara-cara yang tidak

mengorbankan orang lain.

Orang yang mempunyai identitas kegagalan, mereka

melihat dirinya tidak dicintai, ditolak, tidak diinginkan, tidak dapat

intim dengan orang lain, tidak berkompeten, tidak memiliki

komitmen, dan umumnya tidak berdaya. Secara khusus individu

dengan identitas kegagalan menghadapi suatu tantangan hidup

dengan keputusasaan, dan sering tidak dapat menyelesaikan secara

baik keadaan diri (self-fulfilling). Keadaan ini merupakan perkiraan

dan sebagai petunjuk lebih lanjut dari kehilangan kesuksesan yang

pada gilirannya mendorong munculnya pandangan negatif terhadap

diri sendiri dan akhirnya orang melihat dirinya sebagai gagal atau

putus asa dalam kehidupan. Pendekatan konseling realita

beranggapan bahwa kita pada akhirnya menentukan diri, membuat

keputusan yang tepat perlu diambil, sistem ini dirancang untuk


38

mengajar orang apa yang dapat merekan praktekkan untuk mengubah

tingkah laku guna membantu mengurangi identitas kegagalan dan

untuk mengembangkan tingkah laku guna memperoleh identitas

keberhasilan.

Berdasarkan pendapat di atas bahwa pokok dasar dari

konseling realitas adalah berpijak kepada 3R (right, reality, dan

responsibility).

5. Ciri-ciri Pendekatan Konseling Realita

Menurut Corey (Kurnanto, 2013:79) ada delapan hal yang menjadi

ciri khas dari teori konseling realitas, diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Terapi realita menolak konsep tentang penyakit mental (medis).

Teori ini beranggapan bahwa pembentukan perilaku adalah

akibat dari ketidak bertanggung jawaban. Teori realitas menyamakan

gangguan mental dengan perilaku atau tingkah laku yang tidak

dipertanggung jawabkan dan sebaliknya, menyamakan mental yang

sehat dengan perilaku yang dipertanggung jawabkan.

b. Terapi realita lebih memfokuskan pada tingkah laku sekarang,

terlebih pada perasaan-perasaan dan sikap.

c. Terapi realita berfokus pada saat sekarang, bukan kepada masa

lampau. Teori ini berpendapat bahwa masa lampau seseorang tidak

dapat dirubah, tapi masa sekarang dan yang akan datang bisa dirubah.

d. Terapi realita menekankan pertimbangan-pertimbangan nilai,

menempatkan pokok kepentingan pada peran konseli dalam menilai


39

kulaitas tingkah laku konseli dalam menentukan apa yang

menyebabkan kegagalan yang dialami konseli.

e. Teori ini tidak memandang konsep tradisional tentang transferensi

sebagai hal yang penting melainkan sebagai suatu cara bagi terapis

untuk tetap bersembunyi sebagai pribadinya.

f. Terapi realitas menekankan aspek-aspek kesadaran, kekeliruan yang

dilakukan oleh klien, bagaimana tingkah laku klien sekarang hingga

dia tidak mendapatkan apa yang diinginkannya.

g. Terapi realita menghapus hukuman. Glasser mengingatkan bahwa

pemberian hukuman guna mengubah tingkah laku tidak efektif dan

akan membawa kegagalan.

h. Glasser menyatakan konseli perlu belajar mengoreksi diri apabila

konseli berbuat salah dan mengembangkan diri apabila konseli

berbuat benar.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa ciri terapi

realitas adalah lebih menekankan pada tingkah laku sekarang.

6. Aplikasi Model Pendekatan Konseling Realita

Dalam uraian model konseling realitas dibahas tujuan konseling,

proses dan teknik konseling, situasi konseling dan peranan serta fungsi

konselor, sebagai berikut:

1) Tujuan Konseling

Tujuan utama dari konseling realitas adalah mengajar seseorang

dengan cara-cara terbaik untuk memenuhi kebutuhannya dan


40

membantu mereka secara efektif memperoleh apa yang diinginkan

dalam hidup. Menurut Corey (Taufik, 2012:224) ”Saya ingin

mengajar seseorang bagaimana dia mengontrol tingkah laku, tetapi

juga menilai dan meningkatkan persepsi dan dunia internal mereka”.

Secara khusus, Corey (Taufik, 2012:224) merumuskan tujuan

konseling kelompok realitas sebagai berikut:

a. Membimbing para klien kearah belajar realistik dan tingkah laku

yang bertanggung jawab dan mengembangkan arah identitas

keberhasilan.

b. Untuk membantu klien membuat pertimbangan nilai tentang

tingkah laku mereka dan memusatkan suatu rencana untuk

mengubah tingkah laku yang tidak tepat.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan

konseling realitas adalah agar setiap individu bisa mendapatkan cara

yang lebih efektif untuk memenuhi kebutuhan menjadi bagian dari

suatu kelompok, kekuasaan, kebebasan, dan kesenangan.

2) Proses dan teknik pendekatan konseling realitas

Konseling realitas menurut Glasser yang dikutip oleh Hansen

(Taufik, 2012:225) hendaklah dilakukan oleh konselor dengan ciri-

ciri sebagai berikut:

a. Konselor, pertama-tama adalah individu yang dapat memenuhi

kebutuhan sendiri secara bertanggung jawab.


41

b. Konselor harus menjadi ”kuat” (dalam arti kepribadian dan

sikapnya dihadapan klien) yaitu jangan memaafkan tindakan-

tindakan klien yang merugikan orang lain.

c. Konselor harus hangat, sensitif, dan memiliki kemampuan untuk

memahami tingkah laku klien.

d. Konselor harus mampu membagi pengalaman dan perjuangannya

pada klien supaya klien menyadari bahwa pada dasarnya semua

individu dapat bertanggung jawab.

3) Suasana konseling

Situasi konseling adalah situasi belajar. Glasser tidak

mengemukakan teknik-teknik khusus. Dia hanya mengemukakan

prinsip-prinsip umum yang digunakan secara fleksibel oleh konselor

dalam upaya klien memenuhi kebutuhannya. Glasser dan Zunin yang

dikutip oleh Hansen (Taufik, 2012:226) mengemukakan delapan

prinsip yang perlu diperhatikan selama dia menyelenggarakan

konseling yang dapat disimpulkan sebagai berikut:

a. Mementingkan hubungan personal.

Prosedur pertama yang esensi ialah bahwa komunikasi

konselor dengan klien hendaklah dipelihara. Kehangatan dan

pemahaman merupakan kunci bagi kesuksesan konseling.

b. Berfokuskan pada tingkah laku, tidak pada perasaan.

Pendekatan konseling realitas berfokus pada apa yang klien

dapat lakukan untuk membuat perasaannya baik. Munculnya


42

perasaan terbaik sebetulnya akibat dari adanya tingkah laku yang

tepat.

c. Berfokus pada masa sekarang.

Penekanan dalam konseling ialah pada isi dan fungsi

sekarang, tidak pada masa lain. Jika pengalaman masa lalu

dibahas, hanya apabila ada hubungannya dengan isi dan fungsi

pada masa sekarang.

d. Mempertimbangkan nilai.

Semua klien dibawa untuk menilai tingkah lakunya, apakah

bertanggung jawab atau tidak. Apabila tidak, itulah yang perlu

diubah.

e. Membuat perencanaan.

Klien menentukan tingkah laku yang tidak bertanggung

jawab dan dia harus siap membuat perencanaan untuk

mengubahnya. Tahap ini meliputi membuat perencanaan untuk

mengubahnya. Tahap ini meliputi membuat rencana-rencana

khusus mengubah tingkah laku yang tidak bertanggung jawab.

Terpenting dalam kegiatan ini adalah konselor membantu klien

membuat rencana-rencana yang realistik.

f. Terikat pada komitmen.

Konselor realitas menekankan pada klien agar memiliki

komitmen dalam melaksanakan rencana-rencana yang telah

dibuat itu.
43

g. Tidak memaafkan dan menerima alasan.

Bila klien kembali dan melaporkan bahwa rencana yang

dibuatnya itu gagal atau tidak dilakukannya, maka konselor tidak

memaafkannya.

h. Penghapusan hukuman.

Glasser merasa bahwa penghapusan hukuman adalah

penting sebagai bentuk tidak menerima maaf/ alasan atas

kegagalan yang dialami klien. Penggunaan prinsip ini haruslah

dijaga selama kegiatan konseling berlangsung.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa prinsip

dalam konseling realitas adalah lebih menekankan kepada pertanggung

jawaban.

7. Keuntungan Pendekatan Konseling Realita

Karakteristik konseling realitas secara khusus menekankan pada

akuntabilitas. Misalnya bila partisipan kelompok menunjukkan hasrat

untuk mengubah tingkah laku tertentu, pemimpin menantang anggota

dengan pertanyaan-pertanyaan apa yang perlu dilakukan secara pribadi.

Fakta menunjukkan memang anggota dan tidak pemimpin yang menilai

tingkah laku mereka dan menentukan perilaku apa yang ingin mereka

rubah. Salah satu keputusan untuk mempengaruhi pengubahan tingkah

laku, pendekatan konseling realitas menyediakan struktur bagi anggota

dengan membuat rencana-rencana khusus dan membuat kontrak,


44

menjalankannya dan menilai tingkat keberhasilan mereka dengan

mengubah tingkah laku.

Aspek lain dari pendekatan konseling realitas menurut Corey

(Taufik, 2012:231) termasuk ide-ide yang tidak menerima alasan dari

gagalnya pelaksanaan kontrak dan menghindari hukuman atau

menyalahkan. Jika orang telah gagal dengan suatu rencana yang telah

dibuat, maka adalah penting didiskusikan dengan mereka apakah cara-

cara mereka kurang tepat, barangkali tujuan-tujuan mereka kurang

realistik atau ada ketidak cocokan antara apa yang mereka katakan ingin

dirubah dengan apa yang mereka benar-benar ingin ubah.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa keuntungan

dari konseling realitas adalah salah satu keputusan untuk mempengaruhi

perubahan tingkah laku.

8. Keterbatasan-keterbatasan Pendekatan Konseling Realita

Beberapa hal yang menjadi objek kritikan pendekatan konseling

realitas bahwa anggapan terlalu sederhana dan dangkal. Diakui bahwa

kritik dan pendekatan konseling realitas pada daerah ini. Glasser juga

menyetujui bahwa delapan tahap dari pendekatan konseling realitas

sederhana dan jelas lebih menekankan pada praktek dan tidak pada

materi yang sederhana.

Perhatian adalah bahwa para praktisi kelompok akan terpaksa

mengambil jalan pintas dengan suatu cara sederhana pengaplikasian

prinsip pendekatan konseling realitas dalam kerja mereka. Keterbatasan


45

lain yang dilihat oleh Corey (Taufik, 2012:23) ialah kecenderungan

untuk membantu dengan mengabaikan masa lalu klien secara ekstrim,

walaupun benar bahwa fokus pada masa lalu merupakan penghindaran

dari tanggung jawab sekarang, maka meniadakan peranan masa lalu

dapat dengan mudah menjadi petunjuk bagi suatu pandangan yang

dangkal dan upaya perbaikan untuk masalah-masalah yang dianggap

penting.

Berdasarkan pendapat di atas keterbatasan dari konseling realitas

adalah dianggap terlalu sederhana dan dangkal.

D. Permasalahan Remaja Broken Home Berdasarkan Pendekatan Konseling


Realita

1. Tingkah Laku Salah Suai Berdasarkan Pendekatan Konseling


Realita

Pendekatan konseling realita pada dasarnya tidak mengatakan

bahwa perilaku individu itu sebagai perilaku yang abnormal. Konsep

perilaku menurut konseling realitas lebih dihubungkan dengan berperilaku

yang tepat atau berperilaku yang tidak tepat. Menurut Glasser (Noor,

2013:13), bentuk dari perilaku yang tidak tepat tersebut disebabkan

karena ketidak mampuannya dalam memuaskan kebutuhannya, akibatnya

kehilangan ”sentuhan” dengan realitas objektif, dia tidak dapat melihat

sesuatu sesuai dengan realitasnya, tidak dapat melakukan tindakan atas

dasar kebenaran (right) , realitas (reality), dan tanggung jawab

(responsibility).
46

Meskipun konseling realitas tidak menghubungkan perilaku

manusia dengan gejala abnormalitas, perilaku bermasalah dapat

disepadankan dengan istilah ”identitas kegagalan”. Identitas kegagalan

ditandai dengan keterasingan, penolakan diri dan irrasionalitas,

perilakunya kaku, tidak objektif, lemah, tidak bertanggung jawab, kurang

percaya diri dan menolak kenyataan. Menurut Glasser (Noor, 2013:13),

basis dari terapi realitas adalah membantu para klien dalam memenuhi

kebutuhan-kebutuhan dasar psikologisnya, yang mencakup ”kebutuhan

untuk mencintai dan dicintai serta kebutuhan untuk merasakan bahwa kita

berguna baik bagi diri kita sendiri maupun bagi orang lain”.

Pandangan tentang sifat manusia mencakup pernyataan bahwa

suatu ”kekuatan pertumbuhan” mendorong kita untuk berusaha mencapai

suatu identitas keberhasilan. Penderitaan pribadi bisa diubah hanya

dengan perubahan identitas. Pandangan terapi realitas menyatakan bahwa,

karena individu-individu bisa mengubah cara hidup, perasaan, dan

tingkah lakunya, maka merekapun bisa mengubah identitasnya.

Perubahan identitas tergantung pada perubahan tingkah laku.

2. Bentuk Tingkah Laku Salah Suai Remaja Broken Home Berdasarkan


Pendekatan Konseling Realita

Menurut Glasser (Noor, 2013:13) Tingkah laku salah suai peserta

didik broken home terdiri dari tiga bentuk, yaitu perilaku yang tidak benar

(right), perilaku yang tidak realistis (reality), dan perilaku yang tidak

bertanggung jawab (responsibility). Berdasarkan permasalahan remaja


47

broken home yang ditemukan di lapangan, dapat dikelompokkan sebagai

berikut:

a. Perilaku yang tidak benar (right).

b. Perilaku yang tidak realistis (reality).

c. Perilaku yang tidak bertanggung jawab (responsibility).

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa

terjadinya tingkah laku salah suai berdasarkan pendekatan konseling

realita adalah karena ketidak mampuan individu dalam memuaskan

kebutuhannya sehingga ia tidak dapat melihat secara realistis apapun

tindakan yang akan dan telah dilakukan. Setiap tindakan yang dilakukan

tanpa memikirkan apakah perbuatan tersebut sudah benar, realistis,

bertanggung jawab, atau malah sebaliknya.

E. Penelitian yang Relevan

Penelitian ini mengenai bentuk permasalahan remaja broken home

berdasarkan pendekatan konseling realita. Berdasarkan eksplorasi peneliti,

ditemukan beberapa tulisan yang berkaitan dengan penelitian ini, sebagai

berikut:

Penelitian yang dilakukan oleh Marizka Adi Winarni (2016) tentang

”Efektivitas Konseling Realitas untuk Meningkatkan Penerimaan Diri Siswa

Kelas IX di SMP Negeri 1 Tempel Tahun Ajaran 2016/2017”.

Dilaksanakannya penelitian ini bertujuan untuk menguji efektivitas konseling

realitas untuk meningkatkan signifikansi penerimaan diri pada siswa kelas IX

SMP Negeri 1 Tempel. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
48

kuantitatif dengan jenis eksperimen. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa

ada perbedaan penerimaan diri siswa kelas IX SMP Negeri 1 Tempel sebelum

dan setelah treatment. Kesimpulan akhir dalam penelitian ini adalah konseling

realitas efektif untuk meningkatkan penerimaan diri siswa kelas IX SMP

Negeri 1 Tempel.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan peneliti

lakukan adalah mengkaji tentang pendekatan konseling realita. Perbedaan

dalam penelitian ini dengan penelitian yang akan peneliti lakukan terletak

pada lokasi, jenis penelitian, instrumen penelitian, dan bidang kajiannya.

Lokasi dalam penelitian ini adalah di Kota Yogyakarta, sedangkan penelitian

yang akan dilakukan peneliti berada di Jorong Haru Kenagarian Bunga

Tanjung, Kecamatan Batipuh, Kabupaten Tanah Datar. Perbedaan yang lain

adalah dilihat dari jenis penelitian ini menggunakan eksperimen dan

instrumen dengan teknik tes, sedangkan penulis menggunakan jenis penelitian

kualitatif dan instrumen teknik non tes. Selain itu, perbedaan di bidang

kajiannya, jika penelitian yang sudah ada menguji efektivitas konseling

realitas untuk meningkatkan signifikansi penerimaan diri pada siswa kelas IX

SMP Negeri 1 Tempel sedangkan peneliti akan meneliti mengenai bentuk

permasalahan remaja broken home berdasarkan pendekatan konseling realita.


49

F. Kerangka Pikir

Supaya lebih jelasnya untuk membedakan serta menjelaskan arah

dan tujuan penelitian ini maka disusun kerangka pikir sebagai berikut:

Permasalahan Remaja
(Broken Home)

Konseling Realita

Tingkah laku salah suai

1. Tidak benar (right).

2. Tidak realistis (reality).

3. Tidak bertanggung
jawab (responsibility).

Gambar 1. Kerangka Pikir

Berdasarkan desain penelitian di atas dapat dilihat bahwa penelitian ini

akan mengungkapkan permasalahan atau tingkah laku salah suai remaja

broken home yang bertentangan dengan pendekatan konseling realita yaitu

perilaku yang tidak 3R ( Right, Reality, dan Responsibillity).

Anda mungkin juga menyukai