Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH AGAMA

FENOMENA KEKERASAN ATAS NAMA AGAMA YANG BERUJUNG PADA


TINDAK TERORISME

PEMBIMBING :

A.A Gde Oka Widana,M.Pd.H

DISUSUN OLEH :

Ida Ayu Nyoman Lita Sawitri


Nim: 183212839

UNIVERSITAS STIKES WIRA MEDIKA PPNI BALI

S1 ILMU KEPERAWATAN

2018/2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala karuniaNya

sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini. Yang mendukung siswa untuk menambah

pengetahuan yang lebih mendalam dari segi kualitas maupun kuantitas. Makalah ini saya buat

dengan semenarik mungkin sehingga dapat digunakan sebagai sumber belajar siswa dan siswi

baik didalam maupun diluar kelas.

Harapan saya, makalah ini bermanfaat bagi dosen dan siswa-siswi. saya mengucapkan

terimakasih atas bantuan semua pihak yang secara langsung maupun tak langsung telah

membantu dalam penyelesaian makalah ini.

Saya sangat berharap masukan dan saran yang membangun untuk penyempurnaan

makalah ini lebih lanjut. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan.

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar …………………………………………………………………………i

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ………………………………………………………………………1

1.2 Rumusan Masalah …………………………………………………………………. 2

1.3 Tujuan ……………………………………………………………………………… 2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Landasan Teori ……………………………………………………………………... 3

2.2 Penyebab Kekerasan Atas Nama Agama …………………………………………... 5

2.3 Penyebab Tindakan Terorisme Atas Nama Agama ……………………………….... 8

2.4 Solusi Kekerasan Atas Nama Agama …………………………………………….... 10

2.5 Pola-Pola Tindakan Teroris di Indonesia ………………………………………….. 10

2.6 Bentuk-Bentuk Terorisme ………………………………………………………… 12

2.7 Pencegahan Tindakan Kekerasan atas Nama Agama …………………………….... 13

BAB III PENUTUP

3.1 Simpulan …………………………………………………………………………… 18

3.2 Saran ……………………………………………………………………………….. 19

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

 1.1 LATAR BELAKANG

       Kekerasan agama selama berabad-abad merupakan kejahatan terburuk yang telah

mengisi peradaban manusia. Sesuatu yang paradoks, karena agama mengajarkan nilai-nilai

luhur, tetapi  agama juga bertanggung jawab terhadap terjadinya kerusakan di muka bumi ini.

       Melalui pernyataannya Juergensmeyer seakan-akan percaya atau mengajak pembacanya

untuk percaya bahwa sumber utama konflik dan kekerasan dunia adalah agama, sekalipun dia

sendiri tidak menyatakan dengan jelas pandangannya tentang hal itu. Di Indonesia sendiri,

kekerasan yang terjadi atas nama agama sangat kita rasakan. Wahid Institue melaporkan

adanya peningkatan kekerasan agama di Indonesia. Tercatat ada 232 kasus berkenanan

dengan kekerasan agama di 2009, sedangkan di 2008 dilaporkan ada 197 kasus.

         Bertitik tolak dari argumen dan asumsi bahwa terorisme dapat dilakukan oleh negara

atau sekelompok masyarakat, maka kini kita akan mencoba mendiskusikan lebih jauh faktor

agama dalam hal ini Islam khususnya karena mayoritas penduduk Indonesia menganut agama

Islam dan Islam sendiri sering muncul dalam perkembangan isu-isu terorisme belakangan ini,

terutama aksi terorisme yang terjadi di Indonesia sering dilakukan dengan dan atas nama

agama Islam dan juga karena kekerasan atas nama agama menimbulkan pandangan sempit

bagi orang-orang terhadap agama yang dijadikan tameng dalam aksi kekerasan atau terorisme

itu. Kemudian secara umum, terutama dari sudut pandang fenomenologi agama, yang perlu

kita telaah di sini ialah apakah aksi terorisme diterima sebagai doktrin agama atau merupakan

alat dari orang yang beragama. Faktor agama tersebut akan didskusikan di dalam makalah ini

yaitu apakah benar bahwa aksi terorisme itu harus selalu dikaitkan atas nama agama?

Mengapa banyak orang yang selalu melakukan aksi kekerasan atau terorisme atas nama
agama? Padahal jika dilihat dari sudut pandang logika terutama fenomenologi agama, semua

agama tentu tidak ada yang pernah untuk mengajarkan aksi kekerasan demikian atau dengan

kata lain terorisme dan setiap agama pasti mengajarkan cinta dan kasih sayang kepada

seluruh umat manusia. Untuk itu dalam pembahasan di dalam makalah ini, kita akan coba

melihat seluk-beluk serta menganalisis terorisme atas nama agama serta keterkaitan antara

aksi terorisme tersebut di Indonesia dengan faktor agama yang selalu dijadikan tameng oleh

para pelaku teror dalam menjalankan aksinya serta kita juga akan mencoba untuk mencari

penyelesaian yang terbaik untuk mengubah pola pikir orang agar tidak lagi melakukan aksi

teror hanya karena atas nama agama sekaligus mencari upaya pencegahan tindak terorisme di

Indonesia untuk tahun-tahun ke depannya.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Apa penyebab terjadinya tindakan terorisme atas nama agama ?

2. Solusi apa yang harus diterpkan dalam kekerasan atas nama agama?

3. Apa pola, bentuk dan upaya tindakan kekerasan atas nama agama?

1.3 TUJUAN

Mewujudkan stabilitas nasioonal yang mantap. Dengan adanya leransi umat beragama secara

praktis ketegangan-ketegangan yang di timbulkan akibat perpedaan paham yang berpangkal

pada keyakinan keagamaan dapat dihindari. apabila apabila kehidupa beragama rukun, dan

saling menghormati, maka stabilitas nasional akan terjaga.


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Landasan Teoritis

      Secara teoritis, Teror atau Terorisme tidak selalu identik dengan kekerasan. Terorisme

adalah puncak aksi kekerasan, terrorism is the apex of violence. Bisa saja kekerasan terjadi

tanpa teror, tetapi tidak ada teror tanpa kekerasan. Kekerasan adalah suatu tindakan yang

ditunjukan kepada orang lain dengan maksud melukai, menyakiti dan membuat menderita

baik secara fisik, maupun psikis. Mengenai pengertian yang baku dan definitive dari apa yang

disebut dengan Tindak Pidana Terorisme itu, sampai saat ini belum ada keseragaman.

Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa tidak mudah

untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal

sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna Terorisme tersebut.

Oleh karena itu menurut Prof. Brian Jenkins, Phd., Terorisme merupakan pandangan yang

subjektif. Oleh karena tidak mudahnya untuk membuat suatu pengertian tentang terorisme

yang dapat diterima secara umum oleh semua pihak, maka pengertian paling otentik adalah

pengertian yang diambil secara etimologis dari kamus dan ensiklopedia. Dari pengertian

etimologis itu dapat diintepretasikan pengembangannya yang biasanya tidak jauh dari

pengertian dasar tersebut. Berikut akan dijabarkan beberapa definisi terorisme dari beberapa

tokoh :

1. Menurut Muhammad Mustofa,  Terorisme adalah tindakan kekerasan atau ancaman

kekerasan yang ditujukan kepada sasaran secara acak (tidak ada hubungan langsung

dengan pelaku) yang berakibat pada kerusakan, kematian, ketakutan, ketidakpastian

dan keputusasaan massal.


2. Menurut James M. Poland, Terrorism is the premeditated, deliberate, systematic

murder, mayhem and threatening of the innocent to create fear and intimidation, in

order to gain a political or tactical advantage, usually to influence audience.

3. Menurut FBI, Terorisme adalah penggunaan kekuasaan tidak sah atau kekerasan

atas seseorang atau harta untuk mengintimidasi sebuah pemerintahan, penduduk

sipil dan elemen-elemennya untuk mencapai tujuan-tujuan sosial atau politik.

4. Menurut US Department of Defense tahun 1990, Terorisme adalah perbuatan

melawan hukum atau tindakan yang mengandung ancaman dengan kekerasan atau

paksaan terhadap individu atau hak milik untuk memaksa atau mengintimidasi

pemerintah atau masyarakat dengan tujuan politik, agama atau ideologi.

5. Menurut Laquer (1999), setelah mengkaji lebih dari seratus definisi Terorisme,

menyimpulkan adanya unsur yang paling menonjol dari definisi-definisi tersebut

yaitu bahwa ciri utama dari Terorisme adalah dipergunakannya kekerasan atau

ancaman kekerasan. Sementara motivasi politis dalam Terorisme sangant bervariasi,

karena selain bermotif politis, Terorisme seringkali dilakukan karena adanya

dorongan fanatisme agama.

6. Menurut A.C. Manulang, Terorisme adalah suatu cara untuk merebut kekuasaan dari

kelompok lain, dipicu antara lain karena adanya pertentangan agama, ideologi dan

etnis serta kesenjangan ekonomi, serta tersumbatnya komunikasi rakyat dengan

pemerintah, atau karena adanya paham separatisme dan ideologi fanatisme.

7. Menurut Terrorism Act 2000, UK. , Terorisme mengandung arti sebagai penggunaan

atau ancaman tindakan dengan ciri-ciri sebagai berikut:

8. aksi yang melibatkan kekerasan serius terhadap seseorang, kerugian berat pada

harta benda, membahayakan kehidupan seseorang, bukan kehidupan orang yang

melakukan tindakan, menciptakan resiko serius bagi kesehatan atau keselamatan


publik atau bagian tertentu dari publik atau didesain secara serius untuk campur

tangan atau mengganggu sistem elektronik.

9. penggunaan atau ancaman didesain untuk mempengaruhi pemerintah atau untuk

mengintimidasi publik atau bagian tertentu publik.

10. penggunaan atau ancaman dibuat dengan tujuan mencapai tujuan politik, agama

atau ideologi.

11. penggunaan atau ancaman yang masuk dalam subseksi yang melibatkan penggunaan

senjata api atau bahan peledak.

Secara umum sesuai definisi terorisme yang dikemukakan para tokoh dan lembaga di atas,

maka terlihat bahwa pengertiannya diserahkan pada pendapat masing pihak. Namun pendapat

para tokoh dan lembaga mengenai definisi terorisme di atas kurang lebih sudah mencakup

keseluruhan aspek maksud dan inti yang sama. Oleh karena itu penggunaan definisi istilah

terorisme juga diserahkan kepada masing-masing pihak atau individu.

2.2 Penyebab Kekerasan Atas Nama Agama

       Di dalam sejarah kekristenan banyak tindakan kekerasan yang dilakukan oleh gereja

karena kesalahan dalam melakukan penafsiran terhadap Kitab Suci. Orang-orang yang

tekstualis memahami apa yang tertulis di dalam Alkitab secara literal dan menerapkannya di

dalam konteks yang berbeda. Proses eksegese yang sebenarnya diabaikan sehingga mereka

gagal untuk mendapatkan makna dari apa yang tertulis dan memusatkan perhatian terhadap

teks secara mentah tanpa melakukan penggalian apapun.

           Hal itu pun sama terjadi terhadap agama Islam, khususnya di Indonesia. Berdasarkan

survei yang dilakukan, perilaku kekerasan agama di Indonesia berkorelasi positif dengan

pemahaman agama yang tekstual. Ajaran-ajaran agama tentang kekerasan baik itu berasal
dari Al qur’an, seperti kebolehan suami memukul istri bila ia mangkir dari kewajibannya

(Q.S. 4: 34-35), maupun Sunnah seperti hadis yang menyatakan anak perlu diperintahkan

salat ketika berumur tujuh tahun, dan boleh dipukul (bila tidak salat) ketika berumur sepuluh,

adalah sedikit contoh dari ajaran Islam tentang perlunya kekerasan.

         Survei menunjukkan bahwa orang yang bersedia merusak gereja yang tidak memiliki

izin berjumlah 14,7%, mengusir kelompok Ahmadiyah 28,7%, merajam orang berzina

23,2%, perang melawan non-muslim yang mengancam 43,5%, menyerang atau merusak

tempat penjualan minuman keras 38,4%, mengancam orang yang dianggap menghina Islam

40,7%, jihad di Afghanistan dan Irak 23,1%, dan jihad di Ambon dan Poso 25,2%. Sementara

untuk bentuk tindakan kekerasan yang bersifat domestik, diperoleh tingkat kesediaan berikut:

mencubit anak agar patuh pada orangtua 22%, memukul anak di atas sepuluh tahun agar salat

40,7%, suami memukul istri jika tidak melakukan kewajibannya 16,3%.

       Berdasarkan hal di atas agama terkesan merupakan sumber dari kekerasan akan tetapi

pemahaman yang tekstualis terhadap Kitab Suci agama lah yang bisa menjadi variabel yang

paling signifikan dalam mendorong timbulnya perilaku kekerasan agama. Di samping

mendorong perilaku kekerasan agama, tekstualisme dan Islamisme juga berkorelasi positif

dengan perilaku kekerasan umum dan kekerasan negara.

Tidak dapat dipungkiri bahwa agama merupakan sumber identitas yang sangat kuat dalam

diri seseorang. Agama profetik seperti Islam dan Kristen, cenderung melakukan kekerasan

segera setelah identitas mereka terancam. Persaingan antar agama yang memicu konflik

sangat mudah terjadi apabila salah satu kelompok merasa identitasnya terancam. Misalkan

bisa kita lihat pada konflik Ambon dan Poso jika dalam konteks dalam negeri. Potensi ini

menjadi semakin besar ketika para pemimpin politik berusaha mengkonstruksi identitas

negara berdasarkan agama tertentu yang mayoritas. Di satu sisi itu bisa menimbulkan
arogansi dari kelompok pemeluk agama yang mayoritas dan perasaan terancam dan

terintimidasi yang dirasakan oleh kelompok minoritas.

Namun demikian, sejarah kekristenan telah membuktikan bahwa semakin dekat gereja secara

institusi dengan politik pemerintahan semakin bobrok kondisi keagamaannya. Usaha-usaha

untuk mebentuk negara Kristen telah dilakukan dan terbukti gagal.

Calvin mencoba menciptakan sebuah kota yang ilahi di Geneva dan tidak berhasil. Demikian

juga pada abad ke-4 ketika Konstantinus bertobat dan menyatukan gereja dengan negara,

pada akhirnya itu pun mengalami kegagalan baik di dalam sisi pemerintah maupun gereja itu

sendiri. Gereja pada akhirnya terlibat secara aktif dalam tindak kekerasan yang imoral dan

melawan ajaran dari agamanya sendiri.

      Di Indonesia pada saat ini kita sedang berhadapan dengan gerakan Islam fundamentalis

yang berusaha untuk mendirikan negara Islam. Sudah terbukti bahwa itu merupakan salah

satu sumber terbesar kekerasan agama yang terjadi di negara kita. Bukan hanya gereja atau

kelompok agama lain yang dianggap sebagai musuh melainkan juga kelompok Islam lainnya

yang tidak setuju dengan ide negara Islam tersebut. Akibatnya negara kita mengalami

penderitaan yang sangat dalam. Muncul kecurigaan antara pemeluk agama dan memicu

terbentuknya semangat separatis.

Dalam realitas negara kita sekarang ini, terorisme adalah bentuk paling nyata dari kekerasan

politik-agama di Indonesia. Dalam konteks teologis, terorisme bisa mengambil bentuknya

dari agama sebagai landasan dan alat untuk mendapatkan kekuasaan, sebagai tujuan dari teror

tersebut. Inilah analogi gambaran situasi tragis kehidupan dalam pandangan John D Caputo.
2.3 Penyebab Tindakan Terorisme Atas Nama Agama

        Dilihat dari perkembangan aksi terorisme di Indonesia saat ini, memang hampir setiap

aksi terorisme yang dilakukan pasti selalu dikaitkan atas nama agama. Kita sebagai

masyarakat yang hidup di Indonesia tentu bertanya, mengapa hal demikian bisa terjadi? Apa

alasan atau faktor-faktor yang menyebabkan mereka selalu menggunakkan nama agama

dalam melakukan setiap aksi teror mereka? Apa yang telah diajarkan oleh agama tersebut

sehingga para pengikutnya melakukan aksi terorisme? Padahal setiap agama mengajarkan

kita untuk mengadakan pedamaian di dunia. Dari sini dapat diketahui bahwa ada sebagian

dari masyarakat Indonesia yang sudah menganggap agama sebagai sebuah lembaga/badan

bahkan sebuah atribut saja dan lupa akan substansi dari agama tersebut.

Orang-orang tersebut sangat meyakini bahwa agama mereka yang paling benar dan

menganggap bahwa agama yang lain itu salah dan sesat sehingga mereka memberantas

siapapun yang beragama lain tanpa menyadari bahwa mereka telah mencemari substansi dari

agamanya sendiri. Untuk mengetahui pembahasan masalah ini secara lebih jelas, maka

pertama-tama kita perlu mengetahui faktor penyebab aksi kekerasan atau terorisme atas nama

agama ini. Secara singkat dan khusus, ada beberapa faktor yang menyebabkan para pelaku

teror melakukan kekerasan (terorisme) atas nama agama, yaitu :

1. Kurangnya pendidikan agama yang dia peroleh atau dengan kata lain dia tidak

menghayati atau memahami keseluruhan esensi dari agama yang dia anut.

2. Kurangnya pengawasan serta perhatian dari orang tua atau keluarganya serta kerabat

baiknya dalam mengendalikan cara pergaulannya di dalam lingkungan sehingga ia

mudah dihasut.

3. Lingkungan pergaulan, di manapun itu, yang tidak kondusif serta berpotensi

menumbuhkan pola pikir sempit atau skeptis bahkan radikal terhadap agama yang ia
anut. Sebagai contoh akhir-akhir ini banyak orang-orang Indonesia yang pergi ke

Timur Tengah atau Afganistan bahkan beberapa negara lainnya seperti Filipina yang

di mana pada awalnya tujuan mereka pergi ke sana ialah untuk studi namun kemudian

setelah pulang kembali ke Indonesia mereka berubah menjadi teroris diakibatkan oleh

pengaruh lingkungan serta ajaran selama mereka berada di sana dari orang-orang

berpola pikir sempit serta radikal. Contoh lainnya ialah di mana tersangka teroris

seperti Imam Samudera dan Amrozi yang memang sejak muda sudah dilatih dan

tinggal di lingkungan militan teroris di Afganistan sehingga wajar jika begitu pulang

ke Indonesia mereka sudah jadi teroris.

4. Ketidakpuasan ekonomi dan hal-hal yang bersifat material yang dia peroleh dalam

hidup, sehingga untuk melampiaskan kekesalan dan ketidakpuasannya dia melakukan

aksi teror dengan dalih atas nama agama karena mungkin saja hal itu justru akan

mengobati ketidakpuasannya dalam bidang ekonomi tersebut.

5. Agama memberikan bahasa, mitologi, ilustrasi yang bisa digunakan oleh para

pemimpin politik atau politik keagamaan untuk memotivasi umatnya melakukan

kekerasan.

6. Agama merupakan sumber identitas yang sangat kuat; oleh sebab itu apabila para

pemimpin politik menggunakan agama, berdasarkan agama yang mayoritas, untuk

mengkonstruksi sebuah identitas nasional, maka pintu terhadap kekerasan akan

terbuka lebar.

7. Agama bisa digunakan secara politis untuk mencapai tujuan pribadi atau kelompok

yang berkaitan dengan kekuasaan, ekonomi atau perkara material lainnya.

           Itulah gambaran beberapa faktor yang menyebabkan orang melakukan tindakan

aksi  kekerasan atas nama agama di Indonesia ini. Sebagai manusia yang beragama dan
beriman, tentu saja kita tidak menginginkan ketujuh hal tersebut terjadi pada kita maupun

pada anak, keluarga, dan kerabat baik kita semua.

2.4 Solusi Kekerasan Atas Nama Agama

 Menggunakan media sosial dengan bijak

 Melawan kebencian dengan kebaikan

 Memperluas pergaulan dengan orang yang berbeda latar belakang

 Terlibat dalam gerakan dan kampanye perdamaian

 Mempelajari pengetahuan agama secara kritis dan proaktif

 Melaporkan tindak tanduk yang mencurigakan

2.5 Pola-Pola Tindakan Teroris di Indonesia

        Secara umum pola tindakan teroris di Indonesia dilakukan dengan suatu gerakan yang

cepat, teratur, sistematis, terencana, dan luas. Hal ini dibuktikan dengan adanya fakta yang

menunjukkan bahwa para teroris yang saat ini masih berkeliaran di Indonesia mempunyai

hubungan jaringan ke luar negeri. Apalagi sewaktu Nurdin M Top masih hidup yang di mana

selaku pemimpin Al-Qaeda di Indonesia, dia memiliki jaringan yang sangat luas dan besar ke

luar negeri melebihi teman-teman rekrutannya di Indonesia sehingga berpotensi membentuk

suatu organisasi teroris Internasional. Sekarang ini para teroris yang masih ada di Indonesia

lebih banyak bergerak dalam organisasi tanpa bentuk dengan merekrut orang-orang desa

yang gampang dipengaruhi dengan materi dakwah keislaman yang fanatik mendogmakan

jihad sebagai “mati syahid”, bila terbunuh atau membunuh “orang kafir” yang selalu

diidentikkan dengan Amerika Serikat atau sekutunya. Mereka juga biasanya tinggal di

tempat-tempat terpencil dan tersembunyi seperti di desa-desa dalam membangun

organisasinya skaligus menyusun rencana terornya.


Para teroris di Indonesia dalam menjalankan setiap aksinya sering beranggapan

bahwa  korban sebenarnya bukanlah tujuan utama, tetapi yang terpenting adalah dapat

dijadikan perang urat syaraf yang dapat menggugah rasa takut jutaan manusia. Oleh karena

itu target sasaran selalu tempat-tempat yang mencolok bisa langsung menggemparkan dunia

internasional dan dilakukan secara sistematis. Ini semua dapat dilakukan oleh kelompok

teroris tersebut, karena termotivasi idealisme sempit atau karena kebencian yang sudah

merasuk ke tulang sumsum.

Pertanyaan lain yang berkaitan dengan pola tindakan teroris; mengapa selalu harus dilakukan

sambil membunuh diri? Dari hasil analisis dan modernisasi alat deteksi, akan mudah

diketahui jika membawa bom dengan mobil atau bahkan pada tubuh se-seorang, sehingga

kaum teroris kemudian memformulasikannya sedemikian rupa, seperti yang terjadi di

Marriott dan Ritz atau negara lain seperti di Irak, Pakistan, India dan lain-lain. Apalagi bagi

teroris bom bunuh diri, sama nilainya sebagai perbuatan jihad atau kepahlawanan, meskipun

bagi setiap negara, apalagi orang-orang yang menjadi korban perbuatan teror disamakan

dengan perilaku biadab, yang sama sekali meniadakan nilai-nilai kemanusiaan, sehingga

sangat menakutkan.

Jangan lupa pengertian teror sebenarnya sangat relatif, karena tindakan teror dianggap paling

efektif mencapai tujuan komunitas yang lemah melawan kelompok yang kuat. Pengamat

intelijen Dr. A.C. Manulang, mantan salah direktur BAKIN (sekarang BIN), menyatakan

dugaan dan sinyalemen keterkaitan antara jaringan sel terorisme di Indonesia dengan JI dan

Al-Qaeda sudah dintrodusir beberapa saat sebelum meledaknya bom Bali 1.  Oleh karena itu

ancaman teroris internasional, meskipun dengan tubuh Indonesia, masih akan terus

mengancam di Bumi Ibu Pertiwi ini, sehingga semua lapisan masyarakat memerlukan

kewaspadaan yang luar biasa


2.6 Bentuk-Bentuk Terorisme

            Kejadian-kejadian dan aksi-aksi terorisme yang tengah menimpa manusia, khususnya

di Indonesia ini sangatlah banyak dan beraneka ragam sesuai dengan kondisi dan keadaan

yang diharapkan oleh para pelakunya guna meraih sasaran dan target mereka. Secara singkat,

bentuk-bentuk aksi terorisme dapat dibagi ke dalam 3 macam golongan :

1. Terorisme Fisik. Yaitu peristiwa-peristiwa atau bentuk terorisme yang sekarang

menjadi puncak sorotan manusia seperti pelededakan, bom bunuh diri, pembajakan,

dan seterusnya. Berbagai kejadian pahit dari terorisme fisik ini telah telah tercatat

dalam sejarah. Seperti di Indonesia seperti Bom Bali 1, Bom Bali 2, Bom Kedutaan

Australia di Jakarta, Bom Marriot 1, Bom Marriot 2 dll.

2. Terorisme Psikologis (Kejiwaan). Yaitu suatu bentuk-bentuk terorisme yang berupa

suatu ancaman psikologis terhadap suatu subjek atau objek tertentu, seperti misalkan

berupa teror ancaman bom melalui media tertentu seperti telepon, pesan singkat,

surat, email, artikel blog, website dll, yang bertujuan untuk menimbulkan kepanikan.

Seperti yang terjadi pada teror gereja pada malam natal, teror gedung kedutaan AS

dll.

3. Terorisme Ideologi (pemikiran/pemahaman). Terorisme jenis ini jauh lebih berbahaya

dari terorisme fisik dan psikologi. Sebab seluruh bentuk terorisme fisik yang terjadi

bersumber dari dorongan ideologi para pelakunya, baik itu dari kalangan orang-orang

tidak beragama yang merupakan sumber terorisme di muka bumi ini, atau dari

kalangan kaum beragama yang telah menyimpang pemikirannya dari jalan ajaran

mereka, khususnya dalam hal ini kaum muslimin yang telah menyimpang dari ajaran

Islam yang sesungguhnya.


Bentuk-bentuk terorisme ini pada dasarnya sangat saling berkaitan, dimana apabila seseorang

atau suatu komunitas bahkan masyarakat telah terjangkiti suatu paham yang salah atau yang

berupa terorisme ideologi maka dia akan condong untuk segera melakukan tindakan

terorisme fisik maupun psikologi, yang berupa bom bunuh diri, pembajakan, teror dll, yang

merupakan manifestasi dari terorisme ideologi.

Seperti yang telah di sampaikan sebelumnya bahwa terorisme ideologi adalah macam

terorisme yang paling berbahaya, karena terorisme ideologi adalah bentuk yang utama yang

merupakan sumber daripada terorisme lainnya yang menjangkiti bahkan hingga suatu

komunitas dan masyarakat, tidak hanya satu individu perorangan saja, dan contohnya adalah

apa yang kita lihat pada komunitas beberapa organisasi islam seperti Al Qaeda dan Jamaah

Islamiah, yang juga akan siap menyebarkan ideologi radikal mereka.

“Contoh kasus terorisme kekerasan atas nama agama Indriyanto Seno Adji, “Terorisme,

Perpu No.1 tahun 2002 dalam Perspektif Hukum Pidana” dalam Terorisme: Tragedi Umat

Manusia (Jakarta: O.C. Kaligis & Associates, 2001)”

2.7 Upaya Pencegahan Tindakan Kekerasan atas Nama Agama

       Ada banyak hal dan upaya yang bisa dilakukan demi mencegah terjadinya tindakan

kekerasan atas nama agama. Bahkan beberapa orang tokoh kenamaan masyarakat dan

nasional telah berulang kali menyatakan pendapatnya dalam rangka mencegah terorisme,

salah satunya ialah pendapat yang mengatakan bahwa penegakan hukum terhadap pelaku

teror harus dilakukan dengan tegas, adil, dan bijaksana. Penegakan hukum ini harus

dilakukan terus menerus baik secara terbuka dan tertutup (intelijen) baik untuk pencegahan

maupun penindakan. Dengan terjadinya peledakan bom di Hotel Marriot dan Ritz-Carlton


timbul kesan bahwa upaya pencegahan kurang berhasil dibandingkan dengan upaya

penindakan yang sudah berhasil menangkap lebih dari tiga ratus teroris.

Dalam penindakan aksi terorisme, tujuan penghukuman bukanlah untuk balas dendam, tetapi

untuk menimbulkan efek jera kepada pelaku dan menimbulkan efek pencegahan (deterrence

effect) bagi orang lain. Pembinaan pelaku teror dan keluarganya atau kelompoknya juga perlu

dilakukan dengan komprehensif untuk menyadarkan pelaku. Keterlibatan para ahli,

organisasi keagamaan, atau tokoh agama kiranya tetap diperlukan. Adakalanya penyidik atau

penuntut umum perlu menguasai dengan baik organisasi teroris dan ideologi yang

melatarbelakanginya.

Kemudian juga menurut Brigjen. Pol. Drs. Halba Rubis Nugroho.MM, dalam rangka

mencegah terorisme, maka oleh karena itu, aparat keamanan selalu siap siaga mengantisipasi

aksi balasan yang dilakukan oleh kelompok Nurdin. Selanjutnya, pada tahun-tahun ke

depannya, berbagai upaya akan terus dilakukan termasuk upaya memutus jaringan teroris

yang melibatkan dan bersentuhan dengan lembaga pendidikan keagamaan/pesantren. Untuk

menghindarkan kesalah pahaman umat Islam, maka upaya pendekatan Kepada tokoh-tokoh

keagamaan/pesantren dilaksanakan secara hati-hati agar tidak menimbulkan

kesan memojokkan agama Islam dan penganutnya. Sementara itu kerjasama penanggulangan

dan pencegahan teroris secara lintas negara dilaksanakan melalui peningkatan kapasitas

kelembagaan dan peningkatan infrastruktur aturan hukum.

            Pada tahun 2005, Indonesia telah meresmikan kerjasama bilateral di bidang terrorism

diantaranya dengan Polandia telah menandatangani Kerjasama dalam Penanggulangan

Kejahatan Transnasional dan Jenis Kejahatan Lain, dan dengan Vietnam telah

menandatangani MoU dalam Pencegahan dan Penangggulangan Kejahatan.  Secara

multilateral, Indonesia terlibat dalam ASEAN – Mendeklarasi Gabungan Republik Korea


dalam Kerjasama Penanggulangan Teroris Internasional, ASEAN – Mendeklarasi Gabungan

dalam Kerjasama untuk Penanggulangan Teroris Internasional, dan ASEAN – Mendeklarasi

Gabungan New Zealand dalam Kerjasama untuk Penanggulangan Teroris Internasional.

Sementara itu dalam hal peningkatan infrastruktur aturan hukum, pemerintah sedang dalam

tahap akhir proses ratifikasi dua konvensi internasional yaitu Konvensi Internasional untuk

Pelarangan Keuangan pada Teroris (1999) dan Konvensi Internasional untuk Pelarangan

Pemboman pada Teroris (1997). Aksi terorisme dalam jangka pendek seringkali berdampak

cukup signifikan terhadap upaya-upaya menciptakan iklim investasi yang kondusif di dalam

negeri.

            Selain itu hal yang paling penting adalah sikap kita untuk belajar pada pengalaman

dan berkehendak untuk lebih terbuka dan kritis dengan situasi yang dihadapi.

Upaya membangun hubungan yang berpijak pada prinsip persamaan, keterbukaan, dan saling

menghargai adalah wujud mutlak yang harus dilakukan untuk membenahi jalinan kusut

hubungan sosial kemasyarakatan kita selama ini. Bila tidak, maka niscaya akan sulit

membangun sebuah sistem sosial yang adil, terbuka dan saling menghargai.

          Mengapa penting sikap saling terbuka itu ditanamkan di antara kita. Sikap terbuka

berarti sikap untuk mau menerima orang lain, menerima berbeda pandangan dengan orang

lain, menerima berbeda pendapat dengan lain. Selain itu, juga ada inisiatif atau kehendak

untuk mengafirmasi kelompok yang berbeda dari kita. Terbuka bukan berarti hanya sikap

mau menerima, tapi juga sikap dalam bentuk kehendak untuk mengafirmasi orang lain.

Arti terbuka juga sikap melebur atau menggabungkan pribadi atas pribadi lain yang berbeda

dengan kita. Artinya hubungan yang dibangun di atas prinsip keterbukaan berarti antara satu
dengan lain pihak sudah tidak ada lagi jarak, antara dia dan kita. Melainkan hubungan itu

merupakan hubungan dalam kedekatan kami. Pihak satu menjadi bagian dari pihak lain yang

berbeda. Identitasnya melebur menjadi satu.

Arti sikap terbuka, juga bukan berarti identitas masing-masing individu hilang. Ia tetap pada

masing-masing identitasnya. Gagasan peleburan bukan berarti meniadakan identitas pada

masing-masing kelompok, tapi lebih pada upaya menemukan kemungkinan titik-titik temu di

antara keduanya. Artinya masing-masing tetap pada identitasnya.

Gagasan inilah yang mendesak untuk dikembangkan dalam rangka membangun hubungan

keberagamaan di masyarakat, baik di kalangan internal maupun di kalangan eksternal.

Demikian, tidak akan terjadi peristiwa kekerasan yang mengatasnamakan keyakinan agama.

Kendati demikian, gagasan ini bukan sebuah praktik yang mudah dilakukan di lapangan.

            Betapapun ini merupakan sebuah gagasan ideal yang harus muncul dari individu-

individu yang berkesadaran. Akan sulit mengharapkan individu semua yang ada di dunia ini

memiliki kesadaran sama dalam menciptakan hubungan di masyarakat. Karena sulit itulah

maka diperlukan sebuah otoritas yang dapat mendesakan kehendaknya kepada seluruh

individu di masyarakat. Otoritas itu harus mampu bersifat netral, dan harus merupakan

representasi dari semua golongan dan kelompok. Agar dapat mencegah terjadinya dominasi

golongan dalam praktiknya.

Otoritas ini paling representatif mengambil bentuknya pada institusi negara. Negara dalam

hal ini harus bertindak sebagai mediator atau eksekutor terhadap tegaknya sikap terbuka di

antara masyarakat. Dan Negara harus mampu menindak siapapun individu yang tidak mau

mewujudkan sikap terbuka itu. Negara sebagai kekuatan hukum berhak mendesakan

kepentingan bersama kepada individu yang enggan untuk bertindak.


Negara dalam hal ini harus mampu mendesakan gagasan terbuka kepada kelompok-kelompok

yang anarkis. Dan harus mampu menindak kelompok-kelompok FPI dan HTI yang telah

berlaku anarkis.

Kemudian para pemimpin agama harus ambil bagian dalam mencegah kekerasan atas nama

agama yang sering terjadi di negeri ini dengan cara memberikan pembinaan dan pemahaman

yang utuh dan menyeluruh mengenai substansi ajaran agamanya masing-masing yang

memang mengajarkan kebaikan kepada umat. Kekerasan agama yang terjadi selama ini

dilakukan oleh pihak-pihak yang begitu bersemangat dalam praktik ritual hidup keagamaan

tetapi pengamalannya masih kurang, bahkan salah dalam menafsirkan agamanya.

            Menurut Khamami Zada ada dua alasan mengapa suatu perdamaian bisa terwujud

dalam masyarakat. Pertama, karena adanya elemen masyarakat yang masih memegang teguh

ide dan spirit perdamaian untuk kemudian mengkampanyekannya dan, kedua karena adanya

prakarsa dari para actor konflik untuk melakukan rekonsiliasi.

Maka dengan begitu generasi bangsa dituntut untuk selalu bergerak dalam menanggapi

persoalan-persoalan yang melanda bangsa ini, generasi bangsa harus melawan dan mencegah

bentuk intimidasi, diskriminasi, intoleransi, sampai dengan kriminalisasi yang

mengatasnamakan Agama, budaya dan menjaga kepercayaan terhadap bangsa sendiri.

Sementara Negara bertanggung jawab untuk memfasilitasi jalannya hukum yang betul-betul

adil bagi yang tertindas hak-haknya, ajaran Islam sendiri menegaskan bahwa pemerintah

dengan segala kebijakannya mesti diarahkan dan bertujuan bagi terciptanya kemaslahatan.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

            Segala bentuk kekerasan atas nama agama merupakan suatu hal yang tidak bisa

diterima oleh pihak manapun. Karena jika kita melihat pada bentuk dan substansi agama,

maka tidak ada satupun agama di dunia ini yang mengajarkan manusia untuk berbuat anarki

dan kekerasan terhadap manusia lainnya. Terlebih-lebih jika perbuatan kekerasan tersebut

dilakukan atas nama suatu agama tertentu. Justru sebaliknya, semua agama di dunia ini

mengajarkan kasih sayang, toleransi, cinta damai, saling mengasihi antar sesama manusia

lainnya. Sehingga secara otomatis segala bentuk tindakan kekerasan dilarang oleh semua

agama.

            Secara singkat, penyebab yang paling utama hingga menyebabkan orang melakukan

tindakan kekerasan atas nama agama ialah karena orang tersebut memiliki pandangan yang

sangat sempit mengenai agama tersebut atau dengan kata lain dia hanya melihat agama itu

sebatas bentuknya saja tanpa memahami substansi yang sesungguhnya, sehingga kekerasan

yang dia lakukan dipandang sebagai tindakan yang benar dalam agamanya menurut

pandangannya.
3.2 SARAN

Semua komponen masyarakat baik keluarga, tokoh masyarakat, pemuka agama dan

pemerintah Indonesia perlu saling bekerja sama dan berkoordinasi secara baik, teratur, dan

sistematis dalam pemberantasan segala bentuk kekerasan yang terjadi yang dalam hal ini

dilakukan atas nama agama pada khususnya. Upaya-upaya pencegahan yang telah diutarakan

di atas, akan benar-benar terlaksana dengan baik dan benar jika pemerintah dan seluruh

komponen masyarakat mau bekerja sama dan saling menaruh kepercayaan yang baik dan

tinggi.

            Hidup di kehidupan yang plural, bukan berarti kita bebas untuk melakukan tindakan

kekerasan atas nama agama, tetapi seharusnya kita lebih banyak menumbuhkan semangat

toleransi antar umat beragama. Dengan semakin banyaknya aksi kekerasan atas nama agama

di Indonesia ini, membuat kita sebagai masyarakat Indonesia harus mampu memahami dan

mempelajari bentuk dan substansi agama secara lebih mendalam dan benar agar kita semua

mampu menggunakkan akal, jiwa, hati, nalar, dan rasio kita dalam menerapkan nilai-nilai

kebaikan dari ajaran agama tersebut dengan benar dalam kehidupan nyata dan bukannya

melakukan tindakan kekerasan yang dilandaskan agama tersebut.


DAFTAR PUSTAKA

Adianto P. Simamora, Cases of religious violence up: Report, dalam TheJakarta Post,

Edisi: 21 Agustus 2009

Muhammad Mustofa, Memahami Terorisme: Suatu Perspektif Kriminologi, Jurnal

Kriminologi Indonesia FISIP UI, vol 2 no III (Desember 2002): 30.

Muladi, Demokrasi, HAM dan Reformasi Hukum di Indonesia, Op. cit., hal. 172.

A.C Manullang, Menguak Tabu Intelijen Teror, Motif dan Rezim, (Jakarta: Panta Rhei,

Januari 2001) hal. 151.

Jajang Jahroni, Tekstualisme, Islamisme dan Kekerasan Agama, dalam:Islamlib.com, 07

Agustus 2008.

Dwi Maria Handayani,  Kekristenan dan Kekerasan Agama,

www.leimena.org/0101_artikel2. html

Anda mungkin juga menyukai