2. REAKSI ALERGI
Reaksi alergi semula dibagi dalam 2 golongan berdasarkan kecepatan timbulnya
reaksi, yaitu :
1. Tipe cepat (immediate type, antibody mediated)
2. Tipe lambat (delayed type, cell mediated)
Sedangkan Combs dan Gell (1975) membagi reaksi ini menjadi 4 jenis yaitu reaksi
hipersensitivitas tipe I, II, III dan IV sebagai berikut :
a. Reaksi Tipe I
Pada paparan pertama, allergen masuk sampai kedalam mukosa dan di tampilkan oleh
sel B dan sel T. Respon imun yang di dapat akan memproduksi proliferasi populasi sel
yang spesifik terhadap antigen dan membangun sel memori dan sel plasma. IgE
spesifik untuk allergen tersebut di bentuk dan berikatan dengan sel mast di dalam
tubuh. Pada paparan kedua allergen masuk kembali ke dalam mukosa dan melepas
ikatan antara IgE dan mast sel. Sehingga mast sel akan melepaskan mediator seperti
heparin dan histamin. Pengaktifan metabolisme asam arakidonat menghasilkan
prostaglandin dan leukotrien yang nantinya akan menimbulkan gejala.
b. Reaksi Tipe II
Pada paparan pertama alergen menginduksi respon sel B dengan memproduksi
antibodi. Pada paparan berikutnya antibodi berikatan dengan permukaan sel untuk
menampilkan alergen. Kemudian, sistem komplemen lainnya diaktifkan dan sel
menjadi lisis atau antibodi yang terbentuk bertindak sebagai opsonin dan sel fagosit
yang tertarik. Kerusakan jaringan khusus, tergantung pada distribusi dari permukaan
sel alergen. Belum jelas jika reaksi tipe II terlibat dalam pembentukan gejala alergi.
c. Reaksi Tipe III
Pada paparan pertama, alergen mempengaruhi respon dari sel B dengan
memproduksi antibodi. Pada paparan kedua, alergen beredar dalam sirkulasi darah
berikatan dengan antibodi untuk membentuk kompleks imun. Ketika jumlah antigen
yang lebih besar tampak, kompleks imun tadi menjadi banyak, besar dan irregular dan
mereka tidak dapat disingkirkan secara cepat oleh sistem retikuloendotelial.
Kompleks tadi berikatan dengan endothelium dari pembuluh darah kecil dan
membentuk respon inflamasi (edema, Infiltrat selular) sampai komplemen menjadi
aktif. Efek samping dari kerusakan jaringan tergantung dari jumlah deposit dari
kompleks tadi.
d. Reaksi Tipe IV hipersensitivitas tipe lambat
Pada paparan pertama alergen merangsang sel T. pada paparan kedua allergen
ditemukan pada permukaan sel target. Sebelumnya merangsang sel T kemudian sel
target lisis dan respon inflamasi terbentuk.
Kondisi Indikasi
Rhinitis Gejala tidak dapat dikontrol dengan pemberian medikamentosa
dan diperlukan kepastian untuk mengetahui jenis alergen
sehingga kemudian hari alergen dapat dihindari
Asma Asma persisten pada pasien yang terpapar alergen di dalam
ruang
Dugaan alergi makanan Sebelumnya didapatkan dugaan reaksi sistemik terhadap
makanan
Dugaan alergi obat Sebelumnya didapatkan dugaan reaksi sistemik terhadap obat
dan indikasi klinis untuk obat yang diduga
Dugaan alergi gigitan Sebelumnya didapatkan dugaan reaksi sistemik terhadap
binatang sengatan binatang
4. PEMERIKSAAN ALERGI
Pemeriksaan untuk diagnosis alergi inhalan dapat dilakukan secara in vivo dan in
vitro untuk alergi terhadap alergen yang spesifik. Tes ini diindikasikan tidak hanya pada
pasien alergi saja, namun juga pada terkena alergen yang spesifik. Tes pada inhalasi
relatif lebih sederhana, sejak mekanisme terjadinya diketahui (IgE – mediator reaksi tipe
I) dan reaksi alergi inhalasi bisa didapatkan dalam beberapa menit. Bagaimanapun bisa
didapatkan sebuah hasil yang positif walaupun tanpa gejala klinik.
a. METODE IN VIVO
Berbagai metode in vivo digunakan dalam penelitian sistem immunoglobulin
maupun sistem seluler. Tes alergi secara in vivo terdiri atas dua kategori : uji kulit dan uji
tantangan pada organ (tes provokasi). Uji kulit merupakan cara in vivo utama dalam
mengenali IgE atau antibodi reagenik. Reaksi ini terjadi beberapa menit setelah masuknya
alergen. Alergen berinteraksi dengan antibodi reagenik yang melekat pada sel pelepas zat
mediator. Akibatnya terjadi suatu peradangan atau pembengkakan segera, demikian pula
suatu reaksi fase lambat. Pengujian dapat dilakukan dengan menggunakan suatu jarum
atau garukan dan injeksi intradermal.
1). Pemeriksaan Tes Kulit
Uji kulit sampai saat ini masih dilakukan secara luas untuk menunjang diagnosis
alergi terhadap alergen-alergen tertentu. Metode ini dapat dilakukan secara massal dalam
waktu singkat dengan hasil cukup baik. Prinsip test ini adalah adanya IgE spesifik pada
permukaan basofil atau sel matosit pada kulit akan merangsang pelepasan histamin,
leukotrien dan mediator lain bila IgE tersebut berikatan dengan alergen yang digunakan
pada uji kulit, sehingga menimbulkan reaksi positif berupa bentol (wheal) dan kemerahan
(flare). Tetapi uji kulit tidak selalu memberikan hasil positif walaupun pemeriksaan
dengan cara lain berhasil positif, terutama alergi terhadap obat.
Tujuan tes kulit pada alergi adalah untuk menentukan macam alergen sehingga
dikemudian hari bisa dihindari dan juga untuk menentukan dasar pemberian
imunoterapi.
b. Prick : Epicutaneus
Tehnik ini pertama kali dijelaskan oleh Lewis dan Grant pada tahun 1926. Hal ini
digambarkan dimana satu tetesan konsentrat antigen ke dalam kulit . kemudian
jarum steril 26 G melalui tetesan tadi ditusukkan ke dalam kulit bagian superficial
sehingga tidak berdarah. Variasi dari tes ini adalah dengan menggunakan
applikator sekali pakai dengan delapan mata jarum yang bisa digunakan.
Digunakan secara simultan dengan 6 antigen dan control positif (histmin) dan
kontrol negative (glyserin).
A
B
C
Gambar 1. Keterangan :
a. Lengan atas yang diteteskan zat allergen
b. Penetesan allergen
c. Reaksi pada pemeriksaan skin prick test
Keuntungan :
- Cepat
- Mempunyai korelasi yang baik dengan tes intradermal
- Relative lebih aman
Kerugian :
- Hanya memberikan penilaian kualitatif pada alergi
- Bisa terjadi kesalahan pada keadaan alergi yang lemah (false – negatif)
- Grade pada kulit bersifat subjektif
Prick tes merupakan jalan cepat untuk menyeleksi antigen yang banyak. Jika skin tes
positif, kemudian pasien lebih sering alergi, tetapi konversi yang didapat tidak benar. Jika pasien
mempunyai sejarah yang positif dan negative pada prick test, maka dokter harus
menggabungkan prosedur dengan pemeriksaan tes intradermal.(5)
A
B
Keterangan :
A. Sudut melakukan cukit pada kulit dengan lancet
B. Contoh reaksi hasil positif pada tes cukit
6). Kelebihan Skin Prick Test Dibandingkan dengan Tes Kulit yang lain :
(a). karena zat pembawanya adalah gliserin maka lebih stabil jika dibandingkan dengan zat
pembawa berupa air.
(b). Mudah dilaksanakan dan bisa diulang bila perlu.
(c). Tidak terlalu sakit dibandingkan suntikan intradermal
(d). Resiko terjadinya alergi sistemik sangat kecil, karena volume yang masuk ke kulit sangat
kecil.
(e). Pada pasien yang memiliki alergi terhadap banyak alergen, tes ini mampu dilaksanakan
kurang dari 1 jam.
b). Tes intradermal biasa dilakukan pada alergi obat dan alergi bisa serangga.
Tes intradermal atau tes intrakutan secara umum biasa digunakan ketika terdapat
kenaikan sensitivitas merupakan tujuan pokok dari pemeriksaan (misalnya ketika skin prick
test memberikan hasil negatif walaupun mempunyai riwayat yang cocok terhadap paparan).
Tes intradermal lebih sensitive namun kurang spesifik dibandingkan dengan skin prick test
terhadap sebagian besar alergen, tetapi lebih baik daripada uji kulit lainnya dalam
mengakses hipersensitivitas terhadap Hymenoptera (gigitan serangga) dan penisilin atau
alergen dengan potensi yang rendah.
Robert Cooke memberikan gambaran pertama kali untuk tes intradermal pada tahun
1915. Tehnik pemeriksaannya mengalami beberapa modifikasi sejak saat itu. Pada saat ini
prosedur tes intradermal digambarkan dengan menggunakan jarum 26 G untuk
menyuntikkan secara intradermal sebagian dari antigen, berbagai macam laporan
mengatakan batasannya 0,01 – 0,05 ml. batasan dari konsentrasi ekstrak adalah 1 : 500
sampai 1 : 1000. Test di nilai setelah 10 – 15 menit. Pada kasus tertentu baru dapat dibaca
setelah 24 – 48 jam.(10) Eritem dan bentol merupakan tanda dan tingkatan dalam skala
subjektif adalah 0 - +4.
Keuntungan :
- Lebih sensitive (dapat mendeteksi alergi dengan kadar rendah)
- Lebih reproducible dalam satu tempat
Kerugian :
- Lebih bersifat kualitatif daripada kuantitatif
- Tingkat dalam respon lebih bersifat subjektif
- Tidak ada standarisasi dalam banyaknya dosis atau konsentrasinya
- Mungkin dapat muncul reaksi positif palsu pada sensitivitas tinggi
c). Patch test (epicutaneus test) biasanya untuk melakukan tes pada dermatitis kontak.
Tes pacth merupakan metode yang digunakan untuk mendeteksi zat yang
memberikan alergi jika terjadi kontak langsung dengan kulit. Metode ini sering digunakan
oleh para ahli kulit untuk mendiagnosa dermatitis kontak yang merupakan reaksi alergi tipe
lambat, dimana reaksi yang terjadi baru dapat dilihat dalam 2 – 3 hari.
Pemeriksaan pacth tes biasa dilakukan jika pemeriksaan dengan menggunakan skin
prick tes memberikan hasil yang negative.(10) Pada pelaksanaan pemeriksaan disiapkan 25 –
150 material yang dimasukkan ke dalam kamar plastic atau aluminium dan di letakkan di
belakang punggung. Sebelumnya pada punggung diberikan tanda tempat-tempat yang akan
ditempelkan bahan allergen tersebut. Setelah ditempelkan, kemudian dibiarkan selama 48
sampai 72 jam. Kemudian diperiksa apakah ada tanda reaksi alergi yang dilihat dari bentol
yang muncul dan warna kemerahan.
A
Keterangan :
A. Alergen dimasukkan ke dalam ruang aluminium
B. Logam aluminium di tempelkan di punggung
Persiapan Bahan :
Untuk mempersiapkan bahan yang akan digunakan biasanya penderita mendiskusikan
dulu dengan pemeriksa. Terkadang penderita disuruh membawa bahan yang akan
digunakan sendiri dari rumah.
- Bawa atau kirim bahan yang akan dites paling lambat 1 minggu sebelum pertemuan
pertama dilakukan sehingga pemeriksa bisa mempersiapkan untuk tes jika dibutuhkan.
- Jumlah yang dibutuhkan sedikit hanya beberapa tetes atau butir.
- Bahan diberikan label dan nama dan buatlah lembaran daftar bahan jika
memungkinkan.
- Identifikai jenis makanan dan tumbuhan (jika relevan) kalau bisa beli yang masih segar
untuk pertemuan pertama; gunakan es untuk lebih membantu.
- Bawa kosmestik yang telah diseleksi untuk dites (lebih dari 10 jenis) termasuk cat kuku,
pelembab, cream matahari, parfum, sampho. Sabun tidak biasa digunakan untuk tes
(karena biasa menyebabkan reaksi jika diletakkan di kulit untuk 2 hari)
- Bawa semua ointment, cream dan lotion yang biasa digunakan baik yang diresepkan
maupun yang tidak diresepkan.
- Bagian dari pakaian seperti sarung tangan karet dan kaus kaki untuk di tes: 1 cm dari
bahan tersebut perlu diambil.
B. METODE IN VITRO
Setelah sifat-Sifat IgE diketahui pada tahun 1968, Maka dimungkinkan pembentukan
antisera terhadap kelas immunoglobulin ini. Hal ini membuka jalan untuk pelaksanaan peneraan
imun.(1) Telah ditemukan beberapa cara pemeriksaan in vitro terhadap alergi, yang pertama
sekali yaitu metode ujiRadioalergosorbent (RAST) yang kemudian mendapat
modifikasi, Enzyme-linked immunoassay (ELISA)(1,3,4) dan beberapa metode baru yang terus
ditemukan sesuai dengan perkembangan teknologi. Namun pada penulisan ini hanya dibahas
mengenai metode pemeriksaan RAST dan ELISA.
1. Indikasi untuk tes secara in vitro
a. Pasien yang tidak respon terhadap control lingkungan dan pengobatan konservatif.
b. Kekhawatiran pada bayi dan anak yang sensitive terhadap reaksi atopi
c. Pasien yang tidak mungkin diberhentikan pengobatan yang mungkin mempengaruhi pada
pemeriksaan uji kulit
d. Pasien dengan reaksi yang jelek pada imunoterapi
e. Evaluasi individu yang sensitive ketika diprakarsai imunoterapi pada pasien atopi.
f. Pemindahan pasien alergi pada imunoterapi
g. Sensitive terhadap racun
h. Diagnosis reaksi sensitive IgE pada makanan
3. Metode :
a. Metode RAST
Merupakan metode yang sering dipakai dengan menggunakan allergen tidak
larut ke dalam suatu cakram kertas selulosa (alegosorben) yang mengikat IgE spesifik
(dan klas antibody lain) dari serum selama masa inkubasi pertama. Fase padat terikat
immunoglobulin kemudian dicuci dan pada inkubasi kedua ditambahkan suatu anti
IgE berlabel isotop I-125 (fc) atau anti IgE berlabel enzim (fc). Setelah pencucian
selanjutnya radioaktivitas yang terikat IgE pada cakram kemudian dihitung, atau pada
antibody yang berlabel enzim, dilakukan suatu inkubasi substrat agar dihasilkan suatu
produk berwarna atau berfluoresensi. Radioaktivitas terikat cakram atau kuantitas
produk yang dihasilkan aktivitas enzim dihubungkan dengan IgE terikat cakram
memakai sumber serum rujukan dari specimen yang tidak diketahui diinterpolasikan
terhadap serum ini. Perlu ditekankan bahwa system penilaian untuk semua proses ini
belum sepenuhnya dikaitkan dengan gambaran klinis. Secara umum nilai yang tinggi
dapat ditemukan pada beberapa pasien non alergi namun dapat pula tidak ditemukan
pada individu alergi. Demikian pula nilai yang rendah dapat ditemukan pada individu
alergi seperti juga individu non alergi. Seluruh hasil perhitungan harus
diinterprestasikan dalam kaitannya dengan anamnesis.
Setelah dimodifikasi selama bertahun-tahun, RAST orisinil kini telah
dipasarkan untuk pengukuran IgE spesifik dalam serum manusia. Hasil-hasil relative
dari system yang lebih baru ini masih belum dinilai. Pada dasarnya, kebanyakan
system peneraan mempunyai system yang serupa dengan RAST.(1)
Bermacam-macam modifikasi tehnik radioimmumoassay (RIA) telah
dikembangkan untuk menyederhanakan dan memudahkan penggunaannya serta
meningkatkan sensitivitas maupun spesifitas. Dalam garis besar ada 2 macam metode,
yaitu metode yang berdasarkan reaksi antigen antibody dalam larutan (liquid fase)
dan yang berdasarkan reaksi antigen antibody pada benda padat atau partikel (solid
phase). Pada umumnya tehnik RIA dalam larutan menggunakan prinsip kompetitif,
yaitu mereaksikan antigen (Ag) yang tidak dilabel dan terdapat dalam specimen,
bersama Ag yang dilabel 125I (Ag*) dengan antibody (Ab) spesifik, sehingga Ag
berlabel (Ag*) dan Ag dalam specimen akan berkompetisi untuk mengikat Ab
membentuk kompleks Ag*-Ab-Ag. Apabila kadar Ag* sebelum reaksi diketahui, maka
sisa Ag* yang tidak bereaksi atau yang terikat pada kompleks dapat diukur
radioaktivitasnya dan hasilnya merupakan parameter kadar Ag dalam specimen. Di
samping tehnik kompetitif, ada juga tehnik non kompetitif dengan cara melekatkan Ag
atau Ab pada suatu partikel kemudian mereaksikannya dengan specimen yang diuji.
Apabila yang diuji adalah antigen, maka partikel dilapisi dengan Ab spesifik, kemudian
direaksikan dengan specimen. Setelah itu ditambahkan Ab berlabel 125I (Ab*),
kemudian kompleks Ab-Ag-Ab* dipisahkan dan diukur radioaktivitasnya. Banyaknya
Ab* yang terikat merupakan ukuran untuk kadar Ag dalam specimen. Tehnik ini
disebut tehnik sandwich dan merupakan tehnik yang banyak digunakan. Suatu
modifikasi tehnik sandwich adalah setelah specimen direaksikan dengan partikel
berlapis Ab, ditambahkan Ab spesifik yang tidak berlabel, baru kemudian dibubuhkan
anti – Ig universal berlabel 125I (anti – Ig*).
b. Metode Elisa (Enzyme Linked Immunosorbent Assay)
Prinsip tehnik ELISA sama dengan tehnik RIA, hanya saja pada tehnik ELISA
indicator (label) yang digunakan adalah enzim dan bukan radioisotope. Kelebihan
tehnik ELISA adalah : cukup sensitive, reagen mempunyai waktu paruh yang lebih
panjang dibandingkan reagen RIA, dapat menggunakan spektrofotometer biasa dan
mudah dilakukan automatisasi, dan yang paling penting adalah tidak mengandung
bahaya radioaktif. Seperti halnya pada tehnik RIA, pada tehnik ELISA juga dikenal
metode kompetitif dan non kompetitif. Apabila Ab digunakan untuk melapisi partikel
maka metode ini sering disebut capture, karena antigen dalam specimen seolah
ditangkap oleh matriks yang dilapisi Ab. Fase solid atau partikel yang dapat digunakan
bermacam-macam, diantaranya plastic, nitroselulosa, agarose, gelas, polyacrylamida,
dan dekstran.
Bergantung pada apa yang ingin diuji, pada tehnik ELISA harus ada antibody
atau antigen yang dikonjugasikan dengan enzim dan substrat yang sesuai. Enzim yang
paling disukai untuk digunakan adalah fosfatase alkali (AP) dan horseradish
peroxidase (HRP) sedangkan substrat yang paling sering digunakan adalah o-
phenylenediamine (OPD), dan tetramethylbenzidine (TMB). Substrat para-
nitrophenylphospate (pNPP) dapat dipilih apabila enzim yang digunakan adalah
fosfatase alkali. Hidrolisis substrat oleh enzim biasanya berlangsung dalam waktu
tertentu dan reaksi dihentikan dengan membubuhkan asam atau basa kuat. Karena
banyaknya antibody berlabel enzim (AbE) yang terikat pada kompleks Ag - AbE sesuai
dengan kadar Ag dalam specimen, maka banyaknya enzim yang terikat pada kompleks
dan intensitas warna yang timbul setelah substrat dihidrolisis oleh enzim yang terikat
pada kompleks Ag - AbEmerupakan untuk kadar Ag yang diuji.
2. TUJUAN
1) Memberikan obat tertentu yang pemberiannya hanya dapat dilakukan dengan cara
suntikan intra cutan
2) Pada umumnya Injeksi dilakukan dengan tujuan untuk mempercepat proses
penyerapan (absorbsi) obat untuk mendapatkan efek obat yang cepat.
3) Menghindarkan pasien dari efek alergi obat( dengan skin test).
4) Membantu menentukan diagnose terhadap penyakit tertentu misalnya tubercullin test
6.
CEFTRIAXONE 1g : larutkan 1 vial Cefotaxime dengan 10 cc aquabidest/otsu wl (lihat di
brosur setiap antibiotik beda penambahan aquadesnya), setelah itu ambil sebanyak 0,1 cc
menggunakan spuit 1 cc, tambahkan aquabidest/otsu wl sebanyak 0,9 cc. Obat siap
dilakukan skin test.
7. PRINSIP
1. Sebelum memberikan obat perawat harus mengetahui diagnosa medis pasien, indikasi
pemberian obat, dan efek samping obat, dengan prinsip 10 benar yaitu benar pasien,
benar obat, benar dosis, benar waktu pemberian, benar cara pemberian, benar
pemberian keterangan tentang obat pasien, benar tentang riwayat pemakaian obat
oleh pasien, benar tentang riwayat alergi obat pada pasien, benar tentang reaksi
pemberian beberapa obat yang berlainan bila diberikan bersama-sama, dan benar
dokumentasi pemakaian obat.
2. Setelah dilakukan penyuntikan / skin test tidak dilakukan desinfektan.
3. Perawat harus memastikan bahwa pasien mendapatkan obatnya, bila ada penolakan
pada suatu jenis obat, maka perawat dapat mengkaji penyebab penolakan, dan dapat
mengkolaborasikannya dengan dokter yang menangani pasien, bila pasien atau
keluarga tetap menolak pengobatan setelah pemberian inform consent, maka pasien
maupun keluarga yang bertanggungjawab menandatangani surat penolakan untuk
pembuktian penolakan therapi.
8. PROSEDUR
a. Alat dan bahan
1) Obat-obatan yang sesuai program pengobatan dokter
2) Daftar obat pasien
3) Spuit 1 cc dan 5 cc disposible.
4) Jarum sesuai kebutuhan, gergaji ampul bila perlu.
5) Perlak dan alas
6) Kapas alkohol atau kapas yang sudah dibasahi NaCl 0,9% dalam tempatnya
7) Handschoen
8) Nierbeken
b. Persiapan
1) Menjelaskan tujuan dan prosedur pemberian obat
2) Memberikan posisi yang nyaman pada pasien, menjaga privasi pasien/ pasang
sampiran.
c. Pelaksanaan
1) Mencuci tangan
2) Berdiri di sebelah kanan/kiri pasien sesuai kebutuhan.
3) Cek daftar obat pasien untuk memberikan obat
4) Membawa obat dan daftar obat ke hadapan pasien sambil mencocokkan nama
pada tempat tidur dengan nama pada daftar obat.
5) Meenginjeksi pasien sesuai dengan nama pada daftar obat
6) Jaga privasi pasien
7) Injeksi intrakutan dilakukan dengan cara spuit diisi oleh obat sesuai dosisnya.
8) Menentukan lokasi injeksi yaitu 1/3 atas lengan bawah bagian dalam.
9) Membersihkan lokasi tusukan dengan kapas normal saline atau kapas alcohol
bila diperlukan, kulit diregangkan tunggu sampai kering.
10) Lubang jarum menghadap keatas dan membuat sudut antara 5-15 0 dari
permukaan kulit
11) Memasukan obat perlahan-lahan sampai berbentuk gelembung kecil, dosis yang
diberikan 0,1 cc atau sesuai jenis obat.
12) Setelah penyuntikan area penyuntikan tidak boleh didesinfeksi.
13) Bila injeksi intrakutan dilakukan untuk test antibiotik, lakukan penandaan pada
area penyutikan dengan melingkari area penyuntikan dengan diameter kira kira
1 inchi atau diameter 2,5 cm. Penilaian reaksi dilakukan 15 menit setelah
penyuntikan. Nilai positif jika terdapat tanda tanda rubor, dolor, kalor melebihi
daerah yang sudah ditandai, artinya pasien alergi dengan antibiotik tersebut.
14) Bila injeksi ditujukan untuk mantoux test tuberkulin test, dapat dinilai hasilnya
dalam 2 sampai 3 kali 24 jam, positif bila terdapat rubor dolor kalor melebihi
diameter 1 cm pada area penyuntikan.
15) Beri penjelasan pada pasien atau keluarga untuk tentang penilaian pada daerah
penyuntikan dan anjurkan untuk tidak menggaruk, memasage atau memberi
apapun pada daerah penyutikan. Menyimpan obat obat sisa dan daftar obat
pasien ketempatnya
16) Mengobservasi keadaan umum pasien
17) melepaskan handschoen, mencuci tangan.
18) Membuat pendokumentasian mencakup: Tindakan dan respon pasien.
NAMA :
NIM :
TANGGAL UJIAN :
KETERAMPILAN : TES ALERGI (SKIN TEST)
Keterangan :
0 = Tidak dilakukan Total Nilai x 100
1 = Dilakukan tidak sempurna Nilai =
2 = Dilakukan dengan sempurna 34
Palembang, 200...
Penguji,
---------------------------------------
NIP.