Anda di halaman 1dari 2

Judul : Berbagai Teknik Pemeriksaan Untuk Menegakkan Diagnosis Penyakit Alergi

Jurnal : Sari Pediatri


Vol. dan Hal. : Vol. 11, No. 3, Hal. 174 – 178
Tahun : Oktober 2009
Penulis : Ni Putu sudewi, Nia Kurniati, EM Dadi Suyoko, Zakidin Munasir, Arwin AP Akib
Reviewer : Rizka Putri Tamara
Tanggal : 16 November 2019

Hasil : Faktor herediter merupakan penyebab terpenting terjadinya penyakit alergi


namun paparan lingkungan, infeksi, dan kondisi psikis juga sering kali menjadi
faktor pencetus. Disamping itu banyak pula kasus alergi dengan gejala menyerupai
penyakit lain, makab diperlukan pemeriksaan penunjang untuk membantu
menegakkan diagnosis dan menentukan alergen penyebab.
Diagnosis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis gejala yang dialami dan
kemungkinan alergen penyebab, pemeriksaan fisik untuk melihat gejala alergi yang
tampak. Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan secara in vivo ataupun in vitro.
Pemeriksaan in vitro:
1. Hitung eosinofil total
Peningkatan eosinofil (eosinofilia) apabila jumah eosinofil darah lebih dari
450 eosinofil/µL. Pada eosinofilia sedang (15% - 40%) didapat pada
penyakit alergi, infeksi parasit, pajanan obat, keganasan, dan defisiensi
imun, sedangkan eosinofilia yang berlebihan (50% - 90%) ditemukan pada
migrasi larva. Jumlah eosinofil darah dapat berkurang akibat infeksi dan
pemberian kortikosteroid secara sistemik.
2. Hitung eosinofil dalam sekret
Peningkatan jumlah eosinofiln dalam apusan sekret hidung dapat
membedakan rinitis alergi dan rinitis akibat penyebab lain. Eosinofilia sekret
hidung juga dapat memperkirakan respons terapi dengan kortiserkoid hidung
topikal. Hitung eosinofil juga dapat dilakukan pada sekret bronkus, dan
konjungtiva.
3. Kadar serum IgE total
Meskipun rerata kadar IgE total pasien alergi di populasi lebih tinggi
dibandingkan pasien non-alergi, namun adanya tumpang tindih kadar IgE
pada populasi alergi dan non-alergi menyebabkan nilai diagnostik IgE total
rendah.1,5 Kadar IgE total didapatkan normal pada 50% pasien alergi, dan
sebaliknya meningkat pada penyakit non-alergi (infeksi virus/jamur,
imunodefisiensi, keganasan).
4. Kadar IgE spesifik
Pemeriksaan kadar IgE spesifik untuk suatu alergen tertentu dapat dilakukan
secara in vivo dengan uji kulit atau secara in vitro dengan metode RAST
(Radio Allergosorbent Test), ELISA (Enzyme-linked Immunosorbent Assay),
atau RAST enzim.

Pemeriksaan in vivo:
1. Uji kulit
Reaksi alergi pada kulit pasien akan menimbulkan hubungan silang antara
alergen dengansel mast permukaan kulit yang mengaktivasi sel mast.
Histamin merupakan mediator utama dalam timbul reaksi gatal, kemerahan
pada kulit. Terdapat 3 cara untuk melakukan uji kulit yaitu;
a. Uji kulit Interdermal : yaitu dengan cara menyuntikan ekstrak alergen
pada lapisan dermis sehingga timbul gelembung dengan diameter 3mm.
Uji ini tidak dianjurkan untuk alergen makanan karena dapat
menimbulkan reaksi anafilaksis.
b. Uji gores: sudah banyak ditingalakn karena kurang akurat.
c. Uji tusuk: yaitu dengan cara lapisan superfisial kulit ditusuk dan
dicungkit keatas dengan jarum khusus yang mengandung setetes ekstrak
alergen dalam gliserin. Hasil positif bila wheal yang terbentuk >2mm.
2. Uji provokasi
Dilakukan untuk melihat paparan alergen dengan gejala pada berbagai
organ;
a. Uji provokasi bronkual, ekstrak alergen dihirup melalui nebulizer untuk
melihat obstruksi jalan napas.
b. Uji provokasi makanan, contoh dalam uji provokasi susu sapi mulai dari
1 tetes/15 menit – 30ml dan bila telah mencapai 200ml tidak terjadi
reaksi alergi, maka pasien dapat mengkonsumsi susu sapi.
c. Uji provokasi sekum, dilakukan melalui koloniskopu dengan
menyuntikan ekstrak alergen kedalam mukosa sekum. Hasil positif
berupa pembentukan wheal kemerahan pada mukosa. Derajat alergi
ditentukan secara semikuantitatif. Kejadian kemungkinan karena IgE
spesifik mukosa usus tidak beredarsecara sistemik, atau reaksi
hipersensitivitas pada usus merupakan mekanisme yang IgE tergantung.
d. Uji tempel, alergen yang dicurigai diletakkan pada kulit dan hasil psoitif
berupa reaksi eksatema dalam 48 – 72 jam, uji inijuga dapat dilakukan
untuk mendiagnosis alergi makanan pada anak dematitis atopi dan
esofagitis eosinofilk.
e. Immuno CAP phediatop Infant, berguna untk mendeteksi IgE pada bayi
hingga usia 2 tahun.
f. Microarrayed Allergen Molecules, memberi informasi tentangprofit
reaktivitas alergi dan dapat mengidentifikasi dengan tepat molekul yang
digunakan dalam imunoterapi.
Kesimpulan : Dalam menegakkan diagnosa penyakit alergi dan menentukan alergen diperlukan
pemeriksaan penunjang, baik dilakukan secara in vivo maupun in vitro, yang
dimana masing – masing metode mempunyai kelebihan dan kekurangan sehingga
diperlukosa test kombinasi untuk didapatkan diagnosis dan treatment yang tepat.

Anda mungkin juga menyukai