2. Tujuan Injeksi
Memberikan obat tertentu yang pemberiannya hanya dapat dilakukan dengan cara suntikan
intra cutan
Pada umumnya Injeksi dilakukan dengan tujuan untuk mempercepat proses penyerapan
(absorbsi) obat untuk mendapatkan efek obat yang cepat.
Menghindarkan pasien dari efek alergi obat( dengan skin test).
Membantu menentukan diagnose terhadap penyakit tertentu misalnya tubercullin test
3. Indikasi
Injeksi biasanya dilakukan pada pasien yang tidak sadar dan tidak mau bekerja sama karena
tidak memungkinkan untuk diberikan obat secara oral. Apabila klien tidak sadar atau bingung,
sehingga klien tidak mampu menelan atau mempertahankan obat dibawah lidah. Oleh karena itu,
untuk memenuhi kebutuhan obat klien dilakukan dengan pemberian obat secara
injeksi.
Prinsip
1. Sebelum memberikan obat perawat harus mengetahui diagnosa medis pasien, indikasi
pemberian obat, dan efek samping obat, dengan prinsip 10 benar yaitu benar pasien, benar obat,
benar dosis, benar waktu pemberian, benar cara pemberian, benar pemberian keterangan tentang
obat pasien, benar tentang riwayat pemakaian obat oleh pasien, benar tentang riwayat alergi obat
pada pasien, benar tentang reaksi pemberian beberapa obat yang berlainan bila diberikan bersama-
sama, dan benar dokumentasi pemakaian obat.
2. Setelah dilakukan penyuntikan / skin test tidak dilakukan desinfektan.
3. Perawat harus memastikan bahwa pasien mendapatkan obatnya, bila ada penolakan pada suatu
jenis obat, maka perawat dapat mengkaji penyebab penolakan, dan dapat
mengkolaborasikannya dengan dokter yang menangani pasien, bila pasien atau keluarga tetap
menolak pengobatan setelah pemberian inform consent, maka pasien maupun keluarga yang
bertanggungjawab menandatangani surat penolakan untuk pembuktian penolakan therapi.
Prosedur
1. Persiapan
a. Menjelaskan tujuan dan prosedur pemberian obat
b. Memberikan posisi yang nyaman pada pasien, menjaga privasi pasien/ pasang sampiran
c. Alat dan bahan
1) Obat-obatan yang sesuai program pengobatan dokter
2) Daftar obat pasien
3) Spuit 1 cc dan 5 cc disposible.
4) Jarum sesuai kebutuhan, gergaji ampul bila perlu.
5) Perlak dan alas
6) Kapas alkohol atau kapas yang sudah dibasahi NaCl 0,9% dalam tempatnya
7) Handschoen
8) Nierbeken
2. Pelaksanaan
1) Mencuci tangan
2) Berdiri di sebelah kanan/kiri pasien sesuai kebutuhan.
3) Cek daftar obat pasien untuk memberikan obat
4) Membawa obat dan daftar obat ke hadapan pasien sambil mencocokkan nama pada tempat
tidur dengan nama pada daftar obat.
5) Meenginjeksi pasien sesuai dengan nama pada daftar obat
6) Jaga privasi pasien
7) Injeksi intrakutan dilakukan dengan cara spuit diisi oleh obat sesuai dosisnya.
8) Menentukan lokasi injeksi yaitu 1/3 atas lengan bawah bagian dalam.
9) Membersihkan lokasi tusukan dengan kapas normal saline atau kapas alcohol bila
diperlukan,
kulit diregangkan tunggu sampai kering.
10) Lubang jarum menghadap keatas dan membuat sudut antara 5-150 dari permukaan kulit
11) Memasukan obat perlahan-lahan sampai berbentuk gelembung kecil, dosis yang diberikan 0,1
cc atau sesuai jenis obat.
12) Setelah penyuntikan area penyuntikan tidak boleh didesinfeksi.
13) Bila injeksi intrakutan dilakukan untuk test antibiotik, lakukan penandaan pada area
penyutikan dengan melingkari area penyuntikan dengan diameter kira kira 1 inchi atau diameter
2,5 cm. Penilaian reaksi dilakukan 15 menit setelah penyuntikan. Nilai positif jika terdapat tanda
tanda rubor, dolor, kalor melebihi daerah yang sudah ditandai, artinya pasien alergi dengan
antibiotik tersebut.
14) Bila injeksi ditujukan untuk mantoux test tuberkulin test, dapat dinilai hasilnya dalam 2
sampai 3 kali 24 jam, positif bila terdapat rubor dolor kalor melebihi diameter 1 cm pada area
penyuntikan.
15) Beri penjelasan pada pasien atau keluarga untuk tentang penilaian pada daerah penyuntikan
dan anjurkan untuk tidak menggaruk, memasage atau memberi apapun pada daerah penyutikan.
Menyimpan obat obat sisa dan daftar obat pasien ketempatnya
16) Mengobservasi keadaan umum pasien
17) melepaskan handschoen, mencuci tangan.
18) Membuat pendokumentasian mencakup:
· Tindakan dan respon pasien.
TEORI
I. PENDAHULUAN
Alergi merupakan suatu kelainan sebagai reaksi imun tubuh yang tidak di harapkan.(1) Istilah alergi
dikemukan pertama kali oleh Von Pirquet pada tahun 1906 yang pada dasarnya mencakup baik respon imun
berlebihan yang menguntungkan seperti yang terjadi pada vaksinasi, maupun mekanisme yang merugikan
dan menimbulkan penyakit. Dewasa ini alergi diartikan sebagai reaksi imunologik terhadap antigen secara
tidak wajar atau tidak tepat pada seseorang yang sebelumnya pernah tersensitisasi dengan antigen
bersangkutan.(2)
Penyakit alergi merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering didapatkan dalam praktek sehari-
hari.(3) dalam 20 – 30 tahun terakhir telah terjadi peningkatan dalam angka kejadian alergi, bahkan di negara
berkembang alergi atopik dapat dijumpai pada 20 % populasi yang mencakup berbagai kelainan yang
dikaitkan dengan IgE, misalnya asma, rhinitis alergi, dermatitis atopik, alergi makanan dan lain-lain.
Peningkatan prevalensi alergi di duga disebabkan berbagai faktor, diantaranya perubahan gaya hidup,
misalnya penggunaan sistem pengatur suhu ruangan di dalam rumah disertai ventilasi yang kurang,
penggunaan antibiotik spektrum luas , infeksi virus, diet dan lain-lain.(2)
Sejak awal tahun dari abad terakhir, sebelum penyebab dari reaksi alergi di temukan, tehnik in
vivotermasuk conjunctival instillation dan tes kulit, telah digunakan untuk mengidentifikasi faktor
penyebab dari reaksi alergi.(4) Hingga saat ini sudah banyak perkembangan dalam metode laboratorium
untuk menunjang diagnosis dan evaluasi penderita alergi. Sebagian metode laboratorium lebih banyak
digunakan untuk menunjang riset pada penderita alergi dan belum banyak digunakan untuk pelayanan
laboratorium secara rutin.(2)
Pemeriksaan laboratorium rutin seperti penetapan jumlah eosinofil dan kadar IgE serum dapat menjadi
pelengkap yang berguna dalam menegaskan diagnosis gangguan alergi. Namun interprestasi dari nilai
eosionofil agak sulit karena eosinofil dipengaruhi oleh ekskresi obat-obat tertentu seperti steroid dan agen
beta adrenergik, waktu pengambilan, dan tehnik peneraan, serta juga oleh kinetiknya.(1)
Tes alergi sering digunakan untuk membedakan suatu penyakit yang disebabkan oleh alergi ataupun
oleh sebab lain. Dikenal beberapa metode pemeriksaan alergi diantaranya secara in vivo dan secara in
vitro.(1,3,4,5,6)
Reaksi alergi semula dibagi dalam 2 golongan berdasarkan kecepatan timbulnya reaksi, yaitu :
Sedangkan Combs dan Gell (1975) membagi reaksi ini menjadi 4 jenis yaitu reaksi hipersensitivitas
tipe I, II, III dan IV.(1,5,7)
Reaksi Tipe I
Pada paparan pertama, allergen masuk sampai kedalam mukosa dan di tampilkan oleh sel B dan sel T.
Respon imun yang di dapat akan memproduksi proliferasi populasi sel yang spesifik terhadap antigen dan
membangun sel memori dan sel plasma. IgE spesifik untuk allergen tersebut di bentuk dan berikatan dengan
sel mast di dalam tubuh. Pada paparan kedua allergen masuk kembali ke dalam mukosa dan melepas ikatan
antara IgE dan mast sel. Sehingga mast sel akan melepaskan mediator seperti heparin dan histamin.
Pengaktifan metabolisme asam arakidonat menghasilkan prostaglandin dan leukotrien yang nantinya akan
menimbulkan gejala.
Reaksi Tipe II
Pada paparan pertama alergen menginduksi respon sel B dengan memproduksi antibodi. Pada paparan
berikutnya antibodi berikatan dengan permukaan sel untuk menampilkan alergen. Kemudian, sistem
komplemen lainnya diaktifkan dan sel menjadi lisis atau antibodi yang terbentuk bertindak sebagai opsonin
dan sel fagosit yang tertarik. Kerusakan jaringan khusus, tergantung pada distribusi dari permukaan sel
alergen. Belum jelas jika reaksi tipe II terlibat dalam pembentukan gejala alergi.
Pada paparan pertama, alergen mempengaruhi respon dari sel B dengan memproduksi antibodi. Pada
paparan kedua, alergen beredar dalam sirkulasi darah berikatan dengan antibodi untuk membentuk
kompleks imun. Ketika jumlah antigen yang lebih besar tampak, kompleks imun tadi menjadi banyak, besar
dan irregular dan mereka tidak dapat disingkirkan secara cepat oleh sistem retikuloendotelial. Kompleks
tadi berikatan dengan endothelium dari pembuluh darah kecil dan membentuk respon inflamasi (edema,
Infiltrat selular) sampai komplemen menjadi aktif. Efek samping dari kerusakan jaringan tergantung dari
jumlah deposit dari kompleks tadi.
Pada paparan pertama alergen merangsang sel T. pada paparan kedua allergen ditemukan pada
permukaan sel target. Sebelumnya merangsang sel T kemudian sel target lisis dan respon inflamasi
terbentuk.(5)
Secara umum indikasi pemeriksaan alergi pada seseorang berdasarkan kondisi yang dialami.
Tabel 1.
Kondisi Indikasi
Pemeriksaan untuk diagnosis alergi inhalan dapat dilakukan secara in vivo dan in vitro untuk alergi
terhadap alergen yang spesifik. Tes ini diindikasikan tidak hanya pada pasien alergi saja, namun juga pada
terkena alergen yang spesifik. Tes pada inhalasi relatif lebih sederhana, sejak mekanisme terjadinya
diketahui (IgE – mediator reaksi tipe I) dan reaksi alergi inhalasi bisa didapatkan dalam beberapa menit.
Bagaimanapun bisa didapatkan sebuah hasil yang positif walaupun tanpa gejala klinik.(5)
A. METODE IN VIVO
Berbagai metode in vivo digunakan dalam penelitian sistem immunoglobulin maupun sistem
seluler.(1) tes alergi secara in vivo terdiri atas dua kategori : uji kulit dan uji tantangan pada organ (tes
provokasi).(9) Uji kulit merupakan cara in vivo utama dalam mengenali IgE atau antibodi reagenik. Reaksi
ini terjadi beberapa menit setelah masuknya alergen. Alergen berinteraksi dengan antibodi reagenik yang
melekat pada sel pelepas zat mediator. Akibatnya terjadi suatu peradangan atau pembengkakan segera,
demikian pula suatu reaksi fase lambat. Pengujian dapat dilakukan dengan menggunakan suatu jarum atau
garukan dan injeksi intradermal.(1)
Uji kulit sampai saat ini masih dilakukan secara luas untuk menunjang diagnosis alergi terhadap
alergen-alergen tertentu. Metode ini dapat dilakukan secara massal dalam waktu singkat dengan hasil cukup
baik. Prinsip test ini adalah adanya IgE spesifik pada permukaan basofil atau sel matosit pada kulit akan
merangsang pelepasan histamin, leukotrien dan mediator lain bila IgE tersebut berikatan dengan alergen
yang digunakan pada uji kulit, sehingga menimbulkan reaksi positif berupa bentol (wheal) dan kemerahan
(flare).(2,8) Tetapi uji kulit tidak selalu memberikan hasil positif walaupun pemeriksaan dengan cara lain
berhasil positif, terutama alergi terhadap obat.(2)
Tujuan tes kulit pada alergi adalah untuk menentukan macam alergen sehingga dikemudian hari bisa
dihindari dan juga untuk menentukan dasar pemberian imunoterapi.(8)
Ø Puncture, prick dan scratch test biasa dilakukan untuk menentukan alergi oleh karena allergen
inhalan, makanan atau bisa serangga.
Ø Tes intradermal biasa dilakukan pada alergi obat dan alergi bisa serangga.
Ø Patch test (epicutaneus test) biasanya untuk melakukan tes pada dermatitis kontak.(8,10)
Keuntungan :
o Konstrate yang digunakan nilai ekonominya lebih baik dan mempunyai daya hidup yang lama.
Kerugian :
o Terjadi false positif (akibat iritasi pada kulit dibandingkan dengan reaksi alergi)
o Lebih menyakitkan
Karena kurang reproducibility dan berbagai gambaran dibelakang, bentuk tes ini tidak
direkomendasikan lagi sebagai prosedur diagnostik pada Alergi panel dari AMA Council Of Scientific
Affairs.(5)
b. Prick : Epicutaneus
Tehnik ini pertama kali dijelaskan oleh Lewis dan Grant pada tahun 1926. Hal ini digambarkan
dimana satu tetesan konsentrat antigen ke dalam kulit . kemudian jarum steril 26 G melalui tetesan tadi
ditusukkan ke dalam kulit bagian superficial sehingga tidak berdarah. Variasi dari tes ini adalah dengan
menggunakan applikator sekali pakai dengan delapan mata jarum yang bisa digunakan. Digunakan secara
simultan dengan 6 antigen dan control positif (histmin) dan kontrol negative (glyserin).(5)
a
b
Gambar 1. Keterangan :
b. Penetesan allergen
Keuntungan :
o Cepat
Kerugian :
o Bisa terjadi kesalahan pada keadaan alergi yang lemah (false – negatif)
o Grade pada kulit bersifat subjektif
Prick tes merupakan jalan cepat untuk menyeleksi antigen yang banyak. Jika skin tes positif, kemudian
pasien lebih sering alergi, tetapi konversi yang didapat tidak benar. Jika pasien mempunyai sejarah yang
positif dan negative pada prick test, maka dokter harus menggabungkan prosedur dengan pemeriksaan tes
intradermal.(5)
Ø Penderita dengan riwayat yang meyakinkan adanya reaksi anafilaksis terhadap allergen.
Ø Penderita dengan gejala alergi terhadap makanan sampai dengan gejala yang timbul stabil.
Ø Penderita dengan penyakit kulit misalnya urtikaria, SLE dan lesi yang luas pada kulit.
Sebagai dokter pemeriksa kita perlu menanyakan riwayat perjalanan penyakit pasien, gejala dan tanda
yang ada yang membuat pemeriksa bisa memperkirakan jenis alergen, apakah alergi ini terkait secara
genetik dan bisa membedakan apakah justru penyakit non alergi, misalnya infeksi atau kelainan anatomis
atau penyakit lain yang gambarannya menyerupai alergi.(8)
2. Persiapan penderita :
Ø Menghentikan pengobatan antihistamin 3 hari sebelum tes(11) atau 5 – 7 hari sebelum tes.(8)
Ø Menghentikan pengobatan lain seperti trisiklik antidepressant, stabilizer sel mast, ranitidine, anti
muntah atau beta bloker, antihistamin topical, cream imunomodulator, dan topical steroid minimal 7 hari
sebelum tes. Steroid oral dan obat inhalasi untuk asma tidak perlu dihentikan.
Ø Usia : Pada bayi dan usia lanjut tes kulit kurang memberikan reaksi, walaupun sebenarnya tes ini
tidak mempunyai batasan umur.
Ø Pada penderita dengan keganasan, limfoma, sarkoidosis, diabetes neuropati juga terjadi penurunan
terhadap reaktivitas terhadap tes kulit ini.
3. Persiapan pemeriksa :
Ø Tehnik dan keterampilan pemeriksa perlu dipersiapkan agar tidak terjadi interprestasi yang salah
akibat tehnik dan pengertian yang kurang dipahami oleh pemeriksa.
Ø Tehnik menempatkan lokasi cukitan karena ada tempat yang reaktivitas tinggi dan ada yang rendah.
Berurutan dari lokasi yang reaktifitasnya tinggi sampai rendah : bagian bawah punggung > lengan atas >
siku > lengan bawah sisi ulnar > sisi radial > pergelangan tangan.
Sebelum melakukan tes cukit pada penderita dilakukan terlebih dahulu inform consent. Pada penderita
dewasa yang telah mengerti dapat dijelaskan secara langsung prosedur pemeriksaan dan apa yang akan
mereka rasakan. Sedangkan pada penderita yang masih kecil maka diberikan penjelasan kepada orang tua
mereka.
Tes cukit sering kali dilakukan pada bagian volar lengan bawah. Pertama dilakukan desinfeksi dengan
alkohol pada area volar dan ditandai area yang akan ditetesi dengan ekstrak allergen. Tanda yang diberikan
mempunyai jarak antara satu dengan yang lain sekitar 2-3 cm. Ekstrak allergen diteteskan satu tetes larutan
allergen (histamine/control positif) dan larutan kontrol (buffer/control negative) menggunakan jarum
ukuran 26 ½ G atau 27 G atau blood lancet.
Kemudian dicukitkan dengan sudut kemiringan 45 0 menembus lapisan epidermis dengan ujung jarum
menghadap ke atas tanpa menimbulkan perdarahan. Tindakan ini mengakibatkan sejumlah alergen
memasuki kulit. Tes dibaca setelah 15 – 20 menit dengan menilai bentol yang timbul.
A
B
Gambar 2. Keterangan :
A. Sudut melakukan
cukit pada kulit dengan
lancet
- Derajat bentol + (+1) dan ++(+2) digunakan bila bentol yang timbul besarnya antara bentol
histamin dan larutan kontrol.
- Untuk bentol yang ukurannya 2 kali lebih besar dari diameter bento histamin dinilai ++++ (+4).
Di Amerika cara menilai ukuran bentol menurut Bousquet (2001) seperti dikutip Rusmono sebagai
berikut :
-0 : reaksi (-)
c. Teknik cukitan yang kurang benar sehingga penetrasi eksrak ke kulit kurang, memungkinkan
terjadinya false-negative.
Kelebihan Skin Prick Test Dibandingkan dengan Tes Kulit yang lain(8) :
1. karena zat pembawanya adalah gliserin maka lebih stabil jika dibandingkan dengan zat
pembawa berupa air.
4. Resiko terjadinya alergi sistemik sangat kecil, karena volume yang masuk ke kulit sangat kecil.
5. Pada pasien yang memiliki alergi terhadap banyak alergen, tes ini mampu dilaksanakan kurang
dari 1 jam.
c. Intradermal test
Tes intradermal atau tes intrakutan secara umum biasa digunakan ketika terdapat kenaikan sensitivitas
merupakan tujuan pokok dari pemeriksaan (misalnya ketika skin prick test memberikan hasil negatif
walaupun mempunyai riwayat yang cocok terhadap paparan). Tes intradermal lebih sensitive namun kurang
spesifik dibandingkan dengan skin prick test terhadap sebagian besar alergen, tetapi lebih baik daripada uji
kulit lainnya dalam mengakses hipersensitivitas terhadap Hymenoptera (gigitan serangga) dan penisilin
atau alergen dengan potensi yang rendah.(3,9,)
Robert Cooke memberikan gambaran pertama kali untuk tes intradermal pada tahun 1915. Tehnik
pemeriksaannya mengalami beberapa modifikasi sejak saat itu. Pada saat ini prosedur tes intradermal
digambarkan dengan menggunakan jarum 26 G untuk menyuntikkan secara intradermal sebagian dari
antigen, berbagai macam laporan mengatakan batasannya 0,01 – 0,05 ml. batasan dari konsentrasi ekstrak
adalah 1 : 500 sampai 1 : 1000. Test di nilai setelah 10 – 15 menit. Pada kasus tertentu baru dapat dibaca
setelah 24 – 48 jam.(10) Eritem dan bentol merupakan tanda dan tingkatan dalam skala subjektif adalah 0 -
+4.(5,12)
Keuntungan :
Kerugian :
Tes intradermal merupakan tes yang baik, sensitive dan lebih reproducible. Keakuratan lebih jelas
didapatkan pada percobaan dengan berbagai macam dilusi dari ekstrak allergen. Tetapi mempunyai
kekurangan dalam standarisasi protokol tes.(5)
d. Pacth Test
Tes pacth merupakan metode yang digunakan untuk mendeteksi zat yang memberikan alergi jika
terjadi kontak langsung dengan kulit. Metode ini sering digunakan oleh para ahli kulit untuk mendiagnosa
dermatitis kontak yang merupakan reaksi alergi tipe lambat, dimana reaksi yang terjadi baru dapat dilihat
dalam 2 – 3 hari.(9,10,13)
Pemeriksaan pacth tes biasa dilakukan jika pemeriksaan dengan menggunakan skin prick tes
memberikan hasil yang negative.(10) Pada pelaksanaan pemeriksaan disiapkan 25 – 150 material yang
dimasukkan ke dalam kamar plastic atau aluminium dan di letakkan di belakang punggung. Sebelumnya
pada punggung diberikan tanda tempat-tempat yang akan ditempelkan bahan allergen tersebut. Setelah
ditempelkan, kemudian dibiarkan selama 48 sampai 72 jam. Kemudian diperiksa apakah ada tanda reaksi
alergi yang dilihat dari bentol yang muncul dan warna kemerahan.(10,14)
Gambar 4. Keterangan :
Ø Negatif (-)
Reaksi iritasi terdiri dari sweat rash, follicular pustules dan reaksi seperti terbakar. Reaksi yang
meragukan berupa warna merah jambu dibawah kamar tes. Reaksi positif lemah berupa warna merah jambu
yang sedikit menonjol atau plak berwarna merah. Reaksi positif kuat berupa papulovesicle dan reaksi
ekstrem berupa kulit yang melepuh atau luka. Reaksi yang relevan tergantung dari jenis dermatitis dan
allergen yang spesifik. Interprestasi dari hasil yang didapatkan membutuhkan pengalaman dan latihan.(14)
Gambar 5. Keterangan :
C. Reaksi ++
D. Reaksi +++
Persiapan penderita
Ø Bagian punggung tempat akan dilakukan pemeriksaan jangan terkena sinar matahari kurang lebih
4 minggu sebelum pemeriksaan.
Ø Memakai baju yang sudah tua ; tanda dari ujung pulpen dapat melumuri baju
Ø Jangan berenang, menggaruk atau melakukan latihan, sebab tempelan bisa lepas.
Ø Biarkan punggung tetap kering, jadi jangan mandi, jangan berkeringat jika tidak dibutuhkan
Ø Hindari pemakaian kosmetik, cream dan detergen untuk sementara waktu supaya tidak memberikan
hasil positif palsu.
Ø Menyuruh seseorang untuk mengatakan jika ada perubahan pada tanda yang telah diberikan
dipunggung.(13,14)
Persiapan Bahan
Untuk mempersiapkan bahan yang akan digunakan biasanya penderita mendiskusikan dulu dengan
pemeriksa. Terkadang penderita disuruh membawa bahan yang akan digunakan sendiri dari rumah.
Ø Bawa atau kirim bahan yang akan dites paling lambat 1 minggu sebelum pertemuan pertama
dilakukan sehingga pemeriksa bisa mempersiapkan untuk tes jika dibutuhkan.
Ø Bahan diberikan label dan nama dan buatlah lembaran daftar bahan jika memungkinkan.
Ø Identifikai jenis makanan dan tumbuhan (jika relevan) kalau bisa beli yang masih segar untuk
pertemuan pertama; gunakan es untuk lebih membantu.
Ø Bawa kosmestik yang telah diseleksi untuk dites (lebih dari 10 jenis) termasuk cat kuku, pelembab,
cream matahari, parfum, sampho. Sabun tidak biasa digunakan untuk tes (karena biasa menyebabkan reaksi
jika diletakkan di kulit untuk 2 hari)
Ø Bawa semua ointment, cream dan lotion yang biasa digunakan baik yang diresepkan maupun yang
tidak diresepkan.
Ø Bagian dari pakaian seperti sarung tangan karet dan kaus kaki untuk di tes: 1 cm dari bahan tersebut
perlu diambil.(14)
Tes ini merupakan cara menilai yang paling baik untuk rhinitis alergi. Hanya ini metode yang
digunakan dengan menempatkan secara langsung allergen spesifik terhadap mukosa hidung. Metode ini
menimbulkan gejala utama atau tanda dari pasien dengan cara mengontrol antigen yang diduga dapat
menimbulkan alergi dengan aplikasi langsung ke membrane mucous hidung. Dan evaluasi dari respon
pasien di catat. Tehnik ini meliputi aplikasi yang selektif atas solution allergen ke kepala turbin inferior.
Sebelumnya dilakukan rhinomanometri dan 20 menit setelah pemberian allergen. Untuk mengkonfirmasi
efek alergi dari zat yang dites dengan menampakkan reduksi yang significant dari kemampuan hidung untuk
pembengkakan mukosa yang reaktif. Sejak tes provokasi meliputi penempatan allergen secara langsung
pada turbin, mungkin dapat menimbulkan reaksi alergi yang hebat atau mungkin syok anafilaksis, dan
sepantasnya alat emergency tersedia pada ruang pemeriksaan.(6,15)
B. METODE IN VITRO
Setelah sifat-Sifat IgE diketahui pada tahun 1968, Maka dimungkinkan pembentukan antisera terhadap
kelas immunoglobulin ini. Hal ini membuka jalan untuk pelaksanaan peneraan imun.(1) Telah ditemukan
beberapa cara pemeriksaan in vitro terhadap alergi, yang pertama sekali yaitu metode
ujiRadioalergosorbent (RAST) yang kemudian mendapat modifikasi, Enzyme-linked
(1,3,4)
immunoassay (ELISA) dan beberapa metode baru yang terus ditemukan sesuai dengan perkembangan
teknologi. Namun pada penulisan ini hanya dibahas mengenai metode pemeriksaan RAST dan ELISA.
Ø Pasien yang tidak respon terhadap control lingkungan dan pengobatan konservatif.
Ø Kekhawatiran pada bayi dan anak yang sensitive terhadap reaksi atopi
Ø Pasien yang tidak mungkin diberhentikan pengobatan yang mungkin mempengaruhi pada
pemeriksaan uji kulit
Ø Evaluasi individu yang sensitive ketika diprakarsai imunoterapi pada pasien atopi.
Ø Pasien dengan positif riwayat sensitivitas dimana dengan terapi non spesifik dapat efektif untuk
mengurangi gejala.
Merupakan metode yang sering dipakai dengan menggunakan allergen tidak larut ke dalam suatu
cakram kertas selulosa (alegosorben) yang mengikat IgE spesifik (dan klas antibody lain) dari serum selama
masa inkubasi pertama. Fase padat terikat immunoglobulin kemudian dicuci dan pada inkubasi kedua
ditambahkan suatu anti IgE berlabel isotop I-125 (fc) atau anti IgE berlabel enzim (fc). Setelah pencucian
selanjutnya radioaktivitas yang terikat IgE pada cakram kemudian dihitung, atau pada antibody yang
berlabel enzim, dilakukan suatu inkubasi substrat agar dihasilkan suatu produk berwarna atau
berfluoresensi. Radioaktivitas terikat cakram atau kuantitas produk yang dihasilkan aktivitas enzim
dihubungkan dengan IgE terikat cakram memakai sumber serum rujukan dari specimen yang tidak
diketahui diinterpolasikan terhadap serum ini. Perlu ditekankan bahwa system penilaian untuk semua proses
ini belum sepenuhnya dikaitkan dengan gambaran klinis. Secara umum nilai yang tinggi dapat ditemukan
pada beberapa pasien non alergi namun dapat pula tidak ditemukan pada individu alergi. Demikian pula
nilai yang rendah dapat ditemukan pada individu alergi seperti juga individu non alergi. Seluruh hasil
perhitungan harus diinterprestasikan dalam kaitannya dengan anamnesis.(1,5)
Setelah dimodifikasi selama bertahun-tahun, RAST orisinil kini telah dipasarkan untuk pengukuran
IgE spesifik dalam serum manusia. Hasil-hasil relative dari system yang lebih baru ini masih belum dinilai.
Pada dasarnya, kebanyakan system peneraan mempunyai system yang serupa dengan RAST.(1)
Prinsip tehnik ELISA sama dengan tehnik RIA, hanya saja pada tehnik ELISA indicator (label) yang
digunakan adalah enzim dan bukan radioisotope. Kelebihan tehnik ELISA adalah : cukup sensitive, reagen
mempunyai waktu paruh yang lebih panjang dibandingkan reagen RIA, dapat menggunakan
spektrofotometer biasa dan mudah dilakukan automatisasi, dan yang paling penting adalah tidak
mengandung bahaya radioaktif. Seperti halnya pada tehnik RIA, pada tehnik ELISA juga dikenal metode
kompetitif dan non kompetitif. Apabila Ab digunakan untuk melapisi partikel maka metode ini sering
disebut capture, karena antigen dalam specimen seolah ditangkap oleh matriks yang dilapisi Ab. Fase solid
atau partikel yang dapat digunakan bermacam-macam, diantaranya plastic, nitroselulosa, agarose, gelas,
polyacrylamida, dan dekstran.
Bergantung pada apa yang ingin diuji, pada tehnik ELISA harus ada antibody atau antigen yang
dikonjugasikan dengan enzim dan substrat yang sesuai. Enzim yang paling disukai untuk digunakan adalah
fosfatase alkali (AP) dan horseradish peroxidase (HRP) sedangkan substrat yang paling sering digunakan
adalah o-phenylenediamine (OPD), dan tetramethylbenzidine (TMB). Substrat para-
nitrophenylphospate(pNPP) dapat dipilih apabila enzim yang digunakan adalah fosfatase alkali. Hidrolisis
substrat oleh enzim biasanya berlangsung dalam waktu tertentu dan reaksi dihentikan dengan
membubuhkan asam atau basa kuat. Karena banyaknya antibody berlabel enzim (AbE) yang terikat pada
kompleks Ag - AbE sesuai dengan kadar Ag dalam specimen, maka banyaknya enzim yang terikat pada
kompleks dan intensitas warna yang timbul setelah substrat dihidrolisis oleh enzim yang terikat pada
kompleks Ag - AbEmerupakan untuk kadar Ag yang diuji.(2)
- Dapat selesai dalam satu tes darah; mengurangi tes kulit yang lama
- Menyediakan penilaian kuantitatif dari alergi sehingga dapat digunakan sebagai dasar
menetapkan dosis awal imunoterapi
KESIMPULAN
Ø Istilah alergi dikemukan pertama kali oleh Von Pirquet pada tahun 1906 yang pada dasarnya
mencakup baik respon imun berlebihan yang menguntungkan seperti yang terjadi pada vaksinasi, maupun
mekanisme yang merugikan dan menimbulkan penyakit.
Ø Penyakit alergi umum didapatkan dalam praktek sehari-hari, dan akhir-akhir ini telah terjadi
peningkatan dalam angka kejadian alergi.
Ø Diperlukan metode yang baik dalam mendeteksi alergi dan dikenal dua jenis pemeriksaan yaitu
secara in vivo dan secara invitro
Ø Pemeriksaan secara in vivo terdiri dari uji kulit (scratch test, skin prick test, intradermal test, dan
patch test) dan uji provokasi.
Ø Sedangkan secara in vitro banyak jenis metode yang telah dikembangkan namun yang sering
digunakan adalah metode RAST (RIA) dengan menggunakan radioisotope dan metode ELISA yang
menggunakan enzim.
DAFTAR PUSTAKA
1. Malcolm N. Blumenthal, M.D, Kelainan Alergi Pada Pasien THT dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
THT BOIES, Edisi 6, Cetakan ke – 3, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1997. Hal : 190 – 199
2. Siti Boedina Kresno, Penyakit Alergi dalam IMUNOLOGI : Diagnosis dan Prosedur
Laboratorium, Edisi Keempat, Cetakan ke – 3 Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta, 2007, Hal : 315 – 338.
3. James T.Lim MD, PH.D Allergy Testing dalam Journal American Family Physician, volume 66,
nomor 4, Mayo Clinic and Foundation, Rochester, Minnesota, 15 Agustus, 2002. Hal : 621 –
624.www.aafp.org/afp
4. Richard M. O’Brien, Abnormal Laboratory Result Skin Prick Testing and In Vitro Assays for
Allergic Sensitivity, dalam Australian Prescriber, volume 25, nomor 4, 2002.
5. K.J.LEE, MD, FACS, Immunology dan Allergy in Essential Oto laryngology Head and Neck
Surgery, Eight Edition in International Edition, Medical Publishing Division McGraw-Hill company, Inc.
2003. Page : 273 - 301
6. Rudolf Probst, Gerhard Grevers and Heinrich Iro, Special Rhinologic Test in Basic
otorhinolaryngology.
8. Henny Kartikawati, Tes Cukit (Skin Prick Test) Pada Diagnosis Penyakit Alergi, Bagian Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan – Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas
Dipenogoro RS. Kariadi Semarang, 2007. http://hennykartika.wordpress.com/2007/03/08/skin-test/
11. Adrian Morris, Dr. Allergen Skin Prick Testing in Allsa Position Statement. Current Allergy &
Clinical Immunology, Vol 19 No. 1. March 2006
13. G Lowe Dr. Pacth Testing, National Eczema Society Hiil House, Highgate Hill London, N19
5NA. www.Eczema.org
14. Anonymous, Patch Test (Contac Allergy Testing), New Zealand Dermatology Society
Incorporated. www.dermnetnz.org
15. Anonymous, Allergy Testing Description of Procedure or Service, Corporate Medical Policy,
Blue Cross Blue Shield Of North Carolina.