2. Tujuan Injeksi
Memberikan obat tertentu yang pemberiannya hanya dapat dilakukan dengan cara suntikan
intra cutan
Pada umumnya Injeksi dilakukan dengan tujuan untuk mempercepat proses penyerapan
(absorbsi) obat untuk mendapatkan efek obat yang cepat.
Menghindarkan pasien dari efek alergi obat( dengan skin test).
Membantu menentukan diagnose terhadap penyakit tertentu misalnya tubercullin test
3. Indikasi
Injeksi biasanya dilakukan pada pasien yang tidak sadar dan tidak mau bekerja sama karena
tidak memungkinkan untuk diberikan obat secara oral. Apabila klien tidak sadar atau bingung,
sehingga klien tidak mampu menelan atau mempertahankan obat dibawah lidah. Oleh karena itu,
untuk memenuhi kebutuhan obat klien dilakukan dengan pemberian obat secara injeksi.
Prinsip
1. Sebelum memberikan obat perawat harus mengetahui diagnosa medis pasien, indikasi
pemberian obat, dan efek samping obat, dengan prinsip 10 benar yaitu benar pasien, benar obat,
benar dosis, benar waktu pemberian, benar cara pemberian, benar pemberian keterangan tentang
obat pasien, benar tentang riwayat pemakaian obat oleh pasien, benar tentang riwayat alergi obat
pada pasien, benar tentang reaksi pemberian beberapa obat yang berlainan bila diberikan
bersama-sama, dan benar dokumentasi pemakaian obat.
2. Setelah dilakukan penyuntikan / skin test tidak dilakukan desinfektan.
3. Perawat harus memastikan bahwa pasien mendapatkan obatnya, bila ada penolakan pada
suatu jenis obat, maka perawat dapat mengkaji penyebab penolakan, dan dapat
mengkolaborasikannya dengan dokter yang menangani pasien, bila pasien atau keluarga tetap
menolak pengobatan setelah pemberian inform consent, maka pasien maupun keluarga yang
bertanggungjawab menandatangani surat penolakan untuk pembuktian penolakan therapi.
Prosedur
1. Persiapan
a. Menjelaskan tujuan dan prosedur pemberian obat
b. Memberikan posisi yang nyaman pada pasien, menjaga privasi pasien/ pasang sampiran
c. Alat dan bahan
1) Obat-obatan yang sesuai program pengobatan dokter
2) Daftar obat pasien
3) Spuit 1 cc dan 5 cc disposible.
4) Jarum sesuai kebutuhan, gergaji ampul bila perlu.
5) Perlak dan alas
6) Kapas alkohol atau kapas yang sudah dibasahi NaCl 0,9% dalam tempatnya
7) Handschoen
8) Nierbeken
2. Pelaksanaan
1) Mencuci tangan
2) Berdiri di sebelah kanan/kiri pasien sesuai kebutuhan.
3) Cek daftar obat pasien untuk memberikan obat
4) Membawa obat dan daftar obat ke hadapan pasien sambil mencocokkan nama pada tempat
tidur dengan nama pada daftar obat.
5) Meenginjeksi pasien sesuai dengan nama pada daftar obat
6) Jaga privasi pasien
7) Injeksi intrakutan dilakukan dengan cara spuit diisi oleh obat sesuai dosisnya.
8) Menentukan lokasi injeksi yaitu 1/3 atas lengan bawah bagian dalam.
9) Membersihkan lokasi tusukan dengan kapas normal saline atau kapas alcohol bila
diperlukan,
kulit diregangkan tunggu sampai kering.
10) Lubang jarum menghadap keatas dan membuat sudut antara 5-150 dari permukaan kulit
11) Memasukan obat perlahan-lahan sampai berbentuk gelembung kecil, dosis yang diberikan
0,1 cc atau sesuai jenis obat.
12) Setelah penyuntikan area penyuntikan tidak boleh didesinfeksi.
13) Bila injeksi intrakutan dilakukan untuk test antibiotik, lakukan penandaan pada area
penyutikan dengan melingkari area penyuntikan dengan diameter kira kira 1 inchi atau diameter
2,5 cm. Penilaian reaksi dilakukan 15 menit setelah penyuntikan. Nilai positif jika terdapat tanda
tanda rubor, dolor, kalor melebihi daerah yang sudah ditandai, artinya pasien alergi dengan
antibiotik tersebut.
14) Bila injeksi ditujukan untuk mantoux test tuberkulin test, dapat dinilai hasilnya dalam 2
sampai 3 kali 24 jam, positif bila terdapat rubor dolor kalor melebihi diameter 1 cm pada area
penyuntikan.
15) Beri penjelasan pada pasien atau keluarga untuk tentang penilaian pada daerah penyuntikan
dan anjurkan untuk tidak menggaruk, memasage atau memberi apapun pada daerah penyutikan.
Menyimpan obat obat sisa dan daftar obat pasien ketempatnya
16) Mengobservasi keadaan umum pasien
17) melepaskan handschoen, mencuci tangan.
18) Membuat pendokumentasian mencakup:
· Tindakan dan respon pasien.
TEORI
I. PENDAHULUAN
Alergi merupakan suatu kelainan sebagai reaksi imun tubuh yang tidak di harapkan. (1) Istilah
alergi dikemukan pertama kali oleh Von Pirquet pada tahun 1906 yang pada dasarnya mencakup
baik respon imun berlebihan yang menguntungkan seperti yang terjadi pada vaksinasi, maupun
mekanisme yang merugikan dan menimbulkan penyakit. Dewasa ini alergi diartikan sebagai
reaksi imunologik terhadap antigen secara tidak wajar atau tidak tepat pada seseorang yang
sebelumnya pernah tersensitisasi dengan antigen bersangkutan.(2)
Penyakit alergi merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering didapatkan dalam
praktek sehari-hari.(3) dalam 20 – 30 tahun terakhir telah terjadi peningkatan dalam angka
kejadian alergi, bahkan di negara berkembang alergi atopik dapat dijumpai pada 20 % populasi
yang mencakup berbagai kelainan yang dikaitkan dengan IgE, misalnya asma, rhinitis alergi,
dermatitis atopik, alergi makanan dan lain-lain. Peningkatan prevalensi alergi di duga disebabkan
berbagai faktor, diantaranya perubahan gaya hidup, misalnya penggunaan sistem pengatur suhu
ruangan di dalam rumah disertai ventilasi yang kurang, penggunaan antibiotik spektrum luas ,
infeksi virus, diet dan lain-lain.(2)
Sejak awal tahun dari abad terakhir, sebelum penyebab dari reaksi alergi di temukan, tehnik
in vivo termasuk conjunctival instillation dan tes kulit, telah digunakan untuk mengidentifikasi
faktor penyebab dari reaksi alergi.(4) Hingga saat ini sudah banyak perkembangan dalam metode
laboratorium untuk menunjang diagnosis dan evaluasi penderita alergi. Sebagian metode
laboratorium lebih banyak digunakan untuk menunjang riset pada penderita alergi dan belum
banyak digunakan untuk pelayanan laboratorium secara rutin.(2)
Pemeriksaan laboratorium rutin seperti penetapan jumlah eosinofil dan kadar IgE serum
dapat menjadi pelengkap yang berguna dalam menegaskan diagnosis gangguan alergi. Namun
interprestasi dari nilai eosionofil agak sulit karena eosinofil dipengaruhi oleh ekskresi obat-obat
tertentu seperti steroid dan agen beta adrenergik, waktu pengambilan, dan tehnik peneraan, serta
juga oleh kinetiknya.(1)
Tes alergi sering digunakan untuk membedakan suatu penyakit yang disebabkan oleh alergi
ataupun oleh sebab lain. Dikenal beberapa metode pemeriksaan alergi diantaranya secara in vivo
dan secara in vitro.(1,3,4,5,6)
Reaksi Tipe I
Pada paparan pertama, allergen masuk sampai kedalam mukosa dan di tampilkan oleh sel B
dan sel T. Respon imun yang di dapat akan memproduksi proliferasi populasi sel yang spesifik
terhadap antigen dan membangun sel memori dan sel plasma. IgE spesifik untuk allergen
tersebut di bentuk dan berikatan dengan sel mast di dalam tubuh. Pada paparan kedua allergen
masuk kembali ke dalam mukosa dan melepas ikatan antara IgE dan mast sel. Sehingga mast sel
akan melepaskan mediator seperti heparin dan histamin. Pengaktifan metabolisme asam
arakidonat menghasilkan prostaglandin dan leukotrien yang nantinya akan menimbulkan gejala.
Reaksi Tipe II
Pada paparan pertama alergen menginduksi respon sel B dengan memproduksi antibodi.
Pada paparan berikutnya antibodi berikatan dengan permukaan sel untuk menampilkan alergen.
Kemudian, sistem komplemen lainnya diaktifkan dan sel menjadi lisis atau antibodi yang
terbentuk bertindak sebagai opsonin dan sel fagosit yang tertarik. Kerusakan jaringan khusus,
tergantung pada distribusi dari permukaan sel alergen. Belum jelas jika reaksi tipe II terlibat
dalam pembentukan gejala alergi.
Kondisi Indikasi
A. METODE IN VIVO
Berbagai metode in vivo digunakan dalam penelitian sistem immunoglobulin maupun sistem
seluler.(1) tes alergi secara in vivo terdiri atas dua kategori : uji kulit dan uji tantangan pada organ
(tes provokasi).(9) Uji kulit merupakan cara in vivo utama dalam mengenali IgE atau antibodi
reagenik. Reaksi ini terjadi beberapa menit setelah masuknya alergen. Alergen berinteraksi
dengan antibodi reagenik yang melekat pada sel pelepas zat mediator. Akibatnya terjadi suatu
peradangan atau pembengkakan segera, demikian pula suatu reaksi fase lambat. Pengujian dapat
dilakukan dengan menggunakan suatu jarum atau garukan dan injeksi intradermal.(1)
1. Pemeriksaan Tes Kulit
Uji kulit sampai saat ini masih dilakukan secara luas untuk menunjang diagnosis alergi
terhadap alergen-alergen tertentu. Metode ini dapat dilakukan secara massal dalam waktu singkat
dengan hasil cukup baik. Prinsip test ini adalah adanya IgE spesifik pada permukaan basofil atau
sel matosit pada kulit akan merangsang pelepasan histamin, leukotrien dan mediator lain bila IgE
tersebut berikatan dengan alergen yang digunakan pada uji kulit, sehingga menimbulkan reaksi
positif berupa bentol (wheal) dan kemerahan (flare).(2,8) Tetapi uji kulit tidak selalu memberikan
hasil positif walaupun pemeriksaan dengan cara lain berhasil positif, terutama alergi terhadap
obat.(2)
Tujuan tes kulit pada alergi adalah untuk menentukan macam alergen sehingga dikemudian
hari bisa dihindari dan juga untuk menentukan dasar pemberian imunoterapi.(8)
Macam tes kulit untuk mediagnosis alergi antara lain :
Ø Puncture, prick dan scratch test biasa dilakukan untuk menentukan alergi oleh karena
allergen inhalan, makanan atau bisa serangga.
Ø Tes intradermal biasa dilakukan pada alergi obat dan alergi bisa serangga.
Ø Patch test (epicutaneus test) biasanya untuk melakukan tes pada dermatitis kontak.(8,10)
b. Prick : Epicutaneus
Tehnik ini pertama kali dijelaskan oleh Lewis dan Grant pada tahun 1926. Hal ini
digambarkan dimana satu tetesan konsentrat antigen ke dalam kulit . kemudian jarum steril 26 G
melalui tetesan tadi ditusukkan ke dalam kulit bagian superficial sehingga tidak berdarah. Variasi
dari tes ini adalah dengan menggunakan applikator sekali pakai dengan delapan mata jarum yang
bisa digunakan. Digunakan secara simultan dengan 6 antigen dan control positif (histmin) dan
kontrol negative (glyserin). (5)
b
c
Gambar 1. Keterangan :
a. Lengan atas yang diteteskan zat allergen
b. Penetesan allergen
c. Reaksi pada pemeriksaan skin prick test(9)
Keuntungan :
o Cepat
o Mempunyai korelasi yang baik dengan tes intradermal
o Relative lebih aman
Kerugian :
o Hanya memberikan penilaian kualitatif pada alergi
o Bisa terjadi kesalahan pada keadaan alergi yang lemah (false – negatif)
o Grade pada kulit bersifat subjektif
Prick tes merupakan jalan cepat untuk menyeleksi antigen yang banyak. Jika skin tes positif,
kemudian pasien lebih sering alergi, tetapi konversi yang didapat tidak benar. Jika pasien
mempunyai sejarah yang positif dan negative pada prick test, maka dokter harus menggabungkan
prosedur dengan pemeriksaan tes intradermal.(5)
Gambar 2. Keterangan :
A. Sudut melakukan cukit pada kulit dengan lancet
B. Contoh reaksi hasil positif pada tes cukit
Kelebihan Skin Prick Test Dibandingkan dengan Tes Kulit yang lain(8) :
1. karena zat pembawanya adalah gliserin maka lebih stabil jika dibandingkan dengan zat
pembawa berupa air.
2. Mudah dilaksanakan dan bisa diulang bila perlu.
3. Tidak terlalu sakit dibandingkan suntikan intradermal
4. Resiko terjadinya alergi sistemik sangat kecil, karena volume yang masuk ke kulit
sangat kecil.
5. Pada pasien yang memiliki alergi terhadap banyak alergen, tes ini mampu dilaksanakan
kurang dari 1 jam.
c. Intradermal test
Tes intradermal atau tes intrakutan secara umum biasa digunakan ketika terdapat kenaikan
sensitivitas merupakan tujuan pokok dari pemeriksaan (misalnya ketika skin prick test
memberikan hasil negatif walaupun mempunyai riwayat yang cocok terhadap paparan). Tes
intradermal lebih sensitive namun kurang spesifik dibandingkan dengan skin prick test terhadap
sebagian besar alergen, tetapi lebih baik daripada uji kulit lainnya dalam mengakses
hipersensitivitas terhadap Hymenoptera (gigitan serangga) dan penisilin atau alergen dengan
potensi yang rendah.(3,9,)
Robert Cooke memberikan gambaran pertama kali untuk tes intradermal pada tahun 1915.
Tehnik pemeriksaannya mengalami beberapa modifikasi sejak saat itu. Pada saat ini prosedur tes
intradermal digambarkan dengan menggunakan jarum 26 G untuk menyuntikkan secara
intradermal sebagian dari antigen, berbagai macam laporan mengatakan batasannya 0,01 – 0,05
ml. batasan dari konsentrasi ekstrak adalah 1 : 500 sampai 1 : 1000. Test di nilai setelah 10 – 15
menit. Pada kasus tertentu baru dapat dibaca setelah 24 – 48 jam. (10) Eritem dan bentol
merupakan tanda dan tingkatan dalam skala subjektif adalah 0 - +4.(5,12)
Interdermal skin tes
Keuntungan :
Ø Lebih sensitive (dapat mendeteksi alergi dengan kadar rendah)
Ø Lebih reproducible dalam satu tempat
Kerugian :
Ø Lebih bersifat kualitatif daripada kuantitatif
Ø Tingkat dalam respon lebih bersifat subjektif
Ø Tidak ada standarisasi dalam banyaknya dosis atau konsentrasinya
Ø Mungkin dapat muncul reaksi positif palsu pada sensitivitas tinggi
Tes intradermal merupakan tes yang baik, sensitive dan lebih reproducible. Keakuratan lebih
jelas didapatkan pada percobaan dengan berbagai macam dilusi dari ekstrak allergen. Tetapi
mempunyai kekurangan dalam standarisasi protokol tes.(5)
d. Pacth Test
Tes pacth merupakan metode yang digunakan untuk mendeteksi zat yang memberikan
alergi jika terjadi kontak langsung dengan kulit. Metode ini sering digunakan oleh para ahli kulit
untuk mendiagnosa dermatitis kontak yang merupakan reaksi alergi tipe lambat, dimana reaksi
yang terjadi baru dapat dilihat dalam 2 – 3 hari.(9,10,13)
Pemeriksaan pacth tes biasa dilakukan jika pemeriksaan dengan menggunakan skin prick tes
memberikan hasil yang negative.(10) Pada pelaksanaan pemeriksaan disiapkan 25 – 150 material
yang dimasukkan ke dalam kamar plastic atau aluminium dan di letakkan di belakang punggung.
Sebelumnya pada punggung diberikan tanda tempat-tempat yang akan ditempelkan bahan
allergen tersebut. Setelah ditempelkan, kemudian dibiarkan selama 48 sampai 72 jam. Kemudian
diperiksa apakah ada tanda reaksi alergi yang dilihat dari bentol yang muncul dan warna
kemerahan.(10,14)
A
Gambar 4. Keterangan :
A. Alergen dimasukkan ke dalam ruang aluminium
B. Logam aluminium di tempelkan di punggung
Persiapan Bahan
Untuk mempersiapkan bahan yang akan digunakan biasanya penderita mendiskusikan dulu
dengan pemeriksa. Terkadang penderita disuruh membawa bahan yang akan digunakan sendiri
dari rumah.
Ø Bawa atau kirim bahan yang akan dites paling lambat 1 minggu sebelum pertemuan
pertama dilakukan sehingga pemeriksa bisa mempersiapkan untuk tes jika dibutuhkan.
Ø Jumlah yang dibutuhkan sedikit hanya beberapa tetes atau butir.
Ø Bahan diberikan label dan nama dan buatlah lembaran daftar bahan jika memungkinkan.
Ø Identifikai jenis makanan dan tumbuhan (jika relevan) kalau bisa beli yang masih segar
untuk pertemuan pertama; gunakan es untuk lebih membantu.
Ø Bawa kosmestik yang telah diseleksi untuk dites (lebih dari 10 jenis) termasuk cat kuku,
pelembab, cream matahari, parfum, sampho. Sabun tidak biasa digunakan untuk tes (karena biasa
menyebabkan reaksi jika diletakkan di kulit untuk 2 hari)
Ø Bawa semua ointment, cream dan lotion yang biasa digunakan baik yang diresepkan
maupun yang tidak diresepkan.
Ø Bagian dari pakaian seperti sarung tangan karet dan kaus kaki untuk di tes: 1 cm dari
bahan tersebut perlu diambil.(14)
B. METODE IN VITRO
Setelah sifat-Sifat IgE diketahui pada tahun 1968, Maka dimungkinkan pembentukan
antisera terhadap kelas immunoglobulin ini. Hal ini membuka jalan untuk pelaksanaan peneraan
imun.(1) Telah ditemukan beberapa cara pemeriksaan in vitro terhadap alergi, yang pertama sekali
yaitu metode uji Radioalergosorbent (RAST) yang kemudian mendapat modifikasi, Enzyme-
linked immunoassay (ELISA)(1,3,4) dan beberapa metode baru yang terus ditemukan sesuai dengan
perkembangan teknologi. Namun pada penulisan ini hanya dibahas mengenai metode
pemeriksaan RAST dan ELISA.
1. Metode RAST
Merupakan metode yang sering dipakai dengan menggunakan allergen tidak larut ke dalam
suatu cakram kertas selulosa (alegosorben) yang mengikat IgE spesifik (dan klas antibody lain)
dari serum selama masa inkubasi pertama. Fase padat terikat immunoglobulin kemudian dicuci
dan pada inkubasi kedua ditambahkan suatu anti IgE berlabel isotop I-125 (fc) atau anti IgE
berlabel enzim (fc). Setelah pencucian selanjutnya radioaktivitas yang terikat IgE pada cakram
kemudian dihitung, atau pada antibody yang berlabel enzim, dilakukan suatu inkubasi substrat
agar dihasilkan suatu produk berwarna atau berfluoresensi. Radioaktivitas terikat cakram atau
kuantitas produk yang dihasilkan aktivitas enzim dihubungkan dengan IgE terikat cakram
memakai sumber serum rujukan dari specimen yang tidak diketahui diinterpolasikan terhadap
serum ini. Perlu ditekankan bahwa system penilaian untuk semua proses ini belum sepenuhnya
dikaitkan dengan gambaran klinis. Secara umum nilai yang tinggi dapat ditemukan pada
beberapa pasien non alergi namun dapat pula tidak ditemukan pada individu alergi. Demikian
pula nilai yang rendah dapat ditemukan pada individu alergi seperti juga individu non alergi.
Seluruh hasil perhitungan harus diinterprestasikan dalam kaitannya dengan anamnesis.(1,5)
Setelah dimodifikasi selama bertahun-tahun, RAST orisinil kini telah dipasarkan untuk
pengukuran IgE spesifik dalam serum manusia. Hasil-hasil relative dari system yang lebih baru
ini masih belum dinilai. Pada dasarnya, kebanyakan system peneraan mempunyai system yang
serupa dengan RAST.(1)
Bermacam-macam modifikasi tehnik radioimmumoassay (RIA) telah dikembangkan untuk
menyederhanakan dan memudahkan penggunaannya serta meningkatkan sensitivitas maupun
spesifitas. Dalam garis besar ada 2 macam metode, yaitu metode yang berdasarkan reaksi antigen
antibody dalam larutan (liquid fase) dan yang berdasarkan reaksi antigen antibody pada benda
padat atau partikel (solid phase). Pada umumnya tehnik RIA dalam larutan menggunakan prinsip
kompetitif, yaitu mereaksikan antigen (Ag) yang tidak dilabel dan terdapat dalam specimen,
125
bersama Ag yang dilabel I (Ag*) dengan antibody (Ab) spesifik, sehingga Ag berlabel (Ag*)
dan Ag dalam specimen akan berkompetisi untuk mengikat Ab membentuk kompleks Ag*-Ab-
Ag. Apabila kadar Ag* sebelum reaksi diketahui, maka sisa Ag* yang tidak bereaksi atau yang
terikat pada kompleks dapat diukur radioaktivitasnya dan hasilnya merupakan parameter kadar
Ag dalam specimen. Di samping tehnik kompetitif, ada juga tehnik non kompetitif dengan cara
melekatkan Ag atau Ab pada suatu partikel kemudian mereaksikannya dengan specimen yang
diuji. Apabila yang diuji adalah antigen, maka partikel dilapisi dengan Ab spesifik, kemudian
125
direaksikan dengan specimen. Setelah itu ditambahkan Ab berlabel I (Ab*), kemudian
kompleks Ab-Ag-Ab* dipisahkan dan diukur radioaktivitasnya. Banyaknya Ab* yang terikat
merupakan ukuran untuk kadar Ag dalam specimen. Tehnik ini disebut tehnik sandwich dan
merupakan tehnik yang banyak digunakan. Suatu modifikasi tehnik sandwich adalah setelah
specimen direaksikan dengan partikel berlapis Ab, ditambahkan Ab spesifik yang tidak berlabel,
baru kemudian dibubuhkan anti – Ig universal berlabel 125I (anti – Ig*).(2)
KESIMPULAN
Ø Istilah alergi dikemukan pertama kali oleh Von Pirquet pada tahun 1906 yang pada
dasarnya mencakup baik respon imun berlebihan yang menguntungkan seperti yang terjadi pada
vaksinasi, maupun mekanisme yang merugikan dan menimbulkan penyakit.
Ø Penyakit alergi umum didapatkan dalam praktek sehari-hari, dan akhir-akhir ini telah
terjadi peningkatan dalam angka kejadian alergi.
Ø Diperlukan metode yang baik dalam mendeteksi alergi dan dikenal dua jenis pemeriksaan
yaitu secara in vivo dan secara invitro
Ø Pemeriksaan secara in vivo terdiri dari uji kulit (scratch test, skin prick test, intradermal
test, dan patch test) dan uji provokasi.
Ø Sedangkan secara in vitro banyak jenis metode yang telah dikembangkan namun yang
sering digunakan adalah metode RAST (RIA) dengan menggunakan radioisotope dan metode
ELISA yang menggunakan enzim.
Ø Pemeriksaan secara in vivo lebih sensitive daripada secara invitro.
DAFTAR PUSTAKA
1. Malcolm N. Blumenthal, M.D, Kelainan Alergi Pada Pasien THT dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit THT BOIES, Edisi 6, Cetakan ke – 3, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1997.
Hal : 190 – 199
2. Siti Boedina Kresno, Penyakit Alergi dalam IMUNOLOGI : Diagnosis dan Prosedur
Laboratorium, Edisi Keempat, Cetakan ke – 3 Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta, 2007, Hal : 315 – 338.
3. James T.Lim MD, PH.D Allergy Testing dalam Journal American Family Physician,
volume 66, nomor 4, Mayo Clinic and Foundation, Rochester, Minnesota, 15 Agustus, 2002.
Hal : 621 – 624. www.aafp.org/afp
4. Richard M. O’Brien, Abnormal Laboratory Result Skin Prick Testing and In Vitro
Assays for Allergic Sensitivity, dalam Australian Prescriber, volume 25, nomor 4, 2002.
5. K.J.LEE, MD, FACS, Immunology dan Allergy in Essential Oto laryngology Head and
Neck Surgery, Eight Edition in International Edition, Medical Publishing Division McGraw-Hill
company, Inc. 2003. Page : 273 - 301
6. Rudolf Probst, Gerhard Grevers and Heinrich Iro, Special Rhinologic Test in Basic
otorhinolaryngology.
7. Sujudi, Suharto, A. Soebandrio, Hipersensitivitas dalam BUKU AJAR
MIKROBIOLOGI KEDOKTERAN, Edisi Revisi, Binarupa Aksara, Jakarta, 1994
8. Henny Kartikawati, Tes Cukit (Skin Prick Test) Pada Diagnosis Penyakit Alergi, Bagian
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan – Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran
Universitas Dipenogoro RS. Kariadi Semarang, 2007.
http://hennykartika.wordpress.com/2007/03/08/skin-test/
9. Anonymous, Alergy Testing in CIGNA HEALTHCARE COVERAGE POSITION.
10. Jonathan Brostoff, Prof. Michael Radcliffe, Dr. in Allergy Skin Test.
http://www.allergyclinic.co.uk/tests_skin.htm
11. Adrian Morris, Dr. Allergen Skin Prick Testing in Allsa Position Statement. Current
Allergy & Clinical Immunology, Vol 19 No. 1. March 2006
12. Anonymous, Alergy Testing in www.allergyinatlanta.com
13. G Lowe Dr. Pacth Testing, National Eczema Society Hiil House, Highgate Hill London,
N19 5NA. www.Eczema.org
14. Anonymous, Patch Test (Contac Allergy Testing), New Zealand Dermatology Society
Incorporated. www.dermnetnz.org
15. Anonymous, Allergy Testing Description of Procedure or Service, Corporate Medical
Policy, Blue Cross Blue Shield Of North Carolina.