Anda di halaman 1dari 64

1

MAKALAH
KONSEP DAN ASUHAN KEPERAWATAN
PADA CIDERA KEPALA DAN CEDERA SPINAL
(Dikumpulkan Sebagai Tugas Keperawatan Medikal Bedah III)

OLEH:
KELOMPOK V
1. MARIA DIAN NURFITA NIM R011191028
2. CiTA SETYO DEWI NIM R011191029
3. NURHAYATI NIM R011191054
4. RAHMANIA NIM R011191111
5. JULHAIDIN NIM R011191144

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2019
2

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT hanya atas ridho dan perkenan-Nya pada hari yang
berbahagia ini kami dapat menyelesaikan “Makalah Konsep Dan Asuhan Keperawatan Pada
Cidera Kepala Dan Cedera Spinal” sebagai salah satu tugas Keperawatan Medikal Bedah III
, Mahasiswa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Hasanuddin , Makssar tahun 2019.
Makalah ini memuat uraian tentang Konsep Dasar pada Cidera Kepala dan Cidera
Spinal, Review Anatomi dan fisiologi, serta Asuhan Keperawatannya. Informasi tentang
standar-standar Penatalaksanaan dan Konsep Asuhan Keperawatan meliputi tahapan proses
keperawatan yaitu Pengkajian, Analisa Data, Diagnosa, Pembuatan Rencana Asuhan
Keperawatan berdasarkan NANDA 2018-2021 serta penerapannya berdasarkan NOC dan NIC
yang diberikan dalam buku ini diharapkan dapat menjadi acuan praktis dalam penerapannya
oleh mahasiswa Keperawatan ataupun perawat pada umumnya.
Kami menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada semua pihak yang telah terlibat dan memberikan kontribusinya dalam penyusunan
makalah ini serta penambahan materi dalam diskusi panel sebelum makalah ini kami susun
kembali dalam bentuk makalah. Adapun makalah ini sewaktu-waktu perlu ditinjau kembali
untuk disempurnakan sesuai dengan perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan serta
teknologi kedokteran dan keperawatan.
Akhirnya semoga “Makalah Konsep Dan Asuhan Keperawatan Pada Cidera Kepala
Dan Cedera Spinal” ini dapat bermanfaat bagi kita semua.Terima Kasih.

Makassar, Oktober 2019


Hormat Kami,

Penyusun
3

TIM PENYUSUN

MAKALAH
KONSEP DAN ASUHAN KEPERAWATAN
PADA CIDERA KEPALA DAN CEDERA SPINAL
(Dikumpulkan Sebagai Tugas Keperawatan Medikal Bedah III)

KELOMPOK V

1. MARIA DIAN NURFITA NIM R011191028


2. CiTA SETYO DEWI NIM R011191029
3. NURHAYATI NIM R011191054
4. RAHMANIA NIM R011191111
5. JULHAIDIN NIM R011191144

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2019
4

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………........................................................................................................1
KATA PENGANTAR ............................................................................................................... 2
TIM PENYUSUN ..............................……............................................................................... 3
DAFTAR ISI…………………… .............................................................................................4
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………………..…...5
BAB II KONSEP DASAR CIDERA KEPALA…....................................................................... 7
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN PADA CIDERA KEPALA …......................................... 17
BAB IV KONSEP DASAR CIDERA SPINAL….......................................................................32
BAB V ASUHAN KEPERAWATAN PADA CIDERA SPINAL …......................................... 51
BAB VI PENUTUP………………………………………………………………………………… 63
DAFTAR PUSTAKA ……………..........................................................................................64
5

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Di Amerika Serikat, Traumatic Brain Injury (TBI) atau biasa kita sebut
dengan Cidera Otak atau cidera kepala adalah masalah kesehatan masyarakat yang
serius yang mengakibatkan kematian dan kecacatan bagi ribuan orang setiap tahun
(Center For Disease Control And Preventions (CDC)). Sedangkan Menurut World
Health Organization (WHO), Spinal Cord Injury (SCI) merupakan kondisi medis yang
kompleks dan mengganggu kehidupan. SCI terjadi karena cedera akut elemen saraf
tulang belakang, termasuk sumsum tulang belakang dan cauda equina. (Otier et al,
2014)
Berdasarkan data Center For Disease Control And Preventions (CDC)
tahun 2014 Pada tahun 2014, ada sekitar 2,87 juta TBI-EDHD di Amerika Serikat
dari total 2,53 juta kunjungan terkait TBI, termasuk diantaranya > 812,00 kasus terjadi
pada anak-anak, sekitar 288.000 kasus dirawat inap terkait TBI, dengan kasus
kematian 56.800 terkait TBI, termasuk 2.529 terjadi di antara anak-anak.Di wilayah
Asia Pasifik (Australia) terdapat 300 sampai 400 kasus baru per tahunnya. Di
Singapura setiap tahunnya terdapat sekitar 23 kasus per satu juta populasi (sekitar
6325 kasus baru) (Lim & Tow, 2007). Begitu juga yang terjadi di Indonesia, kasus SCI
semakin banyak terjadi tiap tahunnya (Nurhidayah, 2015).
Di Indonesia khususnya kasus TBI dan kasus Cidera spinal saling terkait
dengan penyebab tertinggi adalah kasus kecelakaan lalu lintas. Pengaruh yang
menyebabkan variasi dampak tiap penderita Trumatic Brain Injury (TBI) dan Spinal
Cord Injury( SCI) beragam, antara lain; usia terjadinya cedera, tingkat cedera,
ketersediaan dan waktu sumber daya dan jasa, lingkungan tempat tinggal orang
tersebut, fisik, sosial, ekonomi dan sikap. Dampak yang terjadi akibat TBI dan SCI
juga beragam, mulai dari dari yang gejala paing ringan seperti pusing, mual, muntah,
tekanan pada belakang leher, cedera punggung intens, perubahan posisi tulang
leher, kehilangan kontrol dalam berkemih, dan mati rasa pada jari kaki dan tangan.
Dampak kritis lainnya bagi penderita SCI yaitu gangguan pernafasan, kelumpuhan
organ gerak, gangguan berjalanan dan keseimbangan hingga kematian.
Oleh Karena itu Pentingnya pengetahuan tentang konsep dasar baik
anatomi fisiologi, etiologi, penataksanaan dan proses keperawatan pada kasus
Traumatic Brain Injury (TBI) dan Spinal Cord Injury(SCI) sangat perlu diketahui
6

dengan terperinci oleh seorang pemberi asuhan keparawatan. Sehingga pada


kesempatan ini kami merasa perlu untuk membuat makalah tentang “ Konsep dan
Asuhan Keperawatan Pada Cedera Kepala dan Cidera Spinal” sebagai salah satu
bahan rujukan bagi mahasiswa keperawatan dalam proses keperawatan khususnya
Keperawatan Medikal Bedah.

B. Tujuan
B.1. Tujuan Umum
Meningkatkan mutu layanan pelayanan kesehatan melalui Peningkatan
Kompetensi Pemberi Asuhan Keparawatan khususnya Perawat pada Kondisi
Cidera Kepala dan Cidera Spinal
B.2. Tujuan Khusus
1. Menggerakkan segala sumber daya yang ada secara efektif dan efisien dalam
Peningkatan Kompetensi Pemberi Asuhan Keparawatan khususnya Perawat
pada Kondisi Cidera Kepala dan Cidera Spinal
2. Mengetahui pengertian trauma kepala, etiologi, klasifikasi, patofisiologi,
manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang dan penatalaksanaan pasien
dengan cidera Kepala dan cidera spinal
3. Menurunkan angka kejadian komplikasi pada Kondisi Cidera Kepala dan Cidera
Spinal
4. Meningkatkan pengetahuan perawat tentang perawatan pada Cidera Kepala
dan Cidera Spinal
5. Meningkatkan pengetahuan perawat tentang asuhan Keperawatan pada Cidera
Kepala dan Cidera Spinal
6. Mengetahui masalah keperawatan dan asuhan keperawatan pasien dengan
trauma kepala.

C. Ruang Lingkup
Makalah ini akan membahas konsep teori dan masalah keperawatan pasien dengan
trauma kepala serta asuhan keperawatan pasien dengan trauma kepala.
7

BAB II
KONSEP DASAR CIDERA KEPALA

A. DEFINISI
Trauma Kepala merupakan trauma yang mengenai otak yang dapat mengakibatkan
perubahan fisik secara intelektual, emosional dan social (Juda and Rahil , 2011)

Review Anatomi Sistem Susunan Saraf Pusat

Susunan Saraf pusat (Sistem Serebrospinal)terdiri atas


1) Otak
Otak dibagi menjadi batang otak, serebrum, dan serebelum. Kecuali saraf kranial
pertama, saraf kranial berasal dari batang otak. Batang otak dan medula spinalis
saling berhubungan. Kesadaran berasal dari interaksi antara serebrum dan batang
otak. Serebelum terutama berfungsi untuk koordinasi.
Otak kecil dibagi tiga daerah yaitu otak depan, otak tengah, dan otak belakang.
1) Otak depan meliputi :
8

a) Hipotalamus, merupakan pusat pengatur suhu, selera makan,


keseimbangan cairan tubuh, haus, tingkah laku, kegiatan reproduksi,
meregulasi pituitari.
b) Talamus, merupakan pusat pengatur sensori, menerima semua rangsan
yang berasal dari sensorik cerebrum.
c) Kelenjar pituitary, sebagai sekresi hormon.
2) Otak Tengah dengan bagian atas merupakan lobus optikus yang merupakan
pusat refleks mata.
3) Otak Belakang, terdiri atas dua bagian yaitu otak kecil dan medulla oblongata.
Medula oblongata berfungsi mengatur denyut jantung, tekanan darah, mengatur
pernafasan, sekresi ludah, menelan, gerak peristaltic, batuk, dan bersin.

B. ETILOGI
B.1. Kecelakaan kendaran bermotor, jatuh, kecelakaan industry, serangan yang
berhubungan olah raga, persalinan.
B.2. Menurut Masjoer, Cidera Kepala disebabkan sebagian besar kematian dan
kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat
kecelakaan lalu lintas

C. KLASIFIKASI
Cedera kepala dapat dilasifikasikan sebagai berikut :
C.1. Berdasarkan Mekanisme
a. Trauma Tumpul
Trauma tumpul adalah trauma yang terjadi akibat kecelakaan kendaraan
bermotor, kecelakaan saat olahraga, kecelakaan saat bekerja, jatuh, maupun
cedera akibat kekerasaan (pukulan).
b. Trauma Tembus
Trauma yang terjadi karena tembakan maupun tusukan benda-benda
tajam/runcing.
C.2. Berdasarkan Beratnya Cidera
Cedera kepala berdasarkan beratnya cedera didasarkan pada penilaian Glasgow
Scala Coma (GCS) dibagi menjadi 3, yaitu :
a. Cedera kepala ringan
1. GCS 13 - 15
2. Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30
menit.
3. Tidak ada fraktur tengkorak, kontusio serebral dan hematoma
9

b. Cedera kepala sedang


1. GCS 9 - 12
2. Saturasi oksigen > 90 %
3. Tekanan darah systole > 100 mmHg
4. Lama kejadian < 8 jam
5. Kehilangan kesadaran dan atau amnesia > 30 menit tetapi < 24 jam
6. Dapat mengalami fraktur tengkorak
c. Cedera kepala berat
1. GCS 3 – 8
2. Kehilangan kesadaran dan atau amnesia >24 jam
3. Meliputi hematoma serebral, kontusio serebral
C.3. Berdasarkan Morfologi
a. Cedera kulit kepala
Cedera yang hanya mengenai kulit kepala. Cedera kulit kepala dapat menjadi
pintu masuk infeksi intrakranial.
b. Fraktur Tengkorak
terbagi atas 3 klasifikasi yaitu
1. Fraktur tengkorak Linear
Muncul garis tipis pemeriksaan Rotgen atau sinar X dan tidak memerlukan
pngobatan khusus
2. Fraktur tengkorak Depresi
Dapat diraba dan terlihat pada foto rotgen
3. Fraktur Tengkorak Basiler
Terjadi pada tulang-tulang yang berada pada Lobus Frontal Dan Temporal
sehingga kondisi ini tidak Nampak dalam Rotgen.
c. Cedera Otak
1. Commotio Cerebri (Gegar Otak)
Commotio Cerebri (Gegar Otak) adalah cidera otak ringan karena
terkenanya benda tumpul berat ke kepala dimana terjadi pingsan < 10
menit.
Dapat terjadi gangguan yang timbul dengan tiba-tiba dan cepat berupa
a. sakit kepala,
b. mual,
c. muntah, dan
d. pusing.
e. Pada waktu sadar kembali, pada umumnya kejadian cidera tidak
diingat (Amnezia Antegrad), tetapi biasanya korban/pasien tidak
10

diingatnya pula sebelum dan sesudah cidera (Amnezia Retrograd


dan Antegrad).
Pada Kasus gegar otak yang terjadi jika penurunan kesadaran sampai
dengan koma yang berlangsung lebih dari 1 jam dapat
diperkirakanberubah menjadi cidera kepala lebih berat dan mungkin
terjadi komplikasi kerusakan jaringan otak yang berkepanjangan.
2. Contusio Cerebri (Memar Otak)
Merupakan perdarahan kecil jaringan akibat pecahnya pembuluh darah
kapiler. Hal ini terjadi bersama-sama dengan rusaknya jaringan saraf/otak
di daerah sekitarnya. Di antara yang paling sering terjadi adalah
kelumpuhan Nervus Facialis atau Nervus Hypoglossus, gangguan bicara,
yang tergantung pada lokalisasi kejadian cidera kepala.
Contusio pada kepala adalah bentuk paling berat, disertai dengan
a. gegar otak encephalon dengan timbulnya tanda-tanda koma,
b. sindrom gegar otak pusat encephalon dengan tanda-tanda
 gangguan pernapasan,
 gangguan sirkulasi paru - jantung yang mulai dengan
bradikardia, kemudian takikardia,
 meningginya suhu badan,
 muka merah,
 keringat profus, serta
 kekejangan tengkuk atau kaku kuduk yang tidak dapat
dikendalikan (decebracio rigiditas).
3. Perdarahan Intrakranial
a. Epiduralis Haematoma
adalah terjadinya perdarahan antara tengkorak dan durameter akibat
robeknya arteri meningen media atau cabang-cabangnya. Epiduralis
haematoma dapat juga terjadi di tempat lain, seperti pada frontal,
Parietal, Occipital Dan Fossa Posterior.
b. Subduralis haematoma
Subduralis haematoma adalah kejadian haematoma di antara
durameter dan corteks, dimana pembuluh darah kecil vena pecah
atau terjadi perdarahan.
Kejadiannya keras dan cepat, karena tekanan jaringan otak ke arteri
meninggia sehingga darah cepat tertuangkan dan memenuhi rongga
antara durameter dan corteks. Kejadian dengan cepat memberi
11

tanda-tanda meningginya tekanan dalam jaringan otak (TIK =


Tekanan Intra Kranial).
c. Subrachnoidalis haematoma
Kejadiannya karena perdarahan pada pembuluh darah otak, yaitu
perdarahan pada permukaan dalam duramater. Bentuk paling sering
dan berarti pada praktik sehari-hari adalah perdarahan pada
permukaan dasar jaringan otak, karena bawaan lahir aneurysna
(pelebaran pembuluh darah). Ini sering menyebabkan pecahnya
pembuluh darah otak.
d. Intracerebralis Haematoma
Terjadi karena pukulan benda tumpul di daerah korteks dan
subkorteks yang mengakibatkan pecahnya vena yang besar atau
arteri pada jaringan otak. Paling sering terjadi dalam subkorteks.
Selaput otak menjadi pecah juga karena tekanan pada durameter
bagian bawah melebar sehingga terjadilah Subduralis Haematoma.
C.4. Berdasarkan Patofisiologi
a. Cedera kepala primer
Akibat langsung pada mekanisme dinamik (akselerasi-deselerasi rotasi) yang
menyebabkan gangguan pada jaringan. Pada cedera primer dapat terjadi gegar
kepala ringan, memar otak dan laserasi.
b. Cedera kepala sekunder
Pada cedera kepala sekunder akan timbul gejala, seperti
 hipotensi sistemik,
 hipoksia,
 hiperkapnea,
 edema otak,
 komplikasi pernapasan, dan
 infeksi / komplikasi pada organ tubuh yang lain.

D. PATOFISIOLOGI
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi.
Energi yang dihasilkan di dalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi.
Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun
sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen
sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan
menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa
12

tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala
permulaan disfungsi cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen
melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada
kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat
metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik. Dalam keadaan
normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml/menit/100 gr. jaringan otak, yang
merupakan 15 % dari cardiac output dan akibat adanya perdarahan otak akan
mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan
pembuluh darah arteriol akan berkontraksi
Menurut Long (1996) trauma kepala terjadi karena cidera kepala, kulit kepala, tulang
kepala, jaringan otak. Trauma langsung bila kepala langsung terluka. Semua itu berakibat
terjadinya akselerasi, deselerasi dan pembentukan rongga. Trauma langsung juga
menyebabkan rotasi tengkorak dan isinya, kekuatan itu bisa seketika/menyusul rusaknya
otak dan kompresi, goresan/tekanan. Cidera akselerasi terjadi bila kepala kena benturan dari
obyek yang bergerak dan menimbulkan gerakan. Akibat dari akselerasi, kikisan/konstusio
pada lobus oksipital dan frontal batang otak dan cerebellum dapat terjadi. Sedangkan cidera
deselerasi terjadi bila kepala membentur bahan padat yang tidak bergerak dengan
deselerasi yang cepat dari tulang tengkorak.
Pengaruh umum cidera kepala dari tengkorak ringan sampai tingkat berat ialah edema
otak, deficit sensorik dan motorik. Peningkatan TIK terjadi dalam rongga tengkorak (TIK
normal 4-15 mmHg). Kerusakan selanjutnya timbul masa lesi, pergeseran otot.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada
permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat,
cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak
ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada
area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan
peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa
kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan
hipotensi.
Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala “fokal” dan “menyebar”
sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk menggambarkan hasil yang lebih
khusus. Cedera fokal diakibatkan dari kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan
hematom intraserebral, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan
massa lesi, pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan dengan
kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu: cedera akson
menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multipel
13

pada seluruh otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan karena kompresi pada
batang otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak, atau dua-
duanya.
Sedangkan patofisiologi menurut Markum (1999). trauma pada kepala menyebabkan
tengkorak beserta isinya bergetar, kerusakan yang terjadi tergantung pada besarnya getaran
makin besar getaran makin besar kerusakan yang timbul, getaran dari benturan akan
diteruskan menuju Galia aponeurotika sehingga banyak energi yang diserap oleh
perlindungan otak, hal itu menyebabkan pembuluh darah robek sehingga akan
menyebabkan haematoma epidural, subdural, maupun intracranial, perdarahan tersebut juga
akan mempengaruhi pada sirkulasi darah ke otak menurun sehingga suplay oksigen
berkurang dan terjadi hipoksia jaringan akan menyebabkan odema cerebral.
Akibat dari haematoma diatas akan menyebabkan distorsi pada otak, karena isi otak
terdorong ke arah yang berlawanan yang berakibat pada kenaikan T.I.K (Tekanan Intra
Kranial) merangsang kelenjar pituitari dan steroid adrenal sehingga sekresi asam lambung
meningkat akibatnya timbul rasa mual dan muntah dan anaroksia sehingga masukan nutrisi
kurang (Satya, 1998).

E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan
jaringan otak. Ini diperlukan untuk mengetahui adanya infark/iskemia jangan dilekukan
pada 24 - 72 jam setelah injuri.
2. MRI
Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
3. Cerebral Angiography
Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan otak sekunder
menjadi edema, perdarahan dan trauma.
4. EEG (Elektroencepalograf)
Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
5. X-Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
6. BAER
Mengoreksi batas fungsi Corteks dan otak kecil
7. PET
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
8. CSF, Lumbal Pungsi
14

Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan Subarachnoid dan untuk


mengevaluasi/mencatat peningkatan tekanan cairan Serebrospinal.
9. ABGs
Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi
peningkatan tekanan intrakranial (TIK)
10. Kadar Elektrolit
Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan
intrakranial (TIK)
11. Screen Toxicologi
Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan kesadaran.

F. PENATALAKSANAAN
Secara umum penatalaksanaan therapeutik pasien dengan trauma kepala adalah sebagai
berikut:
1. Observasi 24 jam
2. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
a. Makanan atau cairan, pada trauma ringan bila muntah-muntah, hanya cairan infus
dextrosa 5 %, amnifusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2 -
3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
3. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
4. Pada anak diistirahatkan atau tirah baring.
5. Terapi obat-obatan.
a. Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai
dengan berat ringanya trauma.
b. Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi vasodilatasi.
c. Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20 % atau glukosa 40
% atau gliserol 10 %.
6. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin) atau untuk infeksi anaerob
diberikan metronidasol.
7. Pada trauma berat. karena hari-hari pertama didapat penderita mengalami penurunan
kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka hari-hari pertama
(2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextosa 5 % 8 jam pertama, ringer dextrosa 8
jam kedua dan dextrosa 5 % 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran
rendah makanan diberikan melalui nasogastric tube (2500 - 3000 TKTP).
8. Pembedahan bila ada indikasi.

G. KOMPLIKASI
15

1. Hemorrhagie
2. Infeksi
3. Edema serebral dan herniasi
4. Perubahan Kesadaran
5. Koma
6. Vegetatif
7. Minimali Conciostate
8. Lobskit In Syndrome
9. Kematian otak
10. Kejang
11. Peningkatan TIK
Skala Koma glasgow (GCS)
NO KOMPONEN NILAI HASIL
1 VERBAL 1 Tidak berespon
2 Suara tidak dapat dimengerti, rintihan
3 Bicara kacau/kata-kata tidak tepat/tidak nyambung dengan
pertanyaan
4 Bicara membingungkan, jawaban tidak tepat
5 Orientasi baik
2 MOTORIK 1 Tidak berespon
2 Ekstensi abnormal
3 Fleksi abnormal
4 Menarik area nyeri
5 Melokalisasi nyeri
6 Dengan perintah
3 Reaksi 1 Tidak berespon
membuka 2 Rangsang nyeri
mata (EYE) 3 Dengan perintah (rangsang suara/sentuh)
4 Spontan

c. Fungsi motorik
Setiap ekstremitas diperiksa dan dinilai dengan skala berikut yang digunakan secara
internasional :
RESPON SKALA
Kekuatan normal 5
16

Kelemahan sedang 4
Kelemahan berat (antigravity) 3
Kelemahan berat (not antigravity) 2
Gerakan trace 1
Tak ada gerakan 0
17

BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA CIDERA KEPALA

A. PENGKAJIAN
A.1. Pengkajian Data Dasar
Meliputi nama, tanggal lahir, tempat tinggal, nama orang tua (ibu kanduang ) sesuai
dengan Standard yang berlaku (Sasaran Keselamatan Pasien penandaan identitas
menggunakan nama diikuti nama ibu kandung bila nama terdiri dari 1 kata misalnya
Maemunah binti Jaenab(nama ibu))
A.2. Anamnesis Riwayat Penyakit
a. Keluhan Utama
Cedera Kepala mempunyai keluhan atau gejala utama yang berbeda-beda
tergantung letak lesi dan luas lesi. Keluhan utama yang timbul seperti nyeri kepala,
rasa bebal, kekakuan pada leher atau punggung danmual, muntak, sakit kepala
sampai pada penurunan kesadaran.
b. Riwayat Penyakit Saat Ini
Pengkajian ini sangat penting dalam menentukan derajat kerusakan dan adanya
kehilangan fungsi neurologi spinalis dapat mengalami cedera melalui beberapa
mekanisme, cedera primer meliputi satu atau lebih proses berikut dan gaya :
kompresi akut, benturan, destruksi, laserasi dan trauma tembak.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Penyakit seperti Reumatoid Artritis, Pseudohipoparatiroid, Spondilitis, Ankilosis,
Osteoporosis, Hernia Nukleus Pulpusus (HNP) maupun Tumor ganas biasanya
menjadi faktor predisposisi
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu ditanyakan riwayat penyakit keluarga yang dapat memperberat cedera
spinalis seperti asma, kanker, Hipertensi, Diabetes militus dan beberapa penyakit
hereditary yang dapat memperberat kondisi

A.3. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik mengacu pada pengkajian B1-B6 dengan pengkajian focus
ditujukan pada gejala-gejala yang muncul akibat cedera kepala

Keadaan umum : Pada keadaan cidera kepala umumnya mengalami penurunan


kesadaran. dengan keluhan utama biasanya nyeri Kepala atau sebaliknya tidak
merasakan nyeri Adanya perubahan pada tanda-tanda vital, meliputi bradikardi dan
hipotensi disertai kecemasan
18

B1 (BREATHING)
a. Perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada jenis cidera kepalanya
b. Pergerakan dinding dada simetris, tidak ada batuk, nafas dada cepat dan
dangkal, sesak nafas, frekuensi nafas <16 x/menit. Suara nafas tidak baik, ada
weezing.
c. ada pernafasan cuping hidung,
B2 (BLOOD)
a. peningkatan resiko syok hipovolemik yang sering terjadi pada klien cedera kepala
b. Penurunan tekanan darah
c. bradikardi
d. Adanya perubahan-perubahan warna kulit, kelemahan otot, adanya sianosis
e. ada otorrhoe (cairan serebrospinal keluar dari telinga), battle sign (warna biru atau
ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid), dan memotipanum (perdarahan di
daerah membrane timpani telinga))
B3 (BRAIN)
a. tingkat kesadaran GCS cenderung compos mentis tergantung lesi/luka/ keparahan
cidera
b. pada kondisi tertentu GCS dinilai 5-15
c. pengkajian fungsi serebral dan pengkajian saraf kranial.
d. konjungtiva warna pucat, sclera putih, pupil anisokor, reflex pupil tidak teratur, pupil
tidak bereaksi terhadap rangsangan cahaya, gerakan mata tidak normal, banyak
sekret)
e. Pengkajian tingkat kesadaran : tingkat keterjagaan klien dan respon terhadap
lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem persyarafan.
f. Pengkajian fungsi serebral : status mental observasi penampilan, tingkah laku nilai
gaya bicara dan aktivitas motorik klien
g. Pengkajian sistem motorik : inspeksi umum didapatkan kelumpuhan pada ekstermitas
bawah, baik bersifat paralis, paraplegia, maupun quadriplegia
h. Mengalami deformitas, postur, nyeri tekan
B4 (BLADDER)
a. Penurunan jumlah urine
b. peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat menurunnya perfusi pada ginjal.
B5 (BOWEL)
gejala awal dari tahap syok spinal yang akan berlangsung beberapa hari sampai
beberapa minggu akan ditemukan neuropraksia sering didapatkan adanya ileus
paralitik, dimana klinis didapatkan hilangnya bising usus, kembung,dan defekasi,
tidak ada.
19

B6 (BONE)
Tulang tengkorak : Inspeksi (bentuk mesocepal, ukuran kranium, ada deformitas, ada
luka, tidak ada benjolan, tidak ada pembesaran kepala) Palpasi (ada nyeri tekan, ada
robekan)
Kulit kepala : Inspeksi (kulit kepala tidak bersih, ada lesi, ada skuama, ada kemerahan)

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
B.1. Penurunan kapasitas adaptif intrakranial
B.2. ketidak efektifkan perkusi jaringan perifer cerebral
B.3. Ketidakefektifan pola pernapasan
B.4. Hambatan mobilitas fisik
B.5. ketidakefektifan perfusi jaringan perifer
B.6. Resiko Cedera
B.7. Resiko Cedera Saluran kemih
B.8. Konstipasi
B.9. Nyeri Akut
B.10. Ansietasl
20
B. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

DIAGNOSA
NO NOC NIC
KEPERAWATAN
1. Domain 9 Koping/ Domain 2 Kesehatan fisiologi 2620 Monitor neurologi

Toleransi stress Kelas 1 Neurokognitif 1. Pantau ukuran pupil, bentuk, kesimetrisan dan

Kelas 3 Stres 0910 Status Neurologi Otonomik reaktivitas

Neurobehavioral Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2. Monitor tingkat kesadaran

00049 Penurunan diharapkan tidak terjadi penurunan kapasitas 3. Monitor tanda-tanda vital : suhu, tekanan darah,

Kapasitas Adaptif adaptif intracranial dengan kriteria hasil : denyut nadi dan respirasi

Intrakranial 1. Denyut jantung apikal dalam kisaran normal 4. Hindari kegiatan yang bisa meningkatkan

2. Denyut nadi radial dalam kisaran normal tekanan intracranial

3. Tekanan darah sistolik dalam kisaran normal 5. Beri jarak kegiatan keperawatan yang

Tekanan darah diastolik dalam kisaran normal diperlukan yang bisa meningkatkan tekanan

intrakranial

2. Domain 4 Aktifitas/ Istirahat Domain 2 Kesehatan fisiologis 2590 Monitor tekanan intracranial (TIK)

Kelas 4 Respons Kelas E Jantung paru 1. Bantu menyisipkan perangkat pemantauan TIK

Kardiovaskular/ Pulmonal 0406 Perfusi jaringan cerebral 2. Rekam pembacaan tekanan TIK
21
00201 Risiko Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3. Monitor kualitas dan karakteristik gelombang

Ketidakefektifan Perfusi diharapkan perfusi jaringan serebral efektif TIK

Jaringan Cerebral dengan outcome : 4. Monitor tekanan aliran darah keotak

1. Tekanan intracranial dalam kisaran normal 5. Periksa pasien terkait ada tidaknya gejala kaku

2. Tekanan darah sistolik dalam kisaran normal kuduk

3. Tekanan darah diastolic dalam kisaran normal 6. Letakkan kepala dan leher pasien dalam posisi

4. Sakit kepala, kegelisahan, penurunan tingkat netral, hindari fleksi pinggang yang berlebihan

kesadaran tidak ada 7. Sesuaikan kepala tempat tidur untuk

5. Napas normal mengoptimalkan perfusi serebral

6. tidak terjadi apneu

7. tidak terjai penurunan kesadaran

3 Domain 4 Aktivitas Domain 1 : Fungsi kesehatan Exercise therapy : ambulation


Istirahat Kelas C : Mobilitas 1. Monitoring vital sign sebelm/sesudah latihan
Kelas 2 Aktivitas/ Olah Ambulasi (0200) dan lihat respon pasien saat latihan
Raga Outcome : 2. Konsultasikan dengan terapi fisik tentang
Hambatan mobilitas fisik Klien dapat meningkatkan/mempertahankan rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan
(00085) mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin 3. Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat
22
Batasan karakteristik : dapat mempertahankan posisi fungsional berjalan dan cegah terhadap cedera
a. Penurunan waktu reaksi meningkatkan kekuatan/fungsi yang sakit dan 4. Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain
b. kesulitan membolak mengkompensasi bagian tubuh menunjukkan tentang teknik ambulasi
balik posisi tekhnik yang memampukan melakukan aktivitas· 5. kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
c. melakukan aktivitas lain Klien meningkat dalam aktivitas fisik dengan 6. Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan
sebagai pengganti outcome: ADLs secara mandiri sesuai kemampuan
pergerakan 1. Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas 7. Dampingi dan Bantu pasien saat mobilisasi dan
d. dispnea setelah 2. Memverbalisasikan perasaan dalam bantu penuhi kebutuhan ADLs ps.
beraktivitas meningkatkan kekuatan dan kemampuan 8. Berikan alat Bantu jika klien memerlukan.
e. perubahan cara berjalan berpindah 9. Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan
f. gerakan bergetar 3. Memperagakan penggunaan alat Bantu berikan bantuan jika diperlukan
g. keterbatasan untuk mobilisasi (walker) Pengaturan Posisi
pengetahuan melakukan 1. Mengetahui tingkat kemampuan klien dalam
ketrampilan motorik melakukan aktivitas.
halus 1. Menurunkan rsiko terjadinya iskemia jaringan
h. keterbatasan melakukan akibat sirkulassi darah yang jelek pada daerah
ketrampilan motorik yang tertekan.
kasar 2. Gerakan aktif memberikan massa, tonus, dan
i. keterbatasan rentang kekuatan otot serta memperbaiki fungsi jantung
pergerakan sendi dan pernafasan.
j. tremor akibat 3. Otot volumter akan kehilangan tonus dan
pergerakan kekuatanya bila tidahk dilatih untuk digerakan
k. ketidak stabilan postur 4. Telapak kaki dalam posisi 90 derajat dalam
23
l. pergerakan lambat mencegah footdrop.
b. m) pergerakan tidak 5. Deteksi dini adanya gangguan sirkulai dan
terkoordinasi hilangnya sensasi resiko tinggi kerusakan
integritass kulit kemungkinan komplikasi
imobilisasi.
6. untuk memelihara fleksibelitas sendi sesui
kemampuan.
7. Mempertahankan posisi tulang belakang tetap
rata.
8. Dilakukan untuk menegakan postur ddan
menguatkan otot-otot spinal.
9. Peningkatan kemampuan dalam mobilisasi
ekstremitas dapat ditingkatkan dengan latihan
fisik dari tim fisio terapis.

4
Domain 4 : Aktivitas/ Domain II : Kesehatan Fisiologis 1. Lakukan pengkajian yang komprehensif
Istirahat Kelas E : Status Sirkulasi (0401) terhadap sirkulasi perifer
Kelas 4 : Ketidakefektifan
2. 2. Pantau status cairan
perfusi jaringan Perifer Domain II: Kesehatan Fisiologis 3. Monitor TTV
(00204) Kelas G : Keseimbangan cairan (0601) 4. Monitor tekanan perfusi serebral
Definisi : Penurunan 5. Monitor intake dan output cairan
oksigen yang Outcome 6. Catat respon pasien terhadap stimuli
mengakibatkan kegagalan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 7. posisikan pasien pada posisi semi fowler
24

pengantaran nutrisi ke Keseimbangan cairan dapat dipertahankan pada 8. Instruksikan keluarga untuk mengobservasi
jaringan pada tingkat rentang banyak terganggu (2) ditingkatkan pada kulit jika ada lesi atau laserasi
kapiler. Sedikit terganggu (4) , yang dibuktikan dengan : 9. Gunakan sarung tangan untuk proteksi
1. tekanan darah normal 10. Kolaborasi pemberian intravena.
Batasan Karakterisik : 2. turgor kulit tidak kering 11. Dorong masukan oral
Perubahan tekanan 12. Atur kemungkinan transfusi
darah pada ekstermitas 13. Persiapan untuk transfusi
Nadi arteri lemah Health Education
Perubahan suhu kulit 1. Ajarkan pasien/keluarga tenghindari suhu
Nadi lemah atau tidak ekstrem pada ekstermitas
teraba 2. Anjurkan pasien untuk melaporkan tanda
Faktor yang Berhubungan : dan gejala yang ditimbulkan
Perubahan kemampuan 3. Anjurkan pasien atau keluarga untuk
Hb untuk mengikat oksigen memeriksa kulit setiap hari untuk
Penurunan konsentrasi mengetahui perubahan integritas kulit
Hb dalam darah

5 Domain 12: Domain V: Manajemen Nyeri:


. Kenyamanan Kondisi Kesehatan yang Dirasakan 1. kaji secara komphrehensif tentang nyeri,
Kelas 1: Kelas V: meliputi: lokasi, karakteristik dan onset,
Kenyamanan Fisik Status Gejala durasi, frekuensi, kualitas,
Nyeri Akut (2102) Tingkat Nyeri intensitas/beratnya nyeri, dan faktor-faktor
Dipertahankan pada berat (1), Ditingkatkan ke presipitasi.
25
sedang (3) dengan outcome: 2. Kaji tingkat keetidaknyamanan pasien dan
- (210201) Nyeri yang dilaporkan catat perubahan dalam catatan medik dan
- (210204) Panjangnya Episode nyeri informasikan kepada seluruh tenaga yang
- (210221) Menggosok area yang terkena menangani pasien
dampak 3. Gunakan komunikasi terapeutik agar
- (210226) Ekspresi wajah pasien dapat mengekspresikan nyeri
- (210208) Tidak bisa istrahat 4. Tentukan dampak dari ekspresi nyeri
- (210217) Mengerang dan menangis terhadap kualitas hidup: pola tidur, nafsu
makan, aktifitas kognisi, mood, relationship,
pekerjaan, tanggungjawab peran.
5. Kontrol faktor-faktor lingkungan yang dapat
mempengaruhi respon pasien terhadap
ketidaknyamanan (ex: temperatur ruangan,
penyinaran, dll).
6. Modifikasi tindakan mengontrol nyeri
berdasarkan respon pasien.
7. Tingkatkan tidur/istirahat yang cukup.
8. Lakukan teknik variasi untuk mengurangi
nyeri (farmakologi, nonfarmakologi, dan
interpersonal).
9. Kolaborasikan dengan pasien, orang
terdekat dan tenaga profesional lain unntuk
memilh tenik non farmakologi.
26
Pemberian Analgesik:
1. Cek catatan medis untuk jenis obat, dosis, dan
frekuensi pemberian analgetik.
2. Kaji adanya alergi obat.
3. Monitor tanda vital sebelum dan sesudah
pemberian analgetik narkotik saat pertama kali
atau jika muncul tanda yang tidak biasanya.
4. Kaji kebutuhan akan kenyamanan atau aktivitas
lain yang membantu relaksasi untuk
memfasilitasi respon analgetik.
5. Evaluasi kemampuan pasien untuk
berpartisipasi dalam pemilihan jenis analgetik,
rute, dan dosis yang akan digunakan.
6. Pilih analgetik atau kombinasi analgetik yang
sesuai ketika menggunakan lebih dari satu obat.
7. Tentukan pilihan jenis analgetik (narkotik, non-
narkotik, atau NSAID/obat anti inflamasi non
steroid) bergantung dari tipe dan beratnya nyeri.
8. Berikan analgetik sesuai jam pemberian.
9. Dokumentasikan respon analgetik dan efek
yang muncul.
10. Kolaborasikan dengan dokter jika obat, dosis,
dan rute pemberian, atau perubahan interval
27
diindikasikan, buat rekomendasi spesifik
berdasar pada prinsip kesamaan analgetik.
Health Education :
1. Berikan informasi tentang nyeri, seperti:
penyebab, berapa lama terjadi, dan tindakan
pencegahan.
2. Anjurkan pasien untuk memonitor sendiri nyeri.
3. Informasikan kepada individu dengan
pemberian narkotik, mengantuk kadang-kadang
muncul pada 2 atau 3 hari pertama kemudian
berkurang
2590 Monitor tekanan intracranial (TIK)
1. Bantu menyisipkan perangkat pemantauan TIK
2. Rekam pembacaan tekanan TIK
3. Monitor kualitas dan karakteristik gelombang
TIK
4. Monitor tekanan aliran darah keotak
5. Periksa pasien terkait ada tidaknya gejala kaku
kuduk
6. Letakkan kepala dan leher pasien dalam posisi
netral, hindari fleksi pinggang yang berlebihan
7. Sesuaikan kepala tempat tidur untuk
mengoptimalkan perfusi serebral
28
8. Ajarkan tentang kegunaan anlgetik, strategi
untuk menurunkan efek samping, dan harapan
untuk keterlibatan pembuatan keputusan
tentang penurunan nyeri..

6
Domain 9 :
1. Tingkat ansietas Penurunan ansietas
Koping/Toleransi Stres 2. Pengendalian-Diri terhadap ansietas 1. Kaji dan dokumentasikan tingkat kecemasan
Kelas 2 : Ansietas (00146)3. Kosentrasi pasien
Definisi: Perasaan tidak
4. Koping 2. Kaji untuk factor budaya (misalnya, konflik nilai)
nyaman atau kekhawatiran yang menjadi penyebab ansietas
yang samar disertai Kriteria Hasil: 3. Menentukan kemampuan pengambilan
respons autonom (sumber Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien keputusan pasien
sering kali tidak spesifik mampu untuk: 4. Gunakan pendekatan yang tenag dan meykinka
atau tidak dikethui oleh 1. Ansietas berkurang, dibuktikan oleh bukti 5. Nyatakan dengan jelas tentang harapan
individu); perasaan takut tingkat ansietas hanya ringan sampai terhadap perilaku pasien
yang disebabkan oleh sedang, dan selalu menunjukan 6. Damping pasien /9misalnya Selma prosedur )
antisipasi terhadap bahaya. pengendalian-diri terhadap ansietas, ntuk meningkatkan keamanan dan mangurangi
Perasaan ini merupakan kosentrasi dan koping rasa takut
isyarat kewaspadaan yang 2. Menunjukan pengendalian-diri terhadap 7. Berikan pijatan punggung/pijatan leher, jika
memperingatkan ansietas, yang dibuktikan oleh indikator perlu
bahayyang akan terjadi dan sebagai berikut (sebutakan 1-5: tidak pernah, 8. Jaga peralatan perawatan jauh dari pandangan
memampukan individu jarang, kadang-kadang, sering atau selalu) : 9. Bantu pasien untuk mengidentifikasikan situasi
melakukan tindakan ntuk 3. Merencanakan strategi koping untuk situasi yang mencetuskan ansietas
29

menghadapi ancaman. penuh tekanan


Batasan Karakteristik: 4. Mempertahankan performa peran Health Education :
 Mengekspresikan 5. Memantau distorsi persepsi sensori 1. Sediakan informasi factual menyangkut
kekhawatiran akibat 6. Memantau manifestasi perilaku ansietas diagnosis, terapi, dan prognosis
perubahan dalam 7. Menggunakan tehnik relaksasi unuk 2. Instruksikan pasien tengang penggunaan
peristiwa hidup meredakan ansietas tehnik relaksasi
 gelisah 8. Meningkatkan konsentrasi dengan indicator: 3. Jelaskan semua prosedur, termasuk sensasi yg
 Memandang sekilas 9. Meneruskan aktivitas yang dibutuhkan biasanya dialami selama prosedur.
 Kontak mata buruk meskipun mengalami kecemasan
 Resah 10. Menunjukkan kemampuan untuk berfokus
 Menyelidik dan tidak pada pengetahuan dan keterampilan yang
waspada baru
 Kesedihan yang 11. Mempertahankan kemampuan koping,
mendalam dengan indicator :
 Distress 12. Mengkomunikasikan kebutuhan dan
 Ketakutan perasaan negative secara tepat.
 Perasaan tidak 13. Mengidentifikasi gejala yang merupakan
adekuat indicator ansietas pasien sendiri.
 Fokus pada diri sendiri
 Gugup
 Wajah tegang
 Peningkatan keringat
 Terguncang
30

 Tremor di tangan
 Suara bergetar
 Kesadaran terhadap
gejala-gejala fisiologis
 Konfusi
 Penurunan lapang
pandang kesulitan
untuk berkonsentrasi
 Melamun
Faktor yang Berhubungan:
 Transmisi dan
penularan
interpersonal
 ancaman kematian
 Ancaman atau
perubahan pada status
peran, fungsi peran,
lingkungan, status
kesehatan, status
ekonomi, atau pola
interaksi
 Ancaman terhadap
konsep diri
31

 Kebutuhan yang tidak


terpenuhi
 Konflik yang tidak
disadari tentang nilai
dan tujuan hidup yang
esensial
32

BAB IV
KONSEP DASAR TRAUMA SPINAL

A. ANATOMI FISIOLOGI
Vertebra dimulai dari cranium sampai pada apex coccigeus, membentuk skeleton dari
leher, punggung dan bagian utama dari skeleton (tulang cranium, costa dan sternum).
Fungsi vertebra yaitu melindungi medulla spinalis dan serabut syaraf, menyokong berat
badan dan berperan dalam perubahan posisi tubuh. Vertebra pada orang dewasa terdiri
dari 33 Vertebra dengan pembagian 5 regio Yaitu 7 Cervical, 12 Thoracal, 5 Lumbal, 5
Sacral, 4 Coccigeal.(Gbr.1)

Gambar 3 Tulang belakang (sumber: Atlas of Human Anatomy, Frank H. Netter, 4th
Edition, 2006, Saunders Elsevier, ISBN-13:978-1-4160-3385-1)
33

A.1. Vetebra Cervicalis


Vertebra cervicalis ini memiliki dens, yang mirip dengan pasak.Veterbrata Cervicalis
ketujuh disebut prominan karena mempunyai Prosesus Spinosus paling panjang.
Atlas (C1) adalah Vertebra Cervicalis pertama dari tulang belakang. (Gbr.3)
Atlas bersama dengan Axis (C2) membentuk sendi yang menghubungkan tengkorak
dan tulang belakang dan khusus untuk memungkinkan berbagai gerakan yang lebih
besar. C1 dan C2 bertanggung jawab atas gerakan mengangguk dan rotasi kepala.
Atlas tidak memiliki tubuh. Terdiri dari anterior dan posterior sebuah lengkungan dan
dua massa lateral. Tampak seperti dua cincin. Dua massa lateral pada kedua sisi
lateral menyediakan sebagian besar massa tulang atlas. Foramina melintang terletak
pada aspek lateral.
Axis terdiri dari tonjolan tulang besar dan parsatikularis memisahkan unggulan
dari proses artikularis inferior. Prosesus yang mirip gigi (ondontoid) atau sarang
adalah struktur 2 sampai 3 cm Cortico Cancellous panjang dengan pinggang
menyempit dan ujung menebal. Kortikal berasal dari arah rostral (kearah kepala) dari
tubuh vertebra.

A.2. Vertebra Thoracalis


Ukurannya semakin besar mulai dari atas ke bawah. Corpus berbentuk jantung,
berjumlah 12 buah yang membentuk bagian belakang thoraks.

A.3. Vertebra Lumbalis


Corpus setiap vertebra lumbalis bersifat masif dan berbentuk ginjal,berjumlah 5 buah
yang membentuk daerah pinggang, memiliki corpus vertebra yang besar ukurannya
sehingga pergerakannya lebih luas kearah fleksi.

A.4. Os. Sacrum


Terdiri dari 5 sacrum yang membentuk sakrum atau tulang kengkang dimana ke 5
Vertebral Ini Rudimenter yang bergabung yang membentuk tulang bayi.

A.5. Os. Coccygeal


Terdiri dari tulang yang juga disebut ekor pada manusia, mengalami rudimenter.
Beberapa segmen ini membentuk 1 pasang Saraf Cocygeal.
34

Lengkung kolumna vertebralis kalau dilihat dari samping maka kolumna vertebralis
memperlihatkan empat kurva atau lengkung antero-pesterior yaitu
1. lengkung vertikal pada daerah leher melengkung kedepan,
2. daerah torakal melengkung kebelakang,
3. daerah lumbal kedepan dan
4. daerah pelvis melengkung kebelakang.
Kedua lengkung yang menghadap pasterior, yaitu
1. torakal dan
2. pelvis,disebut promer karena mereka mempertahankan lengkung aslinya
kebelakang dari hidung tulang belakang, yaitu bentuk (sewaktu janin dengan
kepala membengkak ke bawah sampai batas dada dan gelang panggul
dimiringkan keatas kearah depan badan.
Kedua lengkung yang menghadap ke anterior adalah sekunder → lengkung
servikal berkembang ketika anak-anak mengangkat kepalanya untuk melihat
sekelilingnya sambil menyelidiki, dan lengkung lumbal di bentuk ketika ia merangkak,
berdiri dan berjalan serta mempertahankan tegak.
Fungsi dari kolumna vertebralis yaitu sebagai
1. penunjang badan yang kokoh dan
2. sekaligus bekerja sebagai penyangga ke depan perantaraan tulang rawan
cakram intervertebralis yang lengkungnya memberikan fleksibilitas dan
memungkinkan membongkok tanpa patah.
3. menyerap goncangan yang terjadi bila menggerakkan berat badan seperti
waktu berlari dan meloncat, dan dengan demikian otak dan sumsum belakang
terlindung terhadap goncangan. Disamping itu juga
4. untuk memikul berat badan,
5. menyediakan permukaan untuk kartan otot dan
6. membentuk tapal batas posterior yang kukuh untuk rongga-rongga badan dan
memberi kaitan pada iga. (Eveltan.C. Pearah, 1997 dalam Ilham, 2008).
Medulla spinalis atau sumsum tulang belakang bermula ada medulla oblongata,
menjulur kearah kaudal melalu foramen magnum dan berakhir diantara vertebra-
lumbalis pertama dan kedua. Disini medulla spinalis meruncing sebagai konus
medularis, dan kemudian sebuah sambungan tipis dari piameter yang disebut filum
terminale, yang menembus kantong durameter, bergerak menuju koksigis. Sumsum
tulang belakang yang berukuran panjang sekitar 45 cm ini,pada bagian depannya
dibelah oleh fisura anterior yang dalam, sementara bagian belakang dibelah oleh
sebuah fisura sempit.
35

Pada sumsum tulang belakang terdapat dua penebalan cervikal dan lumbal.
Dari penebalan ini, plexus-Plexus saraf bergerak guna melayani anggota badan
atas dan bawah dan Plexus dari daerah thoraks membentuk saraf-saraf
interkostalis. Fungsi sumsum tulang belakang adalah mengadakan komunikasi
antara otak dan semua bagian tubuh dan bergerak refleks.

Untuk terjadinya gerakan refleks, dibutuhkan struktur sebagai berikut:


1. Organ sensorik: menerima impuls, misalnya kulit
2. Serabut saraf sensorik: mengantarkan impuls-impuls tersebut menujusel-sel
dalam ganglion radix posterior dan selanjutnya menuju substansi kelabu pada
kornu posterior mendula spinalis
3. Sumsum tulang belakang, dimana serabut-serabut saraf penghubung
menghantarkan impuls-impuls menuju kornu anterior medula spinalis.
4. Sel saraf motorik: dalam kornu anterior medula spinalis yang menerima dan
mengalihkan impuls tersebut melalui serabut motorik.
5. Organ motorik yang melaksanakan gerakan karena dirangsang oleh impuls
saraf motorik
6. Kerusakan pada sumsum tulang belakang khususnya apabila terputus pada
daerah torakal dan lumbal mengakibatkan (pada daerah torakal) paralisis
beberapa otot interkostal, paralisis pada otot abdomen danotot-otot pada
kedua anggota gerak bawah, serta paralisis spinter pada uretra dan rectum.

Gambar 4 : Fungsi dari setiap segmen tulang belakang (Sumber:


sciencedirect.com, 2008)
36

Trauma tulang dapat mengenai jaringan lunak berupa ligament, discus dan
faset, tulang belakang dan medulla spinalis. Adapun beberapa ligamen yang
terdapat pada tulang servikal antara lain adalah :
1. Ligamentum Flava
Serangkaian pita dari jaringan elastis kuning melekat dan memperluas
antara bagian ventral lamina dari dua tulang yang berdekatan, dari sumbu
ke sacrum.. Namanya Latin untuk "ligamen kuning," dan ini terdiri dari
elastis jaringan ikat
 Fungsinya membantu mempertahankan postur tubuh ketika seseorang
sedang duduk atau berdiri tegak.
 Terletak posterior tubuh vertebra, tetapi anterior proses spinosus dari
tulang belakang, yang merupakan tulang Prongs memancing ke bawah
dari belakang setiap tulang belakang,
 flava ligamenta membentuk dua sejajar,
 bersatu garis vertikal dalam kanalis vertebralis.
 Dimulai dari C2, vertebra servikalis kedua, semua cara untuk S1 dari
sacrum, tulang ditumpuk pada dasar tulang belakang di panggul.
 Pada ujung atas, setiap Flavum Ligamentum menempel pada bagian
bawah lamina dari vertebra di atasnya.
 lamina ini adalah proyeksi horizontal pasangan tulang yang membentuk
dua jembatan mencakup ruang antara pedikel di kedua sisi tubuh
vertebral dan proses spinosus belakangnya.
 Mereka memperpanjang dari pedikel, setiap proses yang kurus
menonjol ke belakang dari kedua sisi dari tubuh vertebra, dan sudut
terhadap garis tengah tulang belakang, menggabungkan di tengah.

Gambar Spinal Ligament-ligamentum Flavum


37

2. Ligamentum Nuchae
 berbentuk padat bilaminar septum, segitiga intermuskularis fibroelastic
garis tengah.
 Ia meluas dari tonjolan oksipital eksternal ke punggung C7 dan
menempel pada bagian median dari puncak occipital eksternal,
tuberkulum posterior C1 dan aspek medial duri terpecah dua belah leher
rahim, ligamen terbentuk terutama dari lampiran aponeurotic dari otot
leher rahim yang berdekatan dan yg terletak di bawah.
 Dari dangkal sampai dalam, otot-otot ini adalah trapezius, genjang kecil,
capitus splenius, dan serratus posterior superior.
 Juga anatomi, dan mungkin penting secara klinis, ligamen telah
ditemukan memiliki lampiran berserat langsung dengan dura tulang
belakang antara tengkuk dan C1.

3. Zygapophyseal
Zygapohyseal adalah sendi sinovial sendi-sendi paling dasar dalam tubuh
manusia.
Gabungan sinovial ditandai dengan memiliki kapsul sendi, cairan-cairan
sinovial sendi kapsul untuk melumasi bagian dalam sendi, dan tulang
rawan pada permukaan sendi di tengah atas dan bawah permukaan yang
berdekatan dari setiap tulang belakang untuk memungkinkan tingkat
gerakan meluncur.

4. Atlantoaxial ligamentum posterior


Atlantoaxial ligamentum posterior adalah tipis, membran luas melekat, di
atas, untuk batas bawah lengkung posterior atlas , bawah, ke tepi atas dari
lamina dari sumbu.

5. Atlantoaxial ligamentum anterior


Atlantoaxial ligamentum anterior adalah membran yang kuat, untuk batas
bawah lengkung anterior dari atlas, bawah, ke depan tubuh sumbu . Hal ini
diperkuat di garis tengah dengan kabel bulat, yang menghubungkan
tuberkulum pada lengkung anterior dari atlas ke tubuh dari sumbu, dan
merupakan kelanjutan ke atas dari ligamentum longitudinal anterior.

6. Ligamentum longitudinal posterior


38

Ligamentum longitudinal posterior terletak dalam kanalis vertebralis, dan


membentang sepanjang permukaan posterior tulang belakang tubuh, dari
tubuh sumbu, di mana ia terus-menerus dengan tectoria membrana, untuk
sakrum. ligamentum ini lebih sempit di badan vertebra dan lebih luas pada
ruang disk intervertebralis. Hal ini sangat penting dalam memahami kondisi
patologis tertentu tulang belakang seperti lokasi khas untuk herniasi
cakram tulang belakang.
7. Ligamentum transversal dari atlas
Ligamentum transversal dari atlas adalah kuat, band tebal, yang lengkungan
di cincin dari atlas , dan mempertahankan proses yg mirip gigi di kontak
dengan lengkung anterior. Ligamentum transversal membagi cincin dari atlas
menjadi dua bagian yang tidak setara: ini, posterior dan lebih besar berfungsi
untuk transmisi dari medula spinalis dan membran dan saraf aksesori.

B. DEFINISI
Trauma spinal yaitu gangguan pada serabut spinal (spinal cord) yang
menyebabkan perubahan secara permanen atau sementara, akan tetapi fungsi motorik,
sensorik atau anatomi masih normal.
Cedera medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang
disebabkan oleh benturan pada medulla spinalis (Brunner & Suddarth,2001)
Cedera medulla spinalis adalah kerusakan tulang sumsum yang mengakibatkan
gangguan sistem persyarafan didalam tubuh manusia yang diklasifikasikan sebagai :
komplit (kehilangan sensasi dan fungsi motorik), tidak komplit (campuran kehilangan
sensori dan fungsi motorik).

C. MEKANISME /ETIOLOGI CEDERA


Ada 4 mekanisme yang mendasari :
a. Kompresi oleh tulang, ligamen, benda asing, dan hematoma. Kerusakan paling
berat disebabkan oleh kompresi dari fragmen korpus vertebra yang tergeser ke
belakang dan cedera hiperekstensi.
b. Tarikan/regangan jaringan: regangan berlebih yang menyebabkan gangguan
jaringan biasanya setelah hiperfleksi. Toleransi regangan pada medulla spinalis
menurun sesuai usia yang meningkat.
c. Edema medulla spinalis timbul segera dan menimbulkan gangguan sirkulasi kapiler
lebih lanjut serta aliran balik vena yang menyertai cedera primer.
d. Gangguan sirkulasi merupakan hasil kompresi oleh tulang atau struktur lain pada
sistem arteri spinal posterior atau anterior.
39

Kecelakaan mobil atau terjatuh olahraga, kecelakaan industri, tertembak


peluru, dan luka tusuk dapat menyebabkan trauma medulla spinal. Sebagian
besar pada medulla spinal servikal bawah (C4-C7,T1) dn sambungan
torakolumbal (T11-T12, L1). Medula spinal torakal jarang terkena.
D. KLASIFIKASI
Cedera medulla spinalis dapat diklasifikasikan sesuai dengan level,beratnya defisit
neurologi, spinal cord syndrome, dan morfologi:
D.1 Level
Level neurologis adalah segmen paling kaudal dari medulla spinalis yang masih
dapat ditemukan keadaan sensoris dan motoris yang normal dikedua sisi tubuh.
Level sensoris ini menunjuk kearah bagian segmen kaudal medulla spinalis dengan
fungsi sensoris yang normal pada kedua bagian tubuh.
Level motoris dinyatakan seperti sensoris, yaitu daerah paling kaudal dimana
masih dapat ditemukan motoris dengan tenaga 3/5 pada lesi komplit, mungkin masih
dapat ditemukan fungsi sensoris maupun motoris di bawah level sensoris/motoris. Ini
disebut sebagai daerah dengan “preservasi parsial” Penentuan dari level cedera
pada dua sisi adalah penting.
Terdapat perbedaan yang jelas antara lesi di bawah dan di atas T1, yaitu
1. Cedera pada segmen servikal diatas T1 medulla spinalis menyebabkan
quadriplegia
2. Lesi di bawah level T1 menghasilkan paraplegia.
Level tulang vertebra yang mengalami kerusakan, menyebabkan cedera pada
medulla spinalis.
Level kelainan neurologis dari cedera ini ditentukan hanya dengan pemeriksaan
klinis. kadang-kadang terdapat ketidakcocokan antaralevel tulang dan neurologis
disebabkan nervus spinalis memasuki kanalis spinalis melalui foramina dan naik atau
turun didalam kanalis spinalissebelum benar-benar masuk kedalam medulla spinalis.
Ketidakcocokan akanlebih jelas kearah kaudal dari cedera Pada saat pengelolaan
awal level kerusakan menunjuk pada kelainan tulang, cedera yang dimaksudkan level
neurologis
D.2 Beratnya Defisit Neurologis
Cedera medulla spinalis dapat dikategorikan sebagai
a. paraplegia tidak komplit, Suatu cedera tidak dikualifikasikan sebagai tidak
komplit hanya dengan dasar adanya reservasi refleks sacral saja, misalnya
bulbocavernosus, atau anal wink
b. paraplegia komplit,
40

c. kuadriplegia tidak komplit, dan


d. kuadraplegia komplit.
Sangat penting untuk menilai setiap gejala dari fungsi medulla spinalis yang masih
tersisa. Setiap fungsi sensoris atau motoris dibawah level cedera merupakan cedera
yang tidak komplit
1. Spinal Cord Syndrome
Beberapa tanda yang khas untuk cedera neurologis kadang-kadang dapat dilihat
pada penderita dengan cedera medulla spinalis Pada
2. Central cord syndrome yang khas adalah bahwa kehilangan tenaga pada ekstremitas
atas, lebih besar dibanding ekstremitas bawah, dengan tambahan adanya
kehilangan adanya sensasi yang bervariasi. Biasanya hal ini terjadi cedera
hiperekstensi pada penderita dengan riwayat adanya stenosis kanalis sevikalis
(sering disebabkan oleh osteoarthritis degeneratif). Dari anamnesis umumnya
ditemukan riwayat terjatuh ke depan yang menyebabkan tumbukan pada wajah yang
dengan atau tanpa fraktur atau dislokasi tulang servikal.
3. Anterior cord syndrome ditandai dengan adanya paraplegia dan kehilangan dissosiasi
sensoris terhadap nyeri dan sensasi suhu Fungsi kolumna posterior (kesadaran
posisi, vibrasi, tekanan dalam) masih ditemukan. Biasanya anterior cord syndrome
disebabkan oleh infark medulla spinalis pada daerah yang diperdarahi oleh arteri
spinalis anterior Sindrom ini mempunyai prognosis yang terburuk diantara cidera
inkomplit.
4. Brown Sequard Sydrome timbul karena hemiksesi dari medulla spinalis dan akan
jarang dijumpai. Akan tetapi variasi dari gambaran klasik cukup sering ditemukan.
Dalam bentuk yang asli syndrome ini terdiri dari kehilangan motoris opsilateral
(traktus kortikospinalis) dan kehilangan kesadaran posisi (kolumna posterior) yang
berhubungan dengan kehilangan disosiasi sensori kontralateral dimulai dari satu
atau dua level dibawah level cedera (traktus spinotalamikus). Kecuali kalau
syndrome ini disebabkan oleh cedera penetrans pada medulla spinalis,
penyembuhan (walaupun sedikit) biasanya akan terjadi.

D.3 Morfologi
Cedera tulang belakang dapat dibagi atas
1. fraktur,
Klasifikasi fraktur dapat mengambil berbagai bentuk tergantung dari besar kecilnya
kerusakan anatomis atau berdasarkan stabil atau tidak stabil. ‘Major Fracture’ bila
fraktur mengenai pedikel, lamina atau korpus vertebra . ‘Minor Fraktur’ bila fraktur
terjadi pada prosesus transversus, prosesus spinosus atau prosesus artikularis .
41

Suatu fraktur disebut ’stable’, bila kolumna vertebralis masih mampu menahan beban
fisik dan tidak tampak tanda – tanda pergeseran atau deformitas dari struktur
vertebra dan jaringan lunak. Suatu fraktur disebut ’unstable’, bila kolumna vertebralis
tidak mampu menahan beban normal, kebanyakan menunjukkan deformitas dan rasa
nyeri serta adanya ancaman untuk terjadi gangguan neurologik.
2. fraktur dislokasi,
3. cedera medulla spinalis tanpa abnormalitas radiografi (SCIWORA), atau cedera
penetrans.
Cedera yang mengenai kolumna spinalis akan diuraikan dalam urutan anatomis, dari
cranial mengarah keujung kaudal tulang belakang:
a. Dislokasi atlanto – oksipital (atlanto-occipital dislocation)
Cedera ini jarang terjadi dan timbul sebagai akibat dari trauma fleksi dan distraksi
yang hebat. Kebanyakan penderita meninggal karena kerusakan batang otak.
Kerusakan neurologis yang berat ditemukan pada level saraf kranial bawah.
kadang- kadang penderita selamat bila resusitasi segera dilakukan di tempat
kejadian.
b. Fraktur atlas (C-1)
Atlas mempunyai korpus yang tipis dengan permukaan sendi yang lebar. Fraktur
C-1 yang paling umum terdiri dari burst fraktur (fraktur Jefferson). Mekanisme
terjadinya cedera adalah axial loading, seperti kepala tertimpa secara vertikal oleh
benda berat atau penderita terjatuh dengan puncak kepala terlebih dahulu.
Fraktur Jefferson berupa kerusakan pada cincin anterior maupun posterior dari
C-1, dengan pergeseran masa lateral. Fraktur akan terlihat jelas dengan proyeksi
open mouth dari daerah C-1 dan C-2dan dapat dikomfirmasikan dengan CT Scan.
Fraktur ini harus ditangani secara awal dengan Neck Collar .
c. Rotary subluxation dari C-1
Cedera ini banyak ditemukan pada anak-anak Dapat terjadi spontan setelah
terjadi cedera berat/ ringan, infeksi saluran napas atas atau penderita dengan
rematoid arthritis. Penderita terlihat dengan rotasi kepala yang menetap. Pada
cedera ini jarak odontoid kedua lateral mass C-1 tidak sama, jangan dilakukan
rotasi dengan paksa untuk menaggulangi rotasi ini, sebaiknya dilakukan
imobilisasi. Dan segera rujuk.
42

d. Fraktur aksis (C-2)


Aksis merupakan tulang vertebra terbesar dan mempunyai bentuk yang istimewa
karena itu mudah mengalami cedera.
a. Fraktur odontoid
Kurang 60% dari fraktur C-2 mengenai odontoid suatutonjolan tulang
berbentuk pasak. Fraktur ini dapat diidentifikasi dengan foto ronsen
servikal lateral atau buka mulut.
b. Fraktur dari elemen posterior dari C-2
Fraktur hangman mengenai elemen posterior C-2, parsinter artikularis
20% dari seluruh fraktur aksis fraktur disebabkan oleh fraktur ini.
Disebabkan oleh trauma tipe ekstensi, dan harus dipertahankan dalam
imobilisasi eksternal.
e. Fraktur dislocation ( C-3 sampai C-7)
Fraktur C-3 sangat jarang terjadi, hal ini mungkindisebabkan letaknya berada
diantara aksis yang mudah mengalami cedera dengan titik penunjang tulang
servikal yang mobile, seperti C-5 dan C-6, dimana terjadi fleksi dan ekstensi
tulang servikal terbesar.
f. Fraktur vertebra torakalis ( T-1 sampai T-10)
Fraktur vertebra Torakalis dapat diklasifikasikan menjadi 4 kategori : (1) cedera
baji karena kompresi bagian korpus anterior, (2) cedera bursi, (3) fraktur Chance,
(4) fraktur dislokasi. Axial loading disertai dengan fleksi menghasilkan cedera
kompresi pada bagian anterior. Tip kedua dari fraktur torakal adalah cedera burst
disebabkan oleh kompresi vertikal aksial. Fraktur dislokasi relatif jarang pada
daerah T-1 sampai T-10.
g. Fraktur daerah torakolumbal - fraktur lumbal (T-11 sampai L-1)
Fraktur di daerah torakolumbal tidak seperti pada cedera tulang servikal, tetapi
dapat menyebabkan morbiditas yang jelas bila tidak dikenali atau terlambat
mengidentifikasinya. Penderita yang jatuh dari ketinggian dan pengemudi mobil
memakai sabuk pengaman tetapi dalam kecepatan tinggi mempunyai resiko
mengalami cedera tipe ini. Karena medulla spinalis berakhir pada level ini , radiks
saraf yang membentuk kauda ekuina bermula pada daerah torakolumbal.
Tingkat cedera didefinisikan oleh ASIA (American Spinal Injury Association) menurut
Penurunan Skala (dimodifikasi dari klasifikasi Frankel), dengan menggunakan kategori
berikut :
43

A = Cedera Saraf Lengkap: Terjadi kehilangan fungsi motorik dan sensori lengkap
(Complet Loss) khususnya di segmen S4-S5.
B = Cedera Saraf Tidak Lengkap: Fungsi motorik hilang, fungsi sensori utuh, kadang
terjadi pada segmen S4-S5.
C = Cedera Saraf Tidak Lengkap: Fungsi motorik ada tetapi secara praktis tidak
berguna (dapat menggerakan tungkai tetapi tidak bisa berjalan) dan tingkat
kekuatan otot dibawah 3.
D = Cidera Saraf Tidak Lengkap: fungsi motorik terganggu (dapat berjalan tetapi tidak
dengan normal) tingkat kekuatan otot sama atau diatas 3.
E =Normal: Fungsi sensorik dan motorik normal.
Fraktur dapat diakibatkan oleh beberapa hal yaitu:
a. Fraktur akibat peristiwa trauma
Sebagian fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba berlebihan yang dapat
berupa pemukulan, penghancuran, perubahan pemuntiran atau penarikan. Bila
tekanan kekuatan langsung tulang dapat patah pada tempat yang terkena dan
jaringan lunak juga pasti akan ikut rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur
lunak juga pasti akan ikut rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur
melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya. Penghancuran kemungkinan akan
menyebabkan fraktur komunitif disertai kerusakan jaringan lunak yang luas.
b. Fraktur akibat kelelahan atau tekanan
Retak dapat terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan benda lain akibat
tekanan berulang-ulang. Keadaan ini paling sering dikemukakan pada Aksis
merupakan tulang vertebra terbesar dan mempunyai bentuk yang istimewa karena itu
mudah mengalami cedera.
c. Fraktur odontoid
Kurang 60% dari fraktur C-2 mengenai odontoid suatutonjolan tulang berbentuk
pasak. Fraktur ini dapat diidentifikasi dengan foto ronsen servikal lateral atau buka
mulut.
d. Fraktur dari elemen posterior dari C-2
Fraktur hangman mengenai elemen posterior C-2, parsinter artikularis 20% dari
seluruh fraktur aksis fraktur disebabkan oleh fraktur ini. Disebabkan oleh trauma tipe
ekstensi, dan harus dipertahankan dalam imobilisasi eksternal.
44

e. Fraktur dislocation ( C-3 sampai C-7)


Fraktur C-3 sangat jarang terjadi, hal ini mungkindisebabkan letaknya berada
diantara aksis yang mudah mengalami cedera dengan titik penunjang tulang servikal
yang mobile, seperti C-5 dan C-6, dimana terjadi fleksi dan ekstensi tulang servikal
terbesar.
f. Fraktur vertebra torakalis ( T-1 sampai T-10)
Fraktur vertebra Torakalis dapat diklasifikasikan menjadi 4 kategori : (1) cedera baji
karena kompresi bagian korpus anterior, (2) cedera bursi, (3) fraktur Chance, (4)
fraktur dislokasi. Axial loading disertai dengan fleksi menghasilkan cedera kompresi
pada bagian anterior. Tip kedua dari fraktur torakal adalah cedera burst disebabkan
oleh kompresi vertikal aksial. Fraktur dislokasi relatif jarang pada daerah T-1 sampai
T-10.

g. Fraktur daerah torakolumbal - fraktur lumbal (T-11 sampai L-1)


Fraktur di daerah torakolumbal tidak seperti pada cedera tulang servikal, tetapi dapat
menyebabkan morbiditas yang jelas bila tidak dikenali atau terlambat
mengidentifikasinya. Penderita yang jatuh dari ketinggian dan pengemudi mobil
memakai sabuk pengaman tetapi dalam kecepatan tinggi mempunyai resiko
mengalami cedera tipe ini. Karena medulla spinalis berakhir pada level ini , radiks
saraf yang membentuk kauda ekuina bermula pada daerah torakolumbal.

E. PATOFISIOLOGI
Penyebab tersering terjadinya cedera tulang belakang cervical adalah
kecelakaan mobil, kecelakaan motor, jatuh, cedera olah raga, dan luka akibat tembakan
atau pisau. Menurut mekanisme terjadinya cidera, cidera servikal di bagi atas fleksi,
fleksi rotasi, ekstensi, kompresi aksial. Cidera cervical atas adalah fraktura atau
dislokasi yang mengenai Basis Occiput-C2. Cidera tulang belakang cervical bawah
termasuk fraktura dan dislokasi ruas tulang belakang C3-C7. Ruas tulang belakang C5
adalah yang tersering mengalami fraktur.
C1 hanya berupa cincin tulang yang terdiri atas arcus anterior yang tebal dan
arcus posterior yang tipis, serta masa lateralis pada masing-masing sisinya. Tulang ini
berartikulasi dengan kondilus occipitalis membentuk articulatio atlanto-occipitalis, tempat
berlangsungnya gerakan mengangguk. Dibawah, tulang ini beratikulasi dengan C2,
membentuk articulasio atlanto-axialis, tempat berlangsungnya gerakan memutar kepala.
Ketika cidera terjadi fraktur tunggal atau multiple pada cincin C1 dan dislokasi atlanto-
occipitalis sehingga menyebabkan ketidakmampuan menggerakkan kepala dan
45

kerusakan pada batang otak. Cedera pada C1 dan C2 menyebabkan ventilasi spontan
tidak efektif.
Pada C3-C5 dapat terjadi kerusakan nervus frenikus sehingga dapat terjadi hilangnya
inervasi otot pernafasan aksesori dan otot interkostal yang dapat menyebabkan
komplience paru menurun.
Pada C4-C7 dapat terjadi kerusakan tulang sehingga terjadi penjepitan medula
spinalis oleh ligamentum flavum di posterior dan kompresi osteosif/material diskus dari
anterior yang bisa menyebabkan nekrosis dan menstimulasi pelepasan mediator kimia
yang menyebabkan kerusakan myelin dan akson, sehingga terjadi gangguan sensorik
motorik. Lesi pada C5-C7 dapat mempengaruhi intercostal, parasternal, scalenus, otot2
abdominal. Intak pada diafragma, otot trapezius, dan sebagian pectoralis mayor.
Cedera pada tulang servikal dapat menimbulkan lesi atau cedera pada medulla
spinalis yang dapat terjadi beberapa menit setelah adanya benturang keras mengenai
medulla spinalis. Saat ini, secara histologis medulla spinalis masih normal. Dalam waktu
24-48 jam kemudian terjadi nekrosis fokal dan inflamasi. Pada waktu cedera terjadi
disrupsi mekanik akson dan neuron. Ini disebut cedera neural primer. Disamping itu juga
terjadi perubahan fisiologis dan patologis progresif akibat cedera neural sekunder.
Beberapa saat setelah terjadi kecelakaan atau trauma pada servikal maka akan
terjadi kerusakan secara struktural yang mengakibatkan gangguan pada saraf spinal
dan pembuluh darah disekitarnya yang akan menghambat suplai O2 ke medulla spinalis
atau akan terjadi ischemik pada jaringan tersebut. Karena terjadi ischemik pada jaringan
tersebut, dalam beberapa menit atau jam kemudian akan ada pelepasan vasoactive
agent dan cellular enzym yang menyebabkan konstriksi kapiler pada pusat substansi
abu-abu medula spinalis. Ini merupakan permulaan dari cedera neural sekunder pada
cedera medula spinalis. Selanjutnya adalah peningkatan level Ca pada intraselular yang
mengakibatkan kerusakan pada endotel pembuluh darah yang dalam beberapa jam
kemudian dapat menimbulakan aneurisma dan ruptur pada pembuluh darah di medula
spinal. Peningkatan potasium pada ekstraseluler yang mengakibatkan terjadinya
depolarisasi pada sel (Conduction Block). Hipoxia akan merangsang pelepasan
katekolamin sehingga terjadi perdarahan dan nekrosis pada sel.
Di tingkat selular, adanya kerusakan mitokondria akibat defisit suplai O2 dapat
merangsang pelepasan superoksid (radikal bebas), disertai terjadinya
ketidakseimbangan elektrolit, dan pelepasan mediator inflamasi dapat mengakibatkan
terjadinya kematian sel (apoptosis) dengan manifestasi sel mengkerut dan kromatin
nuclear yang padat.
Trauma whiplash terjadi pada tulang belakang bagian servikalis bawah maupun
torakalis bawah misalnya pada waktu duduk di kendaraan yang sedang cepat berjalan
46

kemudian berhenti secara mendadak. Atau pada waktu terjun dari jarak tinggi menyelam
dan masuk air yang dapat mengakibatkan paraplegia.
Trauma tidak langsung dari tulang belakang berupa hiperekstensi, hiperfleksi,
tekanan vertikal (terutama pada T12 sampai L2), rotasi Kerusakan yang dialami medulla
spinalis dapat bersifat sementara atau menetap Akibat trauma terhadap tulang
belakang, medula spinalis dapat tidak berfungsi untuk sementara (komosio medulla
spinalis), tetapi dapat sembuh kembali dalam beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan
adalah berupa edema, perdarahan perivaskuler dan infark disekitar pembuluh darah.
Pada kerusakan medulla spinalis yang menetap, secara makroskopis kelainannya dapat
terlihat dan terjadi lesi,contusio, laserasio dan pembengkakan daerah tertentu di medulla
spinalis.
Laserasi medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma tulang belakang
secara langsung karena tertutup atau peluru yang dapat mematahkan /menggeserkan
ruas tulang belakang (fraktur dan dislokasi). Lesi transversa medulla spinalis tergantung
pada segmen yang terkena (segmen transversa, hemitransversa, kuadran transversa).
Hematomielia adalah perdarahan dalam medulla spinalis yang berbentuk lonjong dan
bertempat disubstansia grisea. Trauma ini bersifat “whiplash“ yaitu jatuh dari jarak tinggi
dengan sifat badan berdiri, jatuh terduduk, terdampar eksplosi atau fraktur
dislokasio.kompresi medulla spinalis terjadi karena dislokasi, medulla spinalis dapat
terjepit oleh penyempitan kanalis vertebralis.
Suatu segmen medulla spinalis dapat tertekan oleh hematoma ekstrameduler
traumatik dan dapat juga tertekan oleh kepingan tulang yang patah yang terselip
diantara duramater dan kolumna vertebralis. Gejala yang didapat sama dengan
sindroma kompresi medulla spinalis akibat tumor, kista dan abses didalam kanalis
vertebralis.
Akibat hiperekstensi dislokasio, fraktur dan whislap radiks saraf spinalis dapat
tertarik dan mengalami jejas/reksis. Pada trauma whislap, radiks columna 5-7 dapat
mengalami hal demikian, dan gejala yang terjadi adalah nyeri radikuler spontan yang
bersifat hiperpatia, gambaran tersebut disebut hematorasis atau neuralgia radikularis
traumatik yang reversible. Jika radiks terputus akibat trauma tulang belakang, maka
gejala defisit sensorik dan motorik yang terlihat adalah radikuler dengan terputusnya
arteri radikuler terutama radiks T8 atau T9 yangakan menimbulkan defisit sensorik
motorik pada dermatoma dan miotoma yang bersangkutan dan sindroma sistema
astomosis anterial anterior spinal.
47

F. MANEFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis bergantung pada lokasi yang mengalami trauma dan apakah trauma
terjadi secara parsial atau total. Berikut ini adalah manifestasi berdasarkan lokasi
trauma :
1. Antara C1 sampai C5
Respiratori paralisis dan kuadriplegi, biasanya pasien meninggal.
2. Antara C5 dan C6
Paralisis kaki, tangan, pergelangan; abduksi bahu dan fleksi siku yang lemah;
kehilangan refleks brachioradialis.
3. Antara C6 dan C7
Paralisis kaki, pergelangan, dan tangan, tapi pergerakan bahu dan fleksi sikumasih
bisa dilakukan; kehilangan refleks bisep.
4. Antara C7 dan C8 Paralisis kaki dan tangan
5. C8 sampai T1
Horner's syndrome (ptosis, miotic pupils, facial anhidrosis), paralisis kaki.
6. Antara T11 dan T12
Paralisis otot-otot kaki di atas dan bawah lutut.
7. T12 sampai L1 Paralisis di bawah lutut.
8. Cauda equine
Hiporeflex atau paresis extremitas bawah, biasanya nyeri dan biasanya nyeri dan
sangat sensitive terhadap sensasi, kehilangan kontrol bowel dan bladder.
9. S3 sampai S5 atau conus medullaris pada L1
Kehilangan kontrol bowel dan bladder secara total.
Bila terjadi trauma spinal total atau complete cord injury, manifestasi yang mungkin
muncul antara lain total paralysis, hilangnya semua sensasi dan aktivitas refleks
(Merck,2010).
Tanda dan gejala yang akan muncul:
a. Nyeri
Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini dikarenakan adanya
spasme otot, tekanan dari patahan tulang atau kerusakan jaringan sekitarnya.
b. Bengkak/edama
Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir pada daerah
fraktur dan extravasi daerah di jaringan sekitarnya.
c. Memar/ekimosis
Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasi daerah di jaringan
sekitarnya
d. Spasme otot
48

Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadi disekitar fraktur.


e. Penurunan sensasi
Terjadi karena kerusakan syaraf, terkenanya syaraf karena edema
f. Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur, nyeri atau spasme otot. paralysis
dapat terjadi karena kerusakan syaraf.
g. Mobilitas abnormal
Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang pada kondisi normalnya
tidak terjadi pergerakan. Ini terjadi pada fraktur tulang panjang
h. Krepitasi
Merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagaian tulang digerakkan.
i. Deformitas
Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma dan
pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal, akan
menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya.
j. Shock hipovolemik
Shock terjadi sebagai kompensasi jika terjadi perdarahan hebat.

G.. PENATALAKSANAAN
G.1. Imobilisasi
Tindakan immobilisasi harus sudah dimulai dari tempat kejadian/kecelakaan
sampai ke unit gawat darurat.. Yang pertama ialah immobilisasi dan stabilkan
leher dalam posisi normal; dengan menggunakan ’cervical collar’. Cegah agar
leher tidak terputar (rotation). Baringkan penderita dalam posisi terlentang (supine)
pada tempat/alas yang keras. Pasien diangkat/dibawa dengan cara ”4 men lift”
atau menggunakan ’Robinson’s orthopaedic stretcher’.
G.2. Stabilisasi Medis
Terutama sekali pada penderita tetraparesis/ tetraplegia, lakukan : Periksa vital
signs. Segera normalkan ’vital signs’. Pertahankan tekanan darah yang normal
dan perfusi jaringan yang baik. Berikan oksigen, monitor produksi urin, bila perlu
monitor AGD (analisa gas darah), dan periksa apa ada neurogenic shock.
G.3. Mempertahankan posisi normal vertebra ”Spinal Alignment”

Bila terdapat fraktur servikal dilakukan traksi dengan Cruthfield tong atau
Gardner-Wells tong dengan beban 2.5 kg perdiskus. Bila terjadi dislokasi
traksi diberikan dengan beban yang lebih ringan, beban ditambah setiap 15
menit sampai terjadi reduksi.
49

G.4. Dekompresi dan Stabilisasi Spinal


Bila terjadi ’realignment’ artinya terjadi dekompresi. Bila ’realignment’ dengan
caran tertutup ini gagal maka dilakukan ’open reduction’ dan stabilisasi
dengan ’approach’ anterior atau posterior.
G.5. Rehabilitasi.
mungkin. Termasuk dalam program ini adalah ‘bladder training’, ’bowel
training’, latihan otot pernafasan, pencapaian optimal fungsi-fungsi neurologik
dan program kursi roda bagi penderita paraparesis/paraplegia.

I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
H.1. CT SCAN
Pemeriksaan ini dapat memberikan visualisasi yang baik komponen tulang
servikal dan sangat membantu bila ada fraktur akut. Akurasi Pemeriksaan CT
berkisar antara 72 -91 % dalam mendeteksi adanya herniasi diskus. Akurasi
dapat mencapai 96 % bila mengkombinasikan CT dengan myelografi
H.2. MRI
Pemeriksaan ini sudah menjadi metode imaging pilihan untuk daerah servikal
. MRI dapat mendeteksi kelainan ligamen maupun diskus. Seluruh daerah
medula spinalis , radiks saraf dan tulang vertebra dapat divisualisasikan.
Namun pada salah satu penelitian didapatkan adanya abnormalitas berupa
herniasi diskus pada sekitar 10 % subjek tanpa keluhan , sehingga hasil
pemeriksaan ini tetap harus dihubungkan dengan riwayat perjalanan penyakit
, keluhan maupun pemeriksaan klinis.
H.3. EMG
Pemeriksaan Elektromiografi ( EMG) mengetahui apakah suatu gangguan
bersifat neurogenik atau tidak, karena pasien dengan spasme otot, artritis
juga mempunyai gejala yang sama. Selain itu juga untuk menentukan level
dari iritasi/kompresi radiks , membedakan lesi radiks dan lesi saraf perifer,
membedakan adanya iritasi atau kompresi .

J. KOMPLIKASI
J.1 Syok neurogenik
Syok neurogenik merupakan hasil dari kerusakan jalur simpatik yang
desending pada medulla spinalis. Kondisi ini mengakibatkan kehilangan tonus
vasomotor dan kehilangan persarafan simpatis pada jantung sehingga
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah visceral serta ekstremitas bawah
maka terjadi penumpukan darah dan konsekuensinya terjadi hipotensi.
50

J.2. Syok spinal


Syok spinal adalah keadaan flasid dan hilangnya refleks, terlihat setelah
terjadinya cedera medulla spinalis. Pada syok spinal mungkin akan tampak
seperti lesi komplit walaupun tidak seluruh bagian rusak.
J.3. Hipoventilasi
Hal ini disebabkan karena paralisis otot interkostal yang merupakan hasil dari
cedera yang mengenai medulla spinalis bagian di daerah servikal bawah atau
torakal atas
J.4. Hiperfleksia autonomik
Dikarakteristikkan oleh sakit kepala berdenyut , keringat banyak, kongesti
nasal, bradikardi dan hipertensi.
51

BAB V
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN CEDERA SPINALIS

A. PENGKAJIAN
A.4. Pengkajian Data Dasar
Meliputi nama, tanggal lahir, tempat tinggal, nama orang tua (ibu kanduang ) sesuai
dengan Standard yang berlaku (Sasaran Keselamatan Pasien penandaan identitas
menggunakan nama diikuti nama ibu kandung bila nama terdiri dari 1 kata misalnya
Maemunah binti Jaenab(nama ibu))
A.5. Anamnesis Riwayat Penyakit
e. Keluhan Utama
Cedera Spinalis mempunyai keluhan atau gejala utama yang berbeda-beda
tergantung letak lesi dan luas lesi. Keluhan utama yang timbul seperti nyeri, rasa
bebal, kekakuan pada leher atau punggung dan kelemahan pada ekstremitas atas
maupun bawah.
f. Riwayat Penyakit Saat Ini
Pengkajian ini sangat penting dalam menentukan derajat kerusakan dan adanya
kehilangan fungsi neurologi spinalis dapat mengalami cedera melalui beberapa
mekanisme, cedera primer meliputi satu atau lebih proses berikut dan gaya :
kompresi akut, benturan, destruksi, laserasi dan trauma tembak.
g. Riwayat Penyakit Dahulu
Penyakit seperti Reumatoid Artritis, Pseudohipoparatiroid, Spondilitis, Ankilosis,
Osteoporosis, Hernia Nukleus Pulpusus (HNP) maupun Tumor ganas biasanya
menjadi faktor predisposisi
h. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu ditanyakan riwayat penyakit keluarga yang dapat memperberat cedera
spinalis seperti asma, kanker, Hipertensi, Diabetes militus dan beberapa penyakit
hereditary yang dapat memperberat kondisi

A.6. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik mengacu pada pengkajian B1-B6 dengan pengkajian focus
ditujukan pada gejala-gejala yang muncul akibat cedera spinalis.

Keadaan umum : Pada keadaan cidera tulang belakang umumnya tidak mengalami
penurunan kesadaran. dengan keluhan utama biasanya nyeri pada tulang belakang
atau sebaliknya tidak merasakan nyeri Adanya perubahan pada tanda-tanda vital,
meliputi bradikardi dan hipotensi.
52

B1 (BREATHING)
b. Perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada gradasi blok saraf
parasimpatis klien mengalami kelumpuhan otot otot pernapasan dan
c. perubahan karena adanya kerusakan jalur simpatetik desending akibat trauma pada
tulang belakang sehingga mengalami terputus jaringan saraf di medula spinalis,
d. pemeriksaan fisik dari sistem ini menunjukkan kondisi batuk, peningkatan produksi
sputum, sesak napas.dst tergantung pada item (a)
B2 (BLOOD)
f. peningkatan resiko syok hipovolemik yang sering terjadi pada klien cedera tulang
belakang.
g. Penurunan tekanan darah
h. bradikardi
B3 (BRAIN)
i. tingkat kesadaran GCS cenderung compos mentis tergantung lesi/luka/ keparahan
cidera
j. pada kondisi tertentu GCS dinilai 5-15
k. pengkajian fungsi serebral dan pengkajian saraf kranial.
l. Pengkajian tingkat kesadaran : tingkat keterjagaan klien dan respon terhadap
lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem persyarafan.
m. Pengkajian fungsi serebral : status mental observasi penampilan, tingkah laku nilai
gaya bicara dan aktivitas motorik klien
n. Pengkajian sistem motorik : inspeksi umum didapatkan kelumpuhan pada ekstermitas
bawah, baik bersifat paralis, paraplegia, maupun quadriplegia
o. Pengkajian sistem sensori : ganguan sensibilitas pada klien cedera medula spinalis
sesuai dengan segmen yang mengalami gangguan.
p. Mengalami deformitas, postur, nyeri tekan vertebral.
B4 (BLADDER)
c. Penurunan jumlah urine dan
d. peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat menurunnya perfusi pada ginjal.
e. Bila terjadi lesi pada Cauida Equina kandung kemih dikontrol oleh pusat (S2-S4) atau
dibawah pusat spinal kandung kemih akan menyebabkan interupsi hubungan antara
kandung kemih dan pusat spinal.
B5 (BOWEL)
gejala awal dari tahap syok spinal yang akan berlangsung beberapa hari sampai
beberapa minggu akan ditemukan neuropraksia sering didapatkan adanya ileus
53

paralitik, dimana klinis didapatkan hilangnya bising usus, kembung,dan defekasi,


tidak ada.
B6 (BONE)
a. Paralisis motorik dan paralisis organ internal bergantung pada ketinggian lesi saraf
yang terkena trauma.
b. Gejala gangguan motorik sesuai dengan distribusi segmental dari saraf yang terkena.
Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan dan kelumpuhan pada saluran
ekstermitas bawah ditandai dengan penurunan veskularisasi ke daerah ekstremitas
misalnya uedema, penurunan CRT, keburuan pada ujung-ujung ektermitas,
kelemahan otor, kesemutan.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
B.1. Ketidakefektifan pola pernapasan
B.2. Hambatan mobilitas fisik
B.3. ketidakefektifan perfusi jaringan perifer
B.4. Resiko Cedera
B.5. Resiko Cedera Saluran kemih
B.6. Konstipasi
B.7. Nyeri Akut
B.8. Resiko Dekubitus
54
C. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

DIAGNOSA
NO NOC NIC
KEPERAWATAN
1. Domain 2 Kesehatan fisiologis 2590 Monitor tekanan intracranial (TIK)
Domain 4 Aktivitas
Istirahat Kelas E Jantung paru 1) Bantu menyisipkan perangkat pemantauan TIK
Kelas 4 Respon
0406 Perfusi jaringan cerebral 2) Rekam pembacaan tekanan TIK
Kardiovaskuler Pulmonal
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3) Monitor kualitas dan karakteristik gelombang
Ketidakefektifan pola
napas (00032) diharapkan perfusi jaringan serebral efektif TIK
Batasan Karakteristik
dengan outcome : 4) Monitor tekanan aliran darah keotak
a. pola napas abnormal
8. Tekanan intracranial dalam kisaran normal 5) Periksa pasien terkait ada tidaknya gejala kaku
b. takipneu
c. penggunaan otor bantu 9. Tekanan darah sistolik dalam kisaran normal kuduk
napas
10. Tekanan darah diastolic dalam kisaran normal 6) Letakkan kepala dan leher pasien dalam posisi
Kondisi yang berhubungan
11. Sakit kepala, kegelisahan, penurunan tingkat netral, hindari fleksi pinggang yang berlebihan
a. gangguan neurologis
b. cedera medulla spinalis kesadaran tidak ada 7) Sesuaikan kepala tempat tidur untuk
c. disfungsi neuromuskular
12. Napas normal mengoptimalkan perfusi serebral
a.
13. tidak terjadi apneu 3350 Monitor Pernapasan

14. tidak terjai penurunan kesadaran 1. Monitor kecepatan, irama, kedalaman dan
55
kualitas bernapas

2. monitor pola napas

3. kaji perlu tidaknya suction

4. monitor sekresi pernapasan

5. monitor suara krepitasi pada pasien

6. monitor hasil ofto rotgen

7. ebrikan bantuan resusitasi jika diperlukan

2 Domain 4 Aktivitas Domain 1 : Fungsi kesehatan Exercise therapy : ambulation


Istirahat Kelas C : Mobilitas 1) Monitoring vital sign sebelm/sesudah latihan
Kelas 2 Aktivitas/ Olah Ambulasi (0200) dan lihat respon pasien saat latihan
Raga Outcome : 2) Konsultasikan dengan terapi fisik tentang
Hambatan mobilitas fisik Klien dapat meningkatkan/mempertahankan rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan
(00085) mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin 3) Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat
Batasan karakteristik : dapat mempertahankan posisi fungsional berjalan dan cegah terhadap cedera
a. Penurunan waktu reaksi meningkatkan kekuatan/fungsi yang sakit dan 4) Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain
b. kesulitan membolak mengkompensasi bagian tubuh menunjukkan tentang teknik ambulasi
balik posisi tekhnik yang memampukan melakukan aktivitas· 5) kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
c. melakukan aktivitas lain Klien meningkat dalam aktivitas fisik dengan 6) Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan
sebagai pengganti outcome: ADLs secara mandiri sesuai kemampuan
pergerakan 4. Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas 7) Dampingi dan Bantu pasien saat mobilisasi
56
d. dispnea setelah 5. Memverbalisasikan perasaan dalam dan bantu penuhi kebutuhan ADLs ps.
beraktivitas meningkatkan kekuatan dan kemampuan 8) Berikan alat Bantu jika klien memerlukan.
e. perubahan cara berjalan berpindah 9) Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi
f. gerakan bergetar 6. Memperagakan penggunaan alat Bantu dan berikan bantuan jika diperlukan
g. keterbatasan untuk mobilisasi (walker) Pengaturan Posisi
pengetahuan melakukan i. Mengetahui tingkat kemampuan klien dalam
ketrampilan motorik melakukan aktivitas.
halus 2. Menurunkan rsiko terjadinya iskemia jaringan
h. keterbatasan melakukan akibat sirkulassi darah yang jelek pada daerah
ketrampilan motorik yang tertekan.
kasar 3. Gerakan aktif memberikan massa, tonus, dan
i. keterbatasan rentang kekuatan otot serta memperbaiki fungsi
pergerakan sendi jantung dan pernafasan.
j. tremor akibat 4. Otot volumter akan kehilangan tonus dan
pergerakan kekuatanya bila tidahk dilatih untuk digerakan
k. ketidak stabilan postur 5. Telapak kaki dalam posisi 90 derajat dalam
l. pergerakan lambat mencegah footdrop.
c. m) pergerakan tidak 6. Deteksi dini adanya gangguan sirkulai dan
terkoordinasi hilangnya sensasi resiko tinggi kerusakan
integritass kulit kemungkinan komplikasi
imobilisasi.
7. untuk memelihara fleksibelitas sendi sesui
kemampuan.
57
8. Mempertahankan posisi tulang belakang tetap
rata.
9. Dilakukan untuk menegakan postur ddan
menguatkan otot-otot spinal.
10. Peningkatan kemampuan dalam mobilisasi
ekstremitas dapat ditingkatkan dengan latihan
fisik dari tim fisio terapis.

3
Domain 4 : Aktivitas/ Domain II : Kesehatan Fisiologis 1. Lakukan pengkajian yang komprehensif
Istirahat Kelas E : Status Sirkulasi (0401) terhadap sirkulasi perifer
Kelas 4 : Ketidakefektifan
2. 2. Pantau status cairan
perfusi jaringan Perifer Domain II: Kesehatan Fisiologis 3. Monitor TTV
(00204) Kelas G : Keseimbangan cairan (0601) 4. Monitor tekanan perfusi serebral
Definisi : Penurunan 5. Monitor intake dan output cairan
oksigen yang Outcome 6. Catat respon pasien terhadap stimuli
mengakibatkan kegagalan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 7. posisikan pasien pada posisi semi fowler
pengantaran nutrisi ke Keseimbangan cairan dapat dipertahankan pada 8. Instruksikan keluarga untuk mengobservasi kulit
jaringan pada tingkat rentang banyak terganggu (2) ditingkatkan pada jika ada lesi atau laserasi
kapiler. Sedikit terganggu (4) , yang dibuktikan dengan : 9. Gunakan sarung tangan untuk proteksi
3. tekanan darah normal 10. Kolaborasi pemberian intravena.
Batasan Karakterisik : 4. turgor kulit tidak kering 11. Dorong masukan oral
Perubahan tekanan 12. Atur kemungkinan transfusi
darah pada ekstermitas 13. Persiapan untuk transfusi
58

Nadi arteri lemah Health Education


Perubahan suhu kulit 1. Ajarkan pasien/keluarga tenghindari suhu
Nadi lemah atau tidak ekstrem pada ekstermitas
teraba 2. Anjurkan pasien untuk melaporkan tanda dan
Faktor yang Berhubungan : gejala yang ditimbulkan
Perubahan kemampuan 3. Anjurkan pasien atau keluarga untuk
Hb untuk mengikat oksigen memeriksa kulit setiap hari untuk mengetahui
Penurunan konsentrasi perubahan integritas kulit
Hb dalam darah

4 Domain 12: Domain V:


Manajemen Nyeri:
. Kenyamanan Kondisi Kesehatan yang Dirasakan
1) kaji secara komphrehensif tentang nyeri,
Kelas 1: Kelas V:
meliputi: lokasi, karakteristik dan onset, durasi,
Kenyamanan Fisik Status Gejala
frekuensi, kualitas, intensitas/beratnya nyeri,
Nyeri Akut (2102) Tingkat Nyeri
dan faktor-faktor presipitasi.
Dipertahankan pada berat (1), Ditingkatkan ke
2) Kaji tingkat keetidaknyamanan pasien dan
sedang (3) dengan outcome:
catat perubahan dalam catatan medik dan
- (210201) Nyeri yang dilaporkan informasikan kepada seluruh tenaga yang
- (210204) Panjangnya Episode nyeri menangani pasien
- (210221) Menggosok area yang terkena 3) Gunakan komunikasi terapeutik agar pasien
dampak dapat mengekspresikan nyeri
- (210226) Ekspresi wajah 4) Tentukan dampak dari ekspresi nyeri
- (210208) Tidak bisa istrahat terhadap kualitas hidup: pola tidur, nafsu
59
- (210217) Mengerang dan menangis
makan, aktifitas kognisi, mood, relationship,
pekerjaan, tanggungjawab peran.
5) Kontrol faktor-faktor lingkungan yang dapat
mempengaruhi respon pasien terhadap
ketidaknyamanan (ex: temperatur ruangan,
penyinaran, dll).
6) Modifikasi tindakan mengontrol nyeri
berdasarkan respon pasien.
7) Tingkatkan tidur/istirahat yang cukup.
8) Lakukan teknik variasi untuk mengurangi
nyeri (farmakologi, nonfarmakologi, dan
interpersonal).
9) Kolaborasikan dengan pasien, orang terdekat
dan tenaga profesional lain unntuk memilh
tenik non farmakologi.
Pemberian Analgesik:
1. Cek catatan medis untuk jenis obat, dosis, dan
frekuensi pemberian analgetik.
2. Kaji adanya alergi obat.
3. Monitor tanda vital sebelum dan sesudah
pemberian analgetik narkotik saat pertama kali
atau jika muncul tanda yang tidak biasanya.
4. Kaji kebutuhan akan kenyamanan atau aktivitas
60

lain yang membantu relaksasi untuk


memfasilitasi respon analgetik.
5. Evaluasi kemampuan pasien untuk
berpartisipasi dalam pemilihan jenis analgetik,
rute, dan dosis yang akan digunakan.
6. Pilih analgetik atau kombinasi analgetik yang
sesuai ketika menggunakan lebih dari satu obat.
7. Tentukan pilihan jenis analgetik (narkotik, non-
narkotik, atau NSAID/obat anti inflamasi non
steroid) bergantung dari tipe dan beratnya nyeri.
8. Berikan analgetik sesuai jam pemberian.
9. Dokumentasikan respon analgetik dan efek
yang muncul.
10. Kolaborasikan dengan dokter jika obat, dosis,
dan rute pemberian, atau perubahan interval
diindikasikan, buat rekomendasi spesifik
berdasar pada prinsip kesamaan analgetik.
Health Education :
1. Berikan informasi tentang nyeri, seperti:
penyebab, berapa lama terjadi, dan tindakan
pencegahan.
2. Anjurkan pasien untuk memonitor sendiri nyeri.
3. Informasikan kepada individu dengan
61

pemberian narkotik, mengantuk kadang-kadang


muncul pada 2 atau 3 hari pertama kemudian
berkurang
2590 Monitor tekanan intracranial (TIK)

1. Bantu menyisipkan perangkat

pemantauan TIK

2. Rekam pembacaan tekanan TIK

3. Monitor kualitas dan karakteristik

gelombang TIK

4. Monitor tekanan aliran darah keotak

5. Periksa pasien terkait ada tidaknya

gejala kaku kuduk

6. Letakkan kepala dan leher pasien dalam

posisi netral, hindari fleksi pinggang

yang berlebihan

7. Sesuaikan kepala tempat tidur untuk

mengoptimalkan perfusi serebral


62

8. Ajarkan tentang kegunaan anlgetik, strategi


untuk menurunkan efek samping, dan
harapan untuk keterlibatan pembuatan
keputusan tentang penurunan nyeri..
63

BAB VII
PENUTUP

Cedera kepala merupakan trauma yang menyerang otak yang dapat mengakibatkan
perubahan fisik secara intelektual,emosional dan sosial yang mana cedera kepala
diklasifikasikan berdasarkan mekanisme trauma(trauma tumpul,trauma tembus) berdasarkan
beratnya dapat dinilai dengan Glasgow scala coma (cedera kepala ringan GCS 13-
15,cedera kepala sedang GCS 9-12,cedera kepala berat GCS 3-8).cedera kepala primer
menyebabkan gangguan pada jaringan sedangkan cedera kepala sekunder biasa akan
timbul hipotensi sistemik,hipoksia,hiperkapnea,edema otak,komplikasi pernafasan.taruma
kepala menyebabkan tengkorak beserta isinya begetar,kerusakan yang terjadi tergantung
besarnya getaran makin besar getaran makin besar kerusakan yang timbul,getaran dari
benturan galia aponeurotika sehingga banyak energi yang di serap oleh perlindungan otak
hal iyu menyebabkan haematoma epidural,subdural,maupun intracranial,yang akan
mempengaruhi sirkulais darah keotak sehingga suplai o2 berkurang dan terjadi hipoksia
jaringan yang akan menyebabkan oedema cerebral sehingga terjadi peningkatan TIK
sedangkan trauma spinal adalah gangguan pada serabut spinal (spinal cord) yang
menyebabkan perubahan secarapermanen atau sementara ,akan tetapi fungsi
motorik,sensorik,atau anatomi masih normal
64

DAFTAR PUSTAKA

Bulecheck, Gloria M, Nursing Interventions Clasifications (NIC) edisi 6, Yogyakarta,


Mocomedia:2013

Centers for Disease Control and Prevention, National Center for Injury Prevention and
Control (diunduh dari https://www.cdc.gov/traumaticbraininjury/index.html
akses 4 Oktober 2019)

Komite Mutu dan Keselamatan Pasien. Panduan Sasaran Keselamatan Pasien. RSUD Asy-
Syifa’ Sumbawa Barat.Taliwang: 2018.

M. Black, Joyce, Keperawatan Medikal Bedah Buku 3, Jakarta, Elsevier: 2014.

Moorhead, Sue dkk, Nursing Outcomes Clasifications (NOC) Edisi 5 (edisi Bahasa
Indonesia), Yogyakarta, Mocomedia:2013

Nanda-I (2018-2020), Diagnosis Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi, Jakarta, EGC: 2017

Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Bare. 1997, Buku ajar Keperawatan Medikal - Bedah
vol. 1 edisi 8, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

Spinal Cord Injury,Prodia, Prostem diunduh dari http://prostem.co.id/articles/view/spinal-cord-


injury akses 3 oktober 2019

Violence and Injury Prevention and Disability (VIP), WHO diunduh dari
https://www.who.int/violence_injury_prevention/road_traffic/activities/neurot
rauma/en/ Akses 6 Oktober 2019

Anda mungkin juga menyukai