MAKALAH
KONSEP DAN ASUHAN KEPERAWATAN
PADA CIDERA KEPALA DAN CEDERA SPINAL
(Dikumpulkan Sebagai Tugas Keperawatan Medikal Bedah III)
OLEH:
KELOMPOK V
1. MARIA DIAN NURFITA NIM R011191028
2. CiTA SETYO DEWI NIM R011191029
3. NURHAYATI NIM R011191054
4. RAHMANIA NIM R011191111
5. JULHAIDIN NIM R011191144
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT hanya atas ridho dan perkenan-Nya pada hari yang
berbahagia ini kami dapat menyelesaikan “Makalah Konsep Dan Asuhan Keperawatan Pada
Cidera Kepala Dan Cedera Spinal” sebagai salah satu tugas Keperawatan Medikal Bedah III
, Mahasiswa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Hasanuddin , Makssar tahun 2019.
Makalah ini memuat uraian tentang Konsep Dasar pada Cidera Kepala dan Cidera
Spinal, Review Anatomi dan fisiologi, serta Asuhan Keperawatannya. Informasi tentang
standar-standar Penatalaksanaan dan Konsep Asuhan Keperawatan meliputi tahapan proses
keperawatan yaitu Pengkajian, Analisa Data, Diagnosa, Pembuatan Rencana Asuhan
Keperawatan berdasarkan NANDA 2018-2021 serta penerapannya berdasarkan NOC dan NIC
yang diberikan dalam buku ini diharapkan dapat menjadi acuan praktis dalam penerapannya
oleh mahasiswa Keperawatan ataupun perawat pada umumnya.
Kami menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada semua pihak yang telah terlibat dan memberikan kontribusinya dalam penyusunan
makalah ini serta penambahan materi dalam diskusi panel sebelum makalah ini kami susun
kembali dalam bentuk makalah. Adapun makalah ini sewaktu-waktu perlu ditinjau kembali
untuk disempurnakan sesuai dengan perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan serta
teknologi kedokteran dan keperawatan.
Akhirnya semoga “Makalah Konsep Dan Asuhan Keperawatan Pada Cidera Kepala
Dan Cedera Spinal” ini dapat bermanfaat bagi kita semua.Terima Kasih.
Penyusun
3
TIM PENYUSUN
MAKALAH
KONSEP DAN ASUHAN KEPERAWATAN
PADA CIDERA KEPALA DAN CEDERA SPINAL
(Dikumpulkan Sebagai Tugas Keperawatan Medikal Bedah III)
KELOMPOK V
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………........................................................................................................1
KATA PENGANTAR ............................................................................................................... 2
TIM PENYUSUN ..............................……............................................................................... 3
DAFTAR ISI…………………… .............................................................................................4
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………………..…...5
BAB II KONSEP DASAR CIDERA KEPALA…....................................................................... 7
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN PADA CIDERA KEPALA …......................................... 17
BAB IV KONSEP DASAR CIDERA SPINAL….......................................................................32
BAB V ASUHAN KEPERAWATAN PADA CIDERA SPINAL …......................................... 51
BAB VI PENUTUP………………………………………………………………………………… 63
DAFTAR PUSTAKA ……………..........................................................................................64
5
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Di Amerika Serikat, Traumatic Brain Injury (TBI) atau biasa kita sebut
dengan Cidera Otak atau cidera kepala adalah masalah kesehatan masyarakat yang
serius yang mengakibatkan kematian dan kecacatan bagi ribuan orang setiap tahun
(Center For Disease Control And Preventions (CDC)). Sedangkan Menurut World
Health Organization (WHO), Spinal Cord Injury (SCI) merupakan kondisi medis yang
kompleks dan mengganggu kehidupan. SCI terjadi karena cedera akut elemen saraf
tulang belakang, termasuk sumsum tulang belakang dan cauda equina. (Otier et al,
2014)
Berdasarkan data Center For Disease Control And Preventions (CDC)
tahun 2014 Pada tahun 2014, ada sekitar 2,87 juta TBI-EDHD di Amerika Serikat
dari total 2,53 juta kunjungan terkait TBI, termasuk diantaranya > 812,00 kasus terjadi
pada anak-anak, sekitar 288.000 kasus dirawat inap terkait TBI, dengan kasus
kematian 56.800 terkait TBI, termasuk 2.529 terjadi di antara anak-anak.Di wilayah
Asia Pasifik (Australia) terdapat 300 sampai 400 kasus baru per tahunnya. Di
Singapura setiap tahunnya terdapat sekitar 23 kasus per satu juta populasi (sekitar
6325 kasus baru) (Lim & Tow, 2007). Begitu juga yang terjadi di Indonesia, kasus SCI
semakin banyak terjadi tiap tahunnya (Nurhidayah, 2015).
Di Indonesia khususnya kasus TBI dan kasus Cidera spinal saling terkait
dengan penyebab tertinggi adalah kasus kecelakaan lalu lintas. Pengaruh yang
menyebabkan variasi dampak tiap penderita Trumatic Brain Injury (TBI) dan Spinal
Cord Injury( SCI) beragam, antara lain; usia terjadinya cedera, tingkat cedera,
ketersediaan dan waktu sumber daya dan jasa, lingkungan tempat tinggal orang
tersebut, fisik, sosial, ekonomi dan sikap. Dampak yang terjadi akibat TBI dan SCI
juga beragam, mulai dari dari yang gejala paing ringan seperti pusing, mual, muntah,
tekanan pada belakang leher, cedera punggung intens, perubahan posisi tulang
leher, kehilangan kontrol dalam berkemih, dan mati rasa pada jari kaki dan tangan.
Dampak kritis lainnya bagi penderita SCI yaitu gangguan pernafasan, kelumpuhan
organ gerak, gangguan berjalanan dan keseimbangan hingga kematian.
Oleh Karena itu Pentingnya pengetahuan tentang konsep dasar baik
anatomi fisiologi, etiologi, penataksanaan dan proses keperawatan pada kasus
Traumatic Brain Injury (TBI) dan Spinal Cord Injury(SCI) sangat perlu diketahui
6
B. Tujuan
B.1. Tujuan Umum
Meningkatkan mutu layanan pelayanan kesehatan melalui Peningkatan
Kompetensi Pemberi Asuhan Keparawatan khususnya Perawat pada Kondisi
Cidera Kepala dan Cidera Spinal
B.2. Tujuan Khusus
1. Menggerakkan segala sumber daya yang ada secara efektif dan efisien dalam
Peningkatan Kompetensi Pemberi Asuhan Keparawatan khususnya Perawat
pada Kondisi Cidera Kepala dan Cidera Spinal
2. Mengetahui pengertian trauma kepala, etiologi, klasifikasi, patofisiologi,
manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang dan penatalaksanaan pasien
dengan cidera Kepala dan cidera spinal
3. Menurunkan angka kejadian komplikasi pada Kondisi Cidera Kepala dan Cidera
Spinal
4. Meningkatkan pengetahuan perawat tentang perawatan pada Cidera Kepala
dan Cidera Spinal
5. Meningkatkan pengetahuan perawat tentang asuhan Keperawatan pada Cidera
Kepala dan Cidera Spinal
6. Mengetahui masalah keperawatan dan asuhan keperawatan pasien dengan
trauma kepala.
C. Ruang Lingkup
Makalah ini akan membahas konsep teori dan masalah keperawatan pasien dengan
trauma kepala serta asuhan keperawatan pasien dengan trauma kepala.
7
BAB II
KONSEP DASAR CIDERA KEPALA
A. DEFINISI
Trauma Kepala merupakan trauma yang mengenai otak yang dapat mengakibatkan
perubahan fisik secara intelektual, emosional dan social (Juda and Rahil , 2011)
B. ETILOGI
B.1. Kecelakaan kendaran bermotor, jatuh, kecelakaan industry, serangan yang
berhubungan olah raga, persalinan.
B.2. Menurut Masjoer, Cidera Kepala disebabkan sebagian besar kematian dan
kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat
kecelakaan lalu lintas
C. KLASIFIKASI
Cedera kepala dapat dilasifikasikan sebagai berikut :
C.1. Berdasarkan Mekanisme
a. Trauma Tumpul
Trauma tumpul adalah trauma yang terjadi akibat kecelakaan kendaraan
bermotor, kecelakaan saat olahraga, kecelakaan saat bekerja, jatuh, maupun
cedera akibat kekerasaan (pukulan).
b. Trauma Tembus
Trauma yang terjadi karena tembakan maupun tusukan benda-benda
tajam/runcing.
C.2. Berdasarkan Beratnya Cidera
Cedera kepala berdasarkan beratnya cedera didasarkan pada penilaian Glasgow
Scala Coma (GCS) dibagi menjadi 3, yaitu :
a. Cedera kepala ringan
1. GCS 13 - 15
2. Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30
menit.
3. Tidak ada fraktur tengkorak, kontusio serebral dan hematoma
9
D. PATOFISIOLOGI
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi.
Energi yang dihasilkan di dalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi.
Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun
sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen
sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan
menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa
12
tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala
permulaan disfungsi cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen
melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada
kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat
metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik. Dalam keadaan
normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml/menit/100 gr. jaringan otak, yang
merupakan 15 % dari cardiac output dan akibat adanya perdarahan otak akan
mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan
pembuluh darah arteriol akan berkontraksi
Menurut Long (1996) trauma kepala terjadi karena cidera kepala, kulit kepala, tulang
kepala, jaringan otak. Trauma langsung bila kepala langsung terluka. Semua itu berakibat
terjadinya akselerasi, deselerasi dan pembentukan rongga. Trauma langsung juga
menyebabkan rotasi tengkorak dan isinya, kekuatan itu bisa seketika/menyusul rusaknya
otak dan kompresi, goresan/tekanan. Cidera akselerasi terjadi bila kepala kena benturan dari
obyek yang bergerak dan menimbulkan gerakan. Akibat dari akselerasi, kikisan/konstusio
pada lobus oksipital dan frontal batang otak dan cerebellum dapat terjadi. Sedangkan cidera
deselerasi terjadi bila kepala membentur bahan padat yang tidak bergerak dengan
deselerasi yang cepat dari tulang tengkorak.
Pengaruh umum cidera kepala dari tengkorak ringan sampai tingkat berat ialah edema
otak, deficit sensorik dan motorik. Peningkatan TIK terjadi dalam rongga tengkorak (TIK
normal 4-15 mmHg). Kerusakan selanjutnya timbul masa lesi, pergeseran otot.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada
permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat,
cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak
ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada
area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan
peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa
kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan
hipotensi.
Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala “fokal” dan “menyebar”
sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk menggambarkan hasil yang lebih
khusus. Cedera fokal diakibatkan dari kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan
hematom intraserebral, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan
massa lesi, pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan dengan
kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu: cedera akson
menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multipel
13
pada seluruh otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan karena kompresi pada
batang otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak, atau dua-
duanya.
Sedangkan patofisiologi menurut Markum (1999). trauma pada kepala menyebabkan
tengkorak beserta isinya bergetar, kerusakan yang terjadi tergantung pada besarnya getaran
makin besar getaran makin besar kerusakan yang timbul, getaran dari benturan akan
diteruskan menuju Galia aponeurotika sehingga banyak energi yang diserap oleh
perlindungan otak, hal itu menyebabkan pembuluh darah robek sehingga akan
menyebabkan haematoma epidural, subdural, maupun intracranial, perdarahan tersebut juga
akan mempengaruhi pada sirkulasi darah ke otak menurun sehingga suplay oksigen
berkurang dan terjadi hipoksia jaringan akan menyebabkan odema cerebral.
Akibat dari haematoma diatas akan menyebabkan distorsi pada otak, karena isi otak
terdorong ke arah yang berlawanan yang berakibat pada kenaikan T.I.K (Tekanan Intra
Kranial) merangsang kelenjar pituitari dan steroid adrenal sehingga sekresi asam lambung
meningkat akibatnya timbul rasa mual dan muntah dan anaroksia sehingga masukan nutrisi
kurang (Satya, 1998).
E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan
jaringan otak. Ini diperlukan untuk mengetahui adanya infark/iskemia jangan dilekukan
pada 24 - 72 jam setelah injuri.
2. MRI
Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
3. Cerebral Angiography
Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan otak sekunder
menjadi edema, perdarahan dan trauma.
4. EEG (Elektroencepalograf)
Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
5. X-Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
6. BAER
Mengoreksi batas fungsi Corteks dan otak kecil
7. PET
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
8. CSF, Lumbal Pungsi
14
F. PENATALAKSANAAN
Secara umum penatalaksanaan therapeutik pasien dengan trauma kepala adalah sebagai
berikut:
1. Observasi 24 jam
2. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
a. Makanan atau cairan, pada trauma ringan bila muntah-muntah, hanya cairan infus
dextrosa 5 %, amnifusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2 -
3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
3. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
4. Pada anak diistirahatkan atau tirah baring.
5. Terapi obat-obatan.
a. Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai
dengan berat ringanya trauma.
b. Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi vasodilatasi.
c. Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20 % atau glukosa 40
% atau gliserol 10 %.
6. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin) atau untuk infeksi anaerob
diberikan metronidasol.
7. Pada trauma berat. karena hari-hari pertama didapat penderita mengalami penurunan
kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka hari-hari pertama
(2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextosa 5 % 8 jam pertama, ringer dextrosa 8
jam kedua dan dextrosa 5 % 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran
rendah makanan diberikan melalui nasogastric tube (2500 - 3000 TKTP).
8. Pembedahan bila ada indikasi.
G. KOMPLIKASI
15
1. Hemorrhagie
2. Infeksi
3. Edema serebral dan herniasi
4. Perubahan Kesadaran
5. Koma
6. Vegetatif
7. Minimali Conciostate
8. Lobskit In Syndrome
9. Kematian otak
10. Kejang
11. Peningkatan TIK
Skala Koma glasgow (GCS)
NO KOMPONEN NILAI HASIL
1 VERBAL 1 Tidak berespon
2 Suara tidak dapat dimengerti, rintihan
3 Bicara kacau/kata-kata tidak tepat/tidak nyambung dengan
pertanyaan
4 Bicara membingungkan, jawaban tidak tepat
5 Orientasi baik
2 MOTORIK 1 Tidak berespon
2 Ekstensi abnormal
3 Fleksi abnormal
4 Menarik area nyeri
5 Melokalisasi nyeri
6 Dengan perintah
3 Reaksi 1 Tidak berespon
membuka 2 Rangsang nyeri
mata (EYE) 3 Dengan perintah (rangsang suara/sentuh)
4 Spontan
c. Fungsi motorik
Setiap ekstremitas diperiksa dan dinilai dengan skala berikut yang digunakan secara
internasional :
RESPON SKALA
Kekuatan normal 5
16
Kelemahan sedang 4
Kelemahan berat (antigravity) 3
Kelemahan berat (not antigravity) 2
Gerakan trace 1
Tak ada gerakan 0
17
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA CIDERA KEPALA
A. PENGKAJIAN
A.1. Pengkajian Data Dasar
Meliputi nama, tanggal lahir, tempat tinggal, nama orang tua (ibu kanduang ) sesuai
dengan Standard yang berlaku (Sasaran Keselamatan Pasien penandaan identitas
menggunakan nama diikuti nama ibu kandung bila nama terdiri dari 1 kata misalnya
Maemunah binti Jaenab(nama ibu))
A.2. Anamnesis Riwayat Penyakit
a. Keluhan Utama
Cedera Kepala mempunyai keluhan atau gejala utama yang berbeda-beda
tergantung letak lesi dan luas lesi. Keluhan utama yang timbul seperti nyeri kepala,
rasa bebal, kekakuan pada leher atau punggung danmual, muntak, sakit kepala
sampai pada penurunan kesadaran.
b. Riwayat Penyakit Saat Ini
Pengkajian ini sangat penting dalam menentukan derajat kerusakan dan adanya
kehilangan fungsi neurologi spinalis dapat mengalami cedera melalui beberapa
mekanisme, cedera primer meliputi satu atau lebih proses berikut dan gaya :
kompresi akut, benturan, destruksi, laserasi dan trauma tembak.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Penyakit seperti Reumatoid Artritis, Pseudohipoparatiroid, Spondilitis, Ankilosis,
Osteoporosis, Hernia Nukleus Pulpusus (HNP) maupun Tumor ganas biasanya
menjadi faktor predisposisi
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu ditanyakan riwayat penyakit keluarga yang dapat memperberat cedera
spinalis seperti asma, kanker, Hipertensi, Diabetes militus dan beberapa penyakit
hereditary yang dapat memperberat kondisi
B1 (BREATHING)
a. Perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada jenis cidera kepalanya
b. Pergerakan dinding dada simetris, tidak ada batuk, nafas dada cepat dan
dangkal, sesak nafas, frekuensi nafas <16 x/menit. Suara nafas tidak baik, ada
weezing.
c. ada pernafasan cuping hidung,
B2 (BLOOD)
a. peningkatan resiko syok hipovolemik yang sering terjadi pada klien cedera kepala
b. Penurunan tekanan darah
c. bradikardi
d. Adanya perubahan-perubahan warna kulit, kelemahan otot, adanya sianosis
e. ada otorrhoe (cairan serebrospinal keluar dari telinga), battle sign (warna biru atau
ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid), dan memotipanum (perdarahan di
daerah membrane timpani telinga))
B3 (BRAIN)
a. tingkat kesadaran GCS cenderung compos mentis tergantung lesi/luka/ keparahan
cidera
b. pada kondisi tertentu GCS dinilai 5-15
c. pengkajian fungsi serebral dan pengkajian saraf kranial.
d. konjungtiva warna pucat, sclera putih, pupil anisokor, reflex pupil tidak teratur, pupil
tidak bereaksi terhadap rangsangan cahaya, gerakan mata tidak normal, banyak
sekret)
e. Pengkajian tingkat kesadaran : tingkat keterjagaan klien dan respon terhadap
lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem persyarafan.
f. Pengkajian fungsi serebral : status mental observasi penampilan, tingkah laku nilai
gaya bicara dan aktivitas motorik klien
g. Pengkajian sistem motorik : inspeksi umum didapatkan kelumpuhan pada ekstermitas
bawah, baik bersifat paralis, paraplegia, maupun quadriplegia
h. Mengalami deformitas, postur, nyeri tekan
B4 (BLADDER)
a. Penurunan jumlah urine
b. peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat menurunnya perfusi pada ginjal.
B5 (BOWEL)
gejala awal dari tahap syok spinal yang akan berlangsung beberapa hari sampai
beberapa minggu akan ditemukan neuropraksia sering didapatkan adanya ileus
paralitik, dimana klinis didapatkan hilangnya bising usus, kembung,dan defekasi,
tidak ada.
19
B6 (BONE)
Tulang tengkorak : Inspeksi (bentuk mesocepal, ukuran kranium, ada deformitas, ada
luka, tidak ada benjolan, tidak ada pembesaran kepala) Palpasi (ada nyeri tekan, ada
robekan)
Kulit kepala : Inspeksi (kulit kepala tidak bersih, ada lesi, ada skuama, ada kemerahan)
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
B.1. Penurunan kapasitas adaptif intrakranial
B.2. ketidak efektifkan perkusi jaringan perifer cerebral
B.3. Ketidakefektifan pola pernapasan
B.4. Hambatan mobilitas fisik
B.5. ketidakefektifan perfusi jaringan perifer
B.6. Resiko Cedera
B.7. Resiko Cedera Saluran kemih
B.8. Konstipasi
B.9. Nyeri Akut
B.10. Ansietasl
20
B. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
DIAGNOSA
NO NOC NIC
KEPERAWATAN
1. Domain 9 Koping/ Domain 2 Kesehatan fisiologi 2620 Monitor neurologi
Toleransi stress Kelas 1 Neurokognitif 1. Pantau ukuran pupil, bentuk, kesimetrisan dan
00049 Penurunan diharapkan tidak terjadi penurunan kapasitas 3. Monitor tanda-tanda vital : suhu, tekanan darah,
Kapasitas Adaptif adaptif intracranial dengan kriteria hasil : denyut nadi dan respirasi
Intrakranial 1. Denyut jantung apikal dalam kisaran normal 4. Hindari kegiatan yang bisa meningkatkan
3. Tekanan darah sistolik dalam kisaran normal 5. Beri jarak kegiatan keperawatan yang
Tekanan darah diastolik dalam kisaran normal diperlukan yang bisa meningkatkan tekanan
intrakranial
2. Domain 4 Aktifitas/ Istirahat Domain 2 Kesehatan fisiologis 2590 Monitor tekanan intracranial (TIK)
Kelas 4 Respons Kelas E Jantung paru 1. Bantu menyisipkan perangkat pemantauan TIK
Kardiovaskular/ Pulmonal 0406 Perfusi jaringan cerebral 2. Rekam pembacaan tekanan TIK
21
00201 Risiko Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3. Monitor kualitas dan karakteristik gelombang
1. Tekanan intracranial dalam kisaran normal 5. Periksa pasien terkait ada tidaknya gejala kaku
3. Tekanan darah diastolic dalam kisaran normal 6. Letakkan kepala dan leher pasien dalam posisi
4. Sakit kepala, kegelisahan, penurunan tingkat netral, hindari fleksi pinggang yang berlebihan
4
Domain 4 : Aktivitas/ Domain II : Kesehatan Fisiologis 1. Lakukan pengkajian yang komprehensif
Istirahat Kelas E : Status Sirkulasi (0401) terhadap sirkulasi perifer
Kelas 4 : Ketidakefektifan
2. 2. Pantau status cairan
perfusi jaringan Perifer Domain II: Kesehatan Fisiologis 3. Monitor TTV
(00204) Kelas G : Keseimbangan cairan (0601) 4. Monitor tekanan perfusi serebral
Definisi : Penurunan 5. Monitor intake dan output cairan
oksigen yang Outcome 6. Catat respon pasien terhadap stimuli
mengakibatkan kegagalan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 7. posisikan pasien pada posisi semi fowler
24
pengantaran nutrisi ke Keseimbangan cairan dapat dipertahankan pada 8. Instruksikan keluarga untuk mengobservasi
jaringan pada tingkat rentang banyak terganggu (2) ditingkatkan pada kulit jika ada lesi atau laserasi
kapiler. Sedikit terganggu (4) , yang dibuktikan dengan : 9. Gunakan sarung tangan untuk proteksi
1. tekanan darah normal 10. Kolaborasi pemberian intravena.
Batasan Karakterisik : 2. turgor kulit tidak kering 11. Dorong masukan oral
Perubahan tekanan 12. Atur kemungkinan transfusi
darah pada ekstermitas 13. Persiapan untuk transfusi
Nadi arteri lemah Health Education
Perubahan suhu kulit 1. Ajarkan pasien/keluarga tenghindari suhu
Nadi lemah atau tidak ekstrem pada ekstermitas
teraba 2. Anjurkan pasien untuk melaporkan tanda
Faktor yang Berhubungan : dan gejala yang ditimbulkan
Perubahan kemampuan 3. Anjurkan pasien atau keluarga untuk
Hb untuk mengikat oksigen memeriksa kulit setiap hari untuk
Penurunan konsentrasi mengetahui perubahan integritas kulit
Hb dalam darah
6
Domain 9 :
1. Tingkat ansietas Penurunan ansietas
Koping/Toleransi Stres 2. Pengendalian-Diri terhadap ansietas 1. Kaji dan dokumentasikan tingkat kecemasan
Kelas 2 : Ansietas (00146)3. Kosentrasi pasien
Definisi: Perasaan tidak
4. Koping 2. Kaji untuk factor budaya (misalnya, konflik nilai)
nyaman atau kekhawatiran yang menjadi penyebab ansietas
yang samar disertai Kriteria Hasil: 3. Menentukan kemampuan pengambilan
respons autonom (sumber Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien keputusan pasien
sering kali tidak spesifik mampu untuk: 4. Gunakan pendekatan yang tenag dan meykinka
atau tidak dikethui oleh 1. Ansietas berkurang, dibuktikan oleh bukti 5. Nyatakan dengan jelas tentang harapan
individu); perasaan takut tingkat ansietas hanya ringan sampai terhadap perilaku pasien
yang disebabkan oleh sedang, dan selalu menunjukan 6. Damping pasien /9misalnya Selma prosedur )
antisipasi terhadap bahaya. pengendalian-diri terhadap ansietas, ntuk meningkatkan keamanan dan mangurangi
Perasaan ini merupakan kosentrasi dan koping rasa takut
isyarat kewaspadaan yang 2. Menunjukan pengendalian-diri terhadap 7. Berikan pijatan punggung/pijatan leher, jika
memperingatkan ansietas, yang dibuktikan oleh indikator perlu
bahayyang akan terjadi dan sebagai berikut (sebutakan 1-5: tidak pernah, 8. Jaga peralatan perawatan jauh dari pandangan
memampukan individu jarang, kadang-kadang, sering atau selalu) : 9. Bantu pasien untuk mengidentifikasikan situasi
melakukan tindakan ntuk 3. Merencanakan strategi koping untuk situasi yang mencetuskan ansietas
29
Tremor di tangan
Suara bergetar
Kesadaran terhadap
gejala-gejala fisiologis
Konfusi
Penurunan lapang
pandang kesulitan
untuk berkonsentrasi
Melamun
Faktor yang Berhubungan:
Transmisi dan
penularan
interpersonal
ancaman kematian
Ancaman atau
perubahan pada status
peran, fungsi peran,
lingkungan, status
kesehatan, status
ekonomi, atau pola
interaksi
Ancaman terhadap
konsep diri
31
BAB IV
KONSEP DASAR TRAUMA SPINAL
A. ANATOMI FISIOLOGI
Vertebra dimulai dari cranium sampai pada apex coccigeus, membentuk skeleton dari
leher, punggung dan bagian utama dari skeleton (tulang cranium, costa dan sternum).
Fungsi vertebra yaitu melindungi medulla spinalis dan serabut syaraf, menyokong berat
badan dan berperan dalam perubahan posisi tubuh. Vertebra pada orang dewasa terdiri
dari 33 Vertebra dengan pembagian 5 regio Yaitu 7 Cervical, 12 Thoracal, 5 Lumbal, 5
Sacral, 4 Coccigeal.(Gbr.1)
Gambar 3 Tulang belakang (sumber: Atlas of Human Anatomy, Frank H. Netter, 4th
Edition, 2006, Saunders Elsevier, ISBN-13:978-1-4160-3385-1)
33
Lengkung kolumna vertebralis kalau dilihat dari samping maka kolumna vertebralis
memperlihatkan empat kurva atau lengkung antero-pesterior yaitu
1. lengkung vertikal pada daerah leher melengkung kedepan,
2. daerah torakal melengkung kebelakang,
3. daerah lumbal kedepan dan
4. daerah pelvis melengkung kebelakang.
Kedua lengkung yang menghadap pasterior, yaitu
1. torakal dan
2. pelvis,disebut promer karena mereka mempertahankan lengkung aslinya
kebelakang dari hidung tulang belakang, yaitu bentuk (sewaktu janin dengan
kepala membengkak ke bawah sampai batas dada dan gelang panggul
dimiringkan keatas kearah depan badan.
Kedua lengkung yang menghadap ke anterior adalah sekunder → lengkung
servikal berkembang ketika anak-anak mengangkat kepalanya untuk melihat
sekelilingnya sambil menyelidiki, dan lengkung lumbal di bentuk ketika ia merangkak,
berdiri dan berjalan serta mempertahankan tegak.
Fungsi dari kolumna vertebralis yaitu sebagai
1. penunjang badan yang kokoh dan
2. sekaligus bekerja sebagai penyangga ke depan perantaraan tulang rawan
cakram intervertebralis yang lengkungnya memberikan fleksibilitas dan
memungkinkan membongkok tanpa patah.
3. menyerap goncangan yang terjadi bila menggerakkan berat badan seperti
waktu berlari dan meloncat, dan dengan demikian otak dan sumsum belakang
terlindung terhadap goncangan. Disamping itu juga
4. untuk memikul berat badan,
5. menyediakan permukaan untuk kartan otot dan
6. membentuk tapal batas posterior yang kukuh untuk rongga-rongga badan dan
memberi kaitan pada iga. (Eveltan.C. Pearah, 1997 dalam Ilham, 2008).
Medulla spinalis atau sumsum tulang belakang bermula ada medulla oblongata,
menjulur kearah kaudal melalu foramen magnum dan berakhir diantara vertebra-
lumbalis pertama dan kedua. Disini medulla spinalis meruncing sebagai konus
medularis, dan kemudian sebuah sambungan tipis dari piameter yang disebut filum
terminale, yang menembus kantong durameter, bergerak menuju koksigis. Sumsum
tulang belakang yang berukuran panjang sekitar 45 cm ini,pada bagian depannya
dibelah oleh fisura anterior yang dalam, sementara bagian belakang dibelah oleh
sebuah fisura sempit.
35
Pada sumsum tulang belakang terdapat dua penebalan cervikal dan lumbal.
Dari penebalan ini, plexus-Plexus saraf bergerak guna melayani anggota badan
atas dan bawah dan Plexus dari daerah thoraks membentuk saraf-saraf
interkostalis. Fungsi sumsum tulang belakang adalah mengadakan komunikasi
antara otak dan semua bagian tubuh dan bergerak refleks.
Trauma tulang dapat mengenai jaringan lunak berupa ligament, discus dan
faset, tulang belakang dan medulla spinalis. Adapun beberapa ligamen yang
terdapat pada tulang servikal antara lain adalah :
1. Ligamentum Flava
Serangkaian pita dari jaringan elastis kuning melekat dan memperluas
antara bagian ventral lamina dari dua tulang yang berdekatan, dari sumbu
ke sacrum.. Namanya Latin untuk "ligamen kuning," dan ini terdiri dari
elastis jaringan ikat
Fungsinya membantu mempertahankan postur tubuh ketika seseorang
sedang duduk atau berdiri tegak.
Terletak posterior tubuh vertebra, tetapi anterior proses spinosus dari
tulang belakang, yang merupakan tulang Prongs memancing ke bawah
dari belakang setiap tulang belakang,
flava ligamenta membentuk dua sejajar,
bersatu garis vertikal dalam kanalis vertebralis.
Dimulai dari C2, vertebra servikalis kedua, semua cara untuk S1 dari
sacrum, tulang ditumpuk pada dasar tulang belakang di panggul.
Pada ujung atas, setiap Flavum Ligamentum menempel pada bagian
bawah lamina dari vertebra di atasnya.
lamina ini adalah proyeksi horizontal pasangan tulang yang membentuk
dua jembatan mencakup ruang antara pedikel di kedua sisi tubuh
vertebral dan proses spinosus belakangnya.
Mereka memperpanjang dari pedikel, setiap proses yang kurus
menonjol ke belakang dari kedua sisi dari tubuh vertebra, dan sudut
terhadap garis tengah tulang belakang, menggabungkan di tengah.
2. Ligamentum Nuchae
berbentuk padat bilaminar septum, segitiga intermuskularis fibroelastic
garis tengah.
Ia meluas dari tonjolan oksipital eksternal ke punggung C7 dan
menempel pada bagian median dari puncak occipital eksternal,
tuberkulum posterior C1 dan aspek medial duri terpecah dua belah leher
rahim, ligamen terbentuk terutama dari lampiran aponeurotic dari otot
leher rahim yang berdekatan dan yg terletak di bawah.
Dari dangkal sampai dalam, otot-otot ini adalah trapezius, genjang kecil,
capitus splenius, dan serratus posterior superior.
Juga anatomi, dan mungkin penting secara klinis, ligamen telah
ditemukan memiliki lampiran berserat langsung dengan dura tulang
belakang antara tengkuk dan C1.
3. Zygapophyseal
Zygapohyseal adalah sendi sinovial sendi-sendi paling dasar dalam tubuh
manusia.
Gabungan sinovial ditandai dengan memiliki kapsul sendi, cairan-cairan
sinovial sendi kapsul untuk melumasi bagian dalam sendi, dan tulang
rawan pada permukaan sendi di tengah atas dan bawah permukaan yang
berdekatan dari setiap tulang belakang untuk memungkinkan tingkat
gerakan meluncur.
B. DEFINISI
Trauma spinal yaitu gangguan pada serabut spinal (spinal cord) yang
menyebabkan perubahan secara permanen atau sementara, akan tetapi fungsi motorik,
sensorik atau anatomi masih normal.
Cedera medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang
disebabkan oleh benturan pada medulla spinalis (Brunner & Suddarth,2001)
Cedera medulla spinalis adalah kerusakan tulang sumsum yang mengakibatkan
gangguan sistem persyarafan didalam tubuh manusia yang diklasifikasikan sebagai :
komplit (kehilangan sensasi dan fungsi motorik), tidak komplit (campuran kehilangan
sensori dan fungsi motorik).
D.3 Morfologi
Cedera tulang belakang dapat dibagi atas
1. fraktur,
Klasifikasi fraktur dapat mengambil berbagai bentuk tergantung dari besar kecilnya
kerusakan anatomis atau berdasarkan stabil atau tidak stabil. ‘Major Fracture’ bila
fraktur mengenai pedikel, lamina atau korpus vertebra . ‘Minor Fraktur’ bila fraktur
terjadi pada prosesus transversus, prosesus spinosus atau prosesus artikularis .
41
Suatu fraktur disebut ’stable’, bila kolumna vertebralis masih mampu menahan beban
fisik dan tidak tampak tanda – tanda pergeseran atau deformitas dari struktur
vertebra dan jaringan lunak. Suatu fraktur disebut ’unstable’, bila kolumna vertebralis
tidak mampu menahan beban normal, kebanyakan menunjukkan deformitas dan rasa
nyeri serta adanya ancaman untuk terjadi gangguan neurologik.
2. fraktur dislokasi,
3. cedera medulla spinalis tanpa abnormalitas radiografi (SCIWORA), atau cedera
penetrans.
Cedera yang mengenai kolumna spinalis akan diuraikan dalam urutan anatomis, dari
cranial mengarah keujung kaudal tulang belakang:
a. Dislokasi atlanto – oksipital (atlanto-occipital dislocation)
Cedera ini jarang terjadi dan timbul sebagai akibat dari trauma fleksi dan distraksi
yang hebat. Kebanyakan penderita meninggal karena kerusakan batang otak.
Kerusakan neurologis yang berat ditemukan pada level saraf kranial bawah.
kadang- kadang penderita selamat bila resusitasi segera dilakukan di tempat
kejadian.
b. Fraktur atlas (C-1)
Atlas mempunyai korpus yang tipis dengan permukaan sendi yang lebar. Fraktur
C-1 yang paling umum terdiri dari burst fraktur (fraktur Jefferson). Mekanisme
terjadinya cedera adalah axial loading, seperti kepala tertimpa secara vertikal oleh
benda berat atau penderita terjatuh dengan puncak kepala terlebih dahulu.
Fraktur Jefferson berupa kerusakan pada cincin anterior maupun posterior dari
C-1, dengan pergeseran masa lateral. Fraktur akan terlihat jelas dengan proyeksi
open mouth dari daerah C-1 dan C-2dan dapat dikomfirmasikan dengan CT Scan.
Fraktur ini harus ditangani secara awal dengan Neck Collar .
c. Rotary subluxation dari C-1
Cedera ini banyak ditemukan pada anak-anak Dapat terjadi spontan setelah
terjadi cedera berat/ ringan, infeksi saluran napas atas atau penderita dengan
rematoid arthritis. Penderita terlihat dengan rotasi kepala yang menetap. Pada
cedera ini jarak odontoid kedua lateral mass C-1 tidak sama, jangan dilakukan
rotasi dengan paksa untuk menaggulangi rotasi ini, sebaiknya dilakukan
imobilisasi. Dan segera rujuk.
42
A = Cedera Saraf Lengkap: Terjadi kehilangan fungsi motorik dan sensori lengkap
(Complet Loss) khususnya di segmen S4-S5.
B = Cedera Saraf Tidak Lengkap: Fungsi motorik hilang, fungsi sensori utuh, kadang
terjadi pada segmen S4-S5.
C = Cedera Saraf Tidak Lengkap: Fungsi motorik ada tetapi secara praktis tidak
berguna (dapat menggerakan tungkai tetapi tidak bisa berjalan) dan tingkat
kekuatan otot dibawah 3.
D = Cidera Saraf Tidak Lengkap: fungsi motorik terganggu (dapat berjalan tetapi tidak
dengan normal) tingkat kekuatan otot sama atau diatas 3.
E =Normal: Fungsi sensorik dan motorik normal.
Fraktur dapat diakibatkan oleh beberapa hal yaitu:
a. Fraktur akibat peristiwa trauma
Sebagian fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba berlebihan yang dapat
berupa pemukulan, penghancuran, perubahan pemuntiran atau penarikan. Bila
tekanan kekuatan langsung tulang dapat patah pada tempat yang terkena dan
jaringan lunak juga pasti akan ikut rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur
lunak juga pasti akan ikut rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur
melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya. Penghancuran kemungkinan akan
menyebabkan fraktur komunitif disertai kerusakan jaringan lunak yang luas.
b. Fraktur akibat kelelahan atau tekanan
Retak dapat terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan benda lain akibat
tekanan berulang-ulang. Keadaan ini paling sering dikemukakan pada Aksis
merupakan tulang vertebra terbesar dan mempunyai bentuk yang istimewa karena itu
mudah mengalami cedera.
c. Fraktur odontoid
Kurang 60% dari fraktur C-2 mengenai odontoid suatutonjolan tulang berbentuk
pasak. Fraktur ini dapat diidentifikasi dengan foto ronsen servikal lateral atau buka
mulut.
d. Fraktur dari elemen posterior dari C-2
Fraktur hangman mengenai elemen posterior C-2, parsinter artikularis 20% dari
seluruh fraktur aksis fraktur disebabkan oleh fraktur ini. Disebabkan oleh trauma tipe
ekstensi, dan harus dipertahankan dalam imobilisasi eksternal.
44
E. PATOFISIOLOGI
Penyebab tersering terjadinya cedera tulang belakang cervical adalah
kecelakaan mobil, kecelakaan motor, jatuh, cedera olah raga, dan luka akibat tembakan
atau pisau. Menurut mekanisme terjadinya cidera, cidera servikal di bagi atas fleksi,
fleksi rotasi, ekstensi, kompresi aksial. Cidera cervical atas adalah fraktura atau
dislokasi yang mengenai Basis Occiput-C2. Cidera tulang belakang cervical bawah
termasuk fraktura dan dislokasi ruas tulang belakang C3-C7. Ruas tulang belakang C5
adalah yang tersering mengalami fraktur.
C1 hanya berupa cincin tulang yang terdiri atas arcus anterior yang tebal dan
arcus posterior yang tipis, serta masa lateralis pada masing-masing sisinya. Tulang ini
berartikulasi dengan kondilus occipitalis membentuk articulatio atlanto-occipitalis, tempat
berlangsungnya gerakan mengangguk. Dibawah, tulang ini beratikulasi dengan C2,
membentuk articulasio atlanto-axialis, tempat berlangsungnya gerakan memutar kepala.
Ketika cidera terjadi fraktur tunggal atau multiple pada cincin C1 dan dislokasi atlanto-
occipitalis sehingga menyebabkan ketidakmampuan menggerakkan kepala dan
45
kerusakan pada batang otak. Cedera pada C1 dan C2 menyebabkan ventilasi spontan
tidak efektif.
Pada C3-C5 dapat terjadi kerusakan nervus frenikus sehingga dapat terjadi hilangnya
inervasi otot pernafasan aksesori dan otot interkostal yang dapat menyebabkan
komplience paru menurun.
Pada C4-C7 dapat terjadi kerusakan tulang sehingga terjadi penjepitan medula
spinalis oleh ligamentum flavum di posterior dan kompresi osteosif/material diskus dari
anterior yang bisa menyebabkan nekrosis dan menstimulasi pelepasan mediator kimia
yang menyebabkan kerusakan myelin dan akson, sehingga terjadi gangguan sensorik
motorik. Lesi pada C5-C7 dapat mempengaruhi intercostal, parasternal, scalenus, otot2
abdominal. Intak pada diafragma, otot trapezius, dan sebagian pectoralis mayor.
Cedera pada tulang servikal dapat menimbulkan lesi atau cedera pada medulla
spinalis yang dapat terjadi beberapa menit setelah adanya benturang keras mengenai
medulla spinalis. Saat ini, secara histologis medulla spinalis masih normal. Dalam waktu
24-48 jam kemudian terjadi nekrosis fokal dan inflamasi. Pada waktu cedera terjadi
disrupsi mekanik akson dan neuron. Ini disebut cedera neural primer. Disamping itu juga
terjadi perubahan fisiologis dan patologis progresif akibat cedera neural sekunder.
Beberapa saat setelah terjadi kecelakaan atau trauma pada servikal maka akan
terjadi kerusakan secara struktural yang mengakibatkan gangguan pada saraf spinal
dan pembuluh darah disekitarnya yang akan menghambat suplai O2 ke medulla spinalis
atau akan terjadi ischemik pada jaringan tersebut. Karena terjadi ischemik pada jaringan
tersebut, dalam beberapa menit atau jam kemudian akan ada pelepasan vasoactive
agent dan cellular enzym yang menyebabkan konstriksi kapiler pada pusat substansi
abu-abu medula spinalis. Ini merupakan permulaan dari cedera neural sekunder pada
cedera medula spinalis. Selanjutnya adalah peningkatan level Ca pada intraselular yang
mengakibatkan kerusakan pada endotel pembuluh darah yang dalam beberapa jam
kemudian dapat menimbulakan aneurisma dan ruptur pada pembuluh darah di medula
spinal. Peningkatan potasium pada ekstraseluler yang mengakibatkan terjadinya
depolarisasi pada sel (Conduction Block). Hipoxia akan merangsang pelepasan
katekolamin sehingga terjadi perdarahan dan nekrosis pada sel.
Di tingkat selular, adanya kerusakan mitokondria akibat defisit suplai O2 dapat
merangsang pelepasan superoksid (radikal bebas), disertai terjadinya
ketidakseimbangan elektrolit, dan pelepasan mediator inflamasi dapat mengakibatkan
terjadinya kematian sel (apoptosis) dengan manifestasi sel mengkerut dan kromatin
nuclear yang padat.
Trauma whiplash terjadi pada tulang belakang bagian servikalis bawah maupun
torakalis bawah misalnya pada waktu duduk di kendaraan yang sedang cepat berjalan
46
kemudian berhenti secara mendadak. Atau pada waktu terjun dari jarak tinggi menyelam
dan masuk air yang dapat mengakibatkan paraplegia.
Trauma tidak langsung dari tulang belakang berupa hiperekstensi, hiperfleksi,
tekanan vertikal (terutama pada T12 sampai L2), rotasi Kerusakan yang dialami medulla
spinalis dapat bersifat sementara atau menetap Akibat trauma terhadap tulang
belakang, medula spinalis dapat tidak berfungsi untuk sementara (komosio medulla
spinalis), tetapi dapat sembuh kembali dalam beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan
adalah berupa edema, perdarahan perivaskuler dan infark disekitar pembuluh darah.
Pada kerusakan medulla spinalis yang menetap, secara makroskopis kelainannya dapat
terlihat dan terjadi lesi,contusio, laserasio dan pembengkakan daerah tertentu di medulla
spinalis.
Laserasi medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma tulang belakang
secara langsung karena tertutup atau peluru yang dapat mematahkan /menggeserkan
ruas tulang belakang (fraktur dan dislokasi). Lesi transversa medulla spinalis tergantung
pada segmen yang terkena (segmen transversa, hemitransversa, kuadran transversa).
Hematomielia adalah perdarahan dalam medulla spinalis yang berbentuk lonjong dan
bertempat disubstansia grisea. Trauma ini bersifat “whiplash“ yaitu jatuh dari jarak tinggi
dengan sifat badan berdiri, jatuh terduduk, terdampar eksplosi atau fraktur
dislokasio.kompresi medulla spinalis terjadi karena dislokasi, medulla spinalis dapat
terjepit oleh penyempitan kanalis vertebralis.
Suatu segmen medulla spinalis dapat tertekan oleh hematoma ekstrameduler
traumatik dan dapat juga tertekan oleh kepingan tulang yang patah yang terselip
diantara duramater dan kolumna vertebralis. Gejala yang didapat sama dengan
sindroma kompresi medulla spinalis akibat tumor, kista dan abses didalam kanalis
vertebralis.
Akibat hiperekstensi dislokasio, fraktur dan whislap radiks saraf spinalis dapat
tertarik dan mengalami jejas/reksis. Pada trauma whislap, radiks columna 5-7 dapat
mengalami hal demikian, dan gejala yang terjadi adalah nyeri radikuler spontan yang
bersifat hiperpatia, gambaran tersebut disebut hematorasis atau neuralgia radikularis
traumatik yang reversible. Jika radiks terputus akibat trauma tulang belakang, maka
gejala defisit sensorik dan motorik yang terlihat adalah radikuler dengan terputusnya
arteri radikuler terutama radiks T8 atau T9 yangakan menimbulkan defisit sensorik
motorik pada dermatoma dan miotoma yang bersangkutan dan sindroma sistema
astomosis anterial anterior spinal.
47
F. MANEFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis bergantung pada lokasi yang mengalami trauma dan apakah trauma
terjadi secara parsial atau total. Berikut ini adalah manifestasi berdasarkan lokasi
trauma :
1. Antara C1 sampai C5
Respiratori paralisis dan kuadriplegi, biasanya pasien meninggal.
2. Antara C5 dan C6
Paralisis kaki, tangan, pergelangan; abduksi bahu dan fleksi siku yang lemah;
kehilangan refleks brachioradialis.
3. Antara C6 dan C7
Paralisis kaki, pergelangan, dan tangan, tapi pergerakan bahu dan fleksi sikumasih
bisa dilakukan; kehilangan refleks bisep.
4. Antara C7 dan C8 Paralisis kaki dan tangan
5. C8 sampai T1
Horner's syndrome (ptosis, miotic pupils, facial anhidrosis), paralisis kaki.
6. Antara T11 dan T12
Paralisis otot-otot kaki di atas dan bawah lutut.
7. T12 sampai L1 Paralisis di bawah lutut.
8. Cauda equine
Hiporeflex atau paresis extremitas bawah, biasanya nyeri dan biasanya nyeri dan
sangat sensitive terhadap sensasi, kehilangan kontrol bowel dan bladder.
9. S3 sampai S5 atau conus medullaris pada L1
Kehilangan kontrol bowel dan bladder secara total.
Bila terjadi trauma spinal total atau complete cord injury, manifestasi yang mungkin
muncul antara lain total paralysis, hilangnya semua sensasi dan aktivitas refleks
(Merck,2010).
Tanda dan gejala yang akan muncul:
a. Nyeri
Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini dikarenakan adanya
spasme otot, tekanan dari patahan tulang atau kerusakan jaringan sekitarnya.
b. Bengkak/edama
Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir pada daerah
fraktur dan extravasi daerah di jaringan sekitarnya.
c. Memar/ekimosis
Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasi daerah di jaringan
sekitarnya
d. Spasme otot
48
G.. PENATALAKSANAAN
G.1. Imobilisasi
Tindakan immobilisasi harus sudah dimulai dari tempat kejadian/kecelakaan
sampai ke unit gawat darurat.. Yang pertama ialah immobilisasi dan stabilkan
leher dalam posisi normal; dengan menggunakan ’cervical collar’. Cegah agar
leher tidak terputar (rotation). Baringkan penderita dalam posisi terlentang (supine)
pada tempat/alas yang keras. Pasien diangkat/dibawa dengan cara ”4 men lift”
atau menggunakan ’Robinson’s orthopaedic stretcher’.
G.2. Stabilisasi Medis
Terutama sekali pada penderita tetraparesis/ tetraplegia, lakukan : Periksa vital
signs. Segera normalkan ’vital signs’. Pertahankan tekanan darah yang normal
dan perfusi jaringan yang baik. Berikan oksigen, monitor produksi urin, bila perlu
monitor AGD (analisa gas darah), dan periksa apa ada neurogenic shock.
G.3. Mempertahankan posisi normal vertebra ”Spinal Alignment”
Bila terdapat fraktur servikal dilakukan traksi dengan Cruthfield tong atau
Gardner-Wells tong dengan beban 2.5 kg perdiskus. Bila terjadi dislokasi
traksi diberikan dengan beban yang lebih ringan, beban ditambah setiap 15
menit sampai terjadi reduksi.
49
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
H.1. CT SCAN
Pemeriksaan ini dapat memberikan visualisasi yang baik komponen tulang
servikal dan sangat membantu bila ada fraktur akut. Akurasi Pemeriksaan CT
berkisar antara 72 -91 % dalam mendeteksi adanya herniasi diskus. Akurasi
dapat mencapai 96 % bila mengkombinasikan CT dengan myelografi
H.2. MRI
Pemeriksaan ini sudah menjadi metode imaging pilihan untuk daerah servikal
. MRI dapat mendeteksi kelainan ligamen maupun diskus. Seluruh daerah
medula spinalis , radiks saraf dan tulang vertebra dapat divisualisasikan.
Namun pada salah satu penelitian didapatkan adanya abnormalitas berupa
herniasi diskus pada sekitar 10 % subjek tanpa keluhan , sehingga hasil
pemeriksaan ini tetap harus dihubungkan dengan riwayat perjalanan penyakit
, keluhan maupun pemeriksaan klinis.
H.3. EMG
Pemeriksaan Elektromiografi ( EMG) mengetahui apakah suatu gangguan
bersifat neurogenik atau tidak, karena pasien dengan spasme otot, artritis
juga mempunyai gejala yang sama. Selain itu juga untuk menentukan level
dari iritasi/kompresi radiks , membedakan lesi radiks dan lesi saraf perifer,
membedakan adanya iritasi atau kompresi .
J. KOMPLIKASI
J.1 Syok neurogenik
Syok neurogenik merupakan hasil dari kerusakan jalur simpatik yang
desending pada medulla spinalis. Kondisi ini mengakibatkan kehilangan tonus
vasomotor dan kehilangan persarafan simpatis pada jantung sehingga
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah visceral serta ekstremitas bawah
maka terjadi penumpukan darah dan konsekuensinya terjadi hipotensi.
50
BAB V
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN CEDERA SPINALIS
A. PENGKAJIAN
A.4. Pengkajian Data Dasar
Meliputi nama, tanggal lahir, tempat tinggal, nama orang tua (ibu kanduang ) sesuai
dengan Standard yang berlaku (Sasaran Keselamatan Pasien penandaan identitas
menggunakan nama diikuti nama ibu kandung bila nama terdiri dari 1 kata misalnya
Maemunah binti Jaenab(nama ibu))
A.5. Anamnesis Riwayat Penyakit
e. Keluhan Utama
Cedera Spinalis mempunyai keluhan atau gejala utama yang berbeda-beda
tergantung letak lesi dan luas lesi. Keluhan utama yang timbul seperti nyeri, rasa
bebal, kekakuan pada leher atau punggung dan kelemahan pada ekstremitas atas
maupun bawah.
f. Riwayat Penyakit Saat Ini
Pengkajian ini sangat penting dalam menentukan derajat kerusakan dan adanya
kehilangan fungsi neurologi spinalis dapat mengalami cedera melalui beberapa
mekanisme, cedera primer meliputi satu atau lebih proses berikut dan gaya :
kompresi akut, benturan, destruksi, laserasi dan trauma tembak.
g. Riwayat Penyakit Dahulu
Penyakit seperti Reumatoid Artritis, Pseudohipoparatiroid, Spondilitis, Ankilosis,
Osteoporosis, Hernia Nukleus Pulpusus (HNP) maupun Tumor ganas biasanya
menjadi faktor predisposisi
h. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu ditanyakan riwayat penyakit keluarga yang dapat memperberat cedera
spinalis seperti asma, kanker, Hipertensi, Diabetes militus dan beberapa penyakit
hereditary yang dapat memperberat kondisi
Keadaan umum : Pada keadaan cidera tulang belakang umumnya tidak mengalami
penurunan kesadaran. dengan keluhan utama biasanya nyeri pada tulang belakang
atau sebaliknya tidak merasakan nyeri Adanya perubahan pada tanda-tanda vital,
meliputi bradikardi dan hipotensi.
52
B1 (BREATHING)
b. Perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada gradasi blok saraf
parasimpatis klien mengalami kelumpuhan otot otot pernapasan dan
c. perubahan karena adanya kerusakan jalur simpatetik desending akibat trauma pada
tulang belakang sehingga mengalami terputus jaringan saraf di medula spinalis,
d. pemeriksaan fisik dari sistem ini menunjukkan kondisi batuk, peningkatan produksi
sputum, sesak napas.dst tergantung pada item (a)
B2 (BLOOD)
f. peningkatan resiko syok hipovolemik yang sering terjadi pada klien cedera tulang
belakang.
g. Penurunan tekanan darah
h. bradikardi
B3 (BRAIN)
i. tingkat kesadaran GCS cenderung compos mentis tergantung lesi/luka/ keparahan
cidera
j. pada kondisi tertentu GCS dinilai 5-15
k. pengkajian fungsi serebral dan pengkajian saraf kranial.
l. Pengkajian tingkat kesadaran : tingkat keterjagaan klien dan respon terhadap
lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem persyarafan.
m. Pengkajian fungsi serebral : status mental observasi penampilan, tingkah laku nilai
gaya bicara dan aktivitas motorik klien
n. Pengkajian sistem motorik : inspeksi umum didapatkan kelumpuhan pada ekstermitas
bawah, baik bersifat paralis, paraplegia, maupun quadriplegia
o. Pengkajian sistem sensori : ganguan sensibilitas pada klien cedera medula spinalis
sesuai dengan segmen yang mengalami gangguan.
p. Mengalami deformitas, postur, nyeri tekan vertebral.
B4 (BLADDER)
c. Penurunan jumlah urine dan
d. peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat menurunnya perfusi pada ginjal.
e. Bila terjadi lesi pada Cauida Equina kandung kemih dikontrol oleh pusat (S2-S4) atau
dibawah pusat spinal kandung kemih akan menyebabkan interupsi hubungan antara
kandung kemih dan pusat spinal.
B5 (BOWEL)
gejala awal dari tahap syok spinal yang akan berlangsung beberapa hari sampai
beberapa minggu akan ditemukan neuropraksia sering didapatkan adanya ileus
53
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
B.1. Ketidakefektifan pola pernapasan
B.2. Hambatan mobilitas fisik
B.3. ketidakefektifan perfusi jaringan perifer
B.4. Resiko Cedera
B.5. Resiko Cedera Saluran kemih
B.6. Konstipasi
B.7. Nyeri Akut
B.8. Resiko Dekubitus
54
C. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
DIAGNOSA
NO NOC NIC
KEPERAWATAN
1. Domain 2 Kesehatan fisiologis 2590 Monitor tekanan intracranial (TIK)
Domain 4 Aktivitas
Istirahat Kelas E Jantung paru 1) Bantu menyisipkan perangkat pemantauan TIK
Kelas 4 Respon
0406 Perfusi jaringan cerebral 2) Rekam pembacaan tekanan TIK
Kardiovaskuler Pulmonal
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3) Monitor kualitas dan karakteristik gelombang
Ketidakefektifan pola
napas (00032) diharapkan perfusi jaringan serebral efektif TIK
Batasan Karakteristik
dengan outcome : 4) Monitor tekanan aliran darah keotak
a. pola napas abnormal
8. Tekanan intracranial dalam kisaran normal 5) Periksa pasien terkait ada tidaknya gejala kaku
b. takipneu
c. penggunaan otor bantu 9. Tekanan darah sistolik dalam kisaran normal kuduk
napas
10. Tekanan darah diastolic dalam kisaran normal 6) Letakkan kepala dan leher pasien dalam posisi
Kondisi yang berhubungan
11. Sakit kepala, kegelisahan, penurunan tingkat netral, hindari fleksi pinggang yang berlebihan
a. gangguan neurologis
b. cedera medulla spinalis kesadaran tidak ada 7) Sesuaikan kepala tempat tidur untuk
c. disfungsi neuromuskular
12. Napas normal mengoptimalkan perfusi serebral
a.
13. tidak terjadi apneu 3350 Monitor Pernapasan
14. tidak terjai penurunan kesadaran 1. Monitor kecepatan, irama, kedalaman dan
55
kualitas bernapas
3
Domain 4 : Aktivitas/ Domain II : Kesehatan Fisiologis 1. Lakukan pengkajian yang komprehensif
Istirahat Kelas E : Status Sirkulasi (0401) terhadap sirkulasi perifer
Kelas 4 : Ketidakefektifan
2. 2. Pantau status cairan
perfusi jaringan Perifer Domain II: Kesehatan Fisiologis 3. Monitor TTV
(00204) Kelas G : Keseimbangan cairan (0601) 4. Monitor tekanan perfusi serebral
Definisi : Penurunan 5. Monitor intake dan output cairan
oksigen yang Outcome 6. Catat respon pasien terhadap stimuli
mengakibatkan kegagalan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 7. posisikan pasien pada posisi semi fowler
pengantaran nutrisi ke Keseimbangan cairan dapat dipertahankan pada 8. Instruksikan keluarga untuk mengobservasi kulit
jaringan pada tingkat rentang banyak terganggu (2) ditingkatkan pada jika ada lesi atau laserasi
kapiler. Sedikit terganggu (4) , yang dibuktikan dengan : 9. Gunakan sarung tangan untuk proteksi
3. tekanan darah normal 10. Kolaborasi pemberian intravena.
Batasan Karakterisik : 4. turgor kulit tidak kering 11. Dorong masukan oral
Perubahan tekanan 12. Atur kemungkinan transfusi
darah pada ekstermitas 13. Persiapan untuk transfusi
58
pemantauan TIK
gelombang TIK
yang berlebihan
BAB VII
PENUTUP
Cedera kepala merupakan trauma yang menyerang otak yang dapat mengakibatkan
perubahan fisik secara intelektual,emosional dan sosial yang mana cedera kepala
diklasifikasikan berdasarkan mekanisme trauma(trauma tumpul,trauma tembus) berdasarkan
beratnya dapat dinilai dengan Glasgow scala coma (cedera kepala ringan GCS 13-
15,cedera kepala sedang GCS 9-12,cedera kepala berat GCS 3-8).cedera kepala primer
menyebabkan gangguan pada jaringan sedangkan cedera kepala sekunder biasa akan
timbul hipotensi sistemik,hipoksia,hiperkapnea,edema otak,komplikasi pernafasan.taruma
kepala menyebabkan tengkorak beserta isinya begetar,kerusakan yang terjadi tergantung
besarnya getaran makin besar getaran makin besar kerusakan yang timbul,getaran dari
benturan galia aponeurotika sehingga banyak energi yang di serap oleh perlindungan otak
hal iyu menyebabkan haematoma epidural,subdural,maupun intracranial,yang akan
mempengaruhi sirkulais darah keotak sehingga suplai o2 berkurang dan terjadi hipoksia
jaringan yang akan menyebabkan oedema cerebral sehingga terjadi peningkatan TIK
sedangkan trauma spinal adalah gangguan pada serabut spinal (spinal cord) yang
menyebabkan perubahan secarapermanen atau sementara ,akan tetapi fungsi
motorik,sensorik,atau anatomi masih normal
64
DAFTAR PUSTAKA
Centers for Disease Control and Prevention, National Center for Injury Prevention and
Control (diunduh dari https://www.cdc.gov/traumaticbraininjury/index.html
akses 4 Oktober 2019)
Komite Mutu dan Keselamatan Pasien. Panduan Sasaran Keselamatan Pasien. RSUD Asy-
Syifa’ Sumbawa Barat.Taliwang: 2018.
Moorhead, Sue dkk, Nursing Outcomes Clasifications (NOC) Edisi 5 (edisi Bahasa
Indonesia), Yogyakarta, Mocomedia:2013
Nanda-I (2018-2020), Diagnosis Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi, Jakarta, EGC: 2017
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Bare. 1997, Buku ajar Keperawatan Medikal - Bedah
vol. 1 edisi 8, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Violence and Injury Prevention and Disability (VIP), WHO diunduh dari
https://www.who.int/violence_injury_prevention/road_traffic/activities/neurot
rauma/en/ Akses 6 Oktober 2019