Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

ERB’S PARALISIS

DIV ALIH JENJANG

JURUSAN FISIOTERAPI

POLTEKKES KEMENKES MAKASSAR

2019/2020

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Cedera Plexus Brachialis diartikan sebagai suatu cedera pada Plexus


Brachialis yang diakibatkan oleh suatu trauma. Trauma ini sering kali berupa
penarikan berlebihan atau avulsi. Cedera seperti ini menghasilkan suatu tanda
yang sangat khas yang disebut deformitas Waiter’s tip karena hilangnya otot-
otot rotator lateral bahu, fleksor lengan, dan otot ekstensor lengan
(Mahadewa, 2013). Sebagian besar cedera plexus brachialis terjadi selama
proses persalinan. plexus brachialis sering mengalami masalah saat berada di
bawah tekanan, seperti dengan bayi yang besar, presentasi bokong atau
persalinan yang lama. Jika salah satu sisi leher bayi tertarik, saraf yang
terdapat didalamnya juga akan tertarik dan dapat mengakibatkan cedera. Bayi
mungkin tidak dapat menggerakan bahu, tetapi dapa t memindahkan jari-jari.
Jika kedua saraf atas dan bawah yang meregang, kondisi ini biasanya lebih
parah dari sekedar erb’s paralysis. Sebagian besar rumah sakit melaporkan
satu sampai dua bayi yang lahir dengan plexus brachialis mengalami cedera
pada 1000 kelahiran. Informasi yang cukup tentang insiden cedera plexus
brachialis atas (erb’s paralysis) trumatis sulit ditemukan, insiden pastinya
tidak diketahui. Saat ini, insiden tersebut adalah 0,8 per 1000 kelahiran bayi.
Angka ini turun dari tingkat pada tahun 1900, ketika dilaporkan jumlah
penderita yangmencapai dua kali lipat dari pada saat ini. Penurunan penderita
ini dipengaruhi oleh pelayanan kebidanan yang terus ditingkatkan.
Diperkirakan terjadi 400-450 penderita cedera tertutup supraclavicular di
inggris setiap tahunnya. Laki-laki lebih banyak yang terkena trauma
(Mahadewa, 2013). Masalah utama yang timbul pada penderita Erb’s
Paralysis adalah lesi pada plexus brachialis yang dapat menyebabkan adanya

2
nyeri pada bahu, adanya penurunan kekuatan pada otot-otot lengan atas,
keterbatasan lingkup gerak sendi pada lengan dan penurunan aktivitas
fungsional.
B. Rumusan Masalah

Bagaimana Penatalaksanaan fisioterapi pada kasus Erb’s Paralysis?


C. Tujuan
Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dari penulisan ini adalah untuk mengetahui dan
memahami penatalaksanaan fisioterapi pada kasus Erb’s Paralysis.
Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui manfaat terapi latihan dalam meningkatkan ROM sendi
elbow dan menghindari kontraktur.
2. Untuk mengetahui manfaat terapi Infra merah dalam melancarkan sirkulasi
darah dan menurunkan spasme otot ekstensor lengan pada kasus Erb’s
Paralysis.
3. Untuk mengetahui manfaat stimulasi tapping dalam merangsang sensoris
dan meningkatkan kepekaan sensoris pada kasus Erb’s Paralysis.
D. Manfaat Penulisan
1. Bagi Ilmu pengetahuan
Ikut serta dalam menambah wacana ilmu pengetahuan khususnya mengenai
tentang peran fisioterapi pada kasus Erb’s Paralysis.
2. Bagi institusi pendidikan
Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang ada di institusi pendidikan
khususnya mengenai fisioterapi neuromuskuler tentang peran fisioterapi
pada kasus Erb’s Paralysis
3. Terhadap penulis
Untuk menambah pemahaman dan memperdalam tentang penatalaksanaan
terapi latihan pada kasus Erb’s Paralysis.

3
4. Bagi Masyarakat
Membantu masyarakat dalam menghadapi permasalahan yang
berhubungan dengan erb’s paralysis dan memberikan informasi bahwa
fisioterapi berperan pada kasus erb’s paralysis

4
BAB II
TIJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Pleksus Brachialis

Ramus anterior saraf spinal C5 sampai T1 bergabung membentuk


pleksus brakialis. C5 dan C6 berbgabung membentuk trunk superior, C7
membentuk trunk medial, dan C8 dan T1 bergabung membentuk trunk
inferior. Cord medial merupakan divisi anterior dari trunk inferior. Divisi
anterior yang berasal dari upper dan middle trunk membentuk cordlateral.
Divisi posterior berasal 3 trunk membentuk posterior cord. Dari ketiga cord
tersebut keluar cabang saraf yangmenginervasi anggota gerak atas antara lain
n muskulokutaneus berasal dari cord lateral, n medianus berasal dari
cordlateral dan medial, n radialis dari cord posterior, n aksilaris dari cord

5
posterior dan n ulnaris dari cord medial.Long thorasic dan dorsal scapular
berasal langsung dari root saraf spinal. Hanya n suprascapular (C5 C6) yang
berasaldari trunk.Saraf spinal keluar dari foramina vertebralis dan
melewati scalenus anterior dan medial, kemudian antara klavikula danrusuk
pertama didekat coracoid dan caput humerus. Pleksus pada bagian praosimal
bergabung di prevertebral dan olehaxillary sheath di mid arm.
B. Definisi Erb-Parlysis

Erb-paralysisl adalah paralisis pada ekstremitas atas yang disebabkan


oleh kerusakan plexus brachialis pada C5-C6 yang mempersarafi lengan dan
tangan. Kelainan ini paling sering ditemukan pada bayi atau anak-anak karena
distorsia bahu pada kelahiran, ataupun dapat pula ditemukan pada dewasa
dengan riwayat trauma bahu.
Pada kelainan ini ditemukan lesi pleksus atas (radik C5, C6/trunkus
superior) pada pleksopati supraklavikular. Sering timbul secara sendirian,
tetapi dapat juga berkaitan dengan pleksus tengah atau kombinasi dengan lesi
pleksus tengah dan bawah (lesi pan-pleksus supraklavikular). Umumnya
terjadi akibat trauma, terutama traksi tertutup yang menyebabkan pelebaran
secara paksa sudut bahu-leher, kecelakaan sepeda motor, jatuh yang mengenai
bahu, dan pukulan pada bahu (mis. oleh benda yang jatuh). Sedangkan

6
penyebab lainnya adalah iatrogenik (paralisis akibat tindakan persalinan).
Pertama kali ditemukan oleh seorang dokter kandungan dari Inggris,
William Smellie pada tahun 1768 saat mekaporkan kasus transient paralisis
ekstremitas atas bilateral setelah kelhiran yang sulit. Pada tahun 1861,
Guillaume Benjamin Amand Duchenne melaporkan kelumpuhan plexus
brachialis setelah menganalisa 4 infant dengan paralisis yang identik pada
otot-otot lengan dan bahu. Pada tahun 1874, William Heinrich Erb
menyimpulkan tesisnya mengenai kerusakan plexus brachialis yang
berhubungan dengan kelumpuhan deltoid, bicep, dan subscapularis yang
berasal karena lesi di radik C5-C6 pada orang dewasa.
C. Insiden & Epidemologi

Erb’s-paralisi memiliki angka insiden 0,5-4,4 kasus/ 1000 kelahiran


bayi cukup bulan di Amerika. Di Perancis dan Arab Saudi dilaporkan 1,09-
1,19 kasus/ 1000 kelhiran bayi hidup. Insiden terjadinya kelumpuhan
permanen 3-25% dari kasus yang ditemukan. Belum ditemukannya hubungan
antara ras dengan penyakit ini. Ratio pria dan wanita yang terkena adalah
49%: 51% dari 191 infant. Faktor usia tidak mempengaruhi namun biasa
ditemukan kelainan sejak lahir.
D. Etiologi

Penyebab erb-paralisis paling sering adalah distonia, dimana letak


janin abnormal sehingga menimbulkan kesulitan saat persalinan. Sebagai
contoh, dapat terjadi, pada persalinan dengan kepala bayi dan leher yang
ditarik ke samping, dimana pada saat yang bersamaan bahu melewati jalan
lahir. Kondisi ini juga dapat disebabkan oleh penarikan yang berlebihan pada
pundak pada saat presentasi verteks, atau dengan tekanan pada lengan karena
letak sungsang atau dengan bayi besar(> 4kg) sehingga menyulitkan
persalinan sehingga memerlukan vacum atau forceps.
Erb-palsi juga dapat disebabkan oleh fraktur klavikula yang tidak

7
terkait dengan distosia. Pada infant yang lahir dengan paralisi plexus
brachialis akan muncul gejala sejak lahir. Cedera yang sama dapat juga
ditemukan pada setiap usia termasuk orang dewasa, akibat trauma atau jatuh
yang mengenai sisi kepala dan bahu terlebih dahulu, dimana saraf
pleksus akan meregang karena plexus ekstremitas atas mengalami cedera yang
hebat dan selanjutnya meyebabkan kelumpuhan yang terbatas pada otot-
otot yang dipersarafi oleh saraf C5-C6 yaitu m.deltoid, m.bisep brachii,
m.infraspinatus,m.supraspinatus dan m.brachioradialis.Pleksus brakialis terluk
a oleh kekerasan langsung atau luka tembak,dengan traksi padalengan. Jumlah
kelumpuhan tergantung pada jumlah cedera pada saraf yang terkena.
E. Patofisiologi

Sama dengan semua cedera saraf perifer lainnya, pleksus dapat cedera
dengan berbagai proses. Akibat cedera, pada serabut bermielin akan terjadi
demielinisasi dan cedera akson (kehilangan akson).
a. Demielinisasi
Cedera saraf yang dapat menyebabkan abnormalitas motorik dan
sensorik dimana terjadi kerusakan dari mielin tetapi akson tetap intak.

Gambar Demielinisasi. A: saraf normal. B: kerusakan mielin pada


bagian yang cedera.

8
Hal ini akibat dari tekanan yang menyebabkan suatu episode iskemik
sementara atau edema dan neuropati perifer. Perbaikan dapat terjadi :self
limited; iskemik sementara dapat menghilang dengan segera tetapi edema
memerlukan waktu beberapa minggu. Remielinisasi: Ini adalah suatu proses
perbaikan dimana bagian yang mengalami demielinisasi membentuk mielin
baru oleh sel-sel Schwann. Mielin baru ini lebih tipis dengan jarak internodal
yang lebih pendek menyebabkan kecepatan konduksi lebih lambat dari
normal.

Gambar. Remielinisasi. A: pemendekan mielin dan proliferasi sel


Schwann. B: mielin menghilang. C: komplet remielinisasi.
b. Cedera Akson
Cedera pada akson dapat terjadi satu dari dua bentuk tipe yaitu
degenerasi aksonal atau degenerasi Wallerian. Keduanya dapat mengenai
badan sel dan menyebabkan khromatolisis sentral. Degenerasi aksonal
merupakan cedera saraf yang memperlihatkan suatu bentuk kematian saraf
yang mulai dari distal dan naik ke proksimal. Degenerasi Wallerian
merupakan cedera saraf yang memperlihatkan kerusakan saraf fokal atau
multifokal setelah 4 – 5 hari. Ini terjadi secara lengkap untuk saraf motorik
dalam 7 hari atau 11 hari untuk saraf sensorik. Degenerasi aksonal bagian
distal dari lokasi cedera dan bagian proksimal intak.

9
Gambar
Anatomi saraf motorik perifer normal dan respon terhadap cedera.

Penyebabnya dapat terjadi dari kerusakan fokal, regangan, transeksi


atau neuropati perifer. Perbaikan secara collateral sprouting (proses perbaikan
dimana suatu neurit akson mulai tumbuh dari unit motorik intak dan
mempersarafi serabut otot denervasi pada unit motorik yang cedera) dan
pertumbuhan kembali aksonal (suatu proses perbaikan dimana akson akan
tumbuh kembali sesuai alurnya menuju serabut saraf, memerlukan kira-kira 1
mm/hari atau 1 inci/bulan jika jaringan ikat penyokong tetap intak dan bila
tidak intak akan terbentuk neuroma.

10
Gambar.Degenerasi Wallerian. a) Saraf normal, b) degenerasi
wallerian, c) regenerasi (Seckel,1984)

c. Derajat Cedera Serabut Saraf


Klasifikasi cedera fokal saraf perifer yang dikemukakan oleh Seddon
(1943) dan Sunderland (1951) juga diaplikasikan untuk pleksopati.
Klasifikasi menurut Seddon terdapat 3 derajat dari cedera saraf (Gambar 6)
yaitu :
1. Neuropraksia : suatu hambatan konduksi lokal yang berhubungan dengan
demielinisasi sementara (terjadi kerusakan mielin namun akson tetap
intak). Pada tipe cedera seperti ini tidak terjadi kerusakan struktur terminal
sehingga proses penyembuhan lebih cepat dan merupakan derajat
kerusakan paling ringan. Biasanya akibat dari penekanan dan sembuh
karena perbaikan oleh sel Schwann, dimana memerlukan waktu beberapa
minggu sampai bulan.
2. Aksonotmesis : suatu cedera yang lebih berat dari neuropraksia dan
menyebabkan degenerasi Wallerian. Terjadi kerusakan akson tetapi
selubung endoneural tetap intak. Biasanya akibat dari traksi atau kompresi
saraf yang berat. Regenerasi saraf tergantung dari jarak lesi mencapai

11
serabut otot yang denervasi (perbaikan lebih baik pada jarak lesi yang
pendek dan letaknya lebih ke distal. Pemulihan fungsi sensorik lebih baik
daripada motorik, karena reseptor sensorik lebih lama bertahan dari
denervasi dibandingkan motor end plate (kira-kira 18 bulan).
3. Neurotmesis : kerusakan saraf yang komplet dan paling berat, dimana
proses pemulihan sangat sulit kecuali dilakukan neurorrhaphy.
Penyembuhan yang terjadi sering menyebabkan reinervasi yang tidak
lengkap atau salah sambung dari serabut saraf.

Klasifikasi Sunderland berdasarkan pada derajat perineural yang terkena


yaitu:
1. Tipe I : hambatan dalam konduksi (neuropraksia)
2. Tipe II : cedera akson tetapi selubung endoneural tetap intak
(aksonotmesis)
3. Tipe III : aksonotmesis yang melibatkan selubung endoneural tetapi
perineural dan epineural masih intak
4. Tipe IV : aksonotmesis melibatkan selubung endoneural, perineural,
tetapi epineural masih intak
5. Tipe V : aksonotmesis melibatkan selubung endoneural, perineural dan
epineural (neurotmesis).

12
Tabel 1. Klasifikasi cedera saraf perifer.11

Paralisis Erb-Paralysis, paralisis otot-otot:


1. N Musculocutaneus: m. Bicep brachii, m. Coracobrachialis, m. Brachialis
2. N Axillaris : m. Deltoideus, m. Teres minor
3. N. Radialis sebagian kecil: m. Brachioradialis, m. Supraspinatus
4. N. Subscapularis : m. Subscapularis
5. N. Pectoralis Lateralis : m. Pectoralis major
F. Gejala Erb-Paralysis
Gejala yang timbul pada Erb-Paralysis sesuai dengan kelemahan otot-
otot yang disarafi oleh C5-C6. Kelumpuhan dapat sebagian atau lengkap,
kerusakan pada masing-masing saraf dapat berupa memar atau robeknya saraf
tersebut. Paralisis Erb-paralysis merupakan sindrommotor neuron yang terkait
dengan gangguan sensibilitas dan motorik. Sehingga menimbulkan gejala
seperti gangguan sensorik pada lateral deltoid, sisi lateral lengan atas dan
lengan bawah hingga ibu jari tangan. Gangguan pada perkembangan otot
apabila berkurangnya aktivitas kontrasi otot sehingga menimbulkan atrofi otot
dan kontraktur siku. Reflek bisep dan brachioradialis menurun atau hilang.
Gangguan pada sistem sirkulasi menyebabkan gangguan pengaturan suhu, dan

13
ketidakmampuan kulit untuk menyembuhkan diri sehingga mudah terinfeksi,
selain itu karena tidak ada/berkurangnya rangsang sensoris pada daerah antara
bahu dan lengan bawah yang dihantarkan ke otak, sehingga mudah terjadi
trauma dan melukai diri sendiri. Tidak jarang ditemukannya bekas luka di
daerah lengan. Pemeriksaan sensoris sesuai dengan dermatomnya.
Pada gangguan motorik, ekstremitas atas menggantung lemah di sisi
badan, aduksi dan endorotasi, sehingga telapak tangan bawah pronasi
(waiter’s, bellhop’s, atau policeman’s tip position). Kerusakan pada otot
deltoid menimbulkan posisi adduksi bahu dan medial rotasi, sehingga dapat
ditemukannya Putti sign dimana apabila dilakukan abduksi bahu maka ujung
medial skapula akan terlihat menonjol diatas garis bahu. Paralisis m. serratus
anterior akan member gambaran “Winged scapula”. Pasien tidak bisa
melakukan posisi flexi lengan atas, flexi lengan bawah,supinasi lengan bawah,
abduksi dan exorotasi lengan atas. Pasien kurang bisa memegang bahu sisi
lain karena lesi N. pectoralis lateralis.
G. Diagnosa

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan dari anamnesis, pemeriksaan


fisik dan pemeriksaan khusus serta pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis
dapat ditemukan trauma saat persalinan, trauma karena terjatuh dengan posisi
bahu terlebih dahulu ataupun luka tembak di bahu dan lengan. Dari
pemeriksaan fisik ditemukannya gangguan motorik dan sensorik pada tungkai
atas.

H. Komplikasi

Anak-anak dengan paralisis Erb-Ducenne’s memiliki resiko gangguan


perkembangan, seperti kontraktur yang progresif, deformitas tulang, skoliosis,
dislokasi bahu posterior, infeksi cutaneus dan agnosia dari anggota badan
yang terkena.

14
I. Penatalaksanaan

Pada beberapa bayi terjadi perbaikan sendiri, beberpa perlu penangan


dari spesialis. Bedah saraf neonatal/pediatric kadang melakukan perbaikan
fraktur avulsi, sehingga terjadi penyembuhan lesi dan fungsi kembali normal.
Fisioterapi diperlukan untuk mendapatkan kembali fungsi seperti normal.
Range of motion dapat kembali normal pada anak kurang dari satu tahun,
apabila setelah satu tahun tidak ada perbaikan fungsi sepenuhnya, harus
diwaspadai timbulnya atritis. Pada beberapa kasus yang berat, terutama yang
berkaitan dengan trauma dimana terjadi avulsi saraf, intervensi tindakan
operatif dilakukan dalam beberapa hari setelah cedera untuk perbaikan primer,
atau setelah beberapa minggu sampai bulan untuk perbaikan sekunder, dapat
meningkatkan fungsi (Spinner dan Kline, 2000). Perbaikan primer yang
segera biasanya direkomendasikan bila laserasi saraf bersih dari benda tajam.
Perbaikan operatif sekunder setelah 2 – 4 minggu secara umum
direkomendasikan untuk cedera tumpul atau cedera dengan kerusakan
jaringan lunak yang luas dimana cedera saraf terjadi komplit atau sangat berat.
J. Program Fisioterapi
Sebuah program terapi yang komprehensif harus terdiri dari latihan
ROM, fasilitasi gerakan aktif, penguatan, promosi kesadaran sensorik, dan
penyediaan instruksi untuk kegiatan rumah. Secara keseluruhan tujuan harus
fokus pada meminimalkan deformitas tulang dan kontraktur sendi, sekaligus
mengoptimalkan hasil fungsional. Kontraktur berat harus dihindari dengan
latihan terapi yang konsisten, termasuk peregangan pasif dan aktif,
fleksibilitas kegiatan, teknik rilis myofascial, dan mobilisasi sendi. Awal dan
konsisten peregangan Rotator internal harus meminimalkan risiko masalah ini.
Rotasi eksternal, dilakukan dengan adduksi bahu samping dada dan dengan
siku tertekuk sampai 90 °, memberikan peregangan maksimum Rotator
internal (khususnya, subskapularis) dan kapsul bahu anterior. Skapula harus

15
stabil saat peregangan otot bahu korset untuk mempertahankan mobilitas dan
melestarikan beberapa ritme scapulohumeral. Awal perkembangan kontraktur
fleksi di siku adalah umum dan dapat diperburuk oleh dislokasi kaput
disebabkan oleh supinasi paksa. Supinasi lengan agresif, karena itu, harus
dihindari.
Mobilitas dan penguatan aktif awalnya difasilitasi melalui kegiatan
yang sesuai dengan usia perkembangan. Sebagai anak bertambah usia, latihan
penguatan standar yang digunakan dan keterampilan fungsional spesifik
diperkenalkan. Kelompok otot tertentu dapat ditargetkan untuk memperkuat
melalui gerakan fungsional. Kompensasi dan gerakan pengganti harus
dihindari, karena dapat melestarikan otot lemah dan deformitas. Belat statis
dan dinamis dari lengan berguna untuk mengurangi kontraktur, mencegah
deformitas lebih lanjut, dan dalam beberapa kasus, membantu gerakan. Splints
sering diresepkan termasuk pergelangan tangan istirahat dan bidai, splints siku
ekstensi, fleksi siku dinamis dan splints supinator.
Pemilihan yang cermat dan waktu penggunaan belat adalah penting
untuk optimalisasi efek yang diinginkan. Teknik rekaman dapat digunakan
oleh terapis untuk mengendalikan ketidakstabilan skapulae dan karenanya
untuk mempromosikan mobilitas bahu ditingkatkan. Kegiatan kesadaran
sensorik yang berguna untuk meningkatkan kinerja motor aktif, serta untuk
meminimalkan kelalaian dari anggota badan yang terkena.
Penggunaan pijat bayi dan menarik perhatian visual untuk lengan yang
terkena dapat dimasukkan dengan mudah ke dalam kegiatan bermain dan
sehari-hari. Kegiatan menahan beban dengan lengan terpengaruh di semua
posisi tidak hanya memberikan masukan proprioseptif yang diperlukan tetapi
juga dapat berkontribusi untuk pertumbuhan tulang. Sebuah program yang
komprehensif yang mencakup latihan peregangan, penanganan yang aman dan
teknik posisi awal, kegiatan pembangunan dan penguatan, dan kesadaran
sensorik harus dikembangkan dan diperbarui jika diperlukan. Pada anak yang

16
lebih tua dengan kecacatan persisten, fokus pada instruksi rumah bergeser ke
kemerdekaan, dengan pasien belajar mandiri peregangan dan latihan
penguatan, serta strategi untuk mencapai keterampilan hidup tertentu.
K. PROGNOSIS

Untuk cedera avulsi dan pecah, tidak ada potensi untuk pemulihan
kecuali rekoneksi bedah dibuat pada waktu yang tepat. Potensi untuk
pemulihan bervariasi untuk cedera neuroma dan neuropraxia. Kebanyakan
individu dengan cedera neuropraxia pulih secara spontan dengan 90-100
persen pengembalian fungsi. Untuk pemulihan yang baik dari fungsi lengan
dengan fisioterapi 50-80%.

17
BAB III
KESIMPULAN

Erb-Paralysis merupakan penyakit kelumpuhan ekstremitas atas dikarenakan


lesi pada plexus brachialis bagian atas, yang mengenai radiks C5-C6. Biasanya
penderita adalah bayi yang lahir dengan distonia bahu atau dapat pula terjadi pada
anak-anak dan dewasa dengan trauma di bahu.
Secara klinis pasien Erb-Paralysis memiliki gambaran kelumpuhan otot yang
dipersarafunya kha, yaitu posisi lengan tas adduksi dan endorotasi dan lengan bawah
posisi pronasi yang dikenal dengan Waiter’s tip potition.
Diagnosis DMD dapat ditegakkan dengan anamnesis,pemeriksaan fisik,
pemeriksaan CT-Scan atau MRI dan EMG. Penanganan pasien dengan Erb-Paralysis
harus dilakukan secara multidisiplin, diagnosis yang sesegera ungkin dan fisioterapi
yang tepat dapat memulihkan 50-80% fungsi yang ada, tergantung keparahan lesi
tersebut. Lesi yang berat sehingga menyebabkan putusnya semua akson hanya dapat
dilakukan terapi pembedahan memberikan hasil yang belum memuaskan dan masih
dalam penelitian.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Mardjono. Mahar., Shidarta Priguna. Neurologi Klinis Dasar. Dian


Rakyat,Jakarta.
2. Twee Do, 2009, Muscular Dystrophy, www.e-medicine.com
3. Wedantho Sigit, 2007,Kelumpuhan Plexus Brachialis: Divisi Orthopaedi &
Traumatologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
4. http://www.erbsparalysisnetwork.com/aboutinjury.htm, accesed on october
31, 2011.
5. http://en.wikipedia.org/wiki/Erb%27s_paralysis, accesed on october 31, 2011.
6. http://orthoinfo.aaos.org/topic.cfm?topic=a00384 accesed on october 31,
2011.
7. http://emedicine.medscape.com/article/317057-overview, accesed on October
31,2011
8. Sistem Saraf Perifer. Hand Out Perkuliahan Anatomi. Laboratorium Anatomi
Fakultas Kedokteran universitas Trisakti.Jakarta 2005
9. Tortora, G.J., & Anagnostakos, N.P. (1990). Principles of Anatomy and
Physiology (6th ed.). New York: Harper & Row. pp.370-374
10. Warwick, R., & Williams, P.L. (1973) Erb-Duchenne and Dejerine-Klumpke
Palsies Information Page: National Institute of Neurological Disorders and
Stroke (NINDS). pp.1046
11. Peleg D, Hasnin J, Shalev E (1997). "Fractured clavicle and Erb's paralysis
unrelated to birth trauma". American Journal of Obstet. Gynecol. 177 (5):
1038–40
12. Ober WB (1992). "Obstetrical events that shaped Western European history".
The Yale journal of biology and medicine 65 (3): 201–10

19
20

Anda mungkin juga menyukai