Anda di halaman 1dari 14

8.

Pentingnya konseling setelah perceraian (Diza)

Seperti pernikahan, perceraian adalah salah satu transisi hidup yang


paling sulit. Perceraian adalah tindakan hukum serius yang tidak hanya
memengaruhi pasangan yang berpisah, tapi juga anggota keluarga yang lain.
Perceraian cukup lazim di berbagai belahan dunia, namun tidak banyak
pasangan menjalani proses yang tepat untuk perpisahan secara emosional,
mental, bahkan kesehatan fisik. Di Amerika Serikat sendiri, separuh dari
pasangan yang menikah berakhir pada perceraian, dengan angka signifikan
mereka bercerai pada lima tahun pertama pernikahan Utami dan Fatonah,
2015).
Indonesia memiliki tingkat perceraian tertinggi di Asia dan
menghadapi angka perceraian (marital divorce) paling banyak dibandingkan
negara-negara berpenduduk muslim lainnya. Berdasarkan data yang
diungkapkan Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama RI, pada beberapa
tahun silam biasanya angka perceraian mencapai 60.000 per tahun. Pasca
reformasi perceraian rata-rata naik menjadi 200.000 per tahun. atau 10
persen dari perkawinan berakhir dengan perceraian. Pada tahun 2013 jumlah
perkara bidang perceraian mencapai 284.579. Ironisnya, jika dahulu
perceraian yang terjadi akibat suami menceraikan isteri. Sekarang terbalik,
justru istri yang menggugat cerai. Sebanyak tiga per empat dari peristiwa
perceraian itu bermunculan di kota-kota besar. Kebanyakan istri yang
menceraikan suami atau cerai gugat, bukan talak. Dari banyaknya peristiwa
perceraian itu, diperkirakan 80 persen perceraian menimpa pada tatanan
rumah tangga muda lima tahun (Utami dan Fatonah, 2015).
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan penceraian , yaitu: 1)
Zina, 2) Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad jahat, 3)
Penghukuman dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau dengan
hukuman yang lebih berat, yang diucapkan setelah perkawinan, 4) Melukai
berat atau menganiaya, dilakukan oleh suami atau oleh istri terhadap istri
atau suaminya seingga membahayakan jiwa pihak yang dilukai atau
dianiaya, atau deingga mengakibatkan luka-luka yang membahayakan
(Purnamasari, 2019).
Terlepas dari prevalensinya, perceraian sangat menyakitkan bagi
semua anggota keluarga dan bahkan setiap anggota keluarga besar.
Perceraian yang terjadi disuatu keluarga memberikan dampak postif
maupun negatif. Meskipun begitu, banyak dari kita menganggap bahwa
perceraian akan menimbulkan banyak dampak negatif. Dan dampak negatif
yang akan terjadi ketika terjadinya perceraian adalah sebagai berikut
sebagaimana dalam asrtikel Sabda Islam (Purnamasari, 2019). :
1. Traumatik
Dampak traumatik dari perceraian biasanya lebih besar dari
pada dampak kematian, karena sebelum dan sesudah perceraian
sudah timbul rasa sakit dan tekanan emosional, serta mengakibatkan
cela sosial. Stres akibat perpisahan dan perceraian yang terjadi
menempatkan laki-laki maupun perempuan dalam risiko kesulitan
fisik maupun psiki. Laki-laki dan perempuan yang bercerai memiliki
tingkat kemungkinan yang lebih tinggi mengalami gangguan
psikiatris, masuk rumah sakit jiwa, depresi klinis, alkoholisme, dan
masalah psikosomatis, seperti gangguan tidur, dari pada orang
dewasa yang sudah menikah. Dampak perceraian sangat
berpengaruh pada anak-anak. Pada umumnya anak yang orang
tuanya bercerai merasa sangat luka karena loyalitas yang harus
dibagi dan mereka sangat menderita kecemasan karena faktor
ketidakpastian mengakibatkan terjadi perceraian dalam keluarganya.
Ketidakpastian ini khususnya akan lebih serius apabila masalah
keselamatan dan pemeliharaan anak menjadi bahan rebutan anatara
ayah dan ibu, sehingga anak akan mondar mandir antara rumah ayah
dan ibu.
2. Perubahan peran dan status
Efek yang paling jelas dari perceraian akan mengubah
peranan dan status seseorang yaitu dari istri menjadi janda dan suami
menjadi duda dan hidup sendiri, serta menyebabkan pengujian ulang
terhadap identitas mereka. Baik pria mupun wanita yang bercerai
merasa tidak menentu dan kabur setelah terjadi perceraian. Terutama
bagi pihak wanita yang sebelum bercerai identitasnya sangat
tergantung pada suami. Hal ini karena orang-orang yang bercerai
seringkali menilai kegagalan perkawinan mereka sebagai kebebalan
personal. Mereka mencoba untuk mengintegrasikan kegagalan
perkawinan dengan definisi personal mereka tentang maskulinitas
ataupun feminitas, kemampuan mereka dalam mencintai seseorang,
dan aspirasi mereka untuk menjalankan peran sebagai suami, istri,
bapak, ibu dari pada anak-anak.
3. Sulitnya penyesuaian diri
Kehilangan pasangan karena kematian maupun perceraian
menimbulkan masalah bagi pasangan itu sendiri. Hal ini lebih
menyulitkan khususnya bagi wanita. Wanita yang diceraikan oleh
suaminya akan mengalami kesepian yang mendalam. Bagi wanita
yang bercerai, masalah sosial lebih sulit diatasi dibandingkan bagi
pria yang bercerai. Karena wanita yang diceraikan cenderung
dikucilkan dari kegiatan sosial, dan yang labih buruk lagi seringkali
ditinggalkan oleh teman-teman lamanya. Namun jika pria yang
diceraikan atau menduda akan mengalami kekacauan pola hidup
Penelitian terdahulu telah mendokumentasikan bahwa perceraian /
perpisahan orang tua dikaitkan dengan peningkatan risiko masalah
penyesuaian anak dan remaja, termasuk kesulitan akademik (misalnya, nilai
yang lebih rendah dan putus sekolah), perilaku yang mengganggu
(misalnya, masalah perilaku dan penggunaan narkoba), dan suasana hati
yang tertekan. Anak dari orang tua yang bercerai / berpisah juga lebih
mungkin terlibat dalam perilaku seksual berisiko, hidup dalam kemiskinan,
dan mengalami ketidakstabilan keluarga mereka sendiri. Risiko biasanya
meningkat dengan faktor antara 1,5 dan 2. (D’Onofrio dan Emery, 2019).
Penelitian oleh Schaan, et. al., pada tahun 2019 menemukan bahwa
anak dari orang tua yang bercerai lebih banyak ditemukan memenuhi
kriteria gangguan mental daripada anak dari keluarga yang tidak bercerai.
Temuan ini menunjukkan bahwa anak-anak dari orang tua yang bercerai
memiliki risiko hampir dua kali lipat untuk mengembangkan gangguan
mental dibandingkan dengan anak dengan orang tua masih menikah.
Pada anak dengan orangtua yang bercerai dapat timbul trauma
perceraian yang mungkin menimbulkan reaksi emosional seperti
menyalahkan diri sendiri, takut ditinggalkan, harga diri rendah dan
kemarahan. Mereka mungkin terpaksa membohongi diri sendiri, juga
kepada teman dan orang tua, untuk mempertahankan semacam pengendalian
diri. Disini ahli kesehatan mental memainkan peran penting, konseling
psikologis yang diberikan kepada anak dari orang tua yang bercerai
biasanya mencakup fase suportif yang berfokus pada pengembangan harga
diri yang positif, meyakinkan anak bahwa perceraian bukanlah kesalahan
mereka dan bahwa mereka akan selalu dicintai oleh kedua orang tuanya,
sehingga mencegah terjadinya gangguan mental yang mungkin muncul dan
dapat memperbaiki kualitas hidup anak (Tobol dan Yaniv, 2019).
Tidak hanya pada anak, putusnya hubungan jangka panjang yang
berkomitmen dapat memicu beberapa emosi kesedihan, stres, dan kesedihan
yang mendalam pada pasangan itu sendiri. Kehidupan setelah perceraian
bisa terasa membebani, dan bagi banyak orang ketidakpastian tentang masa
depan terkadang tampak lebih buruk daripada hubungan yang tidak bahagia
itu sendiri. Pasangan membutuhkan strategi tentang bagaimana menavigasi
tahapan kesedihan dan kehilangan, serta menemukan potensi baru mereka
dan menciptakan normal baru untuk diri mereka sendiri dan anak-anak
mereka (Shimkowski dan Ledbetter, 2018).
Meskipun sebagian besar individu yang bercerai pada akhirnya
berhasil membebaskan diri dari stres pasca-perceraian, kecepatan mereka
memperoleh kembali kondisi baik bergantung pada akses individu tertentu
ke sumber daya yang mendukung, seperti pendapatan yang cukup untuk
hidup, Pendidikan tingkat tinggi, dukungan yang diterima dari keluarga,
kerabat, teman, pasangan baru, maupun konseling dari ahli kesehatan
mental. Selain itu, sumber daya individu utama yang berguna dalam proses
penyesuaian mungkin termasuk keterampilan sosial, coping mechanism
yang baik, serta makna individu yang menunjukkan perceraian (beberapa
menganggap perceraian sebagai tragedi dan kegagalan pribadi, sementara
yang lain melihatnya sebagai kesempatan untuk memulai hidup dari awal
lagi) (Kołodziej-Zaleska dan Przybyła-Basista, 2016).
Konseling kepada ahli kesehatan mental dapat membantu dalam
memahami tahap-tahap kehilangan dan kesedihan dan bagaimana cara
melewati masa-masa tersebut, mengajarkan coping mechanism yang
diperlukan untuk menghadapi rasa sakit emosional akibat perceraian,
menyediakan wadah bagi seluruh keluarga untuk menerima konseling dan
dukungan dalam lingkungan yang aman, dan membantu memahami alasan
hubungan gagal dan mencegah masalah hubungan di masa mendatang.
Dengan demikian, dukungan sosial dan konseling pasca penceraian
merupakan variabel penting yang harus dipertimbangkan dalam
meminimalkan konsekuensi negatif dari transisi keluar dari pernikahan
(Soulsby & Bennett, 2015).
Konseling secara etimologis, kata konseling berasal dari kata
“counsel” yang diambil dari bahasa Latin yaitu “counsilium”, artinya
“bersama” atau “bicara bersama”. Pengertian “berbicara bersama-sama”
dalam hal ini adalah pembicaraan konselor dengan seorang atau beberapa
klien (counselee). Dalam Kamus Bahasa Inggris, Konseling dikaitkan
dengan kata “counsel” yang diartikan sebagai nasehat (to obtain counsel);
anjuran (to give counsel); pembicaraan (to take counsel). Dengan demikian,
konseling diartikan sebagai pemberian nasehat, pemberian anjuran, dan
pembicaraan dengan bertukar pikiran (Nasution dan Abdillah, 2019).
Secara terminologi American Personel and Guidance Association
(APGA), mendefinisikan konseling sebagai suatu hubungan antara seorang
yang profesional dan individu yang memerlukan bantuan bantuan yang
berkaitan dengan kecemasan biasa atau konflik dalam pengambilan
keputusan. Makna dari pengertian ini adalah konseling merupakan
hubungan secara profesional antara seorang konselor dengan klien yang
mencari bantuan agar klien dapat mengatasi kecemasan dan mampu
mengambil keputusan sendiri atas pemecahan masalah yang dihadapinya.
Sedangkan Willis S. Sofyan menyatakan bahwa konseling adalah suatu
proses yang terjadi dalam hubungan seseorang dengan seseorang yaitu
individu yang mengalami masalah yang tak dapat diatasinya, dengan
seorang petugas profesional yang telah memperoleh latihan dan pengalaman
untuk membantu agar klien memecahkan kesulitanya. Sedangkan pengertian
konseling seperti yang dipaparkan oleh Winkel bahwa “Winkel
mendefinisikan konseling sebagai serangkaian kegiatan paling pokok dan
bimbingan dalam usaha membantu konseli/klien secara tatap muka dengan
tujuan agar klien dapat mengambil tanggung jawab sendiri terhadap
berbagai persoalan dan masalah khusus” (Hamdani, 2012).
Berdasarkan definisi konseling tersebut, dapat disimpulkan bahwa
hakikat pelayanan konseling sebagai berikut (Nasution dan Abdillah, 2019):
1. Interaksi. Interaksi berarti hubungan timbal balik antara konselor dan
konseli baik secara langsung (face to face relationship) maupun
dengan cara tidak langsung dengan menggunakan teknologi
komunikasi (e-counseling). Sebenarnya interaksi konseling yang
baik adalah interaksi primer yakni kontak langsung atau tatap muka
antara konselor dan konseli sehingga ada kehangatan psikologis.
Dalam kontak langsung konselor dan konseli dapat bersalaman,
senyum, mengamati mimik, mendengar nada dan irama berbicara,
lihat, berbicara, mengangguk atau menggeleng, sedih, menangis,
gembira, puas dan sebagainya. Namun, dengan perkembangan
teknologi komunikasi, dan tidak perlu terikat oleh waktu dan tempat
maka interaksi konseling dapat dilakukan secara sekunder yakni
melalui e-counseling atau fasilitas internet lainnya.
2. Kegiatan professional. Kegiatan proses konseling, pemilihan
pendekatan, dan strategis konseling didasarkan pada teori. Demikian
juga kegiatan profesional tersebut dilaksanakan oleh orang
profesional (konselor) yang telah disiapkan, dididik, dilatih dalam
waktu yang relatif lama oleh lembaga pendidikan tinggi
terakreditasi. Seorang konselor harus mempunyai alasan mengapa ia
menetapkan jenis pendekatan konseling dan strategi tertentu untuk
klien tertentu pula, bukan yang lainnya.
3. Adanya masalah. Salah satu ciri konseling adalah adanya masalah.
Klien yang datang pada konselor biasanya mempunyai masalah
tertentu. Namun masalah tersebut masih tergolong normal: masalah
belajar, penyesuaian diri, pemilihan jurusan, rencana karier sehingga
dapat dipecahkan konselor dan klien sendiri atau salah satu dari
mereka, sedangkan masalah berat: psikosis, psikoneurosis, kriminal,
dan sebagainya bukan otoritas konselor. Konselor berkewajiban
menyerahkan klien itu pada lembaga atau pihak yang berkompeten.
4. Adanya penggunaan metode atau teknik. Konseling diadakan dengan
menggunakan metode atau pendekatan tertentu. Konselor barangkali
menggunakan pendekatan psikoanalisis, behavioral, analisis
transaksional, terapi rasional emotive dan pendekatan-pendekatan
lain. Setiap pendekatan biasanya mempunyai teknik–teknik khusus.
Mislanya pendekatan psikoanalisis mempunyai teknik analisis
mimpi, asosiasi bebas, interprestasi baik terhadap resistensi maupun
transferensi. Namun dewasa ini, pendekatan konseling yang
integratif.
Dalam konseling, konselor melakukan wawancara konseling
bersama konseli. Aspek-aspek dalam wancara konseling adalah sebagai
berikut (Nasution dan Abdillah, 2019):
1. Wawancara merupakan teknik utama dalam konseling, melalui
wawancara konselor dan klien bisa berdialog, melalui wawancara
pula, konselor dapat mengetahui kerisauan-kerisauan klien, langkah-
langkah yang akan ditempuh selanjutnya, dan hasil yang telah
dicapai. Teknik-teknik lain, tentu saja, dapat disatukan dengan
wawancara seperti observasi, pemahaman dansebagainya.
2. Tujuan. Berbeda dengan percakapan biasa, konseling selalu
mempunyai tujuan. Tujuan yang ingin dicapai dalam konseling
biasanya:
a. memperoleh pemahaman yang lebih baik terhadap dirinya,
b. mengarahkan dirinya sesuai dengan potensi dirinya,
c. mampu memecahkan masalahnya sendiri,
d. terhindar dari kecemasan dan salah suaie) memiliki wawasan
yang lebih realistis,
e. mencapai taraf aktualisasi diri, dan
f. memperoleh kebahagiaan dalam hidup.
3. Pengambilan keputusan ada pada tangan klien. Pada umumnya
dianut bahwa keputusan dalam konseling ada di tangan klien.
Namun demikian, kadang-kadang keputusan itu merupakan hasil
keputusan bersama klien dan konselor. Bahkan klien yang tak
mampu memecahkan masalah dan mengambil keputusan. Namun
dalam hal ini konselor hendaknya mempunyai tanggung jawab
profesional terhadap keputusan itu.
Tujuan konseling secara umum menurut Syaiful Akhyar, 2015, ada
beberapa, yaitu:
1. Menyediakan fasilitas untuk perubahan tingkah laku.
2. Meningkatkan hubungan antar perorangan dan
3. pembinaan kesehatan mental.
4. Meningkatkan keterampilan untuk menghadapi masalah.
5. Menyediakan fasilitas untuk pengembangan kemampuan.
6. Meingkatkan kemampuan dalam menentukan keputusan.
Dari penjelasan diatas, penting bagi keluarga untuk melakukan
konseling penceraian. Konseling perceraian adalah sebuah bentuk terapi
hubungan yang dirancang untuk pasangan menikah yang berada diambang
atau menghadapi masa setelah perceraian. Perceraian biasanya
menyebabkan banyak tekanan, bukan hanya karena pasangan tersebut harus
mempertimbangkan faktor emosional, mental, legal, dan finansial, namun
juga karena hidup mereka akan berubah secara drastis setelah proses
perceraian selesai. Ada banyak pertimbangan yang harus dipikirkan dan
diatasi, dan banyak orang gagal memahami besar dan beratnya situasi yang
mereka hadapi setelah membuat keputusan (Little dan Bonnell, 2015).
Banyak profesional menawarkan pelayanan bagi pasangan yang
sedang atau telah bercerai, tidak hanya aspek hukum dan logistik dalam
proses, namun lebih kepada aspek pribadi dan psikologis. Konseling
perceraian dapat dilakukan sebelum atau sesudah prosedur hukum, dan
dapat membantu orang-orang yang terlibat untuk melanjutkan kehidupan
pribadi dan profesionalnya setelah tinta pada surat perceraian mereka,
kering. Konseling ini juga dapat meringankan dampak dari perceraian
terhadap anak dan anggota keluarga lainnya, membantu mereka melewati
trauma emosional dan psikologis atau beban yang ditimbulkan oleh kejadian
ini. Tujuan dari konseling perceraian membantu individu untuk
menyesuaikan pada kehidupan baru, dan memproses efek negatif yang
muncul setelah perceraian terhadap semua aspek dalam kehidupan mereka.
Konseling perceraian tidak dibutuhkan oleh semua pasangan yang sedang
bercerai, namun dapat sangat membantu untuk mencegah pikiran atau
perilaku yang merusak diri sendiri. (Little dan Bonnell, 2015).
Pasangan yang sedang atau telah berpisah bisa mendapatkan manfaat
dari konsultasi dengan terapis perceraian. Jika ada anak-anak yang terlibat,
yang paling baik adalah bekerja sama dengan terapis yang memiliki latar
belakang psikologi anak. Konseling pra-perceraian termasuk membantu
semua pihak yang terlibat untuk berkomunikasi dengan cara yang baik dan
efektif untuk mempercepat prosesnya. Konseling jenis ini juga menyiapkan
anak-anak dari efek signifikan yang diakibatkan perceraian. Beberapa
konselor pra-perceraian juga menawarkan bantuan kekhawatiran orang tua,
terutama di mana orang tua belum memberi tahu berpisahan yang akan
terjadi. Di sisi lain, sesi konseling pasca perceraian cenderung berurusan
dengan kekhawatiran jangka panjang individu tentang perceraian. Mereka
akan dibimbing untuk memproses perasaan sedih, duka, tertekan, dan
merubah emosi negatif menjadi positif, sehingga mereka dapat menjalani
hidup dengan baik setelah perceraian. Konselor pasca perceraian dapat
membantu individu untuk melewati proses bersedih, juga bermanfaat untuk
memulihkan aspek psikologis orang-orang yang terlibat (Little dan Bonnell,
2015).
Namun seperti yang disampaikan sebelumnya, tidak semua orang
memerlukan konseling pernikahan, karena beberapa perpisahan berjalan
dengan baik dan bahkan damai. Namun, saat salah satu pihak merasa
kehidupan sehari-harinya terganggu dengan pikiran dan emosi negatif yang
disebabkan oleh perceraian atau saat seseorang terobsesi dengan segala hal
kecil terkait proses perceraian, atau terburu-buru dalam membuat rencana
masa depan yang serius, konseling perceraian sangat direkomendasikan.
Seseorang yang merasa tenggelam dalam depresi selama proses perceraian
perlu menjalani konseling perceraian. Selain itu, juga orang-orang yang
memiliki pikiran atau perilaku yang penuh amarah, melawati jalur yang
merusak diri sendiri, memiliki pikiran untuk menyakiti diri atau bahkan
bunuh diri, atau kecanduan alkohol dan obat. Individu yang menderita
gangguan makan dan tidur selama perceraian. Orang-orang ini bisa
mendapatkan keuntungan dari konseling perceraian (Little dan Bonnell,
2015).
Hasil yang diharapkan dari konseling perceraian adalah peningkatan
emosional dan psikologis pasangan yang sedang atau telah berpisah, juga
membawa dampak positif pada hubungan mereka dengan keluarga. Sikap
terhadap kejadian yang merubah hidup ini, juga dapat meningkat. Sebagian
individu kembali ke sesi konseling untuk lebih memahami dan
mengekspresikan perasaan mereka dan mencari dukungan saat mereka
merasa sendirian. Pasien yang berhasil menyelesaikan sesi konseling
perceraian dapat berharap mampu mengatasi situasi dengan lebih baik dan
menjalani proses perceraian yang lancar (Falk 2008).
Cara kerja dari konseling penceraian tergantung pada pelatihan dan
ideologi yang dimiliki konselor perceraian, namun biasanya melibatkan
beberapa komponen. Salah satu dari berbagai hal awal yang akan dibantu
oleh konselor adalah proses berduka. Individu harus melewati proses alami,
sebab banyak investasi yang dilakukan pada sebuah hubungan sebelum
berpisah; baik finansial, mental, fisik, dan lainnya. Sebuah perceraian secara
esensial adalah kehilangan, sebab tidak ada seorang pun memikirkan
perpisahan saat memulai hubungan, terutama pernikahan. Seseorang dapat
merasa sangat sedih dan menyesal sebelum dan setelah perceraian, dan
konselor dapat membantu mengatasi perasaan negatif dan mengubahnya
jadi positif (Falk 2008).
Konselor juga akan membantu pasangan, sehingga mereka dapat
mengatasi beban emosional yang ada karena hubungan yang gagal, secara
efektif. Langkah ini sangat penting dalam membantu seseorang menghadapi
kehidupan pasca perceraian. Tergantung pada pendekatan konselor, individu
mungkin didorong untuk mengkomunikasikan perasaanya dan berpartisipasi
dalam aktivitas yang dapat dinikmatinya. Sebab ada banyak perasaan
egosentris negatif yang dirasakan seseorang saat menjalani perceraian,
konselor akan membantu menemukan aspek yang baru dalam kepribadian
orang tersebut dan mencegahnya menyalahkan diri sendiri atas apa yang
terjadi. Konselor juga dapat membantu individu untuk mengembalikan rasa
percaya diri untuk menghadapi kehidupannya sebagai lajang, dan
menawarkan dukungan bagi anggota keluarga yang terpengaruh perceraian
(Falk 2008).

RANGKUMAN
Perceraian sangat menyakitkan bagi semua anggota keluarga dan
bahkan setiap anggota keluarga besar. Penelitian terdahulu telah
mendokumentasikan bahwa perceraian / perpisahan orang tua dikaitkan
dengan peningkatan risiko masalah penyesuaian anak dan remaja, termasuk
kesulitan akademik (misalnya, nilai yang lebih rendah dan putus sekolah),
perilaku yang mengganggu (misalnya, masalah perilaku dan penggunaan
narkoba), suasana hati yang tertekan, dan gangguan mental. Disini ahli
kesehatan mental memainkan peran penting, konseling psikologis yang
diberikan kepada anak dari orang tua yang bercerai dapat mencegah
terjadinya gangguan mental yang mungkin muncul dan dapat memperbaiki
kualitas hidup anak (Tobol dan Yaniv, 2019).
Tidak hanya pada anak, putusnya hubungan jangka panjang yang
berkomitmen dapat memicu beberapa emosi kesedihan, stres, dan kesedihan
yang mendalam pada pasangan itu sendiri. Konseling kepada ahli kesehatan
mental dapat membantu pasangan menemukan strategi tentang bagaimana
menavigasi tahapan kesedihan dan kehilangan, serta menemukan potensi
baru mereka dan menciptakan normal baru untuk diri mereka sendiri dan
anak-anak mereka (Shimkowski dan Ledbetter, 2018).
Konseling perceraian adalah sebuah bentuk terapi hubungan yang
dirancang untuk pasangan menikah yang berada diambang atau menghadapi
masa setelah perceraian. Tujuan dari konseling perceraian membantu
individu untuk menyesuaikan pada kehidupan baru, dan memproses efek
negatif yang muncul setelah perceraian terhadap semua aspek dalam
kehidupan mereka. Konseling perceraian tidak dibutuhkan oleh semua
pasangan yang sedang bercerai, namun dapat sangat membantu untuk
mencegah pikiran atau perilaku yang merusak diri sendiri. (Little dan
Bonnell, 2015).
Hasil yang diharapkan dari konseling perceraian adalah peningkatan
emosional dan psikologis pasangan yang sedang atau telah berpisah, juga
membawa dampak positif pada hubungan mereka dengan keluarga. Sikap
terhadap kejadian yang merubah hidup ini, juga dapat meningkat. Sebagian
individu kembali ke sesi konseling untuk lebih memahami dan
mengekspresikan perasaan mereka dan mencari dukungan saat mereka
merasa sendirian. Pasien yang berhasil menyelesaikan sesi konseling
perceraian dapat berharap mampu mengatasi situasi dengan lebih baik dan
menjalani proses perceraian yang lancar (Falk 2008).
Dengan demikian, dukungan sosial dan konseling pasca penceraian
merupakan variabel penting yang harus dipertimbangkan dalam
meminimalkan konsekuensi negatif dari transisi keluar dari pernikahan, baik
untuk anak, maupun untuk pasangan itu sendiri (Soulsby & Bennett, 2015).
DAFTAR PUSTAKA
Akhyar, Saiful, 2015. Konseling Islami “Dalam Komunitas
Pesantren”. Bandung: Citapustaka Media.
D'Onofrio, B. and Emery, R., 2019. Parental divorce or separation
and children's mental health. World Psychiatry, 18(1), pp.100-101.
Falk, Florence. 2008. On My Own: The Art of Being a Woman
Alone. New York; Three Rivers Press.
Hamdani. (2012). Bimbingan dan Penyuluhan. Bandung: Pustaka Setia. P.
85
Kołodziej-Zaleska, A. and Przybyła-Basista, H., 2016. Psychological
well-being of individuals after divorce: the role of social support. Current
Issues in Personality Psychology, 4, pp.206-216.
Little, Kristin dan Bonnell, Karen. 2015. Family-centered, child-
inclusive divorce. Counseling Today; American Counseling Association.
Nasution, Henni Syafriana dan Abdillah. 2019. Bimbingan
Konseling “Konsep, Teori dan Aplikasinya. Lembaga Peduli
Pengembangan Pendidikan Indonesia (LPPPI). P 5-15.
Purnamasari, I., 2019. Layanan Bimbingan Konseling Keluarga
Untuk Meminimalisasi Angka Perceraian. Irsyad : Jurnal Bimbingan,
Penyuluhan, Konseling, dan Psikoterapi Islam, 7(1), pp.41-60.
Schaan, V., Schulz, A., Schächinger, H. and Vögele, C., 2019.
Parental divorce is associated with an increased risk to develop mental
disorders in women. Journal of Affective Disorders, 257, pp.91-99.
Shimkowski, J. and Ledbetter, A., 2018. Parental Divorce
Disclosures, Young Adults’ Emotion Regulation Strategies, and Feeling
Caught. Journal of Family Communication, 18(3), pp.185-201.
Soulsby, L. K. and Bennett, K. M. 2015. Marriage and psychological
wellbeing: The role of social support. Psychology, 6, 1349–1359.
Tobol, Y. and Yaniv, G., 2019. Parents’ marital status, psychological
counseling and dishonest kindergarten children: An experimental
study. Journal of Economic Behavior & Organization, 167, pp.33-38.
Utami, Yenni Sri dan Fatonah, Siti. 2015. Evaluasi Strategi
Komunikasi Konselor BP4 dalam Mencegah Perceraian (Studi Kasus di
BP4 Kecamatan Mergangsan Kota Yogyakarta). Journal Universitas
Ahmad Dahlan Yogyakarta. Vol. 3, No. 2, Oktober 2015, hal. 89-99

Anda mungkin juga menyukai