Anda di halaman 1dari 30

Referensi Artikel

SINDROM EMBOLI LEMAK (FAT EMBOLISM SYNDROME )

Disusun Oleh:

Syafalikha Dwizahra G992003141


Periode 24-30 Agustus 2020

Pembimbing:
dr. Rieva Ermawan, Sp.OT (K)

KEPANITERAAN KLINIK SMF BAGIAN ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Referensi artikel ini disusun untuk memenuhi persyaratan


Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah Orthopaedi
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret/
RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

Referensi artikel dengan judul:


Sindrom Emboli Lemak (Fat Embolism Syndrome)

Hari, tanggal: Kamis, 27 Agustus 2020

Disusun oleh:
Syafalikha Dwizahra G992003141

Mengetahui dan Menyetujui,


Pembimbing

dr. Rieva Ermawan, Sp.OT (K)


BAB I
PENDAHULUAN

Emboli lemak (Fat embolism) pada manusia dikenal pertama kali pada
tahun 1861 oleh Zenker, yang mendapatkan droplet lemak pada paru pasien yang
menderita thoracoabdominal crush injury. Zenker menduga bahwa lemak tersebut
berasal dari laserasi perut. Dua belas tahun kemudian, Von Bergmann
mendiagnosis sindroma klinis emboli lemak (fat embolism syndrome, FES) pada
pasien dengan fraktur femur, dan pada 1875, Czerny menginvestigasi hubungan
gejala cerebral yang terjadi pada pasien dengan emboli lemak.
Emboli lemak (FE) ditentukan oleh adanya gumpalan lemak dalam
mikrosirkulasi terlepas dari gejala klinisnya. Fat embolism syndrome (FES) adalah
sindrom klinis yang merupakan manifestasi sistemik dari emboli lemak di
mikrosirkulasi. Lemak yang mengemboli dinding kapiler meyebabkan kerusakan
jaringan dan menginduksi respon inflamasi sistemik dan menyebabkan gejala di
paru, saraf, kulit, retina, dan ginjal. FES paling sering dikaitkan dengan trauma
ortopedi, dengan insiden tertinggi pada fraktur tulang panjang tertutup pada
ekstremitas bawah, terutama femur. Risiko trauma ortopedi komplikasi FES paling
tinggi pada usia 10 hingga 40 tahun dan terjadi pada pria lebih sering daripada
wanita. Penyebab FES non-ortopedi sangat jarang dan termasuk pankreatitis, sickle
cell crisis, penyakit hati alkoholik, pengambilan atau transplantasi sumsum tulang,
dan sedot lemak.
Dalam literatur ortopedi dan trauma, kejadian FES berkisar dari <1%
sampai> 30% kasus. Data tingkat populasi terbaru dari National Hospital
Discharge Survey menemukan kejadian FES 0,17% pada pasien dengan fraktur
ortopedi terisolasi atau multipel. Insiden meningkat menjadi 0,54% pada fraktur
femur terisolasi dan 1,29% jika terdapat beberapa fraktur termasuk femur.
Meskipun FES tetap merupakan sindrom yang relatif jarang terjadi, FE subklinis
pada populasi trauma sangat umum, dengan seri otopsi menemukan emboli lemak
di sirkulasi paru dari 82% pasien trauma dan 88% pasien yang menerima resusitasi
kardiopulmoner.
Berbagai faktor meningkatkan kejadian FES. Teori mekanik dan biokimia
telah diajukan untuk patofisiologi FES. Tidak ada kriteria diagnostik standar yang
divalidasi secara prospektif untuk FES. Diagnosis ditegakkan dengan mengenali
karakteristik gejala klinis. Triad klasik FES termasuk hipoksemia, kelainan
neurologis, dan petechiae. Manifestasi paru adalah salah satu tanda awal FES yang
paling umum dan termasuk dispnea, takipnea, hipoksemia, dan gagal napas dan
ditemukan beberapa hari pertama setelah trauma, fraktur tulang panjang, atau
operasi intrameduler. Berbagai studi laboratorium dan modalitas pencitraan tersedia
untuk membantu menegakkan diagnosis. Tatalaksana FES berfokus pada suportif
kegagalan fungsi organ, seperti oksigenasi dan ventilasi yang adekuat sesuai
beratnya gangguan respirasi dan optimalisasi hemodinamik dengan kecukupan
cairan intravaskular. Oleh karena itu, upaya diarahkan pada pencegahan, diagnosis
dini, dan manajemen gejala. Stabilisasi dini dari fraktur dan minimal manipulasi
intramedullar tulang dipercaya dapat menurunkan risiko terjadinya sindrom ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Fat Emboli (FE) adalah fenomena yang sering terjadi dan biasanya tidak
berbahaya yang mengacu pada adanya tetesan lemak di dalam sirkulasi perifer
dan mikrosirkulasi paru dengan atau tanpa gejala klinis. FES, di sisi lain, adalah
sindrom klinis yang terjadi dengan adanya intravasasi lemak di mikrosirkulasi,
dan ditandai dengan tanda dan gejala klinis yang jelas.
Menurut Salter, FES adalah sindrom yang terdiri dari suatu respiratory
distress syndrome dan hipoksia arterial yang berat yang disebabkan oleh adanya
suatu emboli lemak yang sistemik. Menurut Harry B. Skinner et al, FES adalah
manifestasi orthopedic khusus dari acute respiratory distress syndrome(ARDS)
yang disebabkan oleh lepasnya lemak sumsum tulang ke dalam sirkulasi yang
dapat muncul setelah terjadinya fraktur. Menurut Mark F. Sloane, FES adalah
sindrom yang ditandai dengan insufisiensi respiratorik, abnormalitas saraf
pusat, dan petekhie yang biasanya muncul 24-72 jam setelah kejadian pencetus
yang biasanya adalah trauma tulang panjang atau pelvis.
Dapat disimpulkan bahwa FES adalah suatu sindrom yang disebabkan oleh
lepasnya lemak sumsum tulang ke dalam sirkulasi sehingga menyebabkan suatu
embolisasi lemak yang sistemik dan ditandai dengan insufisiensi respiratorik
(ARDS), hipoksia arterial berat, abnormalitas saraf pusat, dan petekhie yang
muncul 24-72 jam setelah kejadian pencetus yang biasanya adalah trauma
tulang panjang atau pelvis.

B. EPIDEMIOLOGI
Sevitt menyatakan bahwa “emboli lemak paru adalah kondisi patologis
tetapi bukan kondisi klinis” dan kebanyakan ahli mendukung pendapat bahwa
emboli lemak sangat umum terjadi, namun insiden sindroma klinisnya sangat
jarang. Emboli lemak didapatkan pada lebih dari 90% kasus multiple trauma.
Pada studi autopsi 110 tentara selama perang Korea, emboli lemak paru
didapatkan pada lebih 90%, namun pada penemuan ini yang bermakna secara
klinis hanya 19%. Emboli lemak ditemukan pada 855 dari 6250 korban
kecelakaan dan berkontribusi pada kematian lebih dari setengahnya.
Sementara hampir semua pasien memiliki emboli lemak yang terdeteksi di
dalam darah atau mengalami hipoksia sementara, kejadian FES jauh lebih
rendah. Dalam studi awalnya yang mendefinisikan kriteria klinis untuk FES,
Gurd melaporkan kejadian FES sebesar 19% pada sekelompok pasien trauma.
Karena operasi fiksasi dini pada patah tulang panjang telah menjadi perawatan
standar, penelitian modern melaporkan kejadian FES antara 0,9% dan 11%.
Stein et al. (2008) menganalisis data dari National Hospital Discharge Survey
dan menunjukkan bahwa lokasi fraktur berkontribusi pada frekuensi FE. Pasien
dengan patah tulang panjang lebih cenderung mengembangkan FES. Situs
fraktur yang paling sering menyebabkan FE adalah femur. Insiden FES adalah
7,6% lebih tinggi pada pasien dengan fraktur femur terisolasi (tidak termasuk
leher femur) dibandingkan pada pasien dengan fraktur leher femur yang
terisolasi. Penjelasan dari temuan ini bisa jadi adalah leher femur berisi sumsum
tulang merah pada orang dewasa, bukan sumsum tulang kuning.
Secara keseluruhan, kejadian FES yang diamati jauh lebih tinggi pada
pasien dengan fraktur tulang panjang pada ekstremitas bawah dibandingkan
pada bagian atas. Pasien dengan fraktur multipel memiliki insiden yang lebih
tinggi dibandingkan dengan fraktur femur yang terisolasi (0,06%), dan tibia
atau fibula (0,3%). Selain itu, mereka yang mengalami fraktur femur bilateral
menunjukkan kejadian FES yang lebih tinggi (4,8-7,5%) dibandingkan dengan
fraktur femur tunggal. Fraktur terbuka lebih kecil kemungkinannya untuk
mengembangkan FES dibandingkan dengan fraktur tertutup, karena tekanan
yang lebih tinggi lebih mungkin terjadi pada fraktur tertutup.
Faktor lain juga ditemukan terkait dengan risiko FES yang lebih tinggi.
Insiden empat kali lebih tinggi pada pria dan pasien yang lebih muda (10-40
tahun) lebih mungkin mengembangkan FES dibandingkan mereka yang berusia
lebih dari 40 tahun (0,37% vs 0,05%). Anak-anak di bawah 10 tahun lebih kecil
kemungkinannya untuk mengembangkan FES. Perbedaan ini mungkin terkait
dengan kandungan lemak yang lebih rendah pada pasien yang lebih muda.
Insiden FES yang rendah pada pasien yang lebih tua mungkin karena patah
tulang disebabkan oleh benturan yang ringan dan hanya mengenai leher tulang
paha.

C. ETIOLOGI
Fat embolism syndrome (FES) umumnya dikaitkan dengan fraktur
traumatis femur, panggul, dan tibia, dan, pasca operasi, setelah artroplasti
panggul dan lutut. Bentuk trauma lain yang mungkin jarang menyebabkan FES
termasuk cedera masif jaringan lunak, luka bakar derajat berat, biopsi sumsum
tulang, transplantasi sumsum tulang, resusitasi kardiopulmoner, sedot lemak,
dan sternotomi median. Kondisi non-traumatis adalah penyebab FES yang
sangat jarang; yaitu pankreatitis akut, diabetes mellitus, osteomyelitis,
perlemakan hati (Alcoholic fatty liver disease), terapi kortikosteroid, limfografi,
infus emulsi lemak, dan hemoglobinopati.
Dilaporkan dalam sebuah penelitian bahwa pasien dengan satu patah
tulang panjang memiliki kemungkinan 1% -3% untuk mengembangkan FES,
tetapi meningkat hingga 33% pada pasien dengan patah tulang femoralis
bilateral.
Berbagai faktor risiko telah diidentifikasi dalam penelitian terbaru yang
dapat meningkatkan risiko perkembangan FES pada pasien (tabel 2.1).
Tabel 2.1. Faktor Risiko FES

(Singh et al., 2018)

D. PATOFISIOLOGI
Dua mekanisme patofisiologis diusulkan untuk manifestasi klinis FES:
teori mekanik dan biokimia. Teori mekanik pertama kali dikemukakan oleh
Gauss pada tahun 1924. Gauss (1924) mendalilkan bahwa peningkatan tekanan
intra meduler (IM) (setelah cedera atau iatrogenik) memaksa partikel sumsum,
lemak atau fragmen tulang ke dalam sirkulasi melalui sinusoid vena yang
terbuka. Biasanya, vena memiliki ciri dinding yang lemah dan fleksibel;
Namun, dalam tulang, mereka terkandung dalam tubulus terkalsifikasi dengan
selubung perivaskular yang kaku. Hal ini memungkinkan ujung vena yang
pecah tetap terbuka, dan tekanan vena negatif dapat menarik gumpalan lemak
bebas ke dalam sirkulasi. Sel-sel lemak ini memiliki potensi proinflamasi dan
prothrombotik yang kuat. Mereka memicu agregasi trombosit yang cepat dan
mempercepat pembentukan fibrin saat berjalan melalui sistem vena, akhirnya
menetap di sirkulasi arteri pulmonalis. Obstruksi kapiler paru menyebabkan
perdarahan interstisial dan edema, kolaps alveolar, dan vasokonstriksi
hipoksemik reaktif. Emboli lemak masif juga dapat menyebabkan obstruksi
makrovaskular dan syok. Sel lemak juga dapat memasuki sirkulasi arteri
melalui foramen ovale paten atau langsung melalui dasar kapiler paru.
Awalnya diperkirakan bahwa untuk berpindah dari vena ke sirkulasi
sistemik, lemak (karena ukurannya yang besar) harus melewati foramen ovale
dari atrium kanan ke kiri (terdapat pada 20% hingga 25% orang dewasa. ), dapat
terjadi pada foramen yang tetap terbuka sejak lahir atau yang terbuka kembali
karena tekanan arteri pulmonalis yang meningkat. Namun, tidak jelas
bagaimana emboli lemak ini mendapatkan akses ke sirkulasi sistemik pada
pasien FES tanpa right to left shunt atau PFO yang terbukti secara
ekokardiografis.
Penjelasan lain adalah adanya peningkatan akut tekanan jantung kanan
memaksa gumpalan lemak masuk melalui kapiler paru ke dalam sirkulasi
sistemik. Byrick dkk. (1994) menemukan bahwa fluiditas dan deformabilitas
lemak intravaskuler memungkinkannya melintasi pembuluh darah paru dan
menyebabkan embolisasi arteri bahkan tanpa adanya defek anatomik.
Perjalanan lemak melalui pintasan bronkial paru-paru intrapulmonik juga telah
disarankan.
Masih terdapat kontroversi mengenai disfungsi cerebral. Pendapat yang
mengatakan bahwa gejala neurologis semata mata karena efek sekunder dari
arterial hipoksemia dan edema cerebri yang diffus adalah tidak cukup valid.
Studi histologi pada autopsi pasien dengan gejala klinis cerebral emboli lemak
menggambarkan infark kecil multipel dengan perdarahan perivaskular di
ganglia bangsal, thalamus, batang otak, dan bagian dalam substansia alba dari
hemisfer cerebral dan cerebellum, jelasnya keterlibatan injuri fokal iskemik.
Meskipun masih kurangnya bukti klinis mengenai disfungsi renal, namun tidak
ada organ yang terpengaruh lebih difus dibanding ginjal. Hal ini mungkin hasil
dari filtrasi glomerular, dimana konsentrat lemak menjadi kecil, dan kepadatan
volumenya menyebabkan mikro infark. Lesi petchie di kulit juga menjadi hasil
dari mikroinfark dan berhubungan dengan distensi kapiler dan fragilitas
endotelial. Namun, telah diakui bahwa semua pasien dengan emboli besar yang
didokumentasikan oleh transoesophageal echo (TEE) mungkin tidak
berkembang menjadi FES. Oleh karena itu, faktor selain obstruksi mekanis oleh
emboli lemak mungkin terlibat dalam pengembangan FES.
Teori biokimia, yang dikemukakan oleh Lehmann dan Moore (1927)
menyatakan bahwa ada sejumlah mekanisme yang berpotensi terlibat dalam
pengembangan FES. Teori biokimia menunjukkan bahwa manifestasi klinis
FES disebabkan oleh keadaan proinflamasi. Lemak pada sumsum tulang
dihidrolisis menjadi FFAs toksik dan gliserol oleh lipase lokal di paru yang
mengakibatkan kerusakan endotel, deaktivasi surfaktan dan kebocoran kapiler.
Produk perantara ini menyebabkan disfungsi organ akhir. Di paru-paru, cedera
toksik pada pneumosit dan sel endotel paru menyebabkan edema vasogenik dan
sitotoksik serta perdarahan. Endothelium paru yang rusak memicu kaskade
sitokin proinflamasi, yang mengarah pada perkembangan cedera paru akut atau
sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS).
Studi biokimia pada pasien dengan FES yang dikonfirmasi mendukung
beberapa aspek teori ini. Pasien dengan FES memiliki peningkatan kadar
fosfolipase A2 plasma, sitokin proinflamasi (termasuk tumor necrosis factor-
alpha, interleukin-1, dan interleukin-6), dan radikal bebas. Intermediet
proinflamasi ini dapat menjelaskan FES dalam keadaan nontraumatik serta
penundaan yang diamati dari jam ke hari dari kejadian trauma sampai awal
temuan klinis di FES. Sering meningkat pada pasien dengan FES, protein C-
reaktif dapat mengakibatkan obstruksi mikrovaskuler lebih lanjut dengan
mempercepat aglutinasi lipid.
Patofisiologi dari sebagian besar kasus FES menggabungkan proses
mekanis dan biokimia ini. Interaksi ini dicontohkan oleh manifestasi FES yang
terjadi di sirkulasi arteri dan vena. Ruam petekie tampaknya disebabkan oleh
perdarahan pasca obstruktif di tingkat kapiler tetapi pada banyak pasien juga
dapat disebabkan oleh keadaan inflamasi dan prothrombotik sistemik.
Demikian pula, berbagai temuan sistem saraf pusat mulai dari defisit fokal
hingga ensefalopati kemungkinan mengindikasikan patofisiologi multifaktorial.

E. TANDA DAN GAMBARAN KLINIS


Fat embolism syndrome (FES) biasanya bermanifestasi sebagai gangguan
multisistem. Periode laten 12-48 jam dapat mendahului manifestasi klinis.
Takikardia, takipnea, dan demam merupakan tanda klinis nonspesifik, dan
biasanya berkembang 12-72 jam setelah trauma. Beberapa peneliti telah
menggambarkan FES memiliki potensi tiga presentasi klinis, yaitu subklinis,
subakut nonfulminant dan akut fulminan. Presentasi ini dapat dibedakan dengan
waktu onset gejala setelah cedera dan tingkat keparahan gambaran klinis yang
muncul. Meskipun gambaran klinis ini dapat dibedakan, klasifikasinya agak
dibuat-buat, karena tanda dan gejala klinis sering bergabung atau presentasi
yang lebih ringan dapat berkembang dengan cepat ke bentuk yang lebih parah.
FES paling parah mempengaruhi paru-paru dan otak, meskipun ada keterlibatan
kardiovaskular dan kulit.
Triad klasik gejala FES adalah gangguan pernapasan, perubahan
neurologis, dan ruam petekie. Gejala klinis insufiensi respirasi ada pada 75%
pasien, dan lebih dari 90% terdapat arterial hipoksemia. Onsetnya selalu
mendadak, ditandai dengan sesak napas, gelisah, agitasi, dan disorientasi.
Pasien mungkin agresif dan sulit untuk ditangani. Mereka sering hiperdinamik,
takipneu, dan kadang sianotik. Demam selalu ditemukan, menurut Muller dan
kawan kawan, hal ini merupakan akibat langsung dari pupura di cerebri dengan
dekompensasi pusat termoregulator. Auskultasi pada lapangan paru
menunjukkan rales, ronkhi dan wheezing yang difus dan terkadang pleural
friction rub juga terdengar. Gejala paru muncul pertama kali, biasanya 24
hingga 72 jam setelah trauma; tetapi gejala telah dilaporkan sedini 12 jam.
Emboli yang besar dapat menyebabkan kolaps kardiopulmoner mendadak;
tetapi lebih sering, FES memiliki onset berbahaya dengan dispnea, takipnea,
dan hipoksemia. Sekitar setengah dari semua pasien dengan FES mengalami
gagal napas yang memerlukan ventilasi mekanis.
Defek neurologis juga umum dan biasanya bermanifestasi setelah
perubahan pernapasan. Namun, tanda keterlibatan neurologik bisa timbul
mendahului gejala insufisiensi respirasi dan terkadang timbul sebagai
manifestasi tunggal dari FES. Kelainan neurologis termasuk defisit fokal,
kebingungan, lesu, gelisah, dan koma. Penurunan status mental sering timbul
mengikuti tanda keterlibatan neurologik lanjut, termasuk long track signs,
postur dekortikasi dan deserebrasi, dan kejang umum tonik klonik. Oliguria
tidak begitu umum terjadi, inkontinensia urin bisa terjadi meskipun pada pasien
yang terlihat sehat. Rash klasik selalu timbul di hari kedua atau ketiga pada 30-
60% pasien. Hal ini umumnya berupa petechie yang timbul di dada bagian atas,
seluruh leher, dan lipatan aksila. Rush tersebut sering berlalu dengan cepat dan
mudah luput pada pemeriksaan yang tidak teliti. Petechie di buccal dan
konjungtiva, merupakan karakteristik dari FES yang mudah diidentisifikasi
dengan membalik bibir bawah dan kelopak mata (gambar 2.1).
Gambar 2.1. Petechie Pada Pasien FES (Maghrebi et al.,2017)

Pemeriksaan funduskopi memperlihatkan lesi pada lebih dari 50% pasien,


secara umum tampak sebagai eksudat, edematous patches, cotton-wool spots,
petechial hemorrhages, dan intravascular fat globules. Temuan nonspesifik
lainnya termasuk demam dan retinopati. Trombositopenia dan anemia yang
tidak dapat dijelaskan adalah manifestasi hematologi yang umum terlihat pada
37% dan 67% kasus. Kasus FES yang parah dapat dipersulit oleh koagulasi
intravaskular diseminata, yang kemungkinan merupakan hasil dari ekspresi
faktor jaringan yang berlebihan setelah trauma. Kasus FES fulminan dapat
muncul dengan disfungsi ventrikel kanan, kegagalan biventrikel, sindrom
gangguan pernapasan akut, syok, dan kematian.

F. DIAGNOSIS
1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Karena FES memiliki pola presentasi yang sangat heterogen, diagnosis yang
tepat menjadi sulit. Selain itu, tanda dan gejala FES tidak spesifik. Tidak ada
tanda patognomi (kecuali untuk ruam petekie) atau tes konfirmasi khusus.
Dengan demikian, diagnosis FES didasarkan pada temuan klinis dan
laboratorium, dan pengecualian diagnosis potensial lainnya.
Manifestasi klinis FES pertama kali dijelaskan oleh Gurd (1970) dan
kemudian disempurnakan oleh Gurd dan Wilson (1974) (Tabel 2.2). Penulis
menyarankan bahwa setidaknya dua gejala atau tanda utama atau satu gejala
atau tanda mayor dan empat gejala atau tanda minor harus ada untuk
mendiagnosis sindrom ini.

Tabel 2.2. Kriteria diagnosis FES Gurd dan Wilson (1974)


Lindeque dkk. (1987) berpendapat bahwa kriteria Gurd dan Wilson terlalu
sensitif karena analisis gas darah tidak disertakan, dan hipoksemia dapat
mendahului tanda klinis pada FES awal. Lindeque berfokus pada gejala
pernapasan dan membuat kriteria berdasarkan rangkaian kecil dari 55 pasien
dengan patah tulang panjang dan penurunan saturasi oksigen (Tabel 2.3) .
menurut Lindeque, diagnosis FES dapat ditegakkan apabila memenuhi satu dari
4 kriteria.
Tabel 2.3. Kriteria diagnosis FES Lindeque (1987)

Schonfeld menggambarkan seperangkat kriteria lain berdasarkan


pendapatnya tentang fitur yang paling penting ( Tabel 2.4). Dia membobotkan
temuan berdasarkan spesifisitas yang diamati dan memilih skor 5 atau lebih
untuk menentukan FES.
Tabel 2.4. Kriteria diagnosis FES Schonfeld (1983)

Meskipun kriteria ini telah mencoba untuk membakukan diagnosis, tidak


ada yang divalidasi secara prospektif.
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Tidak ada tes laboratorium khusus untuk FES (Tabel 2.5); Namun,
temuan umum termasuk anemia, trombositopenia, dan penanda inflamasi
yang meningkat. Peningkatan serum lipase dapat menyebabkan
hipokalsemia, dan albumin mengikat asam lemak bebas yang menyebabkan
penurunan albumin bebas. Adanya gumpalan lemak dalam darah dan urin
juga telah diamati, tetapi ini tidak spesifik untuk FES.
Sitokin inflamasi juga telah diteliti sebagai prediktor FES.
Berdasarkan hubungan FES dengan inflamasi sistemik, Prakash et al.,
meneliti tingkat IL-6 pada pasien trauma. Mereka menemukan bahwa pada
12 jam setelah cedera, IL-6 meningkat secara signifikan pada pasien yang
mengembangkan FES, didiagnosis menggunakan kriteria Gurd.
Meskipun lemak di paru-paru tidak spesifik dan dapat terlihat pada
kegagalan multiorgan dan sepsis, lavage bronchoalveolar juga dapat
membantu dalam diagnosis. Penelitian telah mencoba untuk menentukan
jumlah spesifik dan komposisi lemak ini di FES. Dalam FES, telah
ditunjukkan bahwa lavages bronkial memiliki >0,30% makrofag alveolar
diisi dengan inklusi lipid dibandingkan dengan 13% - 15% pada ARDS
dan 2% pada subjek kontrol normal. Selain itu, ada kolesterol total yang
meningkat secara signifikan (10,2 mg / mg fosfolipid pada FES
dibandingkan dengan 3,7-4,2 pada ARDS dan 2,0 pada subjek kontrol) dan
ester lipid.
b. EKG
EKG dapat menunjukkan bukti adanya peregangan ventrikel kanan
atau pola iskemik jika otot jantung ikut terlibat. Hal ini dapat dideteksi
dengan perubahan EKG nonspesifik misalnya ST depresi, gelombang T
datar, AV blok, dan pola bundle branch blok. Namun hal ini jarang terjadi.
c. Transesofageal echocardiografi
Transesofageal echocardiografi telah digunakan untuk memonitor
jumlah emboli yang terlepas pada pasien yang menjalani prosedur
intrameduler yang invasive.
d. Imaging
Studi pencitraan dapat menjadi tambahan yang berguna untuk
memberikan informasi diagnostik tambahan (Tabel 2.5). Biasanya,
radiografi dada menunjukkan kekeruhan bilateral difus atau tidak jelas
(Gambar 2.2), tetapi ini juga dapat dilihat pada ARDS, edema paru,
aspirasi, atau infeksi. CT resolusi tinggi memiliki temuan yang lebih
spesifik. Ini menunjukkan patchy ground glass opacities dan konsolidasi
dengan penebalan interlobular yang disebut pola “crazy paving” (Gambar
2.3). Luasnya temuan ini berkorelasi dengan tingkat keparahan penyakit
Meskipun dalam beberapa kasus, CT otak dapat menunjukkan edema difus
dengan perdarahan tersebar, biasanya menunjukkan hasil negatif.

Gambar 2.2. Radiograph dada FES Gambar 2.3. CT Scan axial


Selama 10 tahun, laporan kasus penggunaan T1, T2 diffusion-
weighted magnetic resonance imaging (MRI) sebagai alternatif lain dari ct
scan untuk diagnosis emboli lemak cerebral, dan beberapa merasa kalau
sekarang merupakan prosedur pilihan. MRI bisa mendeteksi abnormalitas
yang tidak terdeteksi dengan ct scan. Lesi spesifik termasuk area densitas
rendah pada T1-weighted images dan area densitas tinggi pada T2-
weighted images dengan distribusi melibatkan subtansia alba, ganglia
basal, korpus kalosum, hemisfer cerebellar, area watershed seperti pada
gambar 2.4.
Gambar 2.4. MRI FES
Tabel 2.5. Temuan Pemeriksaan Penunjang pada FES

G. TATALAKSANA
Pengobatan serta pencegahan FES berfokus pada kegagalan sistem
organ. Oksigen harus diberikan lebih awal dengan sungkup, dan insufiensi
paru yang berat bisa dinilai dari analisa gas darah. Walaupun beberapa
mendukung untuk penggunaan continuous positive pressure dengan
facemask dan non-invasive ventilation pada tahap berikutnya untuk
mengembalikan pertukaran gas, namun banyak pasien tidak kooperatif atau
penurunan kesadaran, membuat pendekatan ini kurang diminati.
Setelah pasien mengembangkan FES, satu-satunya pengobatan yang
terbukti adalah perawatan suportif dari sistem organ yang terlibat. Oksigen
tambahan mungkin diperlukan untuk meningkatkan oksigenasi. Jika ARDS
berkembang, pasien mungkin memerlukan ventilasi mekanis saat memulihkan
diri dari cedera paru. Pasien mungkin memerlukan cairan intravena untuk
resusitasi untuk menghindari syok. Dalam kasus yang parah, di mana emboli
paru lemak menyebabkan, dukungan ionotropik kegagalan ventrikel kanan
dengan dobutamin mungkin diperlukan.
Pasien dengan manifestasi neurologis memerlukan pemeriksaan neurologis
yang sering dan dokumentasi Glasgow Coma Scale untuk menilai kerusakan
neurologis. Kerusakan yang cepat dapat terjadi dari peningkatan edema
serebral. Pasien dengan FES dan edema serebral mungkin mendapat manfaat
dari penempatan monitor tekanan intrakranial untuk pengobatan langsung
edema serebra.
Hipoksemia refrakter sering mengharuskan untuk intubasi dan memulai
ventilasi mekanik dan positive end expiratory pressure (PEEP). Teknik
ventilasi mekaniknya yaitu dengan menggabungkan pernapasan spontan yang
disuport dalam rangka meningkatkan kesesuian ventilasi perfusi, recuitmen
alveolar, dan fungsi kardiak. Airway Pressure Release Ventilation (APRV)
telah dipakai pada beberapa tempat dalam penanganan pasien dengan FES.
Studi pada hewan percobaan mendukung untuk menjaga kecukupan volume
intravaskular pada pasien dengan FES, memperkuat observasi klinis bahwa
gagal napas yang berat secara langsung berhubungan dengan derajat dan
lamanya ketidakstabilan hemodinamik.
Resusitasi cairan yang agresif harus dimulai sejak awal, dan monitoring
hemodinamik invasif sering diperlukan untuk optimalisasi fungsi kardiak dalam
mencegah terjadinya volume overload. Fulminan FES dengan kegagalan
kardiovaskular bisa ditangani dengan extracorporeal membrane oxygenation.
Satu studi meta-analisis terapi albumin menunjukkan outcome yang lebih
baik pada pasien penyakit kritis dan beberapa menyarankan menggunakan
albumin untuk FES karena kemampuannya mengikat oleic acid pada hewan
percobaan, dengan demikian menurunkan asam lemak sebagai efek inflamasi
pada terget organ. Goodman menunjukkan beberapa asam lemak bebas (FFA)
yang berikatan dengan molekul albumin, dan memperkirakan tiap gram
albumin bisa mengikat sampai 110 mg asam lemak rantai panjang. Kontrol
nyeri yang cermat juga dapat mengurangi pelepasan ketekolamin endogen dan
menekan peningkatan FFA.
Beberapa manipulasi farmakologi telah dicoba dengan keberhasilan yang
terbatas. Infus ethanol diusulkan satu kali karena kemampuannya mengemulsi
dan aktifitas serum lipase. Praktek ini didukung oleh observasi bahwa FES lebih
jarang pada pasien dengan intoksikasi alkohol dibanding pasien yang tidak
mabuk. Bagaimanapun, hal itu terlihat tidak adanya hubungan antara level
alkohol darah dan level asam lemak bebas dan perkembangan FES.
Penggunaan heparin lebih awal didasarkan pada kemampuannya untuk
menstimulasi sirkulasi lipoprotein lipase, menyebabkan penghancuran emboli
lamak netral. Praktek ini menjadi tidak disukai karena komplikasi perdarahan
yang sering terjadi dan asam lemak bebas yang toksik pada parenkim paru.
Aprotinin, suatu inhibitor protease, menurunkan agregasi trombosit serta
pelepasan serotonin, dan telah didukung oleh beberapa cara yang dapat
meningkatkan outcome. Pada saat ini, bagaimanapun, tidak ada penelitian yang
dirancang dengan baik yang tersedia untuk mendukung penggunaannya.
Percobaan serupa dengan glukosa hipertonik, larutan natrium bikarbonat,
dekstran berat molekul rendah, kolin, dan clofibrate juga telah mengecewakan.
Kontroversi tetap mengenai penggunaan kortikosteroid. Pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1966 oleh Ashbaugh dan Petty, praktek ini
mendapatkan popularitas yang cepat untuk pasien dengan risiko mengalami
emboli lemak. Selanjutnya, berbagai penelitian secara acak telah didapatkan
hasil yang bertentangan dengan effikasi kortikosteroid pada FES. Mekanisme
aksi tampaknya penghambatan reaksi inflamasi yang terkait dengan sel darah
putih dan agregasi platelet, dan beberapa studi telah menunjukkan perbaikan
oksigenasi dan menurunkan kadar FFA. Saat ini, masih belum pasti apakah
benar atau tidak kortikosteroid memiliki peran profilaksis atau terapi dalam
pengobatan FES. Meskipun masih kontroversial, beberapa dokter memberikan
kortikosteroid pada pasien dengan patah tulang panjang sebagai profilaksis
FES. Methylprednisolone adalah steroid yang paling umum digunakan dan
dosisnya berkisar antara 6 sampai 90 mg / kg.
Tidak ada aspek penatalaksanaan yang lebih kontroversial dibanding waktu
dan teknik prosedur ortopedik. Fiksasi fraktur lebih awal telah didukung oleh
beberapa penulis sebagai cara untuk mengurangi komplikasi paru yang
berhubungan dengan trauma tulang panjang. Bone dan kawan kawan
membandingkan stabilisasi awal (kurang dari 24 jam) dengan yang lambat
(lebih dari 48 jam) pada 178 pasien dengan fraktur femur dan didapatkan
insiden komplikasi respirasi, termasuk FES lebih besar pada pasien distabilisasi
lambat. Pada tulang panjang, patah tulang diobati secara konservatif dengan
imobilisasi berkepanjangan, dengan kejadian FES pada pasien ini dilaporkan
sebesar 22%. Sitokin tetap meningkat pada pasien yang menjalani pengobatan
konservatif dan kemudian kembali normal setelah fiksasi operasi. Penggunaan
perangkat fiksasi internal untuk pengobatan patah tulang panjang disertai
dengan penurunan insiden FES. Johnson et al. lebih lanjut menunjukkan bahwa
pasien yang menjalani fiksasi segera memiliki kejadian ARDS 7%
dibandingkan dengan kejadian ARDS sebesar 39% pada pasien yang fiksasi
tertunda lebih dari 24 jam.
Beberapa peneliti menentang konsep ini, mereka menyatakan bahwa
rodding intramedullar lebih awal dapat memperburuk kondisi gagal napas.
Bulger dan kawan-kawan mendapatkan tidak adanya perbedaan insiden FES
pada pasien yang dilakukan fiksasi dalam 24 jam dibanding dengan yang
dilakukan operasi labih lambat. Meskipun terdapat laporan yang bertentangan,
kebanyakan ahli bedah ortopedik setuju bahwa FES dihindari dengan
minimalisasi luasnya hipertensi intramedullar ketika menyiapkan kanal femur
selama cementing alat prostetik dan selama nailing intramedullar.
Teknik bedah untuk mengurangi embolisasi termasuk pengeboran lubang di
korteks untuk mengurangi tekanan intramedulla, lavaging sumsum tulang
sebelum fiksasi untuk mengurangi sumsum untuk embolisasi, ventilasi tulang
paha, penggunaan vakum tulang, dan penggunaan torniket untuk mencegah
embolisasi telah dicoba. Tak satu pun dari ini terbukti mengurangi FES.

H. PREVENTIF
Pemantauan oksimetri nadi secara terus menerus pada pasien berisiko tinggi
dapat membantu mendeteksi desaturasi secara dini, memungkinkan pemberian
oksigen (dan mungkin steroid) secara dini; dengan demikian akan mungkin
untuk mengurangi kemungkinan gangguan hipoksia dan komplikasi sistemik
FES. Imobilisasi dini pada fraktur tulang panjang dan panggul menurunkan
terjadinya FES. Bahaya juga berkurang dengan intervensi operasi, sebagai
lawan manajemen nonoperatif. Aplikasi fiksator eksternal atau reduksi terbuka
dan fiksasi internal dengan pelat dan sekrup menghasilkan cedera paru yang
lebih rendah daripada memaku saluran meduler. Membatasi peningkatan
tekanan intraoseus selama prosedur ortopedi juga mencegah gangguan FE
dengan mengurangi intravasasi lemak intramedulla dan bahan debris yang
berbeda.
Berbagai modifikasi telah dijelaskan selama operasi ortopedi sebagai
tindakan pencegahan untuk mengurangi kejadian dan keparahan FES seperti
pembersihan rongga meduler dengan larutan garam, diikuti dengan aspirasi
kandungan meduler, penggunaan batang intrameduler bergalur sebagai
pengganti batang silinder, pengeboran berlebih pada pintu masuk, ventilasi
distal dengan melakukan lubang 4–6 cm di diafisis distal ke prostesis, pengisian
retrograde rongga meduler dengan semen, menggunakan semen viskositas
rendah, menggunakan vakum proksimal, menggunakan prostesis tanpa semen,
penggunaan rim sempit, insersi paku yang lambat, unreamed intramedullary
femoral shaft stabilization pada pasien dengan cedera dada terkait, dan
penggunaan alat reamer irrigator aspirator.
Karena insiden rendah, faktor risiko yang tidak jelas, mortalitas rendah, dan
hasil yang baik dengan manajemen konservatif, profilaksis kortikosteroid masih
kontroversial, tetapi sejumlah penelitian melaporkan penurunan insiden dan
keparahan FES ketika kortikosteroid diberikan profilaksis dan tidak ada
komplikasi terkait penggunaan kortikosteroid diamati. Alasan hari ini akan
memberikan terapi steroid profilaksis hanya untuk pasien yang berisiko tinggi
untuk FES, dan untuk ini, metilprednisolon 1,5 mg / kg IV dapat diberikan
setiap 8 jam selama enam dosis.
Penempatan profilaksis filter vena kava inferior telah dianjurkan sebagai
metode untuk mengurangi volume lemak yang mencapai jantung dan paru-paru
dan dengan demikian menurunkan kemungkinan FES tetapi ini belum cukup
dipelajari dan ada kekurangan literatur. Selain itu, risiko pembedahan untuk
menempatkan filter vena cava inferior harus diperhatikan.
Terapi oksigen hiperbarik (HBO) didefinisikan oleh Undersea and
Hyperbaric Medical Society sebagai pengobatan di mana pasien menghirup
oksigen 100% secara intermiten di bawah tekanan yang lebih besar daripada
tekanan di permukaan laut. Kecukupan pengobatan HBO dini pada FE serebral
telah ditegaskan. Ini meningkatkan tekanan oksigen darah dan kandungan
oksigen dan sebagai tambahan menyebar penyebaran oksigen di kapiler otak
untuk meningkatkan mikrosirkulasi. Ini juga merangsang pertumbuhan kapiler
yang membantu dalam membangun sirkulasi kolateral.
I. PROGNOSIS
Bentuk fulminan muncul sebagai cor pulmonale akut, gagal napas, dan /
atau fenomena emboli, yang menyebabkan kematian dalam beberapa jam
setelah cedera. Pasien dengan peningkatan usia, beberapa masalah medis yang
mendasari, dan / atau penurunan cadangan fisiologis memiliki hasil yang lebih
buruk.
Durasi FES sulit untuk diprediksi karena FES sering subklinis atau diikuti
oleh penyakit atau cedera lain. Peningkatan gradien oksigen alveolar-ke-arteri
dan defisit neurologi, termasuk kesadaran yang berubah, dapat berlangsung
beberapa hari atau minggu. Seperti pada ARDS, gejala sisa paru biasanya
sembuh hampir sepenuhnya dalam waktu satu tahun. Defisit kapasitas difusi
subklinis sisa mungkin tetap ada.
Meskipun pengetahuan kita tentang patofisiologi meningkat dan kemajuan
dalam mendukung sistem organ, mortalitas terkait dengan FES masih antara 5
dan 15%. Sementara kebanyakan pasien meninggal karena kegagalan
pernapasan dan hubungannya dengan cidera, morbiditas jangka panjang
berkorelasi dengan defek neurologis sebagai akibat dari FES fulminan akut
umumnya terlihat pada pasien trauma. Disfungsi kognitif persisten telah
didokumentasikan dan kecurigaan gangguan intelektual selama pemulihan
harus segera dilakukan test neuropsikologi. Rehabilitasi kognitif memperbaiki
kehilangan memori, sulit konsentrasi, pengambilan keputusan, dan kualitas
hidup secara umum
BAB III
KESIMPULAN

Emboli lemak merupakan kondisi patologik yang biasa terjadi pada


pasien multipel trauma atau bedah ortopedik, tetapi hanya sebagian kecil yang
berkembang menjadi sindrom klinis FES. Walaupun demikian kondisi yang
berat seperti FES fulminan akut yang bermanifestasi pada beberapa sistem
organ seperti kegagalan pernapasan, disfungsi cerebral, dan terkadang
gangguan fungsi ginjal dapat terjadi dengan mortalitas sekitar 5-15%.
Sampai saat ini diagnosis FES masih mengandalkan kriteria klinis dari
Gurd yang sudah ada sejak 40 tahun lalu, dan beberapa peneliti lainnya
mencoba mengembangkan scoring untuk diagnosis klinis FES. Perkembangan
teknologi diagnostik imaging dan laboratorium dapat membantu diagnostik
FES namun belum ada yang cukup spesifik untuk FES.
Tatalaksana FES berfokus pada suportif kegagalan fungsi organ,
seperti oksigenasi dan ventilasi yang adekwat sesuai beratnya gangguan
respirasi dan optimalisasi hemodinamik dangan kecukupan cairan
intravaskular. Beberapa obat juga telah diuji untuk terapi FES namun belum
adayang menunjukkan hasil yang cukup memuaskan. Stabilisasi dini dari
fraktur dan dan minimal manipulasi intramedullar tulang dipercaya dapat
menurunkan risiko terjadinya sindrom ini.
DAFTAR PUSTAKA

Akhtar S. Fat Embolism.Anesthesiol Clin. 2009; 27:533–50. Tabel of content.

Akoh CC, Schick C, Otero J, Karam M. Fat embolism syndrome after femur f
racture fixation: A case report. Iowa Orthop J 2014;34:55-62.

Bederman SS, Bhandari M, McKee MD, Schemitsch EH: Do corticosteroids


reduce the risk of fat embolism syndrome in patients with long-bone
fractures? A meta- analysis. Can J Surg 2009;52:386-393.

Bulger EM, Smith DG, Maier RV, Jurkovich GJ. Fat embolism syndrome. A 10-
year review.Arch Surg. 1997; 132:435–439.

Bone LB, Johnson KD, Weigelt J, Scheinberg R: Early versus delayed


stabilization of femoral fractures: A prospective randomized study. J Bone
Joint Surg Am 1989;71:336-340.

David L. Rothberg, and Christopher A. Makarewic. Fat Embolism and Fat


Embolism Syndrome. J Am Acad Orthop Surg 2019;27: e346-e355

Eriksson EA, Pellegrini DC, Vanderkolk WE, Minshall CT, Fakhry SM, Cohle
SD. Incidence of pulmonary fat embolism at autopsy: an undiagnosed
epidemic.J Trauma. 2011; 71:312–315.

Fabian TC, Hoots AV, Stanford DS, Patterson CR, Mangiante EC. Fat embolism
syndrome: prospective evaluation in 92 fracture patients. Crit Care Med.
1990 Jan; 18(1):42-6.

Gauss H. The pathology of fat embolism. Arch Surg 1924;9:592-605.

Georgopoulos D, Bouros D. Fat embolism syndrome: clinical examination is still


the preferable diagnostic method.Chest. 2003; 123:982–983.
Gurd AR, Wilson RI. The fat embolism syndrome. J Bone Joint Surg Br
1974;56B: 408-16.

Habashi NM, Andrews PL, Scalea TM. Therapeutic aspects of fat embolism
syndrome.Injury. 2006; 37Suppl 4:S68–S73.

Jawed M, Naseem M. An update on fat embolism syndrome. Pak J Med Sci.


2005;21:2–6.

Johnson KD, Cadambi A, Seibert GB. Incidence of adult respiratory distress in


patients with multiple musculoskeletal injuries: Effect of early operative
stabilization of fractures. J Trauma. 1985;25:375–84.

Johnson MJ, Lucas GL. Fat embolism syndrome. Orthopedics 1996;19:41-8.

Kosova, Ethan. Bergmark, Brian ., and Piazza, Gregory. (2015) Fat Embolism
Syndrome. American Heart Association, Inc. Volume 131, Issue 3, 20
January 2015, Pages 317-320

Kwiatt ME, Seamon MJ. Fat embolism syndrome.Int J Crit Illn Inj Sci 2013;3:64-
68

Lindeque BG, Schoeman HS, Dommissen GF, Boeyens MC, Vlok AL. Fat
embolism syndrome: A double blind therapeutic study. J Bone Joint Surg
Br. 1987;69:128–31.

Mariano ER. Anesthesia for Orthopedic Surgery. In: Butterworth JF, Mackey DC,
Wasnick JD, editors, Morgan & Mikhail’s Clinical Anesthesiology, 5thed.
New York:McGraw-Hill Education, 2013. P. 789-803

Mellor A, Soni N. Fat embolism.Anaesthesia. 2001; 56:145–154.

Mudd KL, Hunt A, Matherly RC, et al: Analysis of pulmonary fat embolism in
blunt force fatalities. J Trauma 2000;48: 711-715.
O’Donnell JM. Fat Embolism Syndrome. In: O’Donnell JM, Nácul FE, editors,
Surgical Intensive Care Medicine, 2nd ed. New York: Springer Science +
Business Media, 2011. P. 277-284

Prakash S, Sen RK, Tripathy SK, Sen IM, Sharma RR, Sharma S: Role of
interleukin- 6 as an early marker of fat embolism syndrome: A clinical
study. Clin Orthop Relat Res 2013;471:2340-2346.

Salter R B. Textbook of Disorders and Injuries of the Musculoskeletal System;


edisi ke-3. Maryland: Lippincott Williams & Wilkins, 1999: 464, 468-476.

Schonfeld SA, Ploysongsang Y, DiLisio R, Crissman JD, Miller E,


Hammerschmidt DE, et al. Fat embolism prophylaxis with corticosteroids.
A prospective study in high-risk patients. Ann Intern Med 1983;99:438-
43.

Shaikh N. (2009). Emergency management of fat embolism syndrome. Journal of


emergencies, trauma, and shock, 2(1), 29–33.

Singh S, Goyal R, Baghel PK, Sharma V. Fat embolism syndrome: A


comprehensive review and update. J Orthop Allied Sci 2018;6:56-63

Skinner H B. Current Diagnosis & Treatment in Orthopedics; edisi ke-2.


Singapore: The McGraw-Hill Companies, 2000: 60-61, 352, 504-506.

Spivak J M et al. Orthopaedics A Study Guide. Singapore: The McGraw-Hill


Companies, 1999: 308, 466-467, 918-921, 923-935.

Stein PD, Yaekoub AY, Matta F, et al. (2008) Fat embolism syndrome. The
American Journal of the Medical Sciences 336: 472–477.
Thanigaimani K, Gurumoorthy M and Yogesh TC. Fat embolism syndrome: Case
study of a Clinical conundrum. International Journal of Orthopaedics
Sciences. 2019; 5(4): 39-42

Tzioupis, C. C., & Giannoudis, P. V. (2011). Fat embolism syndrome: What have
we learned over the years? Trauma, 13(4), 259–281.

White T, Petrisor BA, Bhandari M. Prevention of fat embolism syndome. Injury.


2006;37S:S59–67.

Anda mungkin juga menyukai