Anda di halaman 1dari 47

LAPORAN TUTORIAL

BLOK TELINGA, HIDUNG, TENGGOROK (THT) SKENARIO II

KENAPA PILEK TERUS MENERUS?

KELOMPOK III

AFIFAH SYIFA KHAIRUNNISA G 0013007


AMOLA BESTA TALENTA G 0013025
ASRI KURNIA RAMADHANI G 0013045
AURA RAZANY G 0013049
EDBERT WIELIM G 0013081
ELDAA PUTIK BUNGA MELATI G 0013083
GERRY G 0013099
MAIA THALIA GIANI G 0013147
NIBRAS NOOR FITRI G 0013175
NIKKO RIZKY AMANDA G 0013177
SITARESMI RARAS NIRMALA G 0013219
STEFANUS ERDANA PUTRA G 0013221

TUTOR : Endang Lis S, M.Kes, SpAK, dr.

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
TAHUN 2015
BAB I
PENDAHULUAN

SKENARIO II

KENAPA PILEK TERUS MENERUS?

Seorang laki – laki 35 tahun, datang dengan keluhan hidung meler dengan
lendir kuning kehijauan kambuh-kambuhan, memberat sejak 3 bulan terakhir.
Keluhan disertai keluar lendir dari tenggorokan, bila menunduk/bersujud keluar
lendir kuning kental dari hidung. Pasien juga merasakan hidung terasa buntu,
penciuman berkurang, dan sedikit nyeri pada pipi kanan dan kiri. Pasien memiliki
riwayat bersin-bersin di pagi hari atau bila terpapar debu. Dalam 1 minggu terakhir
keluhan bersin-bersin kambuh lebih dari 4x dalam seminggu, dan mengganggu
aktivitas. Pasien tidak memiliki riwayat sakit di gigi rahang atas.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis, tekanan darah
120/80 mmHg, denyut madi 80x/menit, respiration rate 18x/menit, suhu 36o C. Pada
pemeriksaan palpasi sinus paranasal didapatkan nyeri pada penekanan. Pada
pemeriksaan rhinoskopi anterior didapatkan mukosa Cavum nasi dextra et sinistra
livid edema, konka hipertrofi +/+, tampak sekret kuning kental dari Meatus medius
dextra et sinistra, deviasi septum nasi (+), ke kiri (spina septi). Pemeriksaan
rhinoskopi posterior tampak choana lapang, discharge mukopurulen +/+. Pada
pemeriksaan tenggorok didapatkan tonsil T1-T1, tampak post nasal drip di dinding
faring posterior.
Kemudian dokter merencanakan pemeriksaan penunjang radiologi dan tes
cukit kulit (skin prick test).
BAB II
DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA

A. Langkah I : Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa istilah


dalam skenario
Dalam skenario kedua ini kami mengklarifikasi beberapa istilah sebagai berikut :
1. Skin prick test : Pemeriksaan fisik untuk mendeteksi adanya alergi (deteksi
antibody igE). Prosesnya cepat, harga terjangkau.

2. Post Nasal Drip : Drainase sekret mukopurulen yng berlebihan dari hidung
posterior ke faring. Karakteristiknya seperti lendir yang mengalir ke bawah
hidung. Lendir yang turun lewat faring bisa terakumulasi di tenggorokan. Jika
tertelan dapat memicu batuk.

B. Langkah II : Menentukan/ mendefinisikan permasalahan


Permasalahan pada skenario “Kenapa pilek terus menerus?” antara lain:
1. Mengapa keluhan disertai keluarnya lendir? Dan bagaiamana patofisiologi
dari semua gejala yang dialami oleh pasien?
2. Bagaimana anatomi, fisiologi dan histologi dari organ penghidung?
3. Kenapa pada saat anamnesis ditanyakan riwayat sakit gigi atas? Apakah ada
hubungannya dengan gejala yang diderita pasien?
4. Mengapa pasien bersin setiap pagi atau pada saat terpapar debu? Bagaimana
penilaian onset gejala dan hubungan dengan gejala? Mengapa gejala yang
dialami pasien dapat kambuh?
5. Bagaimana interpretasi pemeriksaan sinus paranasalis?
6. Bagaimana epidemiologi dan faktor resiko dari penyakit yang diderita pasien?
7. Bagaimana interpretasi pemeriksaan rhinoskopi anterior dan posterior?
8. Apakah jenis pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan dan bagaimana
mekanismenya kerjanya?
9. Apakah pemeriksaan yang digunakan untuk alergi?
10. Bagaimana interpretasi pemeriksaan tenggorok? Apa ada hubungan dengan
gejala pasien? Bagaimana mekanisme terjadinya post nasal drip?
11. Apakah diagnosis banding, diagnosis dan tatalaksana dari kasus pasien?
(preventif dan kuratif, medis dan non medis)
12. Bagaimana prognosis pada kasus pasien tersebut? Apakah komplikasi-
komplikasi yang mungkin dapat terjadi?

C. Langkah III : Menganalisis permasalahan dan membuat pertanyaan


sementara mengenai permasalahan

1. Mengapa pada pasien keluar lendir? Bagaimana mekanisme, serta


patofisiologi keluhan lainnya?

Rhinitis alergi yaitu kelainan pada hidung setelah mukosa hidung terpapar
oleh alergen yang diperantarai oleh IgE dengan gejala bersin-bersin, rinore,
rasa gatal pada hidung dan hidung tersumbat.

a) Etiologi Rhinosinusitis
1. Resirkulasi mukus dan osteitis
Sekitar 10-30% orang dewasa ditemukan ostium asesorius sinus maksila yang
menyebabkan terjadinya resirkulasi mukus. Sejumlah mukus akan memasuki
lagi sinus maksilaris melalui ostium asesoris.
Analisis histologik dari tulang etmoidalis pasien sinusitis kronik menunjukkan
adanya osteitis. Hal ini terjadi sebagai akibat langsung infeksi atau operasi
sinus disertai kurangnya preservasi mukosa. Temuan histologik meliputi
peningkatan akselerasi turnover tulang disertai pembentukan tulang baru,
fibrosis, dan keberadaan sel inflamasi.
2. Faktor mikroba
Organisme yang dominan pada rinosinusitis akut adalah Streptococcus
pneumoniae, Hemophilus influenzae dan (pada anak) Moraxella catarrhalis.
Sedangkan pada rinosinusitis kronik yang tersering ditambah dengan
Staphylococcus aureus, Staphylococcus koagulase negatif, dan kuman
anaerob. Infeksi kuman anaerob terjadi setelah serangan awal infeksi kuman
purulen.
3. Kelainan anatomi
Kelainan anatomi di beberapa atau seluruh struktur kompleks ostiomeatal
dapat menyebabkan obstruksi mekanis drainase sinus paranasal yang
berlangsung lama. Variasi anatomi yang sering dijumpai adalah septum
deviasi, sel agger nasi, prosesus unsinatus (menekuk kearah lateral, double
middle turbinate, kontak dengan lamina papirasea atau konka), konka bulosa,
bula etmoidalis yang besar, sel Haller yang menyempitkan infundibulum
etmoidalis.
4. Kelambatan pemulihan fungsi mukosilier
Mukostasis, hipoksia, produk mikroba, dan inflamasi kronik dapat
menyebabkan penurunan fungsi mukosilier sinus paranasal. Faktor lain yaitu
perubahan sifat viskoelastik mukus, penurunan jumlah silia, dan tanda
ultrastruktur lain dari kerusakan epitel.

b) Gangguan Penghidung
Reseptor organ penghidung terdapat di regio olfaktorius di hidung bagian
sepertiga atas. Serabut saraf olfaktorius berjalan melalui lubang-lubang pada
lamina kribosa os ethmoidalis menuju ke bulbus olfaktorius.

Partikel bau dapat mencapai reseptor penghidung bila menarik napas dengan
kuat atau partikel tersebut larut dalam lendir permukaan mukosa olfaktorius.
Gangguan penghidung akan terjadi bila ada yang menghalangi atau ada
kelainan pada nervus olfaktorius, mulai dari reseptor sampai pusat olfaktorius.
Macam-macam gangguan penghidung, yaitu:
- Hiposmia (daya penghidung berkurang), dapat disebabkan oleh obstruksi
hidung seperti pada rhinitis alergi, hipertrofi konka.
- Anosmia (daya penghidung menghilang), dapat disebabkan oleh trauma di
daerah frontal atau oksipital.
- Parosmia (sensasi penghidung berubah), terutama disebabkan oleh trauma.
- Kakosmia (halusinasi bau), dapat timbul pada kelainan lobus temporalis.

2. Anatomi, fisiologi, dan histologi dari hidung

ANATOMI HIDUNG
Hidung terdiri atas hidung iuar dan cavum nasi. Cavum nasi dibagi oleh
septum nasi menjadi dua bagian, kanan dan kiri.

A. Hidung Luar
Hidung luar mempunyai dua lubang disebut nares, yang dipisahkan oleh
septum nasi. Pinggir lateral, ala nasi, berbentuk bulat dan dapat digerakkan.
Rangka hidung luar dibentuk oleh os nasale, processus frontalis maxillaris,
dan pars nasalis ossis frontalis. Di bawah, rangka hidung dibentuk oleh
lempeng-lempeng tulang rawan hialin.
Suplai Darah Hidung Luar
Cabang-cabang arteria ophthalmica dan arteria maxillaris.
Suplai Saraf Sensoris Hidung Luar
N.infratrochlearis dan rami nasales externae nervus ophthalmicus (Nervus
cranialis V) dan ramus infraorbitalis nervus maxillaris (Nervus cranialis V).

B. Cavum Nasi
Cavum nasi terbentang dari nares di depan sampai ke apertura nasalis
posterior atau choanae di belakang, di mana hidung bermuara ke dalam
nasopharynx. Vestibulum nasi adalah area di dalam cavum nasi yang terletak
tepat di belakang nares. Cavum nasi dibagi menjadi dua bagian kiri dan kanan
oleh septum nasi. Septum nasi dibentuk oleh cartilago septi nasi, lamina
verticalis osis ethmoidalis, dan vomer.
Dinding Cavum Nasi
Setiap belahan cavum nasi mempunyai dasar, atap, dinding lateral dan dinding
medial atau dinding septum.
Dasar dibentuk oleh processus palatinus os maxilla dan lamina horizontalis
ossis palatine, atap sempit dan dibentuk mulai dari bagian bawah batang
hidung oleh os nasale dan os frontale, di tengah oleh lamina cribrosa ossis
ethmoidalis, terletak di bawah fossa cranii anterior, dan di sebelah posterior
oleh bagian miring ke bawah corpus ossis sphenoidalis.
Dinding lateral mempunyai tiga tonjolan tulang disebut concha nasalis
superior, media, dan inferior. Area di bawah setiap concha disebut meatus.
 Recessus Sphenoethmoidalis
Terletak di atas concha nasalis superior, muara sinus sphenoidalis.
 Meatus Nasi Superior
Terletak di bawah concha nasalis superior, muara sinus ethmoidales
posterior.
 Meatus Nasi Media
Terletak di bawah concha nasalis media. Meatus ini mempunyai tonjolan
bulat disebut bulla ethmoidalis, yang dibentuk oleh sinus ethmoidales
medii yang bermuara pada pinggir atasnya. Sebuah celah melengkung,
disebut hiatus semilunaris, terletak tepat di bawah bulla. Ujung anterior
hiatus yang menuju ke dalam sebuah saluran berbentuk corong disebut
infundibulum,yang akan berhubungan dengan sinus frontalis. Sinus
maxillaris bermuara ke dalam meatus nasi media melalui hiatus
semiunaris.
 Meatus Nasi Inferior
Terletak di bawah concha nasalis inferior, muara ductus nasolacrimalis.
Dinding medial dibentuk oleh septum nasi. Bagian atas dibentuk oleh larnina
verticalis ossis ethmoidalis dan os vomer. Bagian anterior dibentuk oleh
cartilago septalis. Septurn ini jarang terletak pada bidang median, sehingga
belahan cavum nasi yang satu lebih besar dari belahan sisi lainnya.

Gambar 1. Dinding lateral cavum nasi kanan; concha nasalis superior,


media, dan inferior dibuang sebagian untuk memperlihatkan muara dari
sinus paranasalis dan ductus lacrimalis ke dalam meatus.

Membrana Mucosa Cavum Nasi


Vestibulum dilapisi oleh kulit vang telah mengalami modifikasi dan
mempunyai rambut yang kasar. Area di atas concha nasalis superior dilapisi
membrana mucosa olfactorius dan berisi ujung-ujung saraf sensitif reseptor
penghidu. Bagian bawah cavum nasi dilapisi oleh membrana mucosa
respiratorius.
Suplai Saraf Cavum Nasi
Saraf untuk sensasi umum merupakan cabang-cabang nervus ophthalmicus
(N.Vl) dan nervus maxillaris (N.V2) divisi nervus trigeminus.
Pendarahan Cavum Nasi
Berasal dari cabang-cabang arteria maxillaris, yang merupakan salah satu
cabang terminal arteria carotis externa. Cabang yang terpenting adalah arteria
sphenopalatina.
Aliran Limfe Cavum Nasi
Pembuluh limfe mengalirkan limfe dari vestibulum ke nodi submandibulares.
Bagian lain cavum nasi dialirkan limfenya menuju ke nodi cervicales profundi
superiores.

ANATOMI SINUS PARANASALES


Rongga-rongga yang terdapat di dalam os maxilla, os frontale, os sphenoidale,
dan os ethmoidale.
A. Sinus Maxillaris
Sinus maxillaris berbentuk piramid dan terletak di dalam corpus maxillaris di
belakang pipi. Atap dibentuk oleh dasar orbita, sedangkan dasar berhubungan
dengan akar gigi premolar dan molar. Sinus maxillaris bermuara ke dalam
meatus nasi medius melalui hiatus semilunaris.
B. Sinus Frontalis
Sinus frontalis ada dua buah, terdapat di dalam os frontale. Mereka dipisahkan
satu dengan yang lain oleh septum tulang. Masing-masing sinus frontalis
bermuara ke dalam meatus nasi medius melalui infundibulum.
C. Sinus Sphenoidalis
Dua buah, terletak di dalam corpus ossis sphenoidalis. Setiap sinus bermuara
ke dalam tecessus sphenoethmoidalis di atas concha nasalis superior.
D. Sinus Ethmoidalis
Terletak di anterior, medius, dan posterior, serta terdapat di dalam os
ethmoidale, di antara hidung dan orbita. Sinus ini dipisahkan dari orbita oleh
selapis tipis tulang, sehingga infeksi dengan mudah dapat menjaiar dari sinus
ke dalam orbita. Sinus ethmoidalis kelompok anterior bermuara ke dalam
infundibuium; kelompok media bermuara ke dalam meatus nasi medius, pada
atau di atas bulla ethmoidalis; dan kelompok posterior bermuara ke dalam
meatus nasi superior.

Gambar 2. Proyeksi sinus paranasalaes pada wajah

(SUMBER: Snell, R. 2012. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta: EGC)

HISTOLOGI DAN FISIOLOGI HIDUNG


Di dalam vestibulum, epitelnya adalah epitel kolumner kompleks bersilia
yang diknal dengan epitel respiratorik yang sedikitnya memiliki 5 jenis sel
yang kesemuanya menyentuh membrana basalis yang tebal antara lain : sel
silindris bersilia, sel goblet mukosa, brush cell, serta sel granul.
Conchae nasalis media dan inferior yang dilapisi epitel respiratorik,
sedangkan conchae nasalis superior yang ditutupi oleh epitel penghidung
khusus.
Kemoreseptor olfaktorius terletak di epitel olfaktorius pada mukosa conchae
superior. Epitel ini merupakan epitel kolumner kompleks yang terdiri atas sel
basal, sel penyokong atau sel sustentakuler, serta neuron olfaktorius. Lamina
propria di epitel olfaktorius memiliki kelenjar serosa besar yaitu kelenjar
Bowman yang menghasilkan suatu aliran cairan di sekitar silia penghidung
dan memudahkan akses zat pembau.
Sinus Paranasalis dilapisi oleh epitel respiratorik yang lebih tipis dan sedikit
sel goblet. Lamina proprianya mengandung sedikit kelenjar kecil dan menyatu
dengan periosteum di bawahnya. Mukus yang dihasilkan dalam sinus akan
terdorong ke dalam hidung akibat aktivitas sel-sel bersilia.
Nasofaring merupakan bagian pertama dari faring yang dilapisi oleh epitel
respiratorik dan memiliki tonsila pharyngealis.
Secara histologis, mukosa hidung terdiri dari palut lendir (mucous blanket),
epitel kolumnar berlapis semu bersilia, membrana basalis, lamina propria
yang terdiri dari lapisan subepitelial, lapisan media dan lapisan kelenjar
profunda.

FUNGSI HIDUNG
- Fungsi Respirasi
- Fungsi Penghidung
Bekerja sebagai indra penghidung dan pengecap dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian
atas septum, Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi
dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat.
- Fungsi Fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau
hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). Hidung membantu
pembentukan konsonan nasal (m,n,ng), rongga mulut tertutup dan hidung
terbuka dan palatum molle turun untuk aliran udara.
- Fungsi Statik
Hidung memiliki fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban
kepala, proteksi terhadap trauma, dan perlindungan terhadap panas.
1. Fungsi Sinus Paranasales
a. Pengatur Kondisi Suara (Air Conditioning)
Sebagai ruangan tambahan untuk memanaskan dan mengatur
kelembaban udara respirasi.
b. Sebagai Penahan Suhu
Sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan fosa serebri
dari suhu rongga hidung yang berubah- ubah
c. Pembantu Keseimbangan Kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat
tulang muka. Namun teori ini dianggap tidak bermakna.
d. Pembantu Resonansi Suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara.
e. Peredam Perubahan Tekanan Udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan
mendadak.
f. Produksi Mukus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil
dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel.

2. Sistem Pertahanan Transport Mukosilier


Mekanisme mukosa hidung untuk membersihkan dirinya. Efektivitas
system transport mukosilier dipengaruhi oleh kualitas silia dan palut
lendir. Palut lendir dihasilkan oleh sel-sel goblet pada epitel dan kelenjar
seruminosa submukosa. Bagian permukaan palut lendir terdiri dari cairan
mucus elastic yang mengandung protein plasma seperti albumin, IgG,
IgM, dan faktor komplemen. Sedangkan bagian bawahnya terdiri dari
cairan serosa yang mengandung laktoferin, lisozim, inhibitor lekoprotease
sekretorik, dan IgA sekretorik (Damayanti, 2007).
Glikoprotein yang dihasilkan oleh sel mucus penting untuk pertahanan
local yang bersifat antimicrobial. IgA berfungsi untuk mengeluarkan
mikroorganisme dari jaringan dengan mengikat antigen tersebut pada
lumen saluran napas, sedangkan IgG beraksi di dalam mukosa dengan
memicu reaksi inflamasi jika terpajan dengan antigen bakteri (Retno,
2007).
Terdapat dua rute besar transport mukosilier. Rute pertama merupakan
gabungan sekresi sinus frontal, maksila, dan ethmoid anterior. Sekret ini
biasanya bergabung di dekat infundibulum etmoid selanjutnya berjalan
menuju tepi bebas prosesus unsinatus, dan sepanjang dinding medial
konka inferior menuju nasofaring melewati bagian anteroinferior orifisium
tuba Eustachius. Transport aktif berlanjut ke batas epitel bersilia dan epitel
skuamosa pada nasofaring, selanjutnya jatuh ke bawah dibantu dengan
gaya gravitasi dan proses menelan (Damayanti, 2007).
Rute kedua merupakan gabungan sekresi sinus ethmoid posterior dan
sphenoid yang bertemu di resessus sphenoethmoid dan menuju nasofaring
pada bagian posterosuperior orifisium tuba Eustachius (Retno, 2007).
Secret yang berasal dari meatus superior dan septum akan bergabung
dengan secret rute pertama, yaitu di inferior dari tuba Eustachius. Secret
pada septum akan berjalan vertical ke arah bawah terlebih dahulu
kemudian ke belakang dan menyatu di bagian inferior tuba Eustachius.
3. Mengapa ditanyakan riwayat sakit gigi bagian atas?

Pada skenario ini terdapat nyeri pada pipi kanan dan kiri pasien serta keluhan
keluar lendir kental saat bersujud atau menunduk. Pada daerah pipi terdapat
salah satu sinus yaitu sinus maxillaris, dimana bila terdapat inflamasi pada
daerah tersebut maka manifestasi klinisnya dapat berupa nyeri pada pipi.
Sinus maxillaris ini memiliki batas-batas. Salah satunya batas inferior atau
dasar. Dasar dari sinus maxillaris adalah processus alveolaris, dimana
processus alveoaris ini merupakan tempat dari akar (radix) gigi. Radix gigi
dengan sinus maxilla hanya dibatasi oleh tulang yang tipis, bahkan dapat
dikatakan tidak ada yang membatasi antar keduanya. Sehingga apabila teradi
infeksi pada radix gigi atau daerah periodontal, maka infeksi mudah menyebar
secara langsung ke sinus maxilla melalui pembuluh darah dan limfe. Hal ini
merupakan penyebab tersering seseorang menderita sinusitis kronis. Sinusitis
yang merupakan hasil penyebaran infeksi gigi disebut dengan sinus dentogen.
D. Langkah IV : Menginventarisasi permasalahan secara sistematis dan
Pernyataan sementara mengenai permasalahan pada langkah III

E. Langkah V : Merumuskan tujuan pembelajaran


Tujuan pembelajaran (learning objectives) pada skenario kedua ini adalah
1. Penyebab keluar cairan dari telinga, nyeri, demam, dan hanya telinga kanan
yang sakit, serta etiologi kasus skenario
2. Mengapa pasien bersin setiap pagi atau pada saat terpapar debu? Bagaimana
penilaian onset gejala dan hubungan dengan gejala? Mengapa gejala yang
dialami pasien dapat kambuh?
3. Bagaimana interpretasi pemeriksaan sinus paranasalis?
4. Bagaimana epidemiologi dan faktor resiko dari penyakit yang diderita pasien?
5. Bagaimana interpretasi pemeriksaan rhinoskopi anterior dan posterior?
6. Apakah jenis pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan dan bagaimana
mekanismenya kerjanya?
7. Apakah pemeriksaan yang digunakan untuk alergi?
8. Bagaimana interpretasi pemeriksaan tenggorok? Apa ada hubungan dengan
gejala pasien? Bagaimana mekanisme terjadinya post nasal drip?
9. Apakah diagnosis banding, diagnosis dan tatalaksana dari kasus pasien?
(preventif dan kuratif, medis dan non medis)
10. Bagaimana prognosis pada kasus pasien tersebut? Apakah komplikasi-
komplikasi yang mungkin dapat terjadi?

F. Langkah VI : Mengumpulkan informasi baru


Masing-masing anggota kelompok kami telah mencari sumber – sumber ilmiah
dari beberapa buku referensi maupun akses internet yang sesuai dengan topik
diskusi tutorial ini secara mandiri untuk disampaikan dalam pertemuan
berikutnya.

G. Langkah VII : Melaporkan, membahas, dan menata kembali informasi baru


yang diperoleh

1. Penyebab keluhan disertai keluarnya lendir di tenggorokan serta


patofisiologi hidung keluar lendir kuning kehijauan,buntu,penciuman
berkurang dan nyeri pada kedua pipi.

Rhinitis alergi yaitu kelainan pada hidung setelah mukosa hidung terpapar
oleh alergen yang diperantarai oleh IgE dengan gejala bersin-bersin, rinore,
rasa gatal pada hidung dan hidung tersumbat.
Skema patogenesis reaksi alergi pada Rinitis Alergi
Sel mast/ basofil degranulasi
Mediator

Preformed mediators Newly mediators


Histamin Prostaglandin
Heparin Leukotrien C4, D4, E4
Triptase Leukotrien B
Kininogenase

Efek mediator kimia pada rinitis alergi

Saraf Kelenjar Pembuluh darah

Gatal mukus vasodelatasi


Refleks eksositosis penebalan mukosa
Bersin rinore permaibilitas meningkat
malaise

Patofisiologi rinosinusitis kronik terkait 3 faktor: patensi ostium, fungsi silia


dan kualitas sekret. Gangguan salah satu faktor tersebut atau kombinasi
faktor-faktor tersebut merubah fisiologi dan menimbulkan sinusitis.

Kegagalan transpor mukus dan menurunnya ventilasi sinus merupakan faktor


utama berkembangnya rinosinusitis kronik. Patofisiologi rinosinusitis kronik
dimulai dari blokade akibat udem hasil proses radang di area kompleks
ostiomeatal. Blokade daerah kompleks ostiomeatal menyebabkan gangguan
drainase dan ventilasi sinus-sinus anterior. Sumbatan yang berlangsung terus
menerus akan mengakibatkan terjadinya hipoksi dan retensi sekret serta
perubahan pH sekret yang merupakan media yang baik bagi bakteri anaerob
untuk berkembang biak. Bakteri juga memproduksi toksin yang akan merusak
silia. Selanjutnya dapat terjadi hipertrofi mukosa yang memperberat blokade
kompleks ostiomeatal. Jika dibiarkan kondisi ini dapat berlanjut menjadi :

Polip yaitu kelainan mukosa hidung dan sinus paranasal terutama compleks
osteomeatal (COM) berupa massa lunak yang bertangkai, bentuk bulat atau
lonjong, berwarna putih keabu-abuan. Permukaannya licin dan agak bening
karena banyak mengandung cairan.

2. Patofisiologi dari gejala yang dialami pasien

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase
yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC)
yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan
late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang
berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah
pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC)
akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung.
Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan
bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC
kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan
pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti
interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi
Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-
5, dan IL-13. IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel
limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi
imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan
diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator)
sehingga kedua sel ini menjadi aktif.
Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang
sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi
degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat
terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators)
terutama histamine. Histamine akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin – bersin. Secara
garis besar, pengeluaran histamine oleh tubuh akan menyebabkan, rasa gatal
gidung dan bersin-bersin, hipersekresi kelenjar mukosa dan sel goblet
ditambah meningkatnya permeabilitas kapiler, dan hidung menjadi tersumbat
karena vasodilatasi sinusoid.
3. Interpretasi hasil pemeriksaan palpasi sinus paranasalis

Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena merupakan ciri
khas sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa di tempat lain
(referred pain). Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila, nyeri di antara atau
di belakang kedua bola mata menandakan sinusitis eitmoid, nyeri di dahi atau
seluruh kepala menandakan sinusitis frontal. Pada sinusitis sfenoid, nyeri
dirasakan di vertex, oksipital, belakang bola mata dan daerah mastoid. Pada
sinusitis maksila kadang-kadang ada nyeri alih ke gigi dan telinga.

4. Epidemiologi dan faktor resiko penyakit

SINUSITIS
Epidemilogi sinusitis umumnya perempuan lebih banyak yang terkena
sinusitis dengan prevalensi yang meningkat setiap tahunnya.

Faktor resiko dari sinusitis adalah :


a. Infeksi saluran napas bagian atas.
b. Kelainan anatomi seperti septum deviasi , hipertrofi konka, polip hidup,
dan obstruksi KOM.
c. Infeksi gigi dan tonsil.
d. Hipertrofi adenoid , dan adenoidtektomy.
e. Lingkungan yang berpolusi.
f. Kebiasaan merokok.

RHINITIS ALERGI
Epidemiologi dari rhinitis alergi cenderung menyerang pria dengan persentase
15 % dan untuk wanita dengan persentase 14 % , untuk tiap negara berbeda-
beda epidemiologinya tergantung dari potensial alergi.
Faktor resiko rhinitis alergi :
a. Genetik.
b. Asma.
c. Polip hidung.
d. Penggunaan aspirin.
e. Hormonal.
f. Hipotiroid.
g. Obat.

5. Interpretasi hasil pemeriksaan rhinoskopi anterior dan posterior

Pemeriksaan rhinoskopi anterior


Pasien duduk menghadap pemeriksa. Spekulum hidung dipegang dengan
tangan kiri (right handed), arah horizontal, dengan jari telunjuk ditempelkan
pada dorsum nasi. Tangan kanan untuk mengatur posisi kepala. Spekulum
dimasukkan ke dalam rongga hidung dalam posisi tertutup, dan dikeluarkan
dalam posisi terbuka. Saat pemeriksaandiperhatikan keadaan :

- Rongga hidung, luasnya lapang/sempit( dikatakan lapang kalau dapat


dilihat pergerakan palatum mole bila pasien disuruh menelan) , adanya
sekret, lokasi serta asal sekret tersebut.
- Konka inferior, konka media dan konka superior warnanya merah muda
(normal), pucat atau hiperemis. Besarnya, eutrofi, atrofi, edema atau
hipertrofi.
- Septum nasi cukup lurus, deviasi, krista dan spina.Jika terdapat sekret
kental yang keluar daridaerah antara konka media dan konka inferior
kemungkinan sinusitis maksila, sinusitis frontal dan sinusitis etmoid
anterior, sedangkan sekret yang terdapat di meatus superior berarti sekret
berasal dari sinus etmoid posterior atau sinus sphenoid.
- Massa dalam rongga hidung, seperti polip atau tumor perlu diperhatikan
keberadaannya.
- Asal perdarahan di rongga hidung, krusta yang bau dan lain-lain perlu
diperhatikan.

Pemeriksaan Rhinoskopi Posterior


Untuk pemeriksaan ini dipakai kaca tenggorok. Kaca ini dipanaskan dulu
dengan lampu spritus atau dengan merendamkannya di air panas supaya kaca
tidak menjadi kabur oleh nafas pasien. Lidah pasien ditekan dengan spatula
lidah, pasien bernafas melalui mulut kemudian kaca tenggorok dimasukkan ke
belakang uvula dengan arah kaca ke atas. Setelah itu pasien diminta bernafas
melalui hidung. Perlu diperhatikan kaca tidak boleh menyentuh dinding
posterior faring supaya pasien tidak terangsang untuk muntah. Sinar lampu
kepala diarahkan ke kaca tenggorok dan diperhatikan :

- septum nasi bagian belakang


- nares posterior (choana)
- sekret di dinding belakang faring (post nasal drip)
- dengan memutar kaca tenggorok lebih ke lateral maka tampak konka superior,
konka media dan konka inferior.
- pada pemeriksaan rhinoskopi posterior dapat dilihat nasopharing, perhatikan
muara tuba, torus tubarius dan fossa rossen muller.

6. Pemeriksaan penunjang lain

A) Laboratorium
• Tes sedimentasi, leukosit, dan C-reaktif protein dapat membantu diagnosis
sinusitis akut
• Kultur merupakan pemeriksaan yang tidak rutin pada sinusitis akut, tapi
harus dilakukan pada pasien immunocompromise dengan perawatan intensif
dan pada anak-anak yang tidak respon dengan pengobatan yang tidak adekuat,
dan pasien dengan komplikasi yang disebabkan sinusitis. Sebaiknya untuk
pemeriksaan mikrobiologik diambil sekret dari meatus medius atau meatus
superior. Mungkin ditemukan bermacam – macam bakteri yang merupakan
flora normal di hidung atau kuman patogen, seperti Pneumococcus,
Streptococcus, Stphylococcus dan Haemophylus influeanzae. Selain itu
mungkin juga ditemukan virus atau jamur.
B) Imaging
• Rontgen sinus, dapat menunjukan suatu penebalan mukosa, air-fluid level,
dan perselubungan.Pada sinusitis maksilaris, dilakukan pemeriksaan rontgen
gigi untuk mengetahui adanya abses gigi.

• CT-Scan, memiliki spesifisitas yang jelek untuk diagnosis sinusitis akut,


menunjukan suatu air-fluid level pada 87% pasien yang mengalami infeksi
pernafasan atas dan 40% pada pasien yang asimtomatik. Pemeriksaan ini
dilakukan untuk luas dan beratnya sinusitis.

• MRI sangat bagus untuk mengevaluasi kelainan pada jaringan lunak yang
menyertai sinusitis, tapi memiliki nilai yang kecil untuk mendiagnosis
sinusitis akut

Pemeriksaan radiologik yang dibuat adalah posisi Waters, PA dan lateral.


Akan tampak perselubungan atau penebalan mukosa atau batas cairan udara
(air fluid level) ada sinus yang sakit.
C) Pada pemeriksaan transiluminasi, sinus yang
sakit akan menjadi suram atau gelap. Pemeriksaan
transiluminasi bermakna bila salah satu sisi sinus
yang sakit, sehingga tampak lebih suram
dibandingkan dengan sisi yang normal.

D) Tindakan operasi

 Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS)merupakan operasi terkini


untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi.
Indikasinya berupa : sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi
adekuat, sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang ireversibel, polip
ektesif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur8. Pada dinding
lateral, terdapat dua rute transpor mukosilier. Pertama, gabungan sekresi sinus
frontalis, sinus maxillaris, dan sinus ethomoidalis anterior akan bergabung di
meatus nasi media, tepatnya di dekat dengan infundibulum ethomidalis,
kemudian sekret tersbut akan berjalan menuju processus uncinatus dan
sepanjang dinding medial concha nasalis inferior menuju nasofaring melewati
bagian anteroinferior ostium pharyngeum tubae auditivae. Kedua, gabungan
sekresi dari sinus sphenoidalis dan sinus ethmoidalis posterior akan bertemu
pada recessus sphenoethmoidalis dan menuju nasofaring melewati bagian
posterosuperior ostium pharyngeum tubae auditivae. Gabungan sekret pada
rute pertama dan kedua akan bertemu di nasofaring yang selanjutnya jatuh ke
dalam tenggorokan dibantu oleh gaya gravitasi dan juga proses menelan.
Pada seseorang yang sehat, biasanya tidak menyadari sekret yang
dihasilkan oleh hidung karena sekret yang dihasilkan tersbut akan tercampur
dengan saliva yang nantinya akan menitik ke belakang menuju faring untuk
ditelan. Tetapi, ketika hidung mengalami hipersekresi mukus, mukus tersebut
dapat keluar ke arah depan hidung (runny-nosed) atau ke belakang (post-nasal
drip). Post-nasal drip dapat terjadi pada seseorang menderita flu, alergi,
sinusitis, septum deviasi, atau adanya corpus alienum. Post-nasal drip yang
kronis dapat mengakibatkan batuk atau disfonia karena sekret tersebut
mengandung substansi inflamatorik.

7. Macam – macam pemeriksaan test alergi

i) Metode In Vivo
Tes alergi secara in vivo terdiri atas dua kategori : uji kulit dan uji tantangan
pada organ (tes provokasi). Uji kulit merupakan cara in vivo utama dalam
mengenali IgE atau antibodi reagenik. Reaksi ini terjadi beberapa menit
setelah masuknya alergen. Alergen berinteraksi dengan antibodi reagenik
yang melekat pada sel pelepas zat mediator. Akibatnya terjadi suatu
peradangan atau pembengkakan segera, demikian pula suatu reaksi fase
lambat. Pengujian dapat dilakukan dengan menggunakan suatu jarum atau
garukan dan injeksi intradermal.
(1) Pemeriksaan Tes Kulit
Uji kulit sampai saat ini masih dilakukan secara luas untuk menunjang
diagnosis alergi terhadap alergen-alergen tertentu. Prinsip test ini adalah
adanya IgE spesifik pada permukaan basofil atau sel matosit pada kulit
akan merangsang pelepasan histamin, leukotrien dan mediator lain bila
IgE tersebut berikatan dengan alergen yang digunakan pada uji kulit,
sehingga menimbulkan reaksi positif berupa bentol (wheal) dan
kemerahan (flare). Tetapi uji kulit tidak selalu memberikan hasil positif
walaupun pemeriksaan dengan cara lain berhasil positif, terutama alergi
terhadap obat.
Macam tes kulit untuk mediagnosis alergi antara lain :
- Puncture, prick dan scratch test biasa dilakukan untuk menentukan
alergi oleh karena allergen inhalan, makanan atau bisa serangga.
- Tes intradermal biasa dilakukan pada alergi obat dan alergi bisa
serangga.
- Patch test (epicutaneus test) biasanya untuk melakukan tes pada
dermatitis kontak.
(a) Scracth : Epicutaneus Tes
Ini merupakan tehnik yang paling awal ditemukan oleh Charles
Blackley pada tahun 1873. Pemeriksaan ini didasari dengan membuat
laserasi superficial kecil dari 2 mm pada kulit pasien dan diikuti
dengan menjatuhkan antigen konsentrat.
Keuntungan :
- Aman, jarang menyebabkan reaksi sistemik
- Terdapat kekurangan pada reaksi kulit tipe lambat
- Konstrate yang digunakan nilai ekonominya lebih baik dan
mempunyai daya hidup yang lama.

Kerugian :
- Terjadi false positif (akibat iritasi pada kulit dibandingkan dengan
reaksi alergi)
- Lebih menyakitkan
- Tidak reproducible sebagai intradermal skin test
- Karena kurang reproducibility dan berbagai gambaran dibelakang,
bentuk tes ini tidak direkomendasikan lagi sebagai prosedur
diagnostik pada Alergi panel dari AMA Council Of Scientific
Affairs.

(b) Prick : Epicutaneus


Satu tetesan konsentrat antigen ke dalam kulit, kemudian jarum steril
26 G melalui tetesan tadi ditusukkan ke dalam kulit bagian superficial
sehingga tidak berdarah. Variasi dari tes ini adalah dengan
menggunakan applikator sekali pakai dengan delapan mata jarum yang
bisa digunakan. Digunakan secara simultan dengan 6 antigen dan
control positif (histmin) dan kontrol negative (glyserin).
Keuntungan :
- Cepat
- Mempunyai korelasi yang baik dengan tes intradermal
- Relative lebih aman

Kerugian :
- Hanya memberikan penilaian kualitatif pada alergi
- Bisa terjadi kesalahan pada keadaan alergi yang lemah (false –
negatif)
- Grade pada kulit bersifat subjektif
- Prick tes merupakan jalan cepat untuk menyeleksi antigen yang
banyak. Jika skin tes positif, kemudian pasien lebih sering alergi,
tetapi konversi yang didapat tidak benar. Jika pasien mempunyai
sejarah yang positif dan negative pada prick test, maka dokter
harus menggabungkan prosedur dengan pemeriksaan tes
intradermal.

Kontraindikasi Skin Prick Test


- Penderita dengan riwayat yang meyakinkan adanya reaksi
anafilaksis terhadap allergen.
- Penderita dengan gejala alergi terhadap makanan sampai dengan
gejala yang timbul stabil.
- Penderita dengan penyakit kulit misalnya urtikaria, SLE dan lesi
yang luas pada kulit.

(c) Intradermal test


Tes intradermal atau tes intrakutan secara umum biasa digunakan
ketika terdapat kenaikan sensitivitas merupakan tujuan pokok dari
pemeriksaan (misalnya ketika skin prick test memberikan hasil negatif
walaupun mempunyai riwayat yang cocok terhadap paparan). Tes
intradermal lebih sensitive namun kurang spesifik dibandingkan
dengan skin prick test terhadap sebagian besar alergen, tetapi lebih
baik daripada uji kulit lainnya dalam mengakses hipersensitivitas
terhadap Hymenoptera (gigitan serangga) dan penisilin atau alergen
dengan potensi yang rendah.
Keuntungan :
- Lebih sensitive (dapat mendeteksi alergi dengan kadar rendah)
- Lebih reproducible dalam satu tempat

Kerugian :
- Lebih bersifat kualitatif daripada kuantitatif
- Tingkat dalam respon lebih bersifat subjektif
- Tidak ada standarisasi dalam banyaknya dosis atau konsentrasinya
- Mungkin dapat muncul reaksi positif palsu pada sensitivitas tinggi
- Tes intradermal merupakan tes yang baik, sensitive dan lebih
reproducible. Keakuratan lebih jelas didapatkan pada percobaan
dengan berbagai macam dilusi dari ekstrak allergen. Tetapi
mempunyai kekurangan dalam standarisasi protokol tes.

d. Pacth Test
Metode ini sering digunakan oleh para ahli kulit untuk mendiagnosa
dermatitis kontak yang merupakan reaksi alergi tipe lambat, dimana
reaksi yang terjadi baru dapat dilihat dalam 2 – 3 hari.
Pemeriksaan pacth tes biasa dilakukan jika pemeriksaan dengan
menggunakan skin prick tes memberikan hasil yang negative.

ii) Metode In Vitro


Telah ditemukan beberapa cara pemeriksaan in vitro terhadap alergi, yang
pertama sekali yaitu metode uji Radioalergosorbent (RAST) yang kemudian
mendapat modifikasi, Enzyme-linked immunoassay (ELISA) dan beberapa
metode baru yang terus ditemukan sesuai dengan perkembangan teknologi.
Namun pada penulisan ini hanya dibahas mengenai metode pemeriksaan
RAST dan ELISA.
Indikasi untuk tes secara in vitro
Ø Pasien yang tidak respon terhadap control lingkungan dan pengobatan
konservatif.
Ø Kekhawatiran pada bayi dan anak yang sensitive terhadap reaksi atopi
Ø Pasien yang tidak mungkin diberhentikan pengobatan yang mungkin
mempengaruhi pada pemeriksaan uji kulit
Ø Pasien dengan reaksi yang jelek pada imunoterapi
Ø Evaluasi individu yang sensitive ketika diprakarsai imunoterapi pada
pasien atopi.
Ø Pemindahan pasien alergi pada imunoterapi
Ø Sensitive terhadap racun
Ø Diagnosis reaksi sensitive IgE pada makanan

Kontra indikasi untuk tes secara invitro


Ø Pasien dengan positif riwayat sensitivitas dimana dengan terapi non
spesifik dapat efektif untuk mengurangi gejala.
Ø Pasien atopi yang asimtomatik terutama dalam imunoterapi
Ø Pasien dengan gejala namun pada uji kulit negative
Ø Pasien dengan total IgE level dibawah 10 U/ml
Ø Pasien dengan diagnosis gangguan penghantar non IgE

1) Metode RAST
Merupakan metode yang sering dipakai dengan menggunakan allergen
tidak larut ke dalam suatu cakram kertas selulosa (alegosorben) yang
mengikat IgE spesifik (dan klas antibody lain) dari serum selama masa
inkubasi pertama. Fase padat terikat immunoglobulin kemudian dicuci dan
pada inkubasi kedua ditambahkan suatu anti IgE berlabel isotop I-125 (fc)
atau anti IgE berlabel enzim (fc). Setelah pencucian selanjutnya
radioaktivitas yang terikat IgE pada cakram kemudian dihitung, atau pada
antibody yang berlabel enzim, dilakukan suatu inkubasi substrat agar
dihasilkan suatu produk berwarna atau berfluoresensi. Radioaktivitas
terikat cakram atau kuantitas produk yang dihasilkan aktivitas enzim
dihubungkan dengan IgE terikat cakram memakai sumber serum rujukan
dari specimen yang tidak diketahui diinterpolasikan terhadap serum ini.
Perlu ditekankan bahwa system penilaian untuk semua proses ini belum
sepenuhnya dikaitkan dengan gambaran klinis. Secara umum nilai yang
tinggi dapat ditemukan pada beberapa pasien non alergi namun dapat pula
tidak ditemukan pada individu alergi. Demikian pula nilai yang rendah
dapat ditemukan pada individu alergi seperti juga individu non alergi.
Seluruh hasil perhitungan harus diinterprestasikan dalam kaitannya
dengan anamnesis.
2) Metode Elisa (Enzyme Linked Immunosorbent Assay)
Prinsip tehnik ELISA sama dengan tehnik RIA, hanya saja pada tehnik
ELISA indicator (label) yang digunakan adalah enzim dan bukan
radioisotope. Kelebihan tehnik ELISA adalah : cukup sensitive, reagen
mempunyai waktu paruh yang lebih panjang dibandingkan reagen RIA,
dapat menggunakan spektrofotometer biasa dan mudah dilakukan
automatisasi, dan yang paling penting adalah tidak mengandung bahaya
radioaktif. Seperti halnya pada tehnik RIA, pada tehnik ELISA juga
dikenal metode kompetitif dan non kompetitif. Apabila Ab digunakan
untuk melapisi partikel maka metode ini sering disebut capture, karena
antigen dalam specimen seolah ditangkap oleh matriks yang dilapisi Ab.
Fase solid atau partikel yang dapat digunakan bermacam-macam,
diantaranya plastic, nitroselulosa, agarose, gelas, polyacrylamida, dan
dekstran.

Keuntungan tes secara in vitro


- Mengurangi variabilitas dari respon kulit
- Mengurangi efek dari obat
- Dapat selesai dalam satu tes darah; mengurangi tes kulit yang lama
- Lebih spesifik daripada tes uji kulit
- Menyediakan penilaian kuantitatif dari alergi sehingga dapat
digunakan sebagai dasar menetapkan dosis awal imunoterapi
- Aman pada pasien dengan penggunaan beta bloker
Kekurangan tes secara invitro
- Lebih mahal dalam biaya
- Dibutuhkan alat laboratorium khusus dan pelatihan terhadap tehnisi
- Kurang sensitif dibandingkan dengan tes uji kulit.

8. Interpretasi hasil pemeriksaan tenggorokan. Hubungannya dengan


gejala dan mekanisme post nasal drip

Pada dinding lateral, terdapat dua rute transpor mukosilier. Pertama, gabungan
sekresi sinus frontalis, sinus maxillaris, dan sinus ethomoidalis anterior akan
bergabung di meatus nasi media, tepatnya di dekat dengan infundibulum
ethomidalis, kemudian sekret tersbut akan berjalan menuju processus
uncinatus dan sepanjang dinding medial concha nasalis inferior menuju
nasofaring melewati bagian anteroinferior ostium pharyngeum tubae
auditivae. Kedua, gabungan sekresi dari sinus sphenoidalis dan sinus
ethmoidalis posterior akan bertemu pada recessus sphenoethmoidalis dan
menuju nasofaring melewati bagian posterosuperior ostium pharyngeum tubae
auditivae. Gabungan sekret pada rute pertama dan kedua akan bertemu di
nasofaring yang selanjutnya jatuh ke dalam tenggorokan dibantu oleh gaya
gravitasi dan juga proses menelan.
Pada seseorang yang sehat, biasanya tidak menyadari sekret yang dihasilkan
oleh hidung karena sekret yang dihasilkan tersbut akan tercampur dengan
saliva yang nantinya akan menitik ke belakang menuju faring untuk ditelan.
Tetapi, ketika hidung mengalami hipersekresi mukus, mukus tersebut dapat
keluar ke arah depan hidung (runny-nosed) atau ke belakang (post-nasal drip).
Post-nasal drip dapat terjadi pada seseorang emnderita flu, alergi, sinusitis,
septum deviasi, atau adanya corpus alienum. Post-nasal drip yang kronis
dapat mengakibatkan batuk atau disfonia karena sekret tersebut mengandung
substansi inflamatorik.

9. Diagnosis banding,diagnosis,dan tata laksana penyakit

A. RHINITIS
Rhinitis adalah inflamasi membrane mukosa hidung, dengan nasal kongesti,
rinorea, dan variable terkait gejala tergantung pada etiologinya,
contohmenggaruk, bersin, rinore serous atau purulen, anosmia). Kasus
biasanya karena virus, meskipun bahan iritan juga dapat menyebabkan
rhinitis. Diagnosis biasanya secara klinis. Terapi termasuk humidifikasi udara
ruangan, amin asimpatomimetik dan antihistamin. Superinfeksi bakteri
membutuhkan terapi antibiotik yang tepat.
1) Rhinitis Alergi
Klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative ARIA
(tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :
a. Intermitten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4hari/minggu atau
kurang dari 4 minggu
b. Persistent/menetap bila gejala lebih dari 4hari/minggu dan lebih dari
4minggu.

Sedangkan untuk derajat berat ringan ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi
menjadi :
a. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang mengganggu
b. Sedang-berat bila terdapat satu lebih dari gangguan tersebut di atas

Tatalaksana rhinitis alergi :


A. Terapi yang paling ideal adalah pencegahan kontak dengan alergen
penyebab dan eliminasi alergen penyebab. Terdapat empat jenis alergen
yaitu :
A.1 Alergen inhalan alergen yang masuk melalui udara pernapasan berupa
tungau, debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang, rumput, dan
jamur.
A.2 Alergen ingestan adalah alergen yang masuk melalui saluran cerna ,
contohnya makanan seperti susu, dan daging.
A.3 Alergen injektan adalah alergi yang masuk melalui suntikan atau
tusukan ,contohnya penicillin dan sengatan lebah.
A.4 Alergen kontaktan adalah alergi yang masuk melalui kontak kulit atau
jaringan mukosa seperti bahan kosmetik, dan perhiasan.
B. Medikamentosa
B.1 Antihistamin
Anatagonis H1 yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H1
sel target dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering
dipakai sebagai inti pengobatan rhinitis alergi.
B.2 Kortikosteroid
Preparat kortikosteroid topikal yang biasa digunakan antara lain;
beklometosa, budesonid, flusolid, flutikason, mometasonfuroat dan
triamsinolon. Preparat tersebut dipilih jika ada gejala trauma sumbatan
hidung akibat respons fase lambat berhasil diatasi dengan obat lain.
Preparat antikolinergik topikal seperti ipaptoprium bromida bermanfaat
untuk mengatasi rhinorhoe karena aktivitas inhibisi reseptor kolinergik
permukaan sel efektor.
B.3 Operatif
Tindakan konkotomi perlu dipertimbangkan bila hipertrofi konka nasalis
inferior berat dan tidak berhasil ditangani dengan cara kauterisasi
menggunakan AgNO3 25% atau troklor asetat.
B.4 Imunoterapi
Jenisnya densetisasi, hiposensitisasi, dan netralisasi. Densetisasi dan
hiposentisasi membentuk blocking antibody.

2) Rhinitis vasomotor
Etiologi pasti rinitis vasomotor belum diketahui dan diduga akibat gangguan
keseimbangan sistem saraf otonom yang dipicu oleh zat-zat tertentu. Beberapa
faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor :
- Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, seperti
ergotamin, chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat vasokonstriktor
topikal.
- Faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban
udara yang tinggi dan bau yang merangsang.
- Faktor endokrin, sepeti keadaan kehamilan, pubertas, pemakaian pil anti
hamil dan hipotiroidisme.
- Faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatigue.

PATOFISIOLOGI
Sistem saraf otonom mengontrol aliran darah ke mukosa hidung dan sekresi
dari kelenjar. Diameter resistensi pembuluh darah di hidung diatur oleh sistem
saraf simpatis sedangkan parasimpatis mengontrol sekresi kelenjar. Pada
rinitis vasomotor terjadi disfungsi sistem saraf otonom yang menimbulkan
peningkatan kerja parasimpatis yang disertai penurunan kerja saraf simpatis.
Baik sistem simpatis yang hipoaktif maupun sistem parasimpatis yang
hiperaktif, keduanya dapat menimbulkan dilatasi arteriola dan kapiler disertai
peningkatan permeabilitas kapiler, yang akhirnya akan menyebabkan
transudasi cairan, edema dan kongesti. Teori lain mengatakan bahwa terjadi
peningkatan peptide vasoaktif dari selsel seperti sel mast. Termasuk diantara
peptide ini adalah histamin, leukotrin, prostaglandin, polipeptide intestinal
vasoaktif dan kinin. Elemen-elemen ini tidak hanya mengontrol diameter
pembuluh darah yang menyebabkan kongesti, tetapi juga meningkatkan efek
asetilkolin dari sistem saraf parasimpatis terhadap sekresi hidung, yang
menyebabkan rinore. Pelepasan peptide-peptide ini tidak diperantarai oleh Ig-
E (non-Ig E mediated) seperti pada rinitis alergi. Adanya reseptor zat iritan
yang berlebihan juga berperan pada rinitis vasomotor. Banyak kasus yang
dihubungkan dengan zat-zat atau kondisi yang spesifik. Beberapa diantaranya
adalah perubahan temperatur atau tekanan udara, perfume, asap rokok, polusi
udara dan stress ( emosional atau fisikal ). Dengan demikian, patofisiologi
dapat memandu penatalaksanaan rinitis vasomotor yaitu :
- meningkatkan perangsangan terhadap sistem saraf simpatis
- mengurangi perangsangan terhadap sistem saraf parasimpatis
- mengurangi peptide vasoaktif
- mencari dan menghindari zat-zat iritan.

PENATALAKSANAAN
Pengobatan rinitis vasomotor bervariasi, tergantung kepada faktor penyebab
dan gejala yang menonjol.
1. Menghindari penyebab / pencetus ( Avoidance therapy )
2. Pengobatan konservatif ( Farmakoterapi )
- Dekongestan atau obat simpatomimetik digunakan untuk mengurangi
keluhan hidung tersumbat. (Pseudoephedrine dan
Phenylpropanolamine (oral), Phenylephrine dan Oxymetazoline (
semprot hidung ).
- Anti histamin : paling baik untuk golongan rinore.
- Kortikosteroid topikal mengurangi keluhan hidung tersumbat, rinore
dan bersin-bersin dengan menekan respon inflamasi lokal yang
disebabkan oleh mediator vasoaktif. Biasanya digunakan paling sedikit
selama 1 atau 2 minggu sebelum dicapai hasil yang memuaskan.
(Budesonide, Fluticasone, Flunisolide atau Beclomethasone)

- Anti kolinergik juga efektif pada pasien dengan rinore sebagai keluhan
utamanya. (Ipratropium bromide ( nasal spray ))
3. Terapi operatif ( dilakukan bila pengobatan konservatif gagal )
- Kauterisasi konka yang hipertrofi dengan larutan AgNO3 25% atau
triklorasetat pekat ( chemical cautery ) maupun secara elektrik
( electrical cautery ).
- Diatermi submukosa konka inferior ( submucosal diathermy of the
inferior turbinate )
- Bedah beku konka inferior ( cryosurgery )
- Reseksi konka parsial atau total (partial or total turbinate resection)
- Turbinektomi dengan laser ( laser turbinectomy )
- Neurektomi n. vidianus ( vidian neurectomy ), yaitu dengan
melakukan pemotongan pada n. vidianus, bila dengan cara diatas tidak
memberikan hasil. Operasi sebaiknya dilakukan pada pasien dengan
keluhan rinore yang hebat. Terapi ini sulit dilakukan, dengan angka
kekambuhan yang cukup tinggi dan dapat menimbulkan berbagai
komplikasI.

B. SINUSITIS
Sinusitis merupakan suatu proses peradangan pada mukosa atau selaput lendir
sinus paranasal. Akibat peradangan ini dapat menyebabkan pembentukan
cairan atau kerusakan tulang di bawahnya., terutama pada daerah fossa kanina
dan menyebabkan sekret purulen, nafas bau, post nasal drip. Penyebab
utamanya adalah selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang
selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri.
Gejala sinusitis maksilaris akut berupa demam, malaise, nyeri kepala, wajah
terasa bengkak dan penuh, gigi terasa nyeri pada gerakan kepala mendadak
(sewaktu naik atau turun tangga), nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk,
sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan berbau busuk. Yang paling
sering terkena adalah sinus maksillaris dan sinus ethmoid sedangkan sinus
frontale dan sinus sinus sfenoid cenderung lebih jarang.
Gambaran klinis yang sering dijumpai pada sinusitis maksilaris kronik berupa
hidung tersumbat, sekret kental, cairan mengalir di belakang hidung, hidung
berbau, indra pembau berkurang, dan batuk.
Kriteria Saphiro dan Rachelefsky:
a. Gejala Mayor:
- Rhinorea purulen
- Drainase Post Nasal
- Batuk
b. Gejala Minor:
- Demam
- Nyeri Kepala
- Foeter ex oral (Halitosis)
Dikatakan sinusitis maksilaris jika ditemukan 2 gejala mayor atau 1 gejala
mayor dan 2 atau lebih gejala minor.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan dengan palpasi turut membantu
menemukan nyeri tekan pada daerah sinus yang terkena (Saragih, 2007)
Pemeriksaan fisik dengan rhinoskopi anterior dan posterior, nasoendoskopi
sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini (Mangunkusomo
dan Soetjipto,2007). RHinoskopi anterior memberi gambaran anatomi dan
mukosa yang edema, eritema, dan sekret yang mukopurulen. Lokasi sekret
dapat menentukan sinus mana yang terkena. Rhinoskopi posterior dapat
melihat koana dengan baik, mukosa hipertrofi atau hiperplasia (Mansjoer,
2001). Pemeriksaan penunjang lain adalah transiluminasi. Hanya sinus frontal
dan maksila yang dapat dilakukan transiluminasi. Pada sinus yang sakit akan
menjadi suram atau gelap (Ross, 1999). Dengan nasal endoskopi dapat
diketahui sinus mana yang terkena dan dapat melihat adanya faktor etiologi
lokal. Tanda khas ialah adanya pus di meatus media pada sinusitis maksila,
etmoidalis anterior dan frontal atau pus di meatus superior pada sinusitis
etmoidalis posterior dan sfenoidalis (Mehra dan Murad, 2004;
Mangunkusomo dan Soetjipto,2007). Selain itu, nasal endoskopi dilakukan
untuk menegakkan diagnosis sinusitis akut dimana pus mengalir ke bawah
konka media dan akan jatuh ke posterior membentuk post nasal drip (Ross,
1999).
Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos posisi atau CT-scan.
Foto polos posisi Waters, posteroanterior, dan lateral umumnya hanya mampu
menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan
yang akan terlihat adalah perselubungan, batas udara-cairan (air-fluid level)
pada sinusitis maksila atau penebalan mukosa (Mehra dan Murad, 2004). CT-
scan sinus merupakan gold standard karena mampu menilai anatomi hidung
dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan
perluasannya. Namun karena mahal hanya dikerjakan sebagai penunjang
diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik dengan pengobatan atau pra-
operasi sebagai panduan operator saat melakukan operasi sinus
(Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).
Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan mengambil
sekret dari meatus media atau superior, untuk mendapat antibiotik yang tepat
guna. Lebih baik lagi bila diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus
maksila (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007). Kebanyakan sinusitis
disebabkan infeksi oleh Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae,
Moraxella catarrhalis. Gambaran bakteriologik dari sinusitis yang berasal
dari gigi geligi didominasi oleh infeksi gram negatif sehingga menyebabkan
pus berbau busuk dan akibatnya timbul bau busuk dari hidung (Ross, 1999).
Di samping itu, sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial
sinus maksila melalui meatus inferior, dengan alat endoskopi dapat dilihat
kondisi sinus maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi
sinus untuk terapi (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).
Patofisiologi oenyakit dimulai dari organ-organ KOM yang letaknya saling
berdekatan dan bila terjadi oedem maka mukosa yang saling berhadapan akan
saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat.
Akibatnya terjadi tekanan negatif dalam rongga sinus yang menyebabkan
terjadinya transudasi , mula-mula bersifat serous. Bila hal ini menetap, maka
sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media yang baik untuk
tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen.
Tatalaksana untuk kasus sinusitis berupa :
A. Medikamentosa
A.1. Antibiotik
- Sinusitis Maxilaris Akut: Cephalosporin, Sulfamethoxazole-
Trimethoprim, Azithromycin, Clarithromycin, Golongan Penicillin
ditambah Asam Klavulanat yang diberikan selama 7-14 hari.
- Sinusitis Maxilaris Kronik: Elindamycin, Cephalosporin, Kuinolone
( Ciprofloxacin, Ofloxasin, Levofloxasin).
A.2 Dekongestan
Penting pada terapi awal bersama antibiotik. Diberikan dapat secara oral
maupun topikal. Mekanisme kerjanya adalah sebagai berikut:
Vasokonstriksi mukosa dan konka nasalis → sumbatan pada rongga hidung
berkurang → kompleks osteomatal yang tersumbat terbuka →drainase dan
ventilasi lendir membaik → terjadi hambatan pertumbuhan bakteri.
A.3 Antihistamin
Hanya berfungsi pada manifestasi alergi yang menjadi penyebab sinusitis
dan tidak termasuk dalam protokol pengobatan. Diberikan jika terdapat
riwayat alergi pada pasien.
A.4 Kortikosteroid
- Topikal: Diberikan apabila terdapat manifestasi klinis pada pasien
meliputi; bersin-bersin, sekresi lendir yang berlebihan, sumbatan pada
rongga hidung dan adanya gangguan penghidung beruba anosmia.

- Oral: Obat ini dapat mencapai rongga sinus, tetapi hanya dalam waktu
singkat, yaitu selama kurang lebih 2 minggu. Untuk preparat oral
dapat diberikan prednisolon atau prednisone dengan dosis 60 mg
untuk empat hari pertama, selanjutnya ditappering off 5 mg/hr sampai
hari ke-15 dengan dosis total 570 mg. Namun, cukup efektif untuk
menghilangkan beberapa keluhan dan dapat digunakan secara
bersamaan dengan kortikosteroid topikal.
A.5 Operatif
- Antrostomi meatus inferior
- Caldwel-Luc
- Ethmoidektomi intranasal dan ekstranasal
- Trepanasi sinus frontal
- Bedah sinus endoskopifungsional (FESS)
10. Komplikasi dan prognosis dari penyakit di atas

RHINITIS ALERGIKA
 Otitis media
 Sinusitis
 Obstruksi tuba auditiva
 Polip hidung
 Deviasi septum nasi
Prognosis dari rhinitias alergi jika terjadi serangan yang terus menerus /
persisten sepanjang tahun maka akan lama kelamaan akan terjadi perubahan
yang irreversible berupa terjadinya proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia
mukosa, sehingga mukosa hidung tampak menebal.

SINUSITIS
• Kelainan orbita
Disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita). Yang
paling sering ialah sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusitis maksila.
Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum.
Kelainan yang dapat timbul ialah edema palpebra, selulitis orbita, abses
subperiostal, abses orbita, selanjutnya terjadi trombosis sinus kavernosus.
• Kelainan intrakranial
Dapat berupa meningitis,abses ekstradural atau subdural, abses otak dan
trombosis sinus kavernosus.
• Osteomielitis dan abses subperiostal
Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada
anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula
oroantral/fistula pada pipi.
• Kelainan paru
Seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal
disertai dengan kelainan paru sinobronkitisselain itu juga timbul asma
bronkial. (Mangunkusumo & Soetjipto, 2007).
BAB III
KESIMPULAN

Dari hasil diskusi tutorial skenario 2 ini, dapat disimpulkan pasien laki-laki,
usia 35 tahun, ini menderita rhinosinusitis. Hal tersebut bermula dari riwayat pasien
yaitu bersin-bersin di pagi hari dan bila terpapar debu. Bersin-bersin yang bersifat
kambuhan tersbut dikarenakan pasien mengidap rhinitis alergika. Rhinitis alergika
merupakan proses peradangan pada cavum nasi yang disebabkan oleh papran alergen.
Debu merupakan salah satu alergen yang paling sering menjadi etiologi dari rhinitis
alergika. Ketika debu ikut terhirup bersama udara dan masuk ke dalam rongga
hidung, debu akan terperangkap oleh sistem pertahanan mukosilier pada mukosa
hidung, selanjutnya substansi yang terdapat dalam debu akan dianggap sebagai suatu
antigen spesifik oleh sistem imunitas mukosa. Akibatnya terjadi reaksi imunitas
berupa sensitisasi yang melibatkan antibodi reagenik (IgE), basofil, sel mast, sel-sel
inflamatorik, dan pelepasan zat mediator seperti histamin, prostaglandin dan
leukotrien, yang pada gilirannya bekerja pada saluran hidung dan menimbulkan
manifestasi klinis berupa rasa gatal, bersin, edema mukosa pada concha dan meatus,
serta hipersekresi mukus. Karena paparan alergen tersebut sudah melalui tahap
sensitisasi, maka apabila seseorang menghirup alergen yang sama akan timbul reaksi
yang sama.
Ketika keadaan tersebut berlangsung lama, maka akan merubah kondisi
lingkungan dalam rongga hidung, salah satunya edema mukosa cavum nasi serta
hipertrofi concha nasalis yang dapat mempersempit daerah meatus sebagai tempat
muara dari sekresi sinus paranasales. Sekresi sinus yang tidak dapat dikeluarkan akan
terakumulasi di dalam rongga sinus dan menetap, lama kelamaamn kondisi tersebut
dapat memicu pertumbuhan bakteri pada sinus sehingga timbul sinusitis. Pada
skenario, sinus yang mengalami peradangan adalah sinus maxillaris, ditandai dengan
adanya sekret kuning kental yang keluar dari meatus nasi media sebagai tempat
muara dari sinus maxillaris dan juga adanya nyeri tekan pada pipi kanan dan kiri.
Pada pemeriksaan didapatkan juga adanya deviasi septum nasi, hieprtrofi adenoid,
serta discharge mukopurulen pada tenggorokan. Ketiga hal tersebut merupakan
rhinosinusitis dan juga post-nasal drip.
Untuk diagnosis rhinitis alergika dapat dilakukan beberapa tes antara lain
prick test, hitung eosinofil, RAST (radioallergosorbent test), total serum IgE. Oleh
karena itu, dokter menyarankan untuk melakukan tes cukit kulit (prick test). Untuk
pemeriksaan sinusitis dapat dilakukan dengan pemeriksaan radiografi atau CT-scan.
Terapi yang dapat diberikan pada pasien dalam skenarioini berupa terapi
jangka pendek dan jangka panjang. Terapi jangka pendek terdiri atas dua prinsip
terapi, yaitu terapi kausatif dan simtomatik. Untuk terapi simtomatik, bisa diberikan
decongestan nasal, antihistamin, dan kortikosteroid, sedangkan terapi kausatif dapat
diberikan antibiotik dan imunoterapi. Terapi jangka panjang yang diberikan berupa
edukasi kepada pasien untuk sebisa mungkin menghindari debu (allergen avoidance)
agar tidak terjadi eksaserbasi kembali.
BAB IV
SARAN

Pada diskusi tutorial di skenario 2 Blok THT ini kelompok kami memiliki
beberapa kekurangan, pertama kami kurang kritis dalam menanggapi pendapat yang
diutarakan. Kedua, kurang teliti dalam membahas poin-poin pada skenario.
Oleh karena itu, saran untuk diskusi ini dan kedepannya adalah harus lebih
kritis lagi dalam menganggapi informasi yang kami dapat, menggalinya lebih dalam
(dengan catatan masih dalam topik dan tidak meluas kemana-mana). Yang kedua,
kami harus benar-benar detail dalam membahas skenario sehingga keseluruhan poin
dapat dipahami dan dimengerti hingga tuntas.
Selain kekurangan tutorial yang sudah disebutkan di atas, kelompok kami sudah
berdiskusi dengan baik. Anggota kami sudah aktif dalam mengutarakan pendapatnya.
Learning objective juga sudah tercapai semua. Diharapkan dalam diskusi selanjutnya
kami bisa lebih kritis dan teliti dalam menjalani diskusi tutorial.
DAFTAR PUSTAKA

Alper C., Myers E N., Eibling (2001). Decicion Making In Ear, Nose, and Throat
Disorders, Saunders Company, 152-153.

Becker W, Nauman HH, Pfaltz RC. Ear, Nose, and Throat Diseases. Thieme; 299-
387, 1194

Irawati, N., Kasakeyan, E., Rusmono, N. (2007). Rinitis Alergi. Dalam: Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telonga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi-6. Jakarta:
Balai Penerbit FK UI; 128-134.

Kennedy DW, Bolger WE, Zinreich SJ (2001). Diseases of The Sinus Diagnosis and
Management. Decker

Mangunkusumo, E. (2009). Sinusitis. Kumpulan Naskah Simposium Sinusitis.


Jakarta; 1-6

Mangunkusumo, Endang. Rifki, Nusjirwan (2000). Sinusitis dalam Soepardi, Efiaty


A. Iskandar, Nurbaity. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala & Leher Edisi-4. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Martin, Burton (2000). : Hall and Colman’s Diseases Of The Ear, Nose And Throat,
Fifteenth edition, Churchill Livingston. p 107 – 109

Mulyarjo, Soejak S. (2006). Sinusitis dalam Naskah Lengkap Perkembangan Terkini


Diagnosis dan Penatalaksanaan Sinusitis. Surabaya; 1-63

Netter’s Atlas of Human Anatomy

Niels Mygind and Torben Lildholdt (1997). Nasal Poliposis, Munksgaard –


Copenhagen

Price, Sylvia A dan Wilson, Lorraine M. (2003). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Ramalinggan KK. Anatomy and Physiology of Nose and Paranasal Sinuses. A Short
Practice of Otolaryngology. All India Publishers; 214-231

Soetjipto, Damayanti. Mangunkusumo, Endang. (2007). Sinus Paranasal dalam


Soepardi, Efiaty A. Iskandar, Nurbaity. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi-6. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia

http://www.enttech.com.au/learn-more/colds-flu-and-sinusitis - diakses September


2015

http://www.webmd.com/allergies/postnasal-drip - diakses September 2015

Anda mungkin juga menyukai