Anda di halaman 1dari 18

UNIVERSITAS JEMBER

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN FAT


EMBOLISM SYNDROME DI POLI ORTHOPEDI RUMAH SAKIT
DAERAH dr. SOEBANDI JEMBER

oleh
Yeni Dwi Aryati, S. Kep
NIM 132311101045

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
MEI, 2018
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS
JEMBER FORMAT LAPORAN
PENDAHULUAN

A. Konsep Teori FES


1. Definisi Fat Embolism Syndrome (FES)
Sindrom emboli lemak adalah sebuah proses dimana jaringan lemak masuk
ke dalam aliran darah, yang ditandai dengan gejala klinis berupa sesak napas,
demam, ruam ptekie, gangguan neurologis dan gangguan pada ginjal (Kirkland,
2009). FES adalah suatu sindrom yang disebabkan oleh lepasnya lemak sumsum
tulang ke dalam sirkulasi sehingga menyebabkan suatu embolisasi lemak yang
sistemik dan ditandai dengan insufisiensi respiratorik, abnormalitas neurologis,
dan petekhie yang muncul 24 – 72 jam setelah kejadian pencetus yang biasanya
adalah trauma tulang panjang atau pelvis (Salter, 2009).
Emboli lemak biasanya berhubungan dengan fraktur tulang panjang dan
pelvis, dan lebih sering terjadi pada fraktur tertutup daripada fraktur terbuka
(Gupta et al, 2013). Istilah fat emboli menunjukkan adanya gelembung-
gelembung lemak dalam sirkulasi perifer setelah trauma utama yang terkait
dengan fraktur tulang panjang, pelvis dan dalam pengaturan prosedur ortopedi
elektif atau darurat. (S. Jain et al, 2008). Pada saat terjadi fraktur globula lemak
dapat masuk kedalam darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari
tekanan kapiler atau karena katekolamin yang dilepaskan oleh reaksi stres pasien
akan memobilisasi asam lemak dan memudahkan terjadi globula lemak dalam
aliran darah.
Faktor risiko yang dapat menyebabkan sindrom emboli lemak yaitu usia
muda, fraktur tertutup, fraktur multiple, terapi konservatif untuk fraktur tulang
panjang. Sindrom emboli lemak sering terjadi pada pria dari pada wanita. Pada
anakanak usia 0 sampai 9 tahun jarang terjadi. Rentang usia yang paling sering
terkenaa sindrom emboli lemak yaitu usia 10 sampai 39 tahun.
2. Epidemiologi
Fat Embolism Syndrome (FES) paling sering dikaitkan dengan tulang panjang
dan fraktur panggul, dan lebih sering pada fraktur tertutup, daripada fraktur
terbuka. Pasien dengan fraktur tulang panjang tunggal memiliki kesempatan 1
sampai 3% terkena sindrom ini, hal ini meningkatkan dalam korelasi dengan
jumlah patah tulang (S. Jain et al, 2008). Insiden juga lebih tinggi pada pria muda
karena mereka lebih rentan terhadap kecepatan tinggi kecelakaan lalu lintas jalan.
Sindrom ini sering terjadi pada orang dewasa dan jarang terjadi pada anak-anak,
karena pada anak-anak, sumsum tulang mengandung lebih banyak jaringan
hematopoietik daripada jaringan lemak. (S. Jain, et al, 2008).

3. Etiologi
Dalam bidang orthopedi penyebab terjadinya sindrom emboli lemak meliputi:
A. Fraktur tulang panjang dan pelvis
Tulang panjang banyak mengandung sumsum lemak sebagai tempat
penyimpanan lemak netral daripada tulang lain sehingga apabila terjadi fraktur
memudahkan terjadinya embolisasi lemak. Struktur tulang pelvis memiliki banyak
jaringan spongiosa sehingga mudah terjadi fraktur dan meningkatkan resiko
fraktur sebagai predisposisi fat emboli.
a. Prosedur orthopedi seperti pemasangan intramedular nailing dan hip knee
arthroplasty
Pada pemasangan intramedullary nailing akan meningkatkan tekanan
intramedular sehingga mengakibatkan globula lemak sumsum tulang rapuh akibat
kurangnya sopporting connecting tissue terlepas, selain itu pada pemasangan ini
juga dapat mengakibatkan kerusakan pembuluh darah intramedullary sehingga
lemak yang terlepas akibat peninggkatan tekanan dapat masuk ke pembuluh darah
yang robek dan menimbulkan emboli lemak.
Pada total hip dan knee replacement juga dapat meningkatkan penekanan
pada intramedullary yang dapat merusak pembuluh darah sehingga menyebabkan
masuknya lemak ke pembuluh darah hingga terjadi fat emboli. Pada proses
arthroplasty dapat terjadi peningkatan kanal intramedula sampai dengan 1000
mmHg yang menyebabkan terlepasnya globula lemak (John, M.O., 2008).
b. Osteomyelitis.

4. Faktor Resiko
a. Usia muda
b. Fraktur tertutup
c. Fraktur multiple
d. Terapi konservatif untuk fraktur tulang panjang

5. Patofisiologi
Menurut Smeltzer dan Bare (2001) terdapat dua teori yang dipercaya saat ini
mengenai patofisiologi fat embolism syndrome yaitu:
a. Teori Mekanik
Adanya trauma berat mengakibatkan kerusakan yang luas pada jaringan
lemak dan vaskuler. Kenaikan tekanan pada area trauma (>200 mmHg) yaitu
tekanan pada sumsum tulang memaksa lemak yang terlepas masuk ke
pembuluh darah yang memiliki tekanan lebih rendah (28-32 mmHg).
Droplet lemak yang terlepas masuk ke peredaran darah vena yang akan
mengumpul di capillary bed paru dan menuju ke shunt arteriovenosa ke
otak. Daerah mikrovaskuler yang dilekati embolus tersebut akan
mengakibatkan iskemia lokal dan inflamasi yang berakibat pada pelepasan
mediator inflamasi, agregasi platelet, dan amin vasoaktif.
b. Teori Biokimia
Perubahan hormonal dan reaksi stres akibat trauma dan/atau sepsis dapat
melepaskan katekolamin yang memicu lemak bebas seperti khilomikron dan
memudahkan terjadinya globula lemak dalam aliran darah. Reaktan fase
akut seperti C-reactive protein mengakibatkan kilomikron menyatu dan akan
menimbulkan reaksi seperti yang ditemui pada fat emboli sindrom
umumnya, seperti ptekie. Teori ini menerangkan terjadinya fat emboli pada
kasus non trauma.
Emboli berasal dari lemak sumsum tulang dan jaringan lemak, kemudian
melalui robekan vena masuk ke sirkulasi dan paru-paru, bersama gelembung-
gelembung lemak melewati kapiler paru masuk ke sirkulasi sistemik dan menuju
ke otak, ginjal, jantung dan kulit. Pada trauma yang luas terjadi penurunan
karbohidrat dan lemak secara cepat, berupa lipolisis pada jaringan lemak dan
sejumlah besar asam lemak bebas. Akibatnya sejumlah besar asam lemak bebas
ditranspor ke sirkulasi hati dimana terjadi sintesis dan sekresi lipoprotein dengan
densitas rendah.
Lipoprotein hati mengalami agregasi/ konjugasi dengan kalsium dan
kolesterol, menarik trombosit dan menyebabkan perlambatan aliran darah dan
terbentuk emboli. Proses ini menunjukkan asidosis dan respirasi metabolik.
Emboli pada arteri paru tidak hanya menyebabkan obstruksi aliran darah, tetapi
juga merusak dinding pembuluh darah, yang menyebabkan hemoragik multiple
dengan fokus kecil yang menimbulkan hemoptisis, edema paru dan dispnea.
Emboli lemak kemudian masuk ke sirkulasi sistemik.
Patogenesis sindrom emboli lemak melibatkan obstruksi mekanik pada pulmo
dan vaskular sistemik. Pada obstruksi mekanik pada paru terjadi diakibatkan oleh
peningkatan tekanan intramedular setelah trauma sehingga sumsum lemak keluar
melalui sinusoid menuju pulmo dan membentuk sumbatan pada kapiler pulmo.
Teori biokimia menyatakan bahwa asam lemak bebas yang ada di sirkulasi akibat
fraktur mengandung toksin dan menyerang pneumosit dan sel endotel pulmo yang
mengakibatkan perdarahan interstisial, edema, dan pneumonitis kimiawi yang
dapat disertai dengan syok, hipovolemi dan sepsis yang mengakibatkan
pengurangan lairan darah ke hepar, hal ini memperburuk efek toksik asam lemak
bebas (Shaikh, 2009).

6. Tanda dan Gejala


Terdapat periode laten dari 24 sampai 72 jam antara cedera dan onset gejala.
Kemudian akan timbul (Kirkland, 2009):

a.Sistem respirasi
Sesak napas dan nyeri dada. Tergantung pada tingkat keparahan dan dapat
berkembang menjadi kegagalan pernapasan dengan takipnea, peningkatan
sesak napas dan hipoksia.
b. Sistem kardiovaskuler
Takikardi dan nyeri dada. Ditemukan peningkatan kecepatan aliran darah
disebabkan kompensasi tubuh yang kekurangan oksigen sehingga nadi dan
tekanan darah meningkat.
c. Sistem integumen
Ruam ptekie biasanya di bagian anterior lengan, leher, mukosa mulut dan
konjungtiva. Ruam bersifat sementara dan menghilang setelah 24 jam.
Demam ( suhu lebih dari 38,3°C) dengan denyut nadi irregular.
d. Sistem saraf pusat
Gejala sistem saraf pusat (mulai dari sakit kepala ringan sampai dengan
disfungsi serebral yang signifikan seperti gelisah, disorientasi, kejang,
pingsan atau koma)
e. Sistem urinaria (perkemihan)
Oliguria, hematuria atau anuria

7. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan sitologi urin, darah dan dahak dapat mendeteksi gelembung-
gelembung lemak yang bebas atau yang di dalam makrofag. Tes ini memiliki
sensitivitas rendah dan hasilnya dapat negative.
b. Rontgen dada terdapat infiltrat atau konsolidasi pada paru dan adanya dilatasi
sisi kanan jantung.
c. CT scan : temuan mungkin normal atau terdapat difus putih dikarenakan
perdarahan ptekie dengan cedera mikrovaskuler. CT scan juga akan
menyingkirkan penyebab lain dari penurunan tingkat kesadaran.
d. Analisis gas darah akan menunjukkan hipoksia, PO2 biasanya kurang dari 8
kPa (60 mmHg) dan hipokapnia (Shaikh, 2009).
e. Trombositopenia, penurunan hematokrit terjadi 24 sampai 48 jam dan
dihubungkan dengan perdarahan intraalveolar. Kadar kalsium berkurang.
f. Pemeriksaan MRI otak dapat membantu dalam diagnosis serebral emboli
lemak (Buskens et al, 2008).

8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan sindrom emboli lemak untuk memastikan oksigenasi arteri
yang baik. Laju aliran tinggi oksigen diberikan untuk mempertahankan tekanan
oksigen arteri dalam batas normal. Pembatasan asupan cairan dan penggunaan
diuretik dapat meminimalkan akumulasi cairan di paru-paru selama sirkulasi
dipertahankan.
Di sisi lain, pemeliharaan volume intravaskular sangat penting karena syok
dapat memperburuk cedera paru yang disebabkan oleh sindrom emboli lemak.
Albumin telah direkomendasikan untuk resusitasi volume di samping larutan
elektrolit, karena tidak hanya mengembalikan volume darah, tetapi juga mengikat
asam lemak dan dapat menurunkan tingkat cedera paru. Ventilasi mekanis dan
tekanan ekspirasi akhir positif (PEEP) mungkin diperlukan untuk
mempertahankan oksigenasi arteri.
Terapi medikasi dengan kortikosteroid dosis tinggi efektif dalam mencegah
perkembangan sindrom emboli lemak. Dosis yang lebih rendah mungkin juga
efektif (McDermott et al, 2002). Terapi bedah: Stabilisasi bedah Prompt patah
tulang panjang mengurangi risiko sindrom emboli lemak (Babalis et al, 2004).

9. Prognosis Penyakit
Tingkat kematian dari sindrom emboli lemak adalah 5 sampai 15%. Bahkan
kegagalan pernapasan yang terkait dengan emboli lemak jarang menyebabkan
kematian. (Wangi D, 2013). Defisit neurologis dan koma dapat berlangsung
selama beberapa hari atau minggu. Berkurangnya residu mungkin termasuk
perubahan kepribadian, kehilangan memori dan disfungsi kognitif. (Wangi D,
2013). Kebanyakan kasus FES sembuh dengan oksigenasi yang adekuat dan
penggunaan diuretic dan garam serta restriksi air. Resolusi dari tampilan klinis
terjadi setelah 2-3 minggu kemudian. Kematian lebih karena kegagalan nafas
daripada kegagalan saraf pusat, ginjal, atau sequele jantung. Prognosisnya, kecuali
untuk kasus yang fulminan, adalah sangat baik. Pada pasien dengan koma dan
ganguan nafas mortalitasnya adalah 20%. (Dheni H, 2009).
B. Clinical Pathway

Tr Trauma tidak langsung Kondisi patologis


auma

Fraktur

Diskontinuitas tulang Ruptur pembuluh darah

Jaringan lemak masuk kedalam pembuluh darah

Fat Embolism Syndrome (FES)

OtakPenyumbatan aliran darah


Paru-paru Jantung

Penyumbatan pembuluh Penyumbatan kapiler pulmo


Penyumbatan aliran darah jantung
darah otak Sirkulasi darah tidak
lancar
Pelebar Kerja paru terganggu
Sirkulasi
an
pembul Suplai darah Suplai
ke jantung
oksigen
tidak
tidak
adekuat
adekuat ke seluruh tubuh dan jarin
darah
otak
Suplai oksigen ke otak tidak adekuat
Kadar oksigen menurun
Penekanan Perubahan volume sekuncup
syaraf-
syaraf Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer
sekitar Kompensasi tubuh mempercepat pernapasan
Risiko Ketidakefektifan perfusi jaringan otak
Nyeri Kepala Penurunan curah jantung

Pembatasan aktivitas

Nyeri Akut
Ketidakefektifan pola napas
Intoleransi aktivitas

Gangguan Pertukaran Gas


C. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Anamnesis
1) Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin, usia, alamat, agama, bahsa yang digunkan,
status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, nomor
register, tanggal dan jam masuk rumah sakit, dan diagnosis medis.
Pada umumnya, keluhan utama pada kasus fat embolism syndrome (FES)
adalah munculnya gejala sesak nafas, demam, pusing, penurunan kesadaran,
dan gangguan eliminasi urin setelah mengalami fraktur khususnya fraktur
pada tulang panjang.
2) Riwayat penyakit sekarang
Kaji kronologi terjadinya FES dengan menanyakan bagaimana terjadinya
patah tulang (penyebabnya), dimana letak patah tulang, pertolongan apa
yang telah didapatkan, dan apakah sudah berobat ke dukun patah, serta
apakah ada luka bakar disekitar fraktur.
3) Riwayat penyakit dahulu
Kaji penyakit terdahulu yang pernah diderita seperti kanker tulang,
osteomielitis, diabetes militus, pernah melakukan prosedur orthopedi, dll.
4) Riwayat penyaklit keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan patah tulang adalah faktor
predispossisi terjadinya fraktur, seperti osteoporosis yang sering terjadi pada
beberapa keturunan dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara
genetik.
5) Riwayat psikospiritual
Kaji respon emosis klien terhadap penyakit yang dideritanya, peran klien
dalam keluarga, masyarakat, serta respon atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-hari, baik dalam keluarga maupun masyarakat.

b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status
gheneral) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokal)
1) Keadaan umum
Keadaan baik dan buruknya klien.Tanda-tanda gejala yang perlu dicatat
adalah kesadaran diri pasien (apatis, sopor, koma, gelisah, komposmetis
yang bergantung pada keadaan klien), kesakitan atau keadaaan penyakit
(akut, kronis, berat, ringan, sedang, dan pada kasus fraktur biasanya akut)
tanda vital tidak normal karena ada gangguan lokal baik fungsi maupun
bentuk.

Kepala: simetris, tidak ada penonjolan, adanya nyeri kepala

Leher: simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada, muncul ruam-
ruam merah (peteki).

Wajah : Wajah terlihat menahan sakit dan bagian wajah yang lain tidak
mengalami perubahan fungsi dan bentuk. Wajah simetris, tidak ada lesi dan
edema.

Mata: terlihat ruam kemerahan pada kongjungtiva, warna dasar konjungtiva


anemis, Klien yang mengalami fraktur biasanya mengalami perdarahan
sehingga konjungtiva nya anemis.

Telinga : Tes rinn dan weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi
dan nyeri tekan.

Hidung: Tidak ada deformitas, ada pernafasan cuping hidung.

Mulut dan Faring: Tidak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi
perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.

Status mental, observasi penampilan, dan tingkah laku klien. Biasanya status
mental mengalami perubahan.

2) B1 (Breathing)
Pada pemeriksaan sistem pernafasan, didapatkan bahwa klien FES
mengalami kelainaan pernafasan. Pasien mengeluhkan adanya sesak napas
dan nyeri dada. Pada data objektif ditemukan takipnea dan penggunaan otot
bantu pernapasan, dan dapat terjadi hipoksia pada kondisi-kondisi parah.
Pada palpasi thorak, didapatkan taktil fremitus seimbang kanan dan kiri.
Pada auskultasi tidak terdapat suara tambahan.
3) B2 (Blood)
Palpasi nadi meningkat dan iktus cordis teraba, auskultasui suara S1 dan S2
tunggal, serta sering ditemukan adanya suara tambahan pada jantung.
4) B3 (Brain)
Tingkat kesadaran biasanya menurun, adanya gangguan disorientasi, gelisah,
dan terkadang pingsan.

5) B4 (Bladder)
Kaji urine yang meliputi wana, jumlah dan karakteristik urine, termasuk
berat jenis urine, dan frekuensi BAK. Biasanya klien fraktur dengan
komplikasi FES mengalami gangguan ini eliminasi urin.
6) B5 (Bowel)
Inspeksi abdomen: bentuk datar, simetris, tidak ada herniarteri Palpasi:
turgor baik, tidak ada defans muskular dan hepar tidk terabarteri Perkusi:
suiara timpani, ada pantulan gelombang cairan. Auskultasi peristaltik
normal. Inguinal,genital: hernia tidak teraba, tidak ada pembesaran limfe
dan tidak ada kesulitan BAB.
7) B6 (Bone)
Adannya fraktur akan mengganggu secara lokal, baik fungsi motorik,
sensorik maupun peredaran darah.
c. Pemeriksaan saraf kranial
Saraf I: fungsi penciuman tidak ada gangguan.
Saraf II: ketajaman penglihatan normal
Saraf III, IV, VI: tidak ada gangguan mengangkat kelopak mata, pupil
isokor. Saraf V: tidak mengal;ami paralisis pada otot wajah.
Saraf VII: persepsi pengecapan dalam batas normal dan wajah simetris.
Saraf VIII: tidak ditemukan tuli konduktif dan tuli persepsi.
Saraf IX dan X: kemampuan menelan baik
Saraf XI: tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
Saraf XII: lidah simeteris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada
faskulasi. Indra pengecapan normal.
d. Pemeriksaan refleks
Biasanya tidak ditemukan reflek patologis.
e. Pemeriksaan sensori
Daya raba klien FES berkurang terutama pada bagian fraktur, sedangkan indra
yang lain dan kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu, timbul nyeri
akibat fraktur dan nyeri kepala.
f. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan sitologi urin, darah dan dahak dapat mendeteksi gelembung-
gelembung lemak yang bebas atau yang di dalam makrofag. Tes ini
memiliki sensitivitas rendah dan hasilnya dapat negative.
2) Rontgen dada terdapat infiltrat atau konsolidasi pada paru dan adanya
dilatasi sisi kanan jantung.

Gambar 1. Hasil rontgen dada FES


3) CT scan: temuan mungkin normal atau terdapat difus putih dikarenakan
perdarahan ptekie dengan cedera mikrovaskuler. CT scan juga akan
menunjukkan penyebab lain dari penurunan tingkat kesadaran.

Gambar 2. CT scan menunjukkan perubahan hipodens minimal di


wilayah periventricular
4) Analisis gas darah akan menunjukkan hipoksia, PO2 biasanya kurang dari 8
kPa (60 mmHg) dan hipokapnia.
5) Trombositopenia, penurunan hematokrit terjadi 24 sampai 48 jam dan
dihubungkan dengan perdarahan intraalveolar. Kadar kalsium berkurang.
6) Pemeriksaan MRI otak dapat membantu dalam diagnosis serebral emboli
lemak.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan penyumbatan kapiler
pulmo akibat lemak dalam pembuluh darah (00032)
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan kerja paru
(alveoli) akibat lemak dalam pembuluh darah (00030)
c. Nyeri akut berhubungan dengan pelebaran pembuluh darah otak akibat
penyumpatan aliran darah oleh lemak (00132)
d. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan suplai
oksigen ke otak tidak adekuat (00201)
e. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan suplai oksigen
tidak adekuat (00204)
f. Penurunan curah jantung berhubungan dengan penurunan volume sekuncup
(00029)
g. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan pembatasan aktivitas akibat
ketidakseimbangan suplai darah dengan kebutuhan tubuh (00092)
D. Perencanaan Keperawatan
Rencana Perawatan
No Diagnosa Keperawatan
Nursing Out Come (NOC) Nursing Intervention Classification (NIC)
1. Ketidakefektifan pola napas Setelah dilakukan tindakan Manajemen jalan napas dan monitor
berhubungan dengan penyumbatan keperawatan selama ..x 24 jam pernapasan
kapiler pulmo akibat lemak dalam pasien menunjukkan keefektifan
pola nafas, dibuktikan dengan 1. Pantau frekuensi, irama, kedalaman
pembuluh darah (00032) pernafasan.
kriteria hasil:
1. Suara nafas yang bersih, tidak 2. Berikan posisi yang nyaman yaitu
ada sianosis dan dyspnea semifowler
ataupun takipnea 3. Anjurkan pasien untuk melakukan
2. Irama nafas, frekuensi nafas dalam.
pernafasan dalam rentang 4. Kolaborasi dengan dokter untuk
normal (16-20x/menit) pemberian terapi oksigen.
3. TTV dalam batas normal
(TD: 120/80, RR 16-20x/mnt,
Nadi 80-100x/mnt, Suhu
36,5-37,5oC)
4. Tidak terjadi hipoksia
2. Gangguan pertukaran gas Setelah dilakukan tindakan Manajemen jalan napas dan monitor
berhubungan dengan penurunan keperawatan selama ...x24 jam pernapasan
kerja paru (alveoli) akibat lemak pasien menunjukkan pertukaran 1. Monitor respirasi dan status O2
gas yang efektif, dibuktikan
dalam pembuluh darah (00030) 2. Pantau frekuensi, irama, kedalaman
dengan kriteria hasil:
1. Kadar PaO2 dan PaCO2 pernafasan.
dalam rentang normal 3. Berikan posisi yang nyaman yaitu
semifowler
2. Saturasi oksigen normal 4. Anjurkan pasien untuk melakukan
3. Irama nafas, frekuensi nafas dalam.
pernafasan dalam rentang 5. Kolaborasi dengan dokter untuk
normal (16-20x/menit) pemberian terapi oksigen.
Terapi oksigen
1. Periksa alat pemberian oksigen,
sesuai indikasi atau tidak
2. Berikan pendidikan kesehatan pada
pasien dan keluarga terkait pemberian
oksigen
3. Berikan kadar oksigen sesuai indikasi
3. Nyeri akut berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakanPain management
fraktur tulang, spasme otot, keperawatan selama ...x24 jam 1. Lakukan pengkajian nyeri secara
edema,kerusakan jaringan lunak diharapkan nyeri hilang/ komprehensif (PQRST)
(00132) berkurang dengan kriteria hasil: 2. Ajarkan tentang teknik non
a. Klien mampu mengontrol nyeri farmakologik seperti teknik nafas
(tahu penyebab nyeri dan dalam
mampu menggunakan teknik 3. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
4. Kolaborasi pemberian analgesik
non farmakologik untuk
mengurangi nyeri)
b. Mampu mengenali nyeri (skala,
intensitas, frekuensi)
c. Klien menyatakan rasa nyaman
setelah nyeri berkurang
4. Ketidakefekifan perfusi jaringan setelah dilakukan tindakan 1. Ukur tanda-tanda vital, observasi
perifer berhubungan dengan suplai keperawatan selama ..;x 24 jam pengisian kapiler, warna
oksigen tidak adekuat (00204) pasien menunjukkan perfusi yang kulit/membrane mukosa, dasar kuku.
adekuat 2. Auskultasi bunyi napas
3. Observasi keluhan nyeri dada,
Kriteria Hasil : palpitasi.
4. Evaluasi respon verbal melambat,
a. Tanda-tanda vital stabil
b. Membran mukosa berwarna agitasi, gangguan memori, bingung.
5. Observasi hasil pemeriksaan
merah muda
c. Pengisian kapiler laboratorium darah lengkap.
d. Haluaran urine adekuat 6. Berikan transfusi darah
e. Tidak ada ruam ptekie lengkap/packed sesuai indikasi
7. Berikan oksigen sesuai indikasi
5. Penurunan curah jantung Setelah dilakukan tindakan Perawatan Jantung
berhubungan dengan penurunan keperawatan selama ...x24 jam
1. Monitor tanda-tanda vital
volume sekuncup (00029) diharapkan penurunan curah 2. Evaluasi nyeri dada (intensitas, lokasi,
jantung teratasi dengan kriteria radiasi, durasi, dan faktor yang
.
hasil: memicu serta meringankan nyeri dada
a. Tekanan sistol dan diastol 3. Kolaborasikan dengan tim medis
dalam rentang normal
b. Denyut nadi perifer dalam
rentang normal
c. Nilai PaO2 dan PaCO2 dalam
rentang normal
d. Saturasi oksigen dalam
rentang normal
7. Intoleransi aktivitas berhubungan Setelah dilakukan tindakan Perawatan jantung: Rehabilitasi
dengan pembatasan aktivitas akibat keperawatan selama ....x24 jam
1. Instruksikan pada pasien dan keluarga
ketidakseimbangan suplai darah diharapkan pasien dapat toleransi terkait faktor risiko jantung misalnya
dengan kebutuhan tubuh. (00092) terhadap aktivitas dengan kriteria mengehentikan kebiasaan merokok,
hasil: diet, dan olahraga)
a. Saturasi oksigen dalam 2. Berikan pendidikan kesehatan terkait
rentang normal saat pertimbangan khusus terkait dengan
beraktivitas
b. TTV normal saat beraktivitas aktivitas sehari-hari misalnya
c. Tidak ada perubahan warna pembatasan aktivitas dan meluangkan
kulit (pucat) saat beraktivitas waktu istirahat
3. Kolaborasikan dengan tenaga
kesehatan lainnya (gizi dan fisioterapi)
DAFTAR PUSTAKA

Babalis GA, Yiannakopoulos CK, Karliaftis K, et al. 2004. Prevention of


posttraumatic hypoxaemia in isolated lower limb long bone fractures with a
minimal prophylactic dose of corticosteroids.; Injury. Vol 3: 17-309.
Bulechek, G. M., H. K. Butcher, J. M. Dochterman, dan C. M. Wagner. 2016.
Nursing Invention Classifications (NIC). Sixth Edition. Singapore: Elsevier.
Terjemahan oleh I. Nurjannah, R.D. Tumanggor. 2016. Nursing Invention
Classifications (NIC) Edisi Bahasa Indoensia. Edisi Keenam. Yogykarta:
Mocomedia.

Buskens CJ, Gratama JW, Hogervorst M, et al. 2008. Encephalopathy and MRI
abnormalities in fat embolism syndrome: a case report. Med Sci Monit. Vol
11: 9-125.
Gupta RC, et al. 2013. Fat Embolism Syndrome. Lung India. 30:47-53.
Jain. S, et al. 2008. Journal Fat Embolism Syndrome. www.japi.org. (diakses pada
27 Mei 2018)
Kirkland, L. 2009. Fat embolism. Emedicine
Moorhead, Jhonson dan Swanson. 2016. Nursing Outcomes Classifications
(NOC). Fifth Edition. Singapore: Elsevier. Terjemahan oleh I. Nurjannah,
R.D. Tumanggor. 2016. Nursing Outcomes Classifications (NOC)
Pengukuran Outcomes Kesehatan Edisi Bahasa Indoensia. Edisi Kelima.
Yogykarta: Mocomedia.

NANDA. 2014. Nanda International Inc. Nursing Diagnoses: Definition and


Classifications 2015-2017. Tenth Edition. Amerika: Nanda International.
Terjemahan oleh B.A. Keliat, H.D. Windarwati, A. Parwirowiyono, M.A.
Subu. 2015. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2015-2017.
Edisi 10. Jakarta: EGC.Potter, P.A. dan A.G. Perry. 2005. Buku Ajar
Fundamental Keperawatn: Konsep, Proses, dan Praktek. Edisi 4. Jakarta:
EGC.

Shaikh, Nissar. 2009. Emergency management of fat embolism syndrome. Journal


Emergency Trauma Shock. Vol 2: 29-33.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2700578/ (diakses pada 27
Mei 2018)

Anda mungkin juga menyukai