Anda di halaman 1dari 30

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah

memberikan rahmat-Nya untuk menyelesaikan laporan kasus ini yang berjudul

“Tatalaksana Herpes Zoster pada Geriatri di Puskesmas”.

Laporan kasus ini dibuat sebagai salah satu syarat penyelesaian Program

Internsip Dokter Indonesia. Keberhasilan penyelesaian laporan kasus ini tidak

lepas dari bantuan beberapa pihak. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima

kasih kepada:

1. dr. Budhi Mulyanto, selaku KABID SDK, Farmasi dan POM Kabupaten Lebak

2. Yeni Srimulyani, S.Kep, NERS, selaku Kasie SDMK dan SIK Kabupaten Lebak

3. H. Rochmat Pujiraharjo, SKM.MM, selaku kepala Puskesmas Mandala

4. dr. Rezi Desianti, selaku pendamping internsip selama rotasi di Puskesmas

Mandala yang telah memberikan masukan

5. dr. Dianatul Muntaha, selaku dokter pelaksana di Puskesmas Mandala.

6. Pasien yang telah ikut berpartisipasi dalam laporan kasus ini

7. Orangtua, keluarga serta teman-teman Dokter Internsip yang telah memberikan

dukungan dan doa dalam penyelesaian laporan kasus ini.

Saya menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan

kasus ini sehingga saya mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak. Saya

berharap laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan berbagai

pihak terkait.

Lebak, 2 Februari 2021

Penulis

i
LEMBAR PENGESAHAN

“TATALAKSANA HERPES ZOSTER PADA GERIATRI DI PUSKESMAS”

LAPORAN KASUS

FENY NURUL RAMADHANI

Lembar ini menyatakan bahwa kami telah memeriksa salinan laporan kasus hasil
karya penulis dengan nama di atas dan menyatakan telah lengkap dan memuaskan
dalam segala aspek untuk diajukan dalam presentasi laporan kasus.

Lebak, 2 Februari 2021

Kepala Puskesmas Mandala Dokter Pendamping

H. Rochmat Pujiraharjo, SKM.MM dr. Rezi Desianti


NIP: 197711111997031002

Dokter Pelaksana Puskesmas Penulis

dr. Dianatul Muntaha dr. Feny Nurul Ramadhani


NIP : 198105192010012008 SIP: 503/4-SIPDI/DPM/2021

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. ii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii

DAFTAR TABEL.................................................................................................. v

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ vi

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ...................................................................................................1

1.2 Permasalahan ......................................................................................................2

1.3 Tujuan................................................................................................................. 2

1.4 Sasaran ............................................................................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Herpes Zoster .......................................................................................3

2.2 Etiologi ...............................................................................................................3

2.3 Epidemiologi........................................................................................................3

2.4 Patofisiologi .........................................................................................................4

2.5 Gambaran Klinis .................................................................................................5

2.6 Pemeriksaan Penunjang .......................................................................................7

2.7 Diagnosis & Diagnosis Banding ........................................................................8

2.8 Penatalaksanaan .................................................................................................10

2.9 Komplikasi ……………...................................................................................13

2.10 Pencegahan ......................................................................................................14

2.11 Prognosis …....................................................................................................14

BAB III LAPORAN KASUS …………………………………………………...….15

iii
BAB IV PENUTUP

4.1 Analisis Kasus ...................................................................................................20

4.2 Kesimpulan ......................................................................................................22

4.3 Saran ................................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... .23

iii
DAFTAR TABEL

iv

Tabel 2.1. Komplikasi Herpes Zoster pada populasi tidak imunokompromais .........13

Tabel 2.2 Komplikasi Herpe Zoster pada kulit, organ visceral dan saraf…………..13

v
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Lesi pada Herpes zoster .............................................................................. 6

Gambar 2. Perkembangan Lesi Herpes zoster .............................................................. 6

Gambar 3. Sindrom Ramsay-Hunt… ........................................................................... 7

Gambar 4. Pewarnaan Tzanck ...................................................................................... 7

Gambar 5. Pengobatan Antiviral ................................................................................ 11

Gambar 6. Alur Penatalaksanaan Herpes zoster ......................................................... 12

Gambar 7. Tatalaksana Neuralgia post-Herpetik ....................................................... 12

vvi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Herpes zoster (HZ) adalah penyakit infeksi virus yang sering terjadi pada geriatri.
Herpes zoster terjadi akibat reaktivitasi virus varisela zoster (VVZ) yang menetap laten
pada ganglia radiks dorsalis setelah infeksi primer. Gambaran klinis herpes zoster berupa
ruam kulit dengan distribusi dermatomal. Herpes zoster dapat menurunkan kualitas hidup
seseorang akibat nyeri hebat yang dirasakan pada stadium prodromal, saat erupsi kulit
(nyeri akut), dan setelah lesi sembuh, yang dikenal sebagai neuralgia pascaherpetik
(NPH).1
Angka kejadian HZ dan NPH meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Lebih
dari dua pertiga kasus terjadi pada usia di atas 50 tahun dan kurang dari 10% di bawah
20 tahun. Peningkatan kejadian HZ berhubungan dengan bertambahnya usia terkait
perubahan sistem imunitas terhadap VVZ yang diperantarai sel limfosit T spesifik.1
Herpes zoster dan NPH dapat mempengaruhi kualitas hidup orang tua, baik pada
kondisi akut dan kronis. Penegakan diagnosis awal serta penanganan yang efektif sangat
diperlukan untuk mengatasi keadaan akut, membatasi berkembangnya penyakit,
membatasi lama penyakit, menurunkan risiko nyeri dan lesi di kulit, serta mencegah
komplikasi HZ sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. Laporan kasus ini
akan membahas tentang pengenalan gejala klinis HZ pada geriatri, penegakan diagnosis,
penanganan dini HZ, dan pencegahan NPH sehingga dapat memberikan informasi,
pemahaman, dan tata laksana efektif pada populasi geriatri.2

1
1.2 PERMASALAHAN

1. Herpes zoster adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh reaktivasi virus
varisela zoster (VVZ) yang laten berdiam terutama dalam sel neuronal yang
menyebar sesuai dermatom.
2. Penyebab reaktivasi tidak sepenuhnya diketahui tetapi diperkirakan terjadi
pada saat terjadi penurunan imunitas seluler.
3. Kejadian HZ meningkat dramatis seiring dengan bertambahnya usia. Sekitar
30% populasi akan mengalami HZ semasa hidupnya. Bahkan pada usia 85
tahun, 50% akan mengalami HZ.
4. Hampir 90% mengalami nyeri akut atau kronis yang menganggu kualitas
hidupnya. Bahkan berdasarkan pengukuran derajat nyeri pada literatur, nyeri
akut HZ berada pada derajat yang lebih nyeri daripada nyeri melahirkan.
5. Pada usia lanjut komplikasi sering terjadi seperti neuralgia paska HZ (NPH)
yang meningkat 10-40% kasus dan motor neuropati 1-5%.
6. Lebih dari 53% dokter mengalami kesulitan mendiagnosis HZ sebelum
muncul erupsi kulit, sehingga memperlambat pengobatan.
7. Kurangnya pengetahuan pasien mengenai penyakit herpes zoster dan
komplikasinya sehingga tatalaksana sedini mungkin sulit tercapai.

1.3 TUJUAN

1. Sebagai bahan evaluasi untuk mendiagnosis secara cepat dan memberikan


tatalaksana yang efektif, aman dan tepat waktu, untuk menghilangkan nyeri
akut dan mencegah komplikasi yang dapat terjadi.
2. Sebagai bahan untuk menambah ilmu terutama dalam hal pencegahan untuk
menurunkan insidensi HZ, NPH, serta menurunkan beban penyakit.

1.4 SASARAN

Semua tenaga kesehatan yang terlibat dalam penanganan kasus herpes zoster,
termasuk dokter spesialis, dokter umum, bidan dan perawat.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI

Herpes zoster atau shingles adalah manifestasi klinis neurokutan yang disebabkan
oleh reaktivasi dari infeksi varisela (chicken pox) yang laten. Penyakit ini bersifat akut
dan self-limiting pada pasien yang imunokompeten.3,4
Virus varisela zoster (VVZ) berdiam secara laten pada ganglion saraf kranialis atau ganglion
spinalis, dengan penyebaran virus pada saraf sensoris ke dermatom. Seseorang dengan riwayat
varisela memiliki 20% hingga 30% kemungkinan untuk mengalami insidensi herpes
zoster. Penyakit ini memiliki manifestasi klinis berupa erupsi vesikular berkelompok
dengan dasar eritematosa, yang disertai nyeri radikular yang umumnya terbatas pada satu
dermatom dan bersifat unilateral. 4,5

2.2 ETIOLOGI

Virus yang menyebabkan penyakit ini adalah virus varisela-zoster (VVZ) yang
merupakan bagian dari famili Herpesviridae. Struktur dari virus yakni memiliki
karakteristik nukleokapsid ikosahedral, dengan inti DNA untai ganda (diameter: 150-200
mm). Virus ini, apabila individu seronegatif mengalami infeksi primer, akan
menyebabkan manifestasi klinis berupa varisela zoster, dan pada reaktivasi akan
menyebabkan herpes zoster. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa penyakit ini
didapatkan akibat kontak dengan orang yang sedang terkena penyakit varisela atau herpes
zoster. 6,7

2.3 EPIDEMIOLOGI

Insidensi herpes zoster terjadi setiap tahunnya tanpa adanya prevalensi musiman.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Kawai, et al. Pada tahun 2014, insidensi herpes
zoster cenderung meningkat di seluruh dunia, pada seluruh kelompok usia. Lebih dari
90% orang dewasa yang telah terinfeksi oleh VVZ berisiko terkena herpes zoster. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Kalman, et al. didapatkan bahwa insidensi berdasarkan
distribusi usia memiliki dua frekuensi puncak, yakni pada pasien berusia 20-29 tahun dan
60-69 tahun.8,9

3
Pada data yang dikumpulkan oleh Yawn, et al. pada tahun 2013, rata-rata penderita
herpes zoster berusia 59,4 tahun, dengan 68% kasus terjadi pada individu berusia 50 tahun
keatas. Tidak banyak data mengenai epidemiologi herpes zoster di Indonesia. Dalam buku
Herpes Zoster FK UI, disebutkan bahwa terdapat total 2232 pasien herpes zoster di 13
rumah sakit pendidikan di Indonesia dalam periode 2011-2013. Puncak kasus herpes zoster
terjadi pada usia 45-64 tahun, yakni sebanyak 851 kasus (37,95%).2,5,10
Insidensi penularan oleh individu yang menderita herpes zoster rendah, namun
dilaporkan ada 15% resiko menularkan Virus Varisela Zoster (VVZ) melalui kontak
langsung dengan pasien seronegatif dan seropositif. Pada kontak dengan pasien seronegatif,
maka kontak tersebut akan terkena infeksi primer berupa varisela (cacar air/ chicken pox),
kemudian virus bermigrasi dari lesi kulit menuju ke ganglia saraf sensorik spinalis dan
kranialis melalui akson saraf serta menjadi dorman. Jika kontak dengan pasien seropositif,
dapat terjadi transmisi yang menyebabkan manifestasi dari herpes zoster. 11,12
Hope-Simpson pada tahun 1965 pertama kali mempostulasikan bahwa paparan ulang
terhadap VVZ dapat mencegah reaktivasi VVZ. Vaksinasi terhadap varisela dapat
memberikan 2 dampak terhadap epidemiologi herpes zoster. Pertama, populasi orang
dewasa yang membawa VVZ liar yang dorman akan lebih sedikit. Kedua, orang dewasa
dengan VVZ dorman akan lebih sedikit berkontak dengan anak-anak yang terkena varisela,
sehingga kemungkinan reaktivasi semakin kecil. Beberapa penelitian yang dilakukan di
Amerika melaporkan adanya peningkatan insidensi herpes zoster post-era vaksinasi
varisela, namun penelitian yang dilakukan oleh Leung et al, Hales et al, dan Yawn et al
menemukan bahwa rasio insidensi terus meningkat sebelum dan sesudah era vaksinasi,
sehingga disimpulkan bahwa peningkatan insidensi bukan akibat dari program vaksinasi.10

2.4 PATOFISIOLOGI

Infeksi primer oleh virus varisela-zoster (VVZ) menyebabkan penyakit varisela


zoster (cacar air/chicken pox). Pada perjalanan penyakit varisela zoster, terjadi viremia
secara hematogen, dan manifestasi dari penyakit varisela mulai muncul. Setelah fase
tersebut berakhir, fase penyembuhan terjadi dimana terjadi pemulihan gejala penyakit
varisela. VVZ berpindah dari lesi di kulit ke ujung serabut saraf sensorik, kemudian menuji
ke ganglion dorsalis spinalis dan kranialis, dan tetap dorman disana sampai terjadinya
reaktivasi. Reaktivasi ini disebabkan oleh menurunnya aktivitas imun pada tubuh pasien.
Penyebab dari turunnya sistem imunitas tubuh adalah usia, status imunokompromais,

4
kondisi komorbid seperti gagal ginjal kronis, serta stres.4
Pada saat imunitas rendah inilah virus akan bereplikasi dan menyebar di dalam
ganglion, yang menyebabkan nekrosis neuronal dan inflamasi. Proses ini biasanya disertai
neuralgia. Kemudian VVZ menyebar ke saraf sensoris, menyebabkan neuritis hebat, dan
dilepaskan dari ujung serabut saraf sensorik di kulit sehingga memunculkan lesi kulit
dengan karakteristik vesikel zoster berkelompok (herpetiformis). Herpes zoster paling
sering terjadi di satu dermatom. Dermatom yang biasanya diserang adalah dermatom
dimana ruam varisela memiliki densitas paling tinggi, yaitu dermatom yang diinervasi oleh
divisi oftalmik dari saraf trigeminal dan ganglion saraf sensorik dari T1 - L2. Kadang-
kadang virus ini juga menyerang ganglion anterior bagian motorik kranialis sehingga
memberikan gejala-gejala gangguan motorik, seperti kelumpuhan lokal. Apabila terjadi
penyebaran VVZ dalam sistem saraf pusat , dapat menyebabkan meningoensefalitis, namun
insidensinya sangat rendah.6,11

2.5 GAMBARAN KLINIS

Gejala prodromal pada herpes zoster biasanya terjadi selama 1-10 hari, sebelum
munculnya lesi pada kulit. Gejala tersebut biasanya berupa sensasi abnormal seperti
kesemutan atau nyeri otot lokal, nyeri tulang, pegal, paresthesia sepanjang dermatom, gatal,
rasa terbakar dari ringan sampai berat. Nyeri dapat menyerupai sakit gigi, pleuritis, infark
jantung, nyeri duodenum, kolesistitis, kolik ginjal atau empedu, dan apendisitis. Gejala
konstitusi seperti nyeri kepala, demam, dan malaise juga dapat dijumpai. Ada juga insidensi
dimana pasien mengalami neuralgia akut tanpa diikuti erupsi kulit, disebut zoster sine
herpete.3,12

Erupsi pada kulit muncul setelah gejala prodromal. Erupsi yang muncul berupa
vesikel berkelompok yang mengikuti pola dermatom dari saraf yang terkena. Pada
umumnya, 1-3 dermatom yang terkena. Lesi bersifat unilateral. Pada awalnya, lesi berupa
makula eritematosa yang berkembang menjadi lesi vesikular dalam 3-5 hari pertama.
Makula akan berkembang menjadi papul. Akan terbentuk vesikel berisi cairan jernih yang
berkelompok dengan dasar eritematosa dalam 12-24 jam yang akan berubah menjadi pustul
pada hari ke-3. Vesikel yang awalnya berisi cairan jernih akan menjadi keruh dan akhirnya
pecah menjadi krusta dalam 7-10 hari, lalu krusta akan menetap selama 2-4 minggu. Pada
sebagian besar kasus herpes zoster, erupsi kulit yang sembuh secara spontan tanpa gejala
sisa. 4,13

5
Gambar 1. Lesi pada Herpes Zoster

Dermatom yang paling sering terinfeksi adalah T1-L2, yaitu mencakup bagian torso,
pinggul, pinggang, pangkal paha, dan bagian ventral dari tungkai atas. Regio ini dipersarafi
oleh saraf trigeminal. Erupsi paling sering dilaporkan pada regio thoracalis, dengan
insidensi >50%. Apabila terjadi keterlibatan saraf maxillaris atau mandibularis, dapat
timbul erupsi pada membran mukosa dalam mulut, faring, laring serta liang telinga. Nyeri
pada lesi di dalam mulut inilah yang sering disalahartikan oleh pasien sebagai nyeri gigi.
Erupsi pada mukosa mulut, faring, laring, dan telinga ini bila disertai paresis fasialis,
gangguan lakrimasi dan pengecap pada 2/3 anterior lidah, serta vertigo dengan atau tanpa
tinitus. Gejala-gejala klinis ini disebut sebagai Sindrom Ramsay-Hunt. Apabila terjadi
keterlibatan saraf oftalmika, maka akan terjadi herpes zoster oftalmika dimana erupsi
terjadi di sekitar mata, terutama pada bagian dahi. Komplikasi dari herpes zoster otalmika
adalah keratitis neurotrofik dan ulserasi kronik.14,15

Gambar 2. Perkembangan Lesi Herpes Zoster

6
Gambar 3. Sindrom Ramsay-Hunt

2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk penegakkan diagnosis adalah


adalah Tzank smear. Sediaan yang digunakan adalah kerokan dari dasar vesikel yang baru,
kemudian diberikan pewarnaan Giemsa, methylene blue atau pewarnaan Wright, dan
kemudian diamati dengan mikrosokop untuk melihat sel- sel raksasa berinti banyak. Namun
hasil dari pemeriksaan ini tidak dapat dibedakan dengan infeksi herpes simpleks. Terdapat
pemeriksaan penunjang yang lebih spesifik dan sensitif untuk herpes zoster yaitu kultur
virus dan polymerase chain reaction (PCR). Pada pemeriksaan ini, akan ditemukan formasi
multinucleate epidermal giant cells. Nukleus multipel yang terbentuk akan bergabung
menyerupai puzzle. Meskipun teknik ini sering digunakan, kesuksesannya bergantung pada
kemampuan interpretasi dari hasil tersebut. Tingkat keakuratan adalah 60-90% dengan
false-positive 3-13%.15,16

Gambar 4. Pewarnaan Tzanck

7
2.7 DIAGNOSIS & DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis pada umumnya ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik,


berdasarkan lesi khas yakni vesikel berkelompok dan dermatomal serta disertai rasa nyeri.
Pada stadium pre-erupsi, herpes zoster sangat sulit didiagnosa karena gejala prodromal
tidak khas. Pada stadium erupsi penderita herpes zoster memiliki gambaran klinis berupa
vesikel berkelompok timbul dermatomal dan terasa nyeri, dengan gambaran lesi khas
herpes zoster berupa vesikel multipel ditutupi krusta, dengan dinding tebal, berkelompok
disertai papul-papul eritematosa dengan dasar eritematosa yang bersifat unilateral. Untuk
kasus-kasus yang tidak khas pemeriksaan penunjang Tzanck smear dapat dilakukan dan
ditemukan sel- sel raksasa berinti banyak.5

Diagnosis banding dari herpes zoster adalah dermatitis venenata, varisela, herpes
simpleks, DKA, impetigo, pemphigus bulosa, pemphigus vulgaris. Varisela merupakan
manifestasi klinis dari infeksi primer VVZ, dengan gambaran klinis erupsi kulit berupa papul
yang kemudian berubah menjadi vesikel dengan dasar eritematosa berbentuk gambaran
tetesan embun (tear drops). Terdapat gambaran polimorf karena terdapat lesi baru yang
muncul dalam waktu tidak bersamaan. Penyebaran terutama di daerah badan kemudian
menyebar secara sentrifugal ke wajah dan ekstremitas, serta dapat menyerang selaput lendir
mata, mulut, dan saluran napas bagian atas.3,5

Dermatitis venenata merupakan dermatitis kontak iritan akut lambat yang disebabkan
oleh serangga, salah satunya karena racun Paederus yang menyebabkan keluhan gatal, rasa
panas terbakar, dan kemerahan pada kulit dan timbul dalam 12-48 jam setelah kulit terpapar.
Lesi biasanya berbentuk linear, dengan bentuk plak eritematosa dengan vesikel, pustul dan
bula yang akan berevolusi menjadi lepuh yang terasa seperti terbakar. Bentuk linear ini
mengindikasikan paparan smash and smear yaitu kumbang yang hancur karena tepukan
akan menimbulkan sebaran toksin paederin pada kulit pasien. Lesi juga akan berbentuk
khas kissing lesion pada daerah dekat lipatan yang kontak dengan lesi.5,17

Herpes simpleks merupakan infeksi akut yang disebabkan oleh virus herpes simpleks
baik tipe 1 maupun 2 yang ditandai dengan adanya vesikel yang berkelompok di atas kulit
yang eritematosa pada daerah dekat mukokutan, sedangkan infeksi dapat berlangsung baik
primer maupun rekuren. Infeksi primer oleh virus herpes simpleks (VHS) tipe 1 biasanya
dimulai pada usia anak- anak (6-16 tahun), sedangkan VHS tipe 2 biasanya terjadi pada
usia 20-29 tahun, dan berhubungan dengan peningkatan aktivitas seksual. Tempat

8
predileksi VHS tipe 1 di daerah ke atas terutama di daerah mulut dan hidung, biasanya
dimulai pada usia anak-anak inokulasi dapat terjadi secara kebetulan, misalnya kontak kulit
pada perawat, dokter gigi dengan kutikula yang robek (herpetic whitlow). Virus ini juga
sebagai penyebab herpes ensefalitis. Infeksi primer oleh VHS tipe 2 mempunyai predileksi
di daerah pinggang ke bawah, terutama di daerah genital, juga dapat menyebabkan herpes
meningitis dan infeksi neonatus. Lesi yang dijumpai berupa vesikel berkelompok di atas
kulit eritematosa, berisi cairan jernih dan kemudian menjadi seropurulen, dapat menjadi
krusta dan kadanag- kadang mengalami ulserasi yang dangkal, biasanya sembuh tanpa
sikatriks. Infeksi rekuren atau reaktivasi juga dapat terjadi saat infeksi VHS tidak
menimbulkan gejala namun VHS dapat ditemukan pada ganglion dorsalis. Reaktivasi
terjadi karena adanya mekanisme pacu seperti demam, infeksi, kurang tidur, hubungan
seksual, gangguan emosional, menstruasi. Dapat pula timbul akibat jenis makanan dan
minuman yang merangsang.3,4

Impetigo bulosa adalah infeksi intraepidermal yang disebabkan oleh strain S. aureus
Insidensi impetigo tersering pada usia anak-anak. Faktor predisposisi antara lain adalah
kebersihan yang kurang baik, dermatitik kronis, tempat tinggal yang padat, dan jejas pada
kulit. Pada pemeriksaan fisik ditemukan bula yang jernih atau keruh yang mudah ruptur.
Penyebaran lesi secara diskret. Terdapat krusta tipis yang timbul setelah ruptur. Pada tepi
krusta juga nampak gambaran collarette yang merupakan remnan dari atap bula. Tempat
predileksi adalah wajah, leher, dan ekstremitas. Impetigo dapat meluas karena pasien
menggaruk lesi.3

Impetigo krustosa memiliki karakteristik lesi yaitu makula, papula, dan pustul yang
mudah pecah menjadi krusta berwarna kuning madu (honey-colored crust). Impetigo
krustosa lebih sering terjadi dibanding impetigo bulosa. Tempat predileksi adalah wajah
terutama sekitar hidung dan mulut, dan ekstremitas. Pasien dapat mengeluhkan gatal namun
keluhan nyeri jarang ditemukan.3,5

Pemfigus bulosa merupakan penyakit autoimun yang ditandai dengan bula yang
berukuran besar dan tegang yang muncul pada kulit normal atau eritematosa/urtikarial yang
terasa gatal. Karakteristik histopatologis dari penyakit ini adalah ditemukannya bula
subepidermal. Kondisi ini muncul pada orang usia lanjut pada dekade ke-6, ke-7 dan ke-8.
Tempat predileksi adalah lipat paha, aksila, dan daerah-daerah fleksural. Sekitar sepertiga
dari pasien mengalami keterlibatan mukosa. Bula pada penyakit ini tidak meluas ke
samping sehingga tanda Nikolsky (-), berbeda yang ditemui pada pemfigus vulgaris.

9
Penyakit ini biasanya sembuh tanpa sikatriks. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
untuk mendiagnosa penyakit ini adalah immunoflouresence direk (kulit) dan indirek (serum)
dengan penemuan linear band IgG dan komplemen C3 yang terdeposisi di subepidermal di
mana bula terbentuk.18

Pemfigus vulgaris merupakan penyakit yang cukup jarang terjadi, dan disebabkan
oleh suatu proses autoimun yang memiliki ciri timbul bula pada kulit dan membran mukosa,
Penyakit ini pada umumnya timbul pada usia tua atau paruh baya. Bula yang timbul
superfisial, berdinding kendur, dengan ukuran 1- 10 cm. Bula mudah ruptur dengan
meninggalkan erosi denuded, berdarah, dan berkrusta serta tanda Nikolsky (+). Mukosa
rongga mulut hampir selalu terlibat, dan seringkali merupakan lokasi yang pertama kali
muncul. Keluhan subjektif yang timbul pada pasien seringkali nyeri dan jarang gatal.
Pemeriksaan penunjang yaitu direk dan indirek immunoflouresence dengan penemuan IgG
dan komplemen C3 yang terdeposisi diantara sel-sel epidermal. Pemfigus bulosa dan
pemfigus vulgaris merupakan benyakit bula autoimun yang timbul pada usia lanjut.3,18

2.8 PENATALAKSANAAN

Pengobatan sistemik terbagi menjadi pemberian antivirus, analgetik, dan


antidepresan atau antikonvulsan.2 Obat antivirus terbukti menurunkan durasi lesi herpes
zoster dan derajat keparahan nyeri herpes zoster akut. Efektivitas pemberian obat antivirus
apabila diberikan dalam 72 jam sejak gejal pertama kali muncul. Terdapat keadaan-keadaan
khusus di mana inisiasi antivirus tetap dilakukan meskipun onset sudah melebihi 72 jam
yaitu pada herpes zoster yang melibatkan saraf kranial (saraf kranial divisi oftalmika,
fasialis, vestibulokoklear), lepuh baru masih muncul, dan pasien- pasien dengan usia
ekstrim di mana respon imun kurang efektif. Untuk pasien-pasien imunokompromais
dan/atau dengan herpes zoster yang diseminata, antivirus yang dapat diberikan adalah
asiklovir secara intravena. Sedangkan, antivirus oral secara umum dapat diberikan dengan;3,5

• Asiklovir 800 mg 5x1 selama 7 hari

• Famsiklovir 500 mg 3x1 selama 7 hari

• Valasiklovir 1000 mg 3 x 1 selama 7 hari

10
Gambar 5. Pengobatan Antiviral

Analgetik diberikan untuk meredakan gejala nyeri pada pasien, dan untuk mencegah
kejadian NPH. Biasanya jika nyeri akut pada pasien ringan, respon terhadap AINS (Anti
Inflamatori Non- Stereoid) seperti asetosal, piroksikam, ibuprofen, diklofenak). Atau
analgetik non-opioid (parasetamol, tramadol, asam mefenamat) cukup baik. Kadang-
kadang untuk pasien dengan nyeri kronik berat, dibutuhkan obat golongan opioid (kodein,
morfin atau oksikodon). Penggunaan kortikosteroid masih kontroversial, namun hingga
sekarang masih kurang direkomendasikan. Penelitian-penelitian terakhir menunjukkan
bahwa kombinasi terapi asiklovir dengan antidepresan trisiklik atau gabapentin sejak awal.
Pengobatan topikal yang dapat diberikan adalah analgetik topikal berupa kompres terbuka
dengan solusio Burowl dan solusio Calamin pada lesi akut untuk mengurani nyeri dan
pruritus. Kompres solusio Burowl (aluminium asetat 5%) dilakukan 4-6kali/ hari selama
30-60 menit.4

11
Gambar 6. Alur Penatalaksanaan Herpes Zoster

Gambar 7. Tatalaksana Neuralgia Post-Herpetik

12
2.9 KOMPLIKASI

Komplikasi yang sering terjadi adalah neuralgia pasca herpes (NPH), yaitu nyeri akut
yang masih menetap di area yang terkena walaupun kelainan kulitnya sudah mengalai
resolusi selama setidaknya 3 bulan. NPH terjadi sekitar 10-15% pada seluruh kasus herpes
zoster dan mempunyai asosiasi yang kuat dengan umur. Semakin tua usia semakin besar
pula kemungkinan pasien untuk menderita NPH. 19,20

Ensefalitis herpes zoster juga termasuk dalam komplikasi herpes zoster. Faktor risiko
terjadinya ensefalitis herpes zoster adalah imunitas yang terganggu sehingga infeksi herpes
zoster berulang, keterlibatan saraf kranial atau servikal, atau infeksi diseminata. Manifestasi
klinis adalah delirium yang muncul beberapa hari setelah erupsi vesikel. Penyakit ini dapat
menyebabkan stroke dan apabila terjadi progonosis pasien buruk.15

13
2.10 PENCEGAHAN

Pencegahan dengan melakukan vaksinasi booster varisela untuk usia 60 tahun keatas.
Pemberian vaksin herpes zoster dapat menurunkan insidensi herpes zoster dan insidensi
komplikasi NPH. Efektivitas vaksin dipengaruhi oleh faktor usia penerima, vaksin
memberikan hasil lebih baik pada kelompok usia lebih muda (60 – 69 tahun) dibandingkan
dengan kelompok usia 70 tahun atau lebih. Adapun efek samping yang sering ditemukan
bersifat lokal pada lokasi penyuntikan, seperti eritema, nyeri, bengkak, dan gatal.10,16,20

2.11 PROGNOSIS

Herpes zoster pada individu imunokompeten tanpa disertai komplikasi mempunyai


prognosis yang pada umumnya sangat baik. Sedangkan pada individu imunokompromais,
angka morbiditas dan mortalitasnya signifikan. Dalam kasus ini, dengan menghilangkan
semua lesi yang ada, penyakit ini tidak atau jarang residif.

14
BAB III

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. B
Usia : 60 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Status : Menikah
Alamat : Muhara
Agama : Islam
Pekerjaan : Pensiunan swasta
No. MR : 29945

ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 21 Januari 2021 pukul 09.30
WIB di poli umum Puskesmas Mandala.

Keluhan Utama

Timbul lepuh disertai bercak kemerahan dan rasa nyeri pada wajah bagian kanan sejak
7 hari sebelum ke puskesmas.

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien laki-laki berusia 60 tahun datang dengan keluhan timbulnya lepuh beserta
bercak-bercak kemerahan disertai nyeri pada wajah bagian kanan sejak 7 hari sebelum ke
puskesmas. Lesi yang pertama kali muncul berupa bercak kemerahan pada pipi sisi kanan
yang disertai dengan nyeri dengan karakteristik perih terlebih saat disentuh.

Keesokan harinya, muncul tonjolan-tonjolan pada lepuh yang berisikan cairan jernih.
Keesokan harinya, bercak-bercak merah mulai menyebar diseluruh wajah sisi kanan. 2 hari
kemudian, lepuh pada bagian pipi tersebut mulai tampak keruh dan sekitar 1 hari yang lalu
lepuh mulai pecah dan tertutup cairan mengering.

15
Pasien menyangkal keluhan demam, nyeri dan pegal pada seluruh tubuh. Pasien
menyangkal adanya keluhan BAB dan BAK, mual muntah, dan penurunan berat badan.
Nyeri dirasakan seperti pegal, hanya pada daerah yang timbul lepuh dan bercak kemerahan,
tidak ada penjalaran. Pasien menjelaskan bahwa nyeri akan semakin meningkat jika kulit
wajah disentuh. Pasien terganggu akibat keluhan yang dideritanya sehingga sulit tidur.
Pasien menyangkal adanya keluhan gatal dan kesemutan.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien menyangkal pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Pasien mengaku
pernah terkena penyakit cacar air pada saat usia SD. Riwayat penyakit kronis berupa
diabetes, hipertensi, kolesterol dan asam urat disangkal.

Riwayat Alergi
Pasien tidak pernah memiliki riwayat alergi terhadap obat, makanan dan cuaca.

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga pasien yang mengalami keluhan serupa.

Riwayat Sosial dan Kebiasaan

Pasien adalah seorang pensiunan swasta. Pasien mengaku bahwa belakangan ini sering
tidur larut malam. Pasien memiliki kebiasaan merokok dan tidak meminum alkohol. Pasien
juga menyangkal bahwa ada orang yang memiliki keluhan serupa pada lingkungan tempat
tinggal pasien.

Riwayat Pengobatan

Pasien belum meminum obat untuk keluhan yang sekarang.

Riwayat Vaksinasi

Pasien tidak mengetahui riwayat vaksinasi cacar air.

16
PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Tampak sakit ringan

Kesadaran : Composmentis (E4M6V5)

BB/TB : 70kg /175cm

IMT : 22,86 (Normoweight)

Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 120/79mmHg

Nadi : 100x/i

Pernafasan : 18x/i

Suhu : 36,5 C

Status Generalisata
Kepala : Normocephal, bekas luka atau bekas operasi (-), benjolan (-), rambut
putih hitam dan tersebar secara merata.
Mata : Konjungtiva anemis (-), sklera tidak ikterik, pupil bulat isokor, diameter
3mm, refleks cahaya langsung dan tidak langsung (+/+).
Hidung : Simetris, septum nasal normal, berada di tengah, deviasi (-), bekas luka
atau operasi (-), benjolan (-), sekret (-), perdarahan (-).
Telinga : Simetris, nyeri (-), bekas luka atau bekas operasi (-), benjolan (-)
serumen (-), perdarahan (-).
Gigi dan Mulut : Mukosa mulut lembab, gigi utuh, lidah normal, palatum normal,
pembesaran tonsil (-).

Thoraks :
• Inspeksi : dalam batas normal
• Paru-paru : dalam batas normal
• Jantung : dalam batas normal

Abdomen :
• Inspeksi : dalam batas normal
• Perkusi : dalam batas normal
• Palpasi : dalam batas normal

17
• Auskultasi : dalam batas normal

Ekstremitas Atas : Akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-), onikolisis (-)

Ekstremitas Bawah : Akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-), onikolisis (-)

Status Dermatologis

Ad regio facialis dextra tampak multipel vesikel berkelompok disertai krusta serta lesi
papulopustuler dengan dasar eritematosa ukuran miliar hingga lentikular.

18
DIAGNOSIS
A. Diagnosis Kerja : Herpes Zoster

B. Diagnosis Banding : Dermatitis venenata, varisela, herpes simpleks,


impetigo, pemphigus bulosa, pemphigus vulgaris
TATALAKSANA
A. Non-Medikamentosa :
• Menjaga kebersihan tangan
• Istirahat dan nutrisi cukup
B. Medikamentosa :
• Acyclovir PO 5x800mg, selama 7 hari
• Gentamycin Salep 0,1%
• Asam mefenamat 3x500mg

PROGNOSIS
Quo Ad Vitam : Bonam
Quo Ad Functionam : Bonam
Quo Ad Sanationam : Bonam
Quo Ad Cosmeticam : Bonam

19
BAB IV

PENUTUP

4.1 ANALISIS KASUS

Pasien mengaku pada awalnya muncul bercak kemerahan yang pada 24 jam
kemudian memunculkan tonjolan-tonjolan berisikan cairan jernih. Cairan jernih
kemudian berubah menjadi keruh dan pecah dalam waktu 1 minggu. Bercak pada awalnya
muncul pada bagian pipi kanan pasien kemudian meluas ke wajah bagian kanan sejak 7
hari sebelum ke puskesmas. Pasien mengeluhkan nyeri yang dideskripsikan sebagai
seperti perih pada bagian lesi/dermatom yang terkena . Skala nyeri terutama bertambah
pada saat lesi disentuh. Pasien mengaku tidak mengalami gejala demam, sakit kepala,
maupun nyeri pada tubuh. Pada pasien, tidak ditemukan gejala prodromal. Reaktivasi
VVZ yang asimtomatik dapat terjadi apabila kuantitas antigen virus yang dilepaskan
kecil.
Pada stadium erupsi yang ditemukan pada pasien, status dermatologisnya berupa
pada regio facialis dextra tampak multipel vesikel keruh berkelompok disertai krusta serta
lesi papulopustuler dengan dasar eritematosa. Lokasi lesi pada daerah yang dipersarafi
oleh nervus trigeminal yakni lokasi yang cukup umum pada insidensi herpes zoster. Pada
pasien ditemukan vesikel sudah tertutup krusta karena sudah memasuki hari ke-7 dari
perjalanan penyakit. Erupsi akan involusi tanpa gejala sisa dan sikatriks setelah 2-4
minggu. Pada pemeriksaan, tidak ditemukan erupsi didalam mulut pasien.
Pasien memiliki riwayat penyakit cacar air pada saat usia SD. Usia pasien 60 tahun
dimana pada penelitian yang dilakukan Kalman, et al memiliki jumlah insidensi tinggi.
Adapun penyebab dari menurunnya sistem imun pada pasien adalah usia dan kurang
istirahat (psikologis). Pada pasien tidak dilakukan pemeriksaan penunjang. Pasien juga
diperiksa pada saat vesikel sudah mulai ruptur dan mengering sehingga Tzanck smear
tidak memungkinkan untuk dilakukan.
Diagnosis pada umumnya ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik,
berdasarkan lesi khas yakni vesikel berkelompok dan dermatomal serta disertai rasa nyeri.
Untuk kasus-kasus yang tidak khas pemeriksaan penunjang Tzanck smear dapat
dilakukan dan ditemukan sel- sel raksasa berinti banyak. Pada stadium pre-erupsi, herpes
zoster sangat sulit didiagnosa karena gejala prodromal tidak khas. Pada pasien,
ditegakkan diagnosa secara klinis karena gejala yang timbul memiliki gambaran klinis

20
yang sesuai dengan penyakit herpes zoster stadium erupsi yaitu vesikel berkelompok
timbul dermatomal dan terasa nyeri, dengan gambaran khas herpes zoster berupa multipel
vesikel ditutupi krusta, dengan dinding tebal, berkelompok disertai lesi papulopustuler
dengan dasar eritematosa. Erupsi kulit pasien bersifat unilateral serta berlokasi di lokasi
predileksi herpes zoster, yakni ad regio facialis dextra pada segmen dermatom N.
Trigeminal.
Dari pemeriksaan fisik, lesi yang timbul pada pasien memiliki distribusi terbatas
secara dermatomal, tidak generalisata seperti gambaran varisela umumnya. Pasien juga
telah memiliki riwayat varisela (Chicken pox/ cacar air) pada saat dirinya berusia SD, dan
prevalensi rekurensi sangat rendah. Pada pasien, tidak ditemukan lesi kissing lesion, dan
lesi yang timbul pada pasien tersebar secara dermatomal dan unilateral sehingga lebih
kecil kemungkinannya jika disebabkan oleh kontak. Pada pasien ini ditemukan gambaran
lesi yang mirip dengan lesi pada herpes simpleks, namun tempat predileksi herpes
simpleks yaitu pada daerah sekitar mulut dan genitalia kurang sesuai dengan yang dialami
pasien.
Gambaran klinis awal herpes zoster dapat tampak seperti impetigo bulosa. Namun
pada pasien tidak ditemukan collarette pada vesikel yang telah ruptur. Pada saat pasien
datang, vesikel sudah mulai ruptur sehingga nampak krusta dan erosi, namun tidak
ditemukan krusta berwarna kuning keemasan. Lesi yang timbul pada pasien adalah vesikel
berkelompok sedangkan pada impetigo penyebaran lesi cenderung diskret. Tempat
predileksi timbulnya lesi pada pasien juga kurang sesuai dengan diagnosis impetigo.
Menurut epidemiologi impetigo juga lebih sering terjadi pada anak-anak sedangkan
pasien tergolong berusia lanjut. Transmisi penyakit impetigo adalah melalui kontak
lansung sedangkan pasien menyangkal ada yang mengalami gejala yang serupa pada
lingkungan pasien. Pasien tidak mengeluhkan gatal namun nyeri radikuler.
Pemfigus bulosa dan pemfigus vulgaris merupakan benyakit bula autoimun yang
timbul pada usia lanjut sehingga dijadikan diagnosa banding pada pasien ini. Tempat
predileksi pemfigus bulosa dan pemfigus vulgaris kurang cocok dengan gejala yang ada
pada pasien yaitu pada wajah sesuai dengan dermatom. Pemfigus bulosa berupa bula
tegang yang gatal sehingga tidak sesuai dengan keluhan pasien. Pemfigus vulgaris sering
diawali dengan keterlibatan membran muksoa rongga mulut, dan gejala ini tidak
ditemukan pada pasien.

21
4.2 KESIMPULAN

Herpes zoster terjadi akibat reaktivasi virus Varicella zoster dengan angka kejadian
yang tinggi pada populasi geriatri. Penurunan imunitas seluler spesifik terhadap VVZ dan
keadaan immunosenescence pada geriatri meningkatkan keluhan nyeri prodromal,
keparahan lesi HZ dan peningkatan insiden NPH.

Diagnosis HZ ditegakkan berdasarkan gambaran klinis berupa erupsi kulit


berbentuk vesikel berkelompok dengan distribusi sesuai dermatom dan unilateral.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis HZ adalah
Tzank smear dan PCR.

Pemberian terapi antivirus (asiklovir, valasiklovir, dan famsiklovir) sedini mungkin


tanpa melihat waktu timbulnya lesi; antidepresant tricyclic, lidokain topikal, gabapentin,
dan opiat merupakan strategi penanganan yang efektif untuk HZ dan NPH. Pemberian
vaksinasi dapat mencegah dan meringankan penyakit HZ, menurunkan terjadinya
komplikasi NPH sehingga memperbaiki kualitas hidup geriatri.

4.3 SARAN

1. Diharapkan para tenaga medis terutama dokter mampu mendiagnosis dan


menatalaksana herpes zoster sedini mungkin, sehingga dapat diberikan terapi
yang sesuai untuk keadaan akut dan dapat mencegah terjadinya komplikasi
dikemudian hari.
2. Diharapkan fasilitas kesehatan primer selalu memiliki ketersediaan obat-obatan
yang cukup untuk menatalaksana herpes zoster dan mencegah komplikasi.
3. Para tenaga kesehatan mampu mengedukasi pasien mengenai herpes zoster baik
terapi nonfarmakologis yang dapat dilakukan, juga komplikasi apa yang
mungkin terjadi dan cara mencegahnya.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Purnamasari I. Herpes Zoster pada Geriatri [Internet]. 3rd ed. Surabaya: Media
Dermato-Venereologica Indonesiana; 2020 [cited 23 January 2021]. Available
from: https://www.perdoski.id/mdvi/daftar-volume-mdvi
2. Pusponegoro E, Nilasari H, Lumintang H, Niode N, Djauzi S. Herpes Zoster di
Indonesia 2014. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2014.
3. Straus S, Oxman M, Schmader K. Varicella and Herpes Zoster. In: Wolff,
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchfrest BA, Paller AS K, editor. Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine. 9th ed. USA: McGraw-Hill Companies, Inc.;
2012. p. 2384–400.
4. Soutor C, Hordinsky M. Clinical Dermatology. 1th ed. New York: McGraw-Hill;
2013.
5. Menaldi, S. (2017). Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 7th ed. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
6. Buchbinder SP, Katz MH, Hessol NA, et al. Herpes zoster and human
immunodeficiency virus infection. J Infect Dis 1992; 166:1153.
7. CDC. Shingles (Herpes Zoster). https://www.cdc.gov/shingles/. Updated August
19, 2016.
8. Kawai. Systematic review of incidence and complications of herpes zoster: towards
a global perspective. BMJ Open Access 2013; 1:1
9. Kalman. Herpes Zoster and Zosteriform Herpes Simplex Virus Infections in
lmmunocompetent Adults. 1986. 1;1
10. Yawn; THE GLOBAL EPIDEMIOLOGY OF HERPES ZOSTER; 2013; 1:1
11. Veenstra J, Krol A, van Praag RM, et al. Herpes zoster, immunological
deterioration and disease progression in HIV-1 infection. AIDS 1995; 9:1153.
12. Blennow O, Fjaertoft G, Winiarski J, et al. Varicella-zoster reactivation after
allogeneic stem cell transplantation without routine prophylaxis--the incidence
remains high. Biol Blood Marrow Transplant 2014; 20:1646.
13. Antonelli MA, Moreland LW, Brick JE. Herpes zoster in patients with rheumatoid
arthritis treated with weekly, low-dose methotrexate. Am J Med 1991; 90:295.

23
14. Shingles – Knowledge for medical students and physicians [Internet]. Amboss.com.
2019 [cited 29 April 2019]. Available from: https://www.amboss.com/us/
knowledge/Shingles

15. Kasper DL, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Lameson JL, Loscalzo J. Harrison's
Principles of Internal Medicine. New York, NY: McGraw-Hill Education; 2015:p.
1183.

16. Gilden D, Cohrs RJ, Mahalingam R, Nagel MA. Varicella Zoster Virus
Vasculopathies : Diverse Clinical Manifestations , Laboratory Features , 25
Pathogenesis , and Treatment. Lancet Neurol. 2009;8:731–40.
17. Helm TN. Allergic Contact Dermatitis [Internet]. Medscape. 2019 [cited 2019 May
5]. Available from: https://emedicine.medscape.com/article/1049216-clinical#b1
18. Zeina B. Pemphigus Vulgaris [Internet]. Medscape. 2018 [cited 2019 May 5].
Availablefrom: https://emedicine.medscape.com/article/1049216-clinical#b1
19. Klompas M, Kulldorff M, Vilk Y, Bialek SR, Harpaz R. Herpes Zoster and
Postherpetic Neuralgia Surveillance Using Structured Electronic Data. Mayo Clin
Proc. 2011;86:1146–53.
20. Fashner J, Joseph S, Medicine F, Program R, Bend S, Bell IAL, et al. Herpes Zoster
and Postherpetic Neuralgia: Prevention and Management. Am Fam Physician.
2011;83:1432–7. 17. Hales C, Harpaz R, Ortega-Sanchez I, Bialek S. Update on
Recommendations for Use of Herpes Zoster Vaccine. Morb Mortal Wkly Rep.
2014;63:729–31.

24

Anda mungkin juga menyukai