HERPES GENITALIS
PEMBIMBING:
dr. Retno Sawitri, Sp.KK
dr. Shinta J.B T R, Sp.KK
DISUSUN OLEH:
Aninda Rebecca Leonora, S.Ked
030.10.032
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat karunia
yang diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan referat herpes genitalis
tanpa hambatan dan rintangan yang berarti.
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik ilmu
penyakit kulit dan kelamin di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bekasi. Penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Retno Sawitri, Sp.KK dan dr.
Shinta J.B T R, Sp.KK selaku pembimbing yang telah memberikan tugas dan membimbing
penulis dalam menyusun referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis
mengharapkan saran dan kritik yang membangun guna perbaikan referat ini. Akhir kata,
semoga referat ini dapat bermanfaat bagi pendidikan, khususnya dalam pembelajaran ilmu
penyakit kulit dan kelamin.
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR …………………………………………………………….. 2
DAFTAR ISI……………………………………………………………………… 3
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………………… 4
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 6
2.1 EPIDEMIOLOGI ........................................................................................... 6
2.2 ETIOLOGI ..................................................................................................... 7
2.3 KLASIFIKASI KLINIS ................................................................................. 8
2.4 PATOGENESIS ............................................................................................. 9
2.5 MANIFESTASI KLINIS ............................................................................... 11
2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG .................................................................. 14
2.7 DIAGNOSIS BANDING................................................................................ 16
2.8 PENATALAKSANAAN ................................................................................ 18
2.9 PROGNOSIS................................................................................................... 20
2.10 KOMPLIKASI .............................................................................................. 20
2.11 PENCEGAHAN ............................................................................................ 21
2.12 INFEKSI HSV-2 PADA KEADAAN TERTENTU ...................................... 21
BAB III KESIMPULAN ............................................................................................. 23
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 24
3
DAFTAR GAMBAR
4
BAB I
PENDAHULUAN
Herpes genitalis merupakan salah satu penyakit menular seksual yang sering ditemui
dan telah berhasil mempengaruhi kehidupan jutaan pasien beserta pasangannya. Kebanyakan
individu mengalami gangguan psikologi dan psikososial sebagai akibat dari nyeri yang
timbul serta gejala lain yang menyertai ketika terjadi infeksi aktif. Oleh karena penyakit
herpes genital tidak dapat disembuhkan serta bersifat kambuh-kambuhan, maka terapi
sekarang difokuskan untuk meringankan gejala yang timbul, menjarangkan kekambuhan,
serta menekan angka penularan sehingga diharapkan kualitas hidup dari pasien menjadi lebih
baik setelah dilakukan penanganan dengan tepat.
Herpes genitalis merupakan penyakit menular seksual dengan prevalensi yang tinggi
di berbagai negara dan penyebab terbanyak penyakit ulkus genitalis. Infeksi herpes genitalis
adalah infeksi genitalia yang disebabkan oleh virus herpes simpleks (HSV) terutama HSV
tipe II. Dapat juga disebabkan oleh HSV tipe I pada 10-40% kasus. Sebagian besar terjadi
setelah kontak seksual secara orogenital.
Infeksi akut yang disebabkan oleh virus herpes simpleks tipe I atau tipe II yang
ditandai oleh adanya vesikel yang berkelompok di atas kulit yang sembab dan eritematosa
pada daerah dekat mukokutan, sedangkan infeksi dapat berlangsung baik primer maupun
rekurens. Penyakit yang disebabkan oleh virus herpes simpleks dikenal dengan sebutan fever
blister , cold sore, herpes febrilis, herpes labialis, atau herpes progenitalis (genitalis).(1)
Herpes simpleks berkenaan dengan sekelompok virus yang menulari manusia. Serupa
dengan herpes zoster, herpes simpleks menyebabkan luka-luka yang sangat sakit pada kulit.
Gejala pertama biasanya gatal-gatal dan kesemutan/perasaan geli, diikuti dengan lepuh yang
membuka dan menjadi sangat sakit. Infeksi ini dapat dorman (tidak aktif) dalam sel saraf
selama beberapa waktu namun tiba-tiba infeksi menjadi aktif kembali. Herpes dapat aktif
tanpa gejala.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 EPIDEMIOLOGI
Penyakit ini tersebar kosmopolit dan menyerang baik pria maupun wanita dengan
frekuensi yang tidak berbeda, infeksi primer oleh virus herpes simpleks (HSV) tipe I
biasanya dimulai pada anak-anak, sedangkan infeksi HSV tipe II biasanya terjadi pada
dekade II atau III, dan berhubungan dengan peningkatan aktivitas seksual.(1)
Insidens infeksi primer HSV-1 yang menyebabkan herpes labialis paling banyak
terjadi pada masa kanak-kanak, dimana 30-60% anak-anak biasanya terekspos oleh
virus ini. Jumlah kejadian infeksi HSV-1 meningkat seiring dengan bertambahnya
usia dan mayoritas ditemukan pada orang dewasa berusia 30 tahun atau lebih dengan
HSV-2 seropositif.(2) Infeksi HSV-2 berhubungan dengan perilaku seksual. Antibodi
terhadap HSV-2 sangat jarang ditemukan sebelum terjadi aktivitas seksual dan
meningkat secara terus menerus setelahnya.
Pada tahun 2005-2008, prevalensi infeksi HSV-2 pada populasi usia 14-49 tahun
di Amerika Serikat sebesar 16%, angka tersebut stabil sejak tahun 2001-2004 yaitu
sebesar 17%; dengan prevalensi yang lebih tinggi pada wanita yaitu 21%, sedangkan
pada pria 12%. Kira-kira 45 juta penduduk Amerika Serikat terinfeksi HSV-2; jika
digabung dengan yang terinfeksi HSV-1 mungkin mencapai 60 juta orang.
(3)
Berdasarkan survei kesehatan nasional yang dilakukan oleh CDC (Centers for
Disease Control and Prevention) pada tahun 2010 menyatakan bahwa insidens infeksi
HSV-2 pada warga Amerika Serikat masih tinggi, dimana 1 dari 6 warga Amerika
Serikat terinfeksi HSV-2 dan prevalensinya tinggi pada perempuan dan ras Afrika-
Amerika (16,2%) antara usia 14-49 tahun. (4)Di Eropa Barat, prevalensi HSV-2 secara
umum lebih lebih rendah daripada di Amerika Serikat, yaitu berkisar antara 10-15%
pada hampir semua negara. (3)Di Indonesia, penelitian yang dilakukan di RSUD Dr.
Soetomo pada tahun 2005-2007 ditemukan hasil yang kurang lebih sama, yaitu insidens
herpes genitalis lebih banyak ditemukan pada perempuan dibanding laki-laki dengan
rasio 1.96:1, usia terbanyak penderita bervariasi antara 25-34 tahun, terutama sesudah
menikah.
6
2.2 ETIOLOGI
HSV tipe I dan II merupakan virus herpes homonis yang merupakan virus DNA.
Virus herpes simpleks hanya menginfeksi manusia. Terdapat dua tipe virus herpes
simpleks, yaitu HSV-1, yang biasanya menyebabkan infeksi herpes nongenital
(orofacial ) ; dan HSV-2, yang biasanya menyebabkan infeksi herpes genital pada
laki- laki dan perempuan(5), akan tetapi kedua tipe virus tersebut dapat menginfeksi
baik
pada area orofacial maupun genital dan dapat menyebabkan infeksi akut dan rekuren.
(2)
Pembagian tipe I dan II berdasarkan karakteristik pertumbuhan pada media kultur,
antigenic marker , dan lokasi klinis (tempat predileksi).(1) Terdapat perbedaan antara
kedua tipe HSV secara biologis, contohnya tingkat rekurensi infeksi HSV-2 pada genital
lebih sering daripada HSV-1. Sebaliknya, infeksi nongenital yang disebabkan HSV-1
tingkat rekurensinya lebih tinggi daripada HSV-2. Infeksi HSV genital terjadi enam kali
lebih sering daripada infeksi HSV pada orolabial.(5)
Penularan herpes genitalis diperlukan kontak langsung dengan jaringan atau
sekret dari penderita infeksi HSV. Kebanyakan infeksi pada alat genital didapatkan dari
partner dengan infeksi subklinis. Pasangan yang aktif secara seksual dan sama-sama
terinfeksi HSV tidak akan mengalami reinfeksi satu sama lain. Autoinokulasi dapat
menyebabkan herpetic whitlow atau keratokonjungtivitis, terutama saat infeksi primer,
namun jarang pada infeksi herpes rekuren. Belum ada bukti penelitian bahwa HSV
dapat menular melalui fomites, penggunaan pakaian atau handuk secara bersama
ataupun dari lingkungan. Penularan perinatal kepada bayi baru lahir dapat terjadi,
terutama jika infeksi baru terjadi pada kehamilan trimester akhir.(3)
HSV memiliki kemampuan untuk menyerang dan melakukan replikasi di dalam
jaringan saraf, kemudian virus tersebut memasuki masa laten di dalam jaringan saraf,
terutama di ganglia trigeminal untuk HSV-1, dan pada ganglia sacralis untuk HSV-2.
Akhirnya, virus laten tersebut melakukan reaktivasi dan bereplikasi sehingga
menyebabkan penyakit pada kulit.(5)
7
2.3 KLASIFIKASI KLINIS
Tempat predileksi HSV-1 di daerah pinggang ke atas terutama di daerah mulut
dan hidung, biasanya dimulai pada usia anak-anak. Inokulasi dapat terjadi secara
kebetulan, misalnya kontak kulit pada perawat, dokter gigi, atau pada orang yang sering
menggigit jari (herpetic Whitlow). Virus ini juga sebagai penyebab herpes ensefalitis.
Infeksi primer oleh HSV-2 mempunyai tempat predileksi di daerah pinggang ke bawah,
terutama di daerah genital, juga dapat menyebabkan herpes meningitis dan infeksi
neonatus. Daerah predileksi ini sering kacau karena adanya cara hubungan seksual
seperti oro-genital, sehingga herpes yang terdapat di daerah genital kadang-kadang
disebabkan oleh HSV-1 sedangkan di daerah mulut dan rongga mulut dapat disebabkan
oleh HSV-2.(1)
adalah saat pasien pertama kali terinfeksi HSV. Infeksi primer berlangsung
lebih lama dan lebih berat, kira-kira 3 minggu dan sering disertai gejala
sistemik misalnya demam, malese, dan anoreksia, dan dapat ditemukan
pembengkakan kelenjar getah bening regional, limfadenopati regional,
neuropati regional dan keterlibatan mukosa (cervicitis, uretritis). Kelainan
klinis yang dijumpai berupa vesikel yang berkelompok di atas kulit yang
sembab dan eritematosa, berisi cairan jernih dan kemudian menjadi
seropurulen, dapat menjadi krusta dan kadang-kadang mengalami ulserasi
yang dangkal, biasanya sembuh tanpa sikatriks. Pada perabaan tidak terdapat
indurasi. Kadang-kadang dapat timbul infeksi sekunder sehingga memberi
gambaran yang tidak jelas. Umumnya didapati pada orang yang kekurangan
antibodi virus herpes simpleks. Pada wanita ada laporan yang mengatakan
bahwa 80% infeksi HSV pada genitalia eksterna disertai infeksi pada serviks.
Infeksi terjadi pada orang yang sebelumnya pernah terinfeksi oleh HSV tipe
lain, biasanya orang yang baru saja terinfeksi HSV-2 sebelumnya seropositif
terhadap HSV-1. Pada jenis ini, manifestasi penyakit secara sistemik jarang
terjadi.(3)
8
2.3.3 Recur r ent Genital H er pes
Pada jenis ini, infeksi terjadi untuk kedua kalinya atau berikutnya oleh
tipe virus yang sama. Infeksi ini berarti HSV pada ganglion dorsalis yang
dalam keadaan tidak aktif, dengan mekanisme pacu menjadi aktif dan
mencapai kulit sehingga menimbulkan gejala klinis. Mekanisme pacu tersebut
dapat berupa trauma fisik (demam, infeksi, kurang tidur, hubungan seksual,
dsb), trauma psikis (gangguan emosional, menstruasi), dan dapat pula timbul
akibat jenis makanan dan minuman yang merangsang. Infeksi rekurens ini
dapat timbul pada tempay yang sama (loco) atau tempat lain/tempat di
sekitarnya (non loco).(1)
Herpes genitalis akibat HSV-2 biasanya lebih sering mengalami
reaktivasi daripada herpes genitalis akibat HSV-1. Manifestasi klinis pada
herpes genitalis rekuren biasanya lebih ringan dan lebih singkat dari pada
infeksi pertama, biasanya berlangsung kira-kira 7 sampai 10 hari. Sering
ditemukan gejala prodormal lokal sebelum timbul vesikel berupa rasa panas,
gatal, dan nyeri. Bersama dengan herpes genital rekuren dapat ditemukan
cervicitis, uretritis, limfadenopati, neuropati, gejala sistemik, namun sangat
jarang.(3)
2.4 PATOGENESIS
HSV-1 dan HSV-2 termasuk famili Herpesviridae dan subfamili Alphaherpesviridae.
Virus ini adalah virus DNA beruntai ganda ditandai dengan sifat biologis sebagai
berikut:
Neurovirulensi (kemampuan untuk menyerang dan bereplikasi dalam sistem
saraf).
9
Latensi (pembentukan dan pemeliharaan infeksi laten di ganglia sel saraf
proksimal dari lokal infeksi). Pada infeksi HSV orofacial, ganglia trigeminal
yang paling sering terlibat, sementara, pada infeksi HSV genital, akar ganglia
saraf sacral (S2-S5) yang terlibat.
Reaktivasi: reaktivasi dan replikasi HSV laten, selalu di daerah yang dipersarafi
oleh ganglia dimana tempat virus latensi, dapat disebabkan oleh berbagai
rangsangan (misalnya demam, trauma, stress emosional, sinar matahari,
menstruasi), sehingga berakibat infeksi berulang yang jelas atau samar-samar
dan kemunculan kembali HSV. Pada orang imunokompeten yang berada pada
resiko yang sama tertular HSV-1 dan HSV-2 baik secara oral maupun genital,
HSV-1 reaktivasi lebih sering oral daripada genital. Demikian pula HSV-2
mengaktifkan kembali 8-10 kali lebih umum di daerah genital daripada di
daerah orolabial. Reaktivasi lebih umum dan parah pada individu
imunocompromised.
Penyebaran infeksi herpes simpleks dapat terjadi pada orang dengan gangguan
imunitas sel T, seperti di penerima transplantasi organ pada individu dengan AIDS.
HSV tersebar di seluruh dunia. Manusia adalah satu-satunya reservoir alami, dan tidak
ada vektor yang terlibat selama transmisi. Endemisitas mudah bertahan dalam manusia
karena adanya infeksi laten, reaktivasi periodik, dan virus yang muncul tanpa gejala.
10
Selama infeksi primer, replikasi dimulai di dalam sel berinti pada dermis dan
epidermis. Setiap sel yang terinfeksi pasti dibunuh dan jumlah sel yang terlibat dalam
proses infeksi menentukan apakah secara klinis akan berkembang membentuk lesi, atau
yang lebih sering malah menjadi subklinis. Dalam dua keadaan tersebut, ujung saraf
sensoris akan terinfeksi, kemudian virus pindah melalui akson ke ganglia sakralis dan
disana akan dimulai periode laten. HSV hanya dapat dikultur dari ganglion selama
periode infeksi primer. Virus menyebar ke daerah lain secara sentrifugal dimana vesikel
terbentuk akibat migrasi dari HSV-2 ke saraf sensoris lainnya dan via autoinokulasi.
Viremia terjadi pada 25% pasien dengan infeksi primer.(6)
Kemudian HSV-2 akan mempertahankan dirinya ke dalam periode laten di dalam
ganglion dimana aktivasi sistem kekebalan tubuh sangat terbatas. Virus tersebut
kemudian akan keluar dari neuron sensoris ke daerah genital sehingga menyebabkan
terjadinya periode subklinis ataupun berkembang menjadi lesi herpes genital. Sistem
imun penderita, terutama limfosit CD8+, sangat penting dalam proses terbentuknya lesi
genital.(6) Terbentuknya lesi pada genital (simtomatik) menunjukkan adanya viral
shedding, yaitu saat dimana virus menjadi aktif dan keluar dari ganglion saraf
menuju ke permukaan kulit dan menimbulkan lesi. Sebuah penelitian di Amerika
meneliti tentang besarnya angka viral shedding yang diukur dengan quantitive
real-time
fluorescence polymerase chain reaction untuk HSV DNA dari swab genital, pada
herpes genitalis yang simtomatik dan asimtomatik. Hasilnya, pada herpes genitalis
simtomatik lebih sering ditemukan viral shedding daripada yang asimtomatik.(7)
GEJALA KLINIS
2.5.1 Pri mary Geni tal H erpes
Lesi pada daerah genital atau perianal multipel, biasanya bilateral. Umumnya
dapat ditemukan vaginal discharge. Urethral discharge umum ditemukan
pada laki-laki, biasanya disertai dengan disuria berat. Lesi kutaneus muncul
setelah 7-15 hari berupa papul, menjadi vesikel, menjadi pustul, menjadi
ulkus, lalu menjadi krusta.
11
Gambar 2. Perjalanan Klinis Infeksi Primer Herpes Genitalis (8)
Lesi pada mukosa atau permukaan yang lembab (misalnya introitus vagina,
labia minor, uretra, rektum) mengalami ulserasi lebih awal, sering disertai
dengan nyeri yang berat dan tidak berubah menjadi krusta. Nyeri dan bengkak
pada daerah inguinal juga sering ditemukan, biasanya bilateral. Infeksi yang
didapatkan melalui seks secara anal dapat dirasakan nyeri pada rektum, keluar
cairan, tenesmus, dan beberapa gejala dari proctitis. Demam, malaise, nyeri
kepala juga sering ada, dan kadang-kadang fotofobia dan kaku pada leher.(3)
Gambar 3A. Infeksi Primer Herpes Genitalis dengan Vesikel, 3B. Vulvitis Herpetik Primer
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed .
12
2.5.2 F i r st Episode Nonpr im ary Geni tal H er pes
Lesi yang ditemukan pada tipe ini biasanya lebih sedikit daripada infeksi
primer. Biasanya terjadi selama 10-20 hari. Nyeri dan bengkak pada daerah
inguinal lebih jarang ditemukan daripada infeksi primer.(3)
Pada herpes genitalis rekuren biasanya terbentuk lesi berkelompok yang terdiri
dari 2-10 lesi, lokasinya di bagian lateral dari garis tengah dan hanya terdapat
di satu sisi tubuh. Lesi tersebut biasanya timbul 2-3 cm dari lokasi lesi
sebelumnya. Gejala infeksi rekuren selain dapat terjadi di genital dan perianal,
juga dapat terjadi di daerah bokong, paha, dan perut bagian bawah (disebut
juga area “boxer shorts”). Lesi yang paling sering ditemukan adalah lesi
ulseratif atipikal, tanpa didahului oleh periode vesikular ataupun pustular.
Gejala neurologis prodormal biasanya muncul 1-2 hari sebelum timbul lesi,
biasanya berupa parestesia (rasa terbakar, kesemutan), atau hypesthesia pada
daerah lesi atau di sepanjang perjalanan nervus sakralis. Gejala sistemik dan
pembengkakan daerah inguinal jarang ditemukan.(3)
Gambar 4A. Herpes genitalis rekuren pada penis. Vesikel berkelompok dengan krusta di bagian sentral,
dasar yang meninggi dan berwarna merah. 4B. Herpes genitalis rekuren pada vulva. Erosi berukuran
besar dan sangat nyeri di labia.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed .
13
2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Terdapat beberapa metode pemeriksaan laboratorium yang dapat digunakan untuk
menunjang penegakan diagnosis infeksi HSV, tentunya dengan spesifisitas dan
sensitivitas yang beragam. Metode-metode tersebut antara lain:
2.6.1 Pemeriksaan sitologi
Pemeriksaan sitologi dilakukan dengan Tzanck smears, pewarnaan
Papanicolaou atau Romanovsky, dan imunofluoresens. Tzanck smearsdengan
pewarnaan Giemsa menggunakan bahan dari kerokan lesi kulit atau mukosa.
Dapat ditemukan sel datia berinti banyak dan badan inklusi intranuklear. (1)Ini
merupakan pemeriksaan yang murah, namun spesifisitas dan sensitivitas nya
rendah.
14
2.6.2 Pemeriksaaan biologi molekular
Akhir-akhir ini, deteksi DNA HSV berdasarkan amplifikasi asam nukleat dan
polymerase chain reaction (PCR) sudah menjadi metode alternatif karena
pemeriksaan ini empat kali lebih sensitif, hasilnya tidak dipengaruhi oleh cara
pengumpuan sampel dan proses transportasi, serta pengerjaannya lebih cepat
daripada kultur virus. Sampel pemeriksaan didapatkan dari swab, kerokan lesi
kulit, cairan dari vesikel, eksudat dari dasar vesikel, atau sampel dari mukosa
yang tidak terdapat lesi. Keuntungan dari pemeriksaan ini adalah sensitivitas
dan spesifisitas nya paling tinggi daripada pemeriksaan yang lain. Namun
pemeriksaan ini hanya bisa dilakukan di laboratorium tertentu yang memiliki
fasilitas yang mendukung pemeriksaan tersebut.(8)
15
2.7 DIAGNOSIS BANDING
Herpes genitalis harus dibedakan dengan ulkus durum, ulkus mole, dan ulkus mikstum,
maupun ulkus yang mendahului penyakit limfogranuloma venerum.
a. Chancroid, atau yang lebih dikenal dengan ulkus mole adalah ulkus yang kotor,
merah dan nyeri. Merupakan penyakit menular seksual yang ditandai dengan ulkus
genitalis nekrotik yang sangat nyeri, disertai dengan limfadenipati inguinal.
Penyakit ini disebabkan oleh Haemophilus ducreyi, bakteri gram-negatif berbentuk
basil anaerob yang sangat infektif. Bakteri ini masuk ke dalam kulit melalui mukosa
yang tidak intak dan menyebabkan reaksi inflamasi. H. Ducreyi ditularkan secara
seksual melalui kontak langsung dengan lesi purulen dan dengan autoinokulasi pada
daerah nonseksual misalnya mata dan kulit. Penyakit ini biasanya dimulai dengan
papul inflamasi berukuran kecil pada tempat inokulasi, beberapa hari kemudian,
papul akan berubah menjadi ulkus yang sangat nyeri. Tanpa pengobatan, lesi dapat
bertahan beberapa minggu sampai beberapa bulan, dan dapat berkomplikasi
menjadi limfadenopati supuratif. (11) Pada ulkus mole, tanda-tanda radang akut lebih
mencolok dan pada pemeriksaan penunjang sediaan apus berupa bahan dari dasar
ulkus tidak ditemukan sel datia berinti banyak.(1)
Gambar 6. Ulkus mole yang melebar dengan eksudat, telah menghancurkan frenulum
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed .
16
Gambar 7. Limfogranuloma venerum: erosi yang tidak nyeri pada preputium.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed .
Gambar 8. Pembesaran kelenjar getah bening inguinal unilateral. Kulit di permukaannya eritematosa
dan terdapat indurasi. Lesi primer belum terbentuk.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed .
c. Sifilis, adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum, sangat
kronik dan bersifat sistemik. Pada perjalanannya dapat menyerang hampir semua
alat tubuh, dapat menyerupai banyak penyakit, mempunyai masa laten, dan dapat
ditularkan dari ibu ke janin. Pada anamnesis diketahui masa inkubasi, tidak terdapat
gejala konstitusi, demikian pula gejala setempat yaitu tidak ada rasa nyeri. pada
afek primer yang penting adalah terdapat erosi/ulkus yang bersih, soliter,
bulat/lonjong, teratur, indolen dengan indurasi: T. Pallidum positif. Kelainan dapat
nyeri jika disertai infeksi sekunder. Kelenjar regional dapat membesar, indolen,
tidak berkelompok, tidak ada periadenitis, tanpa supurasi.Berbeda dengan sifilis,
herpes simpleks bersifat residif, dapat disertai keluhan berupa rasa gatal atau nyeri,
17
lesi berupa vesikel di atas kulit yang eritematosa, berkelompok. Jika telah pecah
tampak kelompok erosi, sering berkonfluensi dan polisiklik, tidak terdapat indurasi.
(1)
Gambar 9. Ulkus pada awal sifilis, tampak sebagai papul yang datar dan mengalami erosi, dengan
tepi yang meninggi dan dasar yang halus, bersih.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed .
2.8 PENATALAKSANAAN
2.8.1 Primary Genital Herpes
Penatalaksanaan umum untuk herpes genitalis adalah membersihkan area yang
bersangkutan (terdapat lesi) dengan normal saline, pemberian analgesik
(sistemik maupun lokal, seperti lidokain gel), dan perawatan infeksi sekunder
oleh bakteri.(12) Selain itu juga diberikan terapi antiviral spesifik misalnya
asiklovir yang terbukti efektif dalam mengobati infeksi virus serta
ketersediaannya dalam bentuk generik. Obat lainnya, seperti valaciclovir dan
famciclovir, digunakan dalam dosis yang lebih jarang daripada asiklovir,
namun harganya lebih mahal. Penelitian menunjukkan ketiga obat tersebut
dalam menurunkan berat dan durasi dari gejala klinis akibat infeksi virus.
Biasanya lama pemberian obat-obatan antivirus adalah lima hari, namun
BASHH guidelines merekomendasikan pengobatan harus tetap dilanjutkan
lebih dari lima hari jika lesi yang baru masih terus terbentuk, jika gejala dan
tanda berat, atau jika pasien mengidap HIV atau jika terdapat penyakit
komplikasi lainnya. Guideline tersebut juga menyatakan bahwa kombinasi
obat oral dan topikal tidak menunjukkan keuntungan. (12)Obat antiviral sistemik
intravena hanya diberikan jika pasien memiliki kesulitan menelan atau tidak
dapat mentoleransi obat-obatan karena muntah.
18
Rekomendasi terapi oral untuk infeksi herpes genitalis primer (diberikan
selama lima hari) adalah sebagai berikut: (13)
Aciclovir 200 mg lima kali sehari, atau
Aciclovir 400 mg tiga kali sehari, atau
Famciclovir 250 mg tiga kali sehari, atau
Valaciclovir 500 mg dua kali sehari.
19
Aciclovir 400 mg dua kali sehari, atau
Valaciclovir 250 mg dua kali sehari, atau
Valaciclovir 500 mg satu kali sehari, atau
Valaciclovir 1 gram sehari, atau
Famciclovir 250 mg dua kali sehari.
2.9 PROGNOSIS
Selama pencegahan rekurens masih merupakan masalah, hal tersebut secara
psikologik akan memberatkan penderita. Pengobatan secara dini dan tepat memberi
prognosis yang lebih baik, yakni masa penyakit berlangsung lebih singkat dan rekurens
lebih panjang. Pada orang dengan gangguan imunitas misalnya pada penyakit-penyakit
dengan tumor di sistem retikuloendotelial, pengobatan dengan imunosupresan yang
lama atau fisik yang sangat lemah, menyebabkan infeksi ini dapat menyebar ke alat-alat
dalam dan dapat fatal. Prognosis akan lebih baik seiring dengan meningkatnya usia
seperti pada orang dewasa.(1)
2.10 KOMPLIKASI
Infeksi HSV-2 selain dapat menyebabkan penyakit herpes genitalis, juga dapat
menyebabkan komplikasi pada retina, otak, batang otak, nervus kranialis, medulla
spinalis, dan nerve roots. Secara umum, infeksi HSV-2 dapat menyebabkan
meningitis. Manifestasi kelainan neurologis akibat infeksi HSV-2 antara lain herpes
simpleks ensefalitis pada neonatus, meningitis aspetik akut pada dewasa, meningitis
aseptik rekuren, ensefalitis dan meningonesefalitis HSV-2 pada dewasa, radikulopati
HSV-2, serta nekrosis retina akut. (9)Sacral radiculopathy dapat ditunjukkan dengan
adanya gejala hyperesthesia pada saat terjadi infeksi herpes simpleks primer.
Amitriptilin dapat menjadi pilihan untuk terapi infeksi ini jika terapi antiviral sistemik
tidak adekuat atau tidak efektif.(10)
Sesuai dengan rekomendasi European guideline for the management of Genital
Herpes pada tahun 2010, jika herpes genitalis disertai dengan komplikasi penyakit
lainnya, maka waktu pengobatan dapat diperpanjang lebih dari lima hari.(13)
20
2.11 PENCEGAHAN
Kunci dari penanganan orang yang terinfeksi HSV-2 adalah dengan
melakukan konseling mengenai pencegahan penularan penyakit tersebut.
Menghindari kontak seksual dengan pasangan terutama selama masih ada lesi pada
daerah genital dan saat terjadi gejala prodormal, serta penggunaan kondom, ternyata
telah terbukti dapat menurunkan angka penularan infeksi HSV-2, meskipun tidak
menghilangkan sama sekali. Ditambah dengan pemberian Valacyclovir 500 mg setiap
hari pada penderita awal dapat mengurangi angka penularan hingga 50%.
Pengembangan vaksin untuk HSV adalah pendekatan terbaik untuk pencegahan
infeksi ini.
2.12.2 NEONATUS
Infeksi HSV pada neonatus memiliki angka mortalitas sebesar 65% dan
angka disabilitas jangka panjang sebesar 80%, meskipun telah diberikan terapi
antiviral. Lesi kutaneus sering ditemukan. Infeksi kongenital sangat jarang
terjadi dan hanya terjadi jika tertular saat usia kehamilan trimester ketiga,
manifestasinya berupa mikrosefali dan korioretinitis. Penatalaksanaan untuk
penyakit ini adalah asiklovir intravena dosis tinggi (20mg/kgBB setiap 8 jam
selama 21 hari). Penularan yang paling sering adalah pada saat melahirkan,
sedangkan kasus setelah proses kelahiran jarang ditemukan. Bayi yang lahir
dari ibu yang sedang terinfeksi herpes genitalis dengan lesi aktif, harus
ditempatkan di ruang isolasi dan dilakukan kultur virus, pemeriksaan fungsi
hati dan pemeriksaan cairan serebrospinal.(6)
21
2.12.3 HIV/AIDS
Penderita dengan immunocompromised biasanya memiliki gejala yang
lebih berat serta lebih lama pada daerah genital, perianal, atau oral. Lesi yang
disebabkan oleh HSV biasanya bersifat atipik, lebih nyeri, serta lebih berat.
Meskipun terapi antiretroviral bisa menurunkan tingkat keparahan dari infeksi
herpes genital, namun infeksi subklinik tetap dapat terjadi. Pemberian terapi
supresif atau terapi episodik menggunakan agen antivirus oral terbukti efektif
dalam memperingan manifestasi klinik dari HSV yang disertai dengan infeksi
HIV.
22
BAB III
KESIMPULAN
Virus herpes simpleks tipe 2 (HSV-2) adalah penyebab herpes genitalis yang umum,
namun selain di daerah genital, virus ini juga dapat bereplikasi di semua jaringan pada tubuh
manusia, dan terkadang dapat menyebabkan keratitis, hepatitis, pneumonitis, meningitis dan
sepsis neonatal. Seroprevalensi dari herpes genitalis masih tinggi di seluruh dunia, di
Amerika sebesar 17%. Pada pasien yang simtomatik dan asimtomatik, infeksi tidak selalu
ditandai dengan adanya keluhan maupun lesi di daerah genital, hal tersebut menyebabkan
penularan dan inflamasi yang persisten.(6)
HSV-2 masih menjadi patogen yang dapat menyebar luas ke banyak populasi dan
biasanya menyebabkan infeksi berat pada neonatus dan pasien dengan sistem imun yang
rendah. Yang sekarang menjadi sorotan adalah pengembangan obat-obatan antivirus yang
dapat menekan rekurensi, viral shedding , penularan secara seksual, penularan pada neonatus;
serta pengembangan vaksin terhadap HSV.(6)
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Handoko RP. Herpes Simpleks. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. 6th ed. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2010. P.380-2.
2. Marques AR, Straus SE. Herpes Simplex. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine.
7th ed. New York: McGraw-Hill; 2008. P.1873-85
3. Handsfield HH. Color Atlas & Synopsis of Sexually Transmitted Diseases. 3rd ed.
New York: McGraw-Hill; 2011. P.109-31.
4. Centers for Disease Control and Prevention. Press Release: CDC Study Finds U.S.
Herpes Rates Remains High. Available
at:http://www.cdc.gov/nchhstp/newsroom/2010/hsv2pressrelease.html. Updated
December 26, 2013. Accessed July 3, 2015.
5. Melancon JM. Herpes Simplex. In: Arndt KA, Hsu JTS, Alam M, Bhatia A, Chilukuri
S. Manual of Dermatologic Therapeutics. 8th ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2014. P.150-9.
6. Schiffer JT, Corey L. New Concept in Understanding Genital Herpes. Curr Infect Dis
Rep 2009; 11(6): 457-64.
7. Tronstein E, Johnston C, Huang ML, Selke S, Magaret A, Warren T, et al. Genital
Shedding of Herpes Simplex Virus Among Symptomatic and Asymptomatic Persons
with HSV-2 Infection. JAMA 2011; 305(14): 1441-9.
8. Legoff J, Pere H, Belec L. Diagnosis of Genital Herpes Simplex Virus Infection in the
Clinical Laboratory. Virology Journal 2014; 11: 1-17. doi:10.1186/1743-422X-11-83.
9. Berger JR, Houff S. Neurological Complications of Herpes Simplex Virus Type 2
Infection. Arch Neurol 2008; 65(5): 596-600.
10. Ooi C, Zawar V. Hyperaesthesia Following Genital Herpes: A Case Report.
Dermatology Research and Practice 2011. doi:10.1155/2011/903595.
11. Bauer ME, Townsend CA, Doster RS, Fortney KR, Zwicki BW, Katz BP, et al. A
Fibrinogen-Binding Lipoprotein Contributes to the Virulance of Haemophilus ducreyi
in Humans. J Infect Dis 2009; 199(5): 684-92.
12. Sen P, Barton SE. Genital Herpes and It’s Management. BMJ 2007; 334: 1048 -52.
doi: 10.1136/bmj.39189.504306.55.
13. Patel R, Alderson S, Geretti A, Nilsen A, Foley E, Lautenschlager S, et al. European
Guideline for the Management of Genital Herpes. Int J STD AIDS 2011; 22(1): 1-10.
doi: 10.1258/ijsa.2010.010278.
24