Anda di halaman 1dari 15

a.

TUJUAN
Tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
a. TRIKOMONIASIS
1. Bagaimana definisi dari trichomoniasis ?
2. Bagaimana etiologi dari trichomoniasis ?
3. Bagaimana pathogenesis dari trichomoniasis ?
4. Bagaimana gejala klinis dari trichomoniasis ?
5. Bagaimana pemeriksaan dari trichomoniasis ?
6. Bagaimana penatalaksanaan dari trichomoniasis ?
7. Bagaimana cara pencegahan dari trichomoniasis?

b. HERPES GENITAL (HSV 2)


1.
c. HEPATITIS

b. MANFAAT
Manfaat dari makalah ini adalah sebagai berikut :
a. TRIKOMONIASIS
1. Untuk mengetahui bagaimana definisi dari trichomoniasis
2. Untuk mengetahui bagaimana etiologi dari trichomoniasis
3. Untuk mengetahui bagaimana pathogenesis dari trichomoniasis
4. Untuk mengetahui bagaimana gejala klinis dari trichomoniasis
5. Untuk mengetahui bagaimana pemeriksaan dari trichomoniasis
6. Untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan dari trichomoniasis
7. Untuk mengetahui bagaimana cara pencegahan dari trichomoniasis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. TRIKOMONIASIS
a. Pengertian
Trikomoniasis merupakan penyakit menular seksual yang disebabkan oleh
parasit Trichomonas vaginalis. Parasit ini paling sering menyerang wanita, namun
pria dapat terinfeksi dan menularkan kepasangannya lewat kontak seksual.
Vagina merupakan tempat infeksi paling sering pada wanita, sedangkan uretra
(saluran kemih) merupakan tempat infeksi paling sering pada pria.
Trikomoniasis disebabkan oleh parasit Trichomonas vaginalis. Parasit ini
menyebar melalui hubungan seksual dengan orang yang sudah terkena penyakit
ini. Trikomoniasis menyerang (uretra) saluran kemih pada pria, namun biasanya
tanpa gejala, sedangkan pada wanita, trikomoniasis lebih sering menyerang
vagina. Resiko untuk terkena penyakit ini tergantung aktivitas seksual orang
tersebut. Pada wanita, yang diserang terutama dinding vagina, dapat bersifat akut
maupun kronik. Pada kasus akut terlihat sekret vagina keruh kental berwarna
kekuning-kuningan, kuning hijau, berbau tidak enak dan berbusa. Dinding vagina
tampak kemerahan dan sembab. Selain itu didapatkan rasa gatal dan panas di
vagina. Rasa sakit sewaktu berhubungan seksual mungkin juga merupakan
keluhan utama yang dirasakan penderita dengan trikomoniasis. Pasien dengan
trikomoniasis dapat juga mengalami perdarahan pasca sanggama dan nyeri perut
bagian bawah. Bila sekret banyak yang keluar, dapat timbul iritasi pada lipat paha
atau di sekitar bibir vagina. Pada kasus yang kronis, gejala lebih ringan dan sekret
vagina biasanya tidak berbusa.
Berbeda dengan wanita, pada pria biasanya tidak memberikan gejala.
Kalaupun ada, pada umumnya gejala lebih ringan dibandingkan dengan wanita.
Gejalanya antara lain iritasi di dalam penis, keluar cairan keruh namun tidak
banyak, rasa panas dan nyeri setelah berkemih atau setelah ejakulasi.

b. Etiologi Trikomoniasis
Etiologi dari penyakit trikomoniasis ini adalah Trichomonas vaginalis.
Trichomonas vaginalis ini termasuk dalam domain Eukarya, kingdom Protista,
filum Metamonada yang termasuk dalam protozoa yaitu flagellata, Kelas
Parabasilia, ordo Trichomonadida, genus Trichomonas dan spesies Trichomonas
vaginalis (Strous, 2008).
Sejumlah faktor telah dikaitkan dengan peningkatan risiko terlular
trikomoniasis, antara lain:
a) Multiple Sex Partners (pasangan seks lebih dari satu)
b) Merupakan keturunaan Afrika
c) Sebelumnya atau sedang terinfeksi PMS lain
d) Bakterial vaginosis
e) (derajat keasaman) pH vagina yang tinggi

Parasit Trichomonas vaginalis tersebar melalui hubungan seksual yaitu


hubungan penis dengan vagina atau vulva dengan vulva (daerah kelamin luar
vagina) jika kontak dengan pasangan yang terinfeksi. Wanita dapat terkena
penyakit ini dari infeksi pria atau wanita, tetapi pria biasanya hanya mendapatkan
dari wanita yang terinfeksi. Suatu salah pengertian yang umum adalah infeksi ini
dapat ditularkan melalui toilet duduk, handuk basah atau kolam air panas. Hal ini
tidak mungkin karena parasit tidak bisa hidup lama di benda dan permukaannya
(Center for Disease Control, 2011).
Sejak ditemukannya trikomoniasis sebagai penyakit menular seksual,
mereka yang kemungkinan besar menyebarkan trikomoniasis adalah orang yang
meningkatkan aktivitas seksual dan memiliki lebih dari pasangan. Trikomoniasis
kadang-kadang disebut 3 penyakit ping-pong ́ karena pasangan seksual sering
menyebarkan kembali. Penelitian telah menunjukkan bahwa tingkat kesembuhan
akan meningkat dan tingkat kambuh turun ketika pengobatan dilakukan pada
pasangan seksual dalam waktu yang sama (Center for Disease Control, 2011).
Organisme T. vaginalis ada di dalam epitel skuamosa dan sangat sedikit
yang berasal dari endoserviks, sedangkan T. vaginalis yang terdapat di dalam
uretra ditemukan 90% dari kasus Trikomoniasis. Dan sangat sedikit pula
ditemukan pada epididimis dan prostat pada pria. Infeksi T. vaginalis disertai oleh
sejumlah besar polymorphonuclear neutrofil (PMNs) yaitu mekanisme
pertahanan diri tubuh yang bersama-sama dengan makrofag, membunuh
organisme tersebut yang disertai atau ditunjukkan dengan keluarnya cairan dari
vagina. Organisme T. vaginalis tidak invasif, ada yang hidup bebas di dalam rongga
vagina atau di dalam epitelnya. Sekitar 50% kasus trikomoniasis terjadi
perdarahan mikroskopis (menggunakan teknik yang sesuai). IgA lokal biasanya
terdeteksi, tetapi konsentrasi serum antibodi tersebut masih rendah (Cook, 2009).

c. Patogenesis Trichomoniasis
Adapun pathogenesis dari trichononiasis adalah sebagai berikut :
a) Disebabkan oleh Trichomonas vaginalis, parasit flagelata
berbantuk fusiformis, mempunyai 4 flagela
b) Menyebabkan peradangan dengan cara invasi dinding vagina
sampaimencapai subepitel ±>< terbentuk jaringan granulasi ±>
nekrosis
c) Masa inkubasi : 4 hari s/d 3 minggu
d) Pada vagina & uretra parasit hidup dari sisa-sisa sel, kuman dan
benda lain dalam secret
e) Sering parkir di dinding vagina forniks posterior
d. Gejala Klinis Trichomoniasis
Gejala umum yang ditimbulkan oleh trikomoniasis ini antara lain:
a) Peradangan
Pada wanita, trikomoniasis dapat menyebabkan vaginitis
(peradangan pada vagina), sedangkan pada pria dapat
menyebabkan urethritis (peradangan pada saluran kencing) di
dalam penis.
b) Ke luarnya nanah berwarna kuning kehijau-hijauan atau abu-abu
dari vagina (bahkan terkadang berbusa).
c) Bau yang kuat dan rasa sakit pada saat kencing ataupun
berhubungan seksual.
d) Iritasi atau gatal-gatal di sekitar vagina.
e) Sakit perut bagian bawah (jarang ditemukan).
f) Pada pria biasanya keluar nanah dari penis.
Gejala Klinis Pada Wanita :
a) Sekret vagina seropurulen, kuning ± kuning hijau ± merah, bau
tidak enak, berbusa
b) Dinding vagina merah, sembab, ada jaringan granulasi (strawberry
apperance)
c) Dispareunia, perdarahan pasca coital, perdarahan intermenstrual.
d) Iritasi lipat paha dan sekitar genital
e) Uretritis, bartholinitis, skenitis, sistisis
Gejala Klinis Pada Pria :
a) Menyerang uretra, prostat, preputium, vesikula seminalis,
epididimitis
b) sakit saat buang air kecil
c) Pada urine dijumpai benang-benang halus
d) Sakit dan pembengkakakn dalam skrotum
e. Pemeriksaan Trichomoniasis
Trikomoniasis sering kali tidak terdiagnosis. Tes diagnostik yang paling
umum digunakan adalah yang terbaik 60-70% sensitif menurut Center for Disease
Control. Baik wanita dan pria, penyedia pelayanan kesehatan harus melakukan
pemeriksaan fisik dan uji laboratorium untuk mendiagnosis trikomoniasis,
antaralain sebagai berikut:
a) Wet Mount
Wet mount adalah metode yang paling umum digunakan untuk
mendiagnosis trikomoniasis. Metode ini menujukkan sensitivitas
sebesar 60%. Untuk metode ini, spesimen ditempatkan dalam
medium kultur selama 2-7 hari sebelum diperiksa. Jika
trichomonads hadir dalam spesimen asli, mereka akan
berkembang biak dan lebih mudah untuk dideteksi. Hal ini baik
sangat sensitif dan sangat spesifik.

b) VPIIITesIdentifikasiMikroba(BD)
VPIII Tes Identifikasi mikroba (BD) adalah uji yang
mengidentifikasi
DNA mikroba yang ada pada kompleks penyakit vaginitis.
Identifikasi spesies Candida, Gardnerella vaginalis, dan
Trichomonas vaginalis dapat ditemukan dari sampel vagina
tunggal. Sensitivitas tes untuk mendeteksi T. vaginalis tinggi, dan
dapat memberikan hasil hanya dalam 45 menit.
c) Trichomonas Rapid Test
Trichomonas Rapid Test adalah tes diagnostik yang mendeteksi
antigen untuk trikomoniasis. Dengan memasukkan sampel usap
vagina ke dalam tabung reaksi dengan 0,5 ml buffer khusus
dengan beberapa perlakuan dan kemudian hasilnya dapat dibaca
dalam waktu 10 menit. Uji ini lebih sensitif dibandingkan uji wet
mount.
d) Polymerase Chain Reaction
Dalam Polymerase Chain Reaction (PCR), sampel diperlakukan
dengan enzim yang memperkuat daerah tertentu dari DNA T.
vaginalis. PCR telah terbukti sebagai metode diagnostik yang
paling akurat dalam studi baru-baru ini. Namun, PCR saat ini
hanya digunakan dalam penelitian, bukan pengaturan klinis.
e) Kalium Hidroksida (KOH) "Test Whiff"
Uji ini adalah teknik dasar yang dapat digunakan sebagai bagian
dari diagnosis klinis. Pengujian dilakukan dengan mencampurkan
usapan cairan vagina dengan larutan kalium hidroksida 10%,
kemudian menciumnya. Bau amina (amis) yang kuat bisa menjadi
indikasi trikomoniasis atau vaginosis bakteri.
f) Test pH vagina
Trichomonads tumbuh terbaik di lingkungan asam kurang, dan
pHvagina meningkat mungkin merupakan indikasi trikomoniasis.
Sebuah penyedia layanan kesehatan melakukan tes dengan
menyentuhkan kertas pH pada dinding vagina atau spesimen
usap vagina, kemudian membandingkannya dengan skala warna
untuk menentukan pH.
g) Pap Smear
Uji Pap Smear adalah pemeriksaan mikroskopis dari spesimen.
Hal ini terutama digunakan sebagai tes diagnostik untuk
screening berbagai kelainan serviks dan infeksi kelamin.
Meskipun kadang-kadang dapat mendeteksi trichomonads, uji
diagnosa ini memiliki tingkat kesalahan tinggi dan tidak cocok
untuk screening kecuali digunakan bersamaan dengan tes yang
lebih sensitif.
f. Penatalaksanaan Trichomoniasis
Trikomoniasis boleh diobati dengan Metronidazole 2 gr dosis tunggal,
atau 2 x 0,5 gr selama 7 hari. Mitra seksual turut harus diobati. Pada
neonatuslebih dari 4 bulan diberi metronidazole 5 mg/kgBB oral 3 x /hari selama
5 hari.
Prognosis penyakit ini baik yaitu dengan pengambilan pengobatan
secarateratur dan mengamalkan aktivitas seksual yang aman dan benar (Slaven,
2007).
Pencegahan bagi trikomoniasis adalah dengan penyuluhan dan
pendidikan kepada masyarakat yang dimulai pada tahap persekolahan.
Mendiagnosis dan menangani penyakit ini dengan benar. Pencegahan primer dan
sekunder trikomoniasis termasuk dalam pencegahan penyakit menular seksual.
Pencegahan primer adalah untuk mencegah orang untuk terinfeksi dengan
trikomoniasis dan pengamalan perilaku koitus yang aman dan selamat.
Pencegahan tahap sekunder adalah memberi terapi dan rehabilitasi untuk
individu yang terinfeksi untuk mencegah terjadi transmisi kepada orang lain (CDC,
2007).

g. Pencegahaan Trichomoniasis
Karena trikomoniasis merupakan penyakit menular seksual, cara terbaik
menghindarinya adalah tidak melakukan hubungan seksual. Beberapa cara untuk
mengurangi tertularnya penyakit ini antara lain:
a) Pemakaian kondom dapat mengurangi resiko tertularnya penyakit
ini.
b) Tidak pinjam meminjam alat-alat pribadi seperti handuk karena
parasitini dapat hidup di luar tubuh manusia selama 45 menit.
c) Bersihkan diri sendiri segera setelah berenang di tempat
pemandianumum
d) Melakukan ANC selama masa kehamilan utuk skrining IMS (Infeksi
Menular Seksual)
e) Meningkatkan higiene perorangan dan sanitasi lingkungan
f) Seks yang aman dan dengan satu pasangan
g) Peningkatan status sosial ekonomi
h) Tidak berhubungan seksual dengan penderita
i) Tidak bergonta-ganti pasangan seksual
j) Memakai kondom
k) Jika merasa ada gejala, segera konsultasi ke dokter
B. HERPES GENITALIS
a. Pengertian
Herpes genitalis adalah suatu penyakit menular seksual di daerah kelamin, kulit di
sekeliling rektum atau daerah disekitarnya yang disebabkan oleh virus herpes
simpleks.

b. Etiologi
HSV tipe I dan II merupakan virus herpes homonis yang merupakan virus DNA.
Virus herpes simpleks hanya menginfeksi manusia. Terdapat dua tipe virus herpes
simpleks, yaitu HSV- 1, yang biasanya menyebabkan infeksi herpes nongenital
(orofacial); dan HSV-2, yang biasanya menyebabkan infeksi herpes genital pada laki-
laki dan perempuan, akan tetapi kedua tipe virus tersebut dapat menginfeksi baik
pada area orofacial maupun genital dan dapat menyebabkan infeksi akut dan rekuren.
Pembagian tipe I dan II berdasarkan karakteristik pertumbuhan pada media kultur,
antigenic marker , dan lokasi klinis (tempat predileksi). Terdapat perbedaan antara
kedua tipe HSV secara biologis, contohnya tingkat rekurensi infeksi HSV-2 pada genital
lebih sering daripada HSV-1. Sebaliknya, infeksi nongenital yang disebabkan HSV-1
tingkat rekurensinya lebih tinggi daripada HSV-2. Infeksi HSV genital terjadi enam kali
lebih sering daripada infeksi HSV pada orolabial.
Penularan herpes genitalis diperlukan kontak langsung dengan jaringan atau
sekret dari penderita infeksi HSV. Kebanyakan infeksi pada alat genital didapatkan
dari partner dengan infeksi subklinis. Pasangan yang aktif secara seksual dan sama-
sama terinfeksi HSV tidak akan mengalami reinfeksi satu sama lain. Autoinokulasi
dapat menyebabkan herpetic whitlow atau keratokonjungtivitis, terutama saat infeksi
primer, namun jarang pada infeksi herpes rekuren. Belum ada bukti penelitian bahwa
HSV dapat menular melalui fomites, penggunaan pakaian atau handuk secara
bersama ataupun dari lingkungan. Penularan perinatal kepada bayi baru lahir dapat
terjadi, terutama jika infeksi baru terjadi pada kehamilan trimester akhir.
HSV memiliki kemampuan untuk menyerang dan melakukan replikasi di dalam
jaringan saraf, kemudian virus tersebut memasuki masa laten di dalam jaringan saraf,
terutama di ganglia trigeminal untuk HSV-1, dan pada ganglia sacralis untuk HSV-2.
Akhirnya, virus laten tersebut melakukan reaktivasi dan bereplikasi sehingga
menyebabkan penyakit pada kulit.

c. KLASIFIKASI KLINIS
Tempat predileksi HSV-1 di daerah pinggang ke atas terutama di daerah mulut
dan
hidung, biasanya dimulai pada usia anak-anak. Inokulasi dapat terjadi secara
kebetulan, misalnya kontak kulit pada perawat, dokter gigi, atau pada orang yang
sering menggigit jari (herpetic Whitlow). Virus ini juga sebagai penyebab herpes
ensefalitis. Infeksi primer oleh HSV-2 mempunyai tempat predileksi di daerah
pinggang ke bawah, terutama di daerah genital, juga dapat menyebabkan herpes
meningitis dan infeksi neonatus. Daerah predileksi ini sering kacau karena adanya
cara hubungan seksual seperti oro-genital, sehingga herpes yang terdapat di daerah
genital kadang-kadang disebabkan oleh HSV-1 sedangkan di daerah mulut dan rongga
mulut dapat disebabkan oleh HSV-2.

a) Primary Genital Herpes


adalah saat pasien pertama kali terinfeksi HSV. Infeksi primer berlangsung
lebih lama dan lebih berat, kira-kira 3 minggu dan sering disertai gejala sistemik
misalnya demam, malese, dan anoreksia, dan dapat ditemukan pembengkakan
kelenjar getah bening regional, limfadenopati regional, neuropati regional dan
keterlibatan mukosa (cervicitis, uretritis). Kelainan klinis yang dijumpai berupa
vesikel yang berkelompok di atas kulit yang sembab dan eritematosa, berisi cairan
jernih dan kemudian menjadi seropurulen, dapat menjadi krusta dan kadang-
kadang mengalami ulserasi yang dangkal, biasanya sembuh tanpa sikatriks. Pada
perabaan tidak terdapat indurasi. Kadang-kadang dapat timbul infeksi sekunder
sehingga memberi gambaran yang tidak jelas. Umumnya didapati pada orang
yang kekurangan antibodi virus herpes simpleks. Pada wanita ada laporan yang
mengatakan bahwa 80% infeksi HSV pada genitalia eksterna disertai infeksi pada
serviks.

b) Initial Nonprimary Genital Herpes


Infeksi terjadi pada orang yang sebelumnya pernah terinfeksi oleh HSV
tipe lain, biasanya orang yang baru saja terinfeksi HSV-2 sebelumnya seropositif
terhadap HSV- 1. Pada jenis ini, manifestasi penyakit secara sistemik jarang
terjadi.

c) Recurrent Genital Herpes


Pada jenis ini, infeksi terjadi untuk kedua kalinya atau berikutnya oleh
tipe virus yang sama. Infeksi ini berarti HSV pada ganglion dorsalis yangdalam
keadaan tidak aktif, dengan mekanisme pacu menjadi aktif dan mencapai kulit
sehingga menimbulkan gejala klinis. Mekanisme pacu tersebut dapat berupa
trauma fisik (demam, infeksi, kurang tidur, hubungan seksual, dsb), trauma psikis
(gangguan emosional, menstruasi), dan dapat pula timbul akibat jenis makanan
dan minuman yang merangsang. Infeksi rekurens ini dapat timbul pada tempay
yang sama (loco) atau tempat lain/tempat di sekitarnya (non loco).
Herpes genitalis akibat HSV-2 biasanya lebih sering mengalami reaktivasi
daripada herpes genitalis akibat HSV-1. Manifestasi klinis pada herpes genitalis
rekuren biasanya lebih ringan dan lebih singkat dari pada infeksi pertama,
biasanya berlangsung kira-kira 7 sampai 10 hari. Sering ditemukan gejala
prodormal lokal sebelum timbul vesikel berupa rasa panas, gatal, dan nyeri.
Bersama dengan herpes genital rekuren dapat ditemukan cervicitis, uretritis,
limfadenopati, neuropati, gejala sistemik, namun sangat jarang.

d) Subclinical Infection
Sebagian besar infeksi HSV bersifat subklinis, termasuk tipe primary,
nonprimary initial , atau recurrent herpes. Pada herpes genitalis fase ini berarti
pada penderita tidak ditemukan gejala klinis, tetapi HSV dapat ditemukan dalam
keadaan tidak aktif pada ganglion dorsalis.

d. PATOGENESIS
HSV-1 dan HSV-2 termasuk famili Herpesviridae dan subfamili Alpha herpes
viridae.Virus ini adalah virus DNA beruntai ganda ditandai dengan sifat biologis sebagai
berikut :
Neurovirulensi (kemampuan untuk menyerang dan bereplikasi dalam
sistemsaraf). Latensi (pembentukan dan pemeliharaan infeksi laten di ganglia sel saraf
proksimal dari lokal infeksi). Pada infeksi HSV orofacial, ganglia trigeminal yang paling
sering terlibat, sementara, pada infeksi HSV genital, akar ganglia saraf sacral (S2-S5) yang
terlibat.
Reaktivasi : reaktivasi dan replikasi HSV laten, selalu di daerah yang dipersarafi
oleh ganglia dimana tempat virus latensi, dapat disebabkan oleh berbagai rangsangan
(misalnya demam, trauma, stress emosional, sinar matahari, menstruasi), sehingga
berakibat infeksi berulang yang jelas atau samar-samar dan kemunculan kembali HSV.
Pada orang imunokompeten yang berada pada resiko yang sama tertular HSV-1 dan HSV-
2 baik secara oral maupun genital, HSV-1 reaktivasi lebih sering oral daripada genital.
Demikian pula HSV-2 mengaktifkan kembali 8-10 kali lebih umum di daerah genital
daripada di daerah orolabial. Reaktivasi lebih umum dan parah pada individu
imunocompromised.
Penyebaran infeksi herpes simpleks dapat terjadi pada orang dengan gangguan
imunitas Penyebaran infeksi herpes simpleks dapat terjadi pada orang dengan gangguan
imunitas sel T, seperti di penerima transplantasi organ pada individu dengan AIDS. HSV
tersebar di seluruh dunia. Manusia adalah satu-satunya reservoir alami, dan tidak ada
vektor yang terlibat selama transmisi. Endemisitas mudah bertahan dalam manusia
karena adanya infeksi laten, reaktivasi periodik, dan virus yang muncul tanpa gejala.
Selama infeksi primer, replikasi dimulai di dalam sel berinti pada dermis dan
epidermis. Setiap sel yang terinfeksi pasti dibunuh dan jumlah sel yang terlibat dalam
proses infeksi menentukan apakah secara klinis akan berkembang membentuk lesi,
atauyang lebih sering malah menjadi subklinis. Dalam dua keadaan tersebut, ujung saraf
sensoris akan terinfeksi, kemudian virus pindah melalui akson ke ganglia sakralis dan
disana akan dimulai periode laten. HSV hanya dapat dikultur dari ganglion selama periode
infeksi primer. Virus menyebar ke daerah lain secara sentrifugal dimana vesikel terbentuk
akibat migrasi dari HSV-2 ke saraf sensoris lainnya dan via autoinokulasi. Viremia terjadi
pada 25% pasien dengan infeksi primer.
Kemudian HSV-2 akan mempertahankan dirinya ke dalam periode laten di dalam
ganglion dimana aktivasi sistem kekebalan tubuh sangat terbatas. Virus tersebut
kemudian akan keluar dari neuron sensoris ke daerah genital sehingga menyebabkan
terjadinya periode subklinis ataupun berkembang menjadi lesi herpes genital. Sistem
imun penderita, terutama limfosit CD8+, sangat penting dalam proses terbentuknya lesi
genital.(6) Terbentuknya lesi pada genital (simtomatik) menunjukkan adanya viral
shedding, yaitu saat dimana virus menjadi aktif dan keluar dari ganglion saraf menuju ke
permukaan kulit dan menimbulkan lesi. Sebuah penelitian di Amerika meneliti tentang
besarnya angka viral shedding yang diukur dengan quantitive real-time fluorescence
polymerase chain reaction untuk HSV DNA dari swab genital, pada herpes genitalis yang
simtomatik dan asimtomatik. Hasilnya, pada herpes genitalis simtomatik lebih sering
ditemukan viral shedding daripada yang asimtomatik.

e. MANIFESTASI KLINIS
Masa inkubasi herpes genitalis biasanya berkisar antara 3-5 hari untuk infeksi
primeryang simtomatik, kadang 10 hari, jarang mencapai 3 minggu.

GEJALA KLINIS
a) Primary Genital Herpes
Lesi pada daerah genital atau perianal multipel, biasanya bilateral. Umumnya
dapat ditemukan vaginal discharge. Urethral discharge umum ditemukan pada laki-
laki, biasanya disertai dengan disuria berat. Lesi kutaneus muncul setelah 7- 15 hari
berupa papul, menjadi vesikel, menjadi pustul, menjadi ulkus, lalu menjadi krusta.
Lesi pada mukosa atau permukaan yang lembab (misalnya introitus vagina, labia
minor, uretra, rektum) mengalami ulserasi lebih awal, sering disertai dengan nyeri
yang berat dan tidak berubah menjadi krusta. Nyeri dan bengkak pada daerah
inguinal juga sering ditemukan, biasanya bilateral. Infeksi yang didapatkan melalui
seks secara anal dapat dirasakan nyeri pada rektum, keluar cairan, tenesmus, dan
beberapa gejala dari proctitis. Demam, malaise, nyeri kepala juga sering ada, dan
kadang-kadang fotofobia dan kaku pada leher.
b) First Episode Non primary Genital Herpes
Lesi yang ditemukan pada tipe ini biasanya lebih sedikit daripada infeksi primer.
Biasanya terjadi selama 10-20 hari. Nyeri dan bengkak pada daerah inguinal lebih
jarang ditemukan daripada infeksi primer.

c) Recurrent Genital Herpes


Pada herpes genitalis rekuren biasanya terbentuk lesi berkelompok yang terdiri
dari 2- 10 lesi, lokasinya di bagian lateral dari garis tengah dan hanya terdapatdi
satu sisi tubuh. Lesi tersebut biasanya timbul 2-3 cm dari lokasi lesi sebelumnya.
Gejala infeksi rekuren selain dapat terjadi di genital dan perianal, juga dapat terjadi
di daerah bokong, paha, dan perut bagian bawah (disebut juga area “boxer
shorts”). Lesi yang paling sering ditemukan adalah lesi ulseratif atipikal, tanpa
didahului oleh periode vesikular ataupun pustular. Gejala neurologis prodormal
biasanya muncul 1-2 hari sebelum timbul lesi, biasanya berupa parestesia (rasa
terbakar, kesemutan), atau hypesthesia pada daerah lesi atau di sepanjang
perjalanan nervus sakralis. Gejala sistemik dan pembengkakan daerah inguinal
jarang ditemukan.

f. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Terdapat beberapa metode pemeriksaan laboratorium yang dapat digunakan
untuk menunjang penegakan diagnosis infeksi HSV, tentunya dengan spesifisitas
dansensitivitas yang beragam. Metode-metode tersebut antara lain :
a) Pemeriksaan sitologi
Pemeriksaan sitologi dilakukan dengan Tzanck smears, pewarnaan Papanicolaou
atau Romanovsky, dan imunofluoresens. Tzanck smears dengan pewarnaan Giemsa
menggunakan bahan dari kerokan lesi kulit atau mukosa. Dapat ditemukan sel datia
berinti banyak dan badan inklusi intranuklear.Ini merupakan pemeriksaan
yang murah, namun spesifisitas dan sensitivitanya rendah.
Pewarnaan Papanicolaou atau Romanovsky menggunakan bahan dari hasil biopsi,
sedangkan deteksi sel yang terinfeksi dengan imunofluoresens menggunakan hasil
kerokan dasar vesikel. Pemeriksaan ini murah dan cepat, spesifisitas dan sensitivitas
nya lebih tinggi daripada Tzanck smears.

b) Pemeriksaaan biologi molekular


Akhir-akhir ini, deteksi DNA HSV berdasarkan amplifikasi asam nukleat dan
polymerase chain reaction (PCR) sudah menjadi metode alternatif karena
pemeriksaan ini empat kali lebih sensitif, hasilnya tidak dipengaruhi oleh cara
pengumpuan sampel dan proses transportasi, serta pengerjaannya lebih cepat
daripada kultur virus. Sampel pemeriksaan didapatkan dari swab, kerokan lesi kulit,
cairan dari vesikel, eksudat dari dasar vesikel, atau sampel dari mukosa yang tidak
terdapat lesi. Keuntungan dari pemeriksaan ini adalah sensitivitas dan spesifisitas
nya paling tinggi daripada pemeriksaan yang lain. Namunpemeriksaan ini hanya
bisa dilakukan di laboratorium tertentu yang memiliki fasilitas yang mendukung
pemeriksaan tersebut.
c) Kultur virus
Kultur virus digunakan untuk menentukan tipe virus, sudah lama menjadi
landasan untuk penegakan diagnosis infeksi HSV selama dua dekade terakgir dan
sudah ditentukan sebagai gold standard diagnosis laboratoris untuk infeksi HSV.
Sampel diambil dari swab, kerokan lesi kulit, cairan dari vesikel, eksudat dari dasar
vesikel, atau dari mukosa yang tanpa lesi. Pemeriksaan ini cukup mahal, tidak lebih
sensitif dari PCR, sensitivitasnya bervariasi dari rendah ke tinggi tergantung
keadaan klinis pasien dan spesifisitasnya cukuo tinggi.
d) Deteksi antigen virus
Antigen virus dapat dideteksi oleh direct immunofluorescence (IF) assay dengan
menggunakan antibodi monoklonal spesifik yang sudah diberi label fluorescein,
atau oleh enzyme immunoassay (EIA) pada swab. Sampel diambil dari swab,
kerokan dari lesi, cairan dari vesikel, dan eksudat dari dasar vesikel. Spesifisitas
kedua pemeriksaan tersebut cukup tinggi, yaitu berkisar antara 62- 100% untuk
pemeriksaan ELISA, dan pada immunoperoxidase stainingdapat mencapai 90%.
Sensitivitas kedua pemeriksaan tersebut cukup tinggi, yaitu berkisar antara 85-90%.

2.7 DIAGNOSIS BANDING


Herpes genitalis harus dibedakan dengan ulkus durum, ulkus mole, dan ulkus mikstum,maupun
ulkus yang mendahului penyakit limfogranuloma venerum.
a. Chancroid, atau yang lebih dikenal dengan ulkus mole adalah ulkus yang kotor, merah
dan nyeri. Merupakan penyakit menular seksual yang ditandai dengan ulkus genitalis nekrotik
yang sangat nyeri, disertai dengan limfadenipati inguinal. Penyakit ini disebabkan oleh
Haemophilus ducreyi, bakteri gram-negatif berbentuk
basil anaerob yang sangat infektif. Bakteri ini masuk ke dalam kulit melalui mukosa yang tidak
intak dan menyebabkan reaksi inflamasi. H. Ducreyi ditularkan secara seksual melalui kontak
langsung dengan lesi purulen dan dengan autoinokulasi pada daerah nonseksual misalnya mata
dan kulit. Penyakit ini biasanya dimulai dengan
papul inflamasi berukuran kecil pada tempat inokulasi, beberapa hari kemudian,
papul akan berubah menjadi ulkus yang sangat nyeri. Tanpa pengobatan, lesi dapat bertahan
beberapa minggu sampai beberapa bulan, dan dapat berkomplikasi menjadi limfadenopati
supuratif.(11) Pada ulkus mole, tanda-tanda radang akut lebih mencolok dan pada pemeriksaan
penunjang sediaan apus berupa bahan dari dasar ulkus tidak ditemukan sel datia berinti banyak.
(1)
Gambar 6. Ulkus mole yang melebar dengan eksudat, telah menghancurkan frenulum Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine. 7th ed .
b. Limfogranuloma venerum adalah penyakit sistemik yang disebabkan oleh Chlamydia
trachomatis, afek primer biasanya cepat hilang, bentuk yang tersering adalah sindrom inguinal.
Sindrom tersebut berupa limfadenitis dan penadenitis
beberapa kelenjar getah bening inguinal medial dengan kelima tanda radang akut dan disertai
gejala konstitusi, kemudian akan mengalami perlunakan yang tak serentak.
10

Gambar 7. Limfogranuloma venerum: erosi yang tidak nyeri pada preputium. Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine. 7th ed .
Gambar 8. Pembesaran kelenjar getah bening inguinal unilateral. Kulit di permukaannya
eritematosa dan terdapat indurasi. Lesi primer belum terbentuk.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed .
c. Sifilis, adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum, sangat kronik dan
bersifat sistemik. Pada perjalanannya dapat menyerang hampir semua alat tubuh, dapat
menyerupai banyak penyakit, mempunyai masa laten, dan dapat ditularkan dari ibu ke janin. Pada
anamnesis diketahui masa inkubasi, tidak terdapat gejala konstitusi, demikian pula gejala
setempat yaitu tidak ada rasa nyeri. pada afek primer yang penting adalah terdapat erosi/ulkus
yang bersih, soliter,
bulat/lonjong, teratur, indolen dengan indurasi: T. Pallidum positif. Kelainan dapat nyeri jika
disertai infeksi sekunder. Kelenjar regional dapat membesar, indolen, tidak berkelompok, tidak
ada periadenitis, tanpa supurasi.Berbeda dengan sifilis, herpes simpleks bersifat residif, dapat
disertai keluhan berupa rasa gatal atau nyeri,
10

lesi berupa vesikel di atas kulit yang eritematosa, berkelompok. Jika telah pecah tampak
kelompok erosi, sering berkonfluensi dan polisiklik, tidak terdapat indurasi.(1)
Gambar 9. Ulkus pada awal sifilis, tampak sebagai papul yang datar dan mengalami erosi, dengan
tepi yang meninggi dan dasar yang halus, bersih.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed .
2.8 PENATALAKSANAAN
2.8.1
Primary Genital Herpes
Penatalaksanaan umum untuk herpes genitalis adalah membersihkan area yang bersangkutan
(terdapat lesi) dengan normal saline, pemberian analgesik (sistemik maupun lokal, seperti lidokain
gel), dan perawatan infeksi sekunder oleh bakteri.(12) Selain itu juga diberikan terapi antiviral
spesifik misalnya asiklovir yang terbukti efektif dalam mengobati infeksi virus serta
ketersediaannya dalam bentuk generik. Obat lainnya, seperti valaciclovir dan famciclovir,
digunakan dalam dosis yang lebih jarang daripada asiklovir, namun harganya lebih mahal.
Penelitian menunjukkan ketiga obat tersebut dalam menurunkan berat dan durasi dari gejala
klinis akibat infeksi virus. Biasanya lama pemberian obat-obatan antivirus adalah lima hari, namun
BASHH
guidelines merekomendasikan pengobatan harus tetap dilanjutkan lebih dari lima hari jika lesi
yang baru masih terus terbentuk, jika gejala dan tanda berat, atau jika pasien mengidap HIV atau
jika terdapat penyakit komplikasi lainnya. Guideline tersebut juga menyatakan bahwa kombinasi
obat oral dan topikal tidak menunjukkan keuntungan.(12)Obat antiviral sistemik intravena hanya
diberikan jika pasien memiliki kesulitan menelan atau tidak dapat mentoleransi obat-obatan
karena muntah.
10

Rekomendasi terapi oral untuk infeksi herpes genitalis primer (diberikan selama lima hari) adalah
sebagai berikut: (13)
Aciclovir 200 mg lima kali sehari, atau Aciclovir 400 mg tiga kali sehari, atau Famciclovir 250 mg
tiga kali sehari, atau Valaciclovir 500 mg dua kali sehari.
2.8.2 Herpes Genitalis Rekuren
Penatalaksanaan serangan rekuren dari herpes genitalis meliputi terapi suportif,
terapi antiviral episodik, atau terapi antiviral supresif. Kebanyakan serangan rekuren bersifat
ringan dan self limiting , namun dapat diobati hanya dengan terapi suportif. Penatalaksanaan
umum untuk pasien herpes genitalis rekuren antara lain membersihkan daerah yang terdapat lesi
dengan normal saline, pemberian analgetik (sistemik maupun lokal seperti lidokain gel), dan
merawat infeksi sekunder karena bakteri.(12)
Terapi suportif yang dimaksud adalah kompres dengan normal saline, penggunaan analgetik,
konseling perilaku seksual. Terapi antiviral episodik yang dimaksud adalah dilakukan pengobatan
saat terdapat gejala prodormal atau pada awal serangan. Asiklovir oral, valasiklovir, dan
famsiklovir menurunkan berat dan durasi penyakit dalam waktu 1-2 hari. Antiviral topikal tidak
lebih efektif dari terapi sistemik.(12) Rekomendasi terapi episodik oral untuk herpes genitalis
rekuren (diberikan selama lima hari) adalah sebagai
berikut:(13)
Aciclovir 200 mg lima kali sehari, atau
Aciclovir 400 mg tiga kali sehari selama 3-5 hari, atau Valaciclovir 500 mg dua kali sehari, atau
Famciclovir 125 mg dua kali sehari.
Sedangkan yang dimaksud dengan terapi antiviral supresif adalah untuk mengurangi rekurensi
dari herpes genitalis. Pasien harus segera menghentikan penggunaan obat-obatan tersebut
setelah 12 bulan.(12) Rekomendasi terapi supresif oral untuk herpes genitalis adalah sebagai
berikut: (13)
10

Aciclovir 400 mg dua kali sehari, atau Valaciclovir 250 mg dua kali sehari, atau Valaciclovir 500 mg
satu kali sehari, atau Valaciclovir 1 gram sehari, atau Famciclovir 250 mg dua kali sehari.
2.9 PROGNOSIS
Selama pencegahan rekurens masih merupakan masalah, hal tersebut secara
psikologik akan memberatkan penderita. Pengobatan secara dini dan tepat memberi prognosis
yang lebih baik, yakni masa penyakit berlangsung lebih singkat dan rekurens lebih panjang. Pada
orang dengan gangguan imunitas misalnya pada penyakit-penyakit dengan tumor di sistem
retikuloendotelial, pengobatan dengan imunosupresan yang lama atau fisik yang sangat lemah,
menyebabkan infeksi ini dapat menyebar ke alat-alat dalam dan dapat fatal. Prognosis akan lebih
baik seiring dengan meningkatnya usia seperti pada orang dewasa.(1)
2.10 KOMPLIKASI
Infeksi HSV-2 selain dapat menyebabkan penyakit herpes genitalis, juga dapat
menyebabkan komplikasi pada retina, otak, batang otak, nervus kranialis, medulla spinalis, dan
nerve roots. Secara umum, infeksi HSV-2 dapat menyebabkan meningitis. Manifestasi kelainan
neurologis akibat infeksi HSV-2 antara lain herpes simpleks ensefalitis pada neonatus, meningitis
aspetik akut pada dewasa, meningitis aseptik rekuren, ensefalitis dan meningonesefalitis HSV-2
pada dewasa, radikulopati HSV-2, serta nekrosis retina akut.(9)Sacral radiculopathy dapat
ditunjukkan dengan adanya gejala hyperesthesia pada saat terjadi infeksi herpes simpleks primer.
Amitriptilin dapat menjadi pilihan untuk terapi infeksi ini jika terapi antiviral sistemik tidak
adekuat atau tidak efektif.(10)
Sesuai dengan rekomendasi European guideline for the management of Genital Herpes pada
tahun 2010, jika herpes genitalis disertai dengan komplikasi penyakitlainnya, maka waktu
pengobatan dapat diperpanjang lebih dari lima hari.(13)
10

2.11 PENCEGAHAN
Kunci dari penanganan orang yang terinfeksi HSV-2 adalah dengan melakukankonseling
mengenai pencegahan penularan penyakit tersebut. Menghindari kontak seksual dengan
pasangan terutama selama masih ada lesi pada daerah genital dan saatterjadi gejala prodormal,
serta penggunaan kondom, ternyata telah terbukti dapat menurunkan angka penularan infeksi
HSV-2, meskipun tidak menghilangkan sama sekali. Ditambah dengan pemberian Valacyclovir 500
mg setiap hari pada penderita awal dapat mengurangi angka penularan hingga 50%.
Pengembangan vaksin untuk HSV adalah pendekatan terbaik untuk pencegahan infeksi ini.
2.12 INFEKSI HSV-2 PADA KEADAAN TERTENTU 2.12.1 KEHAMILAN
Manifestasi klinis infeksi herpes genialis kronik hampir sama baik padawanita hamil maupun tidak
hamil, meskipun kehamilan tidak meningkatkan frekuensi dari rekurensi. Infeksi primer selama
kehamilan lebih sering
berhubungan dengan komplikasi seperti penyebaran secara viseral, terutama
jika infeksi didapatkan pada trimester ketiga. Infeksi primer yang didapat saat kehamilan harus
diobati dengan obat-obatan antiviral sistemik.(6)
2.12.2 NEONATUS
Infeksi HSV pada neonatus memiliki angka mortalitas sebesar 65% danangka
disabilitas jangka panjang sebesar 80%, meskipun telah diberikan terapi antiviral. Lesi kutaneus
sering ditemukan. Infeksi kongenital sangat jarang terjadi dan hanya terjadi jika tertular saat usia
kehamilan trimester ketiga, manifestasinya berupa mikrosefali dan korioretinitis. Penatalaksanaan
untuk
penyakit ini adalah asiklovir intravena dosis tinggi (20mg/kgBB setiap 8 jam selama 21 hari).
Penularan yang paling sering adalah pada saat melahirkan, sedangkan kasus setelah proses
kelahiran jarang ditemukan. Bayi yang lahir dari ibu yang sedang terinfeksi herpes genitalis
dengan lesi aktif, harus ditempatkan di ruang isolasi dan dilakukan kultur virus, pemeriksaan
fungsi hati dan pemeriksaan cairan serebrospinal.(6)
10

2.12.3 HIV/AIDS
Penderita dengan immunocompromised biasanya memiliki gejala yang lebih
berat serta lebih lama pada daerah genital, perianal, atau oral. Lesi yang disebabkan oleh HSV
biasanya bersifat atipik, lebih nyeri, serta lebih berat. Meskipun terapi antiretroviral bisa
menurunkan tingkat keparahan dari infeksi herpes genital, namun infeksi subklinik tetap dapat
terjadi. Pemberian terapi supresif atau terapi episodik menggunakan agen antivirus oral terbukti
efektif dalam memperingan manifestasi klinik dari HSV yang disertai dengan infeksi HIV.
10

BAB III KESIMPULAN


Virus herpes simpleks tipe 2 (HSV-2) adalah penyebab herpes genitalis yang umum, namun selain
di daerah genital, virus ini juga dapat bereplikasi di semua jaringan pada tubuh manusia, dan
terkadang dapat menyebabkan keratitis, hepatitis, pneumonitis, meningitis dan sepsis neonatal.
Seroprevalensi dari herpes genitalis masih tinggi di seluruh dunia, di Amerika sebesar 17%. Pada
pasien yang simtomatik dan asimtomatik, infeksi tidak selalu ditandai dengan adanya keluhan
maupun lesi di daerah genital, hal tersebut menyebabkan
penularan dan inflamasi yang persisten.(6)
HSV-2 masih menjadi patogen yang dapat menyebar luas ke banyak populasi dan biasanya
menyebabkan infeksi berat pada neonatus dan pasien dengan sistem imun yang rendah. Yang
sekarang menjadi sorotan adalah pengembangan obat-obatan antivirus yangdapat menekan
rekurensi, viral shedding , penularan secara seksual, penularan pada neonatus; serta
pengembangan vaksin terhadap HSV.(

Anda mungkin juga menyukai