Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Studi tentang penyakit-penyakit kelamin dikaitkan dengan lesi yang infeksius maupun
yang non infeksius, biasanya merupakan peradangan yang ditularkan melalui hubungan
seksual. Penyakit kelamin harus dipandang baik dari segi sosial yaitu hubungan
masyarakat dan kebiasaan-kebiasaan maupun hubungan masyarakat dan kebiasaan-
kebiasaan hubungannya dengan sikap individu-individu sikap dan tingkah laku mereka,
masalah epidemiologis dapat timbul sehubungan dengan adanya pembawa kuman yang
infeksius, berganti-ganti pasangan dalam hubungan seksual, pelacuran, homoseksualitas
(Lachan, 1987).
Penyakit menular seksual terkadang timbul tanpa gejala dan tanpa disadari. Umumnya
pekerja seks komersial menjadi sumber penyebaran penyakit menular seksual, pasalnya
mereka suka berganti-ganti pasangan dengan banyak orang. Tidak ada salahnya kita
mengenal lebih dini dan lebih dekat dengan “titipan” yang membawa petaka. salah satu
contohnya yaitu Trichomonas. Menurut Gandahusada dkk (1998) bahwa Infeksi
Trichomonas vaginalis pertama kali diuraikan oleh Donne pada tahun 1836 dengan
menemukan parasit ini dalam sekret vagina seorang penderita dengan vaginitis
(Gandahusada dkk, 1998).
Penyakit ini dapat menyerang seluruh lapisan masyarakat baik anak-anak maupun
orang dewasa tetapi prevalensi yang tinggi dijumpai pada masa aktif hubungan kelamin
(16-35 tahun) terutama pada mereka yang kurang menjaga kebersihan atau wanita penjaja
seks (Lestadi, 1997). Menurut Garcia dan Bruckner (1998) infeksi ini dapat ditemukan
pada pemeriksaan sampel di sekret vagina dandiperkirakan lima juta wanita di Amerika
serikat dan satu juta pria mengidap Trichomoniasis. Angka-angka untuk Indonesia yang
diambil dari hasil penelitian di RSCM Jakarta ialah 16% dari klinik kebidanan dan 25%
dari 1.146 dari klinik wanita ginekologi (Garcia dan Bruckner, 1998). Penyakit
Trichomonas mudah menular melalui hubungan seksual tapi tidak tertutup kemungkinan
kontak langsung dengan penderita atau benda-benda yang tercemar, misalnya:
perlengkapan kamar mandi, dan toilet serta celana dalam.

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka karya tulis ilmiah ini di rumuskan sebagai
berikut :
1. Berapa persentase infeksi protozoa trichomonas vaginalis yang datang ke RSUD
KOTA TANGERANG Periode Januari 2015 – Desember 2018?
2. Apakah metode diagnosa yang tepat untuk pemeriksaan protozoa trichomonas
vaginalis?
3. Apa peranan trichomonas vaginalis sebagai pengantar penyakit seksual lainnya?
C. Tujuan Penulisan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah ini meliputi:
1. Menjelaskan mengetahui profil pasien trikomoniasis di RSUD KKOTA
TANGERANG Periode Januari 2015 – Desember 2018
2. Menjelaskan beberapa teknik laboratorium dalam diagnosis trikomoniasis, mulai dari
pemeriksaan sederhana sampai pemeriksaan molekuler, termasuk kelebihan dan
kekurangannya diharapkan dapat membantu menegakkan diagnosis, pengobatan,
maupun kontrol penyakit ini secara lebih akurat, sehingga dapat mengurangi kejadian
trikomoniasis sebagai penyakit menular seksual.
3. mengindikasikan bahwa infeksi Trichomonas vaginalis meningkatkan transmisi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) atau dapat mengakibatkan keganasan pada
servix.
D. Manfaat Penulisan Penelitian
teknik laboratorium dalam diagnosis trikomoniasis, mulai dari pemeriksaan sederhana
sampai pemeriksaan molekuler, termasuk kelebihan dan kekurangannya diharapkan dapat
membantu menegakkan diagnosis, pengobatan, maupun kontrol penyakit ini secara lebih
akurat, sehingga dapat mengurangi kejadian trikomoniasis sebagai penyakit menular
seksual.
Pada kebanyakan wanita yang menderita trichomoniasis sering dijumpai bersamaan
dengan infeksi oleh organisme yang juga patogen seperti Ureaplasma urealyticum dan
atau Mycoplasma hominis sekitar lebih dari 90%, Gardnerella vaginalis sekitar 90%,
Neisseria gonorrhoe sekitar 30%, jamur sekitar 20%, dan Chlamydia trachomatis sekitar
15%.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Gambaran umum infeksi


Trichomonas vaginalis biasanya di tularkan melalui hubungan seksual. Parasit hidup
dalam vagina dan urethra wanita dan prostate, vesica seminalis dan urethra pria. Dan
ternyata organism ini dapat bertahan hidup selama 45 menit di tempat dudukan toilet, alat
mandi, pakaian dan air hangat. Penularan perinatal ditemukan sekitaran 5% dari ibu yang
terinfeksi trichomonas, tetapi biasanya ‘self-limited’ oleh Karena metabolisme dari
hormon ibu. Tetapi pernah di laporkan suatu kasus ‘respiratory distress’ bayi laki-laki
cukup bulan, dimana pada sediaan basah sputum kentalnya di jumpai sedikit leukosit dan
organisme trichomonas vaginalis.
Pernah di temukan pada anak yang baru lahir juga dengan secara kebetulan di
temukan pada anak dan wanita yang maih perawan, mungkin terjadi infeksi melalui
handuk dn pakaian yang tecemar. Derajat keasaman norma pada vagina adalah 4,0-4,5
tetapi bila terinfeksi akan berubah menjadi 5,0-6,0 sehingga organism ini dapat tumbuh
dengan baik.

B. Toksonomi dan Sejarah Penemuan


Trichomonas vaginalis merupakan protozoa dari super-class mastigophora (Diesing,
1866) class Zoomastigophora (Calkins, 1909), ordo Trichomonadina (Kirby, 1947), dan
family trichomonadidae (Chalmes dan pekola, 1918). Famili trichomondidae ini
kemudian oleh honigberg (1946) di bagi menjadi subfamili trichomonadinae (dengan
genus trichomonas dan pentatrichomonas) dan tritrichomonadinae.
Trichomonas vaginalis pertama kali dideskripsikan oleh Alfred Donne pada tanggal
19 september 1836 pada saat Academy of Sciences di paris. Pada saat itu di katakna
bahwa ia menemukan suatu organisme yang disebut sebagai Animalcules dari secret segar
vagina. Dan di sepakati pada saat itu juga organisme ini di namakan trico-monas
vaginale, oleh karena mirip dengan organisme dari genus monas dan trichodina.

3
Dua tahun kemudian Ehrenberg memastikan penemuan Donne dan memberikan
nama pda protozoa ini yaitu trichomonas vaginalis. Pada tahun 1884, marchand
menemukan trichomonas vaginalis pada traktus urinarius pria.
Selama 50 tahun selanjutnya, penelitian tentang trichomonas vaginalis tidak begitu
menarik perhatian para ilmuwan. Mereka lebih tertarik mempelajari diagnosis dan
pengobatan gonorrhoe dan syphilis sebagai penyakit yang di tularkan melalui hubungan
eksual. Dan baru pada tahun 1916 Hoehne melaporkan bahwa trichomonas vaginalis
adalah suatu flagellate yang patogenik karena ia menemukan kolpitis yang disebabkan
oleh trichomonas vaginalis.
Penelitian tentang protozoa ini terus berkembang hingga pada tahun 1943 oleh
Allison trichomonas direkomdasikan sebagai salah satu penyebab penting nyakit yang di
tularkan melalui hubungan seksual. Dari beberapa spesies trichomonas (trichomonas
vaginalis, trichomonas tenax dan pentatrichomonas hominis), yang bersifat patogen ada
manusia hanya tichomonas vaginalis.

C. Morfologi dan Biologi Trichomonas Vaginalis


Protozoa ini berbentuk oval, panjang 4-32 µm dan lebar 2,4-14,4 µm, memiliki
flagella dan undulating membran yang panjangnya hanya setengah panjang tubuhnya.
Intinya berbentuk oval dan terletak di bagian atas tubuhnya, di belakang inti terdapat
blepharoblast sebagai tempat keluarnya 4 buah flagella yang menjuntai bebas dan
melengkung di ujungnya sebagai alat geraknya yang ‘maju-mundur’. Flagella kelima
melekat ke undulating membrane dan menjuntai ke belakang sepanjang setengah panjang
tubuh protozoa ini. Sitoplasma terdiri dari suatu struktur yang berfungsi seperti tulang
yang disebut sebagai axostyle.

4
Trichomonas vaginalis ini memperoleh makanan secara osmosis dan fagositosis.
Perkembangbiakannya dengan cara membelah diri (binary fision), dan inti membelah
dengan cara mitosis yang dilakukan setiap 8 sampai 12 jam dengan kondisi yang
optimum. Jadi tidak heran bila dalam beberapa hari saja protozoa ini dapat berkembang
mencapai jutaan. Tidak seperti protozoa lainnya, Trichomonas vaginalis tidak memiliki
bentuk kista.
Sel-sel Trichomonas vaginalis memiliki kemampuan untuk melakukan fagositisis.
Vakuola, partikel, bakteri, virus, atau pun leukosit dan eritrosit (tetapi jarang) dapat
ditemukan di dalam sitoplasma. Pada infeksi yang ditemukan bercampur dengan
Neisseria gonorrhoe, Mycoplasma hominis, atau Chlamydia trachomatis, maka
kebanyakan gonococcus akan dibunuh dalam waktu 6 jam, dan semua mycolasma akan
dibunuh dalam waktu 3 jam. Belum diketahui berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk
membunuh Chlamydia trachomatis, tetapi belum ada bukti yang menunjukkan
Chlamydia trachomatis dapat bertahan hidup bila dijumpai infeksi campuran dengan
Trichomonas vaginalis.
Untuk hidup dan berkembang biak, Trichomonas vaginalis membutuhkan kondisi
lingkungan yang konstan dengan temperatur sekitar 35-37°C, pH antara 4,9 dan 7,5 dan
sangat baik perumbuhannya pada pH berkisar 5,5 dan 6.

5
Sangat sensitif terhadap tekanan osmotik dan kelembaban lingkungan. Protozoa ini
akan cepat mati bila diletakkan di air atau dikeringkan. Meskipun penularan
Trichomonas vaginalis secara non-venereal sangat jarang, ternyata organisme ini dapat
hidup beberapa jam di lingkungan yang sesuai dengan lingkungannya.

Trichomonas vaginalis dapat diidentifikasi dari sediaan sekret vagina yang masih
segar, dimana kita dapat melihat organisme ini secara jelas beserta pergerakannya.
Selain dari sekret vagina, protozoa ini dapat juga kita temukan dalam urine. Tetapi
sediaan dari sekret vagina yang masih segar lebih baik karena protozoa ini sangat
sensitif dan mudah mati, apalagi pada urine bisa terdapat sel-sel lain (seperti leukosit)
yang menyulitkan kita untuk membedakannya.

D. Epidemiologi

Trichomonas vaginalis ditemukan di seluruh dunia di semua ras, tetapi delapan kali
lebih sering pada orang kulit hitam dibandingkan pada orang kulit putih. Trichomoniasis
menyebar luas di seluruh dunia, baik itu di pedesaan maupun perkotaan. Pada tahun
1970-an, WHO memperkirakan angka kejadian trichomoniasis mencapai 180 juta.

Di Amerika Serikat trichomoniasis menginfeksi sekitar 2-3 juta wanita, dan


organisme ini dijumpai pada 30-40% pria yang merupakan pasangan seksual penderita
trichomoniasis ini.

Tiga penelitian di Nigeria pada tahun 1993 menyebutkan angka prevalensi di afrika
barat 24,7% (505) dari 2048spesimen urine yang di ambil dari siswayang memiliki
pendidikan yang tinggi dimana 74% (375) pada wanita dan 26% (131) pada pria. Pada
populasi dengan resiko rendah umumnya angka kejadian trichomonas rendah, lebih
kurang 1%. Tetapi pada mereka yang beresiko tinggi seperti pekerja seks, gaya hidup
seks bebas, angka kejadiannya menjadi tinggi yaitu sekitaran 10-50% pada wanita. Suatu
studi di California menyebutkan 12% dari 204 pria positif trichomonas setelah dilakukan
kultur dari urinnya.

Suatu penelitian di dares-salam, Tanzania dari 359 pasien ginekologik yang di


periksa, ternyata mereka terinfeksi trichomonas vaginalis memiliki resiko 3 kali lipat
lebih besar terinfeksi HIV.
6
Akhir-akhir ini telah dilakukan studi di new orlens tentang hubungan antara HIV dan
trichomonas vaginalis, ternyata setelah di kumpulkan data dari tahun 1990 sampai 1998
si temukan ekitar 16,1% wanita pertahun adalah pendeerita co-infected HIV dan
trichomonas vaginaslis.

E. Patogenesis dan Patologi


Dalam kondisi normal, pH vagina berada di kisaran 3,8 dan 4,4 yang disebabkan oleh
adanya asam laktat yang dihasilkan oleh lactobacillus Döderlein. Lactobaciilus ini dalam
hidupnya menggunakan suplai glikogen yang terdapat pada sel-sel vagina. Jadi, dalam
pemeriksaaan sitologi vagina normal tidak terdapat bakteri atau mikroorganisme lain
kecuali lactobacillus Döderlein.
Trichomonas vaginalis masuk ke dalam vagina melalui hubungan seksual, yang
kemudian menyerang epitel squamosa vagina dan mulai bermultiplikasi secara aktif. Hal
ini menyebabkan suplai glikogen untuk lactobacillus menjadi berkurang bahkan menjadi
tidak ada sama sekali. Dan diketahui secara in vitro ternyata Trichomonas vaginalis ini
memakan dan membunuh lactobacillus dan bakteri lainnya.
Akibatnya jumlah lactobacillus Döderlein menjadi sedikit dan dapat hilang sama
sekali sehingga produksi asam laktat akan semakin menurun. Akibat kondisi ini, pH
vagina akan meningkat antara 5,0 dan 5,5. Pada suasana basa seperti ini selain
Trichomonas vaginalis berkembang semakin cepat, akan memungkinkan untuk
berkembangnya mikroorganisme patogen lainnya seperti bakteri dan jamur. Sehingga
pada infeksi trichomoniasis sering dijumpai bersamaan dengan infeksi mikroorganisme
patogen lainnya pada vagina.
Pada kebanyakan wanita yang menderita trichomoniasis sering dijumpai bersamaan
dengan infeksi oleh organisme yang juga patogen seperti Ureaplasma urealyticum dan
atau Mycoplasma hominis sekitar lebih dari 90%, Gardnerella vaginalis sekitar 90%,
Neisseria gonorrhoe sekitar 30%, jamur sekitar 20%, dan Chlamydia trachomatis sekitar
15%.
Suatu penelitian in vitro terhadap Trichomonas vaginalis menunjukkan bahwa
organisme ini memiliki kemampuan untuk menghancurkan sel target dengan kontak
langsung tanpa harus melalui proses phagocytosis. Organisme ini menghasilkan suatu

7
faktor pendeteksi sel (cell-detaching factor) yang menyebabkan kehancuran sel sehingga
mengelupas epithel vagina.
Suatu penelitian juga menunjukkan bahwa gejala trichomoniasis dipengaruhi oleh
konsentrasi estrogen vagina, makin tinggi kadarnya, makin berkurang gejala yang
ditimbulkannya. -estradiol diteliti dapat mengurangi aktivitas cell-detaching factor dari
Trichomonas vaginalis. Hal ini dapat menjelaskan mengapa pemakaian estradiol
intravaginal dapat mengurangi gejala klinis Trichomonas vaginitis.
Mengenai hubungannya dengan kanker serviks, Trichomonas vaginalis diketahui
dapat mengubah gambaran sitologi dan histologi dari serviks, dan gambaran ini mungkin
cukup membingungkan dengan gambaran sitologi dan histologi yang disebabkan oleh
virus human papilloma. Tetapi masih belum jelas hubungan sebab akibat langsung antara
kanker servix dan trichomonal vaginitis. Mungkin hubungannya dapat dikaitkan oleh
karena organisme ini dapat menimbulkan kerusakan atau erosi jaringan serviks yang
nantinya dapat memudahkan virus seperti human papiloma atau pun HIV menginfiltrasi
ke dalam jaringan serviks.

F. Gejala Klinis
Trikomoniasis pada wanita, yang diserang terutama dinding vagina,
dapat bersifat akut maupun kronik. Pada kasus akut terlihat secret vagina seropurulen ber
warna kekuning - kuningan, kining - hijau, berbau tidak enak (malodorous), dan berbusa.
Dinding vagina tampak kemerahan dan sembab. Kadang-kadang terbentuk abses kecil
pada dinding vagina dan serviks, yang tampak sebagai granulasi berwarna merah yang
dikenal sebagai strawberry appearance dan disertai gejala dispareunia, perdarahan
pascakoitus. Bila secret banyak yang keluar bisa timbul iritasi pada lipat paha atau sekitar
genitalia eksterna. Selain vaginitis dapat pula terjadi uretritis, bartholinitis, skenitis, dan
sistitis yang pada umumnya tanpa keluhan. Pada kasus yang kronik gejala lebih ringan
dan secretvagina biasanya tidak berbusa.

8
Gambar 2. Vagina dengan trikomoniasisdan tampak
“Strawberry Appearance”

Trikomoniasis pada laki-laki, infeksi Trikomoniasis pada pria dengan gejala ringan
terjadi pada saluran kemih , infeksi kelenjar prostat, vesika seminalis, dan saluran
spermatozoa (epididimis) dan kadang-kadang preputium. Infeksi menahun sulit
ditegakkan karena gejalanya ringan, tempat persembunyian TrichomonasVaginalis ini
adalah kelenjar sken.
Pada umumnya gambaran klinis lebih ringan dibandingkan dengan wanita. Bentuk
akut gejalanya mirip uretritis nongonore, misalnya disuria, poliuria, dan secret uretra
mukoid atau mukopurulen. Urin biasanya jernih, tetapi kadang-kadang ada benang halus.
Pada bentuk kronik gejalanya tidak khas; gatal pada uretra, disuria, dan urin keruh pada
pagi hari.
Nyeri abdomen dapat dijumpai pada 12% wanita penderita trichomoniasis dimana
kemungkinan telah terjadi vaginitis berat dan dapat dijumpai regional lymphadenopati,
atau endrometritis/salpingitis. Pemeriksaan secara mikroskopik pada cairan vagina dari
colpitis macularis ternyata rata-rata terdapat 18 organisme Trichomonas vaginalis per
lapangan pandang besar, sedangkan pada yang tidak dijumpai colpitis macularis rata- rata
hanya dijumpai 7 organisme.

9
Apabila Trichomonas vaginitis ini tidak diterapi dengan baik, organisme ini dapat
menjadi dormant dan berkolonisasi di urethra serta di kelenjar Skene dan Bartholin,
sehingga hal ini menyebabkan berulangnya infeksi Trichomonas vaginitis sehingga
menjadi trichomoniasis kronik.
Dari penelitian terakhir ternyata infeksi Trichomonas vaginalis diketahui juga
berhubungan dengan komplikasi pada organ reproduksi, seperti infeksi pasca operasi
caesar, infertilitas serta kelahiran prematur.
Pada pria biasanya asimptomatik. Trichomonas vaginalis biasanya dapat ditemukan di
urethra, para-urethra dan kelenjar Cowper, vesikula seminalis, prostat, epididymis dan
testis. Tetapi organisme ini paling sering ditemukan berkumpul di prostat. Apabila telah
mengenai prostat dan vesikula seminalis atau bagian lain dari traktus urinarius, biasanya
gejala menjadi lebih berat.
Dari pemeriksaan dapat ditemui Trichomonas vaginalis pada cairan kelamin. Prostat
mungkin bisa membesar dan kadang-kadang dihubungkan dengan epididymitis . Gejala
yang dikeluhkan dapat berupa disuria dan nokturia.
Menurut Jỉra, gejala trichomoniasis pada pria dapat dibagi menjadi 3 stadium, yaitu :
1. stadium akut primer, dijumpai eksudat urethra
2. stadium sub-kronik , eksudat dijumpai sangat sedikit
3. stadium laten, gejala klinis tidak dijumpai
4. stadium kronik, yang dapat berlangsung sampai beberapa tahun

Dari berbagai penelitian dikatakan bahwa Trichomonas vaginalis ditemukan dari 14 –


60 % pria pasangan wanita yang terinfeksi, tetapi sebaliknya Trichomonas vaginalis
ditemukan dari 67-100% wanita pasangan pria yang terinfeksi. Mungkin hal ini
disebabkan oleh karena tingginya kadar Zinc dan substansi antitrichomonas pada cairan
prostat yang berperan menghambat perkembangan organisme ini.
Bentuk khas dari Trichomonas berupa seperti buah pir, memiliki flagella, inti satu pada
anterior, pada ekor terdapat flagella, bergerak dalam sedimen urine kadang berputar-
putar. Dalam keadaan hidup sulit atau lemah menyerap zat warna Sternheimer malbin’s,
sedangkan dalam keadaan mati berwarna ungu kemerahan. Ditemukan parasit ini harus
diidentifikasi dan dicocokkan dengan morfologi yang ada dalam literatur parasitologi.

10
1. Keputihan
Cairan *Censored disebut tidak normal manakala memiliki ciri-ciri, jumlahnya
berlebihan, berbau amis/apek, menyebabkan gatal dan nyeri di sekitar daerah kelamin,
berwarna putih susu/ kuning tua/ cokelat/ kehijauan/ kemerahan, dan menimbulkan
kelainan pada daerah kelamin luar seperti benjolan atau luka. Ketidaknormalan itu
bisa disebabkan karena faktor infeksi dan bukan infeksi.
2. Fisiologi
Vagina memiliki mekanisme perlindungan terhadap infeksi. Kelenjar pada vagina
dan serviks / leher rahim menghasilkan sekret yang berfungsi sebagai sistem
perlindungan alami dan sebagai lubrikan mengurangi gesekan dinding *Censored saat
berjalan & saat berhubungan seksual. Jumlah sekret yang dihasilkan tergantung dari
masing-masing wanita. Dalam keadaan normal, kadang jumlah sekret dapat
meningkat seperti saat menjelang ovulasi, stres emosional dan saat terangsang secara
seksual. Selain itu, terdapat flora normal basil doderlein yang berfungsi dalam
keseimbangan ekosistem pada *Censored sekaligus membuat lingkungan bersifat
asam (pH 3.8-4.5) sehingga memiliki daya proteksi yang kuat terhadap infeksi.
a. Faktor Resiko :
Pada beberapa keadaan tertentu seperti perubahan hormonal pada kehamilan dan
penggunaan pil KB, obat-obatan seperti steroid dan antibiotik, hubungan seksual
dsb dapat meningkatkan resiko seorang wanita mengalami keputihan yang tidak
normal.
1) Keputihan karena Trichomonas vaginalis :
Keputihan berupa sekret berwarna kuning-hijau, kental, berbusa dan berbau
tidak enak (malodorous). Kadang keputihan yang terjadi menimbulkan rasa
gatal dan iritasi pada daerah intim.
3. Agar terhindar dari keputihan yang tidak normal :
a. Menjaga kebersihan genitalia. “Selesai buang air kecil bersihkan dengan air,
arahnya dari depan (kandung kemih) ke belakang (anus),” supaya tidak
menginfeksi bakteri anus ke vagina anda.
b. Memilih pakaian dalam yang tepat, sebaiknya dari bahan nylon. Rutinlah
mengganti pakaian dalam setiap hari. Begitupula jika memakai pantyliners, jangan
sampai seharian penuh.

11
c. Menghindari berat badan berlebih dan tidak makan terlalu banyak makanan yang
tinggi kandungan gulanya.
d. Melakukan pemeriksaan ginekologi secara teratur, termasuk deteksi dini kanker
serviks. Idealnya setahun

G. Diagnosa

Diagnosa dapat ditegakkan melalui hal-hal berikut ini :


1. Gejala klinis

Diagnosa ditegakkan melalui gejala klinis baik yang subjektif maupun objektif.
Tetapi diagnosa sulit ditegakkan pada penderita pria dimana trichomoniasis pada
pria hanya dijumpai sedikit organisme Trichomonas vaginalis dibandingkan dengan
wanita penderita trichomoniasis.
2. Pemeriksaan mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopis secara langsung dilakukan dengan cara membuat
sediaan dari sekret dinding vagina dicampur dengan satu tetes garam fisiologis di
atas gelas objek dan langsung dapat dibaca di bawah mikroskop. Atau apabila tidak
dapat langsung dibaca, dapat mengirimkan gelas objek yang telah dioleskan sekret
vagina tersebut dalam tabung yang telah berisi garam fisiologis.
Pemberian beberapa tetes KOH 10-20% pada cairan vagina yang diperiksa,
dapat menimbulkan bau yang tajam dan amis pada 75% wanita yang positif
trichomoniasis dan infeksi bakterial vaginosis, tetapi tidak pada mereka yang
menderita vulvovaginal kandidiasis. Untuk menyingkirkan bakterial vaginosis dari
infeksi trichomoniasis dapat diketahui dengan memeriksa konsentrasi laktobasillus
yang jelas berkurang pada trichomonisis dan pH vagina yang lebih basa.

Dari pemeriksaan sekret secara mikroskopik pada mereka yang terinfeksi


trichomoniasis, dapat dijumpai sel-sel PMN yang sangat banyak, coccobacillus, serta
organisme Trichomonas vaginalis (pada sedian yang segar dapat kelihatan motile).
3. Kultur
Selain pemeriksaan secara klinis dan mikroskopik langsung, cara lain yang dapat
dilakukan adalah dengan kultur, terutama pada mereka yang sedikit jumlah organisme
Trichomonas vaginalis-nya, seperti pada pria atau pun wanita penderita trichomoniasis

12
kronik.
4. Serologi dan immunologi
Pemeriksaan dengan cara ini belum menjamin dan belum cukup sensitif untuk
diagnosis infeksi Trichomonas vaginalis.. Walaupun sudah banyak penelitian yang
akhir-akhir ini menggunakan teknik serologi untuk mendiagnosa infeksi T. vaginalis.

H. Terapi
Metronidazole adalah antibiotik pilihan pertama dan yang paling baik untuk kasus-
kasus trichomoniasis, meskipun kini telah hadir sejumlah turunannya seperti tinidazole,
ornidazole, memorazole, tioconazole, dll. Pengobatan trichomoniasis dengan
menggunakan metronidazole pertama kali diperkenalkan oleh Cosar dan Julou yang
mendemonstrasikan aktivitas in vitro metronidazole terhadap Trichomonas vaginalis.
Dosis yang disarankan untuk trichomoniasis ini adalah :
1. 2 gram, dosis sekali minum (single dose)
2. 250 mg 3 kali sehari selama 7-10 hari
3. 500 mg 2 kali sehari selama 5-7 hari
Pada kasus-kasus gagal terapi maka dapat diberikan dosis 2 gram metronidazole sehari
sekali selama 3-5 hari. Pemberian metronidazole terhadap wanita hamil tidak disarankan
karena diketahui bahwa metronidazole dapat melewati plasenta barrier, walaupun efek
teratogeniknya masih dipertanyakan.
Pemberian metronidazole secara topikal pada vagina dapat mengurangi gejala-gejala
klinis, tetapi tidak dapat menyembuhkan infeksi ini karena Trichomonas vaginalis juga
menginfeksi urethra dan kelenjar periurethtral, sehingga bila dilakukan pemberian topikal
saja tidak akan dapat membunuh semua organisme ini yang nantinya dapat menyebabkan
terjadinya re-infeksi. Pemberian secara topikal dianjurkan pada kehamilan yang kurang
dari 20 minggu atau pada penderita yang peka terhadap metronidazole. Sebaiknya terapi
juga diberikan kepada kedua pasangan, agar tidak terjadi re-infeksi dan dapat
meningkatkan persentase penyembuhan sampai dengan 95%.

13
I. Pencegahan
pencegahan infeksi yang di sebabkan oleh trichomonas vaginalis dapat di lakukan
dengan penyuluhan dan pendidikan terhadap pasien dan masyarakat umumnya tentang
infeksi ini serta diagnosis dan penanganan yang tepat pada pasangan penderita
trichomoniasis.
Pemakaian kondom dapat di jadikan sebagai salah satu cara untuk mencegah tertularnya
pasangan seksual terhadap infeksi ini.

14
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Definisi Operasional
Diagnosa pasti Trichomonas vaginalis dapat ditegakkan apabila kita menemukan
Trichomonas vaginalis pada penderita yang di lihat di bawah mikroskop. Pemeriksaan
dalam penelitian ini dilakukan secara duplo yaitu pemeriksaan secara langsung dan
dengan pulasan Giemsa (Garcia dan Bruckner, 1998).
Pemeriksaan mikroskopik merupakan pemeriksaan langsung, sederhana dengan biaya
yang relatif murah, dilakukan untuk melihat parasit berbentuk seperti buah pir dengan ciri
khas, melihat pergerakan dari stadium trofozoit Trichomonas vaginalis melalui
pembuatan sediaan basah menggunakan larutan salin dari sekret vagina maupun sekret
uretra.3,5 Pemeriksaan ini pertama kali diperkenalkan oleh Donne pada tahun 1836.
Namun pemeriksaan mikroskopik ini kurang sensitif dikarenakan pengamatan
mikroskopik harus dilakukan sesegera mungkin dan apabila terjadi keterlambatan dalam
pengumpulan, transport dan pemeriksaan spesimen, maka akan mengurangi kemampuan
pergerakan dari parasit. Pemeriksaan yang dilakukan antara 10-30 menit, penyimpanan
spesimen di bawah suhu 22°C akan mengurangi motilitas atau pergerakan parasit.
Dari beberapa penelitian yang dilakukan didapatkan bahwa pemeriksaan mikroskopik
hanya memiliki sensitivitas berkisar 44-68% apabila dibandingkan dengan pemeriksaan
molekuler. Sensitivitas dari pemeriksaan ini rendah dikarenakan bila jumlah parasit hanya
sedikit atau lebih rendah dari 104 parasit/mL, maka parasit tidak tampak. Pemeriksaan
pap smear merupakan pemeriksaan yang sering digunakan dalam praktik klinik dan
ditemukan T. vaginalis. Tetapi pemeriksaan pap smear tidak dapat diandalkan untuk
mendiagnosis T. vaginalis karena hanya memiliki sensitivitas 57-61% dan spesifisitas 83-
97%. Jenis pewarnaan lain yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan acridine
orange dan giemsa. Oleh karena itu diperlukan tes yang lebih sensitif dan spesifik untuk
mendeteksi trikomoniasis pada wanita asimptomatik.
1. Kultur
Untuk menunjang pemeriksaan mikroskopik, diperlukan pemeriksaan kultur
terhadap sekret vagina dengan menggunakan medium yang sesuai. Beberapa medium
kultur yang sering digunakan seperti medium Diamond’s, Trichosel, dan InPouchTM.
Kultur merupakan metode yang direkomendasikan sebagai “Gold standard” dalam

15
diagnosis trikomoniasis karena hasilnya mudah diinterpretasikan, diinkubasi pada
suhu 37°C dan hanya memerlukan sekitar 300-500 trikomonas/ml. Diperlukan waktu
sekitar 2-7 hari untuk deteksi T.vaginalis.
Kontaminasi dengan bakteri merupakan masalah utama dalam pemeriksaan dengan
menggunakan kultur. Untuk meningkatkan kemampuan metode kultur dalam
diagnosis T.vaginalis, dikembangkan metode terbaru yaitu metode sampul plastik (TV
in Pouch). Metode TV in Pouch merupakan metode pemeriksaan langsung dari
biakan, terbuat dari plastik lunak tahan oksigen dan terdiri atas dua ruangan berbentuk
V yang dihubungkan dengan lubang yang meruncing.
Ruangan atas merupakan ruangan tempat sampel yang diduga mengandung parasit
dan pengamatan secara langsung dapat dilakukan dari kedua ruangan tersebut
menggunakan mikroskop. TV in Pouch harus disimpan pada suhu kamar (18-28°C)
selama 48 jam17,18 Penelitian oleh Levi dan kawan – kawan melaporkan bahwa TV in
Pouch memiliki sensitivitas sebesar 82.4% bila dibandingkan dengan medium
diamond dengan sensitivitas sebesar 87.8%. Dapat disimpulkan bahwa TV in Pouch
sebanding dengan metode diamond dalam diagnosis T. vaginalis.

Gambar 2. Metode Sampul Plastik (TV in Pouch)

16
2. Deteksi Antigen dan Antibodi
Pemeriksaan langsung dengan membuat sediaan basah dari sekret vagina
menggunakan mikroskop dan metode kultur memerlukan penanganan spesimen yang
sangat cepat untuk menemukan stadium trofozoit yang motil/bergerak. Oleh karena
itu saat ini dikembangkan metode non-kultur yang dapat mendeteksi T.vaginalis
seperti deteksi antigen yang dikenal dengan sebutan Rapid diagnostic tests (RDT).
yang telah terdaftar pada Food and Drug Administration (FDA) dan digunakan di
Amerika Serikat sebagai RDT. Alat ini berbentuk Immunochromatography test (ICT)
yang menggunakan antibodi spesifik untuk mendeteksi protein antigen T. vaginalis
seperti epitope adhesion protein (AP) 65, AP 51, AP 33, dan AP 23.
Antigen T.vaginalis akan mengikat antibodi sehingga terbentuk garis biru pada
strip test tersebut. Pemeriksaan ini tidak memerlukan alat khusus sehingga dalam
waktu kurang dari 10 menit hasil sudah dapat diperoleh. Selain RDT, telah
dikembangkan juga Latex TV yang merupakan perangkat diagnostik yang digunakan
di Uni Eropa walaupun tidak terdaftar pada FDA. Perangkat ini menggunakan manik
– manik lateks yang dilapisi antibodi spesifik untuk mendeteksi antigen protein T.
vaginalis.
Perangkat ketiga yang dikembangkan adalah VPIII, merupakan uji hibridisasi
menggunakan probe oligonucleotide tertentu yang dapat mendeteksi DNA T.
vaginalis, Gardnerella vaginalis, dan Candida albicans. Hasil pemeriksaan diperoleh
kurang lebih satu jam dan memerlukan peralatan yang lebih kompleks, sehingga
perangkat ini tidak rutin digunakan sebagai RDT.
3. Molekuler
Sejak tahun 1992, sebuah primer telah dirancang untuk memperbanyak DNA
T. vaginalis yang disebut dengan Nucleid Acid Amplification Test (NAATs). NAATs
merupakan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) dengan cara transkripsi,
replikasi, dan amplifikasi jutaan copy urutan DNA atau RNA. Sensitivitas NAATs
lebih besar bila dibandingkan dengan pemeriksaan mikroskopik, kultur, deteksi
antigen, dan pemeriksaan lainnya dalam mendeteksi T.vaginalis, karena alat ini
menggunakan primer dan urutan nukleotida yang unik sebagai target organisme,
seperti gen ferredoxin, gen beta tubulin, dan gen ribosom 18S.
Spesimen dapat diambil dari swab vagina, swab uretra maupun swab
endoserviks yang berasal dari pemeriksaan sitologi, sehingga bakteri yang
menginfeksi endoservix pun dapat dideteksi seperti Neisseria gonorrhoeae dan

17
Chlamydia trachomatis. Penelitian yang dilakukan oleh Wendel, dkk mengatakan
bahwa PCR sangat sensitif dalam mendeteksi T.vaginalis, dengan sensitivitas sebesar
84%, spesifisitas 94% bila dibandingkan dengan pemeriksaan mikroskopik 52% dan
kultur sebesar 78%.
Heine dkk, menunjukkan bahwa PCR memiliki sensitivitas sebesar 91,8%
dalam mendeteksi T. vaginalis. Van der Poole,dkk memodifikasi PCR melalui
amplifikasi CT/NG dengan primer dan probe khusus untuk mendeteksi T.vaginalis
dengan sensitivitas sebesar 96,8%. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa sensitivitas
NAATs berkisar 76-100% sehingga alat ini dapat digunakan untuk skrining pasien
laki – laki maupun perempuan asimptomatik trikomoniasis. Walaupun alat ini sangat
sensitif, namun biaya pemeriksaannya sangat mahal, memakan waktu yang panjang
karena menggunakan elektroforesis gel agarosa, memerlukan analis laboratorium
yang terlatih, dan belum tentu tersedia di semua fasilitas laboratorium.

B. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan secara retrospektifdeskriptif dengan mengambil data dari
catatan rekam medik pasien di poliklinik kulit dan kelamin RSUD Kota Tangerang.
Populasi dari penelitian ini adalah semua pasien baru yang dating di poliklinik kulit dan
kelamin RSUD Kota Tangerang.
Dari catatan rekam medic pasien dicatat meliputi jumlah kunjungan, umur, pekerjaan,
keluhan dan temuan klinis, ko-infeksi dengan IMS lainnya. Data yang sudah terkumpul
diolah secara manual dan disusun menggunakan laptop, kemudian di sajikan dalam
bentuk table dan dianalisis berdasarkan hasil persentase.

C. Sampel
Bahan pemeriksaan adalah swab vagina pada pasien yang terinfeksi protozoa trichomonas
vaginalis pada RSUD Kota Tangerang.

D. Teknik Pengambilan Data


Cara pelaksanaan yang pertama kali dilakukan adalah permintaan ijin untuk pengambilan
data pada Laboratorium RSUD Kota Tangerang.

18

Anda mungkin juga menyukai