Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Diet ketogenik adalah suatu pola diet dengan prinsip rendah karbohidrat,
rendah protein dan tinggi lemak, yang selama ini digunakan untuk penanganan
epilepsi refrakter pada anak. Diet ketogenik akan menimbulkan suatu keadaan
yang menyerupai keadaan kelaparan pada tubuh, dimana tubuh akan dipaksa
untuk membakar lemak sebagai sumber energi, dan bukannya membakar
karbohidrat (Stafstrom, 2004).
Pada keadaan normal, karbohidrat yang terkandung dalam makanan akan
diubah menjadi glukosa, yang kemudian akan dibawa ke seluruh tubuh dan
menjadi sumber energi yang penting untuk fungsi otak. Tetapi apabila
diet/makanan hanya mengandung karbohidrat yang sangat sedikit, maka hati akan
mengubah lemak menjadi asam lemak dan badan keton. Badan keton akan masuk
ke otak dan menjadi sumbar energi menggantikan glukosa. Suatu keadaan dengan
adanya peningkatan badan keton dalam darah disebut dengan ketosis, dan selama
ini sudah terbukti dapat mengurangi frekuensi bangkitan kejang pada epilepsi
refrakter (Stafstrom, 2004).
Diet ketogenik telah terbukti efektif pada setengah dari jumlah pasien yang
mencobanya, dan terbukti sangat efektif pada sepertiga dari jumlah pasien. Pada
tahun 2008, suatu randomized controlled trial telah menunjukkan bukti-bukti
mengenai efektivitas diet ketogenik dalam penanganan epilepsi refrakter pada
anak. Juga didapatkan adanya beberapa bukti yang menunjukkan manfaat diet
ketogenik pada epilepsi usia dewasa maupun pada kondisi-kondisi neurologis lain
(Nylen, 2009).
Diet ketogenik adalah suatu terapi nutrisi medis yang melibatkan berbagai
disiplin ilmu. Anggota tim meliputi ahli gizi pediatrik yang mengatur program
diet, ahli neurologi pediatrik yang berpengalaman dalam penggunaan diet
ketogenik, perawat yang sudah biasa menangani kasus epilepsi pada anak, dan
ahli farmasi yang dapat memberi informasi mengenai kandungan karbohidrat
dalam obat. Dan akhirnya orangtua atau caregiver yang telah dididik dalam
banyak aspek mengenai diet ini, sehingga diet dapat diterapkan dengan aman.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah diet ketogenik


2.1.1 Tahun 1920-1990
Pada awal tahun 1920-an, epilepsi diterapi dengan bromide dan
fenobarbital. Kedua obat ini memiliki efek samping sedasi dan sering kali tidak
efektif dalam mengontrol kejang. Hugh Conklin, seorang ahli osteopatik,
meyakini (tanpa bukti) bahwa epilepsi terjadi akibat proses intoksikasi pada otak
oleh zat-zat yang berasal dari usus. Maka Conklin menyimpulkan bahwa dengan
mengistirahatkan saluran usus akan mengurangi proses intoksikasi di otak,
sehingga Conklin mulai mengembangkan terapi puasa dan terapi air pada epilepsi.
Terapi ini dilakukan dengan cara tidak member makanan apapun terhadap anak
penderita epilepsi, dan hanya memberikan air selama 25 hari. Pada 1922, Conklin
melaporkan jumlah persentasi yang tinggi pada anak yang dipuasakan tersebut,
dan lebih banyak lagi jumlah anak yang bebas kejang dengan terapi puasa pada
perode waktu yang lebih lama lagi (Freeman, 2006).
Pada tahun 1921, klinik Mayo mengeluarkan artikel pertama yang
menyebutkan bahwa diet yang tinggi lemak dan rendah karbohidrat dapat
mensimulasi efek metabolik menyerupai keadaan kelaparan. Diet ini menyediakan
jumlah protein yang cukup untuk pertumbuhan, karbohidrat yang minimal, dan
sisanya adalah kalori dalam bentuk lemak. Diet ini identik dengan diet ketogenik
yang dikenal sampai saat ini (Freeman, 2006).
Laporan mengenai efektivitas diet ketogenik yang baru ini muncul dalam
dua dekade berikutnya, sampai akhirnya fenitoin ditemukan pada tahun 1938, dan
perhatian para ahli dan peneliti epilepsi beralih pada mekanisme aksi dan efikasi
obat antikonvulsan yang baru tersebut, sehingga saat itu diet ketogenik mulai
dilupakan dan dianggap kurang efektif dan sulit untuk digunakan dibandingkan
menggunakan obat antikonvulsan yang baru (Freeman, 2006).

2.1.2 Awal tahun 1990-an


Pada rumah sakit John Hopkins ternyata terapi diet ketogenik tetap
dilanjutkan pada kira-kira 10 orang anak setiap tahunnya, dibawah pengawasan

2
dr.Samuel Livingston, dr.John Freeman dan ahli diet Millicent Kelley (Stafstrom,
2004).
Era baru diet ketogenik diawali oleh Jim Abrahams, seorang produser
Hollywood, yang memiliki anak penderita epilepsi refrakter yang tidak berhasil
dengan beberapa pengobatan. Abrahams kemudian membawa anaknya ke RS
John Hopkins, dan bangkitan kejang pada anaknya dapat dikontrol setelah
mendapat terapi diet ketogenik. Kemudian Abrahams mendirikan yayasan Charlie
yang menerbitkan buku dan membuat sebuah film mengenai diet ketogenik.
Yayasan Charlie juga mendanai tujuh pusat penelitian diet ketogenik. Penelitian
multisenter ini dimulai pada 1994 dan dipresentasikan pada American Epilepsy
Society pada 1996. Kemudian laporan-laporan hasil penelitian multisenter dan 150
pasien yang diterapi di RS John Hopkins mulai diterbitkan (Stafsrom, 2004).

2.1.3 Tahun 1996-2006


Penulis dari RS John Hokins telah melaporkan hasil penelitian mengenai
terapi diet ketogenik pada 150 anak. Dikatakan bahwa dua belas bulan setelah diet
dimulai, 7% anak bebas kejang, 20% anak mengalami penurunan frekuensi kejang
sebanyak 90%. Tiga sampai enam tahun kemudian, 27% dari anak yang sama
mengalami penurunan frekuensi kejang sampai bebas kejang (Freeman, 2007).
Walaupun dalam dekade akhir ini telah ada peningkatan drastis dalam hal
jumlah dan jenis obat antikonvulsan, tetapi diet ketogenik tetap menunjukkan
tingkat efektivitas yang baik, bahkan pada anak yang refrakter terhadap obat-obat
baru ini. Dan dalam 8 tahun terakhir ini, telah ada peningkatan drastis dalam
penggunaan diet ketogenik. Dan pada beberapa negara berkembang, telah terbukti
bahwa metode diet ketogenik lebih sedikit memakan biaya dibandingkan terapi
obat-obatan antikonvulsan (Freeman, 2007).

2.2 Mekanisme aksi diet ketogenik


2.2.1 Peran badan keton
Ketika lemak dipakai dan dimetabolisme sebagai sumber energi primer,
hati akan memproduksi badan keton, yaitu beta-hidroxibutirat (BHB), asetoasetat
dan aseton. BHB adalah badan keton dominan yang dapat diukur dalam darah,
dan telah digunakan sebagai ukuran klinis dari implementasi diet ketogenik.

3
Gambar 1. Jalur metabolik yang menghasilkan badan keton pada diet ketogenik
(Bough,2007)

Keadaan ketosis yang dominan inilah yang membuat para ahli


menganggap bahwa badan keton memiliki efek antikonvulsi. Pada tahun 1933,
Keith mengadakan penelitian dengan menginduksi kejang pada kelinci dengan
senyawa thujone, dan ternyata asetoasetat dapat memblok efek thujone tersebut.
Efek antikonvulsi aseton pertama kali ditemukan oleh Likhodii pada tahun 2003,
yang berhasil mencegah terjadinya kejang pada empat model kejang (kejang tonik
klonik, absence tipikal dan atipikal, dan kejang parsial kompleks) pada hewan
coba. Dan ternyata pada pasien-pasien epilepsi yang memiliki respon yang baik
terhadap diet ketogenik didapatkan peningkatan konsentrasi aseton di otak yang
diukur dengan magnetic resonance spectroscopy. Sementara BHB sendiri sampai
saat ini belum berhasil dibuktikan memiliki efek antikonvulsan langsung,

4
walaupun BHB memiliki struktur yang sama dengan GABA, yaitu
neurotransmitter inhibisi dan merupakan antikonvulsan poten (Politi, 2011).
Thio et al pada tahun 2000, dengan menggunakan teknik elektrofisiologi
seluler standar membuktikan bahwa konsentrasi BHB dan asetoasetat (dalam
millimolar), tidak mempengaruhi: excitatory post-synaptic potentials (EPSPs),
aktivitas epileptiform spontanpada model kejang pada lokasi korteks hipokampus-
entorhinal, dan seluruh sel pada neuron hipokampus (Politi, 2011).

2.2.2 Peran restriksi glukosa


Berdasarkan berbagai penelitian, telah dibuktikan keadaan ketosis yang
persisten adalah keadaan yang sangat penting dalam diet ketogenik untuk
menimbulkan efek proteksi terhadap kejang. Tetapi beberapa peneliti lain
menganggap bahwa restriksi glukosa lah yang merupakan kunci atau inti dari diet
ketogenik. Pada diet ketogenik, selain keadaan ketosis, sudah jelas bahwa pada
saat ketonemia berkembang, terjadi juga penurunan kadar gula darah. Pada tahun
2003, Greene et al mengemukakan hipotesis bahwa restriksi glukosa akan
mengurangi produksi energi melalui glikolisis, yang akan membatasi kemampuan
neuron untuk untuk mencapai atau mempertahankan level aktivitas sinaptik yang
diperlukan untuk menimbulkan bangkitan kejang (Plogsted, 2010).
Hipotesis lain menyatakan bahwa restriksi glukosa selama terapi diet
ketogenik akan mengaktivasi channel ATP-sensitive potassium (KATP). Channel
KATP adalah reseptor yang diekspresikan diseluruh sistim saraf pusat, baik pada
neuron dan glia. Channel ini bertindak sebagai sensor metabolik, menghubungkan
eksitabilitas membran sel dengan level ADP dan ATP yang berfluktuasi.
Penurunan rasio ATP/ADP akan mengaktivasi reseptor ini sehingga membuka
channel dan menimbulkan hiperpolarisasi membran. Ketika jumlah glukosa
dibatasi, channel KATP akan terbuka dan menimbulkan hiperpolarisasi sel karena
konsentrasi ATP intraseluler yang menurun, sehingga channel K ATP dipercaya
dapat mengatur ambang kejang (Freeman, 2006).

5
2.2.3 Peran asam lemak
Polyunsaturated fatty acid (PUFA) seperti: docosahaxanoic acid (DHA),
arachidonic acid (AA), atau eicosapentanoic acid (EPA) dipercaya memiliki
pengaruh dalam fungsi kardiovaskular dan kesehatan. Pada miosit jantung, PUFA
menginhibisi channel sodium dan channel kalsium. Efek yang sama juga
didapatkan pada jaringan neuron, misalnya DHA dan EPA dapat menghilangkan
eksitabilitas neuron dan cetusan listrik pada hipokampus (Bough, 2007).
Pada terapi diet ketogenik, didapatkan peningkatan kadar AA dan DHA
dalam serum dan otak pasien. Pada tahun 2002, Schlanger et al melakukan
penelitian dengan memberikan suplemen 5 gram PUFA sekali sehari dapat
menurunkan frrekuensi dan intensitas kejang pada beberapa penderita epilepsy.
Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa peningkatan kadar PUFA
(AA dan DHA) akibat diet ketogenik akan menimbulkan penurunan eksitabilitas
neuron dan mengurangi aktivitas kejang (Bough, 2007).
PUFA dapat memblok aktivitas kejang melalui tiga cara. Pertama, PUFA
dapat menginhibisi aktivitas channel ion secara langsung. Omega-3 telah terbukti
dapat menginhibisi channel natrium dan kalsium, dapat meningkatkan resistensi
terhadap cetusan listrik yang diinduksi oleh biculline dan glutamat, dan dapat
memperpanjang waktu pemulihan dari inaktivasi pada neuron hipokampus.
Kedua, bersama-sama dengan badan keton, PUFA dapat mengaktivasi channel
potassium K2P yang sensitive terhdap lemak. Ketiga, PUFA dapat meningkatkan
aktivitas pompa Na+/K+-ATPase. Temuan-temuan ini mengindikasikan bahwa
peningkatan level PUFA di otak akibat diet ketogenik dapat membantu untuk
menurunkan hipereksitabilitas neuron melalui berbagai mekanisme secara
langsung (Freeman, 2006).
Selain mekanisme secara langsung seperti yang telah disebut di atas,
PUFA juga dapat bekerja secara tidak langsung untuk membatasi eksitotoksisitas
dan neurodegenerasi. PUFA dapat menginduksi ekspresi dan aktivitas uncoupling
proteins (UCPs) untuk menghilangkan reactive oxygen species (ROS),
mengurangi disfungsi neuron, dan menginduksi efek neuroprotektif. PUFA juga
dapat mengaktivasi PPARα (peroxisome proliferator-activated receptor α) dan

6
menginduksi up-regulasi transkrip energi sehingga dapat meningkatkan cadangan
energi, stabilisasi fungsi sinaps dan membatasi hipereksitabilitas.

Gambar 2. Jalur mekanisme PUFA untuk membatasi hipereksitabilitas otak


(Bough, 2007)

2.2.4 Hipotesis noradrenergik


Secara umum, peningkatan kadar noradrenergik dapat menghasilkan efek
antikonvulsan. Hal ini dibuktikan dengan berbagai penelitian, seperti: inhibitor re-
uptake norepinefrin dapat mencegah aktivitas kejang pada hewan coba tikus, dan
kerusakan locus ceruleus (penghasil norepinefrin utama di otak) dapat
menimbulkan status epileptikus pada tikus, dan adanya beberapa penelitian yang
melaporkan bahwa didapatkan kadar norepinefrin yang sangat rendah di otak
hewan coba epilepsi (Freeman, 2007).
Weishenker dan Szot pada tahun 2002 melaporkan adanya peningkatan
level norepinefrin sebanyak dua kali lipat pada hipokampus setelah mendapat
terapi diet ketogenik, sehingga dapat disimpulkan bahwa diet ketogenik dapat
meningkatkan pelepasan basal norepinefrin. Penelitian-penelitian ini
mengindikasikan bahwa efek antikonvulsan diet ketogenik mungkin juga
ditimbulkan oleh efek peningkatan noradrenalin di otak (Neal, 2008).

7
2.2.5 Hipotesis GABA-ergik
Salah satu hipotesis paling populer mengenai mekanisme aksi diet
ketogenik adalah keterlibatan GABA, neurotransmitter inhibisi utama di otak.
Secara umum, diet ketogenik paling efektif pada kejang yang diakibatkan
antagonis GABA-ergik.
Mekanisme aksi yang telah dapat dibuktikan adalah melalui proses
metabolisme glutamate, badan keton dan glukosa di otak. Pada keadaan ketosis,
BHB dan asetoasetat memberi kontribusi besar terhadap kebutuhan energi di otak,
dimana semua badan keton akan membentuk Acetyl-CoA yang akan memasuki
siklus tricarboxylic acid (TCA) melalui jalur sintetase sitrat. Hal ini akan
mempengaruhi konsumsi oxaloacetate, yang diperlukan untuk proses transaminasi
glutamat menjadi aspartat. Kemudian jumlah oxaloacetate akan kurang tersedia
untuk proses jalur aminotransferase aspartat. Jumlah glutamate yang akan diubah
menjadi aspartat akan berkurang, sehingga glutamate yang tersedia akan dipakai
untuk sintesis GABA melalui glutamic acid decarboxylase (GAD) (Bough, 2007).

Gambar 3. Diagram metabolisme glutamate, badan keton dan glukosa di otak


(Bough,2007)

2.3 Indikasi diet ketogenik

8
2.3.1 Epilepsi refrakter
Sejak awal penggunaan diet ketogenik diindikasikan pada penderita
epilepsi refrakter. Diet ketogenik tidak dianjurkan untuk diberikan pada epilepsi
dengan onset yang baru, karena pemakaian obat anti epilepsi (OAE) lebih mudah
dan sederhana penggunaannya dan efektif pada 70-80% pasien. Diet ketogenik
membutuhkan komitmen dalam hal waktu dan usaha oleh pasien, keluarga, tim
tenaga kesehatan dan institusi yang memfasilitasi terapi ini. Umumnya pusat-
pusat epilepsi akan memulai terapi diet ketogenik apabila pasien gagal diterapi
dengan dua atau tiga OAE standar (Stafstrom, 2004).

2.3.2 Tipe kejang


Awalnya diet ketogenik diberikan pada semua tipe kejang karena masih
sedikitnya pilihan terapi untuk epilepsi. Tetapi saat ini diet ketogenik lebih banyak
dipakai pada tipe kejang umum, seperti absence, atonik, dan mioklonik. Pada
penelitian-penelitian terakhir, kejang parsial sangat jarang diterapi dengan diet
ketogenik, dan anak yang murni dengan kejang parsial sering kali dieksklusikan.
Walaupun, beberapa penelitian lain tidak mendapatkan perbedaan bermakna
mengenai efektivitas diet ketogenik berdasarkan tipe kejang (Stafstrom, 2004).

2.3.3 Epilepsi simtomatik dan asimtomatik


Diet ketogenik awalnya dianggap tidak efektif pada epilepsi simtomatik,
tetapi penelitian yang dilakukan oleh Keith dan Livingston mengindikasikan
keberhasilan diet ketogenik pada anak-anak dengan epilepsi simtomatik.
Penelitian-penelitian berikutnya mengindikasikan bahwa diet ketogenik memiliki
efikasi yang sama pada pasien-pasien dengan disgenesis otak (Freeman, 2007).

2.3.4 Usia
Apakah usia pasien merupakan faktor prognosis penting dalam
menentukan keputusan pemberian diet ketogenik, masih belum jelas sampai saat
ini. Keberhasilan penggunaan diet ketogenik pada bayi-bayi dengan epilepsi telah
berhasil dibuktikan melalui beberapa penelitian. Pada salah satu penelitian pada
32 bayi, didapatkan hasil bahwa 19% bayi menjadi bebas kejang, dan 36 % bayi

9
mengalami penurunan frekuensi kejang sebanyak 50%. Diet ketogenik belum
banyak digunakan pada pasien usia dewasa, tetapi saat ini pusat-pusat epilepsi
sudah mulai menawarkan diet ketogenik pada pasien dewasa (Plogsted, 2010).

2.3.5 Sindrom epilepsi


Berbagai penelitian melaporkan bahwa diet ketogenik memiliki efektivitas
yang baik pada sindrom epilepsi. Pasien-pasien dengan sindrom Lennox-Gastaut
menunjukkan respon yang baik terhadap terapi diet ketogenik. Diet ketogenik
juga menunjukkan haisl yang baik pada sindrom West, dimana setelah 12 bulan
dengan terapi diet ketogenik, 56% pasien masih tetap dengan terapi diet, 26%
pasien dengan penurunan 90% frekuensi kejang, dan 13% pasien yang bebas
kejang (Politi, 2011).

2.3.6 Efek samping OAE


Risiko timbulnya efek samping OAE akan meningkat dengan politerapi
ataupun dengan pemakaian dosis tinggi, yang sering kita jumpai pada pasien
dengan epilepsi refrakter. Toleransi yang buruk terhadap OAE maupun efek
samping akibat pemakaian OAE merupakan pertimbangan yang kuat untuk
memutuskan penggunaan diet ketogenik. Tidak seperti OAE, diet ketogenik tidak
menimbulkan gangguan pada fungsi kognitif maupun prilaku anak (Stafstrom,
2004).

2.3.7 Inborn Errors of Metabolism


Pada kasus-kasus inborn errors of metabolism, seperti glucose transporter
protein deficiency dan pyruvate dehydrogenase deficiency, diet ketogenik
merupakan salah satu pilihan terapi yang baik, karena defek atau gangguan
metabolisme karbohidrat dapat diatasi dengan penggunaan badan keton sebagai
sumber energi utama. Diagnosis dan terapi dini dapat memperpanjang hidup dan
mengurangi morbiditas pada pasien ini (Freeman, 2007).

2.4 Kontraindikasi diet ketogenik

10
2.4.1 Inborn errors of metabolism
Beberapa kontraindikasi mutlak untuk pemberian diet ketogenik adalah
defek metabolisme lemak dan kelainan-kelainan yang membutuhkan kandungan
karbohidrat tinggi, seperti β-oxydation defects dan porfiria. Kegagalan
mendiagnosis kelainan-kelainan ini sebelum memulai diet ketogenik dapat
menimbulkan morbiditas yang siknifikan dan fatal. Sehingga keadaan-keadaan
yang merupakan kontraindikasin ini harus diperhitungkan sebelum memulai diet
ketogenik (Neal, 2008).

2.4.2 Obat-obatan dan diet ketogenik


Tidak ada kotraindikasi mutlak dalam penggunaan obat-obatan pada
pasien yang sedang menjalani diet ketogenik. Tetapi bagaimanapun, kebutuhan
untuk mempertahankan kondisi ketosis maksimal menjadi bahan pemikiran dan
pertimbangan yang cukup sulit untuk tim diet ketogenik, terutama bila pasien
dengan diet ini harus mendapat obat-obat tambahan. Sehingga tim diet ketogenik
sangat bergantung pada ahli farmasi untuk mengetahui kadar karbohidrat dlam
obat-obatan yang akan dikonsumsi pasien. Obat-obatan golongan steroid tidak
direkomendasikan untuk digunakan pada pasien dengan diek ketogenik karena
dapat menurunkan kadar ketosis pasien (Neal, 2008).

2.5 Komplikasi diet ketogenik


Efek samping yang dapat timbul selama proses inisiasi diet ketogenik
adalah: hipoglikemi, asidosis, muntah, diare, dan menolak untuk makan. Maka
pasien harus dimonitor dengan ketat selama proses inisisasi diet, agar dapat
mencegah timbulnya komplikasi atau memberikan terapi dengan cepat apabila
komplikasi timbul (Huffman, 2006).
Efek samping yang muncul selama fase maintenance diet ketogenik
biasanya minor, diantaranya adalah hiperuricemia (2%), hipokalsemia (2%),
penurunan level asam amino, asidosis (2-4%), gejala gastrointestinal (muntah,
konstipasi, diare, nyeri abdomen) (12-50%), iritabilitas, letargi (4-9%) dan
menolak untuk makan. Hiperkolesterolemia dilaporkan terjadi pada 29-59% anak.
Selain itu, batu ginjal dilaporkan terjadi pada 3-7% anak, peningkatan infeksi

11
pada 2-4% anak, dan komplikasi jantung diantaranya kardiomiopati dan
pemanjangan interval QT pada beberapa anak (Huffman, 2006).

2.6 Tipe diet ketogenik


2.6.1 Diet ketogenik klasik
Diet ketogenik klasik adalah tipe diet yang pertama kali dibuat dan
digunakan di RS John Hopkins, yaitu sejak tahun 1920-an. Diet ini menggunakan
trigliserida rantai panjang (LCT) sebagai sumber lemak yang utama, dengan rasio
lemak berbanding karbohidrat dan protein yaitu 4:1. Trigliserida rantai panjang
terutama dapat diperoleh dari mentega, mayonnaise, minyak zaitun dan sebagian
besar diet lemak lain (Neal, 2008).
Pada diet ketogenik, ada beberapa parameter biokemikal yang harus
dianalisis dari sampel darah, diantaranya adalah badan keton (asetoasetat, BHB),
glukosa serum, piruvat, dan laktat. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa
semua tipe diet ketogenik menimbulkan peningkatan level badan keton yang
siknifikan, tetapi efek peningkatan badan keton ini paling jelas terlihat pada diet
ketogenik klasik (Neal, 2008).
Tabel 1. Kandungan protein, karbohidrat, dan lemak dan kalori berbagai lemak
(Freeman, 2007)

2.6.2 Diet Medium Chain Triglyceride (MCT)

12
Pada pertengahan abad ke-20, diet ketogenik mulai ditinggalkan karena
ditemukannya jenis OAE yang baru dan diet ketogenik yang sulit untuk diterima
sebagian pasien. Dr. Peter Huttenlocher dari Universitas Chicago berusaha untuk
menemukan dan mengembangkan bentuk diet ketogenik yang baru, dengan
membuat formula makanan yang mirip diet normal. Tim dr.Huttenlocher
menyebut formula ini dengan diet medium-chain triglycerides (MCT). Mereka
mengganti trigliserida rantai panjang (LCT) pada diet ketogenik klasik dengan
MCT. MCT dibuat dalam bentuk minyak yang tidak berbau, tidak berwarna, dan
tidak berasa. MCT juga harus dihitung terlebih dulu untuk kemudian dapat
dimasukkan dalam dafter diet, tapi MCT bersifat lebih ketogenik dibandingkan
LCT. Akibat sifatnya yang lebih ketogenik maka seorang pasien dengan diet MCT
dapat mengkonsumsi makanan-makanan anti-ketogenik yang lebih bervariasi,
seperti buah daan sayur dengan porsi lebih besar. Konsumsi cairan juga tidak
dibatasi dalam diet MCT. Jenis makanan yang lebig bervariasi dalam diet MCT
diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani diet, dan
pasien diharapkan dapat menjalani diet yang lebih normal walaupun harus
mempertahankan keadaan ketosis (Huffman, 2006).
Diet MCT, seperti juga diet klasik, diinisiasi dengan puasa biasanya mulai
menunjukkan hasil dalam beberapa hari setelah dimulai. Jika diet MCT berhasil,
maka pasien dipertahankan dengan diet ini selama 2 tahun.
Walaupun pada beberapa penelitian diet MCT dilaporkan memiliki
efektivitas yang sama dengan diet klasik, tetapi pada terapi diet ketogenik di RS
John Hopkins, didapatkan bahwa diet MCT memiliki efek kontrol kejang yang
lebih rendah dibandingkan diet klasik, yang kemungkinan diakibatkan jumlah
kalorinya yang cukup tinggi dibanding diet klasik. Selain itu, pada diet MCT
sering didapatkan keluhan berupa kram perut, diare persisten dan berat, dan mual
muntah, sehingga bila pasien tidak kuat, diet ini tidak akan efektif. Sehingga
biasanya minyak MCT ini ditambahkan pada diet klasik untuk meningkatkan
keadaan ketosis dan mengurangi konstipasi (Stafstrom, 2004).

2.6.3 Diet modifikasi Atkins

13
Tipe diet yang ketiga adalah diet modifikasi Atkins. Dengan restriksi
karbohidrat, diet Atkins dapat menginduksi ketosis dan tidak perlu dilakukan
restriksi protein, cairan atau kalori, dan tidak didahului oleh fase puasa. Bahkan
diet Atkins ini sudah tersedia di toko-toko makanan tertentu, sehingga keluarga
pasien tidak perlu lagi mengukur atau menakar makanan yang akan dikonsumsi.
Keadaan ketosis pada urin dapat dijumpai dalam empat hari setelah diet dimulai
(Freeman, 2007).
Selama beberapa hari pertama, seperti pada tahap inisiasi diet klasik,
pasien dapat menjadi ketosis dengan sangat cepat, sehingga muncul efek samping
mengantuk, dehidrasi atau muntah. Beberapa pasien mungkin akan harus
diopname untuk pemberian cairan intravena.
Setelah bulan pertama, maintenance untuk diet Atkins adalah sama dengan
diet ketogenik klasik. Jika efek kontrol kejang yang diharapkan masih kurang,
maka sumber-sumber lemak seperti mayonais, mentega, krim atau minyak MCT
dapat ditambahkan ke dalam diet. Jika pasien terlalu ketosis (mengantuk dan
tampak kurang bertenaga), karbohidrat dapat sedikit dinaikkan (Stafstrom, 2004).

Tabel 2. Perbedaan antara diet klasik dan diet modifikasi Atkins (Freeman, 2007)

BAB III
PENUTUP

14
Diet ketogenik adalah suatu pola diet dengan formula tinggi lemak, rendah
protein dan rendah karbohidrat, yang telah digunakan sejak tahun 1920-an untuk
penatalaksanaan /terapi kasus epilepsi yang refrakter terhadap dua atau tiga jenis
obat anti epilepsi standar.
Ada tiga tipe diet ketogenik, yaitu diet klasik, diet medium-chain
triglyceride (MCT) dan diet modifikasi Atkins. Diet klasik menggunakan
trigliserida rantai panjang yang diberikan dengan dasar perbandingan lemak dan
karbohidrat adalah 4:1, dimana mayoritas kalori (90%) diperoleh dari lemak.
Terapi diet umumnya diawali dengan periode puasa, kemudian diikuti dengan
peningkatan kalori secara gradual. Pada fase awal, pasien diopname selama
beberapa hari, dan dilakukan monitor kadar gula darah, keton urin, dan beberapa
variable metabolik lain. Inti dari diet ketogenik adalah produksi badan keton oleh
hati. Badan keton merupakan sumber energi alternatif selain glukosa (Bough,
2007).
Walaupun efektivitas klinis diet ketogenik telah diterima secara luas, tetapi
mekanisme aksi antikovulsan diet ini masih sangat sedikit dimengerti. Beberapa
terori mekanisme aksi yang telah mulai diterima saat ini adalah: peran badan
keton, peran restriksi glukosa, peran asam lemak, dan peran neurotransmitter
(hipotesis noradrenalin dan hipotesis GABAergik) (Politi, 2011).

15
DAFTAR PUSTAKA

Bough,K.J., Rho,J.M., 2007. Anticonvulsant Mechanism of the Ketogenic Diet.


Epilepsia, Vol. 48(1):43-58.

Freeman,John., Veggioti,P., Lanzi,G., Tagliabue,A., Perucca,E., 2006. The


ketogenic diet: From molecular mechanisms to clinical effects. Epilepsy
Research, 68:145-180.

Freeman,J.M., Kossoff,E.H., Hartman,A.L., 2007. The Ketogenic Diet: One


Decade Later. Pediatrics, Vol. 119(3):535-543.

Freeman,J.M., Kossoff,E.H., Freeman,J.B., Kelly,M.T. Ketogenic Diet A


Treatment for Children and Others with Epilepsy 4th ed. Demos Medical
Publishing. USA. 2007.

Huffman,J., Kossoff,E.H., 2006. State of the Ketogenic Diet(s) in Epilepsy.


Current Neurology and Neuroscience Reports, 6:332-340.

Neal,E.G., Chaffe,H., Schwartz,R.H., Lawson,M.S., Edwards,N., Fitzsimmons,G.,


2007. The ketogenic diet for the treatment of childhood epilepsy: a
randomized controlled trial. The Lancet, 1-7.

Nylen,K., Likhodii,S., Burnham,W.M., 2009. The Ketogenic Diet: Proposed


Mechanisms of Action. Neurotherapheutics, Vol.6(2): 402-405.

Plogsted, Steven., 2010. The Ketogenic Diet. ICAN:Infant, Child, Adolescent


Nutrition, Vol.2(6) :370-376.

Politi,K., Meiri,L.S., Shuper,A., Aharoni,S., 2011. The Ketogenic Diet 2011: How
It Works. Epilepsy Research and Treatment, :1-4.

Stafstrom,E.C., Rho,J.M. Epilepsy and the Ketogenic Diet. Humana Press Inc.
USA. 2004.

16

Anda mungkin juga menyukai