PENDAHULUAN
Diet ketogenik adalah suatu pola diet dengan prinsip rendah karbohidrat,
rendah protein dan tinggi lemak, yang selama ini digunakan untuk penanganan
epilepsi refrakter pada anak. Diet ketogenik akan menimbulkan suatu keadaan
yang menyerupai keadaan kelaparan pada tubuh, dimana tubuh akan dipaksa
untuk membakar lemak sebagai sumber energi, dan bukannya membakar
karbohidrat (Stafstrom, 2004).
Pada keadaan normal, karbohidrat yang terkandung dalam makanan akan
diubah menjadi glukosa, yang kemudian akan dibawa ke seluruh tubuh dan
menjadi sumber energi yang penting untuk fungsi otak. Tetapi apabila
diet/makanan hanya mengandung karbohidrat yang sangat sedikit, maka hati akan
mengubah lemak menjadi asam lemak dan badan keton. Badan keton akan masuk
ke otak dan menjadi sumbar energi menggantikan glukosa. Suatu keadaan dengan
adanya peningkatan badan keton dalam darah disebut dengan ketosis, dan selama
ini sudah terbukti dapat mengurangi frekuensi bangkitan kejang pada epilepsi
refrakter (Stafstrom, 2004).
Diet ketogenik telah terbukti efektif pada setengah dari jumlah pasien yang
mencobanya, dan terbukti sangat efektif pada sepertiga dari jumlah pasien. Pada
tahun 2008, suatu randomized controlled trial telah menunjukkan bukti-bukti
mengenai efektivitas diet ketogenik dalam penanganan epilepsi refrakter pada
anak. Juga didapatkan adanya beberapa bukti yang menunjukkan manfaat diet
ketogenik pada epilepsi usia dewasa maupun pada kondisi-kondisi neurologis lain
(Nylen, 2009).
Diet ketogenik adalah suatu terapi nutrisi medis yang melibatkan berbagai
disiplin ilmu. Anggota tim meliputi ahli gizi pediatrik yang mengatur program
diet, ahli neurologi pediatrik yang berpengalaman dalam penggunaan diet
ketogenik, perawat yang sudah biasa menangani kasus epilepsi pada anak, dan
ahli farmasi yang dapat memberi informasi mengenai kandungan karbohidrat
dalam obat. Dan akhirnya orangtua atau caregiver yang telah dididik dalam
banyak aspek mengenai diet ini, sehingga diet dapat diterapkan dengan aman.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
dr.Samuel Livingston, dr.John Freeman dan ahli diet Millicent Kelley (Stafstrom,
2004).
Era baru diet ketogenik diawali oleh Jim Abrahams, seorang produser
Hollywood, yang memiliki anak penderita epilepsi refrakter yang tidak berhasil
dengan beberapa pengobatan. Abrahams kemudian membawa anaknya ke RS
John Hopkins, dan bangkitan kejang pada anaknya dapat dikontrol setelah
mendapat terapi diet ketogenik. Kemudian Abrahams mendirikan yayasan Charlie
yang menerbitkan buku dan membuat sebuah film mengenai diet ketogenik.
Yayasan Charlie juga mendanai tujuh pusat penelitian diet ketogenik. Penelitian
multisenter ini dimulai pada 1994 dan dipresentasikan pada American Epilepsy
Society pada 1996. Kemudian laporan-laporan hasil penelitian multisenter dan 150
pasien yang diterapi di RS John Hopkins mulai diterbitkan (Stafsrom, 2004).
3
Gambar 1. Jalur metabolik yang menghasilkan badan keton pada diet ketogenik
(Bough,2007)
4
walaupun BHB memiliki struktur yang sama dengan GABA, yaitu
neurotransmitter inhibisi dan merupakan antikonvulsan poten (Politi, 2011).
Thio et al pada tahun 2000, dengan menggunakan teknik elektrofisiologi
seluler standar membuktikan bahwa konsentrasi BHB dan asetoasetat (dalam
millimolar), tidak mempengaruhi: excitatory post-synaptic potentials (EPSPs),
aktivitas epileptiform spontanpada model kejang pada lokasi korteks hipokampus-
entorhinal, dan seluruh sel pada neuron hipokampus (Politi, 2011).
5
2.2.3 Peran asam lemak
Polyunsaturated fatty acid (PUFA) seperti: docosahaxanoic acid (DHA),
arachidonic acid (AA), atau eicosapentanoic acid (EPA) dipercaya memiliki
pengaruh dalam fungsi kardiovaskular dan kesehatan. Pada miosit jantung, PUFA
menginhibisi channel sodium dan channel kalsium. Efek yang sama juga
didapatkan pada jaringan neuron, misalnya DHA dan EPA dapat menghilangkan
eksitabilitas neuron dan cetusan listrik pada hipokampus (Bough, 2007).
Pada terapi diet ketogenik, didapatkan peningkatan kadar AA dan DHA
dalam serum dan otak pasien. Pada tahun 2002, Schlanger et al melakukan
penelitian dengan memberikan suplemen 5 gram PUFA sekali sehari dapat
menurunkan frrekuensi dan intensitas kejang pada beberapa penderita epilepsy.
Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa peningkatan kadar PUFA
(AA dan DHA) akibat diet ketogenik akan menimbulkan penurunan eksitabilitas
neuron dan mengurangi aktivitas kejang (Bough, 2007).
PUFA dapat memblok aktivitas kejang melalui tiga cara. Pertama, PUFA
dapat menginhibisi aktivitas channel ion secara langsung. Omega-3 telah terbukti
dapat menginhibisi channel natrium dan kalsium, dapat meningkatkan resistensi
terhadap cetusan listrik yang diinduksi oleh biculline dan glutamat, dan dapat
memperpanjang waktu pemulihan dari inaktivasi pada neuron hipokampus.
Kedua, bersama-sama dengan badan keton, PUFA dapat mengaktivasi channel
potassium K2P yang sensitive terhdap lemak. Ketiga, PUFA dapat meningkatkan
aktivitas pompa Na+/K+-ATPase. Temuan-temuan ini mengindikasikan bahwa
peningkatan level PUFA di otak akibat diet ketogenik dapat membantu untuk
menurunkan hipereksitabilitas neuron melalui berbagai mekanisme secara
langsung (Freeman, 2006).
Selain mekanisme secara langsung seperti yang telah disebut di atas,
PUFA juga dapat bekerja secara tidak langsung untuk membatasi eksitotoksisitas
dan neurodegenerasi. PUFA dapat menginduksi ekspresi dan aktivitas uncoupling
proteins (UCPs) untuk menghilangkan reactive oxygen species (ROS),
mengurangi disfungsi neuron, dan menginduksi efek neuroprotektif. PUFA juga
dapat mengaktivasi PPARα (peroxisome proliferator-activated receptor α) dan
6
menginduksi up-regulasi transkrip energi sehingga dapat meningkatkan cadangan
energi, stabilisasi fungsi sinaps dan membatasi hipereksitabilitas.
7
2.2.5 Hipotesis GABA-ergik
Salah satu hipotesis paling populer mengenai mekanisme aksi diet
ketogenik adalah keterlibatan GABA, neurotransmitter inhibisi utama di otak.
Secara umum, diet ketogenik paling efektif pada kejang yang diakibatkan
antagonis GABA-ergik.
Mekanisme aksi yang telah dapat dibuktikan adalah melalui proses
metabolisme glutamate, badan keton dan glukosa di otak. Pada keadaan ketosis,
BHB dan asetoasetat memberi kontribusi besar terhadap kebutuhan energi di otak,
dimana semua badan keton akan membentuk Acetyl-CoA yang akan memasuki
siklus tricarboxylic acid (TCA) melalui jalur sintetase sitrat. Hal ini akan
mempengaruhi konsumsi oxaloacetate, yang diperlukan untuk proses transaminasi
glutamat menjadi aspartat. Kemudian jumlah oxaloacetate akan kurang tersedia
untuk proses jalur aminotransferase aspartat. Jumlah glutamate yang akan diubah
menjadi aspartat akan berkurang, sehingga glutamate yang tersedia akan dipakai
untuk sintesis GABA melalui glutamic acid decarboxylase (GAD) (Bough, 2007).
8
2.3.1 Epilepsi refrakter
Sejak awal penggunaan diet ketogenik diindikasikan pada penderita
epilepsi refrakter. Diet ketogenik tidak dianjurkan untuk diberikan pada epilepsi
dengan onset yang baru, karena pemakaian obat anti epilepsi (OAE) lebih mudah
dan sederhana penggunaannya dan efektif pada 70-80% pasien. Diet ketogenik
membutuhkan komitmen dalam hal waktu dan usaha oleh pasien, keluarga, tim
tenaga kesehatan dan institusi yang memfasilitasi terapi ini. Umumnya pusat-
pusat epilepsi akan memulai terapi diet ketogenik apabila pasien gagal diterapi
dengan dua atau tiga OAE standar (Stafstrom, 2004).
2.3.4 Usia
Apakah usia pasien merupakan faktor prognosis penting dalam
menentukan keputusan pemberian diet ketogenik, masih belum jelas sampai saat
ini. Keberhasilan penggunaan diet ketogenik pada bayi-bayi dengan epilepsi telah
berhasil dibuktikan melalui beberapa penelitian. Pada salah satu penelitian pada
32 bayi, didapatkan hasil bahwa 19% bayi menjadi bebas kejang, dan 36 % bayi
9
mengalami penurunan frekuensi kejang sebanyak 50%. Diet ketogenik belum
banyak digunakan pada pasien usia dewasa, tetapi saat ini pusat-pusat epilepsi
sudah mulai menawarkan diet ketogenik pada pasien dewasa (Plogsted, 2010).
10
2.4.1 Inborn errors of metabolism
Beberapa kontraindikasi mutlak untuk pemberian diet ketogenik adalah
defek metabolisme lemak dan kelainan-kelainan yang membutuhkan kandungan
karbohidrat tinggi, seperti β-oxydation defects dan porfiria. Kegagalan
mendiagnosis kelainan-kelainan ini sebelum memulai diet ketogenik dapat
menimbulkan morbiditas yang siknifikan dan fatal. Sehingga keadaan-keadaan
yang merupakan kontraindikasin ini harus diperhitungkan sebelum memulai diet
ketogenik (Neal, 2008).
11
pada 2-4% anak, dan komplikasi jantung diantaranya kardiomiopati dan
pemanjangan interval QT pada beberapa anak (Huffman, 2006).
12
Pada pertengahan abad ke-20, diet ketogenik mulai ditinggalkan karena
ditemukannya jenis OAE yang baru dan diet ketogenik yang sulit untuk diterima
sebagian pasien. Dr. Peter Huttenlocher dari Universitas Chicago berusaha untuk
menemukan dan mengembangkan bentuk diet ketogenik yang baru, dengan
membuat formula makanan yang mirip diet normal. Tim dr.Huttenlocher
menyebut formula ini dengan diet medium-chain triglycerides (MCT). Mereka
mengganti trigliserida rantai panjang (LCT) pada diet ketogenik klasik dengan
MCT. MCT dibuat dalam bentuk minyak yang tidak berbau, tidak berwarna, dan
tidak berasa. MCT juga harus dihitung terlebih dulu untuk kemudian dapat
dimasukkan dalam dafter diet, tapi MCT bersifat lebih ketogenik dibandingkan
LCT. Akibat sifatnya yang lebih ketogenik maka seorang pasien dengan diet MCT
dapat mengkonsumsi makanan-makanan anti-ketogenik yang lebih bervariasi,
seperti buah daan sayur dengan porsi lebih besar. Konsumsi cairan juga tidak
dibatasi dalam diet MCT. Jenis makanan yang lebig bervariasi dalam diet MCT
diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani diet, dan
pasien diharapkan dapat menjalani diet yang lebih normal walaupun harus
mempertahankan keadaan ketosis (Huffman, 2006).
Diet MCT, seperti juga diet klasik, diinisiasi dengan puasa biasanya mulai
menunjukkan hasil dalam beberapa hari setelah dimulai. Jika diet MCT berhasil,
maka pasien dipertahankan dengan diet ini selama 2 tahun.
Walaupun pada beberapa penelitian diet MCT dilaporkan memiliki
efektivitas yang sama dengan diet klasik, tetapi pada terapi diet ketogenik di RS
John Hopkins, didapatkan bahwa diet MCT memiliki efek kontrol kejang yang
lebih rendah dibandingkan diet klasik, yang kemungkinan diakibatkan jumlah
kalorinya yang cukup tinggi dibanding diet klasik. Selain itu, pada diet MCT
sering didapatkan keluhan berupa kram perut, diare persisten dan berat, dan mual
muntah, sehingga bila pasien tidak kuat, diet ini tidak akan efektif. Sehingga
biasanya minyak MCT ini ditambahkan pada diet klasik untuk meningkatkan
keadaan ketosis dan mengurangi konstipasi (Stafstrom, 2004).
13
Tipe diet yang ketiga adalah diet modifikasi Atkins. Dengan restriksi
karbohidrat, diet Atkins dapat menginduksi ketosis dan tidak perlu dilakukan
restriksi protein, cairan atau kalori, dan tidak didahului oleh fase puasa. Bahkan
diet Atkins ini sudah tersedia di toko-toko makanan tertentu, sehingga keluarga
pasien tidak perlu lagi mengukur atau menakar makanan yang akan dikonsumsi.
Keadaan ketosis pada urin dapat dijumpai dalam empat hari setelah diet dimulai
(Freeman, 2007).
Selama beberapa hari pertama, seperti pada tahap inisiasi diet klasik,
pasien dapat menjadi ketosis dengan sangat cepat, sehingga muncul efek samping
mengantuk, dehidrasi atau muntah. Beberapa pasien mungkin akan harus
diopname untuk pemberian cairan intravena.
Setelah bulan pertama, maintenance untuk diet Atkins adalah sama dengan
diet ketogenik klasik. Jika efek kontrol kejang yang diharapkan masih kurang,
maka sumber-sumber lemak seperti mayonais, mentega, krim atau minyak MCT
dapat ditambahkan ke dalam diet. Jika pasien terlalu ketosis (mengantuk dan
tampak kurang bertenaga), karbohidrat dapat sedikit dinaikkan (Stafstrom, 2004).
Tabel 2. Perbedaan antara diet klasik dan diet modifikasi Atkins (Freeman, 2007)
BAB III
PENUTUP
14
Diet ketogenik adalah suatu pola diet dengan formula tinggi lemak, rendah
protein dan rendah karbohidrat, yang telah digunakan sejak tahun 1920-an untuk
penatalaksanaan /terapi kasus epilepsi yang refrakter terhadap dua atau tiga jenis
obat anti epilepsi standar.
Ada tiga tipe diet ketogenik, yaitu diet klasik, diet medium-chain
triglyceride (MCT) dan diet modifikasi Atkins. Diet klasik menggunakan
trigliserida rantai panjang yang diberikan dengan dasar perbandingan lemak dan
karbohidrat adalah 4:1, dimana mayoritas kalori (90%) diperoleh dari lemak.
Terapi diet umumnya diawali dengan periode puasa, kemudian diikuti dengan
peningkatan kalori secara gradual. Pada fase awal, pasien diopname selama
beberapa hari, dan dilakukan monitor kadar gula darah, keton urin, dan beberapa
variable metabolik lain. Inti dari diet ketogenik adalah produksi badan keton oleh
hati. Badan keton merupakan sumber energi alternatif selain glukosa (Bough,
2007).
Walaupun efektivitas klinis diet ketogenik telah diterima secara luas, tetapi
mekanisme aksi antikovulsan diet ini masih sangat sedikit dimengerti. Beberapa
terori mekanisme aksi yang telah mulai diterima saat ini adalah: peran badan
keton, peran restriksi glukosa, peran asam lemak, dan peran neurotransmitter
(hipotesis noradrenalin dan hipotesis GABAergik) (Politi, 2011).
15
DAFTAR PUSTAKA
Politi,K., Meiri,L.S., Shuper,A., Aharoni,S., 2011. The Ketogenic Diet 2011: How
It Works. Epilepsy Research and Treatment, :1-4.
Stafstrom,E.C., Rho,J.M. Epilepsy and the Ketogenic Diet. Humana Press Inc.
USA. 2004.
16