ENSEFALOPATI
Pembimbing
KELOMPOK J31
Juliatika 201820401011120
Syamsul amar hidayat 201820401011165
SMF NEUROLOGI
RS BHAYANGKARA KEDIRI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2019
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, atas
berkat dan rahmatnya yang telah dikaruniakan kepada saya, sehingga saya dapat
menyelesaikan referat SMF NUEROLOGI dengan judul “ENSEFALOPATI”
Pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan terimakasih kepada semua pihak,
rekan sejawat, dan yang terutama dr. edi purnomo Sp,S yang telah meluangkan
waktunya untuk membimbing penulis sehingga referat kasus ini dapat selesai
dengan baik.
Akhir kata, penulis mengharapkan tugas ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak.
Penulis
LEMBAR PENGESAHAN
Kelompok J - 31
Juliatika 201820401011120
Syamsul amar hidayat 201820401011165
Telah disetujui dan memenuhi sebagian syarat mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik
Mengetahui,
Pembimbing
Halaman
KATAPENGANTAR .......................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
2.4 Klasifikasi........................................................................................... 9
DAFTARPUSTAKA ........................................................................................... 27
4
BAB I
PENDAHULUAN
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Ensefalopati adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan
kelainan fungsi otak menyeluruh yang dapat akut atau kronik, progresif
atau statis (Behrman, et al., 2007). Ensefalopati merupakan istilah yang
umum digunakan untuk menjelaskan perubahan dari fungsi otak yang
mana kelainan tersebut merupakan hasil dari kegagalan sistemik,
metabolik dan pengaruh toksik (Roos, 2012).
Ensefalopati adalah disfungsi kortikal dengan karakteristik
perjalanan akut hingga subakut (jam hingga beberapa hari), yang mana
terdapat fluktuasi dari tingkat kesadaran, atensi minimal, kadang muncul
halusinasi dan delusi serta perubahan tingkat aktivitas psikomotor (Atri, et
al., 2008).
Ensefalopati terdiri dari beberapa jenis, antara lain : ensefalopati
hepatikum, ensefalopati uremikum, ensefalopati hipertensi, ensefalopati
Wernicke, dan ensefalopati metabolic (Kerr, 2011). Akan tetapi akan
dibahas 2 dari ensefalopati tersebut, yaitu ensefalopati uremikum dan
ensefalopati hipertensi.
Ensefalopati uremikum adalah salah satu dari banyaknya
manifestasi uremia yang mana ensefalopati ini melibatkan korteks otak
(Kim, et al., 2013). Gejala yang dapat timbul antara lain delirium dan
koma, sakit kepala, gangguan visus, tremor dan kejang (Brouns dan De
Deyn, 2004).
Ensefalopati hipertensi adalah gangguan akut dan berat yang
berkembang terutama pada pasien dengan hipertensi maligna atau
eklampsia dan pasien dengan immunosuppressive drug therapy. Gejala
yang dapat muncul terutama berhubungan dengan sistem saraf pusat,
seperti sakit kepala, kejang dan gangguan visual (Karampekios, et al.,
2004).
6
Ensefalopati metabolik adalah gangguan neuropsikiatrik akibat
penyakit metabolik otak (Dorland, 2010). Ensefalopati metabolik adalah
pengertian umum keadaan klinis yang ditandai dengan :
1. Etiologi
Secara klinis, diagnosis ensefalopati digunakan untuk
menggambarkan disfungsi otak difus yang disebabkan oleh gangguan
faktor sistemik, metabolik, atau toksik (Roos, 2012). Etiologi
ensefalopati pada anak meliputi penyebab infeksi, toksis (misalnya
karbon monoksida, obat, timah hitam), metabolik dan iskemik
(Behrman, et al., 2007).
Ensefalopati uremikum biasanya timbul pada pasien dengan gagal
ginjal akut maupun kronik (Lohr, 2012). Ensefalopati uremikum dapat
timbul oleh karena uremia, defisiensi tiamin, dialisis, gangguan
elektrolit dan toksisitas obat (Brouns dan De Deyn, 2004). Sedangkan
ensefalopati hipertensi biasanya disebabkan oleh lonjakan tekanan
darah yang tinggi pada pasien hipertensi kronik (Susanto, 2013).
Etiologi terjadinya ensefalopati metabolik dibagi menjadi
intoksikasi obat atau ketergantungan obat, abnormalitas elektrolit dan
glukosa, disfungsi organ mayor (seperti hepar, ginjal, paru, dan
endokrin), defisiensi nutrisi, terpapar terhadap toksin,sindrom
paraneoplastik (Varelas & Graffagrino, 2013).
7
Tabel 2.1 Etiologi Ensefalopati Metabolik (Suspanc, Vargek-solter, & Demarin,
2003)
Etiologi
Hipoksia - Anemia
- Penyakit Paru
- Hipoventilasi alveolar
Iskemia - Penyakit kardiovaskuler (termasuk cardiac arrest)
- Aritmia
- Penyakit mikrovaskular
- Hipotensi
- Hipertensi
Penyakit - Penyakit hepar
Sitemik - Penyait ginjal
- Penyait pankratikus
- Malnutrisi (defisiensi vitamin)
- Disfungsi endokrin (hipoglikemia atau hiperglikemia dan
keadaan hiperosmolar)
- Gangguan keseimbangan cairan, asam basa, dan elektrolit
- Vaskulitis
- Infeksi dan sepsis
- Keganasan (Sindrom paraneoplastik)
Agen Toksik - Alkohol, sedatif (barbiturat, narkotik, da obat penenang)
- Pengobatan psikiatri (antidepresan trisiklik, obat-obat
antikolinergik, Fenotiazin, MAO Inhibitor
- Logam berat
- Organofosfat, bensin
- Obat-obat lain (Kortikosteroid, penisilin, anti konvulsan)
Selain itu, terdapat beberapa faktor risiko yang berhubugan dengan
terjadinya ensefalopati metabolik, antara lain (Varelas & Graffagrino, 2013):
8
c. Status fungsional buruk
d. Malnutrisi
e. Penyalahgunaan zat kimia
f. Kondisi kesehatan pre-morbid atau gangguan kognitif
g. Polypharmacy termasuk pengobatan yang berefek terhadap
neurootransmitter (seperti antikolinergik atau dopaminergik)
h. Kondisi fisik terbatas
i. Gangguan penglihatan atau pendengaran
j. Riwayat delirium sebelumnya
9
2.4 Klasifikasi
Perbedaan ensefalopati dan ensefalitis
2.5 Epidemiologi
10
insiden hipertensi essensial pada orang kulit putih sebanyak 20-30%,
sedangkan pada orang kulit hitam sebanyak 80%. Sehingga orang kulit
hitam lebih beresiko untuk menderita ensefalopati hipertensi (Evans et al.,
2001).
11
Gangguan hormonal berhubungan dengan meningkatnya kadar
hormone paratiroid pada pasien uremia. Mekanisme yang berperan
adalah kerja hormone paratiroid yang memfasilitasi masuknya kalsium
ke dalam jaringan termasuk otak. Kalsium berperan penting dalam
pelepasan neurotransmitter dan berperan dalam metabolisme
intraseluler dan proses enzimatik. Dengan meningkatnya kadar kalsium
maka dapat mengakibatkan gangguan fungsi otak (Brouns dan De
Deyn, 2004).
2. Ensefalopati Hipertensi
Ensefalopati hipertensi dapat disebabkan oleh peningkatan
tekanan darah. Beberapa kondisi yang dapat meningkatkan tekanan
darah antara lain nefritis akut, eklampsia, dan hipertensi kronik
esensial. Pada umumnya, aliran darah otak dijaga oleh mekanisme
autoregulasi yang mana arteriol akan berdilatasi untuk merespon
penurunan tekanan darah dan arteriol akan konstriksi bila terjadi
peningkatan tekanan darah. Mekanisme autoregulasi ini mengalami
gangguan bila hipertensi terlalu tinggi. Menurut konsep over-regulation,
pembuluh darah otak mengalami spasme oleh karena hipertensi akut,
yang mana akan mengakibatkan iskemi serebral dan edema sitotoksik.
Sedangkan menurut konsep autoregulation breakthrough, arteriol
serebral mengalami dilatasi paksa yang dapat mengakibatkan edema
vasogenik. Edema serebral yang terjadi ini dapat menekan ventrikel
otak dan menimbulkan disfungsi otak (Susanto, 2013).
2.6 Patofisiologi
Berbagai mekanisme dapat berkontribusi terhadap terjadinya
ensefalopati, namun faktor toksik, anoksik, dan metabolik merupakan
mekanisme tersering dan signifikan.
a. Hipoksia
12
dibandingkan substansia alba, demikian pula halnya dengan aliran darah
dan penggunaan glukosa. Adapun efek pertama dari efek hipoksia serebral
adalah peningkatan pH intraseluler. Selanjutnya, kandungan kalsium
inraselulaer meningkat sebagai konsekuensi pelepasan kalsium dari
retikulum endoplasmik. Konsentrasi ATP mulai jatuh, dan ketika sebanyak
50-70% ATP neuronal hilang, pompa sodium gagal sehingga saluran ion
bervoltase terbuka, maka menyebabkan penurunan konsentrasi gradient
Na+, K+, Ca++, dan Cl- serta melepaskan cadangan neurotransmitter.
Kemudian air akan memasuki sel sehingga terjadi peingkatan osmolalitas
dan sel membengkak. Konsentrasi kalsium intraselular neuronal dapat
meningkat hingga empat kali lipat. Konsentrasi kalsium intraselular
tersebut selanjutnya mengaktifkan lipase, protease, dan enzim katabolik
lainnya (Suspanc, Vargek-solter, & Demarin, 2003).
Perubahan tekanan oksigen memiliki efek yang cepat dan langsung pada
saluran ion membran yang sebagian terkait dengan fosforilasi. Beberapa
saluran ion mengalami down regulation untuk mengurangi saluran ion dan
mengurangi kebutuhan energi selular. Beberapa saluran ion mengalami up
regulation yang menimbulkan depolarisasi dan kematian sel. Hipoksia
juga merangsang terbentuknya molekul hypoxia-inducible factor (HIF).
Pembentukan molekul ini terjadi setelah terjadi efek hipoksia terhadap
saluran ion. Molekul ini mengaktifkan transkripsi gen untuk eriropoietin,
gen untuk enzim glikolitik dan gen yang terlibat dalam angiogenesis
(Teresa & Chua, 2010).
13
kondisi-kondisi yang dapat menyebabkan terjadi hiperventilasi diantaranya
koma hepatikum, lesi batang otak, dan penyait kardiopulmoner tertentu
(Teresa & Chua, 2010).
d. Defisiensi nutrisi/vitamin
Fungsi dan eksitabilitas otak sangat sensitif terhadap pH. pH cairan tubuh
diatur dengan sangat ketat. Barrier permeabilitas memisahkan sistem saraf
14
pusat dengan cairan tubuh. Cairan ekstraselular otak mengandung lebih
banyak proton dan ion magnesium, namun lbih sedikit pottasium.
Lingkungan ekstraselular otak diatur atau diprogram untuk mengandung
lebih banyak H+. Banyak saluran ion bervoltase pada sistem saraf sensitif
terhadap perubahan pH. Asidosis (penurunan pH) menghambat saluran ion
bervoltase dan saluran ion yang diaktivasi oleh glutamat. Karena channel
sodium dan kalsium lebih sensitif terhadap perubahan pH dibandingkan
channel pottasium, maka peningkatan pH (alkalosis) akan meningkatkan
entri kalsium dan sodium ke dalam sel neuron, membuat neuron tersebut
lebih mudah tereksitasi. Seringkali menyebabkan kejang dan gangguan
kesadaran (Teresa & Chua, 2010).
15
Guillan Barre syndrome. Adapun hiperkalemia dapat ditemukan pada
pasien dengan hemolisis sel darah merah (Teresa & Chua, 2010).
f. Hepatic encephalopathy
16
plasma maupun otak. Di otak, amonia akan diubah menjadi glutamine
yang siklusnya berjalan dari astrosit sampai neuron, dan selanjutnya akan
diubah menjadi glutamate. Setelah pelepasan glutamate ke celah sinaptik,
reuptake terjadi pada astrosit. Penurunan konsumsi oksigen dan
metabolisme glukosa terjadi secara sekunder pada ensefalopati hepatikum
(Suspanc, Vargek-solter, & Demarin, 2003).
g. Gagal ginjal
17
3) Disorientasi
4) Bingung
5) Perubahan tingkah laku
Selama progresifitas ensefalopati uremikum berlangsung pasien
akan mengalami mioklonus, asterixis, kejang, stupor, bahkan
koma.
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai :
1) Gangguan nervus cranialis, seperti nistagmus
2) Papil edem
3) Hiperrefleks, clonus, dan asterixis
c. Pemeriksaan penunjang
1) Peningkatan kadar BUN dan kreatinin darah.
2) Elektrolit serum dan glukosa untuk menemukan adanya
hiponatremia, hipernatremia, hiperglikemia, dan sindrom
hiperosmolar.
3) Pemeriksaan urin
4) Elektro ensefalografi (EEG) :
a) Frekuensi gelombang alfa akan melemah bahkan
menghilang
b) Disorganisasi
c) Gelombang theta dan delta yang tidak beraturan
d) Reduksi freksuensi gelombang EEG yang berkorelasi
dengan penurunan aktivitas ginjal (Lohr, 2012).
2. Ensefalopati hipertensi
a. Anamnesis
Pada ensefalopati hipertensi terdapat tanda dan gejala berupa :
1) Sakit kepala
2) Gangguan penglihatan
3) Kejang
4) Mual dan muntah
Tanda dan gejala kerusakan organ :
18
1) Kardiovaskular : palpitasi, dispnea, heart rate ireguler
2) Renal : hematuria dan gagal ginjal akut
Onset gejala-gejala tersebut biasanya berlangsung antara 24-48
jam dan progresif. Ensefalopati hipertensi terjadi pada pasien
dengan riwayat hipertensi lama dan konsumsi kokain.
b. Pemeriksaan fisik
1) Pemeriksaan mata dengan funduskopi dapat ditemukan :
2) Papil edema
3) Perdarahan
4) Eksudat
5) Pemeriksaan nervus kranialis untuk menemukan nistagmus
c. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan darah lengkap untuk menemukan adanya anemia
hemolitik mikroangiopati
2) Urinalisis : kadar BUN, kreatinin, hematuria, obat-obatan
3) CT scan : untuk melihat adanya stroke, perdarahan, atau massa
di intracranial (Irawan, 2013).
3. Ensefalopati metabolik
mempunyai gambaran klinis yang khas, tergantung dari penyakit
penyebabnya dan komplikasi yang disebabkan oleh keadaan komorbid
atau pengobatan. Meskipun adanya perbedaan-perbedaan individual ini,
penyakit spesifik seringkali menghasilkan pola-pola klinis yang berulang-
ulang, dan jika dikenali jarang sekali menghasilkan diagnosis yang keliru.
Pemeriksaan secara menyeluruh dan detail dari kesadaran, respirasi, reaksi
pupil, pergerakan bola mata, fungsi motorik, dan elektroensefalogram
(EEG) dapat membedakan ensefalopati metabolik dengan kelainan
psikiatrik atau dengan penyakit struktural (Sumantri, 2009).
Aspek klinis kesadaran
Pada pasien dengan ensefalopati metabolik biasanya didahului oleh
delirium. Penurunan daya ingat jangka pendek, penurunan kemampuan
untuk mempertahankan atau memindahkan perhatian, proses pikir
19
terganggu, gangguan persepsi, delusi dan atau halusinasi serta gangguan
siklus bangun-tidur (Sumantri, 2009).
Respirasi
Cepat atau lambat, penyakit ensefalopati metabolik hampir selalu
menyebabkan kelainan pernapasan baik dari sisi kedalaman ataupun
irama. Kebanyakan perubahan ini terjadi secara non-spesifik dan
merupakan bagian dari penekanan batang otak yang lebih luas. Namun
demikian, pada keadaan-keadaan tertentu, perubahan pernapasan dapat
meberikan gambaran khas penyakit spesifik yang menyebabkan (Sumantri,
2009).
Perubahan respirasi neurologis dalam ensefalopati metabolik
Pasien-pasien dalam keadaan stupor atau koma ringan seringkali
menampilkan gambaran pernapasan Cheyne Stokes. Pada keadaan depresi
batang otak yang lebih dalam hiperventilasi neurogenik dapat terjadi
sebagai akibat dari penekanan daerah inhibisi batang otak atau dari
terjadinya edema pulmonar neurogenik (Sumantri, 2009).
Hipoglikemia dan kerusakan anoksik lebih sering lagi menyebabkan
hiperpnea transien, sedangkan ketoasidosis diabetik dan penyebab koma
lainnya yang menghasilkan asidosis metabolik akan menunjukkan
pernapasan lambat dan dalam (Kussmaul). Baik ensefalopati hepatik dan
keadaan inflamasi sistemik sama-sama menyebabkan hiperventilasi
persisten yang pada akhirnya menyebabkan alkalosis respiratorik primer.
Pada keadaan-keadaan ini, peningkatan frekuensi napas terkadang berhasil
menutupi keadaan metabolik dasarnya dan apabila pasien tersebut juga
mempunyai rigiditas ekstensor gambaran klinisnya dapat secara sekilas
menyerupai penyakit struktural atau asidosis metabolik berat. Namun
demikian dengan melakukan pemeriksaan klinis secara teliti, biasanya
dapat ditemukan diagnosis kerja yang sesuai (Bates, 2003).
Efektivitas respirasi harus dievaluasi secara berulang-ulang pada saat
penyakit metabolik menekan otak, hal ini disebabkan karena formasio
retikularis batang otak secara khusus rentan terhadap depresi kimiawi.
Anoksia, hipoglikemia dan obat-obatan dapat secara selektif menginduksi
20
hipoventilasi atau apnea sementara pada saat yang bersamaan tidak
mengganggu fungsi batang otak lainnya seperti respons pupil dan kendali
tekanan darah (Bates, 2003).
Pupil
Pada pasien dengan koma dalam, keadaan pupil menjadi kriteria klinis
yang paling penting dan mampu membedakan antara kerusakan struktural
dengan penyakit metabolik. Adanya refleks cahaya pupil yang tetap
terjaga, walaupun disertai dengan depresi pernapasan, kekakuan
deserebrasi atau flasiditas motorik tetap mengindikasikan ensefalopati
metabolik. Ketiadaan refleks cahaya pupil mengimplikasikan adanya
penyakit struktural dibanding metabolik (Bates, 2003).
Aktivitas motorik
Pasien dengan penyakit ensefalopati metabolik biasanya memperlihatkan
dua tipe kelainan motorik: (1) kelainan non-spesifik dari kekuatan, tonus
dan refleks termasuk juga kejang fokal dan umum; (2) gerakan tidak
bertujuan khas yang hampir patognomonik untuk penyakit ensefalopati
metabolik. Kelainan motorik difus sering ditemukan pada koma
metabolik dan menggambarkan derajat serta distribusi depresi SSP
(Sumantri, 2009).
21
iregular dengan laju 8-10 kali per detik. Tremor biasanya hilang saat
istirahat dan paling mudah ditemukan pada jari-jemari tangan yang terjulur
(Bates, 2003).
Asteriksis digambarkan sebagai gerakan mengepak telapak tangan bila
dihiperekstensikan pada pergelangan tangan dan banyak ditemukan pada
banyak penyakit ensefalopati metabolik.
Mioklonus multifokal merupakan gerakan berkedut kasar mendadak, non-
ritmis dan tidak berpola yang melibatkan sebagian atau sekelompok otot
pada satu bagian dan kemudian bagian tubuh yang lain, terutama pada
wajah dan tungkai proksimal. Mioklonus multifokal biasanya menyertai
ensefalopati uremikum, penisilin intravena dosis tinggi, narkosis CO2 dan
ensefalopati hiperosmolar hiperglikemik. Mioklonus multifokal pada
pasien koma menandakan adanya penyakit metabolik yang berat
(Sumantri, 2009).
2.8 Penatalaksanaan
1. Ensefalopati Uremikum
a. Inisiasi dialisis (hemodialisis, peritoneal dialisis)
b. Mengoreksi anemia
c. Mengatur metabolisme kalsium dan fosfat (Lohr, 2012).
2. Ensefalopati Hipertensi
a. Menurunkan tekanan darah dengan target tekanan diastolik 100-
110 mmHg.
Obat-obat anti hipertensi :
1) Nicardipin. Nicardipin merupakan derivat dihidropiridin Ca
channel blocker generasi kedua yang memiliki selektivitas
vaskular tinggi dan aktivitas vasodilator arteri koroner.
Nicardipin juga terbukti mampu meningkatkan stroke volume
dan aliran darah arteri koroner.
2) Labetalol. Labetalol dapat menurunkan tekanan darah dengan
cepat tanpa mengganggu aliran darah di serebral. Labetalol
sering digunakan untuk terapi insial. Labetalol harus dihindari
22
pada pasien dengan penyakit saluran napas dan syok
kardiogenik.
3) Nitrogliserin. Nitrgoliserin digunakan untuk menurunkan
tekanan darah secara cepat pada komplikasi iskemia
miokardium. Akibat penurunan tekanan darah secara drastis,
dapat menyebabkan komplikasi yang disebabkan oleh dilatasi
vena yang berlebihan.
4) Sodium nitroprusid. Sodium nitroprusid dapat digunakan untuk
menurunkan tekanan darah. Sodium nitropruside sebaiknya
tidak diberikan pada pasien yang mengalami peningkatan
tekanan intrakranial.
b. Cairan infus ringer laktat
c. Terapi Non Medikamentosa
1) Mengontrol tekanan darah
2) Mengurangi konsumsi garam
3) Memperbanyak aktivitas fisik
4) Mengurangi kelebihan berat badan
5) Menghindari rokok (Irawan, 2013).
8) Pertahankan sirkulasi
Pertahankan tekanan darah arterial rerata (mean arterial pressure/MAP;
1/3 sistolik + 2/3 diastolik) antara 70 dan 80mmHG dengan
mempergunankan obat-obatan hipertensif dan atau hipotensif seperlunya.
23
Secara umum, hipertensi tidak boleh diterapi langsung kecuali tekanan
diastolik di atas 120mmHg. Pada pasien lansia dengan riwayat hipertensi
kronik, tekanan darah tidak boleh diturunkan melebihi level dasar pasien
tersebut, oleh karena hipotensi relatif dapat menyebabkan hipoksia
serebral. Pada pasien muda dan sebelumnya sehat, tekanan sistolik di atas
70 atau 80 mmHg biasanya cukup
24
Alkalosis respiratorik dapat menyebabkan aritmia jantung dan
menghambat upaya penyapihan dari dukungan ventilator.
2. Perdarahan intracranial
3. Edema serebri
2.10 Komplikasi
Ensefplopati merupakan komplikasi dari beberapa keadaan yang
mendasarinya seperti iskemia, metabolic, toksik maupun septik. Keadaan
yang bisa timbul bila ensefalopati terjadi adalah ganguan perkembangan,
bahkan hingga kematian.
III
KESIMPULAN
25
menurunkan tekanan darah dengan target tekanan diastolic 100-110
mmHg dan menggunakan cairan infuse RL.
4. Ensefalopati metabolik merupakan kelainan fungsi otak yang
menyebabkan gangguan neurologis yang disebabkan oleh kelainan zat-zat
metabolit, toksin, atau kegagalan organ. Klasifikasi ensefalopati dapat
berdasarkan penyebabnya yaitu ensefalopati metabolik primer yang
diakibatkan oleh disfungsi substansia alba maupun grisea pada otak dan
ensefalopati metabolik sekunder yang diakibatkan oleh berbagai macam
faktor yang diantaranya adalah kekurangan glukosa dan zat-at yang
diperlukan untuk metabolisme sel serta ketidakseimbangan ion dan cairan
tubuh.
26
DAFTAR PUSTAKA
Atri, Alireza, Tracey A. Milligan, Kiran C. Reddy, dan Andrew S. Kayser. 2008.
Encephalopathy : Approach to Diagnosis and Care. Neurology. Vol. 12 (1) :
1-15.
Behrman Richard E., Robert M. Kliegman, dan Ann M. Arvin. 2007. Nelson
textbook of Pediatrics. Philadelphia : Elsevier Science Health Science
Division.
Evans K, Rigby AS, Hamilton P, Titchner N, Hall DM. The relationship between
neonatal encephalopathy and cerebral palsy: a cohort study. J Obstet
Gynaecol. 2001;21: 114–20.
Kim, Ye Na, Ho Sik Shin, Yeon Soon Jung, dan Hark Rim. 2013. Uremic
Encephalopathy with Basal Ganglia Lesions in a Diabetic Predialysis
Patient. British Journal of Medicine & Medical Research. Vol. 3 (2) : 249-
254.
27
Lohr, J. W. 2012. Uremic Encephalopathy. Available from URL :
http://emedicine.medscape.com/article/239191-overview
Majid, A. Krisis Hipertensi Aspek Klinis dan Pengobatan. USU Digital Library.
2004: 1-8. Available from:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1999/1/fisiologi-
abdul%20majid.pdf [diakses 9 Desember 2013].
Van Dijck, Annemie, Wendy Van Daele, dan Peter Paul De Deyn. 2012. Uremic
Encephalopathy. Available at :
http://cdn.intechopen.com/pdfs/35732/InTech-Uremic_encephalopathy.pdf.
Diakses pada tanggal 09 Desember 2013.
28