Anda di halaman 1dari 47

RESPONSI KASUS

ASFIKSIA NEONATORUM

Oleh:

Ni Made Pasmiati Setyaningsih (1202006003)


I Made Kasmadi Gunawan (1202006018)
Risna Dea Pramita (1202006032)
I Kt Gd Arya Surya Pranata (1202006047)
Indriana Triastuti (1202006062)
Komang Leo Krisnahari (1202006076)
G. A. Ade Cahayani Saraswati (1202006091)
Putu Cyntia Ratnadi (1202006105)
I Pt Prananta Andi Yunarsa (1202006120)

Pembimbing:
dr. I Made Kardana, Sp.A(K)

DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITRAAN KLINIK MADYA


DI BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK
FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR
2016

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
responsi kasus yang berjudul Asfiksia Neonatorum ini tepat pada waktunya.
Responsi kasus ini disusun dalam rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya
di Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar.
Dalam penulisan responsi kasus ini penulis banyak mendapatkan
bimbingan maupun bantuan, baik berupa informasi maupun bimbingan moril.
Untuk itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. dr. Bagus Ngurah Putu Arhana, Sp.A(K) selaku Kepala Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP
Sanglah.
2. dr. I Wayan Dharma Artana, Sp.A(K) selaku Koordinator Pendidikan
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah.
3. dr. I Made Kardana, Sp.A(K) selaku dosen pembimbing atas segala
bimbingan, saran-saran dan bantuan dalam penyusunan responsi kasus ini.
4. Semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan responsi kasus ini
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa responsi kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari
semua pihak sangat penulis harapkan dalam rangka penyempurnaannya. Akhirnya
penulis mengharapkan semoga responsi kasus ini dapat bermanfaat di bidang ilmu
pengetahuan dan kedokteran.

Denpasar, Oktober 2016

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul i
Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii

BAB I PENDAHULUAN 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Definisi Asfiksia Neonatorum 3
2.2 Epidemiologi Asfiksia Neonatorum 4
2.3 Etiologi Asfiksia Neonatorum 5
2.4 Patofisiologi Asfiksia Neonatorum 6
2.5 Manifestasi Klinis Asfiksia Neonatorum 11
2.6 Diagnosis Asfiksia Neonatorum 11
2.7 Penatalaksanaan Asfiksia Neonatorum 13
2.8 Komplikasi Asfiksia Neonatorum 19
2.9 Prognosis Asfiksia Neonatorum 23

BAB III LAPORAN KASUS


3.1 Identitas Pasien 24
3.2 Anamnesis 24
3.3 Data Bayi 26
3.4 Pemeriksaan Fisik 26
3.5 Diagnosis Kerja 30
3.6 Pemeriksaan Penunjang 30
3.7 Penatalaksanaan 32
3.8 Perkembangan Pasien 34

BAB IV PEMBAHASAN 36

BAB V KESIMPULAN 42

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Dalam dekade terakhir, asfiksia merupakan suatu kondisi berat yang


mengarah pada morbiditas dan mortalitas yang signifikan meskipun semakin
berkembangnya perawatan perinatal. Istilah asfiksia berasal dari Bahasa Yunani
yang artinya berhentinya nadi. Asfiksia perinatal atau asfiksia neonatorum
adalah suatu kondisi yang ditandai dengan adanya gangguan pertukaran gas saat
respirasi, mengakibatkan terjadinya hipoksemia dan hiperkapnia, disertai asidosis
metabolik.1
Perkiraan insiden asfiksia perinatal cukup bervariasi dari suatu penelitian
ke penelitian lain. De Haan dkk. melaporkan insiden asfiksia perinatal adalah 1
dari 1000 kelahiran. Selain itu, asfiksia merupakan penyebab kematian neonatus
tersering ketiga (23%) setelah kelahiran prematur (28%) dan infeksi berat (26%).1
Menurut WHO, sekitar 40% kematian yang terjadi pada anak bawah lima tahun
terjadi pada masa neonatus, dengan kejadian asfiksia neonatorum sebagai salah
satu penyebab utama.2 Data mengungkapkan bahwa sekitar 10% bayi baru lahir
membutuhkan bantuan pernapasan, dari yang ringan hingga resusitasi intensif.3
Meskipun di negara-negara maju morbiditi dan mortalitas asfiksia neonatorum
telah menunjukkan penurunan yang signifikan, akan tetapi data di Indonesia pada
tahun 2010 menunjukkan bahwa angka kejadian asfiksia neonatorum masih
mencapai 25%, dengan angka kematian di rumah sakit rujukan provinsi mencapai
40%.3,4
Asfiksia dapat menimbulkan kerusakan organ karena hipoksia dan iskemia
pada bayi baru lahir. Kerusakan organ berat yang terjadi dapat menyebabkan
terjadinya penyakit neurodegeneratif, retardasi mental, dan epilepsi sedangkan
kerusakan organ ringan dapat menyebabkan penurunan atensi dan hiperaktivitas,
dan dapat juga diasosiasikan dengan skizofrenia.5 Cedera akut pada otak karena
asfiksia pada bayi baru lahir terjadi saat antepartum (50%), intrapartum (40%),
dan postpartum (10%) mengakibatkan menurunnya aliran darah dan oksigen.
Hypoxic ischemic encephalopathy (HIE) adalah dampak yang paling berat dari
asfiksia perinatal. Pada pasien HIE, 15-20% meninggal saat periode neonatus, dan

1
pada 25-30% yang bertahan hidup timbul gangguan saraf permanen seperti
cerebral palsy (CP) dan retardasi mental.6
Asfiksia neonatorum yang termasuk dalam kegawatdaruratan neonatus
harus mendapatkan penanganan dengan cepat. Penanganan pada kondisi asfiksia
neonatorum tidak menunggu hasil penilaian APGAR, bahkan penanganan sudah
mulai disiapkan ketika didapatkan indikasi gawat janin baik saat sebelum
persalinan maupun saat persalinan.7,8 Penanganan yang cepat akan mencegah
pasien jatuh pada kondisi apnu sekunder dan mencegah komplikasi yang terjadi
karena kondisi hipoksia.9 Oleh karena itu, pengenalan terhadap kondisi-kondisi
gawat janin perlu dilakukan agar perisiapan yang adekuat dapat dilakukan.
Berkaitan dengan fakta-fakta yang telah diuraikan, maka dirasakan perlu
pengkajian lebih lanjut berkaitan dengan asfiksia neonatorum. Hal ini berkaitan
dengan penilaian faktor risiko dan keadaan asfiksia dengan cepat sehingga
persiapan penatalaksaan asfiksia neonatorum dapat dilakukan dengan tepat dan
cepat. Dengan persiapan penatalaksaan yang cepat dan tepat maka komplikasi
yang terjadi dapat diminimalisir, yang selanjutnya akan berkaitan dengan
perbaikan kualitas hidup bayi di masa depan.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Asfiksia Neonatorum


Asfiksia berasal dari Bahasa Yunani yang berarti berhenti berdenyut.
Asfiksia neonatorum merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan gangguan
pada pertukaran gas (oksigen dan karbondioksida) yang menyebabkan hipoksemia
dan hiperkapnia, yang diikuti dengan asidosis metabolik dan selanjutnya akan
meningkatkan pemakaian sumber energi dan mengganggu sirkulasi bayi. Secara
klinis tampak bayi tidak dapat bernapas spontan dan teratur segera setelah
lahir.1,10
Beberapa sumber mendefinisikan asfiksia neonatorum dengan berbeda.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mendefinisikan asfiksia neonatorum
sebagai kegagalan napas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa
saat setelah lahir yang ditandai dengan hipoksemia, hiperkarbia dan asidosis.11
Sedangkan menurut World Health Organization (WHO) asfiksia neonatorum
adalah kegagalan bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahir.12
Menurut American Academy of Pediactric asfiksia adalah suatu keadaan
yang disebabkan oleh kurangnya O2 pada udara respirasi, yang ditandai dengan:
asidosis (pH <7,0) pada darah arteri umbilikalis; nilai APGAR menit ke-5 0-3;
manifestasi neurologis (kejang, hipotoni, koma atau hipoksik iskemia
ensefalopati); dan gangguan multiorgan sistem (misalnya: gangguan
kardiovaskular, gastrointestinal, hematologi, pulmoner, atau sistem renal).13
Atas dasar pengalaman klinis dengan menggunakan penilaian skor
APGAR (Appearance, Pulse, Grimace, Activity, Respiration), asfiksia
neonatorum dapat dibagi menjadi vigorous baby, asfiksia ringan-sedang, dan
asfiksia berat. Dimana vigorous baby merupakan bayi dengan skor APGAR 7-10,
yang dalam hal ini bayi dianggap sehat. Asfiksia ringan-sedang merupakan bayi
dengan skor APGAR 4-6, dimana pada pemeriksaan fisik akan terlihat frekuensi
jantung lebih dari 100x/ menit, tonus otot kurang baik atau baik, sianosis, reflex
irritabilitas tidak ada. Sedangkan asfikisa berat adalah bayi dengan skor APGAR
0-3, dimana pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi jantung kurang dari

3
100x/menit, tonus otot buruk, sianosis berat dan kadang-kadang pucat, refleks
irritabilitas tidak ada. Pada keadaan tertentu ditemukan juga keadaan asfiksia berat
dengan henti jantung yaitu keadaan dimana ditemukan bunyi jantung fetus yang
menghilang tidak lebih dari 10 menit sebelum lahir lengkap atau bunyi jantung
bayi menghilang post partum.11

2.2 Epidemiologi Asfiksia Neonatorum


Asfiksia neonatorum masih merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas pada bayi baru lahir baik di negara berkembang maupun di negara
maju. De Haan dkk melaporkan insiden asfiksia neonatorum terjadi pada 1-6 dari
1.000 kelahiran aterm. Terlebih lagi, asfiksia berada pada urutan ketiga sebagai
penyebab utama kematian pada neonatus (23%) setelah kelahiran preterm (28%)
dan infeksi berat (26%).1,10
Angka kejadian asfiksia neonatorum cukup bervariasi dari satu penelitian
dengan penelitian lainnya. Angka kejadian asfiksia di negara maju berkisar antara
1-1,5%. Di negara berkembang angka kejadian bayi asfiksia lebih tinggi
dibandingkan di negara maju karena pelayanan antenatal yang masih kurang
memadai. Sebegian besar bayi yang mengalami asfiksia tersebut tidak
memperoleh penanganan yang adekuat sehingga banyak diantaranya
1,10
meninggal.
Data National Neonatal Perinatal Database (NNPD) yang dikumpulkan
pada tahun 2003 dari 17 Neonatal Intensive Care Unit (NICU) di India, skor
APGAR < 7 pada menit pertama (meliputi asfiksia sedang dan asfiksia berat)
tercatat pada 9% kelahiran. Bayi yang selanjutnya dengan skor APGAR < 7 pada
5 menit pertama tercatat sejumlah 22,5%. Asfiksia neonatorum dilaporkan
sebanyak 20% sebagai penyebab dari seluruh kematian neonatus di India.
Sebanyak 25-60% dari bayi yang selamat mengalami kecacatan neurologis seperti
serebral palsi, kejang, retardasi mental, dan disabilitas dalam pembelajaran.14
Indonesia mempunyai 200 juta penduduk dengan angka kelahiran 2,5%
per tahun sehingga diperkirakan terdapat 5 juta kelahiran per tahun. Jika angka
kejadian asfiksia 3-5% dari seluruh kelahiran, diperkirakan 250 ribu bayi asfiksia

4
lahir per tahun. Pada tahun 2000 didapatkan 6,3% bayi asfiksia dari seluruh
kelahiran di RSCM, 2,1% diantaranya lahir dengan asfiksia berat.10
Manifestasi hypoxic-ischemic encephalopaty ditemukan pada 1,5% bayi
dengan asfiksia. Asfiksia neonatorum merupakan penyebab utama dari trauma
serebral yang dapat dicegah yang terjadi pada masa neonatus. Pemulihan secara
menyeluruh mungkin tidak dapat terjadi dan banyak anak yang kemudian
mengalami gangguan neurologis dan pada beberapa kasus dapat mengalami
disabilitas yang permanen. Bayi yang mengalami episode hipoksia-iskemi yang
signifikan saat lahir memiliki risiko disfungsi dari berbagai organ, dengan
disfungsi otak sebagai pertimbangan utama.14

2.3 Etiologi Asfiksia Neonatorum


Asfiksia neonatorum dapat terjadi jika terdapat gangguan pertukaran gas
atau pengangkutan O2 dari ibu ke janin. Terganggunya pertukaran gas dapat
terjadi pada masa antepartum, intrapartum, atau postpartum atau kombinasi dari
ketiganya. Berdasarkan studi terbaru disebutkan bahwa 50% asfiksia terjadi
karena faktor antepartum, 40% pada intrapartum, dan 10% karena gangguan saat
postpartum. Hampir sebagian besar asfiksia pada bayi baru lahir merupakan
kelanjutan asfiksia janin, karena itu penilaian janin selama kehamilan dan
persalinan memegang peran penting untuk keselamatan bayi atau kelangsungan
hidup yang sempurna tanpa gejala sisa.13,15
Selama masa kehidupan jani begitu pula saat persalinan, terganggunya
aliran darah plasenta merupakan jalur akhir yang umum menjadi penyebab
asfiksia. Faktor yang dapat menyebabkan terganggunya aliran darah dapat terjadi
akibat dari faktor maternal, faktor plasenta/tali pusat, atau faktor neonatal seperti
yang ditunjukkan pada tabel 2.1.16

5
Tabel 2.1. Faktor penyebab terjadinya asfiksia neonatorum
Maternal Plasenta/Tali Pusat Neonatal
Diabetes mellitus Solusio plasenta Abnormalitas jalan
Hipertensi Perdarahan fetomaternal napas
Preeklamsia Kompresi tali pusat Gangguan neurologis
Hipotensi/syok (prolaps, nuchal cord, Penyakit
Ruptur uterus belitan, dll) kardiopulmoner berat
Anemia berat Infeksi/inflamasi Gangguan sirkulasi
Infeksi berat (perdarahan)
Infeksi

2.4 Patofisiologi Asfiksia Neonatorum


2.3.1 Cara bayi memperoleh oksigen sebelum dan setelah lahir
Sebelum lahir, paru janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen
atau jalan untuk mengeluarkan karbon dioksida. Pembuluh arteriol yang
ada di dalam paru janin dalam keadaan konstriksi menyebabkan
tekanan pada arteri pulmonalis lebih tinggi dibandingkan dengan
tekanan di ventrikel kanan jantung. Hampir seluruh darah dari ventrikel
kanan jantung tidak dapat melalui paru karena konstriksi pembuluh
darah janin, sehingga darah dialirkan melalui pembuluh yang
bertekanan lebih rendah yakni duktus arteriosus kemudian masuk ke
aorta.13,17
Setelah lahir, bayi akan segera bergantung pada paru-paru sebagai
sumber utama oksigen. Cairan yang mengisi alveoli akan diserap ke
dalam jaringan paru, dan alveoli akan berisi udara. Pengisian alveoli
oleh udara akan memungkinkan oksigen mengalir ke dalam pembuluh
darah di sekitar alveoli.11,13
Arteri dan vena umbilikalis akan menutup sehingga menurunkan
tahanan pada sirkulasi plasenta dan meningkatkan tekanan darah
sistemik. Akibat tekanan udara dan peningkatan kadar oksigen di

6
alveoli, pembuluh darah paru akan mengalami relaksasi sehingga
tahanan terhadap aliran darah bekurang. Keadaan relaksasi pembuluh
darah dan peningkatan tekanan darah sistemik, menyebabkan tekanan
pada arteri pulmonalis lebih rendah dibandingkan tekanan sistemik
sehingga aliran darah paru meningkat sedangkan aliran pada duktus
arteriosus menurun.17
Oksigen yang diabsorbsi di alveoli oleh pembuluh darah di vena
pulmonalis dan darah yang banyak mengandung oksigen kembali ke
bagian jantung kiri, kemudian dipompakan ke seluruh tubuh bayi baru
lahir. Pada kebanyakan keadaan, udara menyediakan oksigen (21%)
untuk menginisiasi relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat kadar
oksigen meningkat dan pembuluh paru mengalami relaksasi, duktus
arteriosus mulai menyempit. Darah yang sebelumnya dialirkan melalui
duktus arteriosus kemudian akan dialirkan melalui paru-paru, yang
kemudian mengakibatkan terjadinya proses difusi O2 di alveolus
dimana darah yang melalui paru akan mengangkut banyak oksigen
untuk dialirkan ke seluruh jaringan tubuh.17
Pada akhir masa transisi normal, bayi menghirup udara dan
menggunakan paru-parunya untuk mendapatkan oksigen. Tangisan
pertama dan tarikan napas yang dalam akan mendorong cairan dari
jalan napasnya. Oksigen dan pengembangan paru merupakan rangsang
utama relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat oksigen masuk adekuat
dalam pembuluh darah, warna kulit bayi akan berubah dari abu-abu
atau biru menjadi kemerahan.13,17
2.3.2 Kesulitan yang dialami bayi selama masa transisi
Bayi dapat mengalami kesulitan sebelum lahir, selama persalinan
atau setelah lahir. Kesulitan yang terjadi dalam kandungan, baik
sebelum atau selama persalinan, biasanya akan menimbulkan gangguan
pada aliran darah di plasenta atau tali pusat. Tanda klinis awal dapat
berupa deselerasi frekuensi jantung janin.17
Masalah yang dihadapi setelah persalinan lebih banyak berkaitan
dengan jalan nafas dan atau paru-paru, misalnya sulit menyingkirkan

7
cairan atau benda asing seperti mekonium dari alveolus, sehingga akan
menghambat udara masuk ke dalam paru mengakibatkan hipoksia.
Bradikardia akibat hipoksia dan iskemia akan menghambat peningkatan
tekanan darah (hipotensi sistemik).15
Selain itu kekurangan oksigen atau kegagalan peningkatan tekanan
udara di paru-paru akan mengakibatkan arteriol di paru-paru tetap
konstriksi sehingga terjadi penurunan aliran darah ke paru-paru dan
pasokan oksigen ke jaringan. Pada beberapa kasus, arteriol di paru-paru
gagal untuk berelaksasi walaupun paru-paru sudah terisi dengan udara
atau oksigen yang mengakibatkan terjadinya keadaan Persisten
Pulmonary Hypertension Newborn (PPHN).13,15
2.3.3 Reaksi bayi terhadap kesulitan selama masa transisi normal
Bayi baru lahir akan melakukan usaha untuk menghirup udara ke
dalam paru-parunya yang mengakibatkan cairan paru keluar dari alveoli
ke jaringan insterstitial di paru sehingga oksigen dapat dihantarkan ke
arteriol pulmonal dan menyebabkan arteriol berelaksasi. Jika keadaan
ini terganggu maka arteriol pulmonal akan tetap kontriksi, alveoli tetap
terisi cairan dan pembuluh darah arteri sistemik tidak mendapat
oksigen.11
Pada saat pasokan oksigen berkurang, akan terjadi konstriksi
arteriol pada organ seperti usus, ginjal, otot dan kulit, namun demikian
aliran darah ke jantung dan otak tetap stabil atau meningkat untuk
mempertahankan pasokan oksigen. Penyesuaian distribusi aliran darah
akan menolong kelangsungan fungsi organ-organ vital. Walaupun
demikian jika kekurangan oksigen berlangsung terus maka akan terjadi
kegagalan fungsi miokardium dan kegagalan peningkatan curah
jantung, penurunan tekanan darah, yang mengkibatkan aliran darah ke
seluruh organ akan berkurang. Sebagai akibat dari kekurangan perfusi
oksigen dan oksigenasi jaringan, akan menimbulkan kerusakan jaringan
otak yang irreversible, kerusakan organ tubuh lain, atau kematian.13,17
Keadaan bayi yang membahayakan akan memperlihatkan satu atau
lebih tanda-tanda klinis seperti tonus otot buruk karena kekurangan

8
oksigen pada otak, otot dan organ lain; depresi pernapasan karena otak
kekurangan oksigen; bradikardia (penurunan frekuensi jantung) karena
kekurangan oksigen pada otot jantung atau sel otak; tekanan darah
rendah karena kekurangan oksigen pada otot jantung, kehilangan darah
atau kekurangan aliran darah yang kembali ke plasenta sebelum dan
selama proses persalinan, takipnu (pernapasan cepat) karena kegagalan
absorbsi cairan paru-paru dan sianosis karena kekurangan oksigen di
dalam darah.13,17
2.3.4 Mekanisme yang terjadi pada bayi baru lahir yang mengalami gangguan
di dalam kandungan atau pada masa perinatal
Penelitian laboratorium menunjukkan bahwa pernapasan adalah
tanda vital pertama yang berhenti ketika bayi baru lahir kekurangan
oksigen. Setelah periode awal pernapasan yang cepat maka periode
selanjutnya disebut apnu primer (Gambar 1).11 Rangsangan seperti
mengeringkan atau menepuk telapak kaki akan menimbulkan
pernapasan. Walaupun demikian bila kekurangan oksigen terus
berlangsung, bayi akan melakukan beberapa usaha bernapas cepat dan
dangkal yang kemudian terjadi apnu sekunder, rangsangan saja tidak
akan menimbulkan kembali usaha pernapasan bayi baru lahir. Bantuan
pernapasan harus diberikan untuk mengatasi masalah akibat kekurangan
oksigen.11
Frekuensi jantung mulai menurun pada saat bayi mengalami apnu
primer. Tekanan darah akan tetap bertahan sampai dimulainya apnu
sekunder sebagaimana diperlihatkan dalam gambar di bawah ini
(kecuali jika terjadi kehilangan darah pada saat memasuki periode
hipotensi).11 Bayi dapat berada pada fase antara apnu primer serta apnu
sekunder dan seringkali keadaan yang membahayakan ini dimulai
sebelum atau selama persalinan. Akibatnya saat lahir, sulit untuk
menilai berapa lama bayi telah berada dalam keadaan membahayakan.
Pemeriksaan fisik tidak dapat membedakan antara apnu primer dan
sekunder, namun respon pernapasan yang ditunjukkan akan dapat
memperkirakan kapan mulai terjadi keadaan yang membahayakan itu.17

9
Gambar 1. Perubahan frekuensi jantung dan tekanan darah
selama apnu.8
Keadaan apnu dapat dikatakan sebagai apnu primer jika bayi
menunjukkan tanda pernapasan segera setelah dirangsang, dan apnu
sekunder jika bayi tidak menunjukkan adanya perbaikan setelah
dilakukan perangsangan. Sebagai gambaran umum, semakin lama
seorang bayi dalam keadaan apnu sekunder, semakin lama pula dia
bereaksi untuk dapat memulai pernapasan. Walau demikian, segera
setelah ventilasi yang adekuat, hampir sebagian besar bayi baru lahir
akan memperlihatkan gambaran reaksi yang sangat cepat dalam hal
peningkatan frekuensi jantung.7,17
Jika setelah pemberian ventilasi tekanan positif yang adekuat,
ternyata tidak memberikan respons peningkatan frekuensi jantung maka
keadaan yang membahayakan ini seperti gangguan fungsi miokardium
dan tekanan darah, telah jatuh pada keadaan kritis. Pada keadaan seperti
ini, pemberian kompresi dada dan obat-obatan mungkin diperlukan
untuk resusitasi.7,17
Jika setelah pemberian ventilasi tekanan positif yang adekuat,
ternyata tidak memberikan respons peningkatan frekuensi jantung maka
keadaan yang membahayakan ini seperti gangguan fungsi miokardium
dan tekanan darah, telah jatuh pada keadaan kritis. Pada keadaan seperti
ini, pemberian kompresi dada dan obat-obatan mungkin diperlukan
untuk resusitasi.7,17

10
2.5 Manifestasi Klinis Asfiksia Neonatorum
Manifestasi klinis biasanya terjadi 12 jam setelah asfiksia berat yaitu
stupor sampai koma, pernafasan periodik atau usaha bernapas yang ireguler,
oligouria, hipotonus, tidak ada refleks kompleks seperti Moro dan hisap, kejang
tonik-klonik atau multifokal antara 12-24 jam dapat terjadi apnea yang
menggambarkan disfungsi batang otak. Dua puluh empat sampai 72 jam
kemudian dapat terjadi perburukan, berupa koma, apnea lama dan mati batang
otak.10
Asfiksia umumnya merupakan akibat hipoksia janin yang menimbulkan
tanda-tanda klinis pada janin atau bayi seperti berikut:
Denyut jantung janin lebih dari 100x/menit atau kurang dari
100x/menit tidak teratur;
Mekonium dalam air ketuban pada janin letak kepala;
Tonus otot buruk karena kekurangan oksigen pada otak, otot, dan
organ lain;
Depresi pernafasan karena otak kekurangan oksigen;
Bradikardi (penurunan frekuensi jantung) karena kekurangan oksigen
pada otot-otot jantung atau sel-sel otak;
Tekanan darah rendah karena kekurangan oksigen pada otot jantung,
kehilangan darah atau kekurangan aliran darah yang kembali ke
plasenta sebelum dan selama proses persalinan;
Takipnu (pernafasan cepat) karena kegagalan absorbsi cairan paru-paru
atau nafas tidak teratur;

Sianosis (warna kebiruan) karena kekurangan oksigen didalam darah,
dan pucat.15

2.6 Diagnosis Asfiksia Neonatorum


Diagnosis asfiksia neonatorum dapat dilakukan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang sesuai indikasi.
a. Anamnesis
Pada heteroanamnesis didapatkan gangguan/ kesulitan bernapas waktu
lahir dan lahir tidak bernafas/menangis. Kemudian anamnesis diarahkan

11
untuk mencari faktor risiko terhadap terjadinya asfiksia neonatorum, baik
faktor neonatus, faktor ibu, dan faktor plasenta. Anamnesis yang kuat dan
menunjukkan tanda-tanda asfiksia neonatus ini dapat membantu
menegakkan diagnosis.7
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisis, skor APGAR dipakai untuk menentukan derajat
berat ringannya asfiksia. Asfiksia dapat terjadi selama periode intrauterin atau
antepartum, durante partum maupun post partum. Jika bayi mengalami
asfiksia intrauterin berarti maka bayi dapat dikatakan mengalami kejadian
gawat janin atau fetal distress. Penegakan diagnosis asfiksia durante atau
postpartum dapat ditegakkan dengan menentukan nilai APGAR score pada
menit 1, 5, 10, dan 15.7,18
Penentuan skor APGAR dapat dilakukan dengan cara: bayi baru lahir
diletakkan di bawah radiant heater; pemeriksaan dilakukan pada menit
pertama dan kelima setelah lahir; bila penilaian menit ke-5 <7, penilaian
dilanjutkan setiap 5 menit sampai menit ke-20, penilaian APGAR meliputi 5
kriteria (Tabel 1).7,18
Tabel 2.2 Skor APGAR
Klinis 0 1 2
Detak jantung Tidak ada < 100 x/menit >100x/menit
Pernafasan Tidak ada Tak teratur Tangis kuat
Refleks saat jalan nafas Tidak ada Menyeringai Batuk/bersin
dibersihkan
Tonus otot Lunglai Fleksi ekstrimitas Fleksi kuat
(lemah) gerak aktif
Warna kulit Biru pucat Tubuh merah Merah seluruh
ekstrimitas biru tubuh
Nilai 0-3 : Asfiksia berat
Nilai 4-6 : Asfiksia sedang
Nilai 7-10 : Normal
Walaupun nilai APGAR tidak penting dalam pengambilan keputusan
pada awal resusitasi, akan tetapi nilai APGAR dapat menolong dalam upaya

12
penilaian keadaan bayi dan penilaian efektivitas upaya resusitasi.10 Maka dari
itu nilai APGAR diperhatikan pada menit ke-1 dan menit ke-5. bila nilai
APGAR 5 menit masih kurang dari 7, penilaian dilanjutkan tiap 5 menit
sampai skor mencapai 7. Nilai APGAR berguna untuk menilai keberhasilan
resusitasi bayi baru lahir dan menentukan prognosis, bukan untuk memulai
resusitasi karena resusitasi dimulai 30 detik setelah lahir bila bayi tidak
menangis.7,12
c. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan penunjuang pada bayi dengan asfiksia mungkin akan
didapatkan hasil sebagai berikut: hasil analisis gas darah tali pusat yang
menunjukkan hasil asidosis pada darah tali pusat, PaO2 < 50 mm H2O ,
PaCO2 > 55 mm H2O dan pH < 7,30. Pada bayi yang sudah tidak
membutuhkan bantuan resusitasi aktif, pemeriksaan penunjang diarahkan
pada kecurigaan atas komplikasi. Pemeriksaan penunjuang yang dapat
dilakukan meliputi: darah perifer lengkap; analisa gas darah sesudah lahir;
gula darah sewaktu, elektrolit darah (kalsium, Natrium, Kalium); BUN/SC;
laktat; pemeriksaan thorax foto dan BOF tiga posisi; pemeriksaan USG
kepala; pemeriksaan EEG, dan CT scan kepala.7,12

2.7 Penatalaksanaan Asfiksia Neonatorum


Prinsip tata laksana bayi baru lahir yang mengalami asfiksia meliputi:
segera dilakukan sesudah bayi lahir; intervensi harus cepat, tepat, jangan
sampai terlambat (jangan menunggu hasil penilaian APGAR menit 1); dan
pada dasarnya pada setiap bayi baru lahir harus dilakukan penilaian terhadap
lima hal yakni ada tidaknya mekonium dalam air ketuban, bayi menangis atau
bernapas, tonus otot bayi, warna kulit bayi, serta kecukupan bulan lahir bayi
(prematur/aterm/posterm). Pada bayi dengan penilaian yang stabil terhadap
lima hal tersebut maka bayi dapat langsung dimasukkan dalam prosedur
perawatan rutin dan tidak perlu dipisahkan dari ibunya.7,8,12
Apabila terdapat salah satu aspek yang tidak stabil dari lima penilian
tersebut maka bayi memerlukan satu atau beberapa tindakan resusitasi berikut
ini secara berurutan yang meliputi langkah awal dalam stabilisasi, ventilisasi

13
tekanan positif, kompresi dada, pemberian efinefrin dan atau pengembang
volume, dan penilaian.7,8,12
2.7.1 Langkah awal dalam stabilisasi
2.7.1.1 Memberikan kehangatan
Bayi diletakkan di bawah alat pemancar panas (radiant warmer)
dalam keadaan telanjang agar panas dapat mencapai tubuh bayi
dan memudahkan eksplorasi seluruh tubuh.7 Bayi dengan BBLR
memiliki kecenderungan tinggi menjadi hipotermi dan harus
mendapat perlakuan khusus. Beberapa kepustakaan
merekomendasikan pemberian teknik penghangatan tambahan
seperti penggunaan plastik pembungkus dan meletakkan bayi
dibawah pemancar panas pada bayi kurang bulan dan BBLR.
Alat lain yang bisa digunakan adalah alas penghangat.7,8,12
2.7.1.2 Memposisikan bayi dengan sedikit menengadahkan kepalanya
Bayi diletakkan telentang dengan leher sedikit tengadah dalam
posisi menghidu agar posisi faring, laring dan trakea dalam satu
garis lurus yang akan mempermudah masuknya udara. Posisi ini
adalah posisi terbaik untuk melakukan ventilasi dengan balon
dan sungkup dan/atau untuk pemasangan pipa endotrakeal.7,8,12
2.7.1.3 Membersihkan jalan napas sesuai keperluan
Aspirasi mekoneum saat proses persalinan dapat menyebabkan
pneumonia aspirasi. Salah satu pendekatan obstetrik yang
digunakan untuk mencegah aspirasi adalah dengan melakukan
penghisapan mekoneum sebelum lahirnya bahu (intrapartum
suctioning), namun bukti penelitian dari beberapa pusat
penelitian menunjukkan bahwa cara ini tidak menunjukkan efek
yang bermakna dalam mencegah aspirasi mekonium.7,8,12
Cara yang tepat untuk membersihkan jalan napas adalah
bergantung pada keaktifan bayi dan ada/tidaknya mekonium.
Bila terdapat mekoneum dalam cairan amnion dan bayi tidak
bugar (bayi mengalami depresi pernapasan, tonus otot kurang
dan frekuensi jantung kurang dari 100x/menit) segera dilakukan

14
penghisapan trakea sebelum timbul pernapasan untuk mencegah
sindrom aspirasi mekonium. Penghisapan trakea meliputi
langkah-langkah pemasangan laringoskop dan selang
endotrakeal ke dalam trakea, kemudian dengan kateter
penghisap dilakukan pembersihan daerah mulut, faring dan
trakea sampai glotis. Bila terdapat mekoneum dalam cairan
amnion namun bayi tampak bugar, pembersihan sekret dari jalan
napas dilakukan seperti pada bayi tanpa mekonium.7,8,12
2.7.1.4 Mengeringkan bayi, merangsang pernapasan dan meletakkan
pada posisi yang benar
Meletakkan pada posisi yang benar, menghisap sekret, dan
mengeringkan akan memberi rangsang yang cukup pada bayi
untuk memulai pernapasan. Bila setelah posisi yang benar,
penghisapan sekret dan pengeringan, bayi belum bernapas
adekuat, maka perangsangan taktil dapat dilakukan dengan
menepuk atau menyentil telapak kaki, atau dengan menggosok
punggung, tubuh atau ekstremitas bayi.7,8,12
Bayi yang berada dalam apnu primer akan bereaksi pada hampir
semua rangsangan, sementara bayi yang berada dalam apnu
sekunder, rangsangan apapun tidak akan menimbulkan reaksi
pernapasan. Karenanya cukup satu atau dua tepukan pada
telapak kaki atau gosokan pada punggung. Jangan membuang
waktu yang berharga dengan terus menerus memberikan
rangsangan taktil.7,8,12
Keputusan untuk melanjutkan dari satu kategori ke kategori berikutnya
ditentukan dengan penilaian tiga tanda vital secara simultan (pernapasan,
frekuensi jantung dan warna kulit). Waktu untuk setiap langkah adalah sekitar
30 detik, lalu nilai kembali, dan putuskan untuk melanjutkan ke langkah
berikutnya (Gambar 2).7,8,12

15
2.6.2 Penilaian
Penilaian dilakukan setelah 30 detik untuk menentukan perlu
tidaknya resusitasi lanjutan. Tanda vital yang perlu dinilai adalah
sebagai berikut:
2.7.2.1 Pernapasan
Resusitasi berhasil bila terlihat gerakan dada yang adekuat,
frekuensi dan dalamnya pernapasan bertambah setelah rangsang
taktil. Pernapasan yang megap-megap adalah pernapasan yang
tidak efektif dan memerlukan intervensi lanjutan.7,8,12
2.7.2.2 Frekuensi jantung
Frekuensi jantung harus diatas 100x/menit. Penghitungan bunyi
jantung dilakukan dengan stetoskop selama 6 detik kemudian
dikalikan 10 sehingga akan dapat diketahui frekuensi jantung
permenit.7,8,12
2.7.2.3 Warna kulit
Bayi seharusnya tampak kemerahan pada bibir dan seluruh
tubuh. Setelah frekuensi jantung normal dan ventilasi baik, tidak
boleh ada sianosis sentral yang menandakan hipoksemia. Warna
kulit bayi yang berubah dari biru menjadi kemerahan adalah
petanda yang paling cepat akan adanya pernapasan dan sirkulasi
yang adekuat. Sianosis akral tanpa sianosis sentral belum tentu
menandakan kadar oksigen rendah sehingga tidak perlu
diberikan terapi oksigen. Hanya sianosis sentral yang
memerlukan intervensi.7,8,12

16
Gambar 2. Diagram alur resusitasi neonatus.7
2.7.3 Terapi medikamentosa
2.7.3.1 Epinefrin
Indikasi penggunaan epinefrin pada asfiksia neonatorum
meliputi: denyut jantung bayi < 60 x/menit setelah paling tidak
30 detik dilakukan ventilasi adekuat dan pemijatan dada; dan
keadaan asistolik. Dosis epinefrin yang diberikan yakni 0,1-0,3
ml/kg BB dalam larutan 1 : 10.000 (0,01 mg-0,03 mg/kg BB).
Pemberian epinefrin dapat dilakukan secara intravena atau
endotrakeal dan dapat diulang setiap 3-5 menit bila perlu.7,8,12

17
2.7.3.2 Volume ekspander
Volume ekspander dapat diberikan dengan indikasi: bayi baru
lahir yang dilakukan resusitasi mengalami hipovolemia dan
tidak ada respon dengan resusitasi; dan hipovolemia
kemungkinan akibat adanya perdarahan atau syok. Klinis
ditandai adanya pucat, perfusi buruk, nadi kecil/lemah, dan pada
resusitasi tidak memberikan respon yang adekuat.7,8,12
Jenis cairan yang diberikan meliputi: larutan kristaloid yang
isotonis (NaCl 0,9%, Ringer Laktat); dan transfusi darah
golongan O negatif jika diduga kehilangan darah banyak. Dosis
pembeiran cairan awal mencapai 10 ml/kg BB IV pelan selama
5-10 menit. Dapat diulang sampai menunjukkan respon
klinis.7,8,12
2.7.3.3 Bikarbonat
Pemberian bikarbonat dapat dilakukan pada keadaan asidosis
metabolik, bayi-bayi baru lahir yang mendapatkan resusitasi.
Diberikan bila ventilasi dan sirkulasi sudah baik. Penggunaan
bikarbonat pada keadaan asidosis metabolik dan hiperkalemia
harus disertai dengan pemeriksaan analisa gas darah dan
kimiawi.7,8,12
Bikarbonat dapat diberikan dengan dosis 1-2 mEq/kg BB atau 2
ml/Kg BB (4,2%) atau 1 ml/kg bb (8,4%). Pemberian bikarbonat
dapat dilakukan dengan cara mengencerkan bikarbonat dengan
aquabides atau dekstrose 5% sama banyak diberikan secara
intravena dengan kecepatan minimal 2 menit. Efek samping
bikarbonat dapat menyebabkan keadaan hiperosmolaritas dan
kandungan CO2 dari bikarbonat diduga dapat merusak fungsi
miokardium dan otak.7,8,12

18
2.7.3.4 Nalokson
Nalokson hidroklorida adalah antagonis narkotik yang tidak
menyebabkan depresi pernafasan. Sebelum diberikan nalakson,
ventilasi harus adekuat dan stabil. Nalokson diberikan pada
keadaan depresi pernafasan pada bayi baru lahir yang ibunya
menggunakan narkotik empat jam sebelum persalinan. Nalokson
tidak diberikan pada bayi baru lahir yang ibunya baru dicurigai
sebagai pemakai obat narkotika sebab akan menyebabkan tanda
withdrawal tiba-tiba pada sebagian bayi. Nalokson diberikan
dengan dosis 0,1 mg/kg BB (0,4 mg/ml atau 1 mg/ml) secara
intravena, endotrakeal atau bila perfusi baik dapat diberikan
secara intramuscular atau subkutan.7,8,12
2.7.3.5 Antibiotika
Antibiotika dapat diberikan pada bayi asfiksia dengan asfiksia
berat, antibiotika yang diberikan yakni golongan ampisilin atau
aminoglikosid.7,8,12

2.8 Komplikasi Asfiksia Neonatorum


Komplikasi asfiksia neonatorum adalah terjadinya gangguan fungsi multi
organ pada asfiksia berat. Redistribusi sirkulasi yang ditemukan pada pasien
hipoksia dan iskemia akut telah memberikan gambaran yang jelas mengapa terjadi
disfungsi berbagai organ tubuh pada bayi asfiksia. Gangguan fungsi berbagai
organ pada bayi asfiksia tergantung pada lamanya asfiksia terjadi dan
kecepatanpenanganan. Suatu studi mengenai dampak kerusakan organ pada bayi
asfiksia menunjukkan 34% bayi tidak didapatkan kerusakan organ, 23% bayi
didapatkan kerusakan pada satu organ, 34% bayi pada dua organ, dan 9% bayi
pada tiga organ. Beberapa peneliti telah melaporkan frekuensi disfungsi berbagai
organ vital tersebut yaitu otak, kardiovaskular, paru, ginjal, saluran cerna dan
darah. Adapun organ vital yang sering terkena adalah ginjal (50%), otak (28%),
kardiovaskular (25%) dan paru (23%).19

19
2.8.1 Dampak sistem susunan saraf pusat
Ensefalopati hipoksik-iskemik adalah terminologi yang digunakan untuk
menggambarkan kelainan neuropatologis dan klinis yang diperkirakan terjadi
pada bayi baru lahir akibat asfiksia intrapartum atau masa neonatal. Ensefalopati
hipoksik-iskemik merupakan kelainan neuropatologis yang paling sering
ditemukan pada bayi yang mengalami asfiksia, di samping perdarahan
periventrikular-intraventrikular yang terutama terjadi pada bayi kurang bulan.
Kelainan neurologis yang dapat ditimbulkan akibat ensefalopati hipoksik- iskemik
adalah gangguan intelegensia, kejang, gangguan perkembangan psikomotor dan
kelainan motorik yang termasuk di dalam palsi serebral.19
2.8.2 Dampak sistem kardiovaskular
Bayi dengan asfiksia perinatal dapat mengalami iskemia miokardial
transien. Secara klinis dapat ditemukan gejala gagal jantung seperti, takipnu,
takikardia, pembesaran hati dan irama derap. Bising sistolik dapat terdengar di
garis sternalis kiri bawah (regurgitasi trikuspid) dan dapat terdengar di apeks
(regurgitasi mitral). Foto toraks memperlihatkan kardiomiopati dan kongesti vena
pulmonalis. EKG memperlihatkan depresi segmen S-T di mid precordium dan
gelombang T yang negatif abnormal di left precordium. Serum kreatin kinase
plasma MB isoenzime meningkat >5-10% mungkin menunjukkan adanya
kerusakan miokard. Ekokardiografi memperlihatkan struktur jantung yang normal
tetapi kontraksi ventrikel kiri berkurang terutama di dinding posterior. Selain itu
ditemukan hipertensi pulmonal persisten, insufisiensi trikuspid, nekrosis
miokardium, dan renjatan.19
2.8.3 Dampak terhadap ginjal
Hipoksia ginjal dapat menimbulkan gangguan perfusi dan dilusi ginjal, serta
kelainan filtrasi glomerulus. Hal ini timbul karena proses redistribusi aliran darah
akan menimbulkan beberapa kelainan ginjal antara lain nekrosis tubulus dan
perdarahan medula. Gejala utama oliguria disertai peningkatan blood urea
nitrogen (BUN) dan kreatinin. Gagal ginjal diduga terjadi karena ginjal sangat
sensitif terhadap hipoksia. Hipoksia yang terjadi dalam 24 jam pertama kehidupan
akan mengakibatkan iskemia ginjal yang awalnya bersifat sementara namun bila
hipoksia berlanjut akan menyebabkan kerusakan korteks dan medula yang bersifat

20
menetap. Bayi dengan asfiksia mempunyai risiko untuk terjadinya nekrosis
tubular akut dan SIADH. Oleh karena itu perlu dilakukan pemantauan jumlah
urin, urinalisis, berat jenis urin, osmolaritas dan elektrolit urin dan serum.
Pengukuran kadar kreatinin urin dan serum bersamaan dengan kadar natrium urin
dan serum diperlukan untuk menghitung fraksi ekskresi natrium dan indeks ginjal
untuk memastikan adanya gangguan ginjal. Pengukuran kadar b2-mikroglobulin
di urin juga berguna untuk mengetahui disfungsi tubulus proksimal ginjal. Besar
ginjal perlu dipantau dengan USG.9,19
2.8.4 Dampak terhadap hepar
Hati dapat mengalami kerusakan yang berat (shock liver), sehingga
fungsinya dapat terganggu. Kadar transaminase serum (SGOT, SGPT), faktor
pembekuan (PT, PTT, dan fibrinogen), albumin dan bilirubin harus dipantau.
Kadar amoniak serum harus diukur. Diberikan faktor-faktor pembekuan jika
diperlukan. Kadar gula darah dipertahankan pada 75- 100 mg/dl. Obat-obat yang
didetoksifikasi di hati juga harus dimonitor kadarnya secara ketat. Kegagalan
fungsi hati merupakan pertanda prognosis yang buruk.19
2.8.5 Dampak terhadap sistem vascular
Seringkali ditemukan KID akibat rusaknya pembuluh darah, kegagalan
hati membuat faktor pembekuan dan sumsum tulang gagal memproduksi
trombosit. Penanganannya meliputi pemantauan Protrombin Time (PT)/Partial
Tromboplastin Time (PTT), fibrinogen dan trombosit serta pemberian faktor-
faktor pembekuan jika diperlukan. Jazayeri dkk meneliti kadar eritropoetin pada
203 orang neonatus cukup bulan, 70 di antaranya dengan mekonium pada cairan
amnion. Hasil penelitian didapatkan kadar eritropoetin neonates cukup bulan
dengan mekonium pada cairan amnion lebih tinggi dibandingkan kontrol,
sehingga keluarnya mekonium dapat dihubungkan dengan kejadian hipoksia fetus
kronik.19
2.8.6 Dampak terhadap sistem gastrointestinal
Kelainan saluran cerna ini terjadi karena radikal bebas oksigen yang
terbentuk pada penderita hipoksia beserta faktor lain seperti gangguan koagulasi
dan hipotensi, menimbulkan kerusakan epitel dinding usus. Gangguan fungsi yang
terjadi dapat berupa kelainan ringan yang bersifat sementara seperti muntah

21
berulang, gangguan intoleransi makanan atau adanya darah dalam residu lambung
sampai kelainan perforasi saluran cerna, enterokolitis nekrotikans kolestasis dan
nekrosis hepar.9
2.8.7 Dampak terhadap sistem audiovisual
Gangguan pada fungsi penglihatan dan pendengaran dapat terjadi secara
langsung karena proses hipoksia dan iskemia, ataupun tidak langsung akibat
hipoksia iskernia susunan saraf pusat atau jaras-jaras yang terkait yang
menimbulkan kerusakan pada pusat pendengaran dan penglihatan. Johns ,dkk.
pada penelitian terhadap 6 bayi prematur yang menderita kelainan jantung bawaan
sianotik, 3 bayi di antaranya menderita retinopati. Retinopati yang ditemukan
ternyata tidak hanya karena peninggian tekanan oksigen arterial tetapi pada
beberapa penderita disebabkan oleh hipoksemia yang menetap. Selain retinopati,
kelainan perdarahan retina dilaporkan pula pada bayi penderita perinatal hipoksia.
Sebuah penelitian yang memeriksa secara berkala (antara usia 1 sampai 36 bulan)
ketajaman dan lapangan penglihatan 66 bayi penderita asfiksia, menemukan
bahwa nilai ketajaman serta luas lapangan penglihatan bayi prematur lebih rendah
dan lebih sempit bila dibandingkan dengan bayi cukup bulan normal. Gangguan
ketajaman dan lapangan penglihatan tersebut semakin nyata apabila bayi juga
menderita kelainan susunan saraf pusat seperti perdarahan intraventrikuler atau
leukomalasi periventrikuler. Penelitian jangka panjang dengan alat brainstem
auditory evoked responses yang dilakukan pada bayi dengan riwayat asfiksia,
menemukan gangguan fungsi pendengaran pada sejumlah bayi. Selanjutnya dari
penelitian tersebut dilaporkan bahwa kelainan pendengaran ditemukan pada
17,1% bayi pasca asfiksia yang disertai gangguan perkembangan otak, dan 6,3%
pada penderita tanpa gangguan perkembangan otak.9
2.8.8 Dampak terhadap paru
Dampak asfiksia terhadap paru adalah hipertensi pulmonal persisten,
mekanisme terjadinya adalah vasokonstriksi paru akibat hipoksia dan asidosis,
pembentukan otot arteriol paru pada masa pranatal, pelepasan zat aktif seperti
leukotrin dan pembentukan mikrotrombus; perdarahan paru, edem paru karena
gagal jantung, acute respiratory distress syndrome, HMD sekunder akibat

22
gangguan produksi surfaktan karena asfiksia, dan aspirasi mekonium. Pengobatan
berupa oksigenasi dan ventilasi yang adekuat.19

2.9 Prognosis Asfiksia Neonatorum


Tergantung pada apakah komplikasi metabolik, kardiopulmonal (hipoksia,
hipoglikemia, syok) dapat diobati, umur kehamilan bayi (paling jelek preterm),
tingkat keparahan hipoksis iskemik encepalopati, nilai APGAR rendah pada menit
ke-20, tidak ada respirasi spontan pada usia 20 menit, menetapnya tanda-tanda
kelainan neurologis pada usia 2 minggu dapat menyebabkan kematian atau defisit
kognitif dan motorik yang berat.19,20

23
BAB III
TINJAUAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama Bayi : Bayi HNAH
No CM : 16042142
Jenis kelamin : Laki-laki
Tanggal lahir : 30 September 2016
Alamat : Woa, RT/RW 001/001 Koak Satar Mese Manggarai, NTT.
Tanggal MRS : 30 September 2016, Pukul 08.00 WITA

3.2 Anamnesis (Heteroanamnesis Ibu dan Ayah Pasien)


3.2.1 Keluhan utama
Bayi baru lahir tidak segera menangis.
3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien merupakan bayi perempuan lahir di VK Kebinanan RSUP Sanglah pada tanggal 30
September 2016 pukul 08.00 WITA. Pasien lahir secara spontan tanpa menggunakan alat
bantu. Bayi lahir pada usia kehamilan 38 minggu dan 5 hari dengan berat badan lahir
3250 gram, panjang badan 50 cm, lingkar kepala 32 cm dan lingkar dada 33 cm. Pada saat
dilahirkan bayi dikatakan tidak langsung menangis dan sempat kelihatan biru, kemudian
diberikan oksigen.
Saat ini pasien dirawat intensif di Ruang Cempaka Bayi untuk observasi lebih lanjut
terutama komplikasi yang mungkin terjadi seperti kejang, penurunan kesadaran, dan
perubahan kondisi pasien.
3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak Ada
3.2.4 Riwayat Pengobatan
Tidak Ada
3.2.5 Riwayat Sosial
Pasien merupakan anak pertama dari kehamilan pertama.

24
3.2.6 Riwayat Penyerta
a. Riwayat Prenatal
- Antenatal Care (ANC) dikatakan teratur dan dilakukan setiap bulan di bidan sebanyak
3 kali dan dokter spesialis kandungan setiap bulan yaitu sebanyak 6 kali.
- Dikatakan pernah dilakukan USG 5 kali di dokter spesialis kandungan, dengan hasil
tidak ada perdarahan dan tidak tampak adanya kelainan.
- HPHT (Hari Pertama Haid Terakhir) tanggal 2 Januari 2016 sehingga dapat dihitung
TP (Taksiran Partus) pada tanggal 9 Oktober 2016.
- Riwayat penggunaan obat sedasi, analgesi ataupun anastesi disangkal oleh ibu.
- Riwayat pendarahan tidak ada.
- Dengan faktor resiko infeksi mayor ketuban hijau dan faktor resiko minor infeksi; KPD
> 12 jam, ibu demam lebih dari 370C dan keputihan
b. Riwayat Penyakit Ibu
Ibu memiliki tidak memiliki riwayat hipertensi yang muncul pada saat kehamilan.
Riwayat demam saat kehamilan, anemia, penyakit diabetes mellitus, hepatitis B,
tuberkulosis (TB), asma, dan penyakit jantung disangkal oleh ibu penderita. Riwayat
kematian neonatus sebelumnya juga sangkal oleh ibu pasien. Riwayat alergi obat
disangkal oleh. ibu pasien
c. Riwayat Intranatal
- Pada tanggal 29 September 2016 pk 17.00 WITA ibu mengeluhkan adanya keluar air
secara tiba-tiba dari vagina, tidak dapat ditahan, berbau dan berwarna kehijauan dan
segera dibawa ke RSUP Sanglah. Pukul 18.00 WITA ibu sampai di RSUP Sanglah.
- Ibu didiagnosis dengan G1P0000, dengan umur kehamilan 38 minggu dan 5 hari + KPD
- Pasien lahir tanggal 30 September 2016 pukul 08.00 WITA.
- Tidak ada riwayat perdarahan, gawat janin, dan demam.
- Dilakukan iduksi persalinan dengan induksi oksitosin karena ibu didiagnosis KPD
lebih dari 12 jam.

25
Faktor Resiko Infeksi
Mayor Minor
Ibu demam suhu >380c (-) Ketuban Pecah Dini >12 jam (+)
Ketuban Pecah dini >24 jam (-) Asfiksia (1 <5 : 57 ) (+)
Korioamnionitis (+) BBLSR (-)
Fetal distress DJJ > 160 x/ menit (+) Umur kehamilan <37 minggu (-)
Ketuban hijau (+) Gemeli (-)
Keputihan (+)
Tersangka ISK (-)
Ibu demam >37,5 0c (+)
Skor Mayor :3 Skor minor :4

3.3 Data Bayi


Tanggal Lahir : 30 September 2016
Jenis Kelamin : Laki-laki
Berat Badan Lahir : 3250 gram
Panjang Badan Lahir : 50 cm
Lingkar Kepala : 32 cm
Lingkar Dada : 33 cm
Anus : ada
Kelainan : tidak ada, caput ada

3.4 Pemeriksaan Fisik


Status Present:
Aktifitas tonus refleks ATR : lemah
Tangis : lemah
Denyut jantung : 150 kali/menit
Nadi : 150 x/ menit
Respirasi : 70 x/ menit
Tax : 36,80c
SpO2 : 90% (dengan single nasal prong)

26
Skor Nyeri (NPAT) :0
Status General:
Kepala : normocephali, ubun-ubun besar terbuka datar, ubun- ubun kecil terbuka
datar, caput succadeneum (-), cephal hematome (-)
Rambut : hitam, halus
Mata : an -/-, ikt -/- RP +/+ isokor, edema -/-
THT : nafas cuping hidung (+), bibir sianosis (+)
Leher : JVP (-), pembesaran kelenjar (-), kaku kuduk (-)
Thoraks
Cor : Inspeksi : precordial bulging (-), retraksi subcostal (+)
Palpasi : teraba ictus cordis ICS IV MCL sinistra
Auskultasi : S1S2 normal reguler, tidak ada murmur
Pulmo:Inspeksi : bentuk normal, simetris saat statis dan dinamis,retraksi (+)
Palpasi : gerakan dada simetris
Auskultasi : bronkovesikuler +/+, rhonki +/+, wheezing-/-
Payudara : Areola +/+ (4mm/4mm)
Abdomen :
Inspeksi : distensi (-), tidak tampak vena, tali pusar segar
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : nyeri tekan (-), hepar just palpable, lien tak teraba
Genitalia : ruggae (+), testis down
Anus : ada
Ekstremitas : akral hangat (+) pada keempat ekstremitas, edema (-), sianosis (+), waktu
pengisian kapiler > 3 detik, plantar creases 2/3 anterior
Kulit : pengelupasan kulit (-), ruam superfisial (-), tampak sianosis.
Lanugo : (+) menipis
Kelainan bawaan: tidak ada

27
Penilaian usia bayi:

Finstrom Score (Estimation of Gestational Age)

Nilai Total
Kriteria Klinis
1 2 3 4 Skor
Tampak 3
Pembuluh Vena venula Tidak jelas / tidak
Tampak vena hanya
darah pada tampak jelas tampak pembuluh
& cabangnya pembuluh
kulit abdomen sekali darah
darah besar
Plantar crease Tidak ada 1/3 anterior 2/3 anterior Seluruh telapak 3

Tulang rawan Antitragus Antitragus Antihelix 4


Helix teraba penuh
telinga tidak teraba teraba penuh
Jaringan 3
< 5 mm 5 10 mm > 10 mm -
mamae
Papila & Papila & Papila & 3
Papila &
areola tak areola tidak areola di atas -
areola mama
tampak di atas kulit kulit
Kuku jari Belum sampai Sampai ujung Melampaui 3
-
tangan ujung jari jari ujung jari
Halus, sulit Kokoh, jelas
Rambut kepala - -
dipisahkan setiap helai
19
Total Skor

Masa Gestasi
Nilai Kumulatif
(minggu + hari)
7 27 + 2
8 28 + 2
9 29 + 1
10 30 + 1
11 31
12 32
13 32 + 6
14 33 + 6
15 34 + 5
16 35 + 5
17 36 + 4
18 37 + 4
19 38 + 3
20 39 + 3
21 40 + 2
22 41 + 2
23 42 + 2

28
Setelah didapatkan skor total, kemudian cari masa gestasinya sesuai dengan tabel
nilai kematangan di bawah ini. Didapatkan usia penderita adalah 38 minggu 3 hari.

Grafik Battaglia F, Lubchenco


Selanjutnya dengan menggunakan grafik dari Battaglia F, Lubchenco diatas,
dicari titik perpotongan antara umur kehamilan yang kita dapatkan dengan berat badan
lahir bayi, sehingga didapat interpretasi bahwa bayi tersebut adalah Sesuai Masa
Kehamilan (SMK).

29
APGAR Score
1 5 10
Appearance 0 0 2
Pulse 1 1 2
Grimace 1 1 1
Activity 0 0 1
Respiration 0 1 1
2 3 7
Berdasarkan Skor APGAR tersebut diketahui bayi mengalami Asfiksia Berat.

3.5 Diagnosis Kerja


BCB (38-39 minggu) (3250 gram) + Sesuai Masa Kehamilan + Asfiksia Berat +
Respiratory Distress et causa Suspect Pneumonia Neonatal dd Sepsis Neonatal Awitan
Dini.

3.6 Pemeriksaan Penunjang


a. Darah lengkap (30/09/2016)
Parameter Hasil Unit Remarks Normal
WBC 41,60 103/L Tinggi 9,10- 34,00
NE% 60.46 % Normal 65,90-69,10
LY% 28.72 % Normal 27,40-30,80
MO% 3.90 % Normal 0,0-10,30
EO% 0,82 % Normal 0,0-5,80
BA% 1.10 % Normal 0,0-1,10
#Ne 25,15 103/L Normal 6,00-23,50
#Lym 11,94 103/L Normal 2,50- 10,50
#Mo 1,62 103/L Normal 0,00-3,50
#Eo 0,34 103/L Normal 0,00- 2,00
#Ba 0,45 103/L Normal 0,00- 0,40
RBC 4,50 106/L Normal 4,00- 6,60
HGB 15,61 g/dl Normal 14,50-22,50

30
HCT 48,01 % Normal 45,00 67,00
MCV 106,80 fl Normal 92,00- 121,00
MCH 34,73 pg Normal 31,00- 37,00
MCHC 32,51 g/dl Normal 29,00-36,00
RDW 18,33 % Normal 14,90-18,70
PLT 173,70 103/L Normal 140,00-440,00
IT Ratio 0,37 Tinggi <0,20

b. Kimia Klinik (30/09/2016)


CRP : 0,40 mg/dL (nilai rujukan: 0,0- 5,00)
Natrium : 137 mmol/L (nilai rujukan 136-145)
Kalsium : 9,31 mg/dL
Kalium : 5,00 mmol/L (nilai rujukan 3,50-5,10)
Klorida : 96,90 mmol/L (nilai rujukan 94,00-110,00)

c. Foto Thorax AP (30/09/2016)

31
Cor : besar dan konfigurasi normal
Pulmo : tampak konsolidasi di perihiler kanan
Sinus pleura kanan kiri tajam
Diaphragma kanan kiri normal
Tulang-tulang tak tampak kelainan
Kesan : Gambaran Pneumonia

3.7 Penatalaksanaan
a. Ketika baru lahir
Neonatus lahir

Evaluasi : neonatus cukup bulan (+), segera bernafas/menangis(-), tonus otot (-)

Hangatkan bayi dibawah radian warmer

Bersihkan jalan nafas dari mulut ke hidung dengan suction

Posisikan bayi, rangsang taktil, dan keringkan. Evaluasi : HR 80x/ menit, RR apneu, kulit
sianosis

Berikan O2 flow tekanan positif 10 lpm. HR 128x/menit, RR 40x/menit grunting, kulit


kemerahan.

Pemberian single nasal prong melalau neopuff. PEEP 7 ; Flow 8 ; PIP 18. Evaluasi : HR
144x/menit, RR 72x/menit, SpO2 95%

Perawatan observasi/ suportif

32
Downe Score 0 1 2
Cyanosis None Cyanotic in air Cyanotic in 40% O2
Retractions None Mild Severe
Grunting None Audible with Audible without
stethoscope stethoscope
Air entry-make baby cry Clear Delayed or Barely audible
and listen to breath decreased
sounds while baby cries
Respiratory rate 60 60 to 80 80 or apneic
episodes

Downe Score :
Sianosis :1
Retraksi :1
Grunting :1
Air entry :1
Respiration :1
Total : 5 (Moderate Respiratory Distress)

b. Perawatan observasi/ suportif


1. Jaga kehangatan
2. Rawat Tali Pusat
3. Puasa 24 jam
4. CPAP support FiO2 40% : PEEP 7 : flow 8
5. Kebutuhan cairan 60ml/kg/hari ~ 195 mL/hari. IVFD D10% 8ml/jam
6. Antibiotika lini I Ampicilin 50mg/kg/kali ~ 165mg IV tiap 12 jam dan Amikasin
7,5mg/kg/kali IV ~ 22,5 mg tiap 12 jam
7. Observasi 6 jam
8. Monitor : tanda vital, cairan masuk dan keluar, berat badan, dan tanda-tanda distress
napas
c. Planning Diagnosis
1. Kultur Darah

33
3.8 Perkembangan Pasien

Tgl Subjektif Objektif Assessment Planning

1/10/ Instabilita Status present: BCB (37-38 1. Rawat Inkubator


2016 s suhu (-), Nadi : 150x / minggu) (3250 2. CPAP support FiO2
letargi (-) menit, reguler, isi
gram) + SMK + 21% : PEEP 7 : flow 8
cukup
RR : 40x/menit Asfiksia Berat + 3. Kebutuhan cairan 70
Tax : 38o C Respiratory ml/kg/hari ~ 230
Berat badan : 3250
Distress et causa mL/hari (minimal 28
gram
Status General suspect mL tiap 3 jam).
Kepala : Pneumonia 4. Antibiotika lini I
normocefali
Neonatal dd Ampicilin 50mg/kg/kali
Anemia (-) Ikterus
(-) Sianosis (-) Sepsis Neonatal ~ 165mg IV tiap 12 jam
THT : nafas Awitan Dini. dan Amikasin
cuping hidung (-) 7,5mg/kg/kali IV ~ 22,5
Thorax: Simetris
(+) Retraksi (+) mg tiap 12 jam
Cor: S1S2 normal 5. Observasi 6 jam
regular (+), 6. Monitor : tanda vital,
murmur (-)
cairan masuk dan
Pulmo: Bves +/+
Rhonki +/+ keluar, berat badan, dan
Wheezing -/- tanda-tanda distress
Abdomen:
napas
distensi (-) Bising
usus (+) normal 7. Menunggu Hasil
Hepar: just Kultur Darah
palpable
8. Konsul Kardiologi
Lien: tak teraba
Eksremitas:
Hangat (+) CRT
<2 detik, Sianosis
(-).
2/10/ Instabilita Status present: BCB (37-38 1. Rawat Inkubator
2016 s suhu (-), Nadi : 148x / minggu) (3250 2. CPAP support FiO2
letargi (-) menit, reguler, isi
gram) + Sesuai 21% : PEEP 7 : flow 8
cukup
34
RR : 48x/menit MasaKehamilan 3. Kebutuhan cairan 80
Tax : 37,5oC + Asfiksia Berat ml/kg/hari ~ 256
Berat badan : 3250
+ Respiratory mL/hari (minimal 32
gram
Status General Distress et causa mL tiap 3 jam).
Kepala : suspect 4. Antibiotika lini I
normocefali
Pneumonia Ampicilin 50mg/kg/kali
Anemia (-) Ikterus
(-) Neonatal dd ~ 165mg IV tiap 12 jam
THT : nafas Sepsis Neonatal dan Amikasin
cuping hidung (-)
Awitan Dini. 7,5mg/kg/kali IV ~ 22,5
Thorax: Simetris
(+) Retraksi (-) mg tiap 12 jam
Cor: S1S2 normal 5. Observasi 6 jam
regular (+), 6. Monitor : tanda vital,
murmur (-)
Pulmo: Bves +/+ cairan masuk dan
Rhonki +/+ keluar, berat badan, dan
Wheezing -/- tanda-tanda distress
Abdomen:
napas
distensi (-) Bising
usus (+) normal 7. Menunggu Hasil
Hepar: just Kultur Darah
palpable
Lien: tak teraba
Eksremitas:
Hangat (+) CRT
<2 detik.

35
BAB IV
PEMBAHASAN

Asfiksia neonatorum adalah kegagalan napas secara spontan dan teratur


pada saat lahir. Hal ini dapat terjadi pada kehamilan maupun persalinan atau
segera setelah lahir. Asfiksia yang tidak tertangani dengan baik dapat
memperburuk kondisi bayi dan menyebabkan kematian bayi. Pada bayi yang
mengalami asfiksia diperlukan tindakan yang bertujuan untuk mempertahankan
kelangsungan hidup bayi dan membatasi timbulnya gejala-gejala perburukan.
Hipoksia dapat menggangu proses adaptasi bayi dari intrauterin menuju
ekstrauterine yang merupakan salah satu penyebab mortalitas dan morbiditas pada
bayi yang baru lahir. Hipoksia sendiri diakibatkan oleh banyak faktor seperti
aspirasi cairan amnion, darah, mekonium dan muntahan, imaturitas paru, kelainan
jantung bawaan, anemia pada fetus, retardasi pertumbuhan intra uterin, kehamilan
lewat waktu, dan infeksi fetus. Selain itu asfiksia neonatorum dapat terjadi pada
ibu yang mengalami hipoksia karena anemia berat, penyakit paru kronis,
menurunnya aliran darah dari ibu ke fetus pada hipotensi karena perdarahan,
preeklamsia, eklamsia, dan diabetes mellitus. Pada pasien ini ditemukan beberapa
keadaan yang dapat menyebabkan timbulnya asfiksia yaitu bayi yang lahir dari
ibu yang mengalami ketuban pecah dini.Ketuban pecah dini berkaitan dengan
komplikasi persalinan, meliputi kompresi tali pusat, khorioamnionitis, hingga
abruption plasenta.Kondisi ini dapat mengganggu aliran darah dari ibu ke bayi
sehingga dapat mengurangi suplai oksigen yang diterima oleh bayi di dalam
kandungan.
Pasien ini dikatakan tidak segera menangis sewaktu lahir dan biru,
kemudian mendapat terapi oksigen.Hal ini merupakan salah satu tanda terjadinya
hipoksia pada bayi akibat kekurangan oksigen. Setelah dilakukan evaluasi dengan
APGAR score didapatkan skor 2-3 yang dapat dikatakan bahwa bayi mengalami
asfiksia berat.

36
Pasien Tinjauan Pustaka
Anamnesis
- Pasien dikeluhkan tidak - Tidak menangis dan pasien
langsung menangis dan sempat tampak biru merupakan salah satu
biru sesaat setelah dilahirkan tanda hipoksia awal
- Pada saat intranatal ibu - Ketuban pecah dini merupakan
mengalami ketuban pecah dini salah satu faktor risiko terjadinya
- Faktor risiko infeksi: 3 mayor asfiksia neonatorum, karena
(korioamnionitis, fetal distress, berkaitan dengan komplikasi
ketuban hijau) dan 4minor seperti kompresi tali pusat,
(asfiksia, demam, keputihan, korioamnionitis, hingga abruption
ketuban pecah dini>12 jam). plasenta,yang bisa menganggu
aliran darah dari ibu ke bayi.
- Faktor risiko infeksi disebut positif
bila terdapat 1 faktor risiko mayor
atau 2 faktor risiko minor.
Pemeriksaan Fisik
- APGAR score - APGAR score
Didapatkan total penilaian Penegakan diagnosis asfiksia
APGAR score pada menit ke-1 durante atau postpartum dapat
adalah 2, pada menit ke-5adalah ditegakkan dengan menentukan
3, dan pada menit ke-10 adalah nilai APGAR score pada menit 1,
7. 5, 10, dan 15, dengan interpretasi:
1 5 10 Nilai 0-3 : Asfiksia berat
Appearance 0 0 1
Nilai 4-6 : Asfiksia sedang
Pulse 1 1 1
Grimace 1 1 1 Nilai 7-10 : Normal
Activity 0 0 0
APGAR score diperhatikan pada
Respiration 0 1 1
2 3 7 menit ke-1 dan menit ke-5. Bila
APGAR score 5 menit masih< 7,
Berdasarkan nilai APGAR
penilaian dilanjutkan tiap 5 menit
score (5 = 2-3) tersebut
sampai skor mencapai 7.
diketahui bayi mengalami
Asfiksia Berat.

37
- Downe score - Downe score
Pada pasien didapatkan total Downe score berguna untuk
Downe score adalah 6atau menilai derajat respiratory distress
moderate respiratory distress. dengan interpretasi:
Sianosis :1 0-3: Mild respiratory distress
Retraksi :1 4-6: Moderate respiratory distress
Grunting :1 >6: Impending respiratory failure
Air entry :1 - Pneumonia neonatal ditandai
Respiration :1 dengan gambaran klinis berupa
Total :5 adanya distress napas, takikardia,
- Nafas cuping hidung (+) perfusi perifer berkurang, letargi,
- Takipneu (70 kali/menit) ada riwayat takikardia janin dan
- Takikardi (150 kali/menit) skor APGAR rendah.
- Retraksi subcostal (+)
- Auskultasi paru: rhonki +/+

Pemeriksaan Penunjang
- Dari darah lengkap ditemukan - Hasil pemeriksaan laboratorium
adanya leukositosis (41,60 x yang menjadi penanda sepsis atau
103/L) dan peningkatan IT septik marker antara lain: hitung
ratio (0,37). leukosit (N 5.000/uL 30.000/uL),
- Dari pemeriksaan chest X-ray hitung trombosit (N>150.000/uL),
didapatkan adanya konsolidasi IT rasio (N<0,2), CRP (N 1,0
pada perihiler kanan dengan mg/dL atau 10 mg/L). Mendukung
kesan gambaran pneumonia. kecurigaan sepsis bila (+) 2.
- Pemeriksaan chest X-ray pada
pneumonia bisa memberikan
gambaran berupa infiltrat atau
konsolidasi.

38
Diagnosis - Pasien merupakan bayi cukup
- Bayi cukup bulan + sesuai masa bulan (sesuai masa kehamilan)
kehamilan + asfiksia berat + yaitu berusia 38 minggu,
respiratory distress ec suspect didiagnosis asfiksia berat sesuai
pneumonia neonatal dd sepsis dengan keadaan klinis yang dinilai
neonatal awitan dini dengan APGAR score dengan
nilai 2-3-7. Sedangkan diagnosis
respiratory distress berdasarkan
Downe score6 yang menandakan
moderate respiratory distress.
Kecurigaan pneumonia dan sepsis
didapat dari manifestasi klinis
pemeriksaan laboratorium dan
chest X-ray, serta adanya faktor
risiko infeksi.
Penatalaksanaan
Neonatus lahir Resusitasi Awal
Pada pemeriksaan atau penilaian
Evaluasi : neonatus cukup bulan awal dilakukan dengan menjawab
(+), segera bernafas/menangis(- pertanyaan:
), tonus otot (-) 1. apakah neonatus cukup bulan?
2. apakah neonatus bernapas atau
Hangatkan bayi dibawah radian menangis?
warmer 3. apakah tonus otot neonatus baik
atau kuat?
Bersihkan jalan nafas dari mulut
ke hidung dengan suction Stabilisasi
1. Memberikan kehangatan
Posisikan bayi, rangsang taktil, 2. Memposisikan bayi dengan sedikit
dan keringkan. Evaluasi : HR menengadahkan kepalanya.
80x/ menit, RR apneu, kulit 3. Membersihkan jalan napas sesuai
sianosis keperluan

39
4. Mengeringkan bayi, merangsang
pernapasan dan meletakkan pada
Berikan O2 flow tekanan positif posisi yang benar
10 lpm. HR 128x/menit, RR
40x/menit grunting, kulit Penilaian
kemerahan. 1. Pernapasan
Resusitasi berhasil bila terlihat
Pemberian single nasal prong gerakan dada yang adekuat, frekuensi
melalau neopuff. PEEP 7 ; Flow dan dalamnya pernapasan bertambah
8 ; PIP 18. Evaluasi : HR setelah rangsang taktil.Pernapasan
144x/menit, RR 72x/menit, yang megap-megap adalah
SpO2 95% pernapasan yang tidak efektif dan
memerlukan intervensi lanjutan.
Perawatan observasi/ suportif 2. Frekuensi jantung
Perawatan observasi/ suportif Frekuensi jantung harus diatas
- Jaga kehangatan 100x/menit.
- Rawat Tali Pusat 3. Warna kulit
- Puasa 24 jam Setelah frekuensi jantung normal dan
- CPAP support FiO2 40% : PEEP 7 ventilasi baik, tidak boleh ada
: flow 8 sianosis sentral yang menandakan
- Kebutuhan cairan 60ml/kg/hari ~ hipoksemia. Sianosis akral tanpa
195 mL/hari. IVFD D10% 8ml/jam sianosis sentral belum tentu
- Antibiotika lini I Ampicilin menandakan kadar oksigen rendah
50mg/kg/kali ~ 165mg IV tiap 12 sehingga tidak perlu diberikan terapi
jam dan Amikasin 7,5mg/kg/kali oksigen. Hanya sianosis sentral yang
IV ~ 22,5 mg tiap 12 jam memerlukan intervensi.
- Observasi 6 jam
Monitor : tanda vital, cairan masuk dan - Jaga kehangatan dengan
keluar, berat badan, dan tanda-tanda pemberian selimut pada bayi dan
distress napas pemberian terapi berupa radiant
warmer untuk mencegah
hipotermia.

40
- Tali pusat perlu dirawat dengan
tujuan agar tali pusat tidak
mengalami infeksi.
- Antibiotika dapat diberikan pada
bayi asfiksia dengan asfiksia
berat, antibiotika yang diberikan
yakni golongan ampisilin atau
aminoglikosid.
- Volume ekspander dapat
diberikan dengan indikasi bayi
baru lahir yang dilakukan
resusitasi mengalami hipovolemia
dimana pada klinis ditandai
adanya pucat, perfusi buruk, nadi
kecil/lemah, dan pada resusitasi
tidak memberikan respon yang
adekuat.
Pemantauan tanda vital dan
keseimbangan cairan penting
dilakukan untuk menilai
komplikasi yang terjadi setelah
asfiksia pada sistem seperti saraf,
kardiovaskular, paru, vaskuler,
respirasi, metabolik, ginjal, dan
gastrointestinal.

41
BAB V
KESIMPULAN

Asfiksia perinatal atau asfiksia neonatorum adalah suatu kondisi yang


ditandai dengan adanya gangguan pertukaran gas saat respirasi, mengakibatkan
terjadinya hipoksemia dan hiperkapnia, disertai asidosis metabolik. Asfiksia yang
tidak tertangani dengan baik dapat memperburuk kondisi bayi dan menyebabkan
kematian bayi. Pada bayi yang mengalami asfiksia diperlukan tindakan yang
bertujuan untuk mempertahankan kelangsungan hidup bayi dan membatasi
timbulnya gejala-gejala perburukan.
Penegakan diagnosis asfiksia durante atau postpartum dapat ditegakkan
dengan menentukan nilai skor APGAR pada menit 1, 5, 10, dan 15. Pada kasus,
pasien dikatakan tidak segera menangis sewaktu lahir dan biru. Hal ini merupakan
salah satu tanda terjadinya hipoksia pada bayi akibat kekurangan oksigen. Setelah
dilakukan evaluasi dengan skor APGAR didapatkan skor 2-3 yang dapat
dikatakan bahwa bayi mengalami asfiksia berat.
Pada pasien dilakukan resusistasi neonatus sesuai alur prosedur yang
sesuai. Pada penilaian awal sudah dinilai dengan 3 pertanyaan awal, dengan
jawaban bayi lahir cukup bulan, tonus otot lemah namun bayi tidak segera
bernafas. Untuk itu dilakukan pembersihan jalan nafas, pengeringan dan
rangsang taktil. Berikutnya dilakukan penilaian denyut jantung dan laju nafas.
Pada bayi ini didapatkan denyut jantung lebih dari 100 dan laju nafas (+) dengan
pola tidak teratur. Untuk itu dilanjutkan menilai apakah ada sianosis persisten
atau tidak. Karena pada bayi ini tidak didapatkan tanda sianosis perseisten maka
dilanjutkan dengan perawatan rutin kemudian observasi.

42
DAFTAR PUSTAKA

1. Antonucci R, Porcella A, Pilloni MD. Perinatal asphyxia in the term


newborn. Journal of Pediatric and Neonatal Individual Medicine. 2014;
3(2): e030269. doi: 10.7363/030269.
2. Lawn J, Shibuya K, dan Stein C. No Cry at birth: global estimates
intrapartum stillbirths and intrapartum-related neonatal deaths. Bulletin of
the World Health Organization. June 2015; 83 (6): 410 432.
3. Kosim, M. Sholeh. Buku Ajar Neonatologi. Jakarta: Badan Penerbit IDAI;
2008.
4. Herawati, Rika. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Asfiksia
Neonatorum Pada Bayi Lahir di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten
Rokan Hulu. Jurnal Maternity and Neonatal. 2013; 1(2): 75 86.
5. Golubnitschaja O, Yeghiazaryan K, Cebioglu M, Morelli M, Herrera-
Marschitz M. Birth asphyxia as the major complication in newborns:
moving towards improved individual outcomes by prediction, targeted
prevention and tailored medical care. European Association for Predictive,
Preventive, and Personalised Medicine. 2011; 2: 197-210.
6. zel H, Keleki S, Deveciolu C, Gne A, Yolba I, en V. Neonatal
asphyxia: A study of 210 cases. Journal of Clinical and Experimental
Investigations. 2012; 3(2): 194-198.
7. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana, Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar. Asfiksia
Neonatorum. Pedoman Pelayanan Medis Kesehatan Anak; 2011: 401-403
8. Suradi R, Aminullah A, Kosim S. Pencegahan dan penatalaksaan afiksia
neonatorum. Health Technology Assesement Indonesia, Departmen
Kesehatan Indonesia. 2008.
9. Martin AA, Gracia AA, Gaya F. Multiple organ involvement in perinatal
asphyxia. Journal Pediatric 2015; 127: 786-93.
10. Vera Muna Manoe, Idham Amir. Gangguan Fungsi Multiorgan pada Bayi
Asfiksia Berat. Sari Pediatri. 2003; 5(2): 72-78.
11. Leuthner SR, Ug D. Apgar Score and the definition of birth asphyxia.
Pediatric Clinic N Am. 2004; 51: 737-45
12. IDAI. Asifiksia Neonatorum Dalam: Standar Pelayanan Medis Kesehatan
Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2004: 272-276.
13. McGuiver W. Perinatal Asphyxia. Clin Evid. 2006; 15: 1-2.
14. Sahoo MR, Arigela V, Pradeep Y, Rao S, Sudarsini P. Effect of The
Perinatal Risk Factors on The Outcome of The Term Asphyxiated
Neonates at The Time of Discharge in NICU. International Journal of
Pediatric Research. 2016; 3(5).
15. Misra PK, Thakur S. Perinatal mortality in rural India with special
references to high risk pregnancies. Journal of Tropical Pediatrics. 2014;
33: 242-252.
16. Matthew AR, Jeffrey MP. Pathophysiology of Birth Asphyxia. Clin
Perinatol. 2016; 43: 409422.
17. IDAI-Perinasia, UKK-Perinatologi. Panduan resusitasi neonatus. Edisi ke-
6. Juni 2006.
18. Dalili H, Nili F, Sheikh M, Hardani AK, Shariat M, Nayeri F. Comparison
of the Four Proposed Apgar Scoring Systems in the Assessment of Birth
Asphyxia and Adverse Early Neurologic Outcomes. PLOS ONE. 2016;
DOI: 10.1371
19. Manoe MV, Amir I. Gangguan Fungsi Multi Organ pada Bayi Asfiksia
Berat. Sari Pediatri. 2013; 5(2): 72-78.
20. Yu VYH. Prognosis in infants with birth asphyxia. Academic Pediatric
Singapore. 2012; 35: 481-86.

Anda mungkin juga menyukai