Anda di halaman 1dari 212

MODUL PEMBELAJARAN

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH III

TIM PENYUSUN

DARSINI, S.Kep.,Ns.,M.Kes
ELIZA ZIHNI Z, S.Kep.,Ns.,M.Kep
ELLY RUSTANTI, S.Si., M.Sc

i
MODUL PEMBELAJARAN

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH III

Tim Penyusun:

Darsini, S.Kep.,Ns.,M.Kes
Eliza Zihni Z, S.Kep.,Ns.,M.Kep
Elly Rustanti, S.Si., M.Sc

Penerbit: SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HUSADA JOMBANG

ii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan
berkat dan karunia dan hidayahNya akhirnya Penulis mampu menyelesaikan penyusunan
modul Keperawatan Medikal Bedah III dengan metode pembelajaran disepadankan dengan
Kurikulum KKNI 2015. Modul ini disusun sebagai salah satu media pembelajaran bagi
mahasiswa dalam mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah III yang menjelaskan kepada
mahasiswa tentang metode pembelajaran, penilain selama pembelajaran dan materi
pembelajaran. Dengan adanya modul ini diharapkan mahasiswa dapat belajar secara mandiri
dan mengerti akan tujuan pembelajaran.
Penyusunan modul ini belum sempurna, penulis dengan kerendahan hati penulis
mengharapkan kritikan dan saran yang dapat menyempurnakan modul pembelajaran ini.
Semoga modul ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa dan memberikan perkembangan positif
dalam pendidikan keperawatan.

Jombang, Agustus 2019


Penulis

i
Daftar Isi

Halaman judul................................................................................................i
Kata pengantar................................................................................................ii
Daftar isi.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................1
Deskripsi modul.............................................................................................1
Capaian Pembelajaran Luaran........................................................................1
Rancangan Program Pembelajaran.................................................................2
BAB II MATERI PERKULIAHAN..............................................................32
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................206

i
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Diskripsi Modul


Modul ini berisi mengenai fokus mata ajar keperawatan medikal bedah III yang
berisi tentang pemenuhan kebutuhan klien dewasa dengan gangguan sistem
muskuloskeletal, integumen, persepsi sensori dan persarafan. Pemberian asuhan
keperawatan pada kasus gangguan sistem muskuloskeletal, integumen, persepsi sensori
dan persarafan berdasarkan proses keperawatan dengan mengaplikasikan ilmu biomedik
seperti biologi, histologi, biokimia,anatomi, fisiologi, patofisiologi, ilmu keperawatan
medikal bedah, ilmu penyakit dalam, farmakologi, bedah, nutrisi dan rehabilitasi.
Gangguan dari system tersebut meliputi gangguan peradangan, kelainan degenerative,
trauma, yang termasuk dalam 10 kasus terbesar baik lokal, regional, nasional dan
internasional. Lingkup bahasan mulai dari pengkajian sampai dengan evaluasi asuhan
terhadap klien. Intervensi keperawatan meliputi terapi Modalitas Keperawatan pada
berbagai kondisi termasuk terapi komplementer.

1.2 Bahan kajian

1. Asuhan keperawatan dengan kasus gangguan gangguan sistem muskuloskeletal,


integumen, persepsi sensori dan persarafan pada klien dewasa dengan
memperhatikan aspek legal dan etis.
2. Pendidikan kesehatan dengan kasus gangguan sistem muskuloskeletal, integumen,
persepsi sensori dan persarafan pada klien dewasa dengan memperhatikan aspek
legal danetis.
3. Simulasi pengelolaan asuhan keperawatan pada sekelompok klien dengan gangguan
sistem muskuloskeletal, integumen, persepsi sensori dan persarafanpada klien
dewasa dengan memperhatikan aspek legal danetis
4. Fungsi advokasi pada kasus dengan gangguan sistem muskuloskeletal, integumen,
persepsi sensori dan persarafanpada kliendewasa
5. Intervensi keperawatan pada kasus dengan gangguan sistem muskuloskeletal,
integumen, persepsi sensori dan persarafanpada klien dewasa sesuai dengan standar
yang berlaku dengan berfikir kreatif dan inovatif sehingga menghasilkan pelayanan
yang efisien dan efektif.

1
1.3 Rencana Pembelajaran Semester

Bentuk dan Penilaian


Kemampuan Indikator
Pertemuan metode
akhir yang pencapaian Materi pokok Pengalaman Estimasi Indikator Referensi
ke pembelajara Bentuk & Bobot
direncanakan kompetensi belajar waktu penilaian
n kriteria (%)
mahasiswa

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)

1 Melakukan 1. Menjelaskan Review Sistem Collaborative Berdisiskusi, Teori: Tes MCQ Mampu 2% 9,10,13
simulasi anatomi sistem muskuloskeletal Learning berpikir kritis, menjawab
anatomi dan Muskuloskeletal : menjawab {tm: 1x tes MCQ
2. Menjelaskan Kuliah (3x50 mnt)
fisiologi sistem
fisiologi pada Menjelaskan interaktif
Muskuloskelet sistem
al anatomi,
Muskuloskeletal
3. Menjelaskan fisiologi,
biokimia dan Biokimia dan
fisiologi pada fisika pada
sistem sistem
Muskuloskeletal Muskuloskeletal

a. Anatomi
b. Skleletal
c. Muskulus
d. Fisiologi ,
fisika
e. Sistem
skelet
f. Penyembuh

2
an tulang
g. Sistem
Persendian
h. Sistem otot
sklelet
i. Fenomena
listrik dan
ion
j. Biokimia
k. Sumber dan
dan
metabolism e
energi (pada
janin sampai
lansia )

1 Melakukan 1.1 Mahasiswa 1.1 Definisi Ceramah, tbl Berdisiskusi, Teori: Tes MCQ Mampu 2% 9,10,13
simulasi konsep mampu kasus berpikir kritis, menjawab
penyakit pada menjelaskan Osteoartritis menjawab {tm: 1x tes MCQ
definisi kasus ,Osteoporos (3x50 mnt)
sistem
Osteoartritis, is, Artritis
muskuloskelet Osteoporosis, rheumatoid,
al Artritis Gout
rheumatoid, Gout 1.2 Etiologi
1.2 Mahasiswa pada kasus
mampu Osteoartritis
menjelaskan ,
etiologi pada kasus Osteoporosi
Osteoartritis, s, Artritis
Osteoporosis, rheumatoid,
Artritis Gout
rheumatoid, Gout 1.3 Manifestasi
1.3 Mahasiswa kasus
Osteoartritis

3
mampu ,
menjelaskan Osteoporosi
manifestasi kasus s, Artritis
Osteoartritis, rheumatoid,
Osteoporosis, Gout
Artritis 1.4 Patofisiologi
rheumatoid, Gout pada kasus
1.4 Mahasiswa Osteoartritis
mampu ,
menjelaskan Osteoporosi
patofisiologi pada s, Artritis
kasus Osteoartritis, rheumatoid,
Osteoporosis, Gout
Artritis 1.5 Komplikasi
rheumatoid, Gout pada kasus
1.5 Mahasiswa Osteoartritis
mampu ,
menjelaskan Osteoporosi
komplikasi pada s, Artritis
kasus Osteoartritis, rheumatoid,
Osteoporosis, Gout
Artritis 1.6 Penetalaksa
rheumatoid, Gout naan kasus
1.6 Mahasiswa Osteoartritis
mampu ,
menjelaskan Osteoporosi
penetalaksanaan s, Artritis
kasus Osteoartritis, rheumatoid,
Osteoporosis, Gout
Artritis 1.7 Pencegahan
rheumatoid, Gout primer,
Mahasiswa sekunder, dan
mampu tersier kasus
menjelaskan Osteoartritis
,
Osteoporosi
s, Artritis
rheumatoid,

4
pencegahan Gout
primer, sekunder,
dan tersier kasus
Osteoartritis,
Osteoporosis,
Artritis
rheumatoid, Gout
2 Menjelaskan 1.1 Mahasiswa 1.1 Pengkajian Ceramah, tbl Berdisiskusi, Teori: Case study Mampu 4% 1,4,6,7,11
konsep dan mampu bio – psiko- berpikir kritis, menjawab , 12
asuhan menjelaskan sosio- menjawab {tm: 1x case study
mengenai spiritual (3x50 mnt)
keperawatan
pengkajian bio – pada klien
pada sistem psiko- sosio- Osteoartritis
Muskuloskelet spiritual pada klien ,
al Osteoartritis, Osteoporosi
Osteoporosis, s, Artritis
Artritis rheumatoid,
rheumatoid, Gout Gout
1.2 Mahasiswa 1.2 Analisis
mampu mengalisis masalah dan
masalah dan membuat
membuat diagnose diagnose
keperawatan pada keperawata n
klien Osteoartritis, pada klien
Osteoporosis, Osteoartritis
Artritis ,
rheumatoid, Gout Osteoporosi
1.3 Mahasiswa s, Artritis
mampu rheumatoid,
menjelaskan Gout
mengenai 1.3 Intervensi
intervensi keperawata n
keperawatan pada klien
pada klien Osteoartritis
,

5
Osteoartritis, Osteoporosi
Osteoporosis, s, Artritis
Artritis rheumatoid,
rheumatoid, Gout Gout
1.4 Mahasiswa 1.4 Implementa
mampu si
menjelaskan keperawata n
mengenai pada klien
implementasi Osteoartritis
keperawatan pada ,
klien Osteoartritis, Osteoporosi
Osteoporosis, s, Artritis
Artritis rheumatoid,
rheumatoid, Gout Gout
1.5 Mahasiswa 1.5 Evaluasi
mampu keperawata n
menjelaskan pada
proses evaluasi Osteoartritis
keperawatan ,
pada klien Osteoporosi
Osteoartritis, s, Artritis
Osteoporosis, rheumatoid,
Artritis Gout
rheumatoid, Gout

3 Melakukan 1.1 Mahasiswa 1.1 Definisi Collaborative Berdisiskusi, Teori: Tes MCQ Mampu 3% 9, 10, 13
simulasi konsep mampu kasus Tumor Learning berpikir kritis, menjawab
penyakit pada menjelaskan musculoskeletal menjawab {tm: 1x tes MCQ
definisi kasus (Maligna dan Kuliah (3x50 mnt)
sistem
Tumor benigna), Lupus interaktif
muskuloskelet musculoskeletal Eritematosus
al (Maligna dan Sistemik,
benigna), Lupus Osteomlasia,
Eritematosus Osteitis
Sistemik, deformans
Osteomlasia, (Paget),
Osteitis Osteomielitis
deformans 1.2 Etiologi
(Paget), pada kasus

6
Osteomielitis klien Tumor
1.2 Mahasiswa musculoskeletal
mampu (Maligna dan
menjelaskan benigna), Lupus
etiologi pada Eritematosus
kasus klien Sistemik,
Tumor Osteomlasia,
musculoskeletal Osteitis
(Maligna dan deformans
benigna), Lupus (Paget),
Eritematosus Osteomielitis
Sistemik, 1.3 Manifestasi
Osteomlasia, kasus Tumor
Osteitis musculoskeletal
deformans (Maligna dan
(Paget), benigna), Lupus
Osteomielitis Eritematosus
1.3 Mahasiswa Sistemik,
mampu Osteomlasia,
menjelaskan Osteitis
manifestasi kasus deformans
Tumor (Paget),
musculoskeletal Osteomielitis
(Maligna dan 1.4 Patofisiologi
benigna), Lupus pada kasus
Eritematosus Tumor
Sistemik, musculoskeletal
Osteomlasia, (Maligna dan
Osteitis benigna), Lupus
deformans Eritematosus
(Paget), Sistemik,
Osteomielitis Osteomlasia,
1.4 Mahasiswa Osteitis
mampu deformans
menjelaskan (Paget),
patofisiologi Osteomielitis 1.5
pada kasus Mahasis
Tumor wa mampu
musculoskeletal

7
(Maligna dan menjelaskan
benigna), Lupus komplikasi pada
Eritematosus kasus klien
Sistemik, Tumor
Osteomlasia, musculoskeletal
Osteitis (Maligna dan
deformans benigna), Lupus
(Paget), Eritematosus
Osteomielitis Sistemik,
1.5 Mahasiswa Osteomlasia,
mampu Osteitis
menjelaskan deformans
komplikasi pada (Paget),
kasus klien Osteomielitis 1.6
Tumor Mahasis
musculoskeletal wa mampu
(Maligna dan menjelaskan
benigna), Lupus penetalaksanaa n
Eritematosus kasus klien
Sistemik, Tumor
Osteomlasia, musculoskeletal
Osteitis (Maligna dan
deformans benigna), Lupus
(Paget), Eritematosus
Osteomielitis Sistemik,
1.6 Mahasiswa Osteomlasia,
mampu Osteitis
menjelaskan deformans
penetalaksanaan (Paget),
kasus klien Osteomielitis
Tumor 1.7 Pencegahan
musculoskeletal primer, sekunder,
(Maligna dan dan tersier pada
benigna), Lupus klien Tumor
Eritematosus musculoskeletal
Sistemik, (Maligna dan
Osteomlasia, benigna), Lupus
Osteitis
deformans

8
(Paget), Eritematosus
Osteomielitis Sistemik,
1.7 Mahasiswa mampu Osteomlasia,
menjelaskan Osteitis
pencegahan deformans
primer, sekunder, (Paget),
dan tersier pada Osteomielitis
klien Tumor
musculoskeletal
(Maligna dan
benigna), Lupus
Eritematosus
Sistemik,
Osteomlasia,
Osteitis deformans
(Paget),
Osteomielitis

4 Menjelaskan 1.1 Mahasiswa 1.1 Pengkajian Ceramah, tbl Berdisiskusi, Teori: Case study Mampu 3% 1,4,6,7,11
konsep dan mampu bio – psiko- berpikir kritis, menjawab , 12
asuhan menjelaskan sosio- menjawab {tm: 1x case study
mengenai spiritual pada (3x50 mnt)
keperawatan
pengkajian bio – klien Tumor
pada sistem psiko- sosio- musculoskel
Muskuloskelet spiritual pada etal (Maligna
al klien Tumor dan benigna),
musculoskeletal Lupus
(Maligna dan Eritematosu s
benigna), Lupus Sistemik,
Eritematosus Osteomlasia
Sistemik, , Osteitis
Osteomlasia, deformans
Osteitis (Paget),
deformans Osteomieliti s
(Paget),
Osteomielitis
1.2 Mahasiswa
mampu

9
mengalisis 1.2 Analisis
masalah dan masalah dan
membuat membuat
diagnose diagnose
keperawatan pada keperawata
klien Tumor n pada
musculoskeletal klien Tumor
(Maligna dan musculoskel
benigna), Lupus etal (Maligna
Eritematosus dan benigna),
Sistemik, Lupus
Osteomlasia, Eritematosu s
Osteitis Sistemik,
deformans Osteomlasia
(Paget), , Osteitis
Osteomielitis deformans
1.3 Mahasiswa (Paget),
mampu Osteomieliti s
menjelaskan 1.3 Intervensi
mengenai keperawata n
intervensi pada klien
keperawatan Tumor
pada klien Tumor musculoskel
musculoskeletal etal (Maligna
(Maligna dan dan benigna),
benigna), Lupus Lupus
Eritematosus Eritematosu s
Sistemik, Sistemik,
Osteomlasia, Osteomlasia
Osteitis , Osteitis
deformans deformans
(Paget),
Osteomielitis
1.4 Mahasiswa
mampu
menjelaskan
mengenai

1
implementasi (Paget),
keperawatan pada Osteomieliti s
klien Tumor 1.4 Implementa
musculoskeletal si
(Maligna dan keperawata
benigna), Lupus n pada klien
Eritematosus Tumor
Sistemik, musculoskel
Osteomlasia, etal (Maligna
Osteitis dan benigna),
deformans Lupus
(Paget), Eritematosu s
Osteomielitis Sistemik,
1.5 Mahasiswa Osteomlasia
mampu , Osteitis
menjelaskan deformans
proses evaluasi (Paget),
keperawatan pada Osteomieliti s
klien Tumor 1.5 Evaluasi
musculoskeletal keperawata n
(Maligna dan pada Tumor
benigna), Lupus musculoskel
Eritematosus etal (Maligna
Sistemik, dan benigna),
Osteomlasia, Lupus
Osteitis Eritematosu s
deformans Sistemik,
(Paget), Osteomlasia
Osteomielitis , Osteitis
deformans
(Paget),

1
Osteomieliti s

5 Melakukan 1. Menjelaskan 1. Tatalaksana Ceramah, tbl Berdisiskusi, Teori: Tes MCQ Mampu 3% 9, 10, 13
simulasi konsep tatalaksana kontusi, berpikir kritis, menjawab
penyakit pada kontusi, strain strain dan menjawab {tm: 1x tes MCQ
dan sprain sprain (3x50 mnt)
sistem
2. Menjelaskan jenis 2. Jenis fraktur
muskuloskelet fraktur 3. Manifestasi
al 3. Menjelaskan fraktur
Manifestasi 4. Penatalaksa
fraktur naan
4. Menjelaskan kedaruratan
Penatalaksanaan 5. Prinsip
kedaruratan penanganan
5. Menjelaskan fraktur
prinsip 6. Perawatan
penanganan pasien
fraktur dengan
6. Menjelaskan fraktur
perawatan pasien tertutup
dengan fraktur 7. Perawatan
tertutup dengan
7. Menjelaskan fraktur
perawatan terbuka
dengan fraktur 8. Komplikasi
terbuka fraktur
8. Menjelaskan
komplikasi fraktur
6 Melakukan Melakukan simulasi Review Sistem Kuliah Berdisiskusi, Teori: Tes MCQ Mampu 3% 9, 10, 13
simulasi anatomi dan fisiologi integumen : interaktif berpikir kritis, menjawab
anatomi dan sistem integumen menjawab {tm: 1x tes MCQ
fisiologi sistem Menjelaskan (3x50 mnt)
integumen anatomi,
fisiologi,
Biokimia dan
fisika pada
sistem

1
integumen

1. Pemeriksaa
n fisik
integument
(neonatus,
anak,
dewasa)
2. Warna
3. Kelembaban
4. Suhu
5. Tekstur
6. Turgor
7. Vaskularisa
si
8. Dermalesi
9. Kuku
10. Mukosa

7 Melakukan 1.1 Mahasiswa mampu 1.1 Definisi Collaborative Berdisiskusi, Teori: Tes MCQ Mampu 6 % 9, 10,13
simulasi menjelaskan proses Learning berpikir kritis, menjawab
konsep definisi proses demam, menjawab {tm: 1x tes MCQ
demam, Hipertermia, Kuliah (3x50 mnt)
penyakit pada
Hipertermia, Heart Heart stroke, interaktif
sistem stroke, Hipotermia, Hipotermia,
integumen Proses decubitus, Proses
dan proses decubitus,
penyembuhan luka dan proses
1.2 Mahasiswa penyembuh
mampu an luka
menjelaskan 1.2 Etiologi
etiologi pada proses
kasus klien demam,
Hipertermia,
Heart

1
proses demam, stroke,
Hipertermia, Heart Hipotermia,
stroke, Hipotermia, Proses
Proses decubitus, decubitus,
dan proses dan proses
penyembuhan luka penyembuh
1.3 Mahasiswa mampu an luka
menjelaskan 1.3 Manifestasi
manifestasi proses proses
demam, demam,
Hipertermia, Heart Hipertermia,
stroke, Hipotermia, Heart stroke,
Proses decubitus, Hipotermia,
dan proses Proses
penyembuhan luka decubitus,
1.4 Mahasiswa dan proses
mampu penyembuh
menjelaskan an luka
patofisiologi 1.4 Patofisiologi
pada kasus proses
proses demam, demam,
Hipertermia, Hipertermia,
Heart stroke, Heart stroke,
Hipotermia, Hipotermia,
Proses decubitus, Proses
dan proses decubitus,
penyembuhan luka dan proses
1.5 Mahasiswa penyembuh
mampu an luka
menjelaskan 1.5 Komplikasi
komplikasi pada kasus
proses demam, proses
Hipertermia, demam,
Hipertermia,
Heart stroke,
Hipotermia,

1
Heart stroke, Proses
Hipotermia, Proses decubitus,
decubitus, dan dan proses
proses penyembuh
penyembuhan luka an luka
1.6 Mahasiswa mampu 1.6 Penetalaksa
menjelaskan naan kasus
penetalaksanaan proses
proses demam, demam,
Hipertermia, Heart Hipertermia,
stroke, Hipotermia, Heart stroke,
Proses decubitus, Hipotermia,
dan proses Proses
penyembuhan luka decubitus,
dan proses
penyembuh
an luka

7 Melakukan 1.1 Mahasiswa mampu 1.1 Pengkajia Ceramah, Berdisiskusi, Teori: Case study Mampu 6% 1,4,6,7,11
simulasi menjelaskan n bio – tbl, kuliah berpikir kritis, menjawab , 12
konsep mengenai psiko- interaktif menjawab {tm: 1x case study
penyakit dan pengkajian bio – sosio- (3x50 mnt)
asuhan psiko- sosio- spiritual
keperawatan spiritual pada pada
pada sistem pada sistem
pada sistem
integument yang integumen t
integumen
terdiri dari proses yang
demam, terdiri dari
Hipertermia, Heart proses
stroke, demam,
Hipotermia, Proses Hipertermi
decubitus, dan a, Heart
proses stroke,
penyembuhan Hipotermi
luka a, Proses

1
1.2 Mahasiswa mampu decubitus,
mengalisis masalah dan proses
dan penyembu
membuat diagnose han luka
keperawatan pada 1.2 Analisis
sistem masalah
integument yang dan
terdiri dari proses membuat
demam, diagnose
Hipertermia, Heart keperawat
stroke, an pada
Hipotermia, Proses sistem
decubitus, dan integumen t
proses yang
penyembuhan luka terdiri dari
1.3 Mahasiswa mampu proses
menjelaskan demam,
mengenai Hipertermi
intervensi a, Heart
keperawatan pada stroke,
sistem Hipotermi
integument yang a, Proses
terdiri dari proses decubitus,
demam, dan proses
Hipertermia, Heart penyembu
stroke, han luka
Hipotermia, Proses 1.3 Intervensi
decubitus, dan keperawat
proses an pada
penyembuhan luka sistem
1.4 Mahasiswa integumen t
yang
terdiri dari
proses

1
mampu demam,
menjelaskan Hipertermi
mengenai a, Heart
implementasi stroke,
keperawatan pada Hipotermi
sistem a, Proses
integument yang decubitus,
terdiri dari proses dan proses
demam, penyembu
Hipertermia, Heart han luka
stroke, 1.4 Implement
Hipotermia, Proses asi
decubitus, dan keperawat
proses an pada
penyembuhan luka sistem
1.5 Mahasiswa mampu integumen t
menjelaskan proses yang
evaluasi terdiri dari
keperawatan pada proses
sistem demam,
integument yang Hipertermi
terdiri dari proses a, Heart
demam, stroke,
Hipertermia, Heart Hipotermi
stroke, a, Proses
Hipotermia, Proses decubitus,
decubitus, dan dan proses
proses penyembu
penyembuhan luka han luka
1.3 Intervensi
proses
demam,
Hipertermia,
Heart

1
stroke,
Hipotermia,
Proses
decubitus,
dan proses
penyembuh
an luka
1.4 Implementa
si proses
demam,
Hipertermia,
Heart stroke,
Hipotermia,
Proses
decubitus,
dan proses
penyembuh
an luka
1.5 Proses
evaluasi
keperawata n
pada
sistem
integument
yang terdiri
dari proses
demam,
Hipertermia,
Heart stroke,
Hipotermia,
Proses
decubitus,
dan proses
penyembuh

1
an luka

7 Melakukan 1.1 Mahasiswa mampu 1.1 Pengkajian Ceramah, Berdisiskusi, Teori: Case study Mampu 6% 1,4,6,7,11
simulasi menjelaskan bio – psiko- tbl, kuliah berpikir kritis, menjawab , 12
konsep mengenai sosio- interaktif menjawab {tm: 1x case study
penyakit dan pengkajian bio – spiritual pada (3x50 mnt)
asuhan psiko- sosio- pada sistem
keperawatan spiritual pada integumen
pada sistem pada kasus
pada sistem
integumen pada Dermatitis,
integumen
kasus Dermatitis, acne vulgaris,
acne vulgaris, herpes,
herpes, Gonorhea, Gonorhea,
Sipilis, Tumor kulit Sipilis,
1.2 Mahasiswa mampu Tumor kulit
mengalisis masalah 1.2 Analisis
dan masalah dan
membuat diagnose membuat
keperawatan pada diagnose
sistem keperawata n
integument pada pada
kasus Dermatitis, sistem
acne vulgaris, integument
herpes, Gonorhea, pada kasus
Sipilis, Tumor kulit Dermatitis,
1.3 Mahasiswa acne
mampu vulgaris,
menjelaskan herpes,
Gonorhea,
Sipilis,

1
mengenai Tumor kulit
intervensi 1.3 Intervensi
keperawatan pada keperawata n
sistem pada
integument pada sistem
kasus Dermatitis, integument
acne vulgaris, pada kasus
herpes, Gonorhea, Dermatitis,
Sipilis, Tumor kulit acne
1.4 Mahasiswa mampu vulgaris,
menjelaskan herpes,
mengenai Gonorhea,
implementasi Sipilis,
keperawatan pada Tumor kulit
sistem 1.4 Implementa
integument pada si keperawata
kasus Dermatitis, n pada
acne vulgaris, sistem
herpes, Gonorhea, integumen
Sipilis, Tumor kulit pada kasus
1.5 Mahasiswa mampu Dermatitis,
menjelaskan proses acne
evaluasi vulgaris,
keperawatan pada herpes,
sistem Gonorhea,
integumen pada Sipilis,
kasus Dermatitis, Tumor kulit
acne vulgaris, 1.5 Proses
herpes, Gonorhea, evaluasi
Sipilis, Tumor kulit keperawata n
pada
sistem
integument
pada kasus
Dermatitis,

2
acne
vulgaris,
herpes,
Gonorhea,
Sipilis,
Tumor kulit

8 Mahasiswa Mahasiswa mampu Konsep penyakit Ceramah, Berdisiskusi, Teori: Case study Mampu 6% 9, 10,
mampu menjelaskan konsep dan askep Pada tbl, kuliah berpikir kritis, menjawab 1,4,6,7,11
menjelaskan penyakit dan asuhan sistem integumen interaktif menjawab {tm: 1x case study , 12
konsep keperawatan pada (3x50 mnt)
:
penyakit dan sistem integumen
asuhan 1. Morbili
1. Morbili
keperawatan 2. Pioderma
2. Pioderma
pada sistem 3. Luka bakar
integumen 3. Luka bakar

9 Melakukan Mahasiswa mampu Review Sistem Ceramah, tbl Berdisiskusi, Teori: Tes MCQ Mampu 3% 9, 10, 13
simulasi Melakukan simulasi persepsi sensori berpikir kritis, menjawab
anatomi dan anatomi dan fisiologi : menjawab {tm: 1x tes MCQ
sistem persepsi (3x50 mnt)
fisiologi sistem
sensori Menjelaskan
persepsi sensori
anatomi,
fisiologi,
Biokimia dan
fisika pada
sistem persepi
sensori

9 Melakukan Mahasiswa mampu Konsep penyakit Ceramah, Berdisiskusi, Teori: Case study Mampu 6% 9,1,4,6,7,
simulasi Melakukan simulasi dan askep Pada tbl, kuliah berpikir kritis, menjawab 11, 12
konsep konsep penyakit pada sistem persepsi interaktif menjawab {tm: 1x case study
penyakit pada sistem persepsi sensori (3x50 mnt)

2
sistem persepsi sensori 1. Ganggua
sensori n kelopak
mata
2. Ganggua
n sistem
lakrimal
3. Ganggua
n lensa
katarak
4. Ganggua
n sirkulasi
aquerus :
glaukoma
5. Ganggua
n
konjungti
va
6. Ganggua
n kornea

10 Melakukan 1. Mahasiswa mampu Konsep penyakit Ceramah, Berdisiskusi, Teori: Case study Mampu 6% 10,
simulasi Melakukan dan askep Pada tbl, kuliah berpikir kritis, menjawab 1,4,6,7,11
konsep simulasi konsep sistem persepsi interaktif menjawab {tm: 1x case study , 12
penyakit pada (3x50 mnt)
penyakit pada sensori
sistem persepsi
sistem persepsi sensori meliputi
sensori definisi, etiologi,
manifestasi klinik, 1. OMA
patofisiologi, 2. OMK/P
komplikas dan 3. Trauma
penatalaksanaan
Telinga
pada kasus OMA,
4. Otalgia
OMK/P, Trauma
5. Impaksi
Telinga, Otalgia,
Serumen

2
Impaksi serumen, 6. Corpus
Corpus Alineum Alienium
2. Mahasiswa mampu
menjelaskan
konsep asuhan
keperawatan yang
dimulai dari
pengkajian,
penetapan
diagnose
keperawatan,
intervensi
keperawatan,
implementasi
keperawatan dan
evaluasi
keperawatan pada
kasus OMA,
OMK/P, Trauma
Telinga, Otalgia,
Impaksi serumen,
Corpus Alineum

11 Melakukan Mahasiswa mampu Review Sistem Ceramah, Berdisiskusi, Teori: Saol MCQ Mampu 3% 9, 10, 13
simulasi Melakukan simulasi neurobehaviour tbl, kuliah berpikir kritis, menjawab
anatomi dan anatomi dan fisiologi : interaktif menjawab {tm: 1x soal MCQ
fisiologi sistem sistem neurobehaviour (3x50 mnt)
neurobehaviou r Menjelaskan
anatomi,
fisiologi,
Biokimia dan
fisika pada
sistem
neurobehaviour

2
:

a. Embriolo
gi
pembent
ukan
sistem
persarafa
n
b. Anatomi
dan
fisiologi
Sel-sel
saraf
c. Sistem
Saraf
Pusat
dan
Sistem
Saraf
Perifer
d. Anatomi
dan
fisiologi
serebrum
e. Anatomi
dan
fisiologi
serebelu
m
f. Anatomi
dan
fisiologi
Sistem
limbik
g. Anatomi
dan
fisiologi
Hipotala

2
mus
h. Anatomi
dan
fisiologi
Medulla
spinalis
i. Anatomi
dan
fisiologi
Medulla
oblongat
a
j. Anatomi
dan
fisiologi
Sistem
saraf
kranial
k. Anatomi
dan
fisiologi
Sistem
saraf
spinal
l. Anatomi
dan
fisiologi
Sistem
saraf
otonom

12 Melakukan 1. Mahasiswa mampu Konsep penyakit Ceramah, Berdisiskusi, Teori: Case study Mampu 6% 1,4,6,7,11
simulasi konsep Melakukan dan askep Pada tbl, kuliah berpikir kritis, menjawab , 12, 13
penyakit pada simulasi konsep sistem interaktif menjawab {tm: 1x case study
penyakit pada (3x50 mnt)
sistem Neurobehaviour
sistem
neurobehaviou nerobehaviour
1. Tumor otak

2
r meliputi definisi, 2. Nyeri kepala
etiologi, (Tension
manifestasi klinik, Headche,
patofisiologi, Migren,
komplikas dan Cluster
penatalaksanaan Headache,
pada kasus Tumor
Neuralgia
otak, Nyeri kepala (
Kranial
Tension Headche,
Migren, Cluster 3. Herniasi
Headche, Neuralgia Diskus
kranial), dan Intervetebra
herniasi diskus
intervetebra
2. Mahasiswa mampu
menjelaskan
konsep asuhan
keperawatan yang
dimulai dari
pengkajian,
penetapan diagnose
keperawatan,
intervensi
keperawatan,
implementasi
keperawatan dan
evaluasi
keperawatan pada
kasus Tumor otak,
Nyeri kepala
( Tension Headche,
Migren, Cluster
Headche, Neuralgia
kranial), dan
herniasi diskus

2
intervetebra

13 Melakukan 1. Mahasiswa mampu Konsep penyakit Ceramah, Berdisiskusi, Teori: Case study Mampu 6% 1,4,6,7,11
simulasi konsep Melakukan dan askep Pada tbl, kuliah berpikir kritis, menjawab , 12, 13
penyakit dan simulasi konsep sistem interaktif menjawab {tm: 1x case study
penyakit pada (3x50 mnt)
Asuhan Neurobihaviour
sistem perkemihan
Keperawatan meliputi definisi,
pada sistem a. Cedera
etiologi,
neurobehaviou r Kepela
manifestasi klinik,
patofisiologi, b. Miastenia
komplikas dan Gravis
penatalaksanaan c. GBS (
pada kasus Cedera Gullain
Kepala, Miastenia Barre
gravis, GBS Sindrome)
( Guilleain Barre
Sindrom)
Mahasiswa mampu
menjelaskan konsep
asuhan keperawatan
yang dimulai dari
pengkajian, penetapan
diagnose keperawatan,
intervensi keperawatan,
implementasi
keperawatan dan
evaluasi keperawatan
pada kasus Miastenia
gravis,
GBS ( Guilleain Barre
Sindrom)

14 Melakukan 1. Mahasiswa Konsep penyakit Ceramah, Berdisiskusi, Teori: Case study Mampu 4% 10, 1
simulasi mampu dan askep Pada tbl, kuliah berpikir kritis, menjawab ,4,6,7,11,
Melakukan

2
konsep penyakit simulasi konsep sistem interaktif menjawab {tm: 1x case study 12
pada sistem penyakit pada perkemihan (3x50 mnt)
Neurobehaviou r sistem perkemihan
meliputi definisi, a. Parkinson
etiologi, b. Alzheimer
manifestasi klinik, c. CVA
patofisiologi, (Stroke)
komplikas dan
penatalaksanaan
pada kasus
Parkinson,
Alzheimer, CVA
(Stroke)
2. Mahasiswa mampu
menjelaskan
konsep asuhan
keperawatan yang
dimulai dari
pengkajian,
penetapan
diagnose
keperawatan,
intervensi
keperawatan,
implementasi
keperawatan dan
evaluasi
keperawatan pada
kasus Parkinson,
Alzheimer, CVA
(Stroke)

14 Melakukan Mahasiswa mampu Farmakologi 2% 2,5


simulasi Melakukan simulasi dan terapi diet
farmakologi farmakologi dan pada pada klien

2
dan terapi diet terapi diet pada pada klien
pada sistem sistem muskuloskeletal,
muskuloskelet muskuloskeletal, persepsi sensori,
al, persepsi persepsi sensori, neurobehaviour
sensori, neurobehaviour
neurobehaviou r

15 Melakukan Mahasiswa mampu Pendidikan Ceramah, tbl Berdisiskusi, Teori: Tes MCQ Mampu 5% 9,10,13
simulasi Melakukan simulasi kesehatan : berpikir kritis, menjawab
pendidikan pendidikan kesehatan Pencegahan menjawab {tm: 1x tes MCQ
kesehatan dengan kasus gangguan primer, sekunder (3x50 mnt)
dengan kasus system dan tersier pada
gangguan muskuloskeletal, masalah
system integumen gangguan sistem
muskuloskelet neurobehaviour pada muskuloskeletal,
al, integumen klien dewasa dengan integumen dan
neurobehaviou r memperhatikan aspek neurobehaviour.
pada klien legal dan etis Persiapan,
dewasa dengan pelaksanaan dan
memperhatika n paska
aspek legal dan pemeriksaan
etis diagnostik dan
laboratorium

Mengintegrasik Mahasiswa mampu Hasil-hasil Sgd, Berdisiskusi, Teori: Case study Mampu 5% 1,7
an hasil-hasil Mengintegrasikan penelitian discovery berpikir kritis, menganalisis
penelitian hasil-hasil penelitian tentang learning (dl), menjawab {tm: 1x jurnal
kedalam kedalam asuhan penatalaksnaan telaah jurnal, (3x50 mnt) international
asuhan keperawatan dalam gangguan maupun

2
keperawatan mengatasi masalah sistem nasional
dalam sistem muskuloskeletal,
mengatasi muskuloskeletal, integumen dan
masalah sistem integumen dan neurobehaviour.
muskuloskelet neurobehaviour
al, integumen Trend dan issue
dan terkait gangguan
neurobehaviou r sistem
muskuloskeletal,
integumen dan
neurobehaviour

16 Melakukan Mahasiswa mampu Manajemen kasus Ceramah, Berdisiskusi, Teori: Case study Mampu 5% 4,6,7,12
simulasi Melakukan simulasi pada gangguan tbl, kuliah berpikir kritis, menjawab
pengelolaan pengelolaan asuhan sistem interaktif menjawab {tm: 1x case study
asuhan keperawatan pada muskuloskeletal, (3x50 mnt)
keperawatan dengan memperhatikan integumen dan
klien dewasa aspek legal dan etis dan neurobehaviour
dengan melakukan fungsi dan peran fungsi
memperhatika advokasi dan perawat
n aspek legal komunikasi
dan etis dan
melakukan
fungsi advokasi
dan komunikasi

17 Mendemonstra Mahasiswa mampu Tetes telinga, Case Berdisiskusi, Teori: Praktik lab Case study 5% 7,8
sikan intervensi Mendemonstrasikan Body movement study, berpikir kritis, dan case
keperawatan intervensi / body mechanic, menjawab {tm: 1x study
Discovery
pada kasus keperawatan pada Pain (3x50 mnt)
learning (dl)
dengan kasus dengan management, demontrasi,
gangguan system Ambulasi dini,

3
gangguan muskuloskeletal, Fiksasi dan lab skills
system integumen dan imobilisasi,
muskuloskelet neurobehaviour Wound care,
al, integumen pada ROM exercise
dan
neurobehaviou r
pada

Uas

3
BAB II
MATERI PERKULIAHAN

2.1 ANATOMI FISIOLOGI SISTEM IMUN

Pengertian Sistem Imun

Sistem Imun (bahasa Inggris: immune system) adalah sistem pertahanan manusia
sebagai perlindungan terhadap infeksi dari makromolekul asing atau serangan organisme,
termasuk virus, bakteri, protozoa dan parasit. Sistem kekebalan juga berperan dalam
perlawanan terhadap protein tubuh dan molekul lain seperti yang terjadi pada autoimunitas,
dan melawan sel yang teraberasi menjadi tumor. Sistem kekebalan atau sistem imun adalah
sistem perlindungan pengaruh luar biologis yang dilakukan oleh sel dan organ khusus pada
suatu organisme. Jika sistem kekebalan bekerja dengan benar, sistem ini akan melindungi
tubuh terhadap infeksibakteri dan virus, serta menghancurkan sel kanker dan zat asing lain
dalam tubuh. Jikasystem kekebalan melemah, kemampuannya melindungi tubuh juga
berkurang, sehingga menyebabkan patogen, termasuk virus yang menyebabkan demam dan
flu,dapat berkembang dalam tubuh. Sistem kekebalan juga memberikan pengawasan terhadap
sel tumor, dan terhambatnya sistem ini juga telah dilaporkan meningkatkan resiko terkena
beberapa jenis kanker.

Sistem imun adalah serangkaian molekul, sel dan organ yang bekerja sama dalam
mempertahankan tubuh dari serangan luar yang dapat mengakibatkan penyakit, seperti
bakteri,jamur dan virus. Kesehatan tubuh bergantung pada kemampuan sistem imununtuk
mengenali dan menghancurkankan serangan ini. jadi kalo kelainan sistem imunberarti
kemampuan untuk mempertahankan kekebalan tubuh terganggu sehingga mudah diserang
penyakit.

32
Organ Yang Terlibat Dalam Sistem Kekebalan Tubuh

Gambar 2.1 Organ Sistem Imun

1. Nodus Limfe
Dalam tubuh manusia ada semacam angkatan kepolisian dan organisasi
intelkepolisian yang tersebar di seluruh tubuh. Pada sistem ini terdapat juga kantor-
kantor polisi dengan polisi penjaga, yang juga dapat menyiapkan polisi baru jika
diperlukan.Sistem ini adalah sistem limfatik dan kantor-kantor polisi adalah nodus
limfa. Polisidalam sistem ini adalah limfosit.Sistem limfatik ini merupakan suatu
keajaiban yang bekerja untuk kemanfaatan bagiumat manusia. Sistem ini terdiri atas
pembuluh limfatik yang terdifusi di seluruh tubuh, nodus limfa yang terdapat di
beberapa tempat tertentu pada pembuluh limfatik, limfosit yang diproduksi oleh
nodus limfa dan berpatroli di sepanjang pembuluh limfatik, serta cairan getah bening
tempat limfosit berenang di dalamnya, yang bersirkulasi dalam pembuluh limfatik.

Cara kerja sistem ini adalah sebagai berikut: Cairan getah bening dalam pembuluh
limfatik menyebar di seluruh tubuh dan berkontak dengan jaringan yang berada
disekitar pembuluh limfatik kapiler. Cairan getah bening yang kembali ke pembuluh
limfatik sesaat setelah melaku-kan kontak ini membawa serta informasi mengenai

33
jaringan tadi. Infor-masi ini diteruskan ke nodus limfatik terdekat pada pembuluh
limfatik. Jika pada jaringan mulai merebak permusuhan, pengetahuan ini akan
diteruskan ke nodus limfa melalui cairan getah bening.
2. Timus
Selama bertahun-tahun timus dianggap sebagai organ vestigial atau organ yang
belumberkembang sempurna dan oleh para ilmuwan evolusionis dimanfaatkan
sebagai bukti evolusi. Namun demikian, pada tahun-tahun belakangan ini, telah
terungkap bahwa organ ini merupakan sumber dari sistem pertahanan kita.
3. Sumsum Tulang
Sumsum tulang janin di rahim ibunya tidak sepenuhnya mampu memenuhi fungsinya
memproduksi sel-sel darah. Sumsum tulang mam-pu mengerjakan tugas ini hanya
setelah lahir. Akankah bayi ini terkena anemia saat di dalam kandungan ? Tidak. Pada
tahap ini, limpa akan bermain dan memegang kendali. Merasakan bahwa tubuh mem-
butuhkan sel darah merah, trombosit, dan granulosit, maka limpa mulai memproduksi
sel-sel ini selain memproduksi limfosit yang merupakan tugas utamanya.
4. Limpa
Unsur menakjubkan lainnya dari sistem pertahanan kita adalah limpa. Limpa terdiri
dari dua bagian: pulp merah dan pulp putih. Limfosit yang baru dibuat di pulp putih
mula-mula dipindahkan ke pulp merah, lalu mengikuti aliran darah. Kajian saksama
mengenai tugas yang dilak-sanakan organ berwarna merah tua di bagian atas
abdomen ini menying-kapkan gambaran luar biasa. Fungsinya yang sangat sulit dan
rumitlah yangmembuatnya sangat menakjubkan.Keterampilan limpa tidak hanya itu.
Limpa menyimpan sejumlah ter-tentu sel darah (sel darah merah dan trombosit). Kata
“menyimpan” mungkin menimbulkan kesan seakanada ruang terpisah dalam limpa
yang dapat dijadikan tempat penyimpanan. Padahal limpa adalah organ kecil yang tak
memiliki tempat untuk sebuah gudang. Dalam kasusini limpa mengembang supaya
ada tempat tersedia untuk sel darah merah dantrombosit. Limpa yang mengembang
disebabkan oleh suatu penyakit jugamemungkinkan memiliki ruang penyimpanan
yang lebih besar.

Pembentukan Dan Perkembangan Sistem Imun dan Sel-Sel Darah Dari Janin Hingga
Lansia.
 Usia janin minggu pertama Kehidupan embrio sel darah premitif yang berinti
diproduksi dalam yolk sac.

34
 Usia janin minggu keduaPembentukkan terjadi pada pulau-pulau darah di
sakus vitelinus/yolk sac (kantungkuning telur). Pada minggu kedua ini
terbentuk eritrosit premitif (sel yang masih berinti).
 Usia janin minggu ke-empatJanin mulai membentuk struktur manusia. Saat ini
telah terjadi pembentukkanotak,sumsum tulang dan tulang belakang serta
jantung dan aorta.
 Usia janin minggu ke-limaPada minggu ke lima terbentuknya 3 lapisan yaitu
lapisan ectoderm,mesoderm, danendoderm. Hati yang sebagai organ utama
untuk memproduksi sel-sel darah merahterbentuk pada minggu-minggu ini
yang termasuk dalam lapisan endoderm.
 Usia janin minggu ke-enamPembentukkan terjadi pada hepar dan lien juga
pada timus (pembentukan limfosit). Pada minggu-minggu ini juga terbentuk
eritrosit yang sesungguhnya (sudah tidak berinti) juga terbentuk semi
granulosit dan tromobosit. Selain itu juga limfosit (daritimus).
 Usia janin minggu ke-lima belasPada minggu-minggu ini tulang dan sumsung
tulang terus berkembang.
 Usia janin minggu ke-enam belasPembentukkan terjadi pada sumsung tulang
karena sudah terjadi prosesosifikasi (pembentukan tulang). Tapi ada juga yang
menyebutkan kalau terjadi dimedulolimfatik (di medulla spinalis dan
limfonodi). Tapi limfonodi ini untuk maturasi. Dan pada minggu ke enambelas
ini sudah terbentuk darah lengkap.

Pada dasarnya sumsum tulang dari semua tulang memproduksi sel darah merah
sampai seseorang berusia 5 tahun; tetapi sumsum dari tulang panjang, kecuali
proksimal humerus dan tibia, menjadi sangat berlemak dan tidak memproduksi lagi
setelah kurang lebih berusia 20 tahun.i. Di atas umur 20 tahun, kebanyakan sel darah
merah diproduksi dalam sumsum tulang membranosa, seperti vertebra, sternum, iga
dan ilium. Sehingga bertambahnya usiatulang-tulang ini sumsum menjadi kurang
produktif.

Fungsi dari Sistem Imun

 SumsumSemua sel sistem kekebalan tubuh berasal dari sel-sel induk dalam
sumsumtulang. Sumsum tulang adalah tempat asal sel darah merah, sel darah

35
putih (termasuklimfosit dan makrofag) dan platelet. Sel-sel dari sistem
kekebalan tubuh juga terdapat ditempat lain.
 Timus Dalam kelenjar timus sel-sel limfoid mengalami proses pematangan
sebelumlepas ke dalam sirkulasi. Proses ini memungkinkan sel T untuk
mengembangkan atributpenting yang dikenal sebagai toleransi diri.
 Getah bening Kelenjar getah bening berbentuk kacang kecil terbaring di
sepanjang perjalananlimfatik. Terkumpul dalam situs tertentu seperti leher,
axillae, selangkangan dan para-aorta daerah. Pengetahuan tentang situs
kelenjar getah bening yang penting dalampemeriksaan fisik pasien.
 Mukosa jaringan limfoid terkait (MALT). Di samping jaringan limfoid
berkonsentrasi dalam kelenjar getah bening danlimpa, jaringan limfoid juga
ditemukan di tempat lain, terutama saluran pencernaan,saluran pernafasan dan
saluran urogenital.
 Mekanisme Pertahanan non Spesifik
Dilihat dari caranya diperoleh, mekanisme pertahanan non spesifik disebut
juga respons imun alamiah. Yang merupakan mekanisme pertahanan
nonspesifik tubuh kita adalah kulit dengan kelenjarnya, lapisan mukosa
dengan enzimnya,serta kelenjar lain dengan enzimnya seperti kelenjar air
mata.Demikian pula sel fagosit (sel makrofag, monosit, polimorfonuklear)
dankomplemen merupakan komponen mekanisme pertahanan non spesifik.
 Mekanisme Pertahanan Spesifik
Bila pertahanan non spesifik belum dapat mengatasi invasi
mikroorganismemaka imunitas spesifik akan terangsang. Mekanisme
pertahanan spesifik adalahmekanisme pertahanan yang diperankan oleh sel
limfosit, dengan atau tanpabantuan komponen sistem imun lainnya seperti sel
makrofag dan komplemen
Dilihat dari caranya diperoleh maka mekanisme pertahanan spesifik disebut
juga respons imun didapat. Mekanisme Pertahanan Spesifik (Imunitas
Humoral dan Selular)
 Imunitas humoral adalah imunitas yang diperankan oleh sel limfosit B
denganatau tanpa bantuan sel imunokompeten lainnya. Tugas sel B akan
dilaksanakanoleh imunoglobulin yang disekresi oleh sel plasma. Terdapat lima
kelasimunoglobulin yang kita kenal, yaitu IgM, IgG, IgA, IgD, dan IgE.

36
Imunitas selular didefinisikan sebagai suatu respons imun terhadap antigen
yangdiperankan oleh limfosit T dengan atau tanpa bantuan komponen sistem
imunlainnya.

Antibodi (Immunoglobulin)

Antibodi (bahasa Inggris:antibody, gamma globulin)adalah glikoprotein


dengan struktur tertentu yang disekresi dari pencerap limfosit-B yang telah teraktivasi
menjadisel plasma, sebagai respon dari antigen tertentu dan reaktif terhadap antigen
tersebut. Pembagian Immunglobulin Antibodi A (bahasa Inggris: Immunoglobulin A,
IgA) adalah antibodi yang memainkan peran penting dalam imunitas mukosis
(en:mucosal immune). IgA banyak ditemukan pada bagian sekresi tubuh (liur, mukus,
air mata, kolostrum dan susu) sebagai sIgA (en:secretory IgA) dalam perlindungan
permukaan organ tubuh yang terpapar dengan mencegah penempelan bakteri dan
virus ke membran mukosa. Kontribusi fragmen konstan sIgA dengan ikatan
komponen mukus memungkinkan pengikatan mikroba.

Antibodi D (bahasa Inggris: Immunoglobulin D, IgD) adalah sebuah monomer


dengan fragmen yang dapat mengikat 2 epitop. IgD ditemukan pada permukaan
pencerap sel B bersama dengan IgM atau sIga, tempat IgD dapat mengendalikan
aktivasi dan supresi sel B. IgD berperan dalam mengendalikan produksi
autoantibodisel B. Rasio serum IgD hanya sekitar 0,2%.

Antibodi E (bahasa Inggris: antibody E, immunoglobulin E, IgE) adalah jenis


antibodi yang hanya dapat ditemukan pada mamalia. IgE memiliki peran yang besar
pada alergi terutama pada hipersensitivitas tipe 1. IgE juga tersirat dalam sistem
kekebalan yang merespon cacing parasit (helminth) seperti Schistosoma
mansoni,Trichinella spiralis, dan Fasciola hepatica, serta terhadap parasit protozoa
tertentu seperti Plasmodium falciparum, dan artropoda.

Antibodi G (bahasa Inggris: Immunoglobulin G, IgG) adalah antibodi


monomerisyang terbentuk dari dua rantai berat dan rantai ringan , yang saling
mengikat dengan ikatan disulfida, dan mempunyai dua fragmen antigen-binding.
Populasi IgG palingtinggi dalam tubuh dan terdistribusi cukup merata di dalam darah

37
dan cairan tubuhdengan rasio serum sekitar 75% pada manusia dan waktu paruh 7
hingga 23 haribergantung pada sub-tipe.

Antibodi M (bahasa Inggris: Immunoglobulin M, IgM, macroglobulin) adalah


antibodi dasar yang berada pada plasma B. Dengan rasio serum 13%, IgM merupakan
antibodi dengan ukuran paling besar, berbentuk pentameris 10 area epitop
pengikat,dan teredar segera setelah tubuh terpapar antigen sebagai respon imunitas
awal(en:primary immune response) pada rentang waktu paruh sekitar 5 hari. Bentuk
monomeris dari IgM dapat ditemukan pada permukaan limfosit- B dan reseptor sel-
B.IgM adalah antibodi pertama yang tercetus pada 20 minggu pertama masa janin
kehidupan seorang manusia dan berkembang secara fitogenetik
(en:phylogenetic).Fragmen konstan IgM adalah bagian yang menggerakkan lintasan
komplemen klasik

Gambar 2.2 Imunitas Seluler Dan Humoral

38
2.2 LAPORAN PENDAHULUAN ALERGI DERMATITIS KONTAK

A. DEFINISI
Alergi Dermatitis Kontak atau sering disebut eksema, atau eksim adalah peradangan
hebat yang menyebabkan pembentukan lepuh atau gelembung kecil (vesikel)
pada kulit hingga akhirnya pecah dan mengeluarkan cairan. Istilah eksim juga digunakan
untuk sekelompok kondisi yang menyebabkan perubahan pola pada kulit dan menimbulkan
perubahan spesifik di bagian permukaan. Istilah ini diambil dari Bahasa Yunani yang berarti
'mendidih atau mengalir keluar (Mitchell dan Hepplewhite, 2005)
Dermatitis adalah peradangan kulit epidermis dan dermis sebagai respon terhadap
pengaruh faktor eksogen atau faktor endogen, menimbulkan kelainan klinis berubah eflo-
resensi polimorfik (eritema, edema,papul, vesikel, skuama, dan keluhan gatal) (Adhi
Juanda,2005).
Dermatitis atau lebih dikenal sebagai eksim merupakan penyakit kulit yang
mengalami peradangan kerena bermacam sebab dan timbul dalam berbagai jenis, terutama
kulit yang kering, umumnya berupa pembengkakan, memerah, dan gatal pada kulit (Widhya,
2011).

B. KLASIFIKASI
Dermatitis muncul dalam beberapa jenis, yang masing-masing memiliki indikasi dan gejala
berbeda:
a. Contact Dermatitis
Dermatitis kontak adalah dermatitis yang disebabkan oleh bahan/substansi yang
menempel pada kulit. (Adhi Djuanda,2005)
Dermatitis yang muncul dipicu alergen (penyebab alergi) tertentu seperti racun yang
terdapat pada tanaman merambat atau detergen. Indikasi dan gejala antara kulit
memerah dan gatal. Jika memburuk, penderita akan mengalami bentol-bentol yang
meradang. Disebabkan kontak langsung dengan salah satu penyebab iritasi pada kulit
atau alergi. Contohnya sabun cuci/detergen, sabun mandi atau pembersih lantai.
Alergennya bisa berupa karet, logam, perhiasan, parfum, kosmetik atau rumput.
b. Neurodermatitis
Peradangan kulit kronis, gatal, sirkumstrip, ditandai dengan kulit tebal dan garis kulit
tampak lebih menonjol(likenifikasi) menyerupai kulit batang kayu, akibat garukan

39
atau gosokan yang berulang-ulang karena berbagai ransangan pruritogenik. (Adhi
Djuanda,2005)
Timbul karena goresan pada kulit secara berulang, bisa berwujud kecil, datar dan
dapat berdiameter sekitar 2,5 sampai 25 cm. Penyakit ini muncul saat sejumlah
pakaian ketat yang kita kenakan menggores kulit sehingga iritasi. Iritasi ini memicu
kita untuk menggaruk bagian yang terasa gatal. Biasanya muncul pada pergelangan
kaki, pergelangan tangan, lengan dan bagian belakang dari leher.
c. Seborrheich Dermatitis
Kulit terasa berminyak dan licin; melepuhnya sisi-sisi dari hidung, antara kedua alis,
belakang telinga serta dada bagian atas. Dermatitis ini seringkali diakibatkan faktor
keturunan, muncul saat kondisi mental dalam keadaan stres atau orang yang
menderita penyakit saraf seperti Parkinson.
d. Statis Dermatitis
Merupakan dermatitis sekunder akibat insufisiensi kronik vena(atau hipertensi vena)
tungkai bawah. (Adhi Djuanda,2005)
Yang muncul dengan adanya varises, menyebabkan pergelangan kaki dan tulang
kering berubah warna menjadi memerah atau coklat, menebal dan gatal. Dermatitis
muncul ketika adanya akumulasi cairan di bawah jaringan kulit. Varises dan kondisi
kronis lain pada kaki juga menjadi penyebab.
e. Atopic Dermatitis
Merupakan keadaan peradangan kulit kronis dan resitif, disertai gatal yang umumnya
sering terjadi selama masa bayi dan anak-anaka, sering berhubungan dengan
peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi pada keluarga atau
penderita(D.A, rinitis alergik, atau asma bronkial).kelainan kulit berupa papul gatal
yang kemudian mengalami ekskoriasi dan likenifikasi, distribusinya
dilipatan(fleksural). (Adhi Djuanda,2005)
Dengan indikasi dan gejala antara lain gatal-gatal, kulit menebal, dan pecah-pecah.
Seringkali muncul di lipatan siku atau belakang lutut. Dermatitis biasanya muncul
saat alergi dan seringkali muncul pada keluarga, yang salah satu anggota keluarga
memiliki asma. Biasanya dimulai sejak bayi dan mungkin bisa bertambah atau
berkurang tingkat keparahannya selama masa kecil dan dewasa.

40
C. ETIOLOGI
Penyebab dermatitis dapat berasal dari luar(eksogen), misalnya bahan kimia (contoh :
detergen,asam, basa, oli, semen), fisik (sinar dan suhu), mikroorganisme (contohnya : bakteri,
jamur) dapat pula dari dalam(endogen), misalnya dermatitis atopik.(Adhi Djuanda,2005)
Sejumlah kondisi kesehatan, alergi, faktor genetik, fisik, stres, dan iritasi dapat
menjadi penyebab eksim. Masing-masing jenis eksim, biasanya memiliki penyebab berbeda
pula. Seringkali, kulit yang pecah-pecah dan meradang yang disebabkan eksim menjadi
infeksi. Jika kulit tangan ada strip merah seperti goresan, kita mungkin mengalami selulit
infeksi bakteri yang terjadi di bawah jaringan kulit. Selulit muncul karena peradangan pada
kulit yang terlihat bentol-bentol, memerah, berisi cairan dan terasa panas saat disentuh dan
.Selulit muncul pada seseorang yang sistem kekebalan tubuhnya tidak bagus. Segera periksa
ke dokter jika kita mengalami selulit dan eksim.

D. PATOFISIOLOGI
Pada dermatitis kontak iritan kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang
disebabkan oleh bahan iritan melalui kerja kimiawi maupun fisik. Bahan iritan merusak
lapisan tanduk, dalam beberapa menit atau beberapa jam bahan-bahan iritan tersebut akan
berdifusi melalui membran untuk merusak lisosom, mitokondria dan komponen-komponen
inti sel. Dengan rusaknya membran lipid keratinosit maka fosfolipase akan diaktifkan dan
membebaskan asam arakidonik akan membebaskan prostaglandin dan leukotrin yang akan
menyebabkan dilatasi pembuluh darah dan transudasi dari faktor sirkulasi dari komplemen
dan system kinin. Juga akan menarik neutrofil dan limfosit serta mengaktifkan sel mast yang
akan membebaskan histamin, prostaglandin dan leukotrin. PAF akan mengaktivasi platelets
yang akan menyebabkan perubahan vaskuler. Diacil gliserida akan merangsang ekspresi gen
dan sintesis protein. Pada dermatitis kontak iritan terjadi kerusakan keratisonit dan keluarnya
mediator- mediator. Sehingga perbedaan mekanismenya dengan dermatis kontak alergik
sangat tipis yaitu dermatitis kontak iritan tidak melalui fase sensitisasi.Ada dua jenis bahan
iritan yaitu : iritan kuat dan iritan lemah. Iritan kuat akan menimbulkan kelainan kulit pada
pajanan pertama pada hampir semua orang, sedang iritan lemah hanya pada mereka yang
paling rawan atau mengalami kontak berulang-ulang. Faktor kontribusi, misalnya
kelembaban udara, tekanan, gesekan dan oklusi, mempunyai andil pada terjadinya kerusakan
tersebut.
Pada dermatitis kontak alergi, ada dua fase terjadinya respon imun tipe IV yang
menyebabkan timbulnya lesi dermatitis ini yaitu :

41
a.Fase Sensitisasi
Fase sensitisasi disebut juga fase induksi atau fase aferen. Pada fase ini terjadi sensitisasi
terhadap individu yang semula belum peka, oleh bahan kontaktan yang disebut alergen
kontak atau pemeka. Terjadi bila hapten menempel pada kulit selama 18-24 jam kemudian
hapten diproses dengan jalan pinositosis atau endositosis oleh sel LE (Langerhans
Epidermal), untuk mengadakan ikatan kovalen dengan protein karier yang berada di
epidermis, menjadi komplek hapten protein. Protein ini terletak pada membran sel
Langerhans dan berhubungan dengan produk gen HLA-DR (Human Leukocyte Antigen-DR).
Pada sel penyaji antigen (antigen presenting cell). Kemudian sel LE menuju duktus
Limfatikus dan ke parakorteks Limfonodus regional dan terjadilah proses penyajian antigen
kepada molekul CD4+ (Cluster of Diferantiation 4+) dan molekul CD3. CD4+berfungsi
sebagai pengenal komplek HLADR dari sel Langerhans, sedangkan molekul CD3 yang
berkaitan dengan protein heterodimerik Ti (CD3-Ti), merupakan pengenal antigen yang lebih
spesifik, misalnya untuk ion nikel saja atau ion kromium saja. Kedua reseptor antigen
tersebut terdapat pada permukaan sel T. Pada saat ini telah terjadi pengenalan antigen
(antigen recognition). Selanjutnya sel Langerhans dirangsang untuk mengeluarkan IL-1
(interleukin-1) yang akan merangsang sel T untuk mengeluarkan IL-2. Kemudian IL-2 akan
mengakibatkan proliferasi sel T sehingga terbentuk primed me mory T cells, yang akan
bersirkulasi ke seluruh tubuh meninggalkan limfonodi dan akan memasuki fase elisitasi bila
kontak berikut dengan alergen yang sama. Proses ini pada manusia berlangsung selama 14-21
hari, dan belum terdapat ruam pada kulit. Pada saat ini individu tersebut telah tersensitisasi
yang berarti mempunyai resiko untuk mengalami dermatitis kontak alergik.
b.Fase elisitasi
Fase elisitasi atau fase eferen terjadi apabila timbul pajanan kedua dari antigen yang sama
dan sel yang telah tersensitisasi telah tersedia di dalam kompartemen dermis. Sel Langerhans
akan mensekresi IL-1 yang akan merangsang sel T untuk mensekresi Il-2. Selanjutnya IL-2
akan merangsang INF (interferon) gamma. IL-1 dan INF gamma akan merangsang keratinosit
memproduksi ICAM-1 (intercellular adhesion molecule-1) yang langsung beraksi dengan
limfosit T dan lekosit, serta sekresi eikosanoid. Eikosanoid akan mengaktifkan sel mast dan
makrofag untuk melepaskan histamin sehingga terjadi vasodilatasi dan permeabilitas yang
meningkat. Akibatnya timbul berbagai macam kelainan kulit seperti eritema, edema dan
vesikula yang akan tampak sebagai dermatitis.
Proses peredaan atau penyusutan peradangan terjadi melalui beberapa mekanisme
yaitu proses skuamasi, degradasi antigen oleh enzim dan sel, kerusakan sel Langerhans dan

42
sel keratinosit serta pelepasan Prostaglandin E-1dan 2 (PGE-1,2) oleh sel makrofag akibat
stimulasi INF gamma. PGE-1,2 berfungsi menekan produksi IL-2R sel T serta mencegah
kontak sel T dengan keratisonit. Selain itu sel mast dan basofil juga ikut berperan dengan
memperlambat puncak degranulasi setelah 48 jam paparan antigen, diduga histamin berefek
merangsang molekul CD8 (+) yang bersifat sitotoksik. Dengan beberapa mekanisme lain,
seperti sel B dan sel T terhadap antigen spesifik, dan akhirnya menekan atau meredakan
peradangan.

E. MANIFESTASI KLINIK
Subyektif ada tanda–tanda radang akut terutama priritus ( sebagai pengganti dolor).
Selain itu terdapat pula kenaikan suhu (kalor), kemerahan (rubor), edema atau pembengkakan
dan gangguan fungsi kulit (function laisa).Obyektif, biasanya batas kelainan tidak tgas an
terdapt lesi polimorfi yang dapat timbul scara serentak atau beturut-turut. Pada permulaan
eritema dan edema.Edema sangat jelas pada klit yang longgar misalya muka (terutama
palpebra dan bibir) dan genetelia eksterna .Infiltrasi biasanya terdiri atas papul.
Dermatitis madidans (basah) bearti terdapat eksudasi.Disana-sini terdapat sumber
dermatitis, artinya terdapat Vesikel-veikel fungtiformis yang berkelompok yang kemudian
membesar. Kelainan tersebut dapat disertai bula atau pustule, jika disertai infeksi.Dermatitis
sika (kering) berarti tiak madidans bila gelembung-gelumbung mongering maka akan terlihat
erosi atau ekskoriasi dengan krusta. Hal ini berarti dermatitis menjadi kering disebut ematiti
sika.Pada stadium tersebut terjadi deskuamasi, artinya timbul sisik. Bila proses menjadi
kronis tapak likenifikasi dan sebagai sekuele telihat hiperpigmentai tau hipopigmentasi.

43
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
 Darah : Hb, leukosit, hitung jenis, trombosit, elektrolit, protein total, albumin,
globulin

 Urin : pemerikasaan histopatologi


2. Penunjang (pemeriksaan Histopatologi)
Pemeriksaan ini tidak memberi gambaran khas untuk diagnostik karena gambaran
histopatologiknya dapat juga terlihat pada dermatitis oleh sebab lain. Pada dermatitis
akut perubahan pada dermatitis berupa edema interseluler (spongiosis), terbentuknya
vesikel atau bula, dan pada dermis terdapat dilatasi vaskuler disertai edema dan
infiltrasi perivaskuler sel-sel mononuclear. Dermatitis sub akut menyerupai bentuk
akut dengan terdapatnya akantosis dan kadangkadang parakeratosis. Pada dermatitis
kronik akan terlihat akantosis, hiperkeratosis, parakeratosis, spongiosis ringan, tidak
tampak adanya vesikel dan pada dermis dijumpai infiltrasi perivaskuler, pertambahan
kapiler dan fibrosis. Gambaran tersebut merupakan dermatitis secara umum dan
sangat sukar untuk membedakan gambaran histopatologik antara dermatitis kontak
alergik dan dermatitis kontak iritan.
Pemeriksaan ultrastruktur menunjukkan 2-3 jam setelah paparan antigen, seperti
dinitroklorbenzen (DNCB) topikal dan injeksi ferritin intrakutan, tampak sejumlah
besar sel langerhans di epidermis. Saat itu antigen terlihat di membran sel dan di
organella sel Langerhans. Limfosit mendekatinya dan sel Langerhans menunjukkan
aktivitas metabolik. Berikutnya sel langerhans yang membawa antigen akan tampak
didermis dan setelah 4-6 jam tampak rusak dan jumlahnya di epidermis berkurang.
Pada saat yang sama migrasinya ke kelenjar getah bening setempat meningkat.
Namun demikian penelitian terakhir mengenai gambaran histologi, imunositokimia
dan mikroskop elektron dari tahap seluler awal pada pasien yang diinduksi alergen
dan bahan iritan belum berhasil menunjukkan perbedaan dalam pola peradangannya.

44
F. PENATALAKSANAAN
Pada prinsipnya penatalaksanaan yang baik adalah mengidentifikasi penyebab dan
menyarankan pasien untuk menghindarinya, terapi individual yang sesuai dengan tahap
penyakitnya dan perlindungan pada kulit
a. Pencegahan
Merupakan hal yang sangat penting pada penatalaksanaan dermatitis kontak iritan dan
kontak alergik. Di lingkungan rumah, beberapa hal dapat dilaksanakan misalnya
penggunaan sarung tangan karet di ganti dengan sarung tangan plastik, menggunakan
mesin cuci, sikat bergagang panjang, penggunaan deterjen.
b. Pengobatan
 Pengobatan topikal
Obat-obat topikal yang diberikan sesuai dengan prinsip-prinsip umum
pengobatan dermatitis yaitu bila basah diberi terapi basah (kompres terbuka),
bila kering berikan terapi kering. Makin akut penyakit, makin rendah
prosentase bahan aktif. Bila akut berikan kompres, bila subakut diberi losio,
pasta, krim atau linimentum (pasta pendingin ), bila kronik berikan salep. Bila
basah berikan kompres, bila kering superfisial diberi bedak, bedak kocok,
krim atau pasta, bila kering di dalam, diberi salep. Medikamentosa topikal
saja dapat diberikan pada kasus-kasus ringan. Jenis-jenisnya adalah :
 Kortikosteroid
Kortikosteroid mempunyai peranan penting dalam sistem imun. Pemberian
topikal akan menghambat reaksi aferen dan eferen dari dermatitis kontak
alergik. Steroid menghambat aktivasi dan proliferasi spesifik antigen. Ini
mungkin disebabkan karena efek langsung pada sel penyaji antigen dan sel T.
Pemberian steroid topikal pada kulit menyebabkan hilangnya molekul CD1
dan HLA-DR sel Langerhans, sehingga sel Langerhans kehilangan fungsi
penyaji antigennya. Juga menghalangi pelepasan IL-2 oleh sel T, dengan
demikian profilerasi sel T dihambat. Efek imunomodulator ini meniadakan
respon imun yang terjadi dalam proses dermatitis kontak dengan demikian
efek terapetik. Jenis yang dapat diberikan adalah hidrokortison 2,5 %,
halcinonid dan triamsinolon asetonid. Cara pemakaian topikal dengan
menggosok secara lembut. Untuk meningkatan penetrasi obat dan
mempercepat penyembuhan, dapat dilakukan secara tertutup dengan film

45
plastik selama 6-10 jam setiap hari. Perlu diperhatikan timbulnya efek
samping berupa potensiasi, atrofi kulit dan erupsi akneiformis.
c. Radiasi ultraviolet
Sinar ultraviolet juga mempunyai efek terapetik dalam dermatitis kontak melalui
sistem imun. Paparan ultraviolet di kulit mengakibatkan hilangnya fungsi sel
Langerhans dan menginduksi timbulnya sel panyaji antigen yang berasal dari sumsum
tulang yang dapat mengaktivasi sel T supresor. Paparan ultraviolet di kulit
mengakibatkan hilangnya molekul permukaan sel langehans (CDI dan HLA-DR),
sehingga menghilangkan fungsi penyaji antigennya. Kombinasi 8-methoxy-psoralen
dan UVA (PUVA) dapat menekan reaksi peradangan dan imunitis. Secara imunologis
dan histologis PUVA akan mengurangi ketebalan epidermis, menurunkan jumlah sel
Langerhans di epidermis, sel mast di dermis dan infiltrasi mononuklear. Fase induksi
dan elisitasi dapat diblok oleh UVB. Melalui mekanisme yang diperantarai TNF maka
jumlah HLA- DR + dari sel Langerhans akan sangat berkurang jumlahnya dan sel
Langerhans menjadi tolerogenik. UVB juga merangsang ekspresi ICAM-1 pada
keratinosit dan sel Langerhans.

G. KOMPLIKASI
a. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
b. Infeksi sekunder khususnya oleh Stafilokokus aureus
c. hiperpigmentasi atau hipopigmentasi post inflamasi
d. jaringan parut muncul pada paparan bahan korosif atau ekskoriasi
e. Infeksi kulit karena bakteri atau jamur.
f. Neurodermatitis akibat terus menerus menggaruk kulit.
g. Kualitas hidup menurun karena gejala dermatitis kontak yang mengganggu aktivitas

46
DAFTAR PUSTAKA

Djuanda S, Sularsito. (2005). SA. Dermatitis In: Djuanda A, ed Ilmu penyakit kulit dan
kelamin. Edisi III. Jakarta: FK UI: 126-31.
Johnson, M., et all. 2002. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New
Jersey: Upper Saddle River

Mc Closkey, C.J., et all. 2002. Nursing Interventions Classification (NIC) Second


Edition. New Jersey: Upper Saddle River

NANDA, 2012, Diagnosis Keperawatan NANDA : Definisi dan Klasifikasi.

Price, A. Sylvia.2006 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit edisi 4. Penerbit


Buku Kedokteran EGC.
Smeltzer, Suzanne C. (2002). Buku ajar medikal bedah Brunner Suddarth/Brunner Suddarth’s
Texbook of Medical-surgical. Alih Bahasa:Agung Waluyo…..(et.al.). ed 8 Vol 3
Jakarta: EGC.
Widhya. (2011). Askep Dermatitis. Diaskes pada tanggal 28 April 2012
pada http:///D:/LAPORAN%20POROFESI%20NERS%202012/MEDICAL%20BE
DAH/SUMBER%20DERMATITIS/askep-dermatitis.html

47
2.3 LAPORAN PENDAHULUAN URTIKARIA
A. DEFINISI
Urtikaria atau biduran adalah penyakit alergi yang sangat mengganggu dan
membuat penderita atau dokter kadang frustasi. Frustasi karena pada keadaan tertentu
gangguan ini sering hilang timbul tanpa dapat diketahui secara pasti penyebabnya.
Kesulitan mencari penyebab ini terjadi karena faktor yang berpengaruh sangat banyak
dan sulit dipastikan. Secara umum yang mendasari utama biasanya adalah penderita
memang punya bakat alergi kulit yang didasari oleh alergi makanan dan dipicu oleh
hilang timbulnya infeksi virus dalam tubuh (gejalanya demam, sumeng atau tanpa
demam, pilek, badan pegal (sering dikira kecapekan), batuk atau gangguan saluran
cerna).
Urtikaria adalah lesi sementara yang terdiri dari bentol sentral yang dikelilingi
oleh haloeritematosa. Lesi tersendiri adalah bulat, lonjong, atau berfigurata, dan
seringkali menimbulkan rasa gatal. (Harrison, 2005)
Urtikaria, yang dikenal dengan hives, terdiri atas plak edematosa (wheal) yang
terkait dengan gatal yang hebat (pruritus). Urtikaria terjadi akibat pelepasan histamine
selama respons peradangan terhadap alegi sehingga individu menjadi tersensitisasi.
Urtikaria kronis dapat menyertai penyakit sistemik seperti hepatitis, kanker atau
gangguan tiroid. (Elizabeth, 2007)
Urtikaria merupakan istilah klinis untuk suatu kelompok kelainan yang
ditandai dengan adanya pembentukan “bilur-bilur” – pembekakan kulit yang dapat
hilang tanpa meninggalkan bekas yang terlihat. Pada umumnya kita semua pernah
merasakan salah satu bentuk urtikaria akibat jath (atau didorong) hingga gatal-gatal.
Gambaran patologis yang utama adalah didapatkannya edema dermal akibat
terjadinya dilatasi vascular, seringkali sebagai respons terhadap histamine (dan
mungkin juga mediator-mediator yang lain) yang dilepas oleh sel mast.(Tony, 2005)

B. KLASIFIKASI
a. URTIKARIA AKUT
Urtikaria akut hanya berlansung selama beberapa jam atau beberapa hari. yang
sering terjadi penyebabnya adalah:
 adanya kontak dengan tumbuhan ( misalnya jelatang ), bulu
binatang/makanan.

48
 akibat pencernaan makanan, terutama kacang-kacangan, kerangan-kerangan
dan strouberi.
 akibat memakan obat misalnya aspirin dan penisilin.
b. URTIKARIA KRONIS
Biasanya berlangsung beberapa minggu, beberapa bulan, atau beberapa tahun.
pada bentuk urtikaria ini jarang didapatkan adanya faktor penyebab tunggal.
c. URTIKARIA PIGMENTOSA
Yaitu suatu erupsi pada kulit berupa hiperpigmentasi yang berlangsung sementara,
kadang-kadang disertai pembengkakan dan rasa gatal.
d. URTIKARIA SISTEMIK ( PRURIGO SISTEMIK )
Adalah suatu bentuk prurigo yang sering kali terjadi pada bayi kelainan khas
berupa urtikaria popular yaitu urtikaria yang berbentuk popular-popular yang
berwarna kemerahan.

C. ETIOLOGI
Berdasarkan kasus-kasus yang ada, paling banyak urtikaria di sebabkan oleh alergi,
baik alergi makanan, obat-obatan, dll.
 Obat
Bermacam-macam obat dapat menimbulkan urtikaria,baik secara imulogik
maupun imunologik,hampit semua obat dapat menimbulkan urtikaria secara
imunologik tipe I dan II.contohnya adalah obat-obat tipe
penicilin,sulfonamid,analgesik,pencahar,hormon dan diuretik.aspirin
menimbulkan urtikaria karena menghambat sintesis prostaglandin dari asam
arakidonat.
 Makanan
Peranan makanan ternyata lebih penting pada urtikaria yang akut,umumnya
akibat reaksi imunolgik,makanan berupa protein atau bahan lain yang di
campurkan ke dalam nya seperti zat warna,penyedap rasa,atau bahan
pengawet.sering menimbulkan urtikaria.
 Gigitan/sengatan serangga
Gigitan serangga dapat menimbulkan urtikaria setempat,agaknya hal ini di
perantarai oleh IgE(tipe I) dan tipe seluler(tipe IV).nyamuk,lebah dan

49
serangga lainnya menimbulkan urtikaria bentuk papul di sekitar tempat
gigitan,biasanya sembuh sendiri.
 Bahan Fotosensitizer
Bahan semacam ini,biasanya griseofulvin,Fenotiazin,sulfonamid,bahan
kosmetik,dan sabun germisid.
 Trauma fisik
Dapat di akibatkan oleh faktor dingin,yakni berenang atau memegang benda
dingin,Faktor panas misalnya sinar matahari,radiasi dan pana
pembakaran.Faktor tekanan yaitu,goresan,pakaian ketat,ikat pinggang,dan
tekanan berulang-ulang yakni,pijatan,keringan,pekerjaan berat dan demam.
 Infeksi dan infestasi
Bermacam-macam infeksi misalnya infeksi bakteri,virus,jamur,maupun
infestasi parasit.infeksi oleh bakteri contohnya infeksi pada tonsil,infeksi
gigi,dan sinusitis,dan infestasi cacing pita,cacing tambang,dapat menyababkan
urtikaria.

D. PATOFISIOLOGI
Sebenarnya patofisiologi dari urtikaria ini sendiri mirip dengan reaksi
hipersensifitas.
Pada awalnya alergen yang menempel pada kulit merangsang sel mast untuk
membentuk antibodi IgE, setelah terbentuk, maka IgE berikatan dengan sel mast.
Setelah itu, pada saat terpajan untuk yang kedua kalinya, maka alergen akan berikatan
dengan igE yang sudah berikatan dengan sel mast sebelumnya. Akibat dari ikatan
tersebut, maka akan mengubah kestabilan dari isi sel mast yang mengakibatkan sel
mast akan mengalami degranulasi dan pada akhirnya sel mast akan mengekuarkan
histamin yang ada di dalamnya. Perlu diketahui bahwa sanya sel mast adalah mediator
kimia yang dapat menyebabkan gejala yang terjadi pada seseorang yang mengalami
urtikaria.
Pada urtikaria, maka gejala yang akan terjadi dapat meliputi merah, gatal dan
sedikit ada benjolan pada permukaan kulit. Apa yang menyebabkan hal itu terjadi ???
, Begini jawabannya,pada dasarnya sel mast ini sendiri terletak didekat saraf perifer,
dan pembuluh darah. Kemerahan dan bengkak yang terjadi karena histamin yang
dikeluarkan sel mast itu menyerang pembuluh darah yang menyebabkan vasodilatasi

50
dan peningkatan permeabilitas. Gatal yang terjadi juga diakibatkan karena histamin
menyentuh saraf perifer.
Urtikaria terjadi akibat vasodilatasi dan peningkatan permiabilitas dari kapiler
atau pembuluh darah kecil sehingga terjadi transudasi cairan dari pembuluh darah di
kulit. Hal in karena adanya pelepasan mediator kimia dari sel mast atau basofil
terutama histamin. Pelepasan mediator ini dapat terjadi melalui mekanisme :
- Imunologi (terutama reaksi hipersensitivitas tipe I kadang kadang tipe II)
- Non imunologi (“chemical histamine liberator”, agen fisik, efek kolinergik).
Baik faktor imunologi maupun nonimunologi mampu merangsang sel mas atau basofil
untuk melepaskan mediator. Pada yang imunologi mungkin sekali siklik AMP(adenosine
mono phosphate) memegang peranan penting pada pelepasan mediator.beberapa bahan
kimia seperti golongan amin dan derivate amidin,obat-obatan seperti
morfin,kodein,polimiksin,dan beberapa anttibiotik berperan pada keadaan ini.
Faktor imunologik lebih berperan pada urtikaria yang akut dari pada yang
kronik,biasanya IgE terikat pada permukaan sel mas dan atau sel basofil karena adanya
reseptor Fc,bila ada antigen yang sesuai berikatan dengan IgE,maka terjadi degranulasi
sel,sehingga mampu melepaskan mediator.

51
E. PATHWAYS

Faktor-faktor pencetus :
Fx. Imunologik/non imunologik

Kulit

Melakukan Pertahanan

Induksi Respon Antiodi

IgE Sel Mast Basofil

Pelepasan mediator
(H, SRSA, Serotonin,Kinin)

Anafilaksis Sistemik

Urtikaria

F. MANISFESTASI KLINIS
Gejalanya di sebabkan oleh reaksi dan serangan imunologi terhadap serum dan
obat,Keluhan utama biasanya gatal, rasa terbakar atau tertusuk. Tampak eritema
(kemerahan) dan edema (bengkak) setempat berbatas tegas, kadang-kadang bagian
tengah tampak lebih pucat. Urtika biasa terjadi dalam berkelompok. Satu urtika
sendiri dapat bertahan dari empat sampai 36 jam. Bila satu urtika menghilang, urtika
lain dapat muncul kembali.Bila mengenai organ dalam, misalnya saluran cerna dan
napas, disebut angioedema. Pada keadaan ini jaringan yang lebih sering terkena ialah
muka, disertai sesak napas dan serak. Sekitar 40% penderita urtikaria kronis akan
menderita angioedema.
Dermografisme berupa edema dan eritema yang linear di kulit yang terkena goresan
benda tumpul,timbul dalam waktu kurang lebih 30 menit,urtikaria akibat penyinaran

52
biasanya pada gelombang 285-320 dan 400-500 nm,timbul setslah 18-72 jam
penyinaran.

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. a . Urtikaria akut. Uji laboratorium pada umumnya tidak diperlukan.
b. Urtikaria kronik. Jika penyebab agen fisik telah disingkirkan, maka
penggunaan pemeriksaan laboratorium, radiografik, dan patologik berikut ini
dapat memberikan petunjuk untuk diagnosis penyakit sistemik yang samar.
2. Uji rutin
a. Laboratorium. Hitung darah lengkap dengan diferensial, profil kimia, laju
endap darah (LED), T4, pengukuran TSH, urinalisis dan biakan urine, antibody
antinuclear
b. Radiografik. Radiograf dada, foto sinus, foto gigi, atau panorex
c. Uji selektif. Krioglobulin, analisis serologic hepatitis dan sifilis, factor
rheumatoid, komplemen serum, IgM, IgE serum
d. Biopsi kulit. Jika laju endap darah meningkat, lakukan biopsy nyingkirkakulit
untuk men kemungkinan vaskulitis urtikaria.

H. PENATALAKSANAAN
1. Non Farmakologi
Yang bisa dilakukan untuk pengobatan secara non farmakologi ini adalah dengan
menghindari alergen yang diperkirakan sebagai penyebab dari urtikaria, tetapi
pada umumnya hal ini sulit dilaksanakan
2. Farmakologi
Pada kebanyakan keadaan, urtikaria merupakan penyakit yang sembuh sendiri
yang memerlukan sedikit pengobatan lainnya, selain dari antihistamin.
Hidroksizin (Atarax) 0,5 ml/kg, merupakan salah satu antihistamin yang paling
efektif untuk mengendalikan urtikaria, tetapi difenhidramin (Benadryl), 1,25
mg/kg, dan antihistamin lainnya juga efektif. Jika perlu, dosis ini dapat diulangi
pada interval 4-6 jam.
Epinefrin 1 : 1000, 0,01 ml/kg, maksimal 0,3 ml, biasanya menghasilkan
penyembuhan yang cepat atas urtikaria akut yang berat. Hidroksizin (0,5 ml/kg
setiap 4-6 jam) merupakan obat pilihan untuk urtikaria kolinergik dan urtikaria

53
kronis. Penggunaan bersama antihistamin tipe H1 dan H2 kadang-kadang
membantu mengendalikan urtikaria kronis. Antihistamin h2 saja dapat
menyebabkan eksaserbasi urtikaria. Siproheptadin (Periactin) (2-4 mg setiap 8-12
jam) terutama bermanfaat sebagai agen profilaksis untuk urtikaria dingin.
Siproheptadin dapat menyebabkan rangsangan nafsu makan dan penambahan berat
pada beberapa penderita. Tabir surya merupakan satu-satunya pengobatan yang
efektif untuk urtikaria sinar matahari. Kortikosteroid mempunyai pengaruh yang
bervariasi pada urtikaria kronis ; dosis yang diperlukan untuk mengendalikan
urtikaria sering begitu besar sehingga obat-obat tersebut menimbulkan efek
samping yang serius. Urtikaria kronis sering tidak berespons dengan baik pada
manipulasi diet. Sayang sekali, urtikaria kronis dapat menetap selama bertahun-
tahun.

I. KOMPLIKASI
a. Purpura dan excoriasi
b. Infeksi sekunder
c. Bibir kering

54
DAFTAR PUSTAKA

Hamzah,mochtar,2007,Ilmu penyakit kulit dan kelamin,Jakarta,fakultas kedokteran


universitas Indonesia.
Suddarth&brunner,2002,buku ajar keperawatan medical bedah,jkarta,buku kedokteran.
Doenges, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.
Efiaty Arsyad Soepardi. (2007). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala Dan Leher, edisi 6. Jakarta : FKUI.
Kumala, Poppy. 1998. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Jakarta : EGC.
Potter, Patricia A. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses dan Praktik.
Jakarta : EGC.
Smeltzer, Suzanne C. (2002). Buku Ajar Keperawatn Medikal- Bedah, Vol 1.

55
2.4 LAPORAN PENDAHULUAN SYOK ANAFILAKTIK

A. DEFINISI
Syok anafilaktik yaitu adanya reaksi alergi yang tergolong berat bahkan bisa
mengancam nyawa pengidapnya dengan berkembang cepat. Gejala yang terjadi pada
syok anafilaktik dapat berupa rasa mual dan sakit pada daerah perut. Syok anafilaktik
muncul hanya dalam beberapa menit, setelah pengidap terkena alergen – benda yang
menjadi penyebab terjadinya syok anafilaktik.
Anafilaksis adalah suatu reaksi alergi yang bersifat akut,menyeluruh dan bisa
menjadi berat. Anafilaksis terjadi pada seseorang yang sebelumnya telah mengalami
sensitisasi akibat pemaparan terhadap suatu alergen. ( Brunner dan Suddarth.2001).
Anafilaksis adalah reaksi sistemik yang mengancam jiwa dan mendadak
terjadi pada pemajanan substansi tertentu. Anafilaksis diakibatkan oleh reaksi
hipersensitivitas tipe I , dimana terjadi pelepasan mediator kimia dari sel mast yang
mengakibatkan vasodilatasi massif, peningkatan permeabilitas kapiler, dan penurunan
peristaltic. Anafilaksis adalah suatu respons klinis hipersensitivitas yang akut,berat
dan menyerang berbagai macam organ. Reaksi hipersensitivitas ini merupakan suatu
reaksi hipersensitivitas tipecepat (reaksi hipersensitivitas tipe I), yaitu reaksi antara
antigen spesifik dan antibodi spesifik (IgE) yang terikat pada sel mast. Sel mast dan
basofil akan mengeluarkan mediator yang mempunyai efek farmakologik terhadap
berbagai macam organ tersebut. (Suzanne C. Smeltze, 2001)

B. ETIOLOGI
Anafilaksis bisa tejadi sebagai respon terhadap berbagai alergen. Penyebab yang sering
ditemukan adalah :
 Gigitan/sengatan serangga.
 Serum kuda (digunakan pada beberapa jenis vaksin).
 Alergi makanan
 Alergi obat, Serbuk sari dan alergen lainnya jarang menyebabkan anafilaksis.

Anafilaksis mulai terjadi ketika alergen masuk ke dalam alirandarah dan bereaksi
dengan antibodi IgE. Reaksi ini merangsangsel-sel untuk melepaskan histamin
dan zat lainnya yang terlibatdalam reaksi peradangan kekebalan. Beberapa jenis
obat-obatan(misalnya polymyxin, morfin, zat warna untuk rontgen),

56
padapemaparan pertama bisa menyebabkan reaksi anafilaktoid (reaksiyang
menyerupai anafilaksis). Hal ini biasanya merupakan reaksiidiosinkratik atau
reaksi racun dan bukan merupakan mekanismesistem kekebalan seperti yang
terjadi pada anafilaksis sesungguhnya.

Pencetus Terjadinya Reaksi Anafilaksis


Obat-obatan Penisilin
antibiotic Sefaloporin
Streptomisin
Tetrasiklin
Ciprofloxacin
Amphotericin B
Nitrofurantoin
Vankomisin
Enzim Tripsin
Chymotripsin
L-Asparaginase
Penicillinase
As-paraginase
Chymotrypsin
Penicillinase
Streptokinase.
Toxin ATS
ADS
SABU
Ekstrak allergen untuk uji kulit dextran
Bahan yang Zat radioopac
digunakan untuk Bromsulfalein
prosedur Benzilpenisiloipolilisin
diagnose Sodium dehydrocholate
Sulfobromophthalein
Bahan yang Bisa ular
dihasilkan hewan Bisa lebah
atau serangga Racun serangga

57
Lobster
Udang
Kepiting
Semut api
Makanan Kacang-kacangan (kenari, mete, pistachio)
Ikan (tuna, salmon, cod)
Molusca (kerang, udang, lobster)
Putih telur
Susu
Buah Rambutan
Nanas
Semangka
Anastesi Lidocain
Procain
Darah lengkap Gamaglobulin
atau produk Kriopresipitat
darah
Hormone Insulin
ACTH (adrenocorticotrophic hormone)
TSH (thyroid-stimulating hormone)
ADH (antidiuretic hormone,
vasopressin)
Paratiroid (parathormone).
Lain-lain Seminal fluid (air mani)
Latex
Karet
Logam emas

58
C. PATOFISIOLOGI
Sistem kekebalan melepaskan antibodi. Jaringan melepaskan histamin dan zat
lainnya. Hal ini menyebabkan penyempitan saluran udara, sehingga terdengar bunyi
mengi (bengek), gangguan pernafasan dan timbul gejala-gejala saluran pencernaan
berupa nyeri perut, kram, muntah dan diare. Histamin menyebabkan pelebaran
pembuluh darah (yang akan menyebabkan penurunan tekanan darah) dan perembesan
cairan dari pembuluh darah ke dalam jaringan (yang akan menyebabkan penurunan
volume darah), sehingga terjadi syok. Cairan bisa merembeske dalam kantung udara
di paru-paru dan menyebabkan edema pulmoner.
Seringkali terjadi kaligata (urtikaria) dan angioedema. Angioedema bisa cukup
berat sehingga menyebabkan penyumbatan saluran pernafasan. Anafilaksis yang
berlangsung lama bisa menyebabkan aritimia jantung. Pada kepekaan yang ekstrim,
penyuntikan allergen dapat mengakibatkan kematian atau reaksi subletal.

59
D. PATHWAY
Makanan Bahan allergen (obat-obatan, gigitan serangga)

Lambung Masuk ke vili mukosa usus sirkulasi aktivitas komplemen (Ig


A)
Hipermotilitas reaksi antigen-antibodi reaksi kompleks imun
Saluran cerna dalam tubuh (Ig E)

Nausea, muntah, basofil dan sel mast


Sakit perut melepaskan histamin

Ggn. Rasa nyaman histamine meningkat

Peningkatan permebabilitas vasodilatasi perifer Vasodilatasi pembuluh


Kapiler menyeluruh darah setempat

Cairan & protein hilangkedalam red flare (kemerahan) peningkatan tekanan


kapiler

Ruang jaringan secara cepat & peningkatan


permeabilitas

Banyak plasma hilang urtikaria pe permeabilitas kebocoran cairan yg cepat

Kapiler setempat dalam hidung

Syok sirkulasi dinding ggn. Integritas pembengkakan pd hipersekresi


pembengkakan Kulit area berbatas jelas mukosa hidung

Perembesan cairan spasme otot polos bersifat gatal bersin-bersin kesulitan

Keluaran pembuluh bronkus bernafas

darah sesak nafas edema laring ggn. Pemenuhan


O2 ggn. pola nafas resiko terhadap penghentian pernafasan

kulit pucatdingin

60
hipotensi

perubahan perfusi jaringan

E. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran kilinis anafilaksis sangat bervariasi, baik cepatdan lamanya reaksi
maupun luas dan beratnya reaksi. Gejala dapat dimulai dengan gejala prodromal baru
menjadi berat. Keluhanyang sering dijumpai pada fase permulaan adalah rasa takut,
perihdalam mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan kesemutan padatungkai, sesak,
mual, pusing, lemas dan sakit perut.
Adapun Gejala-gejala yang secara umum, bisa pula ditemuipada suatu anafilaksis
adalah:
 Gatal di seluruh tubuh
 Hidung tersumbat
 Kesulitan dalam bernafas
 Batuk
 Kulit kebiruan (sianosis), juga bibir dan kukuf)
 Pusing, berbicara tidak jelas
 Denyut nadi yang berubah-ubah
 Jantung berdebar-debar (palpitasi)
 Mual, muntah dan kulit kemerahan.

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK/ PENUNJANG


Untuk menentukan diagnose terhadap pasien yang mengalami reaksi
anafilaksis, maka dapat dilakukan pemeriksaan darah lengkap, SGOT, LDH, ECG dan
foto paru.
a. Pada pemeriksaan Hematologi Lengkap : hitung sel meningkat hemokonsentrasi,
trombositopenia eosinofil naik/ normal/ turun
b. X photo : hiperinflasi dengan atau tanpa atelektasis karena mucus plug
c. EKG : gangguan konduksi, atrial dan ventrikuler distrimia, kimia
meningkat, sereum tritaase meningkat.
Selain itu ada beberapa tes alergi yang dapat digunakan untuk memperkuat dagnosa
terhadap terjadinya rekasi anafilaktik, antara lain:
Ada beberapa macam tes alergi, yaitu :

61
Skin Prick Test (Tes tusuk kulit).
a. Tes ini untuk memeriksa alergi terhadap alergen hirup dan makanan, misalnya
debu, tungau debu, serpih kulit binatang, udang, kepiting dan lain-lain. Tes ini
dilakukan di kulit lengan bawah sisi dalam, lalu alergen yang diuji ditusukkan
pada kulit dengan menggunakan jarum khusus (panjang mata jarum 2 mm), jadi
tidak menimbulkan luka, berdarah di kulit. Hasilnya dapat segera diketahui dalam
waktu 30 menit Bila positif alergi terhadap alergen tertentu akan timbul bentol
merah gatal.
Syarat tes ini :
1) Pasien harus dalam keadaan sehat dan bebas obat yang mengandung
antihistamin (obat anti alergi) selama 3 – 7 hari, tergantung jenis obatnya.
2) Umur yang di anjurkan 4 – 50 tahun.

b. Patch Tes (Tes Tempel).


Tes ini untuk mengetahui alergi kontak terhadap bahan kimia, pada penyakit
dermatitis atau eksim. Tes ini dilakukan di kulit punggung. Hasil tes ini baru dapat
dibaca setelah 48 jam. Bila positif terhadap bahan kimia tertentu, akan timbul
bercak kemerahan dan melenting pada kulit.
Syarat tes ini :
1) Dalam 48 jam, pasien tidak boleh melakukan aktivitas yang berkeringat,
mandi, posisi tidur tertelungkup, punggung tidak boleh bergesekan.
2) 2 hari sebelum tes, tidak boleh minum obat yang mengandung steroid atau anti
bengkak. Daerah pungung harus bebas dari obat oles, krim atau salep.
c. RAST (Radio Allergo Sorbent Test).
Tes ini untuk mengetahui alergi terhadap alergen hirup dan makanan. Tes ini
memerlukan sampel serum darah sebanyak 2 cc. Lalu serum darah tersebut
diproses dengan mesin komputerisasi khusus, hasilnya dapat diketahui setelah 4
jam. Kelebihan tes ini adalah dapat dilakukan pada usia berapapun, tidak
dipengaruhi oleh obat-obatan.
d. Skin Test (Tes kulit).
Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang disuntikkan.
Dilakukan di kulit lengan bawah dengan cara menyuntikkan obat yang akan di tes
di lapisan bawah kulit. Hasil tes baru dapat dibaca setelah 15 menit. Bila positif
akan timbul bentol, merah, gatal.

62
e. Tes Provokasi.
Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang diminum,
makanan, dapat juga untuk alergen hirup, contohnya debu. Tes provokasi untuk
alergen hirup dinamakan tes provokasi bronkial. Tes ini digunakan untuk penyakit
asma dan pilek alergi. Tes provokasi bronkial dan makanan sudah jarang dipakai,
karena tidak nyaman untuk pasien dan berisiko tinggi terjadinya serangan asma
dan syok. tes provokasi bronkial dan tes provokasi makanan sudah digantikan oleh
Skin Prick Test dan IgE spesifik metode RAST.
Untuk tes provokasi obat, menggunakan metode DBPC (Double Blind Placebo
Control) atau uji samar ganda. caranya pasien minum obat dengan dosis dinaikkan
secara bertahap, lalu ditunggu reaksinya dengan interval 15 – 30 menit. Dalam
satu hari hanya boleh satu macam obat yang dites, untuk tes terhadap bahan/zat
lainnya harus menunggu 48 jam kemudian. Tujuannya untuk mengetahui reaksi
alergi tipe lambat.
Ada sedikit macam obat yang sudah dapat dites dengan metode RAST.
Semua tes alergi memiliki keakuratan 100 %, dengan syarat persiapan tes harus
benar, dan cara melakukan tes harus tepat dan benar.

G. PENATALAKSANAAN MEDIS/KEPERAWATAN
Penanganan anafilaksis adalah sebagai berikut:
a. Oksigenasi
Prioritas pertama dalam pertolongan adalah pernafasan. Jalan nafas yang etrbuka
dan bebas harus dijamin, kalau perlu lakukan sesuai dengan ABC-nya resusitasi.
Penderita harus mendapatkan oksigenasi yang adekuat. Bila ada tanda-tanda pre
syok/syok, tempatkan penderita pada posisi syok yaitu tidur terlentang datar
dengan kaki ditinggikan 30o – 45º agar darah lebih banyak mengalir ke organ-
organ vital. Bebaskan jalan nafas dan berikan oksigen dengan masker. Apabila
terdapat obstruksi laring karena edema laring atau angioneurotik, segera lakukan
intubasi endotrakeal untuk fasilitas ventilasi. Ventilator mekanik diindikasikan
bila terdapat spasme bronkus, apneu atau henti jantung mendadak.
b. Epinefrin
Epinefrin atau adrenalin bekerja sebagai penghambat pelepasan histamine dan
mediator lain yang poten. Mekanismenya adalah adrenalin meningkatkan siklik
AMP dalam sel mast dan basofil sehingga menghambat terjadinya degranulasi

63
serta pelepasan histamine dan mediator lainnya. Selain itu adrenalin mempunyai
kemampuan memperbaiki kontraktilitas otot jantung, tonus pembuluh darah
perifer dan otot polos bronkus. Dosis yang dianjurkan adalah 0,25 mg sub kutan
setiap 15 menit sesuai berat gejalanya. Bila penderita mengalami presyok atau
syok dapat diberikan dengan dosis 0,3 – 0,5 mg (dewasa) dan 0,01 mg/
KgBB (anak) secara intra muskuler dan dapat diulang tiap 15 menit samapi
tekanan darah sistolik mencapai 90-100 mmHg. Cara lain adalah dengan
memberikan larutan 1-2 mg dalam 100 ml garam fisiologis secara intravena,
dilakukan bila perfusi otot jelek karena syok dan pemberiannya dengan
monitoring EKG. Pada penderita tanpa kelainan jantung, adrenalin dapat
diberikan dalam larutan 1 : 100.000 yaitu melarutkan 0,1 ml adrenalin dalam 9,9
ml NaCl 0,9% dan diberikan sebanyak 10 ml secara intravena pelan-pelan
dalam 5 – 10 menit. Adrenalin harus diberikan secara hati-hati pada penderita
yang mendapat anestesi volatile untuk menghindari terjadinya aritmia ventrikuler.
Tabel Dosis Adrenalin Intramuskular untuk Anak – anak

c. Pemberian cairan intravena


Pemberian cairan infuse dilakukan bila tekanan sistolik belum mencapai 100
mmHg (dewasa) dan 50 mmHg (anak). Cairan yang dapat diberikan adalah
RL/NaCl, Dextran/ Plasma. Pada dewasa sering dibutuhkan cairan sampai 2000ml
dalam jam pertama dan selanjutnya diberikan 2000 – 3000 ml/m² LPB/ 24 jam.
Plasma / plasma ekspander dapat diberikan segera untuk mengatasi hipovolemi
intravaskuler akibat vasodilatasi akut dan kebocoran cairan intravaskuler ke
interstitial karena plasma / plasma ekspander lebih lama berada di dalam
intravaskuler dibandingkan kristaloid. Karena cukup banyak cairan yang
diberikan, pemantauan CVP dan hematokrit secara serial sangat membantu.

64
d. Obat – obat vasopressor
Bila pemberian adrenalin dan cairan infuse yang dirasakan cukup adekwat tetapi
tekanan sistolik tetap belum mencapai 90 mmHg atau syok belum teratasi, dapat
diberikan vasopressor. Dopamin dapat diberikan secara infus dengan dosis
awal 0,3mg/KgBB/jam dan dapat ditingkatkan secara bertahap 1,2mg/KgBB/jam
untuk mempertahankan tekanan darah yang membaik. Noradrenalin dapat
diberikan untuk hipotensi yang tetap membandel.

e. Aminofilin
Sama seperti adrenalin, aminofillin menghambat pelepasan histamine dan
mediator lain dengan meningkatkan c-AMP sel mast dan basofil. Jadi kerjanya
memperkuat kerja adrenalin. Dosis yang diberikan 5mg/kg i.v pelan-pelan dalam
5-10 menit untuk mencegah terjadinya hipotensi dan diencerkan dengan 10 ml
D5%. Aminofillin ini diberikan bila spasme bronkus yang terjadi tidak teratasi
dengan adrenalin. Bila perlu aminofillin dapat diteruskan secara infuse kontinyu
dengan dosis 0,2 -1,2 mg/kg/jam.
f. Kortikosteroid
Berperan sebagai penghambat mitosis sel precursor IgE dan juga menghambat
pemecahan fosfolipid menjadi asam arakhidonat pada fase lambat. Kortikosteroid
digunakan untuk mengatasi spasme bronkus yang tidak dapat diatasi dengan
adrenalin dan mencegah terjadinya reaksi lambat dari anafilaksis. Dosis yang
dapat diberikan adalah 7-10 mg/kg i.vprednisolon dilanjutkan dengan 5
mg/kg tiap 6 jam atau dengan deksametason 40-50 mg i.v. Kortisol dapat
diberikan secara i.v dengan dosis 100 -200 mg dalam interval 24 jam dan
selanjutnya diturunkan secara bertahap.
g. Antihistamin
Bekerja sebagai penghambat sebagian pengaruh histamine terhadap sel target.
Antihistamin diindikasikan pada kasus reaksi yang memanjang atau bila terjadi
edema angioneurotik dan urtikaria. Difenhidramin dapat diberikan dengan dosis 1-
2mg/kg sampai 50 mg dosis tunggal i.m. Untuk anak-anak dosisnya 1mg/kg tiap
4 -6 jam.

H. KOMPLIKASI
 Henti jantung (cardiac arrest) dan nafas.
 Bronkospasme persisten.

65
 Oedema Larynx (dapat mengakibatkan kematian).
 Relaps jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler).
 Kerusakan otak permanen akibat syok.
 Urtikaria dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan

66
DAFTAR PUSTAKA

Krause, Richard. 29 April 2005. Anaphylaxis. eMedicine. Accessed 24 April 2006


<www.emedicine.com/emerg/topic25.htm>

Lieberman P et al. “The Diagnosis and Management of Anaphylaxis:An Updated Practice


Parameter.” The Journal of Allergy and Clinical Immunology 115 (2005)483-523.

Rusznak, Csaba. “Anaphylaxis and Anaphylactoid Reactions: A Guide to Prevention,


Recognition, and Emergent Treatment.” Postgraduate Medicine 111 (2002): 1-4.

Ellis, Anne and James Day. “Diagnosis and Management of Anaphylaxis ” Canadian Medical
Association Journal 169(2003): 1-4.

Ewan,Pamela. “ABC of Allergies:Anaphylaxis” British Medical Journal 316 (1998): 1442-


1445.

Janeway, C.A., Travers, P., Walport, M., Schlomchik, M. Immunobiology 6th Ed: The
Immune System in Health and Disease. New York: Garland Publishing, 2005.

Sampson, Hugh. “Anaphylaxis and Emergency Treatment.” Pediatrics 111 (2003): 1601-
1608.

Stern, David. 6 November 1997. Anaphylaxis:Life-Threatening Allergy. Asthma and Allergy


Information and Research. Accessed 24 April 2006 <
http://www.users.globalnet.co.uk/~aair/index.htm

67
2.5 LAPORAN PENDAHULUAN DEFISIENSI IMUN

A. DEFINISI
Defisiensi imun ialah fungsi system imun yang meurun atau tidak berfungsi
dengan baik. Secara garis besar defisiensi imun dibagi menjadi dua golongan, yaitu
defisiensi kongenital dan defisiensi imun dapatan.
Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang
melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengindentifikasi dan
membunuh patogen serta sel tumor. Sistem ini mendeteksi berbagai macam pengaruh
biologis luar yang luas, organisme akan melindungi tubuh dari infeksi, bakteri, virus
sampai cacing parasit.
Defisiensi Imun muncul ketika satu atau lebih komponen sistem Imun tidak
aktif, kemampuan sistem Imun untuk merespon patogen berkurang pada baik
golongan muda dan golonga tua, respon imun berkurang pada usia 50 tahun, respon
juga dapat terjadi karena penggunaan Alkohol dan narkoba adalah akibat paling
umum dari fungsi imun yang buruk, namun, kekurangan nutrisi adalah akibat paling
umum yang menyebabkan difisiensi imun di negara berkembang.

B. ETIOLOGI
Penyebab Defisiensi Imun
a. Defek genetik
Defek gen-tunggal yang diekspresikan di banyak jaringan (misal ataksia-
teleangiektasia, defsiensi deaminase adenosin) Defek gen tunggal khusus pada
sistem imun ( misal defek tirosin kinase pada X-linked agammaglobulinemia;
abnormalitas rantai epsilon pada reseptor sel T) Kelainan multifaktorial dengan
kerentanan genetik (misal common variable immunodeficiency)
b. Obat atau toksin
Imunosupresan (kortikosteroid, siklosporin)Antikonvulsan (fenitoin)
c. Penyakit nutrisi dan metabolic
Malnutrisi ( misal kwashiorkor)Protein losing enteropathy (misal limfangiektasia
intestinal)Defisiensi vitamin (misal biotin, atau transkobalamin II) Defisiensi
mineral (misal Seng pada Enteropati Akrodermatitis)
d. Kelainan kromosom
Anomali DiGeorge (delesi 22q11) Defisiensi IgA selektif (trisomi 18)

68
e. Infeksi Imunodefisiensi transien (pada campak dan varicella )Imunodefisiensi
permanen (infeksi HIV, infeksi rubella kongenital)

C. PATOFISIOLOGI
Difesiensi imun congenital atau defisiensi imun primer disebabkan oleh
kelainan respon imun bawaan yang dapat berupa kelainan dari system fagosit dan
komplemen atau kelainan dalam deferensiasi fungsi limfosit. Sedangkan Defisiensi
imun dapatan disebabkan oleh berbagai faktor antara lain infeksi virus yang dapat
merusak sel limfosit, malnutrisi, penggunaan obat-obat sitotoksik dan kortikosteroid,
serta akibat penyakit kanker seperti pengakit Hodgkin, leukemia, myeloma, limfositik
kronik dal lain-lain.
Defisiensi Imun muncul ketika satu atau lebih komponen sistem Imun tidak aktif,
kemampuan sistem Imun untuk merespon patogen berkurang pada baik golongan
muda dan golonga tua, respon imun berkurang pada usia 50 tahun, respon juga dapat
terjadi karena penggunaan Alkohol dan narkoba adalah akibat paling umum dari
fungsi imun yang buruk, namun, kekurangan nutrisi adalah akibat paling umum yang
menyebabkan difisiensi imun di negara berkembang. Diet kekurangan cukup protein
berhubungan dengan gangguan imunitas selular, aktivitas komplemen, fungsi fagosit,
konsentrasi antibody, IgA dan produksi sitokin, Defisiensi nutrisi seperti zinc,
Selenium, zat besi, tembaga, vitamin A, C, E, B6 dan asam folik (vitamin B9) juga
mengurangi respon imun.
Difisiensi imun juga dapat didapat dari chronic granulomatus disease (penyakit yang
menyebabkan kemampuan fagosit untuk menghancurkan fagosit berkurang),
contohnya: Aids dan beberapa tipe kanker.

69
D. MANIFESTASI KLINIS
Gejala Klinis Defisiensi Imun
a. Gejala yang biasanya dijumpai Infeksi saluran napas atas berulang Infeksi
bakteri yang berat Penyembuhan inkomplit antar episode infeksi, atau
respons pengobatan inkomplit
b. Gejala yang sering dijumpai Gagal tumbuh atau retardasi tumbuhJarang
ditemukan kelenjar atau tonsil yang membesarInfeksi oleh mikroorganisma
yang tidak lazimLesi kulit (rash, ketombe, pioderma, abses nekrotik/noma,
alopesia, eksim, teleangiektasi, warts yang hebat).
 Oral thrush yang tidak menyembuh dengan pengobatan
 Jari tabuh
 Diare dan malabsorpsi
 Mastoiditis dan otitis persisten
 Pneumonia atau bronkitis berulang
 Penyakit autoimun
 Kelainan hematologis (anemia aplastik, anemia hemolitik,
neutropenia, trombositopenia)

c. Gejala yang jarang dijumpai Berat badan turun Demam Periodontitis


 Limfadenopati
 Hepatosplenomegali
 Penyakit virus yang berat
 Artritis atau artralgia
 Ensefalitis kronik
 Meningitis berulang
 Pioderma gangrenosa
 Kolangitis sklerosis
 Hepatitis kronik (virus atau autoimun)
 Reaksi simpang terhadap vaksinasi
 Bronkiektasis
 Infeksi saluran kemih
 Lepas/puput tali pusat terlambat (> 30 hari)
 Stomatitis kronik

70
 Granuloma
 Keganasan limfoid

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan darah tepi
 Hemoglobin
 Leukosit total
 Hitung jenis leukosit (persentasi)
 Morfologi limfosit
 Hitung trombosit
2. Pemeriksaan imunoglobulin kuantatif
3. Kadar antibodi terhadap imunisasi sebelumnya
 Titer antibodi tetanus ,difteri
 Titer antibodi H.influenzae
4. Penilaian komplemen hemolisis total
5. Evaluasi infeksi (darah atau CRP, kultur)

F. PENATALAKSANAAN
Terapi pengganti imunoglobulin (immunoglobulin replacement
therapy)merupakan keharusan pada anak dengan defek produksi antibodi. Preparat
dapat berupa intravena atau subkutan. Terapi tergantung pada keparahan
hipogamaglobulinemia dan komplikasi. Sebagian besar pasien dengan
hipogamaglobulinemia memerlukan 400-600 mg/kg/bulan imunoglobulin untuk
mencegah infeksi atau mengurangi komplikasi, khususnya penyakit kronik pada paru
dan usus. Imunoglobulin intravena (IVIG) merupakan pilihan terapi, diberikan dengan
interval 2-3 minggu. Pemantauan dilakukan terhadap imunoglobulin serum, setelah
mencapai kadar yang stabil (setelah 6 bulan), dosis infus dipertahankan di atas batas
normal.
Tatalaksana defek imunitas seluler
Tatalaksana pasien dengan defek berat imunitas seluler, termasuk SCID tidak hanya
melibatkan terapi antimikrobial namun juga penggunaan profilaksis. Untuk mencegah

71
infeksi maka bayi dirawat di area dengan tekanan udara positif. Pada pasien yang
terbukti atau dicurigai defek sel T harus dihindari imunisasi dengan vaksin hidup atau
tranfusi darah. Vaksin hidup dapat mengakibatkan infeksi diseminata, sedangkan
tranfusi darah dapat menyebabkan penyakit graft-versus-host. Tandur (graft) sel
imunokompeten yang masih hidup merupakan sarana satu-satunya untuk perbaikan
respons imun. Transplantasi sumsum tulang merupakan pilihan terapi pada semua
bentuk SCID.

72
DAFTAR PUSTAKA

Radji, Maksum, 2010. Imunologi dan Virologi. Jakarta: PT. ISFI.


Baratawidjaja, G. Karnen dan Rengganis, Iris, 2010. Imunologi Dasar Edisi ke-9. Jakarta.
Balai penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

73
2.6 ANATOMI FISIOLOGI SISTEM PENCERNAAN

Anatomi Fisiologi Sistem Pencernaan Manusia

Anatomi Fisiologi Sistem Pencernaan Manusia:


Sistem pencernaan atau sistem gastroinstestinal (mulai dari mulut sampai anus) adalah
sistem organ dalam manusia yang berfungsi untuk menerima makanan, mencernanya menjadi
zat-zat gizi dan energi, menyerap zat-zat gizi ke dalam aliran darah serta membuang bagian
makanan yang tidak dapat dicerna atau merupakan sisa proses tersebut dari tubuh.

Saluran pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan (faring), kerongkongan, lambung, usus
halus, usus besar, rektum dan anus. Sistem pencernaan juga meliputi organ-organ yang
terletak diluar saluran pencernaan, yaitu pankreas, hati dan kandung empedu.

A. Mulut
Merupakan suatu rongga terbuka tempat masuknya makanan dan air pada hewan.
Mulut biasanya terletak di kepala dan umumnya merupakan bagian awal dari sistem
pencernaan lengkap yang berakhir di anus.
Mulut merupakan jalan masuk untuk sistem pencernaan. Bagian dalam dari mulut
dilapisi oleh selaput lendir. Pengecapan dirasakan oleh organ perasa yang terdapat di
permukaan lidah. Pengecapan relatif sederhana, terdiri dari manis, asam, asin dan

74
pahit. Penciuman dirasakan oleh saraf olfaktorius di hidung dan lebih rumit, terdiri
dari berbagai macam bau.
Makanan dipotong-potong oleh gigi depan (incisivus) dan di kunyah oleh gigi
belakang (molar, geraham), menjadi bagian-bagian kecil yang lebih mudah dicerna.
Ludah dari kelenjar ludah akan membungkus bagian-bagian dari makanan tersebut
dengan enzim-enzim pencernaan dan mulai mencernanya. Ludah juga mengandung
antibodi dan enzim (misalnya lisozim), yang memecah protein dan menyerang bakteri
secara langsung. Proses menelan dimulai secara sadar dan berlanjut secara otomatis.

B. Tenggorokan (Faring)
Merupakan penghubung antara rongga mulut dan kerongkongan. Berasal dari bahasa
yunani yaitu Pharynk.
Skema melintang mulut, hidung, faring, dan laring
Laring
Didalam lengkung faring terdapat tonsil ( amandel ) yaitu kelenjar limfe yang banyak
mengandung kelenjar limfosit dan merupakan pertahanan terhadap infeksi, disini
terletak bersimpangan antara jalan nafas dan jalan makanan, letaknya dibelakang
rongga mulut dan rongga hidung, didepan ruas tulang belakang
Keatas bagian depan berhubungan dengan rongga hidung, dengan perantaraan lubang
bernama koana, keadaan tekak berhubungan dengan rongga mulut dengan perantaraan
lubang yang disebut ismus fausium
Tekak terdiri dari; Bagian superior =bagian yang sangat tinggi dengan hidung, bagian
media = bagian yang sama tinggi dengan mulut dan bagian inferior = bagian yang
sama tinggi dengan laring.
Bagian superior disebut nasofaring, pada nasofaring bermuara tuba yang
menghubungkan tekak dengan ruang gendang telinga,Bagian media disebut
orofaring,bagian ini berbatas kedepan sampai diakar lidah bagian inferior disebut
laring gofaring yang menghubungkan orofaring dengan laring

C. Kerongkongan (Esofagus)
Kerongkongan adalah tabung (tube) berotot pada vertebrata yang dilalui sewaktu
makanan mengalir dari bagian mulut ke dalam lambung. Makanan berjalan melalui
kerongkongan dengan menggunakan proses peristaltik. Sering juga disebut

75
esofagus(dari bahasa Yunani: ?i??, oeso – “membawa”, dan ??????, phagus –
“memakan”).

Esofagus bertemu dengan faring pada ruas ke-6 tulang belakang. Menurut histologi.
Esofagus dibagi menjadi tiga bagian:
 bagian superior (sebagian besar adalah otot rangka)
 bagian tengah (campuran otot rangka dan otot halus)
 serta bagian inferior (terutama terdiri dari otot halus).

D. Lambung
Merupakan organ otot berongga yang besar dan berbentuk seperti kandang keledai.
Terdiri dari 3 bagian yaitu:
 Kardia.
 Fundus.
 Antrum.
Makanan masuk ke dalam lambung dari kerongkongan melalui otot berbentuk cincin
(sfinter), yang bisa membuka dan menutup. Dalam keadaan normal, sfinter
menghalangi masuknya kembali isi lambung ke dalam kerongkongan.
Lambung berfungsi sebagai gudang makanan, yang berkontraksi secara ritmik untuk
mencampur makanan dengan enzim-enzim. Sel-sel yang melapisi lambung
menghasilkan 3 zat penting :

 Lendir
Lendir melindungi sel-sel lambung dari kerusakan oleh asam lambung.
Setiap kelainan pada lapisan lendir ini, bisa menyebabkan kerusakan yang
mengarah kepada terbentuknya tukak lambung.
 Asam klorida (HCl)
Asam klorida menciptakan suasana yang sangat asam, yang diperlukan oleh
pepsin guna memecah protein. Keasaman lambung yang tinggi juga berperan
sebagai penghalang terhadap infeksi dengan cara membunuh berbagai
bakteri.
 Prekursor pepsin (enzim yang memecahkan protein).

76
E. Usus halus (usus kecil)
Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran pencernaan yang terletak di
antara lambung dan usus besar. Dinding usus kaya akan pembuluh darah yang
mengangkut zat-zat yang diserap ke hati melalui vena porta. Dinding usus melepaskan
lendir (yang melumasi isi usus) dan air (yang membantu melarutkan pecahan-pecahan
makanan yang dicerna). Dinding usus juga melepaskan sejumlah kecil enzim yang
mencerna protein, gula dan lemak.
Lapisan usus halus ; lapisan mukosa ( sebelah dalam ), lapisan otot melingkar ( M
sirkuler ), lapisan otot memanjang ( M Longitidinal ) dan lapisan serosa ( Sebelah
Luar )

Gambar : Anatomi Usus

Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu usus dua belas jari (duodenum), usus kosong
(jejunum), dan usus penyerapan (ileum).

1. Usus dua belas jari (Duodenum)


Usus dua belas jari atau duodenum adalah bagian dari usus halus yang terletak
setelah lambung dan menghubungkannya ke usus kosong (jejunum). Bagian
usus dua belas jari merupakan bagian terpendek dari usus halus, dimulai dari
bulbo duodenale dan berakhir di ligamentum Treitz.
Usus dua belas jari merupakan organ retroperitoneal, yang tidak terbungkus
seluruhnya oleh selaput peritoneum. pH usus dua belas jari yang normal
berkisar pada derajat sembilan. Pada usus dua belas jari terdapat dua muara
saluran yaitu dari pankreas dan kantung empedu. Nama duodenum berasal dari
bahasa Latin duodenum digitorum, yang berarti dua belas jari.

77
Lambung melepaskan makanan ke dalam usus dua belas jari (duodenum),
yang merupakan bagian pertama dari usus halus. Makanan masuk ke dalam
duodenum melalui sfingter pilorus dalam jumlah yang bisa di cerna oleh usus
halus. Jika penuh, duodenum akan megirimkan sinyal kepada lambung untuk
berhenti mengalirkan makanan.
Usus dua belas jari (duodenum)
2. Usus Kosong (jejenum)
Usus kosong atau jejunum (terkadang sering ditulis yeyunum) adalah bagian
kedua dari usus halus, di antara usus dua belas jari (duodenum) dan usus
penyerapan (ileum). Pada manusia dewasa, panjang seluruh usus halus antara
2-8 meter, 1-2 meter adalah bagian usus kosong. Usus kosong dan usus
penyerapan digantungkan dalam tubuh dengan mesenterium.
Permukaan dalam usus kosong berupa membran mukus dan terdapat jonjot
usus (vili), yang memperluas permukaan dari usus. Secara histologis dapat
dibedakan dengan usus dua belas jari, yakni berkurangnya kelenjar Brunner.
Secara hitologis pula dapat dibedakan dengan usus penyerapan, yakni
sedikitnya sel goblet dan plak Peyeri. Sedikit sulit untuk membedakan usus
kosong dan usus penyerapan secara makroskopis.
Jejunum diturunkan dari kata sifat jejune yang berarti “lapar” dalam bahasa
Inggris modern. Arti aslinya berasal dari bahasa Laton, jejunus, yang berarti
“kosong”.
Diagram usus halus (terlabel small intestine)
3. Usus Penyerapan (illeum)
Usus penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari usus halus. Pada
sistem pencernaan manusia, ) ini memiliki panjang sekitar 2-4 m dan terletak
setelah duodenum dan jejunum, dan dilanjutkan oleh usus buntu. Ileum
memiliki pH antara 7 dan 8 (netral atau sedikit basa) dan berfungsi menyerap
vitamin B12 dan garam-garam empedu.Diagram ileum dan organ-organ yang
berhubungan.

78
F. Usus Besar (Kolon)
Usus besar atau kolon dalam anatomi adalah bagian usus antara usus buntu dan
rektum. Fungsi utama organ ini adalah menyerap air dari feses.
Usus besar terdiri dari :
 Kolon asendens (kanan)
 Kolon transversum
 Kolon desendens (kiri)
 Kolon sigmoid (berhubungan dengan rektum)
Banyaknya bakteri yang terdapat di dalam usus besar berfungsi mencerna beberapa
bahan dan membantu penyerapan zat-zat gizi.

Bakteri di dalam usus besar juga berfungsi membuat zat-zat penting, seperti vitamin
K. Bakteri ini penting untuk fungsi normal dari usus. Beberapa penyakit serta
antibiotik bisa menyebabkan gangguan pada bakteri-bakteri didalam usus besar.
Akibatnya terjadi iritasi yang bisa menyebabkan dikeluarkannya lendir dan air, dan
terjadilah diare.

Gambar : Anatomi Usus Besar

G. Usus Buntu (sekum)


Usus buntu atau sekum (Bahasa Latin: caecus, “buta”) dalam istilah anatomi adalah
suatu kantung yang terhubung pada usus penyerapan serta bagian kolon menanjak
dari usus besar. Organ ini ditemukan pada mamalia, burung, dan beberapa jenis reptil.
Sebagian besar herbivora memiliki sekum yang besar, sedangkan karnivora eksklusif

79
memiliki sekum yang kecil, yang sebagian atau seluruhnya digantikan oleh umbai
cacing.

H. Umbai Cacing (Appendix


Umbai cacing atau apendiks adalah organ tambahan pada usus buntu. Infeksi pada
organ ini disebut apendisitis atau radang umbai cacing. Apendisitis yang parah dapat
menyebabkan apendiks pecah dan membentuk nanah di dalam rongga abdomen atau
peritonitis (infeksi rongga abdomen).
Dalam anatomi manusia, umbai cacing atau dalam bahasa Inggris, vermiform
appendix (atau hanya appendix) adalah hujung buntu tabung yang menyambung
dengan caecum.
Umbai cacing terbentuk dari caecum pada tahap embrio. Dalam orang dewasa, Umbai
cacing berukuran sekitar 10 cm tetapi bisa bervariasi dari 2 sampai 20 cm. Walaupun
lokasi apendiks selalu tetap, lokasi ujung umbai cacing bisa berbeda – bisa di
retrocaecal atau di pinggang (pelvis) yang jelas tetap terletak di peritoneum.
Banyak orang percaya umbai cacing tidak berguna dan organ vestigial (sisihan),
sebagian yang lain percaya bahwa apendiks mempunyai fungsi dalam sistem limfatik.

I. Rektum dan anus


Rektum (Bahasa Latin: regere, “meluruskan, mengatur”) adalah sebuah ruangan yang
berawal dari ujung usus besar (setelah kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Organ ini
berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara feses. Biasanya rektum ini kosong
karena tinja disimpan di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika
kolon desendens penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan
untuk buang air besar (BAB). Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan
material di dalam rektum akan memicu sistem saraf yang menimbulkan keinginan
untuk melakukan defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, sering kali material akan
dikembalikan ke usus besar, di mana penyerapan air akan kembali dilakukan. Jika
defekasi tidak terjadi untuk periode yang lama, konstipasi dan pengerasan feses akan
terjadi.
Anus merupakan lubang di ujung saluran pencernaan, dimana bahan limbah keluar
dari tubuh. Sebagian anus terbentuk dari permukaan tubuh (kulit) dan sebagian lannya
dari usus. Pembukaan dan penutupan anus diatur oleh otot sphinkter. Feses dibuang

80
dari tubuh melalui proses defekasi (buang air besar – BAB), yang merupakan fungsi
utama anus.

J. Pankreas
Pankreas adalah organ pada sistem pencernaan yang memiliki dua fungsi utama yaitu
menghasilkan enzim pencernaan serta beberapa hormon penting seperti insulin.
Pankreas terletak pada bagian posterior perut dan berhubungan erat dengan duodenum
(usus dua belas jari).
Pankreas terdiri dari 2 jaringan dasar yaitu :
 Asini, menghasilkan enzim-enzim pencernaan
 Pulau pankreas, menghasilkan hormon
 Pankreas melepaskan enzim pencernaan ke dalam duodenum dan
melepaskan hormon ke dalam darah. Enzim yang dilepaskan oleh pankreas
akan mencerna protein, karbohidrat dan lemak. Enzim proteolitik memecah
protein ke dalam bentuk yang dapat digunakan oleh tubuh dan dilepaskan
dalam bentuk inaktif. Enzim ini hanya akan aktif jika telah mencapai saluran
pencernaan. Pankreas juga melepaskan sejumlah besar sodium bikarbonat,
yang berfungsi melindungi duodenum dengan cara menetralkan asam
lambung.
K. Hati
Hati merupakan sebuah organ yang terbesar di dalam badan manusia dan memiliki
berbagai fungsi, beberapa diantaranya berhubungan dengan pencernaan.
Organ ini memainkan peran penting dalam metabolisme dan memiliki beberapa
fungsi dalam tubuh termasuk penyimpanan glikogen, sintesis protein plasma, dan
penetralan obat. Dia juga memproduksi bile, yang penting dalam pencernaan. Istilah
medis yang bersangkutan dengan hati biasanya dimulai dalam hepat- atau hepatik dari
kata Yunani untuk hati, hepar.
Zat-zat gizi dari makanan diserap ke dalam dinding usus yang kaya akan pembuluh
darah yang kecil-kecil (kapiler). Kapiler ini mengalirkan darah ke dalam vena yang
bergabung dengan vena yang lebih besar dan pada akhirnya masuk ke dalam hati
sebagai vena porta. Vena porta terbagi menjadi pembuluh-pembuluh kecil di dalam
hati, dimana darah yang masuk diolah.

81
Hati melakukan proses tersebut dengan kecepatan tinggi, setelah darah diperkaya
dengan zat-zat gizi, darah dialirkan ke dalam sirkulasi umum.
Hati adalah organ yang terbesar di dalam badan manusia.

L. Kandung empedu
Kandung empedu (Bahasa Inggris: gallbladder) adalah organ berbentuk buah pir yang
dapat menyimpan sekitar 50 ml empedu yang dibutuhkan tubuh untuk proses
pencernaan. Pada manusia, panjang kandung empedu adalah sekitar 7-10 cm dan
berwarna hijau gelap – bukan karena warna jaringannya, melainkan karena warna
cairan empedu yang dikandungnya. Organ ini terhubungkan dengan hati dan usus dua
belas jari melalui saluran empedu.
Empedu memiliki 2 fungsi penting yaitu:
 Membantu pencernaan dan penyerapan lemak
 Berperan dalam pembuangan limbah tertentu dari tubuh, terutama
haemoglobin (Hb) yang berasal dari penghancuran sel darah merah
dan kelebihan kolesterol.

82
DAFTAR PUSTAKA

Anderson, 1999, Anatomi Fisiologi Tubuh Manusia, Jones and barret Publisher Boston, Edisi
Bahasa Indonesia, Jakarta, EGC
Verralis, Sylvia, 1997, Anatomi dan Fisiologi Terapan dalam Kebidanan, Jakarta, EGC
Pearce, 1999, Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis, Jakarta, Gramedia
Landan, 1980, Essential Human Anatomy and Physiology, Scott Foresman and Company
Gienview
Martini, 2001, Fundamentals of Anatomy and Physiology, Prentice Hall, New Jersey
Gibson, 1995, Anatomi dan Fisiologi Modern untuk Perawat, Jakarta, EGC
Ganong, 1995, Review of Medical Physiology, Philadelphia
Guyton, 1995, Tex Book of Medical Physiology, Philadelphia
Watson, R., 2002, Anatomi dan Fisiologi untuk Perawat, edisi 10, EGC, Jakarta
Kahle, W., et all, 1991, Atlas dan Buku Teks Anatomi Manusia, EGC, Jakarta
Lutjen, et all, 2001, Atlas foto anatomi: struktur dan fungsi tubuh manusia, edisi 2,
EGC, Jakarta

83
2.7 LAPORAN PENDAHULUAN TUMOR USUS

A. DEFINISI
Tumor (berasal dari bahasa latin, yang berarti "bengkak"), merupakan
salah satu dari lima karakteristik inflamasi. Namun, istilah ini sekarang digunakan
untuk menggambarkan pertumbuhan biologikal jaringan yang tidak normal.
Pertumbuhannya dapat digolongkan sebagai ganas (malignant) atau jinak (benign)
(Brooker,2001).
Tumor usus adalah suatu benjolan atau struktur yang menempati area usus,
dan merupakan neoplasma yang dapat bersifat jinak atau ganas (FKUI, 2008 :
268).
Tumur usus merupakan tumbulnya jaringan baru pada usus yang tidak
terkontrol atau abnormal dan progresif baik jinak (benign) maupun ganas
(maligna).

B. ETIOLOGI
1. Kelainankogenital
Kelainan kongenital adalah kelainan yang dibawa sejak lahir, benjolannya dapat
berupa benjolan yang timbul sejak lahir atau timbul pada usia kanak-kanak
bahkan terkadang muncul setelah usia dewasa. Pada kelainan ini ,benjolan yang
paling sering terletak di leher samping bagian kiri atau kanan di sebelah atas , dan
juga di tengah-tengah di bawah dagu. Ukuran benjolan bisa kecil beberapa cm
tetapi bisa juga besar seperti bola tenis. Kelainan kongenital yang sering terjadi di
daerah leher antara lain adalah :
 hygroma colli, kista branchial, kista ductusthyroglosus.
 Genetik
 Gender / jenis kelamin
 Usia
 Rangsangan fisik berulang

Gesekan atau benturan pada salah satu bagian tubuh yang berulang dalam
waktu yang lama merupakan rangsangan yang dapat mengakibatkan terjadinya
kanker pada bagian tubuh tersebut, karena luka atau cedera pada tempat tersebut
tidak sempat sembuh dengan sempurna.

84
2. Hormon
Hormon adalah zat yang dihasilkan kelenjar tubuh yang fungsinya adalah
mengatur kegiatan alat-alat tubuh dan selaput tertentu.
3. Karsinogenik (bahankimia, virus, radiasi)
Zat yang terdapat pada asap rokok dapat menyebabkan kanker paru pada
perokok dan perokok pasif (orang bukan perokok yang tidak sengaja menghirup
asap rokok orang lain) dalam jangka waktu yang lama.
Bahan kimia untuk industri serta asap yang mengandung senyawa karbon dapat
meningkatkan kemungkinan seorang pekerja industri menderita kanker.
Beberapa virus berhubungan erat dengan perubahan sel normal menjadi sel
kanker. Jenis virus ini disebut virus penyebab kanker atau virus onkogenik. Sinar
ultra-violet yang berasal dari matahari dapat menimbulkan kanker kulit. Sinar
radio aktif sinar X yang berlebihan atau sinar radiasi dapat menimbulkan kanker
kulit dan leukemia.

C. PATOFISIOLOGI
Kelainan congenital, Genetic, Gender / jenis kelamin, Usia, Rangsangan fisik
berulang, Hormon, Infeksi, Gaya hidup, karsinogenik (bahan kimia, virus, radiasi)
dapat menimbulkan tumbuh atau berkembangnya sel tumor. Sel tumor dapat bersifat
benign (jinak) atau bersifat malignant (ganas). Sel tumor pada tumor jinak bersifat
tumbuh lambat, sehingga tumor jinak pada umumnya tidak cepat membesar. Sel
tumor mendesak jaringan sehat sekitarnya secara serempak sehingga terbentuk simpai
(serabut pembungkus yang memisahkan jaringan tumor dari jaringan sehat). Oleh
karena bersimpai maka pada umumnya tumor jinak mudah dikeluarkan dengan cara
operasi. Sel tumor pada tumor ganas (kanker) tumbuh cepat, sehingga tumor ganas
pada umumnya cepat menjadi besar. Sel tumor ganas tumbuh menyusup ke jaringan
sehat sekitarnya, sehingga dapat digambarkan seperti kepiting dengan kaki-kakinya
mencengkeram alat tubuh yang terkena. Disamping itu sel kanker dapat membuat
anak sebar (metastasis) ke bagian alat tubuh lain yang jauh dari tempat asalnya
melalui pembuluh darah dan pembuluh getah bening dan tumbuh kanker baru di
tempat lain. Penyusupan sel kanker kejaringan sehat pada alat tubuh lainnya dapat
merusak alat tubuh tersebut sehingga fungsi alat tersebut menjadi terganggu. Kanker
adalah sebuah penyakit yang ditandai dengan pembagian sel yang tidak teratur dan
kemampuan sel-sel ini untuk menyerang jaringan biologis lainnya, baik dengan

85
pertumbuhan langsung di jaringan yang bersebelahan (invasi) atau dengan migrasi
sel ke tempat yang jauh (metastasis).
Pertumbuhan yang tidak teratur ini menyebabkan kerusakan DNA, menyebabkan
mutasi di gen vital yang mengontrol pembagian sel, dan fungsi lainnya (Tjakra,
Ahmad. 1991).
Adapun siklus tumbuh sel kanker adalah membelah diri, membentuk RNA,
berdiferensiasi / proliferasi, membentuk DNA baru, duplikasi kromosom sel,
duplikasi DNA dari sel normal, menjalani fase mitosis, fase istirahat (pada saat ini sel
tidak melakukan pembelahan).

D. MANIFESTASI KLINIS
Gejala sangat ditentukan oleh lokasi kanker, tahap penyakit dan fungsi segmen
usus tempat kanker berlokasi. Gejala paling menonjol adalah perubahan kebiasaan
defekasi. Pasase darah dalam feses adalah gejala paling umum kedua. Gejala dapat
juga mencakup anemia yang tidak diketahui penyebabnya, anoreksia, penurunan berat
badan dan keletihan. Gejala yang sering dihubungkan dengan lesi sebelah kanan
adalah nyeri dangkal abdomen dan melena (feses hitam seperti ter). Gejala yang
sering dihubungkan dengan lesi sebelah kiri adalah yang berhubungan dengan
obstruksi (nyeri abdomen dan kram, penipisan feses, konstipasi dan distensi) serta
adanya darah merah segar dalam feses. Gejala yang dihubungkan dengan lesi rektal
adalah evakuasi feses yang tidak lengkap setelah defekasi, konstipasi dan diare
bergantian serta feses berdarah. gejala yang perlu diperhatikan dan diperiksakan lebih
lanjut ke dokter untuk memastikan ada atau tidaknya kanker, yaitu : Waktu buang air
besar atau kecil ada perubahan kebiasaan atau gangguan.

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Dalam menegakan diagnosis tumor usus perlu dilakukan :
a. Pemeriksaan laboratorium
b. Endoskopi
c. Foto polos abdomen
d. Commuted tomograpy (CT)
e. Contrast X-ray
f. USG
g. patologi anatomi (biopsi atau sediaan eksisi tumor)

86
F. PENATALAKSANAAN
Pasien dengan gejala obstruksi usus diobati dengan cairan IV dan pengisapan
nasogastrik. Apabila terdapat perdarahan yang cukup bermakna, terpai komponen
darah dapat diberikan.Pengobatan tergantung pada tahap penyakit dan komplikasi
yang berhubungan. Endoskopi, ultrasonografi dan laparoskopi telah terbukti berhasil
dalam pentahapan kanker kolorektal pada periode praoperatif. Metode pentahapan
yang dapat digunakan secara luas adalah klasifikasi Duke:
a. Kelas A – tumor dibatasi pada mukosa dan sub mukosa
b. Kelas B – penetrasi melalui dinding usus
c. Kelas C – Invasi ke dalam sistem limfe yang mengalir regional
d. Kelas D – metastasis regional tahap lanjut dan penyebaran yang luas.
Pengobatan medis untuk kanker kolorektal paling sering dalam bentuk pendukung
atau terapi ajufan. Terapi ajufan biasanya diberikan selain pengobatan bedah. Pilihan
mencakup kemoterapi, terapi radiasi atau imunoterapi. Terapi ajufan standar yang
diberikan untuk pasien dengan kanker kolon kelas C adalah program 5-FU/
Levamesole. Pasien dengan kanker rektal Kelas B dan C diberikan 5-FU dan metil
CCNU dan dosis tinggi radiasi pelvis.Terapi radiasi sekarang digunakan pada
periode praoperatif, intraoperatif dan pascaoperatif untuk memperkecil tumor,
mencapai hasil yang lebih baik dari pembedahan, dan untuk mengurangi resiko
kekambuhan. Untuk tumor yang tidak dioperasi atau tidak dapat disekresi, radiasi
digunakan untuk menghilangkan gejala secara bermakna. Alat radiasi intrakavitas
yang dapat diimplantasikan dapat digunakan. Data paling baru menunjukkan adanya
pelambatan periode kekambuhan tumor dan peningkatan waktu bertahan hidup untuk
pasien yang mendapat beberapa bentuk terapi ajuran.
Penatalaksanaan medik
Pembedahan adalah tindakan primer untuk kebnayakan kanker kolon dan rektal.
Pembedahan dapat bersifat kuratif atau paliatif. Kanker yang terbatas pada satu sisi
dapat diangkat dengan kolonoskop. Kolostomi laparoskopik dengan polipektomi,
suatu prosedur yang baru dikembangkan untuk meminimalkan luasnya pembedahan
pada beberapa kasus. Laparoskop digunakan sebagai pedoman dalam menbuat
keputusan di kolon; massa tumor kemudian di eksisi. Laser Nd: YAG telah terbukti
efektif pada beberapa lesi. Reseksi usus diindikasikan ntuk kebanyakan lesi kelas A
dan semua kelas B serta lesi C. Pembedahan kadang dianjurkan untuk mengatasi
kanker koon kelas D. Tujuan pembedahan dalam situasi ini adalah paliatif. Apabila

87
tumor telah menyebar dan mencakup struktur vital sekitar, operasi tidak dapat
dilakukan.
Tipe pembedahan tergantung pada lokasi dan ukuran tumor. Prosedur pembedahan
pilihan adalah sebagai berikut (Doughty & Jackson, 1993):
a. Reseksi segmental dengan anostomosis (pengangkatan tumor dan porsi usus pada
sisis pertumbuhan, pembuluh darah dan noduslimfatik)
b. Reseksi abdominoperineal dengan kolostomi sigmoid permanen
(pengangkatan tumor dan porsi sigmoid dan semua rektum serta sfingteranal

G. KOMPLIKASI
Pertumbuhan tumor dapat menyebabkan obstruksi usus parsial atau lengkap.
Pertumbuhan dan ulserasi dapat juga menyerang pembuluh darah sekitar kolon yang
menyebabkan hemoragi. Perforasi dapat terjadi dan mengakibatkan pembentukan
abses. Peritonitis dan atau sepsis dapat menimbulkan syok.

88
DAFTAR PUSTAKA

Bare & Suzanne, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Volume 2, (Edisi 8), EGC,
Jakarta
Carpenito, 1999, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, (Edisi 2), EGC, Jakarta
Corwin,. J. Elizabeth, 2001, Patofisiologi, EGC, Jakarta
Doenges, E. Marilynn dan MF. Moorhouse, 2001, Rencana Asuhan Keperawatan, (Edisi III),
EGC, Jakarta.
FKUI, 1979, Patologi, FKUI, Jakarta
Ganong, 1997, Fisiologi Kedokteran, EGC, Jakarta
Gibson, John, 2003, Anatomi dan Fisiologi Modern untuk Perawat, EGC, Jakarta

89
2.8 LAPORAN PENDAHULUAN HEMOROID

A. DEFINISI

Hemoroid adalah pelebaran dan inflamasi pembuluh darah vena di daerah anus
yang berasal dari plexus hemorrhoidalis.

Hemoroid adalah bagian vena yang berdilatasi di dalam kanal anal. Hemoroid
sangat umum terjadi. Pada usia 50 tahunan, sekitar 50 % individu mengalami
berbagai tipe hemoroid berdasarkan luasnya vena yang terkena.

Hemoroid adalah pelebaran varises satu segmen / lebih pembuluh darah vena
hemoroidales (bacon) pada poros usus dan anus yang disebabkan karena otot &
pembuluh darah sekitar anus / dubur kurang elastis sehingga cairan darah terhambat
dan membesar
(Daldiyono).

B. KLASIFIKASI

Pada dasarnya hemoroid di bagi menjadi dua klasifikasi, yaitu :

a. Hemoroid Interna

Merupakan varises vena hemoroidalis superior dan media. Terdapat pembuluh


darah pada anus yang ditutupi oleh selaput lendir yang basah. Jika tidak
ditangani bisa terlihat muncul menonjol ke luar seperti hemoroid eksterna.

Gejala - gejala dari hemoroid interna adalah pendarahan tanpa rasa sakit karena
tidak adanya serabut serabut rasa sakit di daerah ini. Jika sudah parah bisa
menonjol keluar dan terus membesar sebesar bola tenis sehingga harus diambil
tindakan operasi untuk membuang wasir.
b. Hemoroid eksterna
Merupakan varises vena hemoroidalis inferior yang umumnya berada di bawah
otot dan berhubungan dengan kulit. Biasanya wasir ini terlihat tonjolan bengkak
kebiruan pada pinggir anus yang terasa sakit dan gatal. Hemoroid eksrterna jarang
sekali berdiri sendiri, biasanya perluasan hemoroid interna.

90
Derajat hemoroid terbagi menjadi 4 derajat :
- Derajat I
Timbul pendarahan varises, prolapsi / tonjolan mokosa tidak melalui
anus dan hanya dapat di temukan dengan proktoskopi.
- Derajat II
Terdapat trombus di dalam varises sehingga varises selalu keluar pada
saat depikasi, tapi seterlah depikasi selesai, tonjolan tersebut dapat
masuk dengan sendirinya.
- Derajat III
Keadaan dimana varises yang keluar tidak dapat masuk lagi dengan
sendirinya tetapi harus di dorong
- Derajat IV
Suatu saat ada timbul keaadan akut dimana varises yang keluar pada
saat defikasi tidak dapat di masukan lagi.

C. ETIOLOGI
Hemoroid timbul akibat kongesti vena yang disebabkan gangguan aliran balik
dari vena hemoroidalis. Beberapa factor etiologi telah digunakan, termasuk
konstipasi/diare, sering mengejan, kongesti pelvis pada kehamilan, pembesaran
prosfat; fibroma arteri dan tumor rectum. Penyakit hati kronik yang disertai hipertensi
portal sering mengakibatkan hemoroid karena vena hemoroidalis superior
mengalirkan darah ke dalam system portal. Selain itu system portal tidak mempunyai
katup sehingga mudah terjadi aliran balik.

Faktor resiko hemoroid :

 Keturunan : dinding pembuluh darah yang lemah dan tipis


 Anatomik : vena darah anorektal tidak mempunyai katup dan plexux
 Pekerjaan berat, orang yang harus berdiri dan duduk lama, mengangkat
barang berat mempunyai predisposisi untuk hemoroid.
 Umur; pada umur tua timbul degenerasi dari seluruh jaringan tubuh, juga otot
sfingter menjadi tipis dan atonis.
 hemorhoidalis kurang mendapat sokongan otot dan fasi sekitarnya

91
 Endokrin ; Misalnya pada wanita hamil ada dilatasi vena ekstermitas dan anus
(sekresi hormon kelaksin)
 Mekanis ; Semua keadaan yang mengakibatkan timbulnya tekanan
yang meninggi dalam rongga perut. Misalnya penderita hipertrofi
prostat
 Fisiologis ; Bendungan pada peredaran darah portal misalnya pada
penderita dekompensiasio hordis atau sikrosis hepatis
 Radang ; Adalah faktor penting yang menyebabkan fitalitas jaringan di
daerah itu berkurang.

D. PATOFISIOLOGI

Faktor penyebab faktor-faktor hemoroid adalah mengedan saat defekasi,


konstipasi menahun, kehamilan dan obesitas. Keempat hal diatas menyebabkan
peningkatan tekanan intra abdominal lalu di transmisikan ke derah anorektal dan
elevasi yang tekanna yang berulang-ulang mengakibatkan vena hemoroidalis
mengalami prolaps. Hasil di atas menimbulkan gejala gatal atau priritus anus akibat
iritasi hemoroid dengan feses, perdarahan akibat tekanan yang terlalu kuat dan
feses yang keras menimbulkan perdarahan, dan ada udema dan peradangan akibat
infeksi yang terjadi saat ada luka akibat perdarahan.

92
E. PATHWAY

93
F. MANIFESTASI KLINIS

Hemoroid menyebabkan rasa gatal dan nyeri dan sering menyebabkan


perdarahan berwarna merah terang pada saat defekasi. Hemoroid eksternal
dihubungkan dengan nyeri hebat akibat inflamasi dan edema yang disebabkan oleh
trombosis.Trombosis adalah pembekuan darah dalam hemoroid. Ini dapat
menimbulkan iskemia pada area tersebut dan nekrosis. Hemoroid internal tidak selalu
menimbulkan nyeri sampai hemoroid ini membesar dan menimbulkan perdarahan
atau prolaps.

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Pemeriksaan fisik yaitu inspeksi dan rektaltouche (colok dubur). Pada pemeriksaan
colok dubur, hemoroid interna stadium awal tidak dapat diraba sebab tekanan vena
di dalamnya tidak terlalu tinggi dan biasanya tidak nyeri. Hemoroid dapat diraba
apabila sangat besar. Apabila hemoroid sering prolaps, selaput lendir akan
menebal. Trombosis dan fibrosis pada perabaan terasa padat dengan dasar yang
lebar. Pemeriksaan colok dubur ini untuk menyingkirkan kemungkinan karsinoma
rektum.
b. Pemeriksaan dengan teropong yaitu anoskopi atau rectoscopy.
Dengan cara ini dapat dilihat hemoroid internus yang tidak menonjol keluar.
Anoskop dimasukkan untuk mengamati keempat kuadran. Penderita dalam posisi
litotomi. Anoskop dan penyumbatnya dimasukkan dalam anus sedalam mungkin,
penyumbat diangkat dan penderita disuruh bernafas panjang. Hemoroid interna
terlihat sebagai struktur vaskuler yang menonjol ke dalam lumen. Apabila
penderita diminta mengejan sedikit maka ukuran hemoroid akan membesar dan
penonjolan atau prolaps akan lebih nyata. Banyaknya benjolan, derajatnya, letak
,besarnya dan keadaan lain dalam anus seperti polip, fissura ani dan tumor ganas
harus diperhatikan.

c. Pemeriksaan proktosigmoidoskopi
Proktosigmoidoskopi perlu dikerjakan untuk memastikan keluhan bukan
disebabkan oleh proses radang atau proses keganasan di tingkat tinggi, karena
hemoroid merupakan keadaan fisiologik saja atau tanda yang menyertai. Feses
harus diperiksa terhadap adanya darah samar.

94
d. Rontgen (colon inloop) dan/atau kolonoskopi.
e. Pemeriksaan darah, urin, feses sebagai pemeriksaan penunjang

H. PENATALAKSANAAN
Hemorroid interna diterapi sesuai dengan gradenya. Tetapi hemorroid eksterna
selalu dengan operasi. Konservatif indikasi untuk grade 1-2, < 6 jam, belum terbentuk
trombus. Operatif indikasi untuk grade 3-4, perdarahan dan nyeri.

Gejala hemorroid dan ketidaknyamanan dapat dihilangkan dengan:


- Higiene personal yang baik dan menghindari mengejan berlebihan selama
defekasi.
- Diet tinggi serat yang mengandung buah dan sekam, bila gagal dibantu dengan
menggunakan laksatif yang berfungsi mengabsorbsi air saat melewati usus.
- Tindakan untuk mengurangi pembesaran dengan cara: rendam duduk dengan
salep, supositoria yang mengandung anestesi, astringen (witch hazel) dan tirah
baring.
- Beberapa tindakan nonoperatif untuk hemorroid:
- Foto koagulasi infra merah, diatermi bipolar, terapi laser adalah tehnik terbaru
untuk melekatkan mukosa ke otot yang mendasarinya
- Injeksi larutan sklerosan efektif untuk hemorrhoid yang berukuran kecil.
- Tindakan bedah konservatif hemorrhoid interna
Adalah prosedur ligasi pita karet. Hemorrhoid dilihat melalui anosop, dan
bagian proksimal diatas garis mukokutan dipegang dengan alat. Pita karet
kecil kemudian diselipkan diatas hemorrhoid. Bagian distal jaringan pada pita
karet menjadi nekrotik setelah beberapa hari danm dilepas. Terjadi fibrosis
yang mengakibatkan mukosa anal bawah turun dan melekat pada otot dasar.
Meskipun tindakan ini memuaskan beberapa pasien, namun pasien lain
merasakan tindakan ini menyebabkan nyeri dan mengakibatkan hemorroid
sekunder dan infeksi perianal.
- Hemoroidektomi kriosirurgi
Adalah metode untuk menghambat hemorroid dengan cara membekukan
jaringan hemorroid selama waktu tertentu sampai timbul nekrosis. Meskipun
hal ini kurang menimbulkan nyeri, prosedur ini tidak digunakan dengan luas

95
karena menyebabkan keluarnya rabas yang berbau angat menyengat dan luka
yang ditimbulkan lama sembuh.
- Laser Nd: YAG
Digunakan dalam mengeksisi hemorroid eksternal. Tindakan ini cepat dan
kurang menimbulkan nyeri. Hemoragi dan abses jarang menjadi komplikasi
pada periode paska operatif.
- Hemorroidektomi atau eksisi bedah, dapat dilakukan untuk mengangkat semua
jaringan sisa yang terlibat dalam proses ini. Selma pembedahan, sfingter rektal
biasanya didilatasi secara digital dan hemorroid diangkat dengan klem dan
kauter atau dengan ligasi dan kemudian dieksisi. Setelah prosedur operasi
selesai, selang kecil dimaukkan melalui sfingter untuk memungkinkan
keluarnya flatus dan darah; penempatan Gelfoan atau kasa Oxigel dapat
diberikan diatas luka kanal.

I. KOMPLIKASI
1. Terjadi trombosis
Karena hemoroid keluar sehinga lama - lama darah akan membeku dan terjadi
trombosis.
2. Peradangan
Kalau terjadi lecet karena tekanan vena hemoroid dapat terjadi infeksi dan
meradang karena disana banyak kotoran yang ada kuman - kumannya.
3. Terjadinya perdarahan
Pada derajat satu darah keluar menetes dan memancar. Perdarahan akut pada
umumnya jarang, hanya terjadi apabila yang pecah adalah pembuluh darah besar.
Hemoroid dapat membentuk pintasan portal sistemik pada hipertensi portal, dan
apabila hemoroid semacam ini mengalami perdarahan maka darah dapat sangat
banyak. Yang lebih sering terjadi yaitu perdarahan kronis dan apabila berulang
dapat menyebabkan anemia karena jumlah eritrosit yang diproduksi tidak bisa
mengimbangi jumlah yang keluar. Anemia terjadi secara kronis, sehingga sering
tidak menimbulkan keluhan pada penderita walaupun Hb sangat rendah karena
adanya mekanisme adaptasi. Apabila hemoroid keluar, dan tidak dapat masuk
lagi(inkarserata/ terjepit) akan mudah terjadi infeksi yang dapat menyebabkan
sepsis dan bisa mengakibatkan kematian.

96
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddart (2002) “Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah”, Jakarta : AGC.

Doenges, M. E., Moorhouse, M. F. & Geissler, A. C. (2000) “Rencana Asuhan

Keperawatan”, Jakarta : EGC.

Guyton & Hall (1997) “Buku Ajar Fisiologi Kedokteran”, Jakarta : EGC.

Price, S & Wilson, L. M. (1995) “Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit”,


Jakarta : EGC.

Reeves, C. J., Roux, G & Lockhart, R. (1999) “Keperawatan Medikal Bedah”, Buku

Satu, Jakarta : Salemba Medika.

97
2.9 LAPORAN PENDAHULUAN MELENA

A. DEFINISI
Melena adalah pengeluaran feses atau tinja yang berwarna hitam seperti ter
yang disebabkan oleh adanya perdarahan saluran makan bagian atas. BAB darah atau
biasa disebut hematochezia ditandai dengan keluarnya darah berwarna merah terang
dari anus, dapat berbentuk gumpalan atau telah bercampur dengan tinja. Sebagian
besar BAB darah berasal dari luka di usus besar, rektum, atau anus. Warna darah pada
tinja tergantung dari lokasi perdarahan. Umumnya, semakin dekat sumber perdarahan
dengan anus, semakin terang darah yang keluar. Oleh karena itu, perdarahan di anus,
rektum dan kolon sigmoid cenderung berwarna merah terang dibandingkan dengan
perdarahan di kolon transversa dan kolon kanan (lebih jauh dari anus) yang berwarna
merah gelap atau merah tua.

B. ETIOLOGI
a. Adanya luka atau pendarahan di lambung atau usus.
b. Tukak lambung .
c. Wasir.
d. Disentri.
e. Minuman beralkohol.

98
C. PATOFISIOLOGI

Pada gagal hepar sirosis kronis, kematian sel dalam hepar mengakibatkan
peningkatan tekanan vena porta. Sebagai akibatnya terbentuk saluran kolateral dalam
submukosa esopagus dan rektum serta pada dinding abdomen anterior untuk
mengalihkan darah dari sirkulasi splenik menjauhi hepar. Dengan meningkatnya
teklanan dalam vena ini, maka vena tersebut menjadi mengembang dan membesar
(dilatasi) oleh darah (disebut varises). Varises dapat pecah, mengakibatkan
perdarahan gastrointestinal masif. Selanjutnya dapat mengakibatkan kehilangan darah
tiba-tiba, penurunan arus balik vena ke jantung, dan penurunan curah jantung. Jika
perdarahan menjadi berlebihan, maka akan mengakibatkan penurunan perfusi

99
jaringan. Dalam berespon terhadap penurunan curah jantung, tubuh melakukan
mekanisme kompensasi untuk mencoba mempertahankan perfusi. Mekanisme ini
merangsang tanda-tanda dan gejala-gejala utama yang terlihat pada saat pengkajian
awal. Jika volume darah tidak digantikan , penurunan perfusi jaringan mengakibatkan
disfungsi seluler. Sel-sel akan berubah menjadi metabolsime anaerobi, dan terbentuk
asam laktat. Penurunan aliran darah akan memberikan efek pada seluruh sistem tubuh,
dan tanpa suplai oksigen yang mencukupi sistem tersebut akan mengalami kegagalan.

D. MANIFESTASI KLINIS
a. Syok (denyut Jantung, Suhu Tubuh),
b. Penyakit hati kronis (sirosis hepatis),
c. Demam ringan 38-39°C,
d. Nyeri di perut,
e. Hiperperistaltik,
f. Penurunan Hb dan Hmt yang terlihat setelah beberapa jam,
g. Peningkatan kadar urea darah setelah 24-48 jam karena pemecahan protein darah
oleh bakteri usus.

E. PEMERIKSAAN DIAGNOSIS
a. Laboratorium (pemeriksaan darah)
 Hitung darah lengkap: penurunan Hb, Hmt, peningkatan leukosit.
 Elektrolit : penurunan kalium serum, peningkatan natrium, glukosa serum
dan laktat.
b. Radiologi
 Barrium Foloow through.
 Barrium enema.
c. Colonoscopy
Pemeriksaan ini dianjurkan pada pasien yang menderita peradangan kolon.

10
F. PENATALAKSANAAN
a. Pengaturan diet
Bila terjadi konstipasi berikan makan dengan makanan tinggi serat. Dianjurkan
untuk menghindari susu.
b. Pengaturan obat-obatan

G. KOMPLIKASI
a. Encelofati
b. Asites
c. Sirosis Hepatis

10
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddart (2002) “Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah”, Jakarta : AGC.

Doenges, M. E., Moorhouse, M. F. & Geissler, A. C. (2000) “Rencana Asuhan

Keperawatan”, Jakarta : EGC.

Guyton & Hall (1997) “Buku Ajar Fisiologi Kedokteran”, Jakarta : EGC.

Price, S & Wilson, L. M. (1995) “Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit”,


Jakarta : EGC.

Reeves, C. J., Roux, G & Lockhart, R. (1999) “Keperawatan Medikal Bedah”, Buku

Satu, Jakarta : Salemba Medika.

10
2.10 LAPORAN PENDAHULUAN THYPOID

A. DEFINISI
Typhoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan
infeksi Salmonella Thypi. Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang
sudah terkontaminasi oleh faeses dan urine dari orang yang terinfeksi
kuman Salmonella (Smeltzer, 2014).
Typhus abdominalis atau demam typhoid adalah penyakit infeksi akut yang
biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam lebih dari 7 hari,
gangguan pada saluran cerna, gangguan kesadaran, dan lebih banyak menyerang pada
anak usia 12 – 13 tahun( 70% - 80% ), pada usia 30 - 40 tahun ( 10%-20% ) dan
diatas usia pada anak 12-13 tahun sebanyak (5%-10%) (Arief, 2010).
Demam typhoid atau Typhus abdominalis adalah suatu penyakit infeksi akut
yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari
satu minggu, gangguan pada pencernaan dan gangguan kesadaran (Price A. Sylvia,
2006).
Demam typhoid adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh kuman gram
negatif Salmonella typhi. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi
dalam sel fagositik mononuklear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran
darah. (Darmowandowo, 2006)

B. ETIOLOGI
Etiologi demam thypoid adalah salmonella thypi (S.thypi) 90 % dan
salmonella parathypi (S. Parathypi Adan B serta C). Bakteri ini berbentuk batang,
gram negatif, mempunyai flagela, dapat hidup dalam air, sampah dan debu. Namun
bakteri ini dapat mati dengan pemanasan suhu 600 selama 15-20 menit. Akibat infeksi
oleh salmonella thypi, pasien membuat antibodi atau aglutinin yaitu :
 Aglutinin O (antigen somatik) yang dibuat karena rangsangan antigen O
(berasal dari tubuh kuman).
 Aglutinin H (antigen flagela) yang dibuat karena rangsangan antigen H
(berasal dari flagel kuman).
 Aglutinin Vi (envelope) terletak pada kapsul yang dibuat karena rangsangan
antigen Vi (berasal dari simpai kuman)

10
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk
diagnosa, makin tinggi titernya makin besar pasien menderita tifoid (Sudoyo, 2009).

C. PATOFISIOLOGI
Penularan salmonella typi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal
dengan 5f yaitu : food (makanan), fingers (jari tangan/kuku), fomitus (muntah), fly
(lalat), dan melalui feses. Feses dan muntah pada penderita thypoid dapat menularkan
kuman salmonella thypi kepada orang lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui
perantara lalat dimana lalat akan hinggap di makanan yang akan di makan oleh
orang yang sehat. Apabila orang tersebut kurang memperhatikan kebersihan dirinya
seperti mencuci tangan dan makanan yang tercemar kuman salmonella thypi masuk
ke tubuh orang yang sehat melalui mulut. Sebagian kuman akan di musnahkan oleh
asam lambung, sebagian masuk ke usus halus, jaringan limfoid dan berkembangbiak
menyerang vulli usus halus. Kemudian kuman masuk keperedaran darah (bakteremia
primer) dan mencapai sel-sel retikuloendoteal,hati,limpa, dan organ lain.
Proses ini terjadi pada masa tunas dan berakhir saat sel-sel retukuloendoteal
melepaskan kuman kedalam peredaran darah dan menimbulkan bakteremia untuk
kedua kali. Kemudian kuman masuk ke beberapa jaringan organ tubuh terutama
limp, usus dan kandung empedu
Pada minggu I, terjadi hyperplasia plaks player pada kelenjar limfoid usus
halus. Minggu II terjadi nekrosis. Minggu III terjadi ulserasi plaks player. Minggu IV
terjadi penyembuhan dengan menimbulkan sikatrik, ulkus dapat menyebabkan
perdarahan sampai perforasi usus, hepar, kelenjar mesenterikal dan limpa membesar.
Gejala demam disebabkan oleh endotoksin sedangkan gejala saluran cerna karena
kelainan pada usus halus (Price, 2006).

10
D. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Mansjoer, 2010 pada demam typoid memiliki masa tunas 7-14 (rata-
rata 3 – 30) hari, selama inkubasi ditemukan gejala prodromal (gejala awal
tumbuhnya penyakit/gejala yang tidak khas) :
 Perasaan tidak enak badan
 Lesu
 Nyeri kepala
 Pusing
 Diare
 Anoreksia
 Batuk
 Nyeri otot
Menyusul gejala klinis yang lain demam yang berlangsung 3 minggu :
1. Demam
a. MingguI :Demam remiten, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat pada
sore dan malam hari
b. Minggu II: Demam terus
c. Minggu III :Demam mulai turun secara berangsur - angsur.
2. Gangguan pada saluran pencernaan
a. Lidah kotor yaitu ditutupi selaput kecoklatan kotor, ujung dan tepi kemerahan,
jarang disertai tremor
b. Hati dan limpa membesar yang nyeri pada perabaan
c. Terdapat konstipasi, diare
3. Gangguan kesadaran
a. Kesadaran yaitua patis–somnolen
b. Gejala lain “Roseola” (bintik-bintik kemerahan karena emboli hasil dalam kapiler
kulit)

10
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan SGOT Dan SGPT
SGOT Dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat
kembali
2. Biakan darah
Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila biakan
darah negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid. Hal ini
dikarenakan hasil biakan darah tergantung dari beberapa faktor :
3. Teknik pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang lain,
hal ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan.
Waktu pengambilan darah yang baik adalah pada saat demam tinggi yaitu pada
saat bakteremia berlangsung.
4. Vaksinasi di masa lampau
Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat menimbulkan
antibodi dalam darah klien, antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga
biakan darah negatif.
5. Pengobatan dengan obat anti mikroba
Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti mikroba
pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin
negatif.
6. Uji Widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin).
Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien
dengan typhoid juga terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen
yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah
dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk
menentukan adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita
tifoid
Uji widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibody terhadap kuman
Salmonella typhi. Uji widal dikatakan bernilai bila terdapat kenaikan titer widal
4 kali lipat (pada pemeriksaan ulang 5-7 hari) atau titer widal O > 1/320, titer H
> 1/60 (dalam sekali pemeriksaan.

10
F. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan typoid sampai saat ini masih menganut Trilogi penatalaksanaan
demam thypoid, yaitu :
 Kloramphenikol :dosis hari pertama 4 x 250 mg, hari kedua 4 x 500 mg,
diberikan selama demam berkanjut sampai 2 hari bebas demam, kemudian
dosis diturunkan menjadi 4 x 250 mg selama 5 hari kemudian
 Ampisilin/Amoksisilin :dosis 50 – 15- mg/Kg/BB/hari, diberikan selama
2 minggu
 Kotrimoksasol : 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung 400 mg
sulfametosazol-80 mg trimetropim), diberikan selama dua minggu.

2. Penatalaksanaan Keperawatan
a. Diet rendah serat
 Bubur saring,bubur kasar, nasi diberikan sesuai tingkat kesembuhan
pasien.
 Vitamin,mineral untuk mendukung keadaan umum pasien.
 Istirahat bertujuan untuk mencegah komplikasi dan memparcepat
penyembuhan. Pasien harus tirah baring absolute sampai minimal 7
hari bebas demam. Mobilisasi dilakukan bertahap sesuai dengan
pulihnya kekuatan pasien.

G. KOMPLIKASI
Menurut Sudoyo, 2010 komplikasidari typoid dapat dibagi dalam :
1. Komplikasi intestinal
 Perdarahan usus
 Perforasi usus
 Ileus paralitik
2. Komplikasi ekstra intestinal
 Kardiovaskuler :kegagalan sirkulasi perifer (renjatan sepsis) miokarditis,
trombosis, dan tromboflebitie.
 Darah : anemia hemolitik, tromboritopenia, sindrom uremia hemolitik
 Paru : pneumonia, empiema, pleuritis

10
 Hepar dan kandung empedu : hipertitis dan kolesistitis.
 Ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis.
 Tulang : oeteomielitis, periostitis, epondilitis, dan arthritis.
 Neuropsikiatrik : delirium, sindrom Guillan-Barre, psikosis dan
sindrom katatonia.

10
DAFTAR PUSTAKA

http://www.scribd.com/doc/35499381/Asuhan-Keperawatan-Pada-Pasien-Dengan thypoid.
Ngastiyah. ( 2005). Perawatan Anak Sakit . ed 2. Jakarta : EGC
Sachasin R.M. (1996). Prinsip Keperawatan Pediatrik. Diterj : Manulang R.F. Jakarta : EGC.
Saunders. W.B. (1996). Kamus Kedokteran .ed 2. Jakarta : EGC
www. Google.com . typhoid. Gambar-gambar tantang typhoid.

10
2.11 LAPORAN PENDAHULUAN HEPATITIS

A. DEFINISI
Hepatitis adalah inflamasi hepar yang disebabkan oleh salah satu dari lima agen virus
yang berbeda, hepatitis dapat ringan dan dapat disembuhkan sampai kronis dan vatal
(Carpenito L. J, 1996 page 1332).
Hepatitis adalah keadaan radang atau cedera pada hati, sebagai reaksi terhadap virus,
obat, atau alkohol (Dr. Jan Tambayong,2000. Patofisiologi Untuk Keperawatan.page 145)
Kesimpulan hepatitis adalah inflamasi sebagai reaksi yang disebabkan agen virus, obat,
atau alkohol.

B. ETIOLOGI
Penyebab dari hepatitis yaitu (Sylvia A. Price.2006. Patofisiologi konsep klinis
proses-proses penyakit. page 485-488) :
 Hepatitis A
a. Virus hepatitis A (HAV) terdiri dari RNA berbentuk bulat tidak berselubung
berukuran 27 nm
b. Ditularkan melalui jalur vekal-oral, sanitasi yang jelek, kontak antara manusia,
dibawah oleh air dan makanan
c. Masa inkubasinya 15-49 hari dengan rata-rata 30 hari
d. Infeksi ini mudah terjadi didalam lingkungan dengan hygiene dan
sanitasi yang buruk dengan penduduk yang sangat padat
 Hepatitis B (HBV)
a. Virus hepatitis B merupakan virus yang bercangkang ganda yang
memiliki ukuran 42 nm
b. Ditularkan melalui parenteral atau lewat dengan karier atau penderita infeksi
akut, kontak seksual dan fekal-oral
c. Masa inkubasi 26-160 hari dengan rata-rata 70-80 hari.
d. Faktor resiko bagi para dokter bedah, pekerja laboratorium, dokter gigi,
perawat dan terapis respiratori, staf dan pasien dalam unit hemodialisis serta
onkologi laki-laki biseksual serta homoseksual yang aktif dalam hubungan
seksual dan para pemakai obat-obat IV juga beresiko.

11
 Hepatitis C (HCV)
a. Virus hepatitis C (HCV) merupakan virus RNA kecil, terbungkus lemak
yang diameternya 30-60 nm
b. Ditularkan melalui jalur parenteral dan kemungkinan juga disebabkan juga
oleh kontak sosial
c. Masa inkubasi virus ini 15-60 hari dengan rata-rata 50 hari
d. Faktor resiko hampir sama dengan hepatitis B
 Hepatitis D (HDV)
a. Virus hepatitis D (HDV) merupakan virus RNA berukuran 35 nm
b. Penularannya terutama melalui serum dan menyerang orang yang memiliki
dan memakai oabat terlarang serta kebiasaan penderita hemovilia
c. Masa inkubasi virus ini 21-140 hari dengan rata-rata 35 hari
d. Faktor resiko hepatitis D hampir sama dengan hepatitis B
 Hepatitis E (HEV)
a. Virus hepatitis E (HEV) merupakan virus RNA kecil yang diameternya +32-
36nm
b. Penularanvirus ini melalui jalur vekal oral, kontak antara manusia
dimungkinkan meskipun resikonya rendah
c. Masa inkubasi 15-65 hari dengan rata-rata 42 hari
d. Faktor resiko berjalan kenegara dengan insiden tinggi hepatitis E dan makanan
dan minuman yang terkonminasi

C. KLASIFIKASI
Adapun 6 jenis hepatitis viral yaitu (Sylvia A. Price.2006.Patofisiologi konsep klinis
proses-proses penyakit. Page 485) :
1. Hepatitis A

Seringkali infeksi hepatitis A pada anak-anak tidak menimbulkan gejala,


sedangkan pada orang dewasa menyebabkan gejala mirip flu, rasa lelah, demam,
diare, mual, nyeri perut, mata kuning dan hilangnya nafsu makan. Gejala hilang
sama sekali setelah 6-12 minggu. Orang yang terinfeksi hepatitis A akan kebal
terhadap penyakit tersebut. Berbeda dengan hepatitis B dan C, infeksi hepatitis A
tidak berlanjut ke hepatitis kronik.

11
Masa inkubasi 30 hari. Penularan melalui makanan atau minuman yang
terkontaminasi feces pasien, misalnya makan buah-buahan, sayur yang tidak
dimasak atau makan kerang yang setengah matang. Minum dengaN es batu yang
prosesnya terkontaminasi. Saat ini sudah ada vaksin hepatitis A, memberikan
kekebalan selama 4 minggu setelah suntikan pertama, untuk kekebalan yang
panjang diperlukan suntikan vaksin beberapa kali. Pecandu narkotika dan
hubungan seks anal, termasuk homoseks merupakan risiko tinggi tertular hepatitis
A.

2. Hepatitis B

Gejala mirip hepatitis A, mirip flu, yaitu hilangnya nafsu makan, mual, muntah,
rasa lelah, mata kuning dan muntah serta demam. Penularan dapat melalui jarum
suntik atau pisau yang terkontaminasi, transfusi darah dan gigitan manusia.
Pengobatan dengan interferon alfa-2b dan lamivudine, serta imunoglobulin yang
mengandung antibodi terhadap hepatitis-B yang diberikan 14 hari setelah
paparan.
Vaksin hepatitis B yang aman dan efektif sudah tersedia sejak beberapa tahun
yang lalu. Yang merupakan risiko tertular hepatitis B adalah pecandu narkotika,
orang yang mempunyai banyak pasangan seksual. Mengenai hepatitis C akan kita
bahas pada kesempatan lain.

3. Hepatitis C

Hepatitis C mencakup sekitar 20% dari semua kasus hepatitis viral dan paling
sering ditularkan melalui yang ditransfusi dari donor asimtomatik, berbagi jarum
dengan pengguna obat intra vena dan cairan tubuh atau didapat dari tato.

4. Hepatitis D

Hepatitis D Virus ( HDV ) atau virus delta adalah virus yang unik, yang tidak
lengkap dan untuk replikasi memerlukan keberadaan virus hepatitis B. Penularan
melalui hubungan seksual, jarum suntik dan transfusi darah. Gejala penyakit
hepatitis D bervariasi, dapat muncul sebagai gejala yang ringan (ko-infeksi) atau
amat progresif.

11
5. Hepatitis E

Gejala mirip hepatitis A, demam pegel linu, lelah, hilang nafsu makan dan sakit
perut. Penyakit yang akan sembuh sendiri ( self-limited ), keculai bila terjadi pada
kehamilan, khususnya trimester ketiga, dapat mematikan. Penularan melalui air
yang terkontaminasi feces.

6. Hepatitis F

Baru ada sedikit kasus yang dilaporkan. Saat ini para pakar belum sepakat
hepatitis F merupakan penyakit hepatitis yang terpisah.

7. Hepatitis G

Gejala serupa hepatitis C, seringkali infeksi bersamaan dengan hepatitis B atau C.


Tidak menyebabkan hepatitis fulminan ataupun hepatitis kronik. Penularan melalui
transfusi darah jarum. Hepatitis B , dapat terjadi tanpa gejala. Namun dapat juga
terjadi artalgia dan ruam pada kulit.

D. PATOFISIOLOGI
Inflamasi yang menyebar pada hepar (hepatitis) dapat disebabkan oleh reaksi toksik
terhadap obat-obatan dan bahan-bahan kimia serta infeksi virus melalui cairan tubuh
seperti darah, saliva, semen dan cairan vagina. Setelah virus hepatitis sampai di tubuh
melalui peredaran darah akan menyerang hati dan akan menyebabkan peradangan atau
inflamasi pada hepar sehingga menyebabkan kerusakan hati di lobulus dan generasi sel,
nekrosis parenkim hati dan menyebabkan penurunan fungsi sel hati sehingga
mempengaruhi kekebalan tubuh, adanya reaksi antara antigen antibodi menimbulkan
respon imun seperti demam sehingga timbul hipertermi, respon imun yang timbul
kemudian mendukung respon peradangan.
Perangsangan komponen dan lisis sel serta serangan antibody langsung terhadap
antigen-antigen virus menyebabkan degenerasi sel-sel yang terinfeksi sehingga hati
menjadi edematosa (hepatomegali). Terjadinya hepatomegali menimbulkan keluhan
seperti nyeri abdomen pada kuadran kanan atas, nyeri pada epigastrium, nyeri di hulu hati
sehingga menimbulkan perubahan kenyamanan dan perubahan pemenuhan nutrisi kurang
dari kebutuhan, pemenuhan nutrisi yang tidak adekuat dan disertai dengan hipermetabolik
sehingga akan menimbulkan keletihan.

11
Akibat lain dari hepatomegali yaitu muncul blokir drainase hepar yang menyebabkan
stasis empedu dan empedu tetap menkonjugasikan bilirubin, tetapi bilirubin tidak dapat
mencapai usus halus sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan ekskresi urobilinogen
di tinja sehingga tinja berwarna gelap. Bilirubin terkonjugasi tersebut akan masuk
kealiran darah sehingga terjadi kelebihan bilirubin dalam darah yang akan menyebabkan
terjadinya ikterus pada sclera mata, kulit dan membran mukosa lainnya sehingga
menimbulkan kerusakan integritas jaringan. Pada kulit biasanya menyebabkan terjadinya
pruritus yang akan menyebabkan terjadinya kerusakan integritas kulit sebagian besar dari
bilirubin terkonjugasi tersebut akan diekresikan melalui ginjal sehinga warana urin
menjadi berwarna sangat gelap.

11
E. PATHWAY

11
F. TANDA DAN GEJALA
 Gejala Hepatitis A
Pada minggu pertama, individu yang dijangkiti akan mengalami sakit seperti
kuning, keletihan, demam, hilang selera makan, muntah-muntah, pusing dan
kencing yang berwarna hitam pekat. Demam yang terjadi adalah demam yang
terus menerus, tidak seperti demam yang lainnya yaitupada demam berdarah,
tbc, thypus, dll.
 Secara khusus tanda dan gejala terserangnya hepatitis B yang akut adalah
demam, sakit perut dan kuning (terutama pada area mata yang putih/sklera).
Namun bagi penderita hepatitis B kronik akan cenderung tidak tampak tanda-
tanda tersebut, sehingga penularan kepada orang lain
menjadi lebih beresiko.
 Penderita Hepatitis C sering kali orang yang menderita Hepatitis C tidak
menunjukkan gejala, walaupun infeksi telah terjadi bertahun-tahun lamanya.
Namun beberapa gejala yang samar diantaranya adalah ; Lelah, Hilang selera
makan, Sakit perut, Urin menjadi gelap. Pada beberapa kasus dapat ditemukan
peningkatan enzyme hati pada pemeriksaan urine, namun demikian pada
penderita Hepatitis C justru terkadang enzyme hati fluktuasi bahkan normal.

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG/DIAGNOSTIK
Pemeriksaan diagnostic yang dilakukan menurut Marilynn E. Doenges.2000. Rencana
Asuhan Keperawatan.page 535-536 :
1. Laboratorium
a. Tes fungsi hati seperti :
 AST (SGOT)/ ALT (SGPT) : awalnya meningkat dapat meningkat 1-2
minggu sebelum ikterik kemudian tampak menurun.
 Alkali Fospatase : agak meningkat (kecuali ada kolestasis berat )
 Bilirubin serum : di atas 2,5 mg/100 ml (bila diatas 200 mg/ml
prognosis buruk mungkin berhubungan dengan peningkatan nekrosis
seluler).
b. Darah lengkap : SDM menurun sehubungan dengan penurunan hidup
SDM (gangguan enzim hati).
c. Leukemia : trombositopenia mungkin ada (splenomegali).

11
d. Feses : warna tanah liat, steatorea (penurunan fungsi hati).
e. Albumin serum menurun.
f. Anti-HAVIgM : positif pada tipe A.
g. HbsAG : dapat positif (tipe B) atau negatif (tipe A).
h. Urinalisa : peninggian kadar bilirubin, protein/hematuria dapat terjadi.
i. Tes ekskresi BSP : kadar darah meningkat
2. Radiologi
 Foto polos abdomen : menunjukkan densitas kalsifikasi pada kandung
empedu, pankreas, hati juga dapat menimbulkan splenomegali.
 Skan hati : membantu dalam perkiraan beratnya kerusakan parenkim.
3. Pemeriksaan Tambahan
Biopsi hati : menunjukkan diagnosis dan luasnya nekrosis

H. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan Keperawatan
a. Istirahat sesuai kebutuhan
b.Pendidikan mengenai menghindari pemakaian alkohol/obat lain
c. Pendidikan mengenai cara penularan kepada mitra sehubungan dan anggota
keluarga
2. Penatalaksanaan Medis
a. Memberikan Gamma Globulin murni yang spesifik terhadap HAV/HBV pada
keluarga pasien hepatitis yang dapat memberikan imunitas pasif terhadap infeksi,
imunitas ini bersifat sementara.
b. Tersedia vaksin untuk HBV, karena sifat virus yang sangat menular dan
berpotensi menyebabkan kematian, maka sangat dianjurkan bahwa semua
individu yang termasuk kelompok berisiko tinggi, termasuk pekerja kesehatan
atau orang-orang yang terpajan ke produk darah, divaksinasi. Yang juga
dianjurkan untuk divaksinasi adalah orang-orang yang beresiko terinfeksi virus
termasuk homosek atau heterosek yang aktif secara seksual, pecandu obat bius
dan bayi.
c. Medikametosa
 Kortikosteroid tidak diberikan bila mempercepat penurunan bilirubin darah,
kortikosreroid dapat digunakan pada kolestasis.

11
 Yang berkepanjangan, dimana transaminase serum sudah kembali normal
tetapi bilirubin masih tinggi.
 Berikan obat-obat yang bersifat melindungi hati.
 Antibiotik jika diperlukan.
 Antiemetik jika diperlukan.
d. Vitamin K diberikan pada kasus dengan kecenderungan pendarahan.

I. KOMPLIKASI
 Edema serebral, gagal ginjal, gangguan elektrolit, gangguan pernafasan,
hipoglikemi, hipotensi dan sepsis
 Sindroma Guilain Baire
 Hepatitis kronik persisten
 Hepatitis agresif
 Perkembangan karsinoma hepato seluler

11
DAFTAR PUSTAKA

Alimul, Aziz. 2009. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia, Buku 1. Jakarta :

Salemba Medika.

Brunner & Suddarth. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.Volume 2. (edisi
Delapan). Jakarta : EGC.

Carpenito, L.J. (1999). Rencana Asuhan& Dokumentasi Keperawatan. (Edisi dua). Jakarta :
EGC.

Dienstag, J. L., 2008. Acute Viral Hepatitis. Dalam: Harrison’s Principles of Internal
Medicine Volume II 17th Edition. The Mc Graw Hill Company,1932-1948.

Doenges, Marlynn E, Mary Frances Moorhouse., dan Alice C. Geissler. 1999. Rencana
Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian
Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.

Mansjoer, A. (1999). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : FKUI

NANDA. 2010. Diagnosa Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi 2009 - 2011. Jakarta :
EGC

11
2.12 LAPORAN PENDAHULUAN SEROSIS HEPATITIS

A. DEFINISI
Sirosis adalah penyakit hati kronis yang dicirikan dengan distorsi arsitektur
yang normal oleh lembar-lembar jaringan ikat dan nodul-nodul regenerasi sel hati,
yang tidak berkaitan dengan vaskulatur normal.Nodul-nodul regenerasi ini dapat
berukuran kecil (mikronodular) dan besar (makronodular).Sirosis dapat
mengganggu sirkulasi darah intra hepatic, dan pada kasus yang sangat lanjut,
menyebab kanker gagalan fungsi hati yang secara bertahap.(Price & Wilson, 2002).
Sirosis adalah kondisi fibrosis dan pembentukan jaringan parut yang difus di
hati. Jaringan hati normal digantikan oleh nodus-nodus fibrosa yang mengerut dan
mengelilingi hepatosit. Arsitektur dan fungsi normal hati terganggu.(Corwin, 2001)
Jadi Sirosis Hepatis adalah penyakit hati kronis yang diakibatkan adanya
distorsi arsitektur pada lembar-lembar jaringan ikat dan nodul-nodul yang
beregenerasi pada sel hati sehingga menyebabkan sirkulasi darah di hati tidak normal
yang menyebabkan kegagalan fungsi hati atau fungsi normal hati terganggu.

B. ETIOLOGI
Sirosis dapat disebabkan oleh banyak keadaan, termasuk radang kronis
berkepanjangan, racun, infeksi, dan penyakit jantung. Penyebab sirosis hepatic mulai
dari yang paling sering
a. Hepatitis C (26%)
b. Alcoholic Liver Disease (21%)
c. PenyebabCryptogenik/Tidakdiketahui (18%)
d. Hepatitis C + Alkohol (15%)
e. Hepatitis B (15%)
f. Lain-lain (5%)
Ada 3 tipe sirosis atau pembentukan parut dalam hati :
 Sirosis portal laennec (alkoholik nutrisional), dimana jaringan parut
secara khas mengelilingi daerah portal. Sering disebabkan oleh alkoholis
kronis.
 Sirosis pasca nekrotik, dimana terdapat pita jaringan parut yang lebar
sebagai akibat lanjut dari hepatitis virus akut yang terjadi sebelumnya.

12
 Sirosis bilier, dimana pembentukan jaringan parut terjadi dalam hati di
sekitar saluran empedu. Terjadi akibat obstruk sibilier yang kronis dan
infeksi (kolangitis). Bagian hati yang terlibat terdiri atas ruang portal dan
periportal tempat kanalikulusbiliaris dari masing-masing lobulus hati
bergabung untuk membentuk saluran empedu baru. Dengan demikian
akan terjadi pertumbuhan jaringan yang berlebihan terutama terdiri atas
saluran empedu yang baru dan tidak berhubungan yang dikelilingi oleh
jaringan parut.

C. PATOFISIOLOGI
Konsumsi minuman beralkohol dianggap sebagai faktor penyebab yang
utama. Sirosis terjadi paling tinggi pada peminum minuman keras. Meskipun
defisiensi gizi dengan penurunan asupan protein turut menimbulkan kerusakan hati
pada sirosis, namun asupan alkohol yang berlebihan merupakan faktor penyebab
utama pada perlemakan hati dan konsekuensi yang ditimbulkannya. Namun demikian,
sirosis juga pernah terjadi pada individu yang tidak memiliki kebiasan minum dan
pada individu yang dietnya normal tapi dengan konsumsi alkohol yang tinggi.
Faktor lain diantaranya termasuk pajanan dengan zat kimia tertentu
(karbontetraklorida, naftalen, terklorinasi, arsenataufosfor) atau infeksi
skistosomiastisdua kali lebih banyak dari pada wanita dan mayoritas pasien sirosis
berusia 40 – 60 tahun.
Sirosis laennec merupakan penyakit yang ditandai oleh nekrosis yang melibatkan sel-
sel hati dan kadang-kadang berulang selama perjalanan penyakit sel-sel hati yang
dihancurkan itu secara berangsur-angsur digantikan oleh jaringan parut yang
melampaui jumlah jaringan hati yang masih berfungsi. Pulau-pulau jaringan normal
yang masih tersisa dan jaringan hati hasil regenerasi dapat menonjal dari bagian-
bagian yang berkonstriksi sehingga hati yang sirotik memperlihatkan gambaran mirip
paku sol sepatu berkepala besar(hobnail appearance) yang khas.
Sirosis hepatis biasanya memiliki awitan yang insidus dan perjalanan penyakit yang
sangat panjan gsehingga kadang-kadang melewati rentang waktu 30 tahun/lebih.

12
D. MANIFESTASI KLINIS
Pembesaran hati Pada awal perjalanan sirosis, hati cenderung membesar dan
sel-selnya dipenuhi oleh lemak. Hati tersebut menjadi keras dan memiliki tepi tajam
yang dapat diketahui melalui palpasi. Nyeri abdomen dapat terjadi sebagai akibat dari
pembesaran hati yang cepat dan baru saja terjadi sehingga mengakibatkan regangan
pada sel ubung fibrosa hati (kapsula Glissoni). Pada perjalanan penyakit yang lebih
lanjut, ukuran hati akan berkurang setelah jaringan parut menyebabkan pengerutan
jaringan hati. Apabila dapat dipalpasi, permukaan hati akan teraba benjol-benjol
(noduler).
Obstruksi Portal danAsites. Manifestasi lanjut sebagian disebabkan oleh kegagalan
fungsi hati yang kronis dan sebagian lagi oleh obstruksi sirkulasi portal.Semua darah
dari organ-organ digestif praktis akan berkumpul dalam vena portal dan dibawa ke
hati. Karena hati yang sirotik tidak memungkinkan pelintasan darah yang bebas,
maka aliran darah tersebut akan kembali ke dalam limpa dan traktus gastrointestinal
dengan konsekuensi bahwa organ-organ ini menjadi tempat kongesti pasif yang
kronis; dengan kata lain, kedua organ tersebut akan dipenuhi oleh darah dan dengan
demikian tidak dapat bekerja dengan baik. Pasien dengan keadaan semacam ini
cenderung menderita dispepsia kronis atau diare. Berat badan pasien secara
berangsur-angsur mengalami penurunan.
Cairan yang kaya protein dan menumpuk di rongga peritoneal akan
menyebabkan asites. Hal ini ditunjukkan melalui perfusi akan adanya shifting dullness
atau gelombang cairan. Splenomegali juga terjadi. Jaring-jaring telangiektasis, atau
dilatasi arteri superfisial menyebabkan jaring berwarna biru kemerahan, yang sering
dapat dilihat melalui inspeksi terhadap wajah dan keseluruhan tubuh.
Varises Gastrointestinal. Obstruksi aliran darah lewat hati yang terjadi akibat
perubahan fibrofik juga mengakibatkan pembentukan pembuluh darah kolateral
sistem gastrointestinal dan pemintasan (shunting) darah dari pernbuluh portal ke
dalam pernbuluh darah dengan tekanan yang lebih rendah. Sebagai akibatnya,
penderita sirosis sering memperlihatkan distensi pembuluh darah abdomen yang
mencolok serta terlihat pada inspeksi abdomen (kaput medusae), dan distensi
pembuluh darah di seluruh traktus gastrointestinal. Esofagus, lambung dan rektum
bagian bawah merupakan daerah yang sering mengalami pembentukan pembuluh
darah kolateral. Distensi pembuluh darah ini akan membentuk varises atau temoroid
tergantung pada lokasinya.

12
Karena fungsinya bukan untuk menanggung volume darah dan tekanan yang
tinggi akibat sirosis, maka pembuluh darah ini dapat mengalami ruptur dan
menimbulkan perdarahan. Karena itu, pengkajian harus mencakup observasi untuk
mengetahui perdarahan yang nyata dan tersembunyi dari traktus gastrointestinal.
Kurang lebih 25% pasien akan mengalami hematemesis ringan; sisanya akan
mengalami hemoragi masif dari ruptur varises pada lambung dan esofagus.
Edema. Gejala lanjut lainnya pada sirosis hepatis ditimbulkan oleh gagal hati yang
kronis. Konsentrasi albumin plasma menurun sehingga menjadi predisposisi untuk
terjadinya edema. Produksi aldosteron yang berlebihan akan menyebabkan retensi
natrium serta air dan ekskresi kalium.
Defisiensi Vitamin dan Anemia. Karena pembentukan, penggunaan dan penyimpanan
vitamin tertentu yan tidak memadai (terutama vitamin A, C dan K), maka tanda-tanda
defisiensi vitamin tersebut sering dijumpai, khususnya sebagai fenomena hemoragik
yang berkaitan dengan defisiensi vitamin K. Gastritis kronis dan gangguan fungsi
gastrointestinal bersama-sama asupan diet yang tidak adekuat dan gangguan fungsi
hati turut menimbulkan anemia yang sering menyertai sirosis hepatis. Gejala anemia
dan status nutrisi serta kesehatan pasien yang buruk akan mengakibatkan kelelahan
hebat yang mengganggu kemampuan untuk melakukan aktivitas rutin sehari-hari.
Kemunduran Mental. Manifestasi klinik lainnya adalah kemunduran fungsi mental
dengan ensefalopati dan koma hepatik yang membakat. Karena itu, pemeriksaan
neurologi perlu dilakukan pada sirosis hepatis dan mencakup perilaku umum pasien,
kemampuan kognitif, orientasi terhadap waktu serta tempat, dan pola bicara.

E. PEMERIKSAAN PENUJANG
a. Pemeriksaanlaboratorium: albumin serum, globulin, bilirubin direkdanindirek,
enzimkolinesterase
b. SGOT, SGPT

12
F. PENATALAKSANAAN

a. Istirahat di tempat tidur sampai terdapat perbaikan ikterus, asites dan demam.
b. Diit rendah protein
c. Antibiotik untuk mengatasi infeksi
d. Memperbaiki keadaan gizi, bila perlu pemberian asam amino esensial berantai
cabang dan glukosa
e. Roboransia vitamin B komplek

12
DAFTAR PUSTAKA

Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Bare. (2001). Keperawatan medikal bedah 2. (Ed 8).
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).

Doenges, Marilynn E, Mary Frances Moorhousedan Alice C. Geisser. (1999). Rencana


asuhan keperawatan : pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan
pasien. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).

Tjokronegoro dan Hendra Utama. (1996). Ilmu penyakit dalam jilid 1. Jakarta: FKUI.

Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. (1994). Patofisiologi, konsep klinis proses-proses
penyakit. Jakarta: Penerbit EGC.

Soeparman. 1987. Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta : FKUI.

12
2.13 LAPORAN PENDAHULUAN KOLELITIASIS

A. DEFINISI
Kolelitiasis adalah inflamasi akut atau kronis dari kandung empedu,
biasanya berhubungand engan batu empedu yang tersangkut pada duktus kistik,
menyebabkan distensi kandung empedu. (Doenges, Marilynn, E., 1999)
Kolelitiasis adalah (kalkulus atau kalkuli, batu empedu) biasanya terbentuk
dalam kandung empedu dari unsur-unsur padat yang membentuk cairan empedu. Batu
empedu memiliki ukuran, bentuk dan komposisi yang sangat bervariasi. (Smeltzer,
Suzanne, C. 2001).

B. ETIOLOGI
Batu-batu (kalkuli) dibuat oleh kolesterol, kalsium bilirubinat, atau campuran,
disebabkan oleh perubahan pada komposisi empedu. Batu empedu dapat terjdi pada
duktus koledukus, duktus hepatika, dan duktus pankreas. Kristal dapat juga terbentuk
pada submukosa kandung empedu menyebabkan penyebaran inflamasi. Sering
diderita pada usia di atas 40 tahun, banyak terjadi pada wanita. (Doenges, Marilynn,
E. 1999).

C. PATOFISIOLOGI
Ada dua tipe utama batu empedu : batu yang tersusun dari pigmen dan batu
yang tersusun dari kolesterol.
Batu pigmen : kemungkinan akan terbentuk bila pigmen yang tak terkonjugasi
dalam empedu mengadakan presipitasi (pengendapan) sehingga terjadi batu-batu ini
tidak dapat dilarutkan dan harus dikeluarkan dengan jalan operasi.
Batu kolesterol : kolesterol sebagai pembentuk empedu bersifat tidak larut dalam air,
kelarutannya tergantung pada asam empedu dan lesitin (fosfolipid) dalam empedu.
Pasien penderita batu empedu akan terjadi penurunan sintesis asam empedu dan
peningkatan sintesis kolesterol dalam hati, keadaan ini mengakibatkan supersaturasi
getah empedu yang jenuh oleh kolesterol yang kemudian keluar dari getah empedu,
mengendap dan membentuk batu dan menjadi iritan yang menyebabkan peradangan
dalam kandung empedu (Smeltzer, Suzanne C., 2000).

12
D. MANIFESTASI KLINIS
a. Aktifitas atau
istirahat Gejala :
kelemahan Tanda :
gelisah
b. Sirkulasi
Tanda : takikardi, berkeringat
c. Eliminasi
Gejala : perubahan warnaa urin dan feses
Tanda : distensi abdomen, teraba massa pada kuadran kanan atas, urin gelap,
pekat, feses warna tanah liat, steaforea.
d. Makanan / cairan
Gejala : anoreksia, mual atau muntah, regurgitasi berulang, nyeri epigastrium,
tidak dapat makan, flatus, dispepsia
Tanda : kegemukan, adanya penurunan berat badan
e. Nyeri / kenyamanan
Gejala : nyeri abdomen atas berat, dapat menyebar ke punggung atau bahu
kanan, kolik epigastrium tengah sehubungan dengan makan.
Tanda : nyeri lepas, otot tegang atau kaku bila kuadaran kanan atas ditekan
f. Pernafasan
Tanda : peningkatan frekuensi pernafasan, nafas pendek, dangkal
g. Keamanan
Tanda : demam, menggigil, ikterik, berkeringat dan gatal, perdarahan
(kekurangan vitamin K).

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan sinar X-Abdomen
b. Ultrasonografi (USG)
c. Pemeriksaan pencitraan radionukleida atau koleskintografi
d. Kolesistogragi
e. Kolan lopan kreatogragi retrogad endoskopik CERCP : Endoscopic
Retrograde Cholangiopancreatography) : pemeriksaan ini meliputi
insersi endoskop serat-optik yang fleksibel ke dalam esofagus hingga
mencapai duodenum pars desendens.

12
f. Kolangiografi transhepatik perkutan : penyuntikan bahan kontras langsung ke
dalam percabangan bilier.
g. Darah lengkap : lekositosis sedang
h. Bilirubin dan amilase serum meningkat
i. Enzim hati serum –AST (SGOT), ALT (SGPT), LDH meningkat
j. Kadar protrombin : menurun
k. CT-scan.

F. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan non bedah
a. Penatalaksanaan pendukung dan diet
80% dari pasien inflamasi akut kandung empedu sembuh dengan istirahat,
cairan infus, pengisapan nasogastrik, analgesik dan antibiotik. Diit yang
dianjurkan adalah tinggi protein dan karbohidrat.
b. Farmakoterapi
Asam ursodeoksikolat (urdafalk) dan kenodeoksikolat (chenodial,
chenofalk). Fungsinya untuk menghambat sintesis kolesterol dalam hati dan
sekresinya dan tidak desaturasi getah empedu.
c. Pengangkatan batu empedu tanpa pembedahan
Pengangkatan batu empedu : menginfuskan bahan pelarut (monooktanoin
atau metil tertier butil eter (MTBE) ke dalam kandung empedu.
Pengangkatan non bedah : dengan lewat saluran T-tube dan dengan alat
jaring untuk memegang dan menarik keluar batuyang terjepit dalam duktus
koleduktus.
d. Extracorporal shock-wave lithotripsy (ESWL) : gelombang kejut berulang
yang diarahkan kepada batu empedu yang gelombangnya dihasilkan
dalam media cairan oleh percikan listrik.
Efek samping : petekia kulit dan hematuria mikroskopis
2. Penatalaksanaan bedah
a. Kolesistektomi : paling sering digunakan atau dilakukan : kandung
empedu diangkat setelah arteri dan duktus sistikus diligasi.
b. Minikolesistektomi : mengeluarkan kandung empedu lewat luka insisi selebar
4 cm.

12
c. Kolesistektomi laparoskopik (endoskopik) : lewat luka insisi kecil melalui
dinding abdomen pada umbilikus.
d. Koledokostomi : insisi lewat duktus koledokus untuk mengeluarkian
batu empedu.

G. KOMPLIKASI
a. Kolistitis obstruksi pada duktus sistikus atau duktus koleduktus
b. Peritonitus
c. Ruptur dinding kandung kemih

12
DAFTAR PUSTAKA

Brunner and Suddarth. 2001. Keperawatan Mendikal Bedah volume 2 edisi 8. Jakarta: EGC

Carpenito, Lynda Jull.1998. Diagnosa Keperawatan edisi 6. Jakarta: EGC

Dr.Tambayon jan.2000. Patofisiologi untuk keperawatan. Jakata: EGC

Marilynne Doengoes dkk.1999. Rencana Asuhan keperawatan edisi 3.Jakarta: EGC

Nealon F Thomas,William H Nualan.1996. keterampilan pokok ilmu bedah edisi IV. Jakarta:
EGC

Price A. Sylvia, lorraine M Wilson.2005. Patofisiologi konsep-konsep klinis proses-proses


penyakit, edisi 6, volume 1. Jakarta: EGC

Soeparman.1994. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 1 edisi 2. Jakarta. FKUI

13
2.14 LAPORAN PENDAHULUAN PANKREATITIS

A. DEFINISI
Pankreatitis adalah peradangan kelenjar pancreas atau radang pancreas yang
disertai manifestasi local dan sistemik dan kebanyakan bukan disebabkan oleh infeksi
bakteri / virus namun akibat autodigesti oleh enzim pancreas yang keluar dari saluran
pankreas.
Pankreatitis (inflamasi pankreas) merupakan penyakit yang serius pada
pankreas dengan intensitas yang dapat berkisar mulai dari kelainan yang relatif ringan
dan sembuh sendiri hingga penyakit yang berjalan dengan cepat dan fatal yang tidak
bereaksi terhadap berbagai pengobatan. (Brunner & Suddart, 2001; 1338).
Pankreatitis adalah kondisi inflamasi yang menimbulkan nyeri dimana enzim
pankreas diaktifasi secara prematur mengakibatkan autodigestif dari pankreas.
(Doengoes, 2000;558)
Pankreatitis akut adalah inflamasi pankreas yang biasanya terjadi akibat
alkoholisme dan penyakit saluran empedu seperti kolelitiasis dan kolesistisis. (Sandra
M. Nettina, 2001).

B. ETIOLOGI
a. Alkohol
Alkohol menembah kosentrasi protein dalam cairan pancreas dan mengakibatkan
endapan yang merupakan inti untuk terjadinya kalsifikasi yang selanjutnya
menyebabkan tekanan intraduktal lebih tinggi.
b. Batu Empedu
Pada sepertiga sampai dua pertiga pasien, pankreatitis disertai dengan adanya batu
empedu yang diduga menyebabkan trauma sewaktu pasae batu, atau menyebabkan
sumbatan.
c. Obat-obatan
Sejumlah obat-obatan telah terlibat dalam berkembangnya pankreatitis akut tetapi
tidak satu pun yang terbukti menyebabkan penyakit ini.
d. Infeksi
Infeksi virus telah dapat dihubungkan dengan pankreatitis akut khususnya
gondongan dan infeksi sackie, peningkatan sepintas amylase serum bukanlah
merupakan hal yang luar biasa.

13
e. Trauma
Trauma kecelakaan merupakan penyebab mekanik yang penting bagi pankreatitis
(terutama truma tumpul abdomen). Trauma besar juga merupakan sebab yang
bermakna bagi peradangan akut dan pankreatitis yang timbul setelah tindakan
pada lambung dan saluran empedu dalam persentase kecil kasus. Biasanya cedera
tidak terlihat pada waktu pembedahan dan mungkin akibat truma tumpul atau
tajam

C. PATOFISIOLOGI
Pankreatitis akut dapat terjadi setelah pembedahan pancreas atau pada bagian
didekat pancreas atau setelah pelaksanaan instrumentasi pada duktus pankreatikus.
Mortalitas pada pankreatitis akut cukup tinggi akibat terjadinya syok, anoksia,
hipotensi atau gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Serangan pankreatitis
akut dapat diikuti dengan kesembuhan total, dapat timbul kembali tanpa kerusakan
permanent atau dapat berlanjut menjadi pankreatitis kronis.
Pankreatitis akut mempunyai keparahan yang berkisar dari kelainan yang
relative ringan dan sembuh dengan sendirinya hingga penyakit yang dengan cepat
menjadi fatal serta tidak responsive terhadap berbagai terapi. Edema dan inflamasi
yang terbatas pada pancreas merupakan kejadian utama pankreatits yang dibentuk
yang lebih ringan dinamakan pankreatitis interstisialis atau edematous. Meskipun
bentuk ini dianggap sebagai bentuk pankreatitis yang lebih ringan, namun pasien
berada dalam keadaan sakit yang akut dan beresiko mengalami syok, gangguan
keseimbangan cairan serta elektrolit dan sepsis.
Pankreatitis hemoragik akut merupakan bentuk pankreatitis interstisialis akut
yang lebih lanjut. Digesti enzimatik kelenjar pancreas tersebut lebih menyebar luas
dan total. Jaringan pancreas menjadi nekrotik, dan kerusakannya meluas sampai pada
system vaskulatur sehingga darah mengalir masuk kedalam subtansi pancreas dan
jaringan retroperitoneal.

13
D. PATHWAY

13
E. MANIFESTASI KLINIS
a. Rasa Nyeri abdomen yang hebat merupakan gejala utama pancreatitis.
Nyeri abdomen biasanya konstan dari ringan sampai hebat, menetap
menyebabkan ketidakberdayaan, yang disertai nyeri pada punggung, terjadi akibat
iritasi dan edema pada pankreas yang mengalami inflamasi tersebut sehingga
timbul rangsangan pada ujung-ujung saraf. Peningkatan tekanan pada kapsul
pankreas dan obstruksi duktus pankreatikus juga turut menimbulkan rasa sakit.
Rasa sakit yang terjadi pada bagian setelah makan atau setelah mengkonsumsi
minuman keras; rasa sakit ini dapat bersifat menyebar dan sulit ditentukan
lokasinya.
b. Bising usus biasanya menurun sampai hilang.
c. Kekakuan otot
d. Ekimosis (memar) didaerah pinggang dan disekitar umbilikus
Merupakan tanda yang menunjukkan adanya pankreatitis haemoragik yang berat.
e. Mual dan muntah umumnya dijumpai pada pankreatitis akut.
Muntahan biasanya berasal dari isi lambung tetapi juga dapat mengandung getah
empedu. Gejala panas, ikterus, konfusidan agitasi dapat terjadi.
f. Hipotensi yang terjadi bersifat khas dan mencerminkan keadaan hipovolemia
g. Syok
 Hipovolemia karena eksudasi darah dan protein kedalam ruang
retroperineum (retroperineal burn);
 Peningkatan pembentukan dan pelepasan peptide kinin yang
menyebabkan vasodilatasidan peningkatan permeabilitas vaskular;
 Syok yang disebabkan oleh kehilangan sejumlah besar cairan yang kaya
protein, karena cairan ini mengalir kedalam jaringan dan rongga
peritoneum.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Scan-CT : menentukan luasnya edema dan nekrosis
2. Ultrasound abdomen: dapat digunakan untuk mengidentifikasi inflamasi pankreas,
abses, pseudositis, karsinoma dan obstruksi traktus bilier.
3. Endoskopi : penggambaran duktus pankreas berguna untuk diagnosa fistula,
penyakit obstruksi bilier dan striktur/anomali duktus pankreas. Catatan : prosedur
ini dikontra indikasikan pada fase akut.
13
4. Aspirasi jarum penunjuk CT : dilakukan untuk menentukan adanya infeksi.
5. Foto abdomen : dapat menunjukkan dilatasi lubang usus besar berbatasan dengan
pankreas atau faktor pencetus intra abdomen yang lain, adanya udara bebas intra
peritoneal disebabkan oleh perforasi atau pembekuan abses, kalsifikasi pankreas.
6. Amilase serum : meningkat karena obstruksi aliran normal enzim pankreas (kadar
normal tidak menyingkirkan penyakit).
7. Amilase urine : meningkat dalam 2-3 hari setelah serangan.
8. Lipase serum : biasanya meningkat bersama amilase, tetapi tetap tinggi lebih
lama.
9. Bilirubin serum : terjadi pengikatan umum (mungkin disebabkan oleh penyakit
hati alkoholik atau penekanan duktus koledokus).
10. Albumin dan protein serum dapat meningkat (meningkatkan permeabilitas kapiler
dan transudasi cairan kearea ekstrasel).
11. Kalsium serum : hipokalsemi dapat terlihat dalam 2-3 hari setelah timbul penyakit
(biasanya menunjukkan nekrosis lemak dan dapat disertai nekrosis pankreas).
12. Kalium : hipokalemia dapat terjadi karena kehilangan dari gaster; hiperkalemia
dapat terjadi sekunder terhadap nekrosis jaringan, asidosis, insufisiensi ginjal.
13. Trigliserida : kadar dapat melebihi 1700 mg/dl dan mungkin agen penyebab
pankreatitis akut.
14. LDH/AST (SGOT) : mungkin meningkat lebih dari 15x normal karena gangguan
bilier dalam hati.
15. Darah lengkap : SDM 10.000-25.000 terjadi pada 80% pasien. Hb mungkin
menurun karena perdarahan. Ht biasanya meningkat (hemokonsentrasi)
sehubungan dengan muntah atau dari efusi cairan kedalam pankreas atau area
retroperitoneal.
16. Glukosa serum : meningkat sementara umum terjadi khususnya selama serangan
awal atau akut. Hiperglikemi lanjut menunjukkan adanya kerusakan sel beta dan
nekrosis pankreas dan tanda aprognosis buruk. Urine analisa; amilase, mioglobin,
hematuria dan proteinuria mungkin ada (kerusakan glomerolus).
17. Feses : peningkatan kandungan lemak (seatoreal) menunjukkan gagal pencernaan
lemak dan protein.

13
G. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pasien pankreatitis akut bersifat simtomatik dan ditujukan
untuk mencegah atau mengatasi komplikasi. Semua asupan peroral harus dihentikan
untuk menghambat stimulasi dan sekresi pancreas. Pelaksanaan TPN (total parenteral
nutrition) pada pankreatitis akut biasanya menjadi bagian terapi yang penting, khusus
pada pasien dengan keadaan umum yang buruk, sebagai akibat dari stress metabolic
yang menyertai pankreatitis akut.
a) Penanganan Nyeri ; Pemberian obat pereda nyeri yang adekuat merupakan
tindakan yang esensial dalam perjalanan panyakit pankreastitis akut karena
mengurangi rasa nyeri dan kegilisahan yang dapat menstimulasi sekresi
pankreas.
b) Perawatan Intensif ; Koreksi terhadap , kehilangan cairan serta darah dan
kadar albumin yang rendah diperlakukan untuk nenperhatikan lika untuj,
serta mencegah gagal ginjal akut.
c) Perawatan Respiratorius. ; perawatan yang agresif dipelukan karena resiko
untuk terjadinya elevasi diafragma, infiltrasi serta efusi dalam paru, dan
etelektasis cenderung tinggi.
d) Drainase Bilier ; pemasangan drain bilier (untuk drainase eksternal) dan
stent(selang indwelling) dalam duktus pankreatikus melalui endoskopi
telah dilakukan dengan keberhasilan yang terbatas.
e) Intervensi Bedah ; meskipun pasien yang berada dalam keadaan sakit berat
mempunyai risiko bedah yang buruk, namun pembedahan dapat dilakukan
untuk membantu menegakkan diagnosa pankreatitis, untuk membentuk
kembali drainase pancreas atau untuk melakukan reseksi atau
pengangkatan jaringan pancreas yang netrotik.
f) Penatalaksanaan Pasca-akut ; antacid dapat diberikan ketika gejala akut
pankreatitis mulai menghilang. Pemberian makanan per oral yang
rendahlemak dan protein dimulai secara bertahap.
g) Pertimbangan Gerontologi ; pankreatitis akut dapat mengenai segala usia,
meskipun demikian, angka mortalitas pankreatitis akut meningkat
bersamaan dengan pertambahan usia.

13
DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marilyan E . (2000) . Rencana Asuhan Keperawatan . Edisi 3 . Jakarta : EGC


Google. (2009). Pankreatitis. diambil pada tanggal 17 September 2019 jam 17.20 WIB dari
http://www.ruslanpinrang.blogspot.com/_2452.html
Harrison . (2002) . Prinsip Prinsip Ilmu Penyakit Dalam . Edisi 13 . Yogyakarta : EGC
Price, Sylvia Anderson . (2006) . Patofisiologi . Edisi 6 . Jakarta : EGC
Sjamsuhidajat , R . Jong , Wim de . (2005) . Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2 . Jakarta : EGC
Smeltzer , Suzanne C . Bare, Breda G . (2002) . Buku Ajaran Keperawatan Medikal Bedah
Brunner dan Suddarth . Edisi 8 . Jakarta ;: EGC
Sweringen . (2001) . Keperawatan Medikal Bedah . Edisi 2 . Jakarta :EGC

13
2.15 ANATOMII FISIOLOGI SISTEM ENDOKRIN

A. DEFINISI
Sistem Endokrin Sistem endokrin adalah sistem kontrol kelenjar tanpa saluran (ductless)
yang menghasilkan hormon yang tersirkulasi di tubuh melalui aliran darah untuk
mempengaruhi organ-organ lain. Hormon bertindak sebagai "pembawa pesan" dan
dibawa oleh aliran darah ke berbagai sel dalam tubuh, yang selanjutnya akan
menerjemahkan "pesan" tersebut menjadi suatu tindakan. Sistem endokrin tidak
memasukkan kelenjar eksokrin seperti kelenjar ludah, kelenjar keringat, dan kelenjar-
kelenjar lain dalam saluran gastroinstestin.
Kelenjar endokrin berasal dari sel-sel epitel yang melakukan proliferasi ke arah
pengikat sel epitel yang telah berproliferasi dan akhirnya membentuk sebuah kelenjar
endokrin. Kelenjar endokrin tumbuh dan berkembang ke dadlam pembuluh kapoler dan
zat yang dihasilkan oleh kelenjar endokrin dialirkan ke dalam darah karena tidak
mempunyai saluran khusus (tanpa saluran). Zat yang dihasilkan oleh kelenjar endokrin
disebut hormon.
Hormon merupakan zat organik yang mempunyai sifat khusus yang merupakan
pengaturan fisiologi terhadap kelangsungan hidup suatu organ atau sistem. Sistem
endokrin mempunyai lima fungsi umum :
a. Membedakan system syaraf pussat dan system syaraf reproduktif pada janin
yang sedang berkembang.
b. Menstimulasi urutan perkembaangan
c. Mengkoordinasikan system reproduksi
d. Memelihara linhkungan internal optimal
e. Melakukan respons korektif dan adatif ketika terjadi stimulasi darurat.

B. MACAM – MACAM KELENJAR


Yang Terdapat Dalam Sistem Endokrin Dalam tubuh manusia terdapat berbagai kelenjar
sistem endokrin. Kelenjar –kelenjar endokrin tersebut adalah sebagai berikut:
a. Kelenjar Hipofise
b. Kelenjar Tiroid
c. Kelenjar Paratiroid
d. Kelenjar Timus
e. Kelenjar Supraneal

13
f. Kelenjar Pienalis
g. Kelenjar Pankreas
h. Kelenjar Kelamin

C. KELENJAR HIPOFISE
Kelenjar hipofise atau kelenjar pituitari, di kedokteran sering disebut sebagai
kelenjar utama atau master gland. Kelenjar ini, bersama-sama dengan kelenjar
hipotalamus dan kelenjar pineal, terletak di otak besar. Kelenjar hipofise merupakan
sistem kontrol kapasitas seluruh sistem energi kesehatan manusia. Di kelenjar ini pula
dikontrol sistem pertahanan tubuh. Oleh karena itu sedikit saja terjadi gangguan di
kelenjar ini, pengaruhnya terhadap fungsi tubuh menjadi sangat nyata.
Salah satu fungsi pertahanan tubuh kita adalah dengan "menangkap" penyakit ketika
masuk melalui jalan nafas. Jika terdeteksi keberadaan suatu sumber penyakit masuk ke
tubuh kita, dengan segera di tenggorok ditimbulkan sistem penangkapan virus yang
berupa pilek, dan jika ada suatu penyakit yang sudah terlanjur masuk ke paru-paru,
sistem pertahanan kita memaksa kita agar batuk-batuk untuk mengeluarkan penyakit
dari paru-paru. Tapi jika setelan di sistem energi hipofise terlalu besar, kita menjadi
alergi.
Kelenjar ini mempunyai diameter sekitar 1 cm dan menempati suatu cela di dalam
tulang sfenoid yang disebut sella tursika. Tulang kecil ini terletak pada dasar tulang
tengkorak, di belakang hidung, di atas sinus udara sfenoid. Kelenjar tersebut
menggantung dari hipotalamus, suatu massa jaringan saraf yang membentuk lantai
ventrikel ke tiga. Pada manusia kelenjar ini mempunyai dua bagian utama yang
mempunyai asal dan fungsi yang berbeda.
1. Hipofisis anterior Yang mengontrol kelenjar endokrin lain mempunyai asal dari
pertumbuhan keluar lapisan faring primitif pada embrio.
Berikut adalah hormon – hormon yang dihasilkan oleh hipofise anterior :
a. Tirotropin (Tyroid Stimulating Hormone) Adalah glikoprotein yang
menyebabkan pelepasan tiroksin dan pembesaran kelenjar tiroid. Dalam
keadaan tidak berfungsinya tiroid, kadarnya berkurang ke kadar yang
rendah.
b. Adrenokortikotrofik Hormon (ACTH) Adalah polipeptida sederhana yang

13
menyebabkan pelepasan kortiko steroid dari korteks kelenjar suprarenal.
Pembentuk ACTH yang berlebihan oleh tumor basofil menyebabkan
Sindrom Cushing.
c. Follice stimulating hormone (FSH) dan Liteinising hormon (LH)
Adalah glikoprotein yang bekerja dalam peristiwa untuk memastikan
aktifitas siklus ovarium, dan menyebabkan LH untuk menghasilkan hormon-
hormon seks. LH juga bereaksi untuk menstimulasi sel-sel interstisial dari
testis pria untuk menghasilkan testosteron.
d. Hormon pertumbuhan (GH) Adalah protein yang bekerja pada
keseluruhan tubuh untuk menstimulasi pertumbuhan. Hormon ini menjamin
frekuensi yang tepat dari pembentukan protein. Tumor hipofisis yang
menghasilkan GH dapat terjadi. Pada masa kanak-kanak hal ini
menyebabkan Gigantisme. Pada orang dewasa hal ini mengarah pada
akromegali dengan pertumbuhan rahang, tangan, dan visera yang berlebihan.
Kerusakan hipofisis yang terjadi pada masa kanak-kanak menyebabkan
dwarfisme.
e. Prolaktin (P) Adalah protein yang menstimulasi pertumbuhan dan
aktifitas sekretori pada payudara selama kehamilan dan laktasi. Hormon ini
bekerja secara bersamaan dengan hormon-hormon seks lainnya.
2. Hipofisis posterior Adalah pertumbuhan ke bawah dari otak depan (forebrain).
Sel-sel ini disebut pituisit dan bekerja sebagai struktur penunjang bagi ujung-
ujung saraf. Sekresi hormon berlangsung hampir normal. Hormon ini disintesis
dalam badan sel dan selanjutnya bergabung dengan protein pembawa untuk
mencapai kelenjar yang membutuhkan. Kelenjar ini terletak pada nukleus
supraoptik dan paraventrikular hipotalamus dan selanjutnya dibawah ke kelenjar
hipofise posterior di dalam aksoplasma serat-serat neuron yang berjalan dari
hipotalamus. Hormon-hormon kelenjar hipotalamus posterior.
a. Hormon antidiuretik (ADH) dibentuk di dalam nukleus supraoptik yang
mengandung asam amino. Mekanisme kerja ADH adalah meningkatkan
permeabilitas duktus dan mereabsorpsi sebagian besar air yang disimpan
dalam tubuh, mempermudah difusi bebas air dari tubulus cairan tubuh
kemudian diabsorpsi secara osmosis. Bila cairan ekstraselular menjadi
terlalu pekat maka cairan ditarik dengan proses osmosis ke luar dari sel
osmoreseptor sehingga mengurangi ukuran sel dan menimbulkan sinyal

14
saraf dalam hipotalamus yang menyekresi ADH tambahan. Sebaliknya,
bila cairan ekstraselular terlalu encer maka air bergerak melalui osmosis
dengan arah berlawanan dan masuk ke dalam sel. Keadaan ini akan
menurunkan sinyal saraf untuk menurunkan sekresi ADH. Salah satu
rangsangan yang menyebabkan sekresi ADH menjadi kuat adalah
penurunan volume darah. Keadaaan ini terjadi secara hebat saat volume
darah turun 15-25% dengan kecepatan sekresi meningkat 50 kali dari
normal.
b. Oksitosin hormon Dibentuk dalam nukleus paraventrikel dan
merupakan salah satu zat yang dapat menimbulkan kontraksi pada uterus
dalam keadaan hamil. Rangsang sangat kuat terutama pada akhir
kehamilan. Efek oksitosin selama masa persalinan meningkat pada
stadium akhir kehamilan sehingga menimbulkan sinyal saraf melewati
hipotalamus. Efek ini akan membantu dalam proses persalinan. Oksitosin
juga mempunyai peranan penting dalam proses pembentukan laktasi
sehingga menyebabkan timbulnya pengiriman air, susu, dari alveoli ke
duktus sehingga dapat dihisap oleh bayi.

D. KELENJAR TIROID
Kelenjar tiroid ialah organ endokrin yang terletak di leher manusia. Fungsinya ialah
mengeluarkan hormon tiroid. Antara hormon yang terpenting ialah Thyroxine (T4) dan
Triiodothyronine (T3). Hormon-hormon ini mengawal metabolisme Darah ke kelenjar
tiroid dibekalkan oleh arteri superior thyroid yang merupakan cabang pertama arteri
external carotid(ECA). Arteri ini menembusi pretracheal fascia sebelum sampai ke
bahagian superior pole lobe kelenjar tiroid. Saraf laryngeal terletak berhampiran(di
belakang) arteri ini, jadi jika dalam pembedahan tiroidektomi, kemungkinan besar saraf
ini terpotong jika tidak berhati-hati.
Kelenjar tiroid juga dibekalkan oleh arteri inferior thyroid yang merupakan cabang
daripada thyrocervical trunk(cabang daripada arteri subclavian). Dalam 3% populasi
manusia, terdapat satu lagi arteri ke kelenjar tiroid, yaitu arteri thyroid ima.ma
(pengeluaran tenaga) manusia.

14
Reaksi yang diperlukan untuk sintesis dan sekresi hormon tiroid adalah sebagai
berikut :
1. Transpor aktif iodida (senyawa yodium) dari plasma ke dalam tiroid dan lumen
dari folikel – folikel. Proses ini dibntu oleh thyrotrop stimulating hormone
(TSH).
2. Dalam kelenjar tiroid, iodida dioksidasi sehingga menjadi iodin yang
aktif dan dibantu oleh TSH.
3. Idiotirosin mengalami perubahan kondensasi oksidatif dengan bantuan
peroksidase. Reaksi ini terjadi dalam molekul trigobulin dan membentuk
iodotironin, di antaranya T4 (tetraiodothironin) dan T3 (triidothironin) yang
terikat pada tirosin, dalam kelenjar tiroid didapat dalam bentuk tirosin.
4. Tahap terakhir adalah pelepasan iodothironin yang bebas ke dalam darah.
Setelah trigobulin dipecah, hidrolisis suatu protesi T4 dan T3 bebas dalam
kelenjar tiroid dapat lepas dalam darah.
Fungsi hormon tiroid
a. Mempengaruhi pertumbuhan dan maturasi (pematangan) jaringan
tubuh, penggunaan energi total.
b. Mengatur kecepatan metabolisme tubuh dan mempengaruhi
beberapa reaksi metabolik dalam tubuh.
c. Menambah sintesis asam ribonukleat (RNA) dan protein suatu
aksi yang mendahului meningginya basal metabolisme.
d. Dalam konsentrasi tinggi, keseimbangan nitrogen negatif
dan sintesis protein berkurang.
e. Menambah produksi panas dan menyimpan energi yang
didapatkan pada konsentrasi hormon tiroid yang tinggi.
f. Absorpsi intestinal dari gluklosa bertambah lancar oleh hormon
tiroid yang memungkinkan faktor toleransi glukosa yang abnormal sering
ditemukan pada hipertiroidisme.

14
E. KELENJAR PARATIROID
Kelenjar paratiroid menempel di bagian posterior dari masing-masing lobus kelenjar
tiroid. Berjumlah empat buah terletak disetiap sisi kelenjar tiroid yang terdapat didalam
leher. Menghasilkan parathormon (PTH) untuk mengatur konsentrasi ion kalsium dalam
cairan ekstraseluler dengan cara mengatur : absorpsi kalsium dari usus, ekskresi kalsium
oleh ginjal, dan pelepasan kalsium dari tulang.
Fungsi kelenjar paratiroid
a. Memelihara konsentrasi ion – kalsium yang tetap dalam plasma dan ddalam
batas yang sempit meskipun terdapat variasi – variasi yang luas.
b. Mengontrol ekskresi kalsium dan fosfor oleh ginjal yang
mempunyai efek terhadap reabsorpsi tubuler dari kalsium dan
sekresi fosfor.
c. Mempercepat absorpsi kalsium di intestinum.
d. Jika pemasukan kalsium berkurang maka hormon paratiroid menstimulasi
resorpsi tulang sehingga menambah kalsium dalam darah.
e. Dapat menstimulasi dan mentranspor kalsium dan fosfat melalui
membran dari mitokondria.

F. KELENJAR PIENALIS
Terletak di dekat otak, tepatnya di atas otak kecil. Berbentuk kecil, merah seperti
sebuah cemara. Menghasilkan dua hormon yaitu melatonin (bioritme pengaturan jam
tidur dan serotonin (neurotransmiter yang aktif pada saat kita tidur) Kelenjar ini
menghasilkan sekresi interna dalam membantu pankreas dan kelenjar kelamin yang
berperan penting dalam mengatur aktivitas seksual dan reproduksi manusia. Glandula
pienalis diatur oleh isyarat saraf yang ditimbulkan oleh cahaya yang terlihat oleh mata.
Kelenjar ini menyekresi melatonin dan zat lain yang serupa dan melewati aliran darah
atau cairan ventrikel III ke glandula hipofise anterior. Kelenjar ini juga menghambat
sekresi hormon gonadotropin dan gonad menjadi terhambat lalu berinvolusi (kembali ke
ukuran normal).

14
G. KELENJAR TIMUS
Timus terletak dibelakang sternum, didepan paru – paru dan jantung. Timus sangat
penting dalam perkembangan sitem limfatik. Timus mempunyai korteks yang
terbungkus sempurna dengan limfosit, dan medulla yang terdiri atas massa jarang dari
sel-sel epitel. Sel-sel epitel membentuk faktor “faktor humorik timik” yang menstimulasi
sel-sel limfosit diseluruh tubuh untuk membelah dan mengembangkan kemampuan
mengenali dan menyerang benda asing. Stuktur timus relative besar dan seperti daging
pada masa bayi. Dan timus menjadi lebih kecil setelah masa pubertas dan pada
kehidupan dewasa.
Banyak respons-respons terhadap benda asing, semata-mata respons terhadap
jaringan yang ditransplantasikan ada banyak infeksi yang dimediakan, bukan oleh anti
bodi yang larut bersirkulasi tetapi oleh sel-sel. Sel-sel yang terlihat adalah limfosit. Asal
perkembangan dari sel-sel ini adalah didalam timus dalam kehidupan embrionik dan
awal masa bayi. Dari tempat asalnya ini sel-sel tersebut bermigrasi untu menetap dalam
jaringan limfoid diseluruh tubuh. Pada tahap ini, timus penting untuk pertahanan hidup,
kematian karena infeksi terjadi setelah pengangkatan timus. Timus terus berlanjut untuk
memberikan sumber minor limfosit dan menghasilkan faktor-faktornya setelah tahp ini,
tetapi setelah masa kanak-kanak system limfoid menetap dan pengangkatan timus hanya
memberikan dampak kerusakan kecil pada imunitas.
Fisiologi kelenjar timus Kelenjar timus adalah suatu sumber sel yang mempunyai
imunologis. Sumber hormon timik mempersiapkan proliferasi dan maturasi sel-sel yang
mempunyai kemampuan potensial imonologis dalam banyak jaringan lain. Kemampuan
itu mengaktifkan pertubuhan badan sehingga pertumbuhan sangat meningkat pada masa
bayi sampai masa remaja dan setelah masa dewasa pertumbuhan akan bekurang
sehingga mengurangi aktifitas kelamin.
Kelainan pada kelenjar timus
1) Hiperplasi Hiperplasi ditandai dengan adanya limfoid, folikel didalam
medulla,
dalam keadaan normal tidak terdapat folikel limfoid. Hiperflasi merupakan
kelainan pada otonium yang reaksinya mempengaruhi neuromuscular grave
shingga memudahkan seseorang terserang penyakit dan daya imun
berkurang.
2) Timoma Tumor Neoplasmanya adalah sel epitel, ada yang jinak dan

14
ada yang ganas yang memiliki sel epithelial neoplastik. Tumor menekan alat
sekelilingnya sehingga menimbulakan sesak nafas, batuk, dan nyeri ketika
menelan.

H. KELENJAR ADRENAL / SUPRARENAL / ANAK GINJAL


Kelenjar ini berbentuk bola, menempel pada bagian atas ginjal. Pada setiap ginjal
terdapat satu kelenjar suprarenal dan dibagi atas dua bagian, yaitu bagian luar (korteks
suprarenal) dan bagian tengah (medula suprarenal).
Pada korteks dapat diidentifikasikan 3 zona jaringan terpisah :
a. Zona Glomerulosa, terbentuk dari sekelompok sel-sel kecil yang mensekresi
mineralokortikoid.
b. Zona fasikulata (masa terbanyak) terbentuk atas sel-sel kolumna yang
mensekresi glukokortikoid (dan sebagian hormone seks).
c. Zona Retikularis, jaringan tak teratur dari sel-sel sisanya yang dapat
digunakan dalam keadaan darurat.

Medulla Suprarenal terdiri atas massa kecil sel-sel kromafin dengan sinus-
sinus vena diantaranya. Medulla suprarenal berasal dari jaringan saraf premitif, dan
secara fungsi berhubungan dengan system saraf autonom, medulla suprarenal
mensekresi adrenalin dan noradrenalin. Medulla suprarenal tidak penting dalam
kehidupan.
Salah satu hormon yang dihasilkan yaitu hormon adrenalin yang berfungsi
mengubah glikogen menjadi glukosa. Hormon adrenalin bekerja berlawanan dengan
hormon insulin. Walaupun bekerja berlawanan tapi tujuannya sama, yaitu untuk
mengatur kadar gula dalam darah tetap stabil. Apabila kita terkejut/takut anak ginjal
memproduksi hormon adrenalin yang mengakibatkan denyut jantung meningkat.

Hipofungsi kelenjar adrenal mengakibatkan penyakit addison dengan gejala


timbul kelelahan, berkurangnya nafsu makan, mual, muntah, dan meningkatnya
pigmen melanin. Sedangkan hiperfungsi adrenal menyebabkan tumor kelenjar adrenal
dengan akibat penyakit “Sindrom Cushing” dengan gejala : badan gemuk, anggota
gerak kurus, wajah seperti bulan purnama, punuk lembu di punggung dan perutnya
menggantung. Selain itu, kulit wajah memerah, hipertensi dan ketahanan terhadap
stres menurun.

14
Hormon dan fungsi hormon yang dihasilkan kelenjar adrenal, yaitu :

1. Bagian Korteks Menghasilkan :


a. Hormon glukokortikoid (kortikosteroid/kortison) Fungsinya
menurunkan metabolisme hidrat arang dan lemak, meningkatkan
metabolisme protein dan lemak, mengurangi kekebalan.
b. Hormon Mineralokortikoid Fungsinya meningkatkan
metabolisme hidrat arang, menahan Na+ dan Ce- dalam tubuh,
regulasi air.
2. Bagian Medula Menghasilkan :
a. Hormon Adrenalin Fungsinya mempercepat kerja jantung,
menaikkan tekanan darah, mempercepat perubahan glikogen
menjadi glukosa pada hati, menaikkan gula darah, mengubah
glikogen menjadi asam laktat pada otot.
b. Hormon Non Adrenalin Fungsinya menurunkan tekanan darah
dan denyut jantung, biasanya adrenalin dan non adrenalin bekerja
antagonis.

I. KELENJAR PANKREAS
Pankreas adalah organ pada sistem pencernaan yang memiliki dua fungsi utama:
menghasilkan enzim pencernaan serta beberapa hormon penting seperti :
1. Insulin yang dihasilkan sel beta
2. GHS yang dihasilkan sel epsilon.
3. GHIH yang dihasilkan sel delta

Pankreas terletak pada bagian posterior perut dan berhubungan erat dengan
duodenum (usus dua belas jari). Beberapa fungsi dari pankreas adalah : Mengatur
kadar gula dalam darah melalui pengeluaran glukagon, yang menambah kadar gula
dalam darah dengan mempercepat tingkat pelepasan dari hati. Pengurangan kadar
gula dalam darah dengan mengeluarkan insulin yang mana mempercepat aliran
glukosa ke dalam sel pada tubuh, terutama otot. Insulin juga merangsang hati untuk
merubah glukosa menjadi glikogen dan menyimpannya di dalam sel-selnya.

Pankreas adalah kelenjar panjang yang agak menyempit. Letaknya di belakang


usus duabelas jari dan mengandung sekumpulan sel yang disebut kepulauan

14
Langerhans. Kepulauan Langerhans ini menghasilkan hormon insulin dan glukagon
yang digunakan untuk mengatur jumlah gula dalam darah. Insulin akan mengubah
kelebihan glukosa darah menjadi glikogen untuk kemudian menyimpannya di dalam
hati dan otot. Suatu saat ketika tubuh membutuhkan tambahan energi, glikogen yang
tersimpan di dalam hati akan diubah oleh glukagon menjadi glukosa yang dapat
digunakan sebagai energi tambahan.

Pankreas juga mengandung sel yang menghasilkan getah pankreas. Getah


pankreas adalah getah pencernaan yang mempunyai peran penting dalam mengolah
tiga kelompok bahan makanan organik utama, yaitu karbohidrat, protein, dan lemak.
Getah pankreas ini terutama terdiri dari air, bikarbonat, dan enzim yang dapat
dibedakan atas enzim tripsin, enzim amilase, serta enzim lipase. Getah pankreas
dialirkan ke usus duabelas jari melalui dua saluran di sepanjang pankreas. Pada usus
duabelas jari, bikarbonat menetralisir chymus asam. Tripsin bekerja atas protein
dalam makanan dan membantu menyempurnakan proses pencernaan makanan di
dalam lambung bersama-sama dengan enzim pepsin yang dihasilkan oleh lambung.
Amilase berperan dalam melanjutkan proses pemecahan karbohidrat yang telah
dimulai oleh enzim ptyalin dalam air ludah. Sementara itu, lipase mempunyai peran
yang tak kalah penting dalam proses pemecahan lemak.

14
DAFTAR PUSTAKA

Evelyn, Pearce. 2006. Anatomi dan Fisiologi Untu Paramedis. Jakarta: gramedia Pustaka

Utama

Sheerwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia dari Sel Ke Sistem. Jakarta: EGC

Syaifuddin. 2011. Anatomi dan Fisiologi untuk eperawatan dan Kebidanan. Jakarta; EGC

Wilson, Ross. 2011. Dasar Dasar Anatomi dan Fisiologi. Jakarta Salemba Medika

14
2.16 LAPORAN PENDAHULUAN DIABETES MELITUS

A. DEFINISI
Diabetes Melitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang
yang disebabkan adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat kekurangan insulin
baik absolute maupun relative (Waspadji dan sukardji, 2004 : 2).
Diabetes Melitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai
oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia (Smeltzer dan Bare,
2008 : 1220).
American Diabetes Association (ADA) 2010, mendefinisikan Diabetes
Melitus sebagai suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-
duanya (Ernawati, 2013 :10)
Diabetes Melitus adalah suatu penyakit dimana kadar glukosa (gula
sederhana) didalam darah cukup tinggi karena tubuh tidak dapat melepaskan atau
menggunakan insulin secara cukup (Fauzi, 2014 : 70)
Berdasarkan keempat definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa Diabetes
mellitus adalah suatu penyakit yang timbul pada seseorang yang ditandai oleh
kenaikan kadar glukosa dalam darah (hiperglikemia) yang terjadi karena kelainan
sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.

B. KLASIFIKASI
Ada 3 jenis diabetes yang umum terjadi dan diderita banyak orang, yaitu :
a) Diabetes tipe 1
Diabets tipe 1 ini sering disebut Insulin Dependent Diabetes Melitu
(IDDM) atau diabetes mellitus yang bergantung pada insulin. Penderita penyakit
diabetes tipe 1 sebagian besar terjadi pada orang dibawah usia 30 tahun. Oleh
karena itu, penyakit ini sering dijuluki diabetes anak-anak karena penderitanya
lebih banyak terjadi pada anak-anak dan remaja (Fauzi, 2014 : 73).
b) Diabetes Tipe 2
Penyakit diabetes tipe 2 sering juga disebut Non Insulin Dependent Diabetes
Mellitus (NIDDM) atau diabetes mellitus tanpa bergantung pada insulin.
Penyakit diabetes tipe 2 ini sering disebut sebagai penyakit kencing manis atau

14
penyakit gula.Diabetes tipe 2 merupakan jenis diabetes yang sebagian besaar
diderita.Sekitar 90 % hingga 95 % penderita diabetes menderita diabetes tipe 2.
Jenis diabetes ini paling sering diderita oleh orang dewasa berusia lebih dari 30
tahun dan cenderung semakin parah secara bertahap (Fauzi, 2014 : 75).
c) Diabetes jenis lain
Diabetes terkait Malnutrisi (DMTM) dan diabetes pada kehamilan (gestasional
diabetes), yang timbul hanya pada saat hamil (Waspadji dan sukardji, 2004 : 4)

C. ETIOLOGI
a. Pada Diabetes Tipe 1 (IDDM)
Berkaitan dengan ketidaksanggupan, kerusakan, atau gangguan fungsi pankreas
untuk memproduksi insulin sehingga tidak dapat menghasilkan cukup
insulin. Beberapa penyebab pankreas tidak dapat menghasilkan cukup insulin
pada penderita diabetes tipe 1 ini adalah sebagai berikut (Fauzi, 2014 : 73-74) :
1. Keturunan atau genetik
Jika salah satu atau kedua orangtua dari seorang anak menderita diabetes,
maka anak tersebut akan beresiko terkena diabetes.
2. Autoimunitas
Autoimunitas adalah tubuh mengalami alergi terhadap salah satu jaringan
atau jenis selnya sendiri. Dalam kasus ini alergi yang ada dalam pankreas.
Oleh sebab itu, tubuh kehilangan kemampuan untuk membentuk insulin
karena sistem kekebalan tubuh menghancurkan sel-sel yang memproduksi
insulin.
3. Virus atau zat kimia
Virus atau zat kimia yang menyebabkan kerusakan pada pulau sel atau
kelompok sel dalam pankreas tempat insulin dibuat. Semakin banyak
peulau sel yang rusak, semakin besar kemungkinan seseorang menderita
diabetes.
b. Pada Diabetes Tipe 2 (NIDDM)
Diabetes tipe 2 disebabkan karena pankreas tidak bisa memproduksi insulin yang
cukup. Kebanyakan dari insulin yang diproduksi pankreas dihisap oleh sel-sel
lemak akibat gaya hidup dan pola makan yang tidak baik. Karena pankreas tidak
dapat membuat cukup insulin untuk mengatasi kekurangan insulin sehingga kadar

15
gula dalam darah akan naik. Beberapa penyebab utama diabetes tipe 2 sebagai
berikut (Fauzi, 2014 : 75-76).

a. Faktor keturunan
Apabila orangtua atau saudara sekandung yang mengalami penyakit ini, maka
resiko diabetes tipe 2 lebih tinggi.
b. Pola makan dan gaya hidup
Pola makan dan gaya hidup yang tidak sehat menjadi pemicu utama pankreas
tidak dapat memproduksi insulinsecara maksimal. Mengkonsumsi makanan
cepat saji atau fast food yang menyajikan makanan berlemak dan tidak sehat
merupkan penyebab utama.
c. Kadar kolesterol tinggi
Kadar kolesterol dalam darah yang tinggi akan menyerap insulin yang
diproduksi oleh pankreas. Pada akhirnya, tubuh tidak dapat menyerap insulin
ini untuk merubahnya menjadi energi.
d. Obesitas
Obesitas atau kelebihan berat badan disebabkan oleh timbunan lemak yang
tidak positif bagi tubuh. Seperti kolesterol, lemakjuga akan menyerap produksi
insulin pankreas secara habis-habisan sehingga tubuh tidak kebagian insulin
untuk diproduksi sebagai energi.
c. Pada diabetes jenis lain
Misalnya disebabkan oleh karena kerusakan pankreas akibat kurang gizi, obat,
hormon atau hanya timbul pada saat hamil (Waspadji dan sukardji, 2004).

D. PATOFISIOLOGI
Insulin dan glukagon diproduksi dalam pankreas, yang merupakan kelenjar
eksokrin dan endokrin yang lebih dari sejuta kumpulan pulau – pulau sel terletak
menyebar dalam organ ini. Terdapat 3 jenis sel – sel endokrin, yaitu sel alpha yang
memproduksi glukagon ; sel beta, yang mensekresi insulin , sel delta yang mensekresi
gastrin dan somatostatin pankreas. Mekanisme kerja insulin adalah hipoglikemik dan
anabolitik. Dalam keadaan normal jika terdapat insulin, asupan glukosa yang melebihi
kebutuhan kalori akan disimpan sebagai glikogen dalam sel – sel hati dan otot yang
disebut proses glikogenesis. Proses ini mencegah terjadinya hiperglikemi. Jika terjadi

15
kekurangan insulin maka menyebabkan perubahan metabolisme yang menyebabkan
hiperglikemi, antara lain :
a. Transpor gula yang melewati membran sel berkurang.
b. Glukogenesis berkurang,dan tetap terdapat kelebihan glukosa dalam darah.
c. Glikogenesis meningkat sehingga cadangan glikogen berkurang dan glukosa
hati akan dicurahkan secara terus menerus.
d. Glukoneogenesis meningkat sehingga glukosa dalam darah meningkat dari
hasil pemecahan asam amino dan lemak. Ketosis menyebabkan asidosis dan
terjadi koma. Hiperglikemia meningkatkan osmolaritas darah. Jika konsentrasi
glukosa dalam darah meningkat dan melebihi ambang ginjal, maka pada
penyaringan di glomerulus dan reabsorpsi glukosa pada tubulus pun berkurang
sehingga terjadi glukosuria. Karena glukosa dalam larutan, maka pengeluaran
urine pun banyak sebanding dengan pengeluaran glukosa. Hal ini dinamakan
poliuri. Banyak garam mineral tubuh pun ikut keluar bersama urine sehingga
menyebabkan kekurangan kadar garam dan terjadi penarikan cairan dari
intraseluler dan ektraseluler dan merangsang rasa haus berkepanjangan
(polidipsi), starvasi seluler dan kehilangan kalori akan merangsang rasa lapar
yang berkepanjangan (polifagi).

15
E. PATHWAY

15
F. MANIFESTASI KLINIS
a. Menurut Fauzi ( 2014) pada permulaan gejala Diabetes Melitus yang ditunjukan
meliputi:
 Polidipsia (banyak minum)
Rasa haus dan ingin minum terus. Kadang hal ini sering ditafsirkan
karena udara yang panas dan banyak kerja berat, padahal tanda-tanda ini
muncul sebagai awal gejala penyakit DM
 Polifagia (banyak makan)
Penderita sering makan (banyak makan) ini terjadi akibat kadar gula yang
tinggi namun tidak dapat masuk kedalam seluntuk digunakan dalam
proses metabolisme. Ketika kadar gula darah tidak dapat masuk kedalam
sel, tubuh berpikir belum mendapatkan asupan makanan sehingga
mengirim sinyal lapar untuk mendapatkan glukosa lebih banyak agar sel-
sel dapat berfungsi
 Poliuria (banyak kencing)
Gejala yang sering dirasakan penderita adalah sering kencing dengan
volume urine yang banyak kencing yang sering pada malam hari
terkadang sangat mengganggu penderita. Pada kondisi ini ginjal bekerja
sangat aktif untuk menyingkirkan kelebihan glukosa didalam darah.
 Penurunan berat badan (BB) dan rasa lemah
Penurunan berat badan dalam waktu relatif singkat, merupakan gejala
awal yang sering dijumpai, selain itu rasa lemah dan cepat capek kerap di
rasakan.
b. Gejala kronik yang sering timbul adalah :
 Kesemutan
 Kulit terasa panas seperti tertusuk jarum, gatal dan kering
 Rasa tebal di kulit
 Kram
 Mudah lelah dan marah
 Mudah ngantuk
 Mata kabur
 Gatal di sekitar kemaluan (keputihan)
 Seksual menurun

15
 Pada ibu hamil mengalami keguguran atau kematian janin dalam
kandungan atau dengan bayi BB lahir lebih dari 4 kg.

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Tes kadar gula darah
Ukuran kadar gula didalam darah harus disesuaikan. Berikut ini kadar gula dalam
darah setelah puasa.
 Kadar gula darah normal adalah kurang dari 100 mg/dl.
 Kadar gula darah pradiabetes adalah antara 100 sampai 126 mg/dl.
 Kadar gula darah orang yang menderita diabetes adalah lebih dari 126
mg/dl.
Kadar glukosa darah 2 jam setelah makan (postpranndial) juga dapat
mengindikasikan orang terkena diabetes atau tidak. Berikut ini ukuran kadar gula
dalam darah setelah makan 2 jam.
 Kadar gula darah normal adalah kurang dari 140 mg/dl.
 Kadar gula darah pradiabetes adalah antara 140 sampai 200 mg/dl
 Kadar gula darah bagi penderita diabetes adalah lebih dari 200 mg/dl
(Fauzi, 2014 : 77-78).
b. Tes toleransi glukosa (TTG)
Menunjang (lebih besar dari 200mg/21), biasanya tes ini dianjurkan utuk pasien
yang menunjang kadar glukosa darah meningkat dibawah kondisi stress.
c. Tes Glukosa Urine
Adanya glukosa dalam urine dapat diperiksa dengan cara benedict (reduksi), yang
tidak khas untuk glukosa, karena dapat positif pada diabetes,
d. Tes HbA1C atau tes A1C
Pemeriksaan hemoglobin terglikasi (HbA1C) merupakan salah satu pemeriksaan
darah yang penting untuk mengevaluasi pengendalian gula darah. Hasil
pemeriksaan A1C memberikan gambaran rata-rata gula darah selama priode
waktu 6-12 minggu dan hasil ini dipergunakan bersama dengan hasil pemeriksaan
gula darah mandiri sebagai dasar untuk melakuakan penyesuaian terhadap
pengobatan diabetes yang dijalani.
Hemoglobin adalah salah satu substansi sel darah merah yang berfungsi untuk
mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. Ketika gula darah tidak terkontrol (yang
berarti kadar gula darah tinggi) maka gula darah akan berkaitan dengan

15
hemoglobin (terglikasi). Oleh karena itu, rata-rata kadar gula darah dapat
ditentukan dengan cara mengukur kadar HbA1C. Bila kadar gula darah tinggi
dalam satu beberapa minggu, maka kadar HbA1C akan tinggi pula. Ikatan
HbA1C yang terbentuk bersifat stabil dan dapat bertahan hingga 2-3 bulan (sesuai
dengan usia sel darah merah). Kadar HbA1C akan mencerminkan rata-rata kadar
gula darah dalam jangka waktu 2-3 bulan sebelum pemeriksaan. sebaliknya
(Ernawati 2013 : 85-86).

H. PENATALAKSANAAN
1. Diet
Salah satu pilar utama pengelolaan DM adalah perencanaan makan. Walaupun
telah mendapat tentang penyuluhan perencanaan makanan, lebih dari 50 % pasien
tidak melaksanakannya. Penderita DM sebaiknya mempertahankan menu diet
seimbang, dengan komposisi idealnya sekitar 68 % karbohidrat, 20 % lemak dan
12 % protein. Karena itu diet yang tepat untuk mengendalikan dan mencegah agar
berat badan tidak menjadi berlebihan dengan cara : Kurangi kalori, kurangi lemak,
konsumsi karbohidrat komplek, hindari makanan yang manis, perbanyak
konsumsi serat.
2. Olahraga
Olahraga selain dapat mengontrol kadar gula darah karena membuat insulin
bekerja lebih efektif. Olahraga juga membantu menurunkan berat badan,
memperkuat jantung, dan mengurangi stress. Bagi pasien DM melakukan olahraga
dengan teratur akan lebih baik, tetapi jangan melakukan olahraga yang berat –
berat.

15
I. KOMPLIKASI
Komplikasi diabetes mellitus terbagi menjadi 2 yaitu komplikasi akut dan komplikasi
kronik. (Carpenito, 2001)
1. Komplikasi Akut,
Ada 3 komplikasi akut pada diabetes mellitus yang penting dan
berhubungan dengan keseimbangan kadar glukosa darah dalam jangka
pendek, ketiga komplikasi tersebut adalah (Smeltzer, 2002 : 1258)
a. Diabetik Ketoasedosis (DKA)
Ketoasedosis diabatik merupakan defisiensi insulin berat dan akut dari
suatu perjalanan penyakit diabetes mellitus. Diabetik ketoasedosis
disebabkan oleh tidak adanya insulin atau tidak cukupnya jumlah
insulin yang nyata (Smeltzer, 2002 : 1258)
b. Koma Hiperosmolar Nonketotik (KHHN)
Koma Hiperosmolar Nonketotik merupakan keadaan yang didominasi
oleh hiperosmolaritas dan hiperglikemia dan disertai perubahan tingkat
kesadaran. Salah satu perbedaan utama KHHN dengan DKA adalah
tidak terdapatnya ketosis dan asidosis pada KHHN (Smetzer, 2002 :
1262)
c. Hypoglikemia Hypoglikemia (Kadar gula darah yang abnormal yang
rendah)
Terjadi kalau kadar glukoda dalam darah turun dibawah 50 hingga 60
mg/dl. Keadaan ini dapat terjadi akibat pemberian preparat insulin atau
preparat oral yang berlebihan, konsumsi makanan yang terlalu sedikit
(Smeltzer, 2002 : 1256)
2. Komplikasi kronik
Diabetes Melitus pada dasarnya terjadi pada semua pembuluh darah
diseluruh bagian tubuh (Angiopati Diabetik). Angiopati Diabetik dibagi
menjadi 2 yaitu: (Long 1996).
a. Mikrovaskuler
 Penyakit Ginjal
Salah satu akibat utama dari perubahan–perubahan mikrovaskuler
adalah perubahan pada struktural dan fungsi ginjal. Bila kadar
glukosa darah meningkat, maka mekanisme filtrasi ginjal akan

15
mengalami stress yang menyebabkan kebocoran protein darah
dalam urin (Smeltzer, 2002 : 1272)
 Penyakit Mata (Katarak)
Penderita Diabetes melitus akan mengalami gejala penglihatan
kabur sampai kebutaan. Keluhan penglihan kabur tidak selalu
disebabkan retinopati (Sjaifoellah, 1996 : 588). Katarak disebabkan
karena hiperglikemia yang berkepanjangan yang menyebabkan
pembengkakan lensa dan kerusakan lensa (Long, 1996 : 16)
 Neuropati
Diabetes dapat mempengaruhi saraf-saraf perifer, sistem saraf
otonom, Medulla spinalis, atau sistem saraf pusat. Akumulasi
sorbital dan perubahan–perubahan metabolik lain dalam sintesa
atau fungsi myelin yang dikaitkan dengan hiperglikemia dapat
menimbulkan perubahan kondisi saraf (Long, 1996 : 17)
Makrovaskuler
 Penyakit Jantung Koroner
Akibat kelainan fungsi pada jantung akibat diabetes melitus maka
terjadi penurunan kerja jantung untuk memompakan darahnya
keseluruh tubuh sehingga tekanan darah akan naik atau Diabetes
Melitus. Lemak yang menumpuk dalam pembuluh darah
menyebabkan mengerasnya arteri (arteriosclerosis), dengan resiko
penderita penyakit jantung koroner atau stroke
 Pembuluh darah kaki
Timbul karena adanya anesthesia fungsi saraf-saraf sensorik,
keadaan ini berperan dalam terjadinya trauma minor dan tidak
terdeteksinya infeksi yang menyebabkan gangren. Infeksi dimulai
dari celah–celah kulit yang mengalami hipertropi, pada sel–sel
kuku yang tertanam pada bagian kaki, bagia kulit kaki yang
menebal, dan kalus demikian juga pada daerah–daerah yang
terkena trauma (Long, 1996 : 17)
 Pembuluh darah otak
Pada pembuluh darah otak dapat terjadi penyumbatan sehingga
suplai darah keotak menurun (Long, 1996 : 17.

15
DAFTAR PUSTAKA

Tjokronegoro, Arjatmo, 2002. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu.Cet 2. Jakarta :


Balai Penerbit FKUI.

Carpenito, Lynda Juall, 1997. Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 alih bahasa
YasminAsih, Jakarta : EGC..

Doenges, Marilyn E, 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan


dan Pendokumentasian Perawatan Pasien edisi 3 alih bahasa I Made Kariasa, Ni
Made Sumarwati, Jakarta : EGC.

Effendi, Nasrul, 1998.Perawatan Kesehatan Masyarakat, Jakarta : Depkes RI.

http://www.ilmukeperawatan.com. Diakses pada tanggal 6 Pebruari 2012 jam 16.04 WIB.

Ikram, Ainal, 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Diabetes Mellitus Pada Usia Lanjut
jilid I Edisi ketiga, Jakarta : FKUI.

Luecknote, Annette Geisler, 1997. Pengkajian Gerontologi alih bahasa Aniek Maryunani,
Jakarta: EGC.

Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare, 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono,
Monica Ester, Yasmin asih, Jakarta : EGC.

15
2.17 LAPORAN PENDAHULUAN HIPOGLIKEMIA

A. DEFINISI HIPOGLIKEMIA
Hipoglikemia atau penurunan kadar gula darah merupakan keadaan dimana kadar
glukosa darah berada di bawah normal, yang dapat terjadi karena ketidakseimbangan antara
makanan yang dimakan, aktivitas fisik dan obat-obatan yang digunakan. Sindrom
hipoglikemia ditandai dengan gejala klinis antara lain penderita merasa pusing, lemas,
gemetar, pandangan menjadi kabur dan gelap, berkeringat dingin, detak jantung meningkat
dan terkadang sampai hilang kesadaran (syok hipoglikemia). (Nabyl, 2009)
Hipoglikemia = Hipoglikemia murni = True hypoglicemy = gejala hipoglikemia
apabila gula darah < 60 mg/dl.(Dr Soetomo ,1998)
Hipoglikemia adalah glukosa darah rendah, terjadi pada atau tergantung pada kadar
gula atau glukosa di dalam tubuh lebih rendah dari kebutuhan tubuh.(www.medicare.com)
Hipoglikemia ialah suatu penurunan abnormal kadar gula darah atau kondisi
ketidaknormalan kadar glukosa serum yang rendah. Keadaan ini dapat didefinisikan sebagai
kadar glukosa di bawah 40 mg/dL setelah kelahiran berlaku untuk seluruh bayi baru lahir
atau pembacaan strip reagen oxidasi glukosa di bawah 45 mg/dL yang dikonfirmasi dengan
uji glukose darah.

B. KLASIFIKASI HIPOGLIKEMIA
Type hipoglikemi digolongkan menjadi beberapa jenis yakni:
 Transisi dini neonatus ( early transitional neonatal ) : ukuran bayi yang besar
ataupun normal yang mengalami kerusakan sistem produksi pankreas sehingga
terjadi hiperinsulin.
 Hipoglikemi klasik sementara (Classic transient neonatal) : tarjadi jika bayi
mengalami malnutrisi sehingga mengalami kekurangan cadangan lemak dan
glikogen.
 Sekunder (Scondary) : sebagai suatu respon stress dari neonatus sehingga terjadi
peningkatan metabolisme yang memerlukan banyak cadangan glikogen.
 Berulang ( Recurrent) : disebabkan oleh adanya kerusakan enzimatis, atau
metabolisme.

16
Selain itu Hipoglikemia juga dapat diklasifikasikan sebagai :
 Hipoglikemi Ringan (glukosa darah 50-60 mg/dL)
Terjadi jika kadar glukosa darah menurun, sistem saraf simpatik akan terangsang.
Pelimpahan adrenalin ke dalam darah menyebabkan gejala seperti tremor, takikardi,
palpitasi, kegelisahan dan rasa lapar.
 Hipoglikemi Sedang (glukosa darah <50 mg/dL)
Penurunan kadar glukosa dapat menyebabkan sel- sel otak tidak memperoleh bahan
bakar untuk bekerja dengan baik. Tanda- tanda gangguan fungsi pada sistem saraf
pusat mencakup keetidakmampuan berkonsentrasi, sakit kepala, vertigo, konfusi,
penurunan daya ingat, bicara pelo, gerakan tidak terkoordinasi, penglihatan ganda
dan perasaan ingin pingsan.
 Hipoglikemi Berat (glukosa darah <35 mg /dL)
Terjadi gangguan pada sistem saraf pusat sehingga pasien memerlukan pertolongan
orang lain untuk mengatasi hipoglikeminya. Gejalanya mencakup disorientasi,
serangan kejang, sulit dibangunkan bahkan kehilangan kesadaran.

C. ETIOLOGI HIPOGLIKEMIA
Hipoglikemia bisa disebabkan oleh:
 Pelepasan insulin yang berlebihan oleh pankreas
 Dosis insulin atau obat lainnya yang terlalu tinggi, yang diberikan kepada penderita
diabetes untuk menurunkan kadar gula darahnya
 Kelainan pada kelenjar hipofisa atau kelenjar adrenal
 Kelainan pada penyimpanan karbohidrat atau pembentukan glukosa di
hati. Adapun penyebab Hipoglikemia yaitu :
 Dosis suntikan insulin terlalu banyak.
Saat menyuntikan obat insulin, anda harus tahu dan paham dosis obat yang anda
suntik sesuai dengan kondisi gula darah saat itu. Celakanya, terkadang pasien tidak
dapat memantau kadar gula darahnya sebelum disuntik, sehingga dosis yang
disuntikan tidak sesuai dengan kadar gula darah saat itu. Memang sebaiknya bila
menggunakan insulin suntik, pasien harus memiliki monitor atau alat pemeriksa gula
darah sendiri.

16
 Lupa makan atau makan terlalu sedikit.
Penderita diabetes sebaiknya mengkonsumsi obat insulin dengan kerja lambat dua kali
sehari dan obat yang kerja cepat sesaat sebelum makan. Kadar insulin dalam darah
harus seimbang dengan makanan yang dikonsumsi. Jika makanan yang anda
konsumsi kurang maka keseimbangan ini terganggu dan terjadilah hipoglikemia.
 Aktifitas terlalu berat.
Olah raga atau aktifitas berat lainnya memiliki efek yang mirip dengan insulin. Saat
anda berolah raga, anda akan menggunakan glukosa darah yang banyak sehingga
kadar glukosa darah akan menurun. Maka dari itu, olah raga merupakan cara terbaik
untuk menurunkan kadar glukosa darah tanpa menggunakan insulin.
 Minum alkohol tanpa disertai makan.
Alkohol menganggu pengeluaran glukosa dari hati sehingga kadar glukosa darah akan
menurun.
 Menggunakan tipe insulin yang salah pada malam hari.
Pengobatan diabetes yang intensif terkadang mengharuskan anda mengkonsumsi obat
diabetes pada malam hari terutama yang bekerja secara lambat. Jika anda salah
mengkonsumsi obat misalnya anda meminum obat insulin kerja cepat di malam hari
maka saat bangun pagi, anda akan mengalami hipoglikemia.
 Penyakit yang menyebabkan gangguan penyerapan glukosa.
Beberapa penyakit seperti celiac disease dapat menurunkan penyerapan glukosa oleh
usus. Hal ini menyebabkan insulin lebih dulu ada di aliran darah dibandingan dengan
glukosa. Insulin yang kadung beredar ini akan menyebabkan kadar glukosa darah
menurun sebelum glukosa yang baru menggantikannya.

16
D. PATOFISIOLOGI HIPOGLIKEMIA
Seperti sebagian besar jaringan lainnya, matabolisme otak terutama bergantung pada
glukosa untuk digunakan sebagai bahan bakar. Saat jumlah glukosa terbatas, otak dapat
memperoleh glukosa dari penyimpanan glikogen di astrosit, namun itu dipakai dalam
beberapa menit saja. Untuk melakukan kerja yang begitu banyak, otak sangat tergantung
pada suplai glukosa secara terus menerus dari darah ke dalam jaringan interstitial dalam
system saraf pusat dan saraf-saraf di dalam system saraf tersebut.
Oleh karena itu, jika jumlah glukosa yang di suplai oleh darah menurun, maka akan
mempengaruhi juga kerja otak. Pada kebanyakan kasus, penurunan mental seseorang telah
dapat dilihat ketika gula darahnya menurun hingga di bawah 65 mg/dl (3.6 mM). Saat kadar
glukosa darah menurun hingga di bawah 10 mg/dl (0.55 mM), sebagian besar neuron
menjadi tidak berfungsi sehingga dapat menghasilkan koma.
Diabetes ketoasidosis disebabkan oleh tidak adanya insulin atau tidak cukupnya
jumlah insulin yang nyata, keadaan ini mengakibatkan gangguan pada metabolisme
karbohidrat, protein, lemak, ada tiga gambaran klinis yang penting pada diabetes
ketoasidosis.
Apabila jumlah insulin berkurang jumlah glukosa yang memasuki sel akan berkurang
pula, di samping itu produksi glukosa oleh hati menjadi tidak terkendali, kedua factor ini
akan menimbulkan hipoglikemia. Dalam upaya untuk menghilangkan glukosa yang
berlebihan dalam tubuh, ginjal akan mengekskresikan glukosa bersama-sama air dan
elektrolit (seperti natrium dan kalium). Diuresis osmotic yang di tandai oleh urinaria
berlebihan (poliuria) ini akan menyebabkan dehidrasi dan kehilangan elektrolit. penderita
ketoasidosis diabetic yang berat dapat kehilangan kira-kira 6,5 liter air dan sampai 400
hingga mEq natrium, kalium serta klorida selama periode waktu 24 jam.
Akibat defisiensi insulin yang lain adalah pemecahan lemak (liposis) menjadi asam-
asam lemak bebas dan gliseral.asam lemak bebas akan di ubah menjadi badan keton oleh
hati, pada keton asidosis diabetic terjadi produksi badan keton yang berlebihan sebagai
akibat dari kekurangan insulin yang secara normal akan mencegah timbulnya keadaan
tersebut, badan keton bersifat asam, dan bila bertumpuk dalam sirkulasi darah, badan keton
akan menimbulkan asidosis metabolic.
Pada hipoglikemia ringan ketika kadar glukosa darah menurun, sistem saraf simpatik
akan terangsang. Pelimpahan adrenalin ke dalam darah menyebabkan gejala seperti
perspirasi, tremor, takikardi, palpitasi, kegelisahan dan rasa lapar.

16
Pada hipoglikemia sedang, penurunan kadar glukosa darah menyebabkan sel-sel
otak tidak memperoleh cukup bahan bakar untuk bekerja dengan baik. Tanda-tanda gangguan
fungsi pada sistem saraf pusat mencakup ketidak mampuan berkonsentrasi, sakit
kepala,vertigo, konfusi, penurunan daya ingat, pati rasa di daerah bibir serta lidah, bicara
pelo, gerakan tidak terkoordinasi, perubahan emosional, perilaku yang tidak rasional,
penglihatan ganda dan perasaan ingin pingsan. Kombinasi dari gejala ini (di samping gejala
adrenergik) dapat terjadi pada hipoglikemia sedang.
Pada hipoglikemia berat fungsi sistem saraf pusat mengalami gangguan yang sangat
berat, sehingga pasien memerlukan pertolongan orang lain untuk mengatasi hipoglikemia
yang di deritanya. Gejalanya dapat mencakup perilaku yang mengalami disorientasi, serangan
kejang, sulit di bangunkan dari tidur atau bahkan kehilangan kesadaran (Smeltzer. 2001).

16
E. PATHWAY HIPOGLIKEMIA

Laporan Pendahuluan Hipoglikemia

16
F. TANDA DAN GEJALA HIPOGLIKEMIA
Tanda dan gejala dari hipoglikemi terdiri dari dua fase antara lain:
a. Fase pertama yaitu gejala- gejala yang timbul akibat aktivasi pusat autonom di
hipotalamus sehingga dilepaskannya hormone epinefrin. Gejalanya berupa palpitasi,
keluar banyak keringat, tremor, ketakutan, rasa lapar dan mual (glukosa turun 50 mg%.
b. Fase kedua yaitu gejala- gejala yang terjadi akibat mulai terjadinya gangguan fungsi
otak, gejalanya berupa pusing, pandangan kabur, ketajaman mental menurun, hilangnya
ketrampilan motorik yang halus, penurunan kesadaran, kejang- kejang dan koma
(glukosa darah 20 mg%).(3)
Adapun gejala- gejala hipoglikemi yang tidak khas adalah sebagai berikut:
 Perubahan tingkah laku
 Serangan sinkop yang mendadak
 Pusing pagi hari yang hilang dengan makan pagi
 Keringat berlebihan waktu tidur malam
 Bangun malam untuk makan
 Hemiplegi/ afasia sepintas
 Angina pectoris tanpa kelainan arteri koronaria
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG HIPOGLIKEMIA
1. Gula darah puasa
Diperiksa untuk mengetahui kadar gula darah puasa (sebelum diberi glukosa 75 gram
oral) dan nilai normalnya antara 70- 110 mg/dl.
2. Gula darah 2 jam post prandial
Diperiksa 2 jam setelah diberi glukosa dengan nilai normal < 140 mg/dl/2 jam
3. HBA1c
Pemeriksaan dengan menggunakan bahan darah untuk memperoleh kadar gula darah
yang sesungguhnya karena pasien tidak dapat mengontrol hasil tes dalam waktu 2- 3
bulan. HBA1c menunjukkan kadar hemoglobin terglikosilasi yang pada orang normal
antara 4- 6%. Semakin tinggi maka akan menunjukkan bahwa orang tersebut menderita
DM dan beresiko terjadinya komplikasi.
4. Elektrolit, tejadi peningkatan creatinin jika fungsi ginjalnya telah terganggu
5. Leukosit, terjadi peningkatan jika sampai terjadi infeksi

16
H. PENATALAKSANAAN HIPOGLIKEMIA
1. Glukosa Oral
Sesudah diagnosis hipoglikemi ditegakkan dengan pemeriksaan glukosa darah kapiler,
10- 20 gram glukosa oral harus segera diberikan. Idealnya dalam bentuk tablet, jelly
atau 150- 200 ml minuman yang mengandung glukosa seperti jus buah segar dan nondiet
cola. Sebaiknya coklat manis tidak diberikan karena lemak dalam coklat dapat
mengabsorbsi glukosa. Bila belum ada jadwal makan dalam 1- 2 jam perlu diberikan
tambahan 10- 20 gram karbohidrat kompleks.Bila pasien mengalami kesulitan menelan
dan keadaan tidak terlalu gawat, pemberian gawat, pemberian madu atau gel glukosa
lewat mukosa rongga hidung dapat dicoba.
2. Glukosa Intramuskular
Glukagon 1 mg intramuskuler dapat diberikan dan hasilnya akan tampak dalam 10
menit. Glukagon adalah hormon yang dihasilkan oleh sel pulau pankreas, yang
merangsang pembentukan sejumlah besar glukosa dari cadangan karbohidrat di dalam
hati. Glukagon tersedia dalam bentuk suntikan dan biasanya mengembalikan gula darah
dalam waktu 5-15 menit. Kecepatan kerja glucagon tersebut sama dengan pemberian
glukosa intravena. Bila pasien sudah sadar pemberian glukagon harus diikuti dengan
pemberian glukosa oral 20 gram (4 sendok makan) dan dilanjutkan dengan pemberian 40
gram karbohidrat dalam bentuk tepung seperti crakers dan biscuit untuk
mempertahankan pemulihan, mengingat kerja 1 mg glucagon yang singkat (awitannya
8 hingga 10 menit dengan kerja yang berlangsung selama 12 hingga 27 menit). Reaksi
insulin dapt pulih dalam waktu5 sampai 15 menit. Pada keadaan puasa yang panjang
atau hipoglikemi yang diinduksi alcohol, pemberian glucagon mungkin tidak efektif.
Efektifitas glucagon tergantung dari stimulasi glikogenolisis yang terjadi.
3. Glukosa Intravena
Glukosa intravena harus dberikan dengan berhati- hati. Pemberian glukosa dengan
konsentrasi 40 % IV sebanyak 10- 25 cc setiap 10- 20 menit sampai pasien sadar disertai
infuse dekstrosa 10 % 6 kolf/jam.
I. KOMPLIKASI
Komplikasi dari hipoglikemia pada gangguan tingkat kesadaran yang
berubah selalu dapat menyebabkan gangguan pernafasan, selain itu hipoglikemia juga
dapat mengakibatkan kerusakan otak akut. Hipoglikemia berkepanjangan parah bahkan
dapat menyebabkan gangguan neuropsikologis sedang sampai dengan gangguan
neuropsikologis berat karena efek hipoglikemia berkaitan dengan

16
sistem saraf pusat yang biasanya ditandai oleh perilaku dan pola bicara
yang abnormal (Jevon, 2010) dan menurut Kedia (2011) hipoglikemia
yang berlangsung lama bisa menyebabkan kerusakan otak yang
permanen, hipoglikemia juga dapat menyebabkan koma sampai kematian.

16
DAFTAR PUSTAKA

Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius FKUI

Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta: Prima
Medika

Joanne C. McCloskey. 1996. Nursing Intervention Classification (NIC). Mosby-Year Book

Judith M. Wilkinson. 2005. Prentice Hall Nursing Diagnosis Handbook with NIC
Intervention and NOC Outcomes. Upper Saddle River: New Jersey

16
2.18 LAPORAN PENDAHULUAN HIPERGLIKEMIA

A. DEFINISI

Hiperglikemi merupakan keaadaan dimana kadar glukosa darah yang tinggi dari
rentang kadar puasa normal 120 mg/ 100 ml darah (Elizabeth J.Corwin, 2009).
Hiperglikemia adalah keadaan ketika kadar gula darah melonjak secara tiba-tiba.
Keadaan ini bisa disebabkan antara lain stres, infeksi, dan konsumsi obat-obatan tertentu.
(Saraswati, silvia.2009)
Hiperglikemia didefinisikan sebagai kadar glukosa darah yang tinggi pada rentang
non puasa sekitar 140-160 mg/100 ml darah (Sujono & Sukarmin, 2008)

B. ETIOLOGI
a. Defisiensi Insulin, seperti yang dijumpai pada DM tipe 1
b. Penurunan responsivitas sel terhadap insulin, seperti yang dijumpai pada DM tipe
II karena adanya penyebab obesitas, kurangnya aktifitas fisik
c. Stres kronis
Respon terhadap stres mencakup aktivasi sistem saraf simpatis dan pelepasan hormon
pertumbuhan (tyroid), katekolamin epinefrin dan norepinefrin dari kelenjar adrenal yang
selanjutnya akan merangsang peningkatan pemecahan simpanan glukosa di hepar dan
otot rangka.
d. Hipertiroid
Hormon-hormon tersebut menstimulasi pelepasan insulin yang berlebihan oleh sel-sel
pankreas, sehingga akhirnya terjadi penurunan respon sel terhadap insulin
e. Autoimun
Autoimun menyebabkan kerusakan sel-sel beta pankreas yang berakibat defisiensi insulin
sampai kelainan yang menyebabkan retensi terhadap kerja insulin.
f. Alkoholisme
Dianggap menambah resiko terjadinya kerusakan sel-sel beta pada pankreas (ADA,
2009).

C. PATOFISIOLOGI
Hiperglikemia timbul akibat berkurangnya insulin sehingga glukosa darah tidak dapat
masuk ke sel-sel otot, jaringan adipose atau hepar. Dalam keadaan normal kira-kira 50%
glukosa yang dimakan terganggu, glukosa tidak dapat masuk ke sel sehingga energi terutama
diperoleh dari metabolisme protein dan lemak. Lipolisis bertambah dan lipogenesis
terhambat, akibatnya dalam jaringan banyak tertimbun asetil KoA (zat yang penting pada
siklus asam sitrat dan prekusor utama dari lipid dan steroid, terbentuk dengan cara
menggabungkan gugus asetil pada koenzim A selama oksidasi karbohidrat, asam lemak atau
asam-asam amino), dan senyawa ini akan banyak diubah menjadi zat keton karena
terhambatnya siklus TCA (Tricarboxylic Acid Kreb’s Cycle). Zat keton sebenarnya

17
merupakan sumber energi yang berguna terutama pada saat puasa. Metabolisme zat keton
pada pasien DM meningkat, karena jumlahnya yang terbentuk lebih banyak daripada yang
dimetabolisme. Keadaan ini disebut ketoasidosis yang ditandai dengan nafas yang cepat dan
dalam disertai adanya bau aseton (Tjay, 2007).

D. PATHWAY

17
E. MANIFESTASI KLINIS
a. Kadar gula darah sewaktu melebihi angka 200 mg/dl atau kadar gula darah puasa
melebihi 126 mg/dl.
b. Poliuria (banyak dan sering kencing)
c. Polipagia (banyak makan)
d. Polidipsi (banyak minum)
e. Kelemahan tubuh, lesu cepat lelah tidak bertenaga
f. Berat badan menurun
g. Rasa kesemutan, karena iritasi (perangsangan) pada serabut-serabut saraf
h. Infeksi saluran kencing
i. Glukosuria
h. Infeksi yang sukar sembuh (ADA, 2009)

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Glukosa darah sewaktu
b. Kadar glukosa darah puasa
c. Tes toleransi glukosa
Biasanya, tes ini dianjurkan untuk pasien yang menunjukkan kadar glukosa darah
meningkat di bawah kondisi stress.
Kadar darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring diagnosis DM (mg/dl)

G. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama terapi hiperglikemia adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin
dan kadar glukosa darah dan upaya mengurangi terjadinya komplikasi vaskuler serta
neuropati.
Ada 4 komponen dalam penatalaksanaan hiperglikemia :
1. Diet
a. Komposisi makanan :
 Karbohidrat = 60 % – 70
 Protein = 10 % – 15 %
 Lemak = 20 % – 25 %
b. Jumlah kalori perhari
 Antara 1100 -2300 kkal
 Kebutuhan kalori basal :
laki – laki : 30 kkal / kg BB
Perempuan : 25 kkal / kg BB

2. Latihan jasmani
Manfaat latihan jasmani :

17
 Menurunkan kadar glukosa darah mengurangi resitensi insulin, meningkatkan
sensitivitas insulin).
 Menurunkan berat badan.
 Mencegah kegemukan.
 Mengurangi kemungkinan terjadinya komplikasi aterogenik, gangguan lipid
darah, peningkatan tekanan darah, hiperkoagulasi darah.
3. Medis (obat hipoglikemi)
a. Obat hipoglikemi oral :
 Sulfoniluria : Glibenglamida, glikosit, gliguidon, glimeperide, glipizid.
 Biguanid ( metformin )
 Hon su insulin secretagogue ( repakglinide, natliglinide )
 Inhibitor glucosidase
 Tiosolidinedlones
b. Insulin
1. Insulin reaksi pendek disebut juga sebagai clear insulin, adalah jenis obat
insulin yang memiliki sifat transparan dan mulai bekerja dalam tubuh dalam
waktu 30 menit sejak dimasukan kedalam tubuh. Obat insulin ini bekerja
secara maksimal selama 1 sampai 3 jam dalam aliran darah penderita, dan
segera menghilang setelah 6 sampai 8 jam kemudian.
2. Insulin reaksi panjang, merupakan jenis yang mulai bekerja 1 sampai 2 jam
setelah disuntikan kedalam tubuh seseorang. Tetapi obat ini tidak memiliki
reaksi puncak, sehingga ia bekerja secara stabil dalam waktu yang lama yaitu
24 sampai 36 jam didalam tubuh penderita, contohnya lavemir dan lantus.
3. Jenis insulin reaksi menengah adalah insulin yang mulai efektif bekerja
menurunkan kadar gula darah sejak 1 sampai 2 jam setelah disuntikan
kedalam tubuh. Obat ini bekerja secara maksimal selama 6 sampai 10 jam, dan
berakhir setelah 10 sampai 16 jam setelahnya. Contohnya humulin m3,
hypurin, dan insuman.
4. Insulin reaksi cepat yang bekerja 5 sampai 15 menit setelah masuk kedalam
tubuh. Ia memiliki tingkat reaksi maksimal selama 30 sampai 90 menit, dan
pengaruhnya akan segera menghilanhg setelah 3 sampai 5 jam setelahnya,
contohnya lispro, actrapid, novorapid dan velosulin.

H. KOMPLIKASI
1. Komplikasi akut
 Hipoglikemia/koma hipoglikemia
 Hipoglikemik adalah kadar gula yang rendah kadar gula normal 60-100 mg%.
 Sindrom hiperglikemik hiperosmolar non ketotik (HHNC/HONK)
 Ketoasidosis Diabetic (KAD)
2. Komplikasi kronik

17
 Makrovaskular (penyakit pembuluh darah besar), mengenai sirkulasi koroner,
vaskuler perifer dan vaskuler serebral
 Mikrovaskuler (penyakit pembuluh darah kecil), mengenai mata (retinopati), dan
ginjal (nefropati). Kontrol kadar glukosa darah untuk memperlambat atau menunda
awitan baik komplikasi mikrovaskuler maupun makrovaskuler
 Penyakit neuropati, mengenai saraf sensorik-motorik dan autonomi serta menunjang
masalah seperti impotensi dan ulkus pada kaki
 Rentan infeksi, seperti tuberkolosis paru dan infeksi saluran kemih
 Ulkus/ gangren/ kaki diabetik (Mansjoer dkk, 2007).

17
DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2011. Penatalaksanaan Diabetes Melitus
Terpadu, Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Mansjoer, A, dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, jilid 1, Edisi 3. Jakarta : Media
Aesculapius
Saraswati, sylvia .2009. Diet Sehat Untuk Penyakit Asam Urat Diabetes Hipertensi dan
Stroke. Yogyakarta : A Plus
Sujono, Sukarmin . 2008. Askep pada Pasien dengan Gangguan Eksokrin dan Endokrin pada
Pankreas. Yogyakarta : Graha Ilmu
Tjay, Tan Hoan dan Raharja. 2007 . Obat-obat Penting. Jakarta : Media Komputindo
ADA (American Diabetes, Assosciation), Diagnosis and Classification Of DM. 2009.

17
2.19 LAPORAN PENDAHULUAN KETOASIDOSIS DIABETIK

A. DEFENISI
Keto asidosis Diabetik adalah keadaan kegawatan atau akut dari DM tipe I , disebabkan
oleh meningkatnya keasaman tubuh benda-benda keton akibat kekurangan atau defisiensi
insulin, di karakteristikan dengan hiperglikemia, asidosis, dan keton akibat kurangnya insulin
( Stillwell, 1992).
Keto Asidosis Diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi kekacauan metabolic
yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis terutama disebabkan oleh
defisiensi insulin absolut atau relative. KAD dan hipoglikemia merupakan komplikasi akut
diabetes mellitus (DM) yang serius dan membutuhkan pengelolaan gawat darurat. Akibat
diuresia osmotik, KAD biasanya mengalami dehidrasi berat dan dapat sampai menyebabkan
syok.

B. ETIOLOGI
Dalam 50% kejadian KAD, kekurangan insulin, peningkatan konsumsi atau produksi
glukoasa, atau infeksi adalah faktor pencetus. Stressor-stressor utama lain yang dapat
mencetuskan diabetic ketoasidosis adalah pembedahan, trauma, terapi dengan steroid dan
emosional.
Beberapa penyebab terjadinya KAD adalah:
 Infeksi : pneumonia, infeksi traktus urinarius, dan sepsis. diketahui bahwa jumlah sel
darah putih mungkin meningkat tanpa indikasi yang mendasari infeksi.
 Ketidakpatuhan: karena ketidakpatuhan dalam dosis
 Pengobatan: onset baru diabetes atau dosis insulin tidak adekuat
 Kardiovaskuler : infark miokardium
 Penyebab lain : hipertiroidisme, pankreatitis, pengobatan kortikosteroid and
adrenergik.

C. PATOFISIOLOGI
Ketoasidois terjadi bila tubuh sangat kekurangan insulin. Karena dipakainya jaringan
lemak untuk memenuhi kebutuhan energi, maka akan terbentuk keton. Bila hal ini dibiarkan
terakumulasi, darah akan menjadi asam sehingga jaringan tubuh akan rusak dan bisa
menderita koma. Hal ini biasanya terjadi karena tidak mematuhi perencanaan makan,
menghentikan sendiri suntikan insulin, tidak tahu bahwa dirinya sakit diabetes mellitus,

17
mendapat infeksi atau penyakit berat lainnya seperti kematian otot jantung, stroke, dan
sebagainya.
Faktor faktor pemicu yang paling umum dalam perkembangan ketoasidosis diabetik
(KAD) adalah infeksi, infark miokardial, trauma, ataupun kehilangan insulin. Semua
gangguan gangguan metabolik yang ditemukan pada ketoasidosis diabetik (KAD) adalah
tergolong konsekuensi langsung atau tidak langsung dari kekurangan insulin.
Menurunnya transport glukosa kedalam jaringan jaringan tubuh akan menimbulkan
hiperglikemia yang meningkatkan glukosuria. Meningkatnya lipolisis akan menyebabkan
kelebihan produksi asam asam lemak, yang sebagian diantaranya akan dikonversi (diubah)
menjadi keton, menimbulkan ketonaemia, asidosis metabolik dan ketonuria. Glikosuria akan
menyebabkan diuresis osmotik, yang menimbulkan kehilangan air dan elektrolit seperti
sodium, potassium, kalsium, magnesium, fosfat dan klorida. Dehidrasi terjadi bila terjadi
secara hebat, akan menimbulkan uremia pra renal dan dapat menimbulkan syok
hipovolemik. Asidodis metabolik yang hebat sebagian akan dikompensasi oleh peningkatan
derajat ventilasi (pernafasan Kussmaul). Muntah-muntah juga biasanya sering terjadi dan
akan mempercepat kehilangan air dan elektrolit. Sehingga, perkembangan KAD adalah
merupakan rangkaian dari siklus interlocking vicious yang seluruhnya harus diputuskan
untuk membantu pemulihan metabolisme karbohidrat dan lipid normal.
Apabila jumlah insulin berkurang, jumlah glukosa yang memasuki sel akan berkurang juga .
Disamping itu produksi glukosa oleh hati menjadi tidak terkendali. Kedua faktor ini akan
menimbulkan hiperglikemi. Dalam upaya untuk menghilangkan glukosa yang berlebihan
dari dalam tubuh, ginjal akan mengekskresikan glukosa bersama-sama air dan elektrolit
(seperti natrium dan kalium). Diuresis osmotik yang ditandai oleh urinasi yang berlebihan
(poliuri) akan menyebabkan dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Penderita ketoasidosis
diabetik yang berat dapat kehilangan kira-kira 6,5 L air dan sampai 400 hingga 500 mEq
natrium, kalium serta klorida selama periode waktu 24 jam.Akibat defisiensi insulin yang
lain adlah pemecahan lemak (lipolisis) menjadi asam-asam lemak bebas dan gliserol. Asam
lemak bebas akan diubah menjadi badan keton oleh hati. Pada ketoasidosis diabetik terjadi
produksi badan keton yang berlebihan sebagai akibat dari kekurangan insulin yang secara
normal akan mencegah timbulnya keadaan tersebut. Badan keton bersifat asam, dan bila
bertumpuk dalam sirkulasi darah, badan keton akan menimbulkan asidosis metabolik.
Gejala dan tanda yang timbul pada KAD disebabkan terjadinya hiperglikemia dan
ketogenesis. Defisiensi insulin merupakan penyebab utama terjadinya hiperglikemia atau
peningkatan kadar glukosa darah dari pemecahan protein dan glikogen atau lipolisis atau

17
pemecahan lemak. Hiperglikemia menyebabkan diuresis osmotik dengan hipovolemia
kemudian akan berlanjut terjadinya dehidrasi dan renjatan atau syok. Glukoneogenesis
menambah terjadinya hiperglikemik.Lipolisis yang terjadi akan meningkatkan pengangkutan
kadar asam lemak bebas ke hati sehingga terjadi ketoasidosis, yang kemudian berakibat
timbulnya asidosis metabolik, sebagai kompensasi tubuh terjadi pernafasan kussmaul.

D. MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis biasanya berlangsung cepat dalam waktu kurang dari 24 jam. Poliuri,
polidipsi dan penurunan berat badan yang nyata biasanya terjadi beberapa hari menjelang
KAD, dan sering disertai mual-muntah dan nyeri perut. Nyeri perut sering disalah-artikan
sebagai 'akut abdomen'. Asidosis metabolik diduga menjadi penyebab utama gejala nyeri
abdomen, gejala ini akan menghilang dengan sendirinya setelah asidosisnya teratasi.

Sering dijumpai penurunan kesadaran, bahkan koma (10% kasus), dehidrasi dan syok
hipovolemia (kulit/mukosa kering dan penurunan turgor, hipotensi dan takikardi). Tanda lain
adalah :
 Sekitar 80% pasien DM ( komplikasi akut )
 Pernafasan cepat dan dalam ( Kussmaul )
 Dehidrasi ( tekanan turgor kulit menurun, lidah dan bibir kering )
 Kadang-kadang hipovolemi dan syok
 Bau aseton dan hawa napas tidak terlalu tercium
 Didahului oleh poliuria, polidipsi.
 Riwayat berhenti menyuntik insulin
 Demam, infeksi, muntah, dan nyeri perut

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Diagnostik meliputi :
 Glukosa darah : meningkat 200 – 100 mg/dl atau lebih
 Aseton plasma (keton) : positif secara mencolok
 Asam lemak bebas : kadar lipid dan kolesterol meningkaat
 Osmolalitas serum : meningkat tetapi biasanya kurang dari 330
mOsm/l Pemeriksaan Osmolalitas = 2[Na+K] + [GDR/18] +
[UREUM/6]
 Elektrolit : Natrium : mungkin normal , meningkat atau menurun

17
 Kalium : normal atau peningkatan semu (perpindahan selular), selanjutnya akan
menurun
 Fosfor : lebih sering menurun
 Hemoglobin glikosilat : kadarnya meningkat 2-4 kali lipat dari normal yang
mencerminkan kontrol DM yang kurang selama 4 bulan terakhir
 Gas darah arteri : biasanya menunjukkan pH rendah dan penurunan pada HCO3
(asidosis metabolik) dengan kompensasi alkalosis respiratorik
 Trombosit darah : Ht mungkin meningkat atau normal (dehidrasi), leukositosis,
hemokonsentrasi sebagai rrespons terhadap stress atau infeksi
 Ureum/kreatinin: Mungkn meningkaatt atau normal(dehidrasi/penurunan fungsi
ginjal)
 Amilase darah : mungkin meningkat yang mengindikasikan adanya pankreatitis akut
sebagai penyebab DKA
 Urin : gula dan aseton positif , berat jenis dan osmolalitas mungkin meningkat
 Kultur dan sensitifitas : kemungkinan adanya infeksi saluran kemih, pernafasan dan
pada luka.

F. PENATALAKSANAAN
Prinsip terapi KAD adalah dengan mengatasi dehidrasi, hiperglikemia, dan
ketidakseimbangan elektrolit, serta mengatasi penyakit penyerta yang ada. Pengawasan ketat,
KU jelek masuk HCU/ICU
Fase I/Gawat :
 DEHIDRASI
NaCl 0,9% atau RL 2L loading dalam 2 jam pertama, lalu 80 tpm selama 4 jam, lalu
30-50 tpm selama 18 jam (4-6L/24jam)
 INSULIN
4-8 U/jam sampai GDR 250 mg/dl atau reduksi minimal
 Infus K (TIDAK BOLEH BOLUS)
Bila K+ < 3mEq/L, beri 75mEq/L
Bila K+ 3-3.5mEq/L, beri 50 mEq/L
Bila K+ 3.5 -4mEq/L, beri 25mEq/L
Masukkan dalam NaCl 500cc/24 jam
 Infus Bicarbonat
Bila pH<7,0 atau bicarbonat < 12mEq/L

17
Berikan 44-132 mEq dalam 500cc NaCl 0.9%, 30-80 tpm
Pemberian Bicnat = [ 25 - HCO3 TERUKUR ] x BB x
0.4
 Antibiotik dosis tinggi
Batas fase I dan fase II sekitar GDR 250 mg/dl atau reduksi

G. KOMPLIKASI
Komplikasi dari ketoasidoisis diabetikum dapat berupa:
 Ginjal diabetik ( Nefropati Diabetik )
Nefropati diabetik atau ginjal diabetik dapat dideteksi cukup dini. Bila penderita
mencapai stadium nefropati diabetik, didalam air kencingnya terdapat protein.
Dengan menurunnya fungsi ginjal akan disertai naiknya tekanan darah. Pada kurun
waktu yang lama penderita nefropati diabetik akan berakhir dengan gagal ginjal dan
harus melakukan cuci darah. Selain itu nefropati diabetik bisa menimbulkan gagal
jantung kongesif.
 Kebutaan ( Retinopati Diabetik )
Kadar glukosa darah yang tinggi bisa menyebabkan sembab pada lensa mata.
Penglihatan menjadi kabur dan dapat berakhir dengan kebutaan.
 Syaraf ( Neuropati Diabetik )
Neuropati diabetik adalah akibat kerusakan pada saraf. Penderita bisa stres, perasaan
berkurang sehingga apa yang dipegang tidak dapat dirasakan (mati rasa).
 Kelainan Jantung.
Terganggunya kadar lemak darah adalah satu faktor timbulnya aterosklerosis pada
pembuluh darah jantung. Bila diabetesi mempunyai komplikasi jantung koroner dan
mendapat serangan kematian otot jantung akut, maka serangan tersebut tidak disertai
rasa nyeri. Ini merupakan penyebab kematian mendadak.
 Hipoglikemia.
Hipoglikemia terjadi bila kadar gula darah sangat rendah. Bila penurunan kadar
glukosa darah terjadi sangat cepat, harus diatasi dengan segera. Keterlambatan dapat
menyebabkan kematian. Gejala yang timbul mulai dari rasa gelisah sampai berupa
koma dan kejang-kejang.
 Hipertensi.
Karena harus membuang kelebihan glokosa darah melalui air seni, ginjal penderita
diabetes harus bekerja ekstra berat. Selain itu tingkat kekentalan darah pada diabetisi

18
juga lebih tinggi.

18
DAFTAR PUSTAKA

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed 4, jilid III. (2006). Jakarta: FKUI
Carpenito, Lynda Juall (2000), Buku saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 8, EGC, Jakarta
Corwin, Elizaeth J. (2001). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta:EGC
Doengoes, E. Marilyn (1989), Nursing Care Plans, Second Edition, FA Davis, Philadelphia
Hall, Jasse B., Schmitt, Gregors A.( 2007). Critical Care: Just The Facts. USA: Mc Graw-Hill
Companies inc\
Krisanty Paula, dkk. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Cetakan Pertama, Jakarta, Trans
Info Media, 2009.
Long, Barbara C. (1996). Perawatan Medical Bedah; Suatu Pendekatan Proses Keperawatan.
USA: Mosby
Morton, patricia Gonce dkk. (2005). Critical Care Nursing A Holistik Approach.8th ed. USA:
Lippincot
Price, Sylvia (1990), Patofisiologi dan Konsep Dasar Penyakit , EGC, Jakarta

18
2.20 LAPORAN PENDAHULUAN TUMOR TIROID

A. DEFINISI
Pembesaran kelenjar (nodul) tiroid atau tumor tiroid, sering dihadapi dengan
sikap yang biasa saja oleh penderita, dikarenakan tidak memberikan keluhan yang
begitu berarti dan pada sebagian besar golongan masyarakat di daerah tertentu,
keadaan ini merupakan suatu hal yang biasa di jumpai.
Tumor tiroid merupakan pertumbuhan sel yang abnormal terjadi di dalam
kelenjar tiroid. Tumor tiroid ini bisa menjadi keganasan walaupun angkanya relative
rendah 5-10% (Gunawan, 2012) .
Nodul tiroid merupakan kelainan pada kelenjar tiroid yang sering
dijumpai, terutama pada daerah yang kurang asupan iodium.

B. ETIOLOGI
Ada banyak penyebab tumor tiroid, termasuk:
 Kekurangan yodium
 Kelainan tiroid yang berkembang pesat
 Tiroid: folikuler tiroid adalah tumor jinak, biasanya hasil dari degenerasi tiroid
adenoma. Bagian ini mengandung komponen dan cairan tertentu
 Tiroiditis kronis, misalnya tiroiditis Hashimoto

C. PATOFISIOLOGI
Karsinoma tiroid biasanya menangkap iodium radio aktif dibandingkan
dengan kelenjar tiroid normal yang terdapat di sekelilingnya. Oleh karena itu, bila
dilakukan scintiscan, nodula akan tampak sebagai suatu daerah dengan pengambilan
yang kurang, suatu lesi dingin. Teknik diagnostik lain yang dapat digunakan untuk
diagnosis banding nodula tiroid adalah ekografi tiroid. Teknik ini memungkinkan
membedakan dengan cermat antara massa padat dan massa kistik. Karsinoma tiroid
biasanya padat, sedangkan massa kistik biasanya merupakan kista jinak.
Karsinoma tiroid harus dicurigai berdasarkan tanda klinis jika hanya ada satu
nodula yang teraba, keras, tidak dapat digerakkan pada dasarnya, dan berhubungan
dengan limfadenopati satelit.
Secara umum telah disepakati bahwa tumor tiroid secara klinis dapat
dibedakan menjadi suatu kelompok besar neoplasma berdeferensiasi baik dengan

18
kecepatan pertumbuhan yang lambat dan kemungkinan penyembuhan tinggi, dan
suatu kelompok kecil tumor anaplastik dengan kemungkinan fatal. Terdapat empat
jenis kanker tiroid menurut sifat morfologik dan biologiknya : papilaris, folikularis,
medularis, dan anaplastik.
Karsinoma papiler kelenjar tiroid biasanya berbentuk nodul keras, tunggal,
“dingin” pada scan isotop, dan “padat” pada ultrasonografi tiroid, yang sangat
berbeda dengan bagian-bagian kelenjar lainnya. Pada goiter multinodular.
Secara mikroskopis, tumor terdiri dari lapisan tunggal sel-sel tiroid teratur
pada “vascular stalk”, dengan penonjolan papil ke dalam ruang mikroskopis seperti
kista. Inti sel besar dan pucat sering mengandung badan inklusi intra nukleus yang
jelas san seperti kaca. Kira-kira 40% karsinoma papiler membentuk bulatan
klasifikasi yang berlapis, sering pada ujung dari tonjolan papil disebut “psammoma
body”, ini biasanya diagnostik untuk karsinoma papiler. Kanker ini biasanya meluas
dengan metastasis dalam kelenjar dan dengan invasi kelenjar tiroid dan kelenjar getah
bening lokal. Pada pasien tua, mereka bisa jadi lebih agresif dan menginvasi secara
lokal kedalam otot dan trakea. Pada stadium lebih lanjut, mereka dapat menyebar ke
paru. Kematian biasanya disebabkan penyakit lokal, dengan invasi kedalam pada
leher, lebih jarang kematian bisa disebabka metastasis paru yang luas. Pada beberapa
penderita tua, suatu karsinoma papiler yang tumbuh lambat akan mulai tumbuh cepat
dan berubah menjadi karsinoma anaplastik. Perubahan anaplastik lanjut ini adalah
penyebab kematian lain dari karsinoma papiler, banyak karsinoma papiler yang
mensekresi tiroglobulin, yang dapat digunakan sebagai tanda rekurensi atau
metastasis kanker.

D. MANIFESTASI KLINIS
Sebuah benjolan, atau bintil di leher depan (mungkin cepat tumbuh atau keras)
di dekat jakun. Nodul tunggal adalah tanda-tanda yang paling umum kanker
tiroid. (Jurnal, Oktahermoniza, 2013)
a. Sakit di tenggorokan atau leher yang dapat memperpanjang ke telinga.
b. Serak atau kesulitan berbicara dengan suara normal.
c. Pembengkakan kelenjar getah bening, terutama di leher. Mereka dapat
ditemukan selama pemeriksaan fisik.
d. Kesulitan dalam menelan atau bernapas atau sakit di tenggorokan atau leher saat
menelan. Ini terjadi ketika mendorong tumor kerongkongan Anda.

18
e. Batuk terus-menerus, tanpa dingin atau penyakit lain.
f. Adanya pembengkakan pada leher
g. Kesulitan menelan

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut ( Brunner & Suddarth. 2001)
1. Pemeriksaan Laboratorium.
Pemeriksaan laboratorium yang membedakan tumor jinak dan ganas tiroid belum
ada yang khusus, kecuali kanker meduler, yaitu pemeriksaan kalsitonon dalam
serum. Pemeriksaan T3 dan T4 kadang-kadang diperlukan karena pada karsinoma
tiroid dapat terjadi tiroktositosis walaupun jarang. Human Tiroglobulin (HTG)
Tera dapat dipergunakan sebagai tumor marker dan kanker tiroid diferensiasi
baik. Walaupun pemeriksaan ini tidak khas untuk kanker tiroid, namun
peninggian HTG ini setelah tiroidektomi total merupakan indikator tumor residif
atau tumbuh kembali (barsano). Kadar kalsitonin dalam serum dapat ditentukan
untuk diagnosis karsinoma meduler.
2. Radiologis
a. Foto X-Ray
Pemeriksaan X-Ray jaringan lunak di leher kadang-kadang diperlukan untuk
melihat obstruksi trakhea karena penekanan tumor dan melihat kalsifikasi
pada massa tumor. Pada karsinoma papiler dengan badan-badan psamoma
dapat terlihat kalsifikasi halus yang disertai stippledcalcification, sedangkan
pada karsinoma meduler kalsifikasi lebih jelas di massa tumor. Kadang-
kadang kalsifikasi juga terlihat pada metastasis karsinoma pada kelenjar getah
bening. Pemeriksaan X-Ray juga dipergunnakan untuk survey metastasis pada
pary dan tulang. Apabila ada keluhan disfagia, maka foto barium meal perlu
untuk melihat adanya infiltrasi tumor pada esophagus.
b. Ultrasound
Ultrasound diperlukan untuk tumor solid dan kistik. Cara ini aman dan tepat,
namun cara ini cenderung terdesak oleh adanya tehnik biopsy aspirasi yaitu
tehnik yang lebih sederhna dan murah.
c. Computerized Tomografi

18
CT-Scan dipergunakan untuk melihat prluasan tumor, namun tidak dapat
membedakan secara pasti antara tumor ganas atau jinak untuk kasus tumor
tiroid
d. Scintisgrafi
Dengan menggunakan radio isotropic dapat dibedakan hot nodule dan cold
nodule. Daerah cold nodule dicurigai tumor ganas. Teknik ini dipergunakan
juga sebagai penuntun bagi biopsy aspirasi untuk memperoleh specimen yang
adekuat.
3. Biopsi Aspirasi
Pada dekade ini biopsy aspirasi jarum halus banyak dipergunakan sebagai
prosedur diagnostik pendahuluan dari berbagai tumor terutama pada tumor tiroid.
Teknik dan peralatan sangat sederhana , biaya murah dan akurasi diagnostiknya
tinggi. Dengan mempergunakan jarum tabung 10 ml, dan jarum no.22 – 23 serta
alat pemegang, sediaan aspirator tumor diambil untuk pemeriksaan sitologi.
Berdasarkan arsitektur sitologi dapat diidentifikasi karsinoma papiler, karsinoma
folikuler, karsinoma anaplastik dan karsinoma meduler.

F. PENATALAKSANAAN
1. Terapi
Terapi pilihan untuk karsinoma titoid adalah pembedahan untuk mengangkat
tumor tersebut.tiroidektomi total atau hampir total di lakukan bila keadaan
memungkinkan.Tindakan dikseksi leher yang lebih luas di lakukan jika metastase
telah menyampai kelenjar lipe.jaringan paratiroid di upayakan untuk tidak
terangkat guna mengurangi resiko hipokalsemia pasca operatif dan
tetanus.sesudah pembedahan ,tindakan ablasi di laksanakan untuk menlenyapkan
jaringan tiroid yang tersisa bila tumor tersebut bersifat radiosensitif.iodium
radiatif juga meningkatkan peluang untuk menemukan metastatis tiroid di
kemudian hari bila pemeriksaan pemindai seluruh tubuh (whole bodi scan) di
lakukan.sesudah pembedahan ,hormon tiroid di berikan dengan dosis supresi
untuk menurunkan kadar TSH hingga tercapai keadaan eutiroid.jika jaringan tiroid
yang tertinggal tidak cukup untuk menghasilkan hormon tiroid dengan jumlah
memadai,maka preparat tiroksin di butuhkan secara permanen.
Radiasi pada kelenjar tiroid atau jaringan leher dapat di lakukan beberapa jalur :
pemberian peroral dan lewat pemberian eksternal terapi radiasi.pasien yang

18
mendapat sumber sumber eksternal terapi radiasi menghadapi resiko untuk
mengalami mukositis,kekeringan mulut,dispagia,kemerahan kulit,anoreksia,dan
kelelahan kemoterapi jarang di gunakan dalam pengobatan kanger tiroid.
2. Tiroidektomi
Tiroidektomi parsial atau total dapat di laksanakan sebagai terapi primer terhadap
karsinoma tiroid,hipertiroidisme atau hipertiroidisme tipe dan luas operasi
bergantung pada hasil diagnosis,tujuan pembedahan hasil pronogsis

G. KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering muncul pada kanker tiroid adalah :
a. Perdarahan
Resiko ini minimum, namun hati-hati dalam mengamankan hemostatis dan
penggunaan drain pada pasien setelah operasi.
b. Masalah terbukanya vena besar (vena tiroidea superior) dan menyebabkan
embolisme udara.
c. Trauma pada nervus laringeus rekurens
Ini dapat menimbulkan paralisis sebagian atau total pada laring.
d. Sepsis yang meluas ke mediastinum
Seharusnya ini tidak boleh terjadi pada operasi bedah sekarang ini, sehingga
antibiotik tidak diperlukan sebagai pofilaksis lagi.

18
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & suddrath, 2002.Buku ajar keperawatan medikal bedah, Jakarta : EGC
Huda Nurarif, Aplikasi NANDA NIC-NOC, Jogjakarta, 2015.
Dorland ,W. A. Newman. Kamus saku kedokteran dorland. Elsevier, Jakarta :EGC,
Dr. Danis Difa, Kamus Istilah kedokteran.Gitamedia Press.http://www. Oktahermoniza,
Jurnal Kesehatan Andalas. 2013.

18
2.21 LAPORAN PENDAHULUAN HIPOPITUITARISME

A. DEFINISI
Hipopituitarisme adalah keadaan yang timbul sebagai akibat hipofungsi
hipofisis. Hipopituitarisme merupakan defisiensi hormon tiroid, adrenal, gonad dan
hormon pertumbuhan akibat penyakit hipofisis.
Hipopituitari adalah hiposekresi satu atau lebih hormon hipofisis anterior
(Barbara C. Long).
Hipopituitari mengacu kepada keadaan sekresi beberapa hormon hipofisis
anterior yang sangat rendah (Elizabeth C Erorwin).
Hipopituitarisme adalah suatu gambaran penyakit akibat insufisiensi kelenjar
hipofisis, terutama bagian anterior.
Hipofungsi kelenjar hipofisis ( Hipopituitarisme ) dapat terjadi akibat penyakit
pada kelenjar hipofisis sendiri atau pada hipotalamus ; namun demikian, akibat kedua
keadaan ini pada hakikatnya sama. Hipopituitarisme dapat terjadi akibat kerusakan
lobus anterior kelenjar hipofisis. Panhipopituitarisme ( penyakit simmond )
merupakan keadaan tidak adanya seleruh sekresi hipofisis dan penyakit ini jarang
dijumpai.

B. ETIOLOGI
Hipopitutarisme dapat terjadi akibat malfungsi kelenjar hipofisis atau hipotalamus.
Penyebabnya mencakup :
a. Infeksi atau peradangan
b. Penyakit autoimun
c. Tumor, misalnya dari sejenis sel penghasil hormon yang dapat mengganggu
pembentukan salah satu dari semua hormon lain.
d. Umpan balik dari organ sasaran yang mengalami malfungsi. Misalnya, akan
terjadi penurunan sekresi TSH, dari hipofisis apabila kelenjar tiroid yang sakit
mengeluarkan HT dalam kadar yang berlebihan.
e. Nekrosis hipoksik (kematian akibat kekurangan oksigen) hipofisis dan
hipotalamus yang terjadi karena penurunan aliran darah atau oksigenasi dapat
merusak sebagian atau semua sel penghasil hormon. Contoh dari nekrotik
hipoksik meliputi : Nekrosis postpartum ( sindrom Sheehan), Cedera kepala,
Penyakit vascular, sering akibat diabetes mellitus.

18
C. PATOFISIOLOGI
Lebih dari 90% kelenjar harus dihilangkan sebelum tanda-tanda klinis
hipopituetarisma bermanifestasi. Perubahan patologi bergantung apa penyebabnya.
Pada kasus-kasus yang disebabkan oleh nekrosis istemik, bagian awal nekrosis
koagulatif diganti oleh jaringan parut. Efek klinis hipopituitarisme tergantung pada
apakah pasien tersebut anak-anak atau dewasa.
Hipopituitarisme pada anak-anak mengakibatkan kegagalan perkembangan
yang porposiaonal akibat tidak adanya hormon pertumbuhan (dwarfisme hipofisis).
Anak-anak ini memiliki kecerdasan normal dan tetap seperti anak-anak, gagal
berkembang secara seksual. Gambaran klinis dwarfisme hipofisis yang sama terjadi
pada anak-anak yang lahir dengan kelainan reseptor organ akhir terhadap hormone
pertumbuhan (dwarfisme hipofisis). Pasien memiliki kadar hormone pertumbuhan
yang normal di dalam serum.
Pada orang dewasa, hipopituitarisme terutama ditandai dengan efek defisiensi
gonadotropin. Pada wanita, terjadi amenore dan infertilitas ; pada pria, terjadi
infertilitas dan impotensi. Defisiensi tirotropin dan kortikotropin dapat mengakibatkan
atropi tiroid dan korteks adrenal. Meskipun demikian, penurunan sekresi tiroksin dan
kortisol jarang cukup berat untuk menyebabkan manisfestasi klinis. Defisiensi
hormone pertumbuhan saja menimbulkan sedikit kelainan pada orang dewasa.

D. MANIFESTASI KLINIS
Gejala hipopituitari bervariasi tergantung kepada jenis hormon apa yang kurang.
a. Kekurangan hormon GH
Kekurangan hormon pertumbuhan pada dewasa biasanya menyebabkan sedikit
gejala atau tidak menyebabkan gejala; tetapi pada anak-anak bisa menyebabkan
lambatnya pertumbuhan, kadang-kadang menjadi cebol (dwarfisme). Tanda-
tandanya meliputi pertumbuhan lambat, ukuran otot dan tulang kecil, tanda-tanda
seks sekunder tidak berkembang, infertilitas, impotensi, libido menurun, nyeri
senggama pada wanita.
b. Kekurangan TSH menyebabkan hipotiroidisme, yang menimbulkan gejala berupa:
kebingungan, tidak tahan terhadap cuaca dingin, penambahan berat badan,
sembelit, kulit kering.

19
c. Kekurangan gonadotropin (LH dan FSH) pada wanita pre-menopause bisa
menyebabkan: terhentinya siklus menstruasi (amenore), kemandulan, vagina yang
kering, hilangnya beberapa ciri seksual wanita.
Pada pria, kekurangan gonadotropin menyebabkan impotensi, pengkisutan buah
zakar, berkurangnya produksi sperma sehingga terjadi kemandulan, hilangnya
beberapa ciri seksual pria (misalnya pertumbuhan badan dan rambut wajah).
d. Kekurangan hormon ADH menyebabkan diabetes insipidus gejalanya adalah :
Poliuria (Urin yang dikeluarkan dalam jumlah yang banyak, bisa mencapai 5-10
liter. Urine sangat encer, berat jenis 1001-1005 atau 50-200mOsmol/kgBB.),
Polidipsia (Rasa haus yang berlebihan, biasanya mencapai 10 liter cairan tiap hari,
terutama membutuhkan air dingin) Penurunan berat badan, Noturia, Kelelahan,
Konstipasi, Hipotensi.

E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Foto tengkorak (cranium)
Dilakukan untuk melihat kondisi sella tursika. Dapat terjadi tumor atau juga
atropi. Tidak dibutuhkan persiapan fisik secara khusus, namun pendidikan
kesehatan tentang tujuan dan prosedur sangatlah penting.
b. Foto tulang (osteo)
Dilakukan untuk melihat kondisi tulang.
c. CT Scan otak
d. Dilakukan untuk melihat kemungkinan adanya tumor pada hipofisis atau
hipotalamus melalui komputerisasi.
e. Pemeriksaan darah dan urine
f. Pemeriksaan kadar hormon GH
Nilai normal 10 µg ml baik pada anak dan orang dewasa. Pada bayi dibulan-bulan
pertama kelahiran jumlahnya meningkat. Specimen adalah darah vena yang
diambil lebih kurang 5 cc.

19
F. PENATALAKSANAAN
a. Pemberian obat-obatan hormonal.
Defisiensi gonadotropin pria post pubertas diberikan androgen (testosteron).
Untuk mencapai tingkat kesuburan yang maksimal harus ditambah atau
dikombinasikan dengan HCG. HCG diberikan tiga kali seminggu dalam waktu 4-
6 bulan sampai kadar testosteron normal. Wanita yang telah mencapai pubertas,
mendapat terapi estrogen dan progesteron.
Defisiensi hormon pertumbuhan dapat diberikan hormon pertumbuhan sintesis
(eksogen). Somatotropin (humatrop) harus diberikan sebelum epifise tulang
menutup yaitu sebelum masa pubertas.
b. Tindakan Operatif
Pembedahan transphenoidalis
Pendekatan transspenoidal sering digunakan dalam melakukan reseksi suatu
adenoma sella tursika dicapai melalui sinus sphenoid dan tumor diangkat dengan
suatu mikroskop bedah. Insisi di buat antara gusi dan bibir atas. Pendekatan inipun
digunakan untuk memasang implant Y. Suatu lubang dibuat pada durameter pada
jalan masuk sella tursika. Biasanya ditutup dengan lapisan fascia yang di ambil
dari tungkai, sehingga pasien harus disiapkan untuk insisi tungkai. Pengambilan
ini dilakukan untuk mencegah bocornya cairan serebrospinal (CSF). Kebocoran
CSF dapat terjadi beberapa hari postoperatif tapi harus ditutup. Hidung mungkin
mampet dan suatu slang perban ditempatkan di bawahnya untuk mengabsorpsi
drainase. Monitoring terhadap adanya kebocoran CSF perlu dilakukan.
Pembedahan transfrontal
Jika tumor hipofise timbul di bawah tulang-tulang dari sella tursika (ekstra sellar),
kraniatomi dilakukakan untuk mendapatkan suatu lapang operasi yang cukup.
Tumor-tumor intraserebral lain, penyakit-penyakit atau trauma terhadap struktur-
struktur yang berdekatan dengan hipofise dapat menyebabkan disfungsi sementara
maupun permanen.

19
G. KOMPLIKASI
1. Hipersekresi prolaktin (prolaktinemia)
Hipersekresi prolaktin (prolaktinemia) adalah abnormalitas endokrin yang
sering ditemukan dan disebabkan oleh gangguan hipotalamik-hipofisis.
Hipersekresi hormon PRL mengakibatkan galaktoria dan disfungsi gonad.
Galaktorea adalah hipersekresi air susu atau keluarnya air susu walaupun periode
laktasi sudah selesai.
Prolaktin serum yang normal adalah <20 ng/dl. Prolaktin adalah kontrasepsi
ilmiah (menghambat gonatropin-releasing hormon). Prolaktin juga diperlukan
untuk laktasi. Tanda-tanda klasik hiperprolaktin adalah:
 Galaktorea dan amenorea pada wanita
 Ginekomastia, galaktorea serta berkurangnya libido dan ereksi pada pria
Yang termasuk mekanisme patofisiologi hipersekresi prolaktin adalah
gangguan dopamin, hipersekresi adenoma hipofisis, dan sekresi
neurogenik yang dicetuskan oleh trauma pada dada, misalnya fraktur
tulang iga. Keluarnya prolaktin dikendalikan oleh hipotalamus terutama
dopamin (Baradero, 2009).
2. Tumor Hipofisis Penghasil Prolaktin
Kombinasi pengeluaran susu yang terus menerus dan tidak adanaya
menstruasi galaktore amenore merupakan sindrom endokrin yang relatif sering
ditemukan pada perempuan. Keadaan ini berkaitan dengan peningkatan sekresi
prolaktin. Adanya galaktore biasanya dapat di perhatikan dengan menekan puting
susu dengan tangan, meskipun dapat pula timbul secara spontan, dan dapat
bersifat ringan sampai berat. Peningkatan kadar prolaktin mungkin menyebabkan
amenore yang adsa kaitannya dengan keadaan ini. Proklatin di anggap dapat
menghambat sekresi hormon gonadotropin dengan mengganggu sekresi GnRH
dari hipotalamus. Selain itu, prolaktin dapat menghambat pengaruh gonadotropin
terhadap gonad.

19
DAFTAR PUSTAKA

Taylor Cynthia, 2010, Diagnosa Keperawatan dengan Rencana Asuhan, edisi 10, Jakarta ;
EGC
Robibins & Cotran, 2009, Buku Saku Dasar Patologis Penyakit, edisi 7, Jakarta ; EGC
Barados Mary, 2009, Seri Asuhan Keperawatan Dengan Klien Gangguan Endokrin, Jakarta;
EGC

19
2.22 LAPORAN PENDAHULUAN CUSHING SINDROM

A. DEFINI
Sindrom Cushing adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh efek metabolik
gabungan dari peninggian kadar glukokortikoid dalam darah yang menetap. (Price,
2005).
Syndrome cushing adalah Ganbaran klinis yang timbul akibat peningkatan
glukokortikoid plasma jangka panjang dalam dosisi farmakologik (latrogen).(Wiliam
F. Ganang , Fisiologi Kedokteran, Hal 364).
Syndrome cushing adalah Di sebabkan oleh skres berlebihan steroid
adrenokortial terutama kortisol.(IDI). Edisi III Jilid I, hal 826).
Syndrome Cuhsing adalah Akibat rumatan dari kadar kortisol darah yang
tinggi secara abnormal karena hiperfungsi korteks adrenal. (Ilmu Kesehatan Anak,
Edisi 15 Hal 1979).
Sindrom cushing adalah suatu keadaan yang diakibatkan oleh efek metabolik
gabungan dari peninggian kadar glukokortikoid dalam darah yang menetap. Kadar
yang tinggi ini dapat terjadi secara spontan atau karena pemeberian dosis
farmakologik senyawa-senyawa glukokortikoid. (Sylvia A. Price; Patofisiolgi, Hal.
1088)

B. KLASIFIKASI
Sindrom Cushing dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian, yaitu :
a. Penyakit Cushing
Merupakan tipe Sindroma Cushing yang paling sering ditemukan berjumlah kira-
kira 70 % dari kasus yang dilaporkan. Penyakit Cushing lebih sering pada wanita
(8:1, wanita : pria) dan umur saat diagnosis biasanya antara 20-40 tahun.
b. Hipersekresi ACTH Ektopik
Kelainan ini berjumlah sekitar 15 % dari seluruh kasus Sindroma Cushing. Sekresi
ACTH ektopik paling sering terjadi akigat karsinomasmall cell di paru-paru;
tumor ini menjadi penyebab pada 50 % kasus sindroma ini tersebut. Sindroma
ACTH ektopik lebih sering pada laki-laki. Rasio wanita : pria adalah 1:3 dan
insiden tertinggi pada umur 40-60 tahun.
c. Tumor-tumor Adrenal Primer

19
Tumor-tumor adrenal primer menyebabkan 17-19 % kasus-kasus Sindroma
Cushing. Adenoma-adenoma adrenal yang mensekresi glukokortikoid lebih sering
terjadi pada wanita. Karsinoma-karsinoma adrenokortikal yang menyebabkan
kortisol berlebih juga lebih sering terjadi pada wanita; tetapi bila kita menghitung
semua tipe, maka insidens keseluruhan lebih tinggi pada laki-laki. Usia rata-rata
pada saat diagnosis dibuat adalah 38 tahun, 75 % kasus terjadi pada orang dewasa.
d. Sindroma Cushing pada Masa Kanak-kanak
Dindroma Cushing pada masa kanak-kanak dan dewasa jelas lebih berbeda.
Karsinoma adrenal merupakan penyebab yang paling sering dijumpai (51 %),
adenoma adrenal terdapat sebanyak 14 %. Tumor-tumor ini lebih sering terjadi
pada usia 1 dan 8 tahun. Penyakit Cushing lebih sering terjadi pada populasi
dewasadan berjumlah sekitar 35 % kasus, sebagian besar penderita-penderita
tersebut berusia lebih dari 10 tahun pada saat diagnosis dibuat, insidens jenis
kelamin adalah sama.

C. ETIOLOGI
yang
berlebihan, kelebihan stimulasi ACTH mengakibatkan hiperplasia korteks anal ginjal
berupa adenoma maupun carsinoma yang tidak tergantung ACTH juga
mengakibatkan sindrom cushing. Demikian juga hiperaktivitas hipofisis, atau tumor
lain yang mengeluarkan ACTH. Syindrom cuhsing yang disebabkan tumor hipofisis
disebut penyakit cusing. (buku ajar ilmu bedah, R. Syamsuhidayat, hal 945)
oleh pemberian glukortikoid jangka
panjang dalam dosis farmakologik (latrogen) atau oleh sekresi kortisol yang
berlebihan pada gangguan aksis hipotalamus-hipofise-adrenal (spontan) pada sindrom
cusing spontan, hiperfungsi korteks adrenal terjadi akibat ransangan belebihan oleh
ACTH atau sebab patologi adrenal yang mengakibatkan produksi kortisol abnormal.
(Sylvia A. Price; Patofisiologi, hal 1091)

19
D. PATOFISIOLOGI
Penyebab terjadinya hipersekresi ACTH hipofisis masih diperdebatkan.
Beberapa peneliti berpendapat bahwa defek adalah adenoma hipofisis, menyebabkan
pelepasan CRH (Corticotropin Relasing Hormone) yang tidak sesuai dengan keadaan
kortisol yang beredar. Konsekuensinya akan membutuhkan kadar kortisol yang lebih
tinggi untuk menekan sekresi ACTH ke rentang normal. Defek primer ini
menyebabkan hiperstimulasi hipofisis, menyebabkan hiperplasia atau pembentukan
tumor.
Timbulnya sindrom Cushing bisa mendadak, terutama pada pasien dengan Ca.
Paru, pasien tidak memperlihatkan gambaran klinis. Sebaliknya pasien dengan tumor
karsinoid atau feokromositoma mempunyai perjalanan klinis yang lama dan
menunjukkan gambaran Cushingoid yang tipikal Hiperpigmentasi pada penderita
sindrom Cushing hampir selalu menunjukkan tumor ekstra adrenal, di luar kranium
atau dalam kranium.
Tumor atau neoplasma adrenal unilateral dan kira-kira setengahnya adalah
ganas (maligna). Pasien kadang-kadang mempunyai gambaran biokimia hipersekresi
ACTH hipofisis, individu ini biasanya mempunyai mikro atau makronudular kedua
kelenjar nodular mengakibatkan hiperplasi nodular. Penyebab terbanyak sindrom
Cushing adalah iatrogenik pemberian steroid eksogen dengan berbagai alasan.

19
E. PATHWAY

19
F. MANIFESTASI KLINIS
a. Berat badan naik, terutama di sekitar perut dan punggung bagian atas
b. Kelelahan yang berlebihan
c. Otot terasa lemah, terutama pada daerah di sekitar bahu dan pinggul, gejala ini
disebut miopati proksimal
d. Muka membundar (moon face)
e. Edema (pembengkakan) kaki
f. Tanda merah/pink pada kulit bagian paha, pantat, dan perut
g. Depresi
h. Periode menstruasi pada wanita yang tidak teratur.

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Tes supresi dexamethason
1. Untuk membantu menegakkan diagnosis penyebab sindrom cushing tersebut,
apakah hipofisis atau adrenal
2. Untuk menentukan kadar kortisol
Pada pagi hari lonjakan kortisol akan ditekan : Steroid <5 style=""> Normal
Pada pagi hari sekresi kortisol tidak ditekan : Steroid >10 uL /dl Sindrom
Cushing
b. Kadar kortisol bebas dalam urin 24 jam:
Untuk memeriksa kadar 17- hidroksikortikosteroid serta 17- kortikosteroid, yang
merupakan metabolic kortisol dan androgen dalam urin.
Kadar metabolic dan kortisol plasma meningkat  Sindrom Cushing
c. Stimulasi CRF (Corticotrophin-Releasing Faktor)
Untuk membedakan tumor hipofisis dengan tempat-tempat ektopik produksi
ACTH sebagai penyebab.
d. Pemeriksaan Radioimmunoassay ACTH
Plasma Untuk mengenali penyebab Sindrom
Cushing
e. CT, USG, dan MRI
Dapat dilakukan untuk menentukan lokasi jaringan adrenal dan mendeteksi tumor
pada kelenjar adrenal.

19
H. PENATALAKSANAAN
a. Terapi Operatif
 Hipofisektomi Transfenoidalis  Operasi pengangkatan tumor pada
kelenjar hipofisis
 Adrenalektomi  terapi pilihan bagi pasien dengan hipertrofi adrenal
primer
b. Terapi Medis
Preparat penyekot enzim adrenal (metyrapon, aminoglutethimide, mitotane,
ketokonazol) digunakan untuk mengurangi hiperadrenalisme jika sindrom tersebut
disebabkan oleh sekresi ektopik ACTH oleh tumor yang tidak dapat dihilangkan
secara tuntas.

I. KOMPLIKASI
a. Krisis Addisonia
b. Efek yang merugikan pada aktivitas koreksi adrenal
c. Patah tulang akibat osteoporosis

20
DAFTAR PUSTAKA

Ganong, William F. 1998. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.17th . Jakarta: EGC.


Guyton, AC. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.9th . Jakarta: EGC.
Hadley, Mac E. 2000. Endocrinology. 5th . New Jersey: Prentice Hall, inc.
Mansjoer, Arif, dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1. Edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius FKUI.

20
2.23 LAPORAN PENDAHULUAN ADISSON

A. DEFINISI
Penyakit Addison adalah suatu kelainan endokrin atau hormon yang terjadi pada semua
kelompok umur dan menimpa pria – pria dan wanita – wanita sama rata. Penyakit di
karakteristikan oleh kehilangan berat badan, kelemahan otot, kelelahan, tekanan darah rendah
dan adakalanya penggelapan kulit pada kedua – duanya yaitu bagian – bagian tubuh yang
terbuka dan tidak terbuka.
Penyakit Addison adalah penyakit yang terjadi akibat fungsi korteks tidak adekuat untuk
memenuhi kebutuhan pasien akan hormon – hormon korteks adrenal.
Penyakit Addison adalah lesi kelenjar primer karena penyakit destruktif atau atrofik,
biasanya auto imun atau tuberkulosa. Penyakit Addison adalah terjadi bila fungsi korteks
adrenal tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan pasien akan kebutuhan hormon – hormon
korteks adrenal.
Penyakit Addison adalah kekurangan partikal sekresi hormon korteks adrenal. Keadaan
seperti ini terlihat pada hipoado tironisme yang hanya mengenal zona glomeruluna dan
sakresi aldosteron pada sindrom adrenogenetal dimana gangguan enzim menghambat sekresi
steoid (Patofisiologi Edisi 2 Hal 296).

B. ETIOLOGI
Etiologi dari penyakit Addison bentuk primer :
a. Infeksi kronis, terutama infeksi-infeksi jamur
b. Sel-se kanker yang menyebar dari bagian-bagian lain tubuh ke kelenjar-kelenjar
adrenal
c. Amyloidosis (sekelompok keadaan yang di cirikan oleh penimbunan protein fiblirer
yang tidak larut dalam berbagai organ)
d. pengangkatan kelenjar-kelenjar adrenal secara
operasi Etiologi dari penyakit Addison bentuk sekunder :
a. Tumor-tumor atau infeksi-infeksi dari area
b. Kehilangan aliran darah ke pituitary
c. Radiasi untuk perawatan tumor-tumor pituitary
d. operasi pengangkatan bagian-bagian dari hypothalamus
e. operasi pengangkatan kelenjar pituitary

20
Penyebab lain dari ketidakcukupan adrenal sekunder adalah operasi pengangkatan dari
tumor-tumor yang jinak atau yang tidak bersifat kanker dari kelenjar pituitary yang
memproduksi ACTH (Penyakit Cushing). Pada kasus ini, sumber dari ACTH secara tiba-tiba
diangkat, dan hormon pengganti harus dikonsumsi hingga produksi ACTH dan cortisol yang
normal pulih kembali.
Pada satu waktu, kebanyakan kasus penyakit addison adalah merupakan komplikasi dari
TBC. Saat ini, 70% dianggap idiopatik. Sejak satu setengah hingga dua per tiga klien dengan
Addison idiopatik memiliki sirkulasi antibody yang bereaksi secara spesifik
menyerang jaringan adrenal, kondisi ini mungkin merupakan suatu dasar autoimun. Sebagai
tambahannya, beberapa kasus penyakit Addison disebabkan oleh neoplasma, amyloidosis,
atau infeksi jamur sistemik.
Insufisiensi adrenal primer itu jarang. Insiden dan prevalen di USA tidak diketahui.
Penyakit ini mengenai orang dengan segala macam tingkat usia dan menyerang baik laki-laki
maupun perempuan.
Insufisiensi adrenal primer disebabkan oleh hipofungsi kelenjar adrenal. 75% penyakit
Addison primer terjadi sebagai proses autoimun. Insufisiensi adrenal umumnya terlihat pada
orang dengan acquired immunodeficiency syndrome (AIDS). 20% penyakit Addison
dikarenakan oleh TBC. Metastasisnya dari paru, payudara, saluran GI, melanoma, atau
lymphoma (kelainan neuplastik jaringan limfoid).
Insufisiensi adrenal sekunder adalah hipofungsi dari unit pituitary-hipotalamus.
Umumnya kebanyakan menyebabkan perawatan kronik dengan menggunakan glukokortikoid
untuk yang kasus nonendokrin. Penyebab lain termasuk adrenalectomy bilateral, hipopituitari
menghasilakan penurunan sekresi ACTH oleh kelenjar pituitary, tumor pituitary atau infark,
dan radiasi.

C. PATOFISIOLOGI
Penyakit Addison, atau insufisiensi adrenokortikol, terjadi bila fungsi korteks adrenal
tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan pasien akan hormon-hormon korteks adrenal.
Atrofi autoimun atau idiopatik pada kelenjar adrenal merupakan penyebab pada 75% kasus
penyakit Addison (Stren & Tuck, 1994). Penyebab lainnya mencakup operasi pengangkatan
kedua kelenjar tersebut. Tuberkolosis (TB) dan hitoplasmosis merupakan infeksi yang paling
sering ditemukan dan menyebabkan kerusakan pada kedua kelenjar adrenal. Meskipun
kerusakan kelenjar adrenal akibat proses autoimun telah menggantikan tuberkolosis yang
terjadi akhir-akhir ini harus mempertimbangkan pencantuman penyakit infeksi ini ke dalam
daftar diagnosis. Sekresi ACTH yang tidak adekuat dari kelenjar hipofisis juga akan
menimbulkan insufisiensi adrenal akibat penurunan stimulasi korteks adrenal.

20
Gejala insufisiensi adrenokortikal dapat pula terjadi akibat penghentian mendadak terapi
hormon adrenokortikol yang akan menekan respond normal tubuh terhadap keadaan stress
dan mengganggu mekanisme umpan balik normal. Terapi dengan pemberian kortikosteroid
setiap hari selama 2 hingga 4 hingga dapat menekan fungsi korteks adrenal; oleh sebab itu,
kemungkinan penyakit Addison harus diantisipsi pada pasien yang mendapat pengobatan
kortikosteroid. (Brunner & Suddart, 2002)
Pathway :

D. KLASIFIKASI
Berdasarkan tingkat keparahan , penyakit addison di bagi menjadi dua, yaitu:
1. Akut
Krisis adrenal. Terjadi apati, koma, dan nyeri epigastrik. Kadar gula darah rendah.
Keadaan ini timbul setelah terjadi trauma, hipotensi berat dan sepsis.
Yang lebih jarang, keadaan ini bisa timbul pada pasien yang sebelumnya (dalam
waktu 1-1,5 tahun) atau baru-baru saja mendapat pengobatan kortikosteroid dimana
terdapat trauma, pembedahan atau infeksi akut, atau saat penghentian gangguan
steroid. Bisa timbul setelah pembedahan untuk mengangkat adrenal pada sindrom
cussing, atau pada pengobatan kanker payudara kecuali jika dilakukan terapi
penggantian yang adekuat.
2. Kronis
Terdapat kelemahan dan kelelahan yang onsetnya perlahan-lahan disertai gejala
gastrointestinal berupa anoreksia, penurunan berat badan dan diare. Hipotensi sering
kali postural, dan takikardia timbul pada tahap lanjut dari penyakit. Hiperpigmentasi
terjadi pada tempat yang terpapar matahari, daerah yang mengalami gesekan, lipatan
tangan dan mukosa bukal.
Insufisiensi adrenal kronis (penyakit addison) jarang terjadi (prevelansinya di Inggris
4/100.000) dan yang termasuk penyebabnya adalah : distruksi adrenal autoimun;
infiltrasi adrenal dengan kanker sekunder, hodgkin, atau jaringan leukimik; destruksi
TB, hemokromatosis, amiloidosis, histoplasmosis yang sering dijumpai. Bisa
berhubungan dengan penyakit auto imun lain yang spesifik-organ, khususnya tiroiditis
hasimoto (sindrom schmidt).

E. MANIFESTASI KLINIK
a. Gejala awal : kelemahan, fatique, anoreksia, hausea, muntah, BB menurun, hipotensi,
dan hipoglikemi.
b. Astenia (gejala cardinal) : pasien kelemahan yang berlebih

20
c. Hiperpiqmentasi : menghitam seperti perunggu, coklat seperti terkena sinar
matahari, biasanya pada kulit buku jari, lutut, siku
d. Rambut pubis dan aksilaris berkurang pada perempuan
e. Hipotensi arterial (td : 80/50 mmHg/kurang)
f. Abnormalitas fungsi gastrointestinal

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratorium
 Penurunan konsentrasi glukosa dan natrium (hipoglikemia dan hiponatrium)
 Peningkatan konsentrasi kalium serum (hiperkalemia)
 Peningkatan jumlah sel darah putih (leukositosis)
 Penurunan kadar kortisol serum
 Kadar kortisol plasma rendah
b. Pemeriksaan radiografi abdominal menunjukan adanya klasifikasi diadrenal
c. CT Scan
Detektor klasifikasi adrenal dan pembesaran yang sensitive hubungannya dengan
insufisiensi pada tuberculosis, infeksi, jamur, penyakit infiltrasi malignan dan non
malignan dan hemoragik adrenal
d. Gambaran EKG
Tegangan rendah aksis QRS vertical dan gelombang ST non spesifik abnormal
sekunder akibat adanya abnormalitas elektrolik
e. Tes stimulating ACTH
Cortisol adarah dan urin diukur sebelum dan setelah suatu bentuk sintetik dari ACTH
Ketika respon pada tes pendek ACTH adalah abnormal, suatu tes stimulasi CRH
“Panjang” diperlukan untuk menentukan penyebab dari ketidak cukupan adrenal.
Pada tes ini, CRH sintetik di suntikkan secara intravena dan cortisol darah diukur
sebelum dan 30, 60 ,90 dan 120 menit setelah suntikan. Pasien – pasien dengan
diberikan dengan suntikan. Pada tes ACTH yang disebut pendek cepat. Penyukuran
cortisol dalam darah di ulang 30 sampai 60 menit setelah suatu suntikan ACTH
adalah suatu kenaikan tingkatan – tingkatan cortisol dalam darah dan urin.

f. Tes Stimulating CRH


ketidak cukupan adrenal seunder memp. Respon kekurangan cortisol namun tidak
hadir / penundaan respon – respon ACTH. Ketidakhadiran respon – respon ACTH
menunjuk pada pituitary sebagai penyebab ; suatu penundaan respon ACTH
menunjukan pada hypothalamus sebagai penyebab.

20
G. PENATALAKSANAAN
a. Medik
1. Terapi dengan pemberian kortikostiroid setiap hari selama 2 sampai 4 minggu
dosis 12,5 – 50 mg/hr
2. Hidrkortison (solu – cortef) disuntikan secara IV
3. Prednison (7,5 mg/hr) dalam dosis terbagi diberikan untuk terapi pengganti
kortisol
4. Pemberian infus dekstrose 5% dalam larutan saline
5. Fludrukortison : 0,05 – 0,1 mg/hr diberikan per oral

H. KOMPLIKASI
a. Syok, (akibat dari infeksi akut atau penurunan asupan garam)
b. Kolaps sirkulasi
c. Dehidrasi
d. Hiperkalemiae
e. Sepsis
f. Ca. Paru
g. Diabetes melitus

20
DAFTAR PUSTAKA

Doenges Marilynn. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta : ECG


Price, Sylvia. 2005. patofisiologi. Edisi 6. Jakarta : EGC
Brunner & Suddart (2002) “Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah”, Jakarta : AGC.

Doenges, M. E., Moorhouse, M. F. & Geissler, A. C. (2000) “Rencana Asuhan

Keperawatan”, Jakarta : EGC.

Guyton & Hall (1997) “Buku Ajar Fisiologi Kedokteran”, Jakarta : EGC.

Price, S & Wilson, L. M. (1995) “Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit”,


Jakarta : EGC.

Reeves, C. J., Roux, G & Lockhart, R. (1999) “Keperawatan Medikal Bedah”, Buku

Satu, Jakarta : Salemba Medika.

20
20

Anda mungkin juga menyukai