Aliran-Aliran filsafat
Dosen Pengajar:
Prof.Dr.H.Suratno,M.Pd.
Disusun Oleh:
Mega Wati
A1A515206 ( B )
Aliran Materialisme
Aliran Eksistensisme
Aliran Rekonstruksionisme
Aliran positivisme
A. Definisi Aliran Positivisme
a. Auguste Comte dan Positivisme
Comte adalah tokoh aliran positivisme yang paling terkenal. Kamu positivis
percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dimana metode-metode
penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum sosial
kemasyarakatan. Aliran ini tentunya mendapat pengaruh dari kaum empiris dan
mereka sangat optimis dengan kemajuan dari revolusi Perancis.
Pendiri filsafat positivis yang sesungguhnya adalah Henry de Saint Simon
yang menjadi guru sekaligus teman diskusi Comte. Menurut Simon untuk
memahami sejarah orang harus mencari hubungan sebab akibat, hukum-hukum
yang menguasai proses perubahan. Mengikuti pandangan 3 tahap dari Turgot,
Simon juga merumuskan 3 tahap perkembangan masyarakat yaitu tahap Teologis,
(periode feodalisme), tahap metafisis (periode absolutisme dan tahap positif yang
mendasari masyarakat industri.
Comte menuangkan gagasan positivisnya dalam bukunya the Course of
Positivie Philosoph, y ang merupakan sebuah ensiklopedi mengenai evolusi
filosofis dari semua ilmu dan merupakan suatu pernyataan yang sistematis yang
semuanya itu tewujud dalam tahap akhir perkembangan. Perkembangan ini
diletakkan dalam hubungan statika dan dinamika, dimana statika yang dimaksud
adalah kaitan organis antara gejala-gejala ( diinspirasi dari de Bonald), sedangkan
dinamika adalah urutan gejala-gejala (diinspirasi dari filsafat sehjarah Condorcet).
B. Prinsip-Prinsip Aliran Positivisme
a. Hanya apa yang tampil dalam pengalaman dapat disebut benar. Prinsip ini diambil
dari filsafat empirisme Locke dan Hume.
b. Hanya apa yang sungguh-sungguh dapat dipastikan sebagai kenyataan dapat
dipastikan sebagai kenyataan dapat disebut benar. Itu berarti tidak semua
pengalaman dapat disebut benar, tetapi hanya pengalaman yang mendapati
kenyataan.
c. Hanya melalui ilmu-ilmu pengetahuan dapat ditentukan apakah sesuatu yang
dialami merupakan sungguh-sungguh suatu kenyataan.
C. Implementasi Aliran Positivisme terhadap Dunia Pendidikan
Para ilmuwan dalam bidang eksakta (kimia, fisika, biologi dan sebagainya)
cenderung menggunakan posisi ontologi, yang memandang dunia secara obyektif.
Sehingga epistimologi untuk memperoleh kebenaran adalahmenggunakan metode
obyektif dengan hasil yang dapat digeneralisasikan. Sedangkan para ilmuwan di
bidang non-eksakta (Pendidikan agama, kewarganegaraan, ilmu pengetahuan sosial,
dan sebagainya) mengikuti pemikiran para ilmuwan bidang eksakta. Hal ini
dikarenakan pendapat para ilmuwan eksakta telah mengakar dan sangat popular.
Hal yang seperti itulah yang pada akhirnya membawa implikasi yang kurang
baik terhadap pendidikan diIndonesia. Aliran positivisme telah menjadikan ilmu
pengetahuan lain seperti ilmu pengetahuan sosial menjadi ilmu pengetahuan yang
dinomor duakan bahkan sering dipandang sebelah mata. Sekarang dapat kita lihat,
institusi pendidikan pun melakukan hal yang sama. Seorang siswa akan bebas
memilih jurusan apapun di perguruan tinggi apabila ia berlatar belakang pendidikan
sains, sebaliknya bagi mereka yang berlatar belakang ilmu-ilmu sosial tidak dapat
memilih jurusan diluar latar belakang keilmuannya. Para ilmuwan sosial yang peduli,
seyogyanya berbeda dengan mereka yang ada dalam posisi logical positivism, yaitu
dengan mengambil posisi ontologi hermeneutik (hermeneutics) atau fenomenologi
(phenomenology) dengan titik tolak bahwa dunia itu bersifat subyektif, dan karena itu
diperlukan usaha epistemology dengan menafsirkan dunia yang subyektif tersebut.
Menurut penganut aliran ini, dunia tidak terorganisasikan secara obyektif
sesuai dengan prakonsepsi sebagian orang. Jika dikaitkan dengan pendidikan maka
salah satu tujuan pendidikan bangsa Indonesia yaitu membentuk manusia seutuhnya,
dan yang dimaksud dengan manusia yang utuh adalah tidak hanya cerdas dari segi
kognitif saja melainkan juga cerdas secara emosi dan cerdas spiritual. Manusia yang
diharapkan dalam sistem pendidikan Indonesia ialah yang mampu berolah pikir,
berolah raga, dan berolah rasa. Jika dikaji lebih lanjut aliran Filsafat Positivisme
mengarahkan agar pendidikan ini berkembang menuju kepada hal yang baik, baik dari
segi intelektual dan memiliki daya analisis dari sesuatu. Contoh ketika dalam sebuah
materi pelajaran menjelaskan terjadinya hujan maka akan menuntut siswa untuk
berpikir kenapa hujan itu terjadi?. Siswa mampu mengembangkan pikirannya, mereka
sampai pada pemikiran pasti ada sebab atau bukti kenapa hujan itu terjadi, sehingga
dari hal ini akan mewujudkan generasi kritis-kreatif.