Anda di halaman 1dari 63

Laporan Kasus

PERDARAHAN INTRASEREBRAL DENGAN


EPILEPSI

Oleh:
Hayatun Nufus, S.Ked
1830912320117

Pembimbing

dr. Fakhrurrazy, M.Kes, Sp.S

BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT SARAF

FK UNLAM-RSUD PENDIDIKAN ULIN

BANJARMASIN

Juni, 2019
DAFTAR ISI

1. HALAMAN JUDUL ................................................................................... 1

2. DAFTAR ISI ................................................................................................ 2

3. BAB I: PENDAHULUAN ........................................................................... 3

4. BAB II: TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 5

5. BAB III: DATA PASIEN ............................................................................ 29

6. BAB IV: PEMBAHASAN .......................................................................... 51

7. BAB V: PENUTUP ..................................................................................... 61

8. DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 62

2
BAB I

PENDAHULUAN

Stroke adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan defisit neurologis

akibat dari cidera fokal akut pada sistem saraf pusat (SSP), yang disebabkan karena

penyebab vaskular, termasuk infark serebral, pendarahan intraserebral

(ICH) dan pendarahan subaraknoid (SAH), dan merupakan penyebab terbesar dari

disabilitas dan kematian di dunia.1

Intracerebral hemorrhage (ICH) adalah subtipe stroke tersering kedua dan

memiliki tingkat bertahan hidup yang terpendek dan prognosis untuk fungsi

keseharian terburuk daripada jenis stroke lainnya.2 Penyakit stroke di negara-negara

berkembang merupakan masalah kesehatan utama yang menyebabkan kematian.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa sekitar 3-5% penduduk memilik

resiko tinggi terjadi stroke.2

Epilepsi merupakan suatu bangkitan yang terjadi secara berulang sebagai

akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara intermiten, akibat lepasnya muatan

listrik abnormal dan berlebihan pada neuron-neuron secara paroksismal yang

disebabkan oleh beberapa etiologi.3

Sebanyak 2,4 juta orang didiagnosis dengan epilepsi setiap tahunnya. Hampir

80% orang dengan epilepsi tinggal di negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Hal ini mungkin karena peningkatan risiko kondisi endemik seperti malaria atau

neurocysticercosis; insiden kecelakaan lalu lintas yang lebih tinggi; cedera terkait

kelahiran; dan variasi dalam infrastruktur medis, ketersediaan program kesehatan

3
preventif dan perawatan yang dapat diakses, oleh karena itu, pasien epilepsi perlu

terdiagnosis segera sehingga epilepsi dapat dicegah.4

Kasus ini dapat ditemui pada pasien rawat inap di RSUD Ulin Banjarmasin,

sehingga tim penulis tertarik untuk melaporkan satu kasus perdarahan intraserebral

dengan epilepsi pada seorang pasien perempuan berusia 36 tahun yang dirawat inap

di RSUD Ulin Banjarmasin pada bulan Mei-Juni 2019.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Stroke

1. Definisi Stroke

Stroke adalah penyakit terbanyak ketiga setelah penyakit jantung dan kanker,

serta merupakan penyakit penyebab kecacatan tertinggi di dunia. Menurut

American Heart Association (AHA), angka kematian penderita stroke di Amerika

setiap tahunnya adalah 50 – 100 dari 100.000 orang penderita.5,6 Stroke diklasifikasi

menjadi 2 yaitu stroke iskemik dan stroke perdarahan. Stroke iskemik merupakan

kasus stroke yang paling banyak ditemui (87% dari kasus stroke keseluruhan),

namun perdarahan intraserebral memiliki prognosis yang lebih buruk. Stroke

iskemik banyak disebabkan karena trombotik atau sumbatan emboli, sedangkan

stroke perdarahan disebabkan oleh perdarahan akibat pecahnya pembuluh darah di

suatu bagian otak.7

Intracerebral hemorrhage (ICH) adalah subtipe stroke tersering kedua dan

penyakit kritis yang biasanya menyebabkan disabilitas atau kematian. Intracerebral

hemorrhage (ICH) biasanya terjadi karena ruptur arteri yang mengalami penetrasi

kecil akibat hipertensi atau kelainan vaskular lainnya.8 Pendarahan pada stroke

dapat terjadi didalam parenkim otak, atau pada meninges. Sedangkan definisi dari

ICH itu sendiri adalah ketika ada pendarahan pada parenkim otak.7

2. Epidemiologi Stroke

Penyakit stroke di negara-negara berkembang merupakan masalah kesehatan

utama yang menyebabkan kematian. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan

5
bahwa sekitar 3-5% penduduk memilik resiko tinggi terjadi stroke.2 Menurut WHO,

diperkirakan 15 juta penduduk di dunia menderita stroke, yaitu satu pertiga kasus

pasien stroke mengalami kematian, satu pertiga lainnya mengalami gejala sisa

berupa disabilitas, sedangkan sepertiga lainnya dapat sembuh.7 Tekanan darah

tinggi merupakan faktor terpenting penyebab dari stroke. Insiden dari stroke

meningkat terutama pada usia lanjut dan ras Afrika dan Asia. Kasus ICH

berkontribusi sebesar kira-kira 10% dari total kasus stroke di dunia namun memiliki

presentase besar (50%) terhadap rasio kematian.7

Di negara-negara ASEAN, stroke merupakan masalah kesehatan utama yang

menyebabkan kematian. Berdasarkan data South East Asian Medical Information

Centre (SEAMIC) diketahui bahwa angka kematian stroke terbesar terjadi di

Indonesia yang kemudian diikuti secara berurutan oleh Filipina, Singapura, Brunei,

Malaysia, dan Thailand. Dari seluruh penderita stroke di Indonesia, stroke iskemik

merupakan jenis yang paling banyak diderita yaitu sebesar 52,9%, diikuti secara

berurutan oleh perdarahan intraserebral, emboli dan perdarahan subaraknoid

dengan angka kejadian masing-masingnya sebesar 38,5%, 7,2%, dan 1,4%.5

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kemenkes RI tahun 2018

menunjukkan telah terjadi peningkatan prevalensi stroke di Indonesia dari 7% per

mil (tahun 2013) menjadi 10,9 per mil (tahun 2018). Prevalensi penyakit Stroke

tertinggi di Kalimantan Timur (14,8per mil) di ikuti oleh Yogyakarta dan Sulawesi

Utara.9

3. Faktor Risiko
Faktor risiko penyebab stroke dapat dibagi menjadi 2 yaitu faktor resiko yang

dapat diubah (modifable) dan tidak dapat diubah (non modifable). Faktor risiko

6
yang dapat diubah pada ICH antara lain hipertensi, penggunaan terapi antikoagulan,

terapi trombolitik, pecandu alkohol, adanya riwayat stroke sebelumnya, dan

penggunaan obat-obatan narkotika (seperti cocaine). Pada pasien dengan ICH,

didapatkan dua pertiga kasus, pasien memiliki riwayat penyakit hipertensi,

sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa hipertensi merupakan faktor terpenting

terhadap terjadinya stroke (60%). Hal ini disebabkan karena hipertensi

menyebabkan defek pada struktur pembuluh darah, sehingga menyebabkan

perubahan pada endovaskular. Lapisan tunica media pada pembuluh darah biasanya

ikut terganggu, sehingga menyebabkan kelemahan pada dinding pembuluh darah,

yang kemudian akan menimbulkan terjadinya aneurisma akibat penggelembungan,

dan biasanya terjadi di bifurkasio arteri.7 Sedangkan faktor yang tidak bisa diubah

antara lain seperti usia, etnis, vasculitis, AVMs (Arteriovenous malformations), dan

intracranial neoplasm.7 Tabel mengenai faktor resiko terjadinya stroke dapat dilihat

dibawah:

Tabel 3.2 Faktor Risiko

7
4. Patogenesis Stoke Perdarahan intraserebral
Pada pendarahan intraserebral (ICH) terjadi 3 fase perjalanan penyakit, yaitu

terjadinya hemoragik, adanya ekspansi hematoma, dan terjadinya edema

perihematoma.7 Selama pendarahan intraserebral (ICH), penumpukan darah akibat

ruptur arteri serebral dalam parenkim otak menyebabkan gangguan anatomi normal

dan peningkatan tekanan lokal. Bergantung pada dinamika ekspansi hematoma

(pertumbuhan), kerusakan primer terjadi dalam beberapa menit hingga berjam-jam

sejak timbulnya perdarahan dan terutama akibat adanya hematoma, dapat

menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial (ICP) yang kemudian akan

mengganggu dari integritas jaringan disekitarnya dan mengganggu blood brain

barrier.7 Kerusakan sekunder sebagian besar disebabkan oleh adanya darah

intraparenchymal dan mungkin tergantung pada volume hematoma awal, usia, atau

volume ventrikel. Dapat terjadimelalui banyak jalur patologis paralel, termasuk:

(1) sitotoksisitas darah; (2) hipermetabolisme; (3) eksitotoksisitas; (4) menyebarkan

depresi; dan (5) stres oksidatif dan Inflamasi. Akhirnya patogenesis ini mengarah

kegangguan irreversibel pada komponen unit neurovaskular, terutama pada gray

dan white matter juga diikuti dengan gangguan sawar darah otak dan edema otak

yang mematikan, dengan kematian sel otak masif.10 Hematoma yang besar >30ml

aka semakin meningkatkan angka mortalitas. Ketika terjadi ekspansi akibat adanya

hematoma tersebut, akan muncul edema serebri dan dapat mengganggu dari fungsi

blood brain barrier. Selain itu, peningkatan tekanan intrakranial yang terus menerus

dapat menyebabkan terjadinya herniasi.7 Mediator inflamasi yang dihasilkan secara

lokal sebagai respons terhadap kematian / cedera otak memiliki kapasitas untuk

menambah kerusakan yang disebabkan oleh ICH (cedera sekunder), keterlibatan

8
sel-sel inflamasi misalnya mikroglia / makrofag, sangat penting untuk

menghilangkan / membersihkan sisa-sisa sel dari hematoma, sumber peradangan

yang sedang berlangsung. Pembersihan jaringan yang tepat waktu sangat

pentinguntuk mengurangi panjang proses patologis yang merusakdan dengan

demikian memungkinkan pemulihan yang lebih cepat dan lebih efisien.10 Selain itu,

40% dari kasus ICH, pendarahannya dapat meluas hingga ke ventrikel dan dapat

menyebabkan intraventrikular hemoragik, yang kemudian dapat menyebabkan

terjadinya obstruktif hidrosefalus dan prognosis yang lebih buruk.7

5. Diagnosis Perdarahan intraserebral10,11

1. Anamnesis

Pada anamnesa akan ditemukan kelumpuhan anggota gerak, kedudukan sudut

mulut yang lebih rendah dari yang lain (mengot) atau bicara pelo yang terjadi secara

tiba-tiba pada saat sedang beraktivitas. Selain itu, pada anamnesa juga perlu

ditanyakan penyakit-penyakit terdahulu seperti diabetes mellitus atau kelainan

jantung, adanya hipertensi, atau adanya riwayat stroke sebeulumnya. Obat-obatan

yang dikonsumsi, riwayat penyakit dalam keluarga juga perlu ditanyakan pada

anamnesa.

2. Pemeriksaan Fisik

Pada pasien stroke perlu dilakukan pemeriksaan fisik neurologi seperti

tingkat kesadaran, ketangkasan gerakan, kekuatan otot, refleks tendon, refleks

patologis dan fungsi saraf kranial.

Pemeriksaan tingkat kesadaran dengan Glasgow Coma Scale (GCS) yaitu

sebagai berikut :

9
Tabel 3.2 Glasgow Coma Scale (GCS)
Respon Skor
a. Membuka mata
1) Membuka spontan 4
2) Membuka dengan perintah 3
3) Membuka mata karena rangsang nyeri 2
4) Tidak mampu membuka mata 1
b.Kemampuan bicara
1) Orientasi dan pengertian baik 5
2) Pembicaraan yang kacau 4
3) Pembicaraan tidak pantas dan kasar 3
4) Dapat bersuara, merintih 2
5) Tidak ada suara 1
c.Tanggapan motoric
1) Menanggapi perintah 6
2) Reaksi gerakan lokal terhadap rangsang 5
3) Reaksi menghindar terhadap rangsang nyeri 4
4) Tanggapan fleksi abnormal 3
5) Tanggapan ekstensi abnormal 2
6) Tidak ada gerakan 1

Derajat kesadaran :

- Kompos mentis = GCS 15-14

- Somnolen = GCS 13-8

- Sopor = GCS 7-4

- Koma = GCS 3

Gangguan ringan ketangkasan gerakan jari-jari tangan dan kaki dapat dinilai

melalui tes yang dilakukan dengan cara menyuruh penderita membuka dan

10
menutup kancing bajunya. Kemudian melepas dan memakai sandalnya. Penilaian

kekuatan otot dalam derajat tenaga 0 sampai 5 secara praktis mempunyai

kepentingan dalam penilaian kemajuan atau kemunduran orang sakit dalam

perawatan dan bukan suatu tindakan pemeriksaan yang semata-mata menentukan

suatu kelumpuhan.

Pemeriksaan kekuatan otot adalah sebagai berikut :

0 : Tidak ada kontraksi otot

1 : Terjadi kontraksi otot tanpa gerakan nyata

2 : Pasien hanya mampu menggeserkan tangan atau kaki

3 : Mampu mengangkat tangan atau kaki, tetapi tidak mampu menahan gravitasi

4 : Tidak mampu menahan tangan pemeriksa

5 : Kekuatan penuh

Refleks patologis dapat dijumpai pada sisi yang hemiparetik. Refleks

patologis yang dapat dilakukan pada tangan ialah refleks Hoffmann–Tromner.

Sedangkan refleks patologis yang dapat dibangkitkan di kaki ialah refleks Babinsky,

Chaddock, Oppenheim, Gordon, Schaefer dan Gonda.11

Saraf kranial adalah 12 pasang saraf pada manusia yang keluar melalui otak,

berbeda dari saraf spinal yang keluar melalui sumsum tulang belakang.Saraf kranial

merupakan bagian dari sistem saraf sadar. Dari 12 pasang saraf, 3 pasang memiliki

jenis sensori (saraf I, II, VIII), 5 pasang jenis motorik (saraf III, IV, VI, XI, XII)

dan 4 pasang jenis gabungan (saraf V, VII, IX, X).

11
Tabel 3.4. Gangguan nervus kranialis.12
Nervus kranial Fungsi Penemuan klinis dengan lesi

I: Olfaktorius Penciuman Anosmia (hilangnya daya


penghidu)
II: Optikus Penglihatan Amaurosis
III: Okulomotorius Gerak mata, kontriksi pupil, Diplopia (penglihatan
akomodasi kembar), ptosis; midriasis;
hilangnya akomodasi
IV: Troklearis Gerak mata Diplopia
V: Trigeminus Sensasi umum wajah, kulit ”mati rasa” pada wajah;
kepala, dan gigi; gerak kelemahan otot rahang
mengunyah
VI: Abdusen Gerak mata Diplopia
VII: Fasialis Pengecapan; sensasi umum Hilangnya kemampuan
pada platum dan telinga luar; mengecap pada duapertiga
sekresi kelenjar lakrimalis, anterior lidah; mulut kering;
submandibula dan sublingual; hilangnya lakrimasi; paralisis
ekspresi wajah otot wajah

VIII: Vestibulokoklearis Pendengaran; keseimbangan Tuli; tinitus(berdenging terus


menerus); vertigo;nistagmus

IX: Glosofaringeus Pengecapan; sensasi umum Hilangnya daya pengecapan


pada faring dan telinga; pada sepertiga posterior lidah;
mengangkat palatum; sekresi anestesi pada faring; mulut
kelenjar parotis kering sebagian

X: Vagus Pengecapan; sensasi umum Disfagia (gangguan menelan)


pada faring, laring dan telinga; suara parau; paralisis palatum
menelan; fonasi; parasimpatis
untuk jantung dan visera
abdomen

XI: Asesorius Spinal Fonasi; gerakan kepala; leher Suara parau; kelemahan otot
dan bahu kepala, leher dan bahu
XII: Hipoglosus Gerak lidah Kelemahan dan pelayuan
lidah

12
3. Pemeriksaan Penunjang

a. CT scan

 Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan “gold standard” untuk membedakan

stroke infark dengan stroke perdarahan.

 Pada stroke karena infark, gambaran CT scannya secara umum adalah

didapatkan gambaran hipodens sedangkan pada stroke perdarahan

menunjukkan gambaran hiperdens.

Intracranial Hemorrhage

Pada intracranial hemorrhage, pada fase akut (<24 jam), gambaran radiologi

akan terlihat hyperdense, sedangkan jika fase subakut (24 jam – 5 hari) akan terlihat

isodense, sedangkan pada fase kronik (>5hari) akan terlihat gambaran hypodense.

Perdarahan terjadi di intracerebral sehingga gambaran CSF akan terlihat jernih.

b. Pemeriksaan MRI

Pemeriksaan ini sangat baik untuk menentukan adanya lesi di batang otak

(sangat sensitif). Secara umum juga lebih sensitif dibandingkan CT scan, terutama

untuk mendeteksi pendarahan posterior.

13
c. Pemeriksaan Angiografi

Pemeriksaan ini digunakan untuk menentukan apakah lokasi pada sistem

karotis atau vertebrobasiler, menentukan ada tidaknya penyempitan, oklusi atau

aneurisma pada pembuluh darah.

d. Pemeriksaan USG

Pemeriksaan ini untuk menilai pembuluh darah intra dan ekstra kranial,

menentukan ada tidaknya stenosis arteri karotis.

e. Pemeriksaan Pungsi Lumbal

Pemeriksaan ini digunakan apabila tidak ada CT scan atau MRI. Pada stroke

perdarahan intraserebral didapatkan gambaran LCS seperti cucian daging atau

berwarna kekuningan. Pada perdarahan subaraknoid didapatkan LCS yang gross

hemorragik. Pada stroke infark tidak didapatkan perdarahan (jernih).

f. Pemeriksaan Penunjang Lain

Pemeriksaan untuk menetukan faktor risiko seperti darah rutin, komponen

kimia darah (ureum, kreatinin, asam urat, profil lipid, gula darah, fungsi hepar),

elektrolit darah, foto toraks, EKG, echocardiografi.

6. Tatalaksana Perdarahan intraserebral

1. Stadium Hiperakut

Tindakan pada stadium ini dilakukan di Instalasi Rawat Darurat dan

merupakan tindakan resusitasi serebro-kardio-pulmonal bertujuan agar kerusakan

jaringan otak tidak meluas. Pada stadium ini, pasien diberi oksigen 2 L/menit dan

cairan kristaloid/koloid; hindari pemberian cairan dekstrosa atau salin dalam H2O.

14
Dilakukan pemeriksaan CT scan otak, elektrokardiografi, foto toraks, darah perifer

lengkap dan jumlah trombosit, protrombin time/INR, APTT, glukosa darah, kimia

darah (termasuk elektrolit); jika hipoksia, dilakukan analisis gas darah. Tindakan

lain di Instalasi Rawat Darurat adalah memberikan dukungan mental kepada pasien

serta memberikan penjelasan pada keluarganya agar tetap tenang.

2. Stadium Akut

Pasien perdarahan intraserebral harus dirawat di ICU jika volume hematoma

>30 mL, perdarahan intraventrikuler dengan hidrosefalus, dan keadaan klinis

cenderung memburuk. Tekanan darah harus diturunkan sampai tekanan darah

premorbid atau 15-20% bila tekanan sistolik >180 mmHg, diastolik >120 mmHg,

MAP >130 mmHg, dan volume hematoma bertambah. Bila terdapat gagal jantung,

tekanan darah harus segera diturunkan dengan labetalol iv 10 mg (pemberian dalam

2 menit) sampai 20 mg (pemberian dalam 10 menit) maksimum 300 mg; enalapril

iv 0,625-1.25 mg per 6 jam; kaptopril 3 kali 6,25-25 mg per oral. Jika didapatkan

tanda tekanan intracranial meningkat, posisi kepala dinaikkan 30º, posisi kepala dan

dada di satu bidang, pemberian manitol (lihat penanganan stroke infark), dan

hiperventilasi (pCO2 20-35 mmHg).5,9,11

Terapi umum:

a. Letakkan kepala pasien pada posisi 30º, kepala dan dada pada satu bidang; ubah

posisi tidur setiap 2 jam; mobilisasi dimulai bertahap bila hemodinamik sudah

stabil. Selanjutnya, bebaskan jalan napas, beri oksigen 1-2 liter/menit sampai

didapatkan hasil analisis gas darah. Jika perlu, dilakukan intubasi. Demam

15
diatasi dengan kompres dan antipiretik, kemudian dicari penyebabnya; jika

kandung kemih penuh, dikosongkan (sebaiknya dengan kateter intermiten).13

b. Pemberian nutrisi dengan cairan isotonik, kristaloid atau koloid 1500-2000 mL

dan elektrolit sesuai kebutuhan, hindari cairan mengandung glukosa atau salin

isotonik. Pemberian nutrisi per oral hanya jika fungsi menelannya baik; jika

didapatkan gangguan menelan atau kesadaran menurun, dianjurkan melalui

selang nasogastrik. 13

c. Kadar gula darah >150 mg% harus dikoreksi sampai batas gula darah sewaktu

150 mg% dengan insulin drip intravena kontinu selama 2-3 hari pertama.

Hipoglikemia (kadar gula darah < 60 mg% atau < 80 mg% dengan gejala)

diatasi segera dengan dekstrosa 40% iv sampai kembali normal dan harus dicari

penyebabnya. 13

d. Nyeri kepala atau mual dan muntah diatasi dengan pemberian obat-obatan

sesuai gejala. Tekanan darah tidak perlu segera diturunkan, kecuali bila

tekanan sistolik ≥220 mmHg, diastolik ≥120 mmHg, Mean Arterial Blood

Pressure (MAP) ≥ 130 mmHg (pada 2 kali pengukuran dengan selang waktu

30 menit), atau didapatkan infark miokard akut, gagal jantung kongestif serta

gagal ginjal. Penurunan tekanan darah maksimal adalah 20%, dan obat yang

direkomendasikan: natrium nitroprusid, penyekat reseptor alfa-beta, penyekat

ACE, atau antagonis kalsium. Jika terjadi hipotensi, yaitu tekanan sistolik ≤ 90

mm Hg, diastolik ≤70 mmHg, diberi NaCl 0,9% 250 mL selama 1 jam,

dilanjutkan 500 mL selama 4 jam dan 500 mL selama 8 jam atau sampai

hipotensi dapat diatasi. Jika belum terkoreksi, yaitu tekanan darah sistolik

16
masih < 90 mmHg, dapat diberi dopamin 2-20 μg/kg/menit sampai tekanan

darah sistolik ≥ 110 mmHg.13

e. Jika kejang, diberi diazepam 5-20 mg iv pelan-pelan selama 3 menit, maksimal

100 mg per hari; dilanjutkan pemberian antikonvulsan per oral (fenitoin,

karbamazepin). Jika kejang muncul setelah 2 minggu, diberikan antikonvulsan

peroral jangka panjang.13

f. Jika didapatkan tekanan intrakranial meningkat, diberi manitol bolus intravena

0,25 sampai 1 g/ kgBB per 30 menit, dan jika dicurigai fenomena rebound atau

keadaan umum memburuk, dilanjutkan 0,25g/kgBB per 30 menit setiap 6 jam

selama 3-5 hari. Harus dilakukan pemantauan osmolalitas (<320 mmol);

sebagai alternatif, dapat diberikan larutan hipertonik (NaCl 3%) atau

furosemid.14

Terapi khusus

Terapi khusus untuk perdarahan intraserebral antara lain: koreksi koagulopati

(PCC/Prothrombine Complex Concentrate, jika perdarahan karena antikoagulan),

Manajemen hipertensi (nicardipin, ARB, ACE-Inhibitor, Calcium Antagonist, Beta

blocker, Diuretik), Manajemen gula darah (insulin, anti diabetik oral), Pencegahan

perdarahan intraserebral (manajemen faktor risiko), Perawatan di unit stroke,

Neurorestorasi/neurorehabilitasi, dan neuroprotektor.13

Neuroprotektor dapat diberikan kecuali yang bersifat vasodilator.

Neuroprotektor digunakan untuk melindungi otak dari kerusakan akibat dari stroke.

Neuroprotektor yang digunakan pada kasus stroke akan menghambat dari peristiwa

molekular patologis yang terjad akibat adanya iskemia maupun hematoma yang

17
kemudian akan menyebabkan masuknya kalsium, aktivasi dari molekul radikal

bebas, dan kematian dari sel-sel otak.14 Tindakan bedah mempertimbangkan usia

dan letak perdarahan yaitu pada pasien yang kondisinya kian memburuk dengan

perdarahan serebelum berdiameter >3 cm3, hidrosefalus akut akibat perdarahan

intraventrikel atau serebelum, dilakukan VP-shunting, dan perdarahan lobar >60

mL dengan tanda peningkatan tekanan intrakranial akut dan ancaman herniasi. Pada

perdarahan subaraknoid, dapat digunakan antagonis Kalsium (nimodipin) atau

tindakan bedah (ligasi, embolisasi, ekstirpasi, maupun gamma knife) jika

penyebabnya adalah aneurisma atau malformasi arteri-vena (arteriovenous

malformation, AVM).12,7,14

3. Stadium Subakut

Tindakan medis dapat berupa terapi kognitif, tingkah laku, menelan, terapi

wicara, dan bladder training (termasuk terapi fisik). Mengingat perjalanan penyakit

yang panjang, dibutuhkan penatalaksanaan khusus intensif pasca stroke di rumah

sakit dengan tujuan kemandirian pasien, mengerti, memahami dan melaksanakan

program preventif primer dan sekunder.

Terapi fase subakut:

a. Melanjutkan terapi sesuai kondisi akut sebelumnya,

b. Penatalaksanaan komplikasi,

c. Restorasi/rehabilitasi (sesuai kebutuhan pasien), yaitu fisioterapi, terapi

wicara, terapi kognitif, dan terapi okupasi,

d. Prevensi sekunder

e. Edukasi keluarga dan Discharge Planning

18
7. Prognosis

Mortalitas perdarahan intraserebral adalah sekitar 40% pada 30 hari,

menjadikan ICH salah satu peristiwa medis akut yang paling mematikan, mirip

dengan SAH dalam mortalitas akut. Pada 1 tahun mortalitasnya adalah 50%

Setengah dari kematian terjadi dalam 48 hingga 72 jam pertama dan terkait dengan

komplikasi neurologis (yaitu massa efek, peningkatan ICP, dan / atau herniasi);

kematian yang terjadi setelah bulan pertama biasanya merupakan akibat dari

komplikasi medis (yaitu, emboli paru, pneumonia aspirasi, sepsis, dan perdarahan

gastrointestinal). Banyak kematian juga terjadi karena dianggap prognosis yang

buruk. Dalam pengaturan akut, prediktor mortalitas 30 hari termasuk ukuran

hematoma, ekspansi hematoma, usia pasien yang lebih tua,koma, perdarahan

intraventrikular (IVH), dan lokasi infratentorial. Ini dan karakteristik klinis lainnya

telah digunakan untukmengembangkan sejumlah model untuk memprediksi

kematian dan hasil fungsional. Fitur yang dipertahankan dalam sebagian besar

model termasuk defisit klinis (ditentukan oleh skor GCS dan NIHSS), volume dan

lokasi hematoma, adanya IVH, dan usia pasien.57 Metode prognostikasi awal saat

ini, bagaimanapun, cenderung bias oleh kegagalan,untuk memperhitungkan

pengaruh penarikan dukungan dan permintaan do-not-resuscitate (DNR) awal.

Perawatan penuh agresif segera setelah onset ICH danPenundaan permintaan DNR

baru untuk setidaknya 48 jam direkomendasikan oleh American Heart Association

terbaru.15

19
B. Epilepsi

1. Definisi

Epilepsi menurut JH Jackson (1951) didefinisikan sebagai suatu gejala akibat

cetusan pada jaringan saraf yang berlebihan dan tidak beraturan. Cetusan tersebut

dapat melibatkan sebagian kecil otak (serangan parsial atau fokal) atau yang lebih

luas pada kedua hemisfer otak (serangan umum).3

Definisi epilepsi menurut PERDOSSI pada tahun 2016 adalah suatu penyakit

otak yang ditandai dengan:

- Minimal 2 bangkitan kejang tanpa provokasi/bangkitan refleks, dengan jarak

antar bangkitan lebih dari 24 jam.

- Satu bangkitan kejang tanpa provokasi/bangkitan refleks dengan kemungkinan

besar berulang (misalkan bangkitan dengan riwayat stroke, infeksi otak, cedera

kepala, tumor otak, dysplasia kortikal fokal, terdapat gelombang epileptogenic

pada EEG).16

2. Epidemiologi

Sekitar 80-90% pasien epilepsi di negara berkembang tidak mendapatkan

pengobatan apapun. Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak

dibandingkan dengan perempuan. Insiden tertinggi terjadi pada anak berusia

dibawah 2 tahun dan usia lanjut di atas 65 tahun. Umumnya paling tinggi pada

umur 20 tahun pertama, menurun sampai umur 50 tahun, dan meningkat lagi

setelahnya terkait dengan kemungkinan terjadinya penyakit serebrovaskuler. Pada

75% pasien, epilepsi terjadi sebelum umur 18 tahun.17

20
3. Etiologi

Etiologi Epilepsi kemungkinan disebabkan oleh:

A. Aktivitas saraf abnormal akibat proses patologis yang mempengaruhi otak

B. Gangguan biokimia atau metabolik dan lesi mikroskopik di otak akibat trauma

otak pada saat lahir atau cedera lain

C. Pada bayi  penyebab paling sering adalah asfiksia atau hipoksia waktu lahir,

trauma intrakranial waktu lahir, gangguan metabolik, malformasi kongenital

pada otak, atau infeksi

D. Pada anak-anak dan remaja  mayoritas adalah epilepsi idiopatik, pada umur

5-6 tahun  disebabkan karena febril

E. Pada usia dewasa penyebab lebih bervariasi  idiopatik, karena birth

trauma, cedera kepala, tumor otak (usia 30-50 th), penyakit serebro vaskuler

(> 50 th)

Ditinjau dari penyebabnya, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu:

 Epilepsi simptomatik: disebabkan oleh kelainan / lesi pada susunan saraf pusat.

Misalnya : post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP), gangguan

metabolik, malformasi otak kongenital, asfiksia neonatorum, lesi desak ruang,

gangguan peredaran darah otak, toksik serta kelainan neurodegeneratif.

 Epilepsi kriptogenik: dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum

diketahui, termasuk disini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut dan

epilepsi mioklonik.

 Epilepsi idiopatik: penyebabnya tidak diketahui, meliputi ±50% dari penderita

epilepsi anak dan umumnya mempunyai predisposisi genetic, awitan biasanya

21
pada usia >3tahun. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan alat-alat

diagnostik yang canggih kelompok ini semakin sedikit.18

4. Patofisiologi

Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan

dari pada proses inhibisi. Perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi, pergeseran

konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion channel opening, dan menguatnya

sinkronisasi neuron yang penting dalam inisiasi dan perambatan aktivitas serangan

epileptik.Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler

dan intraseluler, dan oleh gerakan keluar-masuk ion-ion menerobos membran

neuron.19

Lima buah elemen fisiologi sel dari neuron–neuron tertentu pada korteks serebri

penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:

1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam

merespon depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan

inaktivasi konduksi Ca2+ secara perlahan.

2. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection), yang

memungkinkan adanya umpan balik positif yang membangkitkan dan menyebarkan

aktivitas kejang.

3. Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap sel-sel

piramidal pada daerah tertentu di korteks, termasuk pada hippocampus, sebagai

tempat paling rawan untuk terkena aktivitas kejang. Hal ini menghasilkan daerah-

daerah potensial luas, yang memicu aktifitas penyebaran nonsinaptik dan aktifitas

elektrik.

22
4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk juga merekrut

respon NMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptik di korteks.

5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor rekuren

dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktivasi.19

Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal

mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial

aksi secara tepat dan berulang-ulang. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak

apabila cetusan listrik dari sejumlah besar neuron abnormal muncul secara

bersamasama, membentuk suatu badai aktivitas listrik di dalam otak. Menimbulkan

bermacam-macam serangan epilepsi yang berbeda (lebih dari 20 macam),

bergantung pada daerah dan fungsi otak yang terkena dan terlibat. Dengan demikian

dapat dimengerti apabila epilepsi tampil dengan manifestasi yang sangat

bervariasi.19

5. Gejala

 Kejang parsial simplek

Serangan dimana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami gejala berupa

de javu: perasaan dimana pernah melakukan sesuatu yang sama sebelumnya.

 Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak dapat di

jelaskan.

 Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada bagian

tubuh tertentu.

 Gerakan yang tidak dapat di kontrol pada bagian tubuh tertentu

 Halusinasi

23
 Kejang parsial (psikomotor) kompleks

Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya bertahanlebih

lama. Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar tidak akan

mengingat waktu serangan.

Gejalanya meliputi:

 gerakan seperti mencucur atau mengunyah

 melakukan gerakan yang sama berulang – ulang atau memainkan pakaiannya

 Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling dalam

keadaan seperti sedang bingung

 Gerakan menendang atau meninju yang berulang – ulang

 Berbicara tidak jelas seperti menggumam

 Kejang tonik klonik (epilepsi grand mal).

Merupakan tipe kejang yang paling sering, di mana terdapat dua tahap:

tahap tonik atau kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan jenis

ini pasien dapat hanya mengalami tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis ini

biasa didahului oleh aura.

Aura merupakan perasaan yang dialami sebelum serangan dapat berupa : merasa

sakit perut , baal, kunang – kunang , telinga berdengung.

Pada tahap tonik pasien dapat : kehilangan kesadaran, kehilangan

keseimbangan dan jatuh karena otot yang menegang, berteriak tanpa alasan yang

jelas, menggigit pipi bagian dalam atau lidah. Pada saat fase klonik : terjadi

kontraksi otot yang berulang dan tidak terkontrol, mengompol atau buang air besar

24
tidak dapat di kontrol, pasien tampak sangat pucat, pasien mungkin akan merasa

lemas, letih ataupun ingin tidur setelah serangan semacam ini.

Gambar 1.1 Tipe Kejang Tonik dan Klonik

6. Diagnosis

Diagnosis epilepsi dapat dilakukan anamnesis dan pemeriksaan klinis

dengan hasil pemeriksaan EEG dan radiologis. Namun, bila melihat serangan yang

sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.20

a. Anamnesis

Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena

pemeriksa hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita.

Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah

serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat

berarti dan merupakan kunci diagnosis. Anamnesis juga memunculkan informasi

25
tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis,

gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan obat-obatan tertentu.

Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:

- Pola / bentuk serangan

- Lama serangan

- Gejala sebelum, selama dan paska serangan

- Frekuensi serangan

- Faktor pencetus

- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang

- Usia saat serangan terjadinya pertama

- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan

- Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya

- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

b. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis

Pemeriksaan umum dan neurologis dilakukan seperti biasa. Pada kulit dicari

adanya tanda neurofibromatosis berupa bercak-bercak coklat, bercak-bercak putih,

dan adenoma seboseum pada muka pada sklerosi tuberose. Hemangioma pada

muka dapat menjadi tanda adanya penyakit Sturge-Weber. Pada toksoplasmosis,

fundus okuli mungkin menunjukkan tanda-tanda korio renitis. Mencari kelainan

bawaan, asimetri pada kepala, muka, tubuh, dan ekstremitas.

c. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan Laboratorium Perlu diperiksa kadar glukosa, kalsium,

magnesium, natrium, bilirubin, ureum dalam darah. Yang memudahkan

26
timbulnya kejang ialah keadaan hipoglikemia, hypokalemia, hipomagnesia,

hiponatremia, hypernatremia, hiperbilirubinemia, dan uremia. Penting pula

diperiksa pH darah karena alkalosis mungkin disertai kejang. Pemeriksaan cairan

otak dapat mengungkapkan adanya radang pada otak atau selaputnya,

toksoplasmosis susunan saraf sentral, leukemia yang menyerang otak, metastasis

tumor ganas, adanya perdarahan otak atau perdarahan subaraknoid.21

- Pemeriksaan radiologis

Arteriografi dan pneumoensefalografi dilakukan bila perlu.

Elektroensefalografi (EEG) merupakan pemeriksaan penunjang yang informatif

yang dapat memastikan diagnosis epilepsi. Gelombang yang ditemukan pada EEG

berupa gelombang runcing, gelombang paku, runcing lambat, paku lambat.

Pemeriksaan tambahan lain adalah pemeriksaan foto polos kepala

a. Pemeriksaan psikologis atau psikiatris

Untuk diagnosis bila diperlukan uji coba yang dapat menunjukkan naik

turunnya kesadaran.

- Elektroensefalografi (EEG)

Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan

pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis

epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi

struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan

kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan

abnormal.

27
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua

hemisfer otak.

2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding

seharusnya misal gelombang delta.

3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya

gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang

lambat yang timbul secara paroksimal. Bentuk epilepsi tertentu mempunyai

gambaran EEG yang khas, misalnya spasme infantile mempunyai gambaran EEG

hipsaritmia, epilepsi petit mal gambaran EEG nya gelombang paku ombak 3 siklus

per detik (3 spd), epilepsi mioklonik mempunyai gambaran EEG gelombang paku

/ tajam / lambat dan paku majemuk yang timbul secara serentak (sinkron).

28
BAB III

DATA PASIEN

I. DATA PRIBADI

Nama : Ny. Fitria Majedah

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 36 Tahun

Bangsa : Indonesia

Suku : Banjar

Agama : Islam

Pekerjaan : IRT

Status : Menikah

Alamat : Jl. Kuin Utara gg. Dahlia RT 12 NO 41 Banjarmasin

MRS : 28 Mei 2019

No. RMK : 1.38.90.11

II. ANAMNESIS

Sumber : anamnesis suami pasien (alloanamnesis)

Keluhan Utama : penurunan kesadaran dan kejang

Perjalanan Penyakit : Pasien datang ke IGD RSUD Ulin Banjarmasin pukul 05.15

dengan keluhan kejang dan penurunan kesadaran. Kejang dialami sejak pukul 12

malam. Ada periode pasien sadar diantara kejang. Dari pukul 12 malam hingga

pukul 05.45 ini pasien mengalami kejang ± 5 kali. Pada pukul 05.45 pasien kejang,

bibir tergigit hingga berdarah. Selama kejang, kondisi mata, tangan kanan kaki

kanan dalam posisi ke atas, bagian tubuh sebelah kiri kaku, banyak keluar air liur,

29
selama kejang juga berkeringat. Gerakan kejang adalah kaku dan gemetaran. 1 kali

kejang berdurasi selama 15 menit. Kejang langsung muncul mendadak. Setelah

kejang terakhir pasien tidak sadar lagi. Dari keterangan keluarga pasien

sebelumnya, pasien memiliki riwayat stroke sejak 1 tahun yang lalu (bulan

Ramadhan 2018). Stroke dialami pada saat pasien dalam keadaan hamil anak ke 3

pada saat itu usia kehamilan 6 bulan. Setelah melahirkan anaknya secara sesar atau

operasi terminasi (saran dari dokter kandungan) pada usia kehamilan 7 bulan karena

adanya darah tinggi dan kejang selama hamil untuk menyelamatkan pasien. Stroke

terjadi setelah anaknya diangkat, mengakibatkan kelemahan tubuh sebelah kiri.

Keluar dari RSUD Ulin setelah melahirkan, pasien normal bisa berbicara, makan,

minum, duduk dibantu. Keluarga pasien mengaku semangat pasien turun dan pasien

tidak melakukan fisioterapi.

Riwayat Penyakit Dahulu: Kolesterol (+), Hipertensi (+), demam disangkal,

stroke (+) pasca operasi sesar

Riwayat Kebiasaan: Merokok (-), perokok pasif (-)

Riwayat Penyakit Keluarga: adik kejang (+), Hipertensi (+), DM(-)

III. STATUS INTERNA ( 03 Juni 2019 )

Keadaan Umum : Keadaan sakit : Tampak sakit ringan


Kesadaran : compos mentis
GCS : E4V5M6 Tensi : 140/100 mmHg
Nadi : 89 Kali/Menit, Reguler, Kuat angkat
Respirasi : 16 kali/menit
Suhu : 36,5˚C
SpO2 : 98%

30
Kepala/Leher :

- Mata : Kongjungtiva anemis (-) , sklera ikterik (-),

pupil bulat-isokor ukuran 3mm/3mm. Reflek cahaya (+/+)

- Mulut : mukosa bibir lembab, tidak ada deviasi lidah

- Leher : KGB tidak membesar

Thoraks

- Pulmo : Bentuk dan pergerakan simetris, wheezing(-/-)

- Cor : SI/SII tunggal, tidak ada bising, ada cardiomegali

Abdomen : Tidak teraba Hepar, lien dan massa, perkusi timpani, bising

usus normal.

Ekstremitas : Tidak ada atropi kanan kiri, ada edema lengan atas

IV. STATUS PSIKIATRI

Emosi dan Afek : serasi

Proses Berfikir : realistik

Kecerdasan : sesuai tingkat pendidikan

Penyerapan : baik

Kemauan : baik

Psikomotor : aktif

V. STATUS NEUROLOGIS

A.Kesan Umum:

Kesadaran : Kompos mentis, E4V5M6

Pembicaraan : Disartri : tidak ada

Monoton : tidak ada

31
Scanning : tidak ada

Afasia : Motorik : tidak ada

Sensorik : tidak ada

Anomik : tidak ada

Kepala:

Besar : normal

Asimetri : tidak ada

Tortikolis : tidak ada

Wajah:

Mask/topeng : tidak ada

Miophatik : tidak ada

Fullmooon : tidak ada

B. Pemeriksaan Khusus

1. Rangsangan Selaput Otak dan Tes Provokasi

Kaku Kuduk : (-)

Kernig : (-)/(-)

Laseque : (-)/(-)

Bruzinski I : (-)/(-)

Bruzinski II : (-)/(-)

Bruzinski III : (-)/(-)

Bruzinski IV : (-)/(-)

32
2. Saraf Otak

Kanan Kiri

N. Olfaktorius

Hyposmia (-) (-)

Parosmia (-) (-)

Halusinasi (-) (-)

N. Optikus

Visus (6/6) (6/6)

Kanan Kiri

Funduskopi (tdl) (tdl)

N. Occulomotorius, N. Trochlearis, N. Abducens

Kedudukan bola mata : Tengah tengah

Pergerakan bola mata ke

Nasal : dalam batas normal dalam batas normal

Temporal : dalam batas normal dalam batas normal

Atas : dalam batas normal dalam batas normal

Bawah : dalam batas normal dalam batas normal

Lateral bawah : dalam batas normal dalam batas normal

Eksopthalmus : Tidak ada tidak ada

Celah mata (Ptosis) : Tidak ada tidak ada

Pupil

Bentuk : Bulat Bulat

33
Lebar : 3mm 3mm

Perbedaan lebar : isokor isokor

Reaksi cahaya langsung : (+) (+)

Reaksi cahaya konsensuil : (+) (+)

N. Trigeminus

Cabang Motorik Kanan Kiri

Otot Maseter : dalam batas normal dalam batas normal

Otot Temporal : dalam batas normal dalam batas normal

Otot Pterygoideus Int/Ext: dalam batas normal dalam batas normal

Cabang Sensorik

I. N. Oftalmicus : dalam batas normal dalam batas normal

II. N. Maxillaris : dalam batas normal dalam batas normal

III. N. Mandibularis : dalam batas normal dalam batas normal

Refleks kornea :+ +

N. Facialis

Waktu Diam

Kerutan dahi : Simetris

Tinggi alis : Simetris

Sudut mata : Simetris

Lipatan nasolabial : sudut bibir tertinggal sebelah kiri

Waktu Gerak

34
Mengerutkan dahi : Simetris

Menutup mata : Normal simetris

Bersiul : bisa

Memperlihatkan gigi : bisa

Pengecapan 2/3 depan lidah : tidak terganggu

Sekresi air mata : Normal

N. Vestibulocochlearis

Vestibuler

Vertigo : tidak ada

Nystagmus : tidak ada

Tinitus aureum : tidak ada

Tes Scwabach : tidak dilakukan

Tes Rinne : tidak dilakukan

Tes Weber : tidak dilakukan

N. Glossopharyngeus dan N. Vagus

Bagian Motorik:

Suara : dalam batas normal

Menelan : dalam batas normal

Kedudukan arcus pharynx : tidak dilakukan

Kedudukan uvula : tidak dilakukan

Pergerakan arcus pharynx : tidak dikalukan

Bagian Sensorik:

35
Pengecapan 1/3 belakakang lidah : dalam batas normal

Refleks muntah : ada

N. Accesorius

Kanan Kiri

Mengangkat bahu dalam batas normal dalam batas normal

Memalingkan kepala dalam batas normal dalam batas normal

N. Hypoglossus

Kedudukan lidah waktu istirahat : tidak ada deviasi

Kedudukan lidah waktu bergerak : tidak ada deviasi

Atrofi : tidak ada

Kekuatan lidah menekan : dalam batas normal

Fasikulasi/Tremor pipi (kanan/kiri) : tidak ada

3. Sistem Motorik

Kekuatan Otot

+3 0
- Kekuatan motorik ekstremitas :
+3 0

- Tubuh :

Otot perut : cukup kuat

Otot pinggang : cukup kuat

Kedudukan diafragma : Gerak : Normal

36
Istirahat : Normal

- Lengan (Kanan/Kiri)

M. Deltoid : dalam batas normal / dalam batas normal

M. Biceps : dalam batas normal / dalam batas normal

M. Triceps : dalam batas normal / dalam batas normal

Fleksi sendi pergelangan tangan : dalam batas normal / dalam batas normal

Ekstensi sendi pergelangan tangan : dalam batas normal / dalam batas normal

Membuka jari-jari tangan : dalam batas normal / dalam batas normal

Menutup jari-jari tangan : dalam batas normal / dalam batas normal

- Tungkai (Kanan/Kiri)

Fleksi artikulasio coxae : dalam batas normal / dalam batas normal

Ekstensi artikulatio coxae : dalam batas normal / dalam batas normal

Fleksi sendi lutut : dalam batas normal / dalam batas normal

Ekstensi sendi lutut : dalam batas normal / dalam batas normal

Fleksi plantar kaki : dalam batas normal / dalam batas normal

Ekstensi dorsal kaki : dalam batas normal / dalam batas normal

Gerakan jari-jari kaki : dalam batas normal / dalam batas normal

Besar Otot :

Atrofi : (-)/(-)

Pseudohypertrofi : tidak ada

Respon terhadap perkusi : Normal

Palpasi Otot :

Nyeri : tidak ada

37
Kontraktur : tidak ada

Konsistensi : normal

Tonus Otot :

Lengan Tungkai

Kanan Kiri Kanan Kiri

Hipotoni - - - -

Hipertoni + - + -

Spastik - - - -

Rigid - - - -

Rebound - - - -

Gerakan Involunter

Tremor : Waktu Istirahat : -/-

Waktu bergerak : -/-

Chorea : -/-

Athetose : -/-

Balismus : -/-

Torsion spasme : -/-

Fasikulasi : -/-

Myokimia : -/-

Koordinasi :

Telunjuk kanan – kiri : dalam batas normal / dalam batas normal

Telunjuk-hidung : dalam batas normal / dalam batas normal

38
3. Sistem Sensorik

Rasa Eksteroseptik

Rasa nyeri superfisial : tidak ada

Rasa suhu : dalam batas normal

Rasa raba ringan : dalam batas normal

Rasa Proprioseptik

Rasa getar : dalam batas normal

Rasa tekan : dalam batas normal

Rasa nyeri tekan : dalam batas normal

Rasa gerak posisi : dalam batas normal

Rasa Enteroseptik

Refered pain : dalam batas normal

Rasa Kombinasi

Streognosis : dalam batas normal

Barognosis : dalam batas normal

Grapestesia : dalam batas normal

Two point tactil discrimination : dalam batas normal

Sensory extimination : dalam batas normal

Fungsi luhur

Apraxia : tidak ada

Alexia : tidak ada

Agraphia : tidak ada

Fingerognosis : dalam batas normal

39
Membedakan kanan-kiri : dalam batas normal

Acalculia : tidak dilakukan

5. Refleks-refleks

Refleks Tendon/Periosteum (Kanan/Kiri):

Refleks Biceps : (++ /+++)

Refleks Triceps : (++ /+++)

Refleks Patella : (+ / +)

Refleks Achiles : (++ / +)

Refleks Patologis :

Tungkai

Babinski : -/- Chaddock : -/-

Oppenheim : -/- Rossolimo :-/-

Gordon : -/- Schaffer : -/-

Lengan

Hoffmann-Tromner : -/+

Reflek Primitif : Grasp : -

Snout : -

Sucking : -

Palmomental : -

6. Susunan Saraf Otonom

Miksi : Normal

Defekasi : Normal

40
Sekresi keringat : Normal

Salivasi : Normal

7. Columna Vertebralis

Kelainan Lokal

Skoliosis : Tidak ada

Khypose : Tidak ada

Khyposkloliosis : Tidak ada

Gibbus : Tidak ada

Gerakan Tubuh Torakolumbal Vertebra

Fleksi : dalam batas normal

Ekstensi : dalam batas normal

Lateral deviation : dalam batas normal

Rotasi : dalam batas normal

Keterangan :

Tdl: tidak dapat dilakukan

41
Hasil Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium (28 Mei 2019)

42
43
Pemeriksaan EKG (28 Mei 2019)

Irama sinus takikardi, frekuensi 166x/menit , axis normal, LVH

44
Pemeriksaan CT Scan (28 Mei 2019)

Terdapat lesi hiperdens di lobus temporal sinistra.

Volume pendarahan ICH = (4x3x5) : 2 = 30 cc

45
Pemeriksaan Foto thorax (28 Mei 2019)

Kardiomegali, CTR 52%

46
C. RESUME PENYAKIT

1. ANAMNESIS

Pasien datang ke IGD RSUD Ulin Banjarmasin pukul 05.15 dengan keluhan

kejang dan penurunan kesadaran. Kejang dialami sejak pukul 12 malam. Ada

periode pasien sadar diantara kejang. Dari pukul 12 malam hingga pukul 05.45 ini

pasien mengalami kejang ± 5 kali. Pada pukul 05.45 pasien kejang, bibir tergigit

hingga berdarah. Selama kejang, kondisi mata, tangan kanan kaki kanan dalam

posisi ke atas, bagian tubuh sebelah kiri kaku, banyak keluar air liur, selama kejang

juga berkeringat. Gerakan kejang adalah kaku dan gemetaran. 1 kali kejang

berdurasi selama 15 menit. Kejang langsung muncul mendadak. Setelah kejang

terakhir pasien tidak sadar lagi. Dari keterangan keluarga pasien sebelumnya,

pasien memiliki riwayat stroke sejak 1 tahun yang lalu (bulan Ramadhan 2018).

Stroke dialami pada saat pasien dalam keadaan hamil anak ke 3 pada saat itu usia

kehamilan 6 bulan. Setelah melahirkan anaknya secara sesar atau operasi terminasi

(saran dari dokter kandungan) pada usia kehamilan 7 bulan karena adanya darah

tinggi dan kejang selama hamil untuk menyelamatkan pasien. Stroke terjadi setelah

anaknya diangkat, mengakibatkan kelemahan tubuh sebelah kiri. Keluar dari RSUD

Ulin setelah melahirkan, pasien normal bisa berbicara, makan, minum, duduk

dibantu. Keluarga pasien mengaku semangat pasien turun dan pasien tidak

melakukan fisioterapi.

2. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan sakit : Tampak sakit ringan


Kesadaran : compos mentis
GCS : E4V5M6 Tensi : 140/100 mmHg

47
Nadi : 89 Kali/Menit, Reguler, Kuat angkat
Respirasi : 16 kali/menit
Suhu : 36,5˚C
SpO2 : 98%

Kepala/Leher : dalam batas normal

Thorax : dalam batas normal

Abdomen : dalam batas normal

Ekstremitas : dalam batas normal

Status psikiatri : dalam batas normal

Status Neurologis

Kesadaran : Compos Mentis, GCS: E4V5M6

Refleks Pupil : Pupil isokor, diameter 3mm/3mm,

refleks cahaya +/+

Tanda Meningeal dan tes provokasi : Lasegue (-/-), Kernig (-/-)

Nervus Cranialis :

N. I : penghidu (+) N. VII : paresis wajah sebelah kiri

N. II : RCL (+/+)/ RCTL (+/+) N. VIII : pendengaran (baik)

N. III : Gerak Bola mata (+/+) N. IX : Refleks menelan - muntah (+)

N IV : Gerak Bola mata (+/+) N. X : Refleks menelan - muntah (+)

N. V : Refleks Kornea (+/+) N. XI : tonus

m.sternocleidomastoideus dan

m. trapezius (+)

N. VI : Gerak Bola mata (+/+) N. XII : tidak ada deviasi lidah

Motorik :
+3 0

+3 0
48
Sensibilitas :
+ +

+ +

Otonom : normal

Reflex Fisiologis :

Biceps : +2 | +3

Triceps : +2 | +3

Patella : +1 | +1

Achilles : +2 | +1

Reflex Patologis : Hoffman (-/+)

D. DIAGNOSIS

Diagnosis klinis : Riwayat DOC + riwayat kejang + hemiparesis sinistra

+ parase N.VII sinistra tipe sentral

Diagnosis Topis : Lesi hiperdens lobus temporalis sinistra

Diagnosis Etiologis : Perdarahan intraserebral (ICH) + epilepsi

E. TERAPI

 IVFD NS 20 tpm

 Inj ranitidine 2x50mg

 Inj citicolin 2 x 250 mg

 Inj Phenitoin 3x100mg

 Inj Antrain 3x1gram

49
 Inj Ceftriaxone 2x1gram

PO

 Clobazam 2x10 mg

 Asam folat 1x1 mg

 Amlodipine 1x10mg

 Haloperidol 2x0,5mg

 Candesartan 1x8mg

F. PROGNOSIS

Quo ad vitam : Dubia ad bonam

Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

Quo ad functionam : Dubia ad bonam (catatan: perdarahan otak luas dan

disertai gejala peningkatan tekanan intrakranial, prognosis dubia ad malam)

50
BAB IV

PEMBAHASAN

Keluhan pasien ketika datang ke IGD adalah kejang dan penurunan

kesadaran. Sebelumnya, pasien tidak ada riwayat terjatuh hingga mengalami

pembenturan di daerah kepala. Hal tersebut sesuai dengan definisi dari stroke, yaitu

suatu tanda klinis gangguan fungsi otak baik secara focal atau global yang

berkembang dengan cepat atau secara mendadak, berlangsung lebih dari 24 jam

atau menyebabkan kematian tanpa penyebab jelas selain berasal dari pembuluh

darah.1 Berdasarkan algoritma gajah mada (gambar 4.1), kasus ini termasuk stroke

perdarahan karena terdapat satu dari tiga gejala (penurunan kesadaran, nyeri kepala,

refleks babinski) yaitu penurunan kesadaran pada saat pasien datang di IGD.

Gambar 4.1 Algoritma Gajah Mada

51
Pada pemeriksaan fisik didapatkan reflex kedua pupil dalam batas normal. Pada

refleks fisiologis neurologi terdapat refleks di kedua bisep(+2/+3), trisep(+2/+3),

achilles(+2/+1), dan lutut(+1). Motorik (+3) pada eksterimitas superior dan inferior

kanan dapat melawan tahanan, sensibilitas normal, eutonus, gerak bebas terbatas,

dan tidak ada atoni. Pada ekstremitas superior dan inferior kiri didapatkan motorik

(0), tidak ada kontraksi, sensibilitas normal, hipertonus, gerak terbatas, dan tidak

ada atoni. Refleks patologi tidak ada. Reflek meningeal tidak ada. Nervus cranialis

didapatkan parase N.VII sinistra tipe sentral, lipatan nasolabial turun ke arah kiri,

tetapi pasien masih dapat mengangkat kedua alis, mengerutkan dahi, dan menutup

mata secara bersamaan. Hal ini berarti terjadi kelumpuhan nervus facialis sentral,

karena otot-otot dahi mendapat persarafan dari kedua hemisfer serebri.22

Pemeriksaan CT-scan tanpa kontras merupakan pemeriksaan yang paling

sering digunakan untuk mendiagnosis perdarahan intraserebral dengan sensitivitas

dan spesifisitas yang tinggi. Pemeriksaan CT scan pada Ny.F didapatkan lesi

hiperdens pada lobus temporalis. Volume perdarahan adalah prediktor kuat

perbaikan pada pasien dan perluasan perdarahan sering terjadi sehingga

perhitungan volume perdarahan perlu dilakukan dengan cepat.23

Tatalaksana pada pasien ini adalah diberi neuroprotektor berupa citicoline

untuk mencegah kematian sel-sel terutama di daerah penumbra. Gastroprotektor

berupa ranitidine untuk mencegah terjadinya stress ulcer pada pasien stroke.

Pada pasien ini tidak dilakukan tindakan operasi karena tidak terdapat

indikasi untuk dilakukannya operasi evakuasi perdarahan, yaitu pedarahan

cerebellar dengan diameter ≥ 3cm, adanya hidrosefalus obstruktif, atau dengan

52
kompresi batang otak. AHA/ASA 2015 merekomendasikan evakuasi perdarahan

cerebellar dilakukan pada kasus perburukan neurologis, hidrosefalus, dan/atau

kompresi batang otak.24

Outcome predictioin, yang paling sering digunakan adalah Skala Skor ICH.

Komponen dari ICH Skor adalah usia pasien, volume perdarahan, lokasi dan ada

tidaknya IVH (Tabel 4.1). Setiap peningkatan skor ICH sejalan dengan peningkatan

risiko mortalitas selama 30 hari dan kemungkinan penurunan pada fungsi jangka

panjang. Ny. F didapatkan hasilnya 1 menggunakan ICH Score Point yang

menandakan peningkatan mortalitas sebesar 13%.24

Component ICH score points


Glasgow Coma Scale (GCS) 3–4 2
5–12 1
13–15 0
ICH volume (cc) ≥30 1
<30 0
Intraventricular hemorrhage Yes 1
No 0
Infratentorial origin of ICH Yes 1
No 0
Age (years) ≥80 1
<80 0
Total ICH score 0-6

Keluhan pasien ketika datang ke IGD adalah kejang. Kejang dialami sejak pukul

12 malam. Ada periode pasien sadar diantara kejang. Dari pukul 12 malam hingga

pukul 05.45 ini pasien mengalami kejang ± 5 kali. Pada pukul 05.45 pasien kejang,

bibir tergigit hingga berdarah. Selama kejang, kondisi mata, tangan kanan kaki

kanan dalam posisi ke atas, bagian tubuh sebelah kiri kaku, banyak keluar air liur,

selama kejang juga berkeringat. Gerakan kejang adalah kaku dan gemetaran. 1 kali

kejang berdurasi selama 15 menit. Kejang langsung muncul mendadak. Setelah

kejang terakhir pasien tidak sadar lagi. Dari keterangan keluarga pasien

sebelumnya, pasien memiliki riwayat stroke sejak 1 tahun yang lalu (bulan

53
Ramadhan 2018). Stroke dialami pada saat pasien dalam keadaan hamil anak ke 3

pada saat itu usia kehamilan 6 bulan. Setelah melahirkan anaknya secara sesar atau

operasi terminasi (saran dari dokter kandungan) pada usia kehamilan 7 bulan karena

adanya darah tinggi dan kejang selama hamil untuk menyelamatkan pasien.

Hal tersebut sesuai dengan definisi dari epilepsi, yaitu minimal 2 bangkitan tanpa

provokasi/bangkitan reflex dengan jarak antar bangkitan lebih dari 24 jam dan satu

bangkitan tanpa provokasi/bangkitan reflex, dengan kemungkinan besar berulang

(misalkan bangkitan dengan riwayat stroke, infeksi otak, cedera kepala, tumor otak,

dysplasia kortikal fokal, terdapat gelombang epileptogenik pada EEG.16

Jenis epilepsi pada kasus ini adalah epilepsi simtomatik. Pada epilepsi

simtomatik, terdapat lesi struktural di otak, misalnya: terdapat riwayat cedera

kepala, infeksi SSP, kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran

darah otak, kelainan neurodegeneratif.16

Pemeriksaan EEG perlu untuk mencari gelombang epileptogenik.3

Pemeriksaan EEG ada tiga, yaitu EEG rutin, EEG deprivasi tidur, dan EEG

monitoring (dapat dilakukan 24 jam untuk menemukan EEG seizure dan clinical

seizure).16 EEG normal tidak menyingkirkan diagnosis epilepsi. MRI dan CT-scan

perlu dipertimbangkan bila kemungkinan penyebab epilepsi dapat berubah seperti

tumor ganas dan malformasi vascular.3 MRI berguna bila penyebab epilepsi berupa

suspected but indefinite, seperti trauma kepala ringan. Pemeriksaan laboratorium

dapat dilakukan untuk mencari gangguan metabolik berupa hiponatremi,

hipernatremi, hipoglikemia, hipokalsemia, uremia, dan lain lain sebagai penyebab

54
kejang namun pada hasil lab masih dalam batas normal. Pemeriksaan LCS dapat

dilakukan bila dicurigai adanya radang otak.3

Pemberian terapi pada pasien dilakukan dengan modalitas terapi pendahuluan.

Terapi pendahuluan adalah pemberian satu obat anti epilepsi (OAE) pilihan utama

sesuai bentuk bangkitan/kejang epileptik dari dosis awal sampai tercapainya dosis

rumatan. Tujuannya adalah agar pasien bebas bangkitan dan tanpa memiliki efek

samping obat anti epilepsi. Bagi dokter umum, bila terdapat adanya keraguan

mengenai bentuk atau tipe bangkitan dari kejang pasien, dan ragu untuk memilih

obat anti epilepsinya, maka dapat segera dirujuk ke dokter spesialis saraf.16

Terapi pendahuluan dapat diberikan dengan kondisi sebagai berikut:

 Diagnosis epilepsi sudah dipastikan

 Terdapat minimum 2 kejang/bangkitan dalam setahun

 Penderita dan atau keluarganya sudah menerima penjelasan tentang

tujuan pengobatan16

Prinsip terapi pada epilepsi dimulai dengan monoterapi yang menggunakan

OAE pilihan utama sesuai dengan jenis kejang/bangkitan. Dosis rumatan OAE juga

harus memadai dan pemberiannya dimulai dari dosis rendah yang

dinaikkan/dititrasi bertahap sampai dosis efektif tercapai. Dosis efektif adalah dosis

OAE terkecil yang dapat menghentikan kejang/bangkitan. Berikut pemilihan OAE

berdasarkan bentuk bangkitan, dosisnya, dan efek samping yang sering terjadi:

55
Tabel 1. Pemilihan OAE berdasarkan bentuk bangkitan.16

Bangkitan
Bangkitan
Bangkitan Umum Bangkitan Bangkitan
OAE Umum
fokal Tonik Lena Mioklonik
Sekunder
Klonik
Asam Valproat B B C A D
Carbamazepin A A C
Clonazepam D
Fenobarbital C C C
Fenitoin A A C
Gabapentin C C D
Lamotrigin C C C A
Levetiracetam A A D
Oxcarbazepin C C C
Topiramat C C C D
Zonisamid A A
Keterangan: A. Efektif sebagai monoterapi; B. Sangat mungkin efektif sebagai
monoterapi; C. Mungkin efektif sebagai monoterapi; D. Berpotensi untuk efektif
sebagai monoterapi – tidak dapat digunakan

Pasien pada kasus ini memiliki epilepsi dengan bangkitan kejang tipe tonik,

maka semua obat pada tabel di atas dapat digunakan sebagai modalitas terapi

kecuali levetiracetam, clonazepam, gabapentin dan zonisamid.16

Tabel 2. Dosis obat anti epilepsi (OAE) untuk orang dewasa.16

Waktu
Dosis
Jumlah dosis tercapainya
OAE Titrasi OAE Rumatan
per hari steady state
(mg/hari)
(hari)
Carbamazepine Mulai 100-200 400 – 1200 3x 2–7
mg/hr ↑ 100
mg bila perlu
tiap seminggu

Clonazepam Mulai 0.5 mg ↑ 2–6 2–3x 2 – 10


0.5 mg bila
perlu tiap 4
hari
Clobazam Mulai 10 20 – 40 1–2x 2–6
mg/hr bila
perlu ↑ 5 mg
setelah 1
minggu
Gabapentine Mulai 300 900 – 3600 2–3x 2–3
mg/hr ↑ 300

56
mg setiap 1 – 2
hari

Lamotrigine Mulai 25 200 – 600 2x 2–6


mg/hr selama 2
minggu ↑
sampai 50
mg/hr selama 2
minggu, ↑ 50
mg/2 minggu
Levetiracetam Mulai 750 – 4000 2x 2
500/1000 mg ↑
500 – 1000 mg
bila perlu
setelah 2
minggu
Oxcarbazepine Mulai 300 900 – 2400 2x 2–4
mg/hr ↑ 300
mg bila perlu
setelah 3 hari
Phenobarbital Mulai 30 – 50 90 – 120 1x 8 – 30
mg malam hari max. 180
↑ 30 mg bila
perlu setelah 1
bulan
Phenytoin Mulai 100 200 – 500 1 – 2x 3 – 15
mg/hr ↑ 30 –
100 mg bila
perlu setelah 1
bulan
Pregabalin Mulai dengan 150 – 600 2 – 3x 1–2
50 mg ↑ 50 mg
bila perlu
setelah 7 hari
Topiramate Mulai 25 75 – 300 2x 2–5
mg/hr ↑ 25 –
50 mg tiap 2
minggu bila
perlu
Asam valproat Mulai 500 500 – 2000 2 – 3x 2–4
mg/hr ↑ 250 max. 3000
mg bila perlu
setelah 7 hari
Zonisamid Mulai 100 100 – 400 2x 7 – 10
mg/hr ↑ 100
mg bila perlu
setiap 14 hari

57
Tabel 3. Efek samping OAE yang sering terjadi.16

Efek samping yang


Obat Efek samping minor
mengancam jiwa
Karbamazepin Anemia aplastik, Dizziness, ataksia, diplopia,
hepatotoksisitas, SJS, lupuslike mual, kelelahan,
syndrome agranulositosis, leukopenia,
trombositopenia,
hyponatremia, ruam, gangguan
perilaku, tics, peningkatan
berat badan, disfungsi hormone
tiroid, neuropati perifer
Fenitoin Anemia aplastik, gangguan Hipertrofi gusi, hirsutisme,
fungsi hati, SJS, Lupuslike ataksia, nystagmus, diplopia,
sundrome, pseudolymphoma ruam, anoreksia, mual,
macroxytosis, neuropati
perifer, agranulositosis,
trombositopenia, disfungsi
seksual, disfungsi serebellar,
penurunan absorpsi kalsium
dalam usus
Fenobarbital Hepatotoksik, gangguan jaringan Mengantuk, ataksia,
ikat dan sumsum tulang, SJS nystagmus, ruam kulit, depresi,
hiperaktif (pada anak),
gangguan belajar (pada anak),
disfungsi seksual
Asam Valproat Hepatotoksik, hiperamonemia, Mual, muntah, rambut
leukopenia, trombositopenia, menipis, tremor, amenorea,
pankreatitis peningkatan berat badan,
konstipasi, hirsutisme, alopesia
pada perempuan, PCOS
Levetirasetam Belum diketahui Mual, nyeri kepala, dizziness,
kelemahan, mengantuk,
gangguan perilaku, agitasi,
anxietas, trombositopenia,
leukopenia
Gabapentin Teratogenik Somnolen, kelelahan, ataksia,
dizziness, peningkatan berat
badan, gangguan perilaku
(pada anak)

58
Lamotrigin SJS, gangguan hepar akut, Ruam, dizziness, tremor,
kegagalan multi organ, ataksia, diplopia, pandangan
teratogenic kabur, nyeri kepala, mual,
muntah, insomnia,
trombositopenia, nystagmus,
truncal ataxia, tics

Oxcarbazepin Ruam, teratogenik Dizziness, ataksia, nyeri


kepala, mual, kelelahan,
hyponatremia, insomnia,
tremor, disfungsi seksual

Topiramat Batu ginjal, hipohidrosis, Gangguan kognitif, kesulitan


gangguan fungsi hati, menemukan kata, dizziness,
teratogenik ataksia, nyeri kepala,
kelelahan,mual, penurunan
berat badan, paresthesia,
glaukoma
Zonisamid Batu ginjal, hipohidrosis, anemia Mual, nyeri kepala, dizziness,
aplastik, skin rash kelelahan, paresthesia, ruam,
gangguan berbahasa,
glaucoma, letargi, ataksia
Pregabalin Belum diketahui Peningkatan berat badan

Penghentian OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan setelah 3 – 5 tahun

bebas bangkitan. Kecuali pada epilepsi simptomatik dan kriptogenik pengobatan

farmakologi dapat seumur hidup.16

Fenitoin secara farmakodinamik bekerja dengan mengikat kanal sodium

membran neuron dan memperpanjang fase inaktivasi dari kanal ini sehingga

membran neuron dapat distabilkan. Obat ini berfefek antikonvulsi tanpa

menyebabkan depresi umum sistem saraf pusat. Secara farmakokinetik, fenitoin

dimetabolisme di hati oleh CYP2C9 dan memiliki indeks terapi yang sempit,

sehingga perlu untuk memonitor penggunaan obat ini. Dosis letal Fenitoin dapat

menyebabkan rigiditas deserebrasi.25

59
Pengobatan pulang untuk pasien yang dapat dipilih sebagai first line

monotherapy berdasarkan rekomendasi WHO tahun 2012 antara lain

karbamazepin, fenobarbital, fenitoin, dan asam valproat. Sediaan per oral keempat

obat ini tersedia di fasilitas tingkat primer, sekunder, dan tertier pada formularium

nasional 2017, sehingga keempatnya ditanggung oleh JKN.26

Obat pulang pilihan yang dapat dipertimbangkan dari 4 obat di atas untuk kasus

ini adalah asam valproat. Asam valproat digunakan terutama untuk terapi epilepsi

tonik-klonik umum, khususnya yang primer. Cara kerja obat ini adalah dengan

menyebabkan hiperpolarisasi dari membran neuron akibat peningkatan daya

konduksi membran untuk kalium. Efek antikonvulsi yang lain juga didapatkan dari

obat ini adalah peningkatan kadar neurotransmiter inhibitorik GABA pada SSP.

Asam valproat dimetabolisme di hati oleh enzim CYP2C9 dan CYP2C19.

Pengguna obat ini dapat mengalami gangguan saluran cerna berupa anoreksia,

mual, dan muntah pada 16% kasus. Dosis awal titrasi asam valproat dimulai dari

500 mg per hari dan bila perlu dapat dinaikkan 250 mg setelah 7 hari. Rentang dosis

rumatan obat ini adalah 500 - 2000 mg dengan maksimal 3000 mg per hari, dibagi

menjadi 2 - 3 dosis.25

60
BAB V

PENUTUP

Telah dilaporkan sebuah kasus Ny. F, umur 36 tahun yang datang dengan

keluhan penurunan kesadaran dan kejang. Pasien didiagnosis dengan perdarahan

intraserebral dengan epilepsi dan mendapatkan pengobatan. Serangan stroke

merupakan serangan kedua. Pasien masuk RS tanggal 28 Mei 2019. Pasien pulang

dari rumah sakit tanggal 7 Juni 2019 dengan keterangan diizinkan dan menjalani

pengobatan lanjutan di poliklinik saraf tanggal 12 Juni 2019..

61
DAFTAR PUSAKA

1. Sacco, Ralph L, et al. An update definition of stroke for the 21st century: A
statement for healthcare professionals from the American Heart Association/
American Stroke Assocation. AHA/ASA Expert Consensus Document.
2013;1(1):2064-89.

2. Gonzalaes, Henares MA, et al. Relationship between hemorrhagic stroke and


mortality in chronic complex outpatients: result from a community cohort of
patients. Journal of Aging Science. 2017;5(2):1-9.

3. Bahrudin M. Neurologi klinis. Edisi ketiga. Malang: 2017. 149-67.

4. WHO. Epilepsy Factsheet. Diakses 10 Juni 2019 dari


https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/epilepsy

5. Dinata CA, Safrita Y, Sastri S. Artikel Penelitian Gambaran Faktor Risiko dan
Tipe Stroke pada Pasien Rawat Inap di Bagian Penyakit Dalam RSUD
Kabupaten Solok Selatan Periode 1 Januari 2010 - 31 Juni 2012. 2013;2(2):57–
61.

6. Saefulloh M. Analisis faktor yang berhubungan dengan kejadian stroke di rsud


indramayu. 2012:65–76.

7. Magritis Fabio, Bazak Stephanie, Martin Jason. Intracerebral Hemorrhage:


Pathophysiology, Diagnosis, and Management. MUMJ Clinical Review.
2013;10(1):15-22.

8. An SJ, Kim TJ, Yoon B. Epidemiology , Risk Factors , and Clinical Features
of Intracerebral Hemorrhage : An Update. 2017;19(1):3–10.

9. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), 2018. Jakarta: Badan Litbangkes, Depkes


RI.

10. Aronowski J, Zhao X. Molecular pathophysiology of cerebral hemorrhage.


Journal of the American Heart Association. 2011:1781-6.

11. Kelompok Studi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.


Guideline Stroke 2007. Edisi Revisi. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia: Jakarta, 2007.

12. Swartz, MH. 2002. Buku Ajar Diagnostik Fisik. Jakarta : EGC.

13. INDONESIA, Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf. Panduan praktik klinis


neurologi. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 2016.

62
14. Jordan J, et al. Stroke pathophysiology: management challenges and new
treatment advances. Journal of Physiology and Biochemical. 2007;63(3):261-
78.

15. Aguilar MI, Brott TG. Update in Intracerebral Hemorrhage. The


Neurohospitalist. 2011;1(3):148-59.

16. Kelompok Studi Epilepsi. Pedoman tatalaksana epilepsi untuk dokter umum.
Edisi pertama. Surabaya: Airlangga Press. 2016: 10 - 9.

17. Epilepsy Foundation. Statistic of Epilepsy. Diakses dari 9 Juni 2019 dari
http://www.epilepsyfoundation.org/about/statistics.cfm.

18. Epilepsi Indonesia. Epilepsi pada Anak. Diakses tanggal 9 Juni 2019 dari
http://epilepsiindonesia.com/pengobatan/epilepsi-dan-anak/pahami-gejala-
epilepsi-pada-anak-2

19. Silbernagl S, Lang F. Teks & Atlas Berwarna patofisiologi. Edisi 1. Surabaya:
EGC. 2006: 219-36.

20. Shorvon SD. Handbook of Epilepsy Treatment Forms, Causes and Therapy
in Children and Adults. Edisi 2. America: Blackwell Publishing Ltd. 2005.

21. Aminoff MJ, David AG, Simon PR. Clinical Neurology. Edisi 9. New York:
McGraw-Hill. 2015: 342-68.

22. Baehr M, Frotscher M. Diagnosis Topik Neurologi DUUS. Edisi 5. Jakarta.


EGC:2006.

23. Thabet AM, Kottapally M, Hemphill JC. Management of intracerebral


hemorrhage. Handbook of Clinical Neurology. San Fransisco. 2017;140:177-
94.

24. Hemphill JC, et al. The ICH Score: A simple, reliable grading scale for
intracerebral hemorrhage. AHA Journals. 2001;32:891-97.

25. Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. Farmakologi dan Terapi.


Edisi 6. Penerbit FKUI: 2016.

26. Departemen Kesehatan RI. Formularium Nasional. Penerbit Kemenkes RI:


2017.

63

Anda mungkin juga menyukai