Oleh:
Hayatun Nufus, S.Ked
1830912320117
Pembimbing
BANJARMASIN
Juni, 2019
DAFTAR ISI
2
BAB I
PENDAHULUAN
Stroke adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan defisit neurologis
akibat dari cidera fokal akut pada sistem saraf pusat (SSP), yang disebabkan karena
(ICH) dan pendarahan subaraknoid (SAH), dan merupakan penyebab terbesar dari
memiliki tingkat bertahan hidup yang terpendek dan prognosis untuk fungsi
akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara intermiten, akibat lepasnya muatan
Sebanyak 2,4 juta orang didiagnosis dengan epilepsi setiap tahunnya. Hampir
80% orang dengan epilepsi tinggal di negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Hal ini mungkin karena peningkatan risiko kondisi endemik seperti malaria atau
neurocysticercosis; insiden kecelakaan lalu lintas yang lebih tinggi; cedera terkait
3
preventif dan perawatan yang dapat diakses, oleh karena itu, pasien epilepsi perlu
Kasus ini dapat ditemui pada pasien rawat inap di RSUD Ulin Banjarmasin,
sehingga tim penulis tertarik untuk melaporkan satu kasus perdarahan intraserebral
dengan epilepsi pada seorang pasien perempuan berusia 36 tahun yang dirawat inap
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Stroke
1. Definisi Stroke
Stroke adalah penyakit terbanyak ketiga setelah penyakit jantung dan kanker,
setiap tahunnya adalah 50 – 100 dari 100.000 orang penderita.5,6 Stroke diklasifikasi
menjadi 2 yaitu stroke iskemik dan stroke perdarahan. Stroke iskemik merupakan
kasus stroke yang paling banyak ditemui (87% dari kasus stroke keseluruhan),
hemorrhage (ICH) biasanya terjadi karena ruptur arteri yang mengalami penetrasi
kecil akibat hipertensi atau kelainan vaskular lainnya.8 Pendarahan pada stroke
dapat terjadi didalam parenkim otak, atau pada meninges. Sedangkan definisi dari
ICH itu sendiri adalah ketika ada pendarahan pada parenkim otak.7
2. Epidemiologi Stroke
5
bahwa sekitar 3-5% penduduk memilik resiko tinggi terjadi stroke.2 Menurut WHO,
diperkirakan 15 juta penduduk di dunia menderita stroke, yaitu satu pertiga kasus
pasien stroke mengalami kematian, satu pertiga lainnya mengalami gejala sisa
tinggi merupakan faktor terpenting penyebab dari stroke. Insiden dari stroke
meningkat terutama pada usia lanjut dan ras Afrika dan Asia. Kasus ICH
berkontribusi sebesar kira-kira 10% dari total kasus stroke di dunia namun memiliki
Indonesia yang kemudian diikuti secara berurutan oleh Filipina, Singapura, Brunei,
Malaysia, dan Thailand. Dari seluruh penderita stroke di Indonesia, stroke iskemik
merupakan jenis yang paling banyak diderita yaitu sebesar 52,9%, diikuti secara
mil (tahun 2013) menjadi 10,9 per mil (tahun 2018). Prevalensi penyakit Stroke
tertinggi di Kalimantan Timur (14,8per mil) di ikuti oleh Yogyakarta dan Sulawesi
Utara.9
3. Faktor Risiko
Faktor risiko penyebab stroke dapat dibagi menjadi 2 yaitu faktor resiko yang
dapat diubah (modifable) dan tidak dapat diubah (non modifable). Faktor risiko
6
yang dapat diubah pada ICH antara lain hipertensi, penggunaan terapi antikoagulan,
perubahan pada endovaskular. Lapisan tunica media pada pembuluh darah biasanya
dan biasanya terjadi di bifurkasio arteri.7 Sedangkan faktor yang tidak bisa diubah
antara lain seperti usia, etnis, vasculitis, AVMs (Arteriovenous malformations), dan
intracranial neoplasm.7 Tabel mengenai faktor resiko terjadinya stroke dapat dilihat
dibawah:
7
4. Patogenesis Stoke Perdarahan intraserebral
Pada pendarahan intraserebral (ICH) terjadi 3 fase perjalanan penyakit, yaitu
ruptur arteri serebral dalam parenkim otak menyebabkan gangguan anatomi normal
intraparenchymal dan mungkin tergantung pada volume hematoma awal, usia, atau
depresi; dan (5) stres oksidatif dan Inflamasi. Akhirnya patogenesis ini mengarah
dan white matter juga diikuti dengan gangguan sawar darah otak dan edema otak
yang mematikan, dengan kematian sel otak masif.10 Hematoma yang besar >30ml
aka semakin meningkatkan angka mortalitas. Ketika terjadi ekspansi akibat adanya
hematoma tersebut, akan muncul edema serebri dan dapat mengganggu dari fungsi
blood brain barrier. Selain itu, peningkatan tekanan intrakranial yang terus menerus
lokal sebagai respons terhadap kematian / cedera otak memiliki kapasitas untuk
8
sel-sel inflamasi misalnya mikroglia / makrofag, sangat penting untuk
demikian memungkinkan pemulihan yang lebih cepat dan lebih efisien.10 Selain itu,
40% dari kasus ICH, pendarahannya dapat meluas hingga ke ventrikel dan dapat
1. Anamnesis
mulut yang lebih rendah dari yang lain (mengot) atau bicara pelo yang terjadi secara
tiba-tiba pada saat sedang beraktivitas. Selain itu, pada anamnesa juga perlu
yang dikonsumsi, riwayat penyakit dalam keluarga juga perlu ditanyakan pada
anamnesa.
2. Pemeriksaan Fisik
sebagai berikut :
9
Tabel 3.2 Glasgow Coma Scale (GCS)
Respon Skor
a. Membuka mata
1) Membuka spontan 4
2) Membuka dengan perintah 3
3) Membuka mata karena rangsang nyeri 2
4) Tidak mampu membuka mata 1
b.Kemampuan bicara
1) Orientasi dan pengertian baik 5
2) Pembicaraan yang kacau 4
3) Pembicaraan tidak pantas dan kasar 3
4) Dapat bersuara, merintih 2
5) Tidak ada suara 1
c.Tanggapan motoric
1) Menanggapi perintah 6
2) Reaksi gerakan lokal terhadap rangsang 5
3) Reaksi menghindar terhadap rangsang nyeri 4
4) Tanggapan fleksi abnormal 3
5) Tanggapan ekstensi abnormal 2
6) Tidak ada gerakan 1
Derajat kesadaran :
- Koma = GCS 3
Gangguan ringan ketangkasan gerakan jari-jari tangan dan kaki dapat dinilai
melalui tes yang dilakukan dengan cara menyuruh penderita membuka dan
10
menutup kancing bajunya. Kemudian melepas dan memakai sandalnya. Penilaian
suatu kelumpuhan.
3 : Mampu mengangkat tangan atau kaki, tetapi tidak mampu menahan gravitasi
5 : Kekuatan penuh
Sedangkan refleks patologis yang dapat dibangkitkan di kaki ialah refleks Babinsky,
Saraf kranial adalah 12 pasang saraf pada manusia yang keluar melalui otak,
berbeda dari saraf spinal yang keluar melalui sumsum tulang belakang.Saraf kranial
merupakan bagian dari sistem saraf sadar. Dari 12 pasang saraf, 3 pasang memiliki
jenis sensori (saraf I, II, VIII), 5 pasang jenis motorik (saraf III, IV, VI, XI, XII)
11
Tabel 3.4. Gangguan nervus kranialis.12
Nervus kranial Fungsi Penemuan klinis dengan lesi
XI: Asesorius Spinal Fonasi; gerakan kepala; leher Suara parau; kelemahan otot
dan bahu kepala, leher dan bahu
XII: Hipoglosus Gerak lidah Kelemahan dan pelayuan
lidah
12
3. Pemeriksaan Penunjang
a. CT scan
Intracranial Hemorrhage
Pada intracranial hemorrhage, pada fase akut (<24 jam), gambaran radiologi
akan terlihat hyperdense, sedangkan jika fase subakut (24 jam – 5 hari) akan terlihat
isodense, sedangkan pada fase kronik (>5hari) akan terlihat gambaran hypodense.
b. Pemeriksaan MRI
Pemeriksaan ini sangat baik untuk menentukan adanya lesi di batang otak
(sangat sensitif). Secara umum juga lebih sensitif dibandingkan CT scan, terutama
13
c. Pemeriksaan Angiografi
d. Pemeriksaan USG
Pemeriksaan ini untuk menilai pembuluh darah intra dan ekstra kranial,
Pemeriksaan ini digunakan apabila tidak ada CT scan atau MRI. Pada stroke
kimia darah (ureum, kreatinin, asam urat, profil lipid, gula darah, fungsi hepar),
1. Stadium Hiperakut
jaringan otak tidak meluas. Pada stadium ini, pasien diberi oksigen 2 L/menit dan
cairan kristaloid/koloid; hindari pemberian cairan dekstrosa atau salin dalam H2O.
14
Dilakukan pemeriksaan CT scan otak, elektrokardiografi, foto toraks, darah perifer
lengkap dan jumlah trombosit, protrombin time/INR, APTT, glukosa darah, kimia
darah (termasuk elektrolit); jika hipoksia, dilakukan analisis gas darah. Tindakan
lain di Instalasi Rawat Darurat adalah memberikan dukungan mental kepada pasien
2. Stadium Akut
premorbid atau 15-20% bila tekanan sistolik >180 mmHg, diastolik >120 mmHg,
MAP >130 mmHg, dan volume hematoma bertambah. Bila terdapat gagal jantung,
iv 0,625-1.25 mg per 6 jam; kaptopril 3 kali 6,25-25 mg per oral. Jika didapatkan
tanda tekanan intracranial meningkat, posisi kepala dinaikkan 30º, posisi kepala dan
dada di satu bidang, pemberian manitol (lihat penanganan stroke infark), dan
Terapi umum:
a. Letakkan kepala pasien pada posisi 30º, kepala dan dada pada satu bidang; ubah
posisi tidur setiap 2 jam; mobilisasi dimulai bertahap bila hemodinamik sudah
stabil. Selanjutnya, bebaskan jalan napas, beri oksigen 1-2 liter/menit sampai
didapatkan hasil analisis gas darah. Jika perlu, dilakukan intubasi. Demam
15
diatasi dengan kompres dan antipiretik, kemudian dicari penyebabnya; jika
dan elektrolit sesuai kebutuhan, hindari cairan mengandung glukosa atau salin
isotonik. Pemberian nutrisi per oral hanya jika fungsi menelannya baik; jika
selang nasogastrik. 13
c. Kadar gula darah >150 mg% harus dikoreksi sampai batas gula darah sewaktu
150 mg% dengan insulin drip intravena kontinu selama 2-3 hari pertama.
Hipoglikemia (kadar gula darah < 60 mg% atau < 80 mg% dengan gejala)
diatasi segera dengan dekstrosa 40% iv sampai kembali normal dan harus dicari
penyebabnya. 13
d. Nyeri kepala atau mual dan muntah diatasi dengan pemberian obat-obatan
sesuai gejala. Tekanan darah tidak perlu segera diturunkan, kecuali bila
tekanan sistolik ≥220 mmHg, diastolik ≥120 mmHg, Mean Arterial Blood
Pressure (MAP) ≥ 130 mmHg (pada 2 kali pengukuran dengan selang waktu
30 menit), atau didapatkan infark miokard akut, gagal jantung kongestif serta
gagal ginjal. Penurunan tekanan darah maksimal adalah 20%, dan obat yang
ACE, atau antagonis kalsium. Jika terjadi hipotensi, yaitu tekanan sistolik ≤ 90
mm Hg, diastolik ≤70 mmHg, diberi NaCl 0,9% 250 mL selama 1 jam,
dilanjutkan 500 mL selama 4 jam dan 500 mL selama 8 jam atau sampai
hipotensi dapat diatasi. Jika belum terkoreksi, yaitu tekanan darah sistolik
16
masih < 90 mmHg, dapat diberi dopamin 2-20 μg/kg/menit sampai tekanan
0,25 sampai 1 g/ kgBB per 30 menit, dan jika dicurigai fenomena rebound atau
furosemid.14
Terapi khusus
blocker, Diuretik), Manajemen gula darah (insulin, anti diabetik oral), Pencegahan
Neuroprotektor digunakan untuk melindungi otak dari kerusakan akibat dari stroke.
Neuroprotektor yang digunakan pada kasus stroke akan menghambat dari peristiwa
molekular patologis yang terjad akibat adanya iskemia maupun hematoma yang
17
kemudian akan menyebabkan masuknya kalsium, aktivasi dari molekul radikal
bebas, dan kematian dari sel-sel otak.14 Tindakan bedah mempertimbangkan usia
dan letak perdarahan yaitu pada pasien yang kondisinya kian memburuk dengan
mL dengan tanda peningkatan tekanan intrakranial akut dan ancaman herniasi. Pada
malformation, AVM).12,7,14
3. Stadium Subakut
Tindakan medis dapat berupa terapi kognitif, tingkah laku, menelan, terapi
wicara, dan bladder training (termasuk terapi fisik). Mengingat perjalanan penyakit
b. Penatalaksanaan komplikasi,
d. Prevensi sekunder
18
7. Prognosis
menjadikan ICH salah satu peristiwa medis akut yang paling mematikan, mirip
dengan SAH dalam mortalitas akut. Pada 1 tahun mortalitasnya adalah 50%
Setengah dari kematian terjadi dalam 48 hingga 72 jam pertama dan terkait dengan
komplikasi neurologis (yaitu massa efek, peningkatan ICP, dan / atau herniasi);
kematian yang terjadi setelah bulan pertama biasanya merupakan akibat dari
komplikasi medis (yaitu, emboli paru, pneumonia aspirasi, sepsis, dan perdarahan
intraventrikular (IVH), dan lokasi infratentorial. Ini dan karakteristik klinis lainnya
kematian dan hasil fungsional. Fitur yang dipertahankan dalam sebagian besar
model termasuk defisit klinis (ditentukan oleh skor GCS dan NIHSS), volume dan
lokasi hematoma, adanya IVH, dan usia pasien.57 Metode prognostikasi awal saat
Perawatan penuh agresif segera setelah onset ICH danPenundaan permintaan DNR
terbaru.15
19
B. Epilepsi
1. Definisi
cetusan pada jaringan saraf yang berlebihan dan tidak beraturan. Cetusan tersebut
dapat melibatkan sebagian kecil otak (serangan parsial atau fokal) atau yang lebih
Definisi epilepsi menurut PERDOSSI pada tahun 2016 adalah suatu penyakit
besar berulang (misalkan bangkitan dengan riwayat stroke, infeksi otak, cedera
pada EEG).16
2. Epidemiologi
dibawah 2 tahun dan usia lanjut di atas 65 tahun. Umumnya paling tinggi pada
umur 20 tahun pertama, menurun sampai umur 50 tahun, dan meningkat lagi
20
3. Etiologi
B. Gangguan biokimia atau metabolik dan lesi mikroskopik di otak akibat trauma
C. Pada bayi penyebab paling sering adalah asfiksia atau hipoksia waktu lahir,
D. Pada anak-anak dan remaja mayoritas adalah epilepsi idiopatik, pada umur
trauma, cedera kepala, tumor otak (usia 30-50 th), penyakit serebro vaskuler
(> 50 th)
Epilepsi simptomatik: disebabkan oleh kelainan / lesi pada susunan saraf pusat.
Misalnya : post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP), gangguan
epilepsi mioklonik.
21
pada usia >3tahun. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan alat-alat
4. Patofisiologi
Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan
dari pada proses inhibisi. Perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi, pergeseran
sinkronisasi neuron yang penting dalam inisiasi dan perambatan aktivitas serangan
neuron.19
Lima buah elemen fisiologi sel dari neuron–neuron tertentu pada korteks serebri
aktivitas kejang.
tempat paling rawan untuk terkena aktivitas kejang. Hal ini menghasilkan daerah-
daerah potensial luas, yang memicu aktifitas penyebaran nonsinaptik dan aktifitas
elektrik.
22
4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk juga merekrut
5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor rekuren
aksi secara tepat dan berulang-ulang. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak
apabila cetusan listrik dari sejumlah besar neuron abnormal muncul secara
bergantung pada daerah dan fungsi otak yang terkena dan terlibat. Dengan demikian
bervariasi.19
5. Gejala
Serangan dimana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami gejala berupa
Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak dapat di
jelaskan.
Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada bagian
tubuh tertentu.
Halusinasi
23
Kejang parsial (psikomotor) kompleks
Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya bertahanlebih
lama. Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar tidak akan
Gejalanya meliputi:
Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling dalam
Merupakan tipe kejang yang paling sering, di mana terdapat dua tahap:
tahap tonik atau kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan jenis
ini pasien dapat hanya mengalami tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis ini
Aura merupakan perasaan yang dialami sebelum serangan dapat berupa : merasa
keseimbangan dan jatuh karena otot yang menegang, berteriak tanpa alasan yang
jelas, menggigit pipi bagian dalam atau lidah. Pada saat fase klonik : terjadi
kontraksi otot yang berulang dan tidak terkontrol, mengompol atau buang air besar
24
tidak dapat di kontrol, pasien tampak sangat pucat, pasien mungkin akan merasa
6. Diagnosis
dengan hasil pemeriksaan EEG dan radiologis. Namun, bila melihat serangan yang
a. Anamnesis
Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah
serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat
25
tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis,
- Lama serangan
- Frekuensi serangan
- Faktor pencetus
Pemeriksaan umum dan neurologis dilakukan seperti biasa. Pada kulit dicari
dan adenoma seboseum pada muka pada sklerosi tuberose. Hemangioma pada
c. Pemeriksaan penunjang
26
timbulnya kejang ialah keadaan hipoglikemia, hypokalemia, hipomagnesia,
- Pemeriksaan radiologis
yang dapat memastikan diagnosis epilepsi. Gelombang yang ditemukan pada EEG
Untuk diagnosis bila diperlukan uji coba yang dapat menunjukkan naik
turunnya kesadaran.
- Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi
abnormal.
27
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak.
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya
gambaran EEG yang khas, misalnya spasme infantile mempunyai gambaran EEG
hipsaritmia, epilepsi petit mal gambaran EEG nya gelombang paku ombak 3 siklus
per detik (3 spd), epilepsi mioklonik mempunyai gambaran EEG gelombang paku
/ tajam / lambat dan paku majemuk yang timbul secara serentak (sinkron).
28
BAB III
DATA PASIEN
I. DATA PRIBADI
Umur : 36 Tahun
Bangsa : Indonesia
Suku : Banjar
Agama : Islam
Pekerjaan : IRT
Status : Menikah
II. ANAMNESIS
Perjalanan Penyakit : Pasien datang ke IGD RSUD Ulin Banjarmasin pukul 05.15
dengan keluhan kejang dan penurunan kesadaran. Kejang dialami sejak pukul 12
malam. Ada periode pasien sadar diantara kejang. Dari pukul 12 malam hingga
pukul 05.45 ini pasien mengalami kejang ± 5 kali. Pada pukul 05.45 pasien kejang,
bibir tergigit hingga berdarah. Selama kejang, kondisi mata, tangan kanan kaki
kanan dalam posisi ke atas, bagian tubuh sebelah kiri kaku, banyak keluar air liur,
29
selama kejang juga berkeringat. Gerakan kejang adalah kaku dan gemetaran. 1 kali
kejang terakhir pasien tidak sadar lagi. Dari keterangan keluarga pasien
sebelumnya, pasien memiliki riwayat stroke sejak 1 tahun yang lalu (bulan
Ramadhan 2018). Stroke dialami pada saat pasien dalam keadaan hamil anak ke 3
pada saat itu usia kehamilan 6 bulan. Setelah melahirkan anaknya secara sesar atau
operasi terminasi (saran dari dokter kandungan) pada usia kehamilan 7 bulan karena
adanya darah tinggi dan kejang selama hamil untuk menyelamatkan pasien. Stroke
Keluar dari RSUD Ulin setelah melahirkan, pasien normal bisa berbicara, makan,
minum, duduk dibantu. Keluarga pasien mengaku semangat pasien turun dan pasien
30
Kepala/Leher :
Thoraks
Abdomen : Tidak teraba Hepar, lien dan massa, perkusi timpani, bising
usus normal.
Ekstremitas : Tidak ada atropi kanan kiri, ada edema lengan atas
Penyerapan : baik
Kemauan : baik
Psikomotor : aktif
V. STATUS NEUROLOGIS
A.Kesan Umum:
31
Scanning : tidak ada
Kepala:
Besar : normal
Wajah:
B. Pemeriksaan Khusus
Kernig : (-)/(-)
Laseque : (-)/(-)
Bruzinski I : (-)/(-)
Bruzinski II : (-)/(-)
Bruzinski IV : (-)/(-)
32
2. Saraf Otak
Kanan Kiri
N. Olfaktorius
N. Optikus
Kanan Kiri
Pupil
33
Lebar : 3mm 3mm
N. Trigeminus
Cabang Sensorik
Refleks kornea :+ +
N. Facialis
Waktu Diam
Waktu Gerak
34
Mengerutkan dahi : Simetris
Bersiul : bisa
N. Vestibulocochlearis
Vestibuler
Bagian Motorik:
Bagian Sensorik:
35
Pengecapan 1/3 belakakang lidah : dalam batas normal
N. Accesorius
Kanan Kiri
N. Hypoglossus
3. Sistem Motorik
Kekuatan Otot
+3 0
- Kekuatan motorik ekstremitas :
+3 0
- Tubuh :
36
Istirahat : Normal
- Lengan (Kanan/Kiri)
Fleksi sendi pergelangan tangan : dalam batas normal / dalam batas normal
Ekstensi sendi pergelangan tangan : dalam batas normal / dalam batas normal
- Tungkai (Kanan/Kiri)
Besar Otot :
Atrofi : (-)/(-)
Palpasi Otot :
37
Kontraktur : tidak ada
Konsistensi : normal
Tonus Otot :
Lengan Tungkai
Hipotoni - - - -
Hipertoni + - + -
Spastik - - - -
Rigid - - - -
Rebound - - - -
Gerakan Involunter
Chorea : -/-
Athetose : -/-
Balismus : -/-
Fasikulasi : -/-
Myokimia : -/-
Koordinasi :
38
3. Sistem Sensorik
Rasa Eksteroseptik
Rasa Proprioseptik
Rasa Enteroseptik
Rasa Kombinasi
Fungsi luhur
39
Membedakan kanan-kiri : dalam batas normal
5. Refleks-refleks
Refleks Patella : (+ / +)
Refleks Patologis :
Tungkai
Lengan
Hoffmann-Tromner : -/+
Snout : -
Sucking : -
Palmomental : -
Miksi : Normal
Defekasi : Normal
40
Sekresi keringat : Normal
Salivasi : Normal
7. Columna Vertebralis
Kelainan Lokal
Keterangan :
41
Hasil Pemeriksaan Penunjang
42
43
Pemeriksaan EKG (28 Mei 2019)
44
Pemeriksaan CT Scan (28 Mei 2019)
45
Pemeriksaan Foto thorax (28 Mei 2019)
46
C. RESUME PENYAKIT
1. ANAMNESIS
Pasien datang ke IGD RSUD Ulin Banjarmasin pukul 05.15 dengan keluhan
kejang dan penurunan kesadaran. Kejang dialami sejak pukul 12 malam. Ada
periode pasien sadar diantara kejang. Dari pukul 12 malam hingga pukul 05.45 ini
pasien mengalami kejang ± 5 kali. Pada pukul 05.45 pasien kejang, bibir tergigit
hingga berdarah. Selama kejang, kondisi mata, tangan kanan kaki kanan dalam
posisi ke atas, bagian tubuh sebelah kiri kaku, banyak keluar air liur, selama kejang
juga berkeringat. Gerakan kejang adalah kaku dan gemetaran. 1 kali kejang
terakhir pasien tidak sadar lagi. Dari keterangan keluarga pasien sebelumnya,
pasien memiliki riwayat stroke sejak 1 tahun yang lalu (bulan Ramadhan 2018).
Stroke dialami pada saat pasien dalam keadaan hamil anak ke 3 pada saat itu usia
kehamilan 6 bulan. Setelah melahirkan anaknya secara sesar atau operasi terminasi
(saran dari dokter kandungan) pada usia kehamilan 7 bulan karena adanya darah
tinggi dan kejang selama hamil untuk menyelamatkan pasien. Stroke terjadi setelah
anaknya diangkat, mengakibatkan kelemahan tubuh sebelah kiri. Keluar dari RSUD
Ulin setelah melahirkan, pasien normal bisa berbicara, makan, minum, duduk
dibantu. Keluarga pasien mengaku semangat pasien turun dan pasien tidak
melakukan fisioterapi.
2. PEMERIKSAAN FISIK
47
Nadi : 89 Kali/Menit, Reguler, Kuat angkat
Respirasi : 16 kali/menit
Suhu : 36,5˚C
SpO2 : 98%
Status Neurologis
Nervus Cranialis :
m.sternocleidomastoideus dan
m. trapezius (+)
Motorik :
+3 0
+3 0
48
Sensibilitas :
+ +
+ +
Otonom : normal
Reflex Fisiologis :
Biceps : +2 | +3
Triceps : +2 | +3
Patella : +1 | +1
Achilles : +2 | +1
D. DIAGNOSIS
E. TERAPI
IVFD NS 20 tpm
49
Inj Ceftriaxone 2x1gram
PO
Clobazam 2x10 mg
Amlodipine 1x10mg
Haloperidol 2x0,5mg
Candesartan 1x8mg
F. PROGNOSIS
50
BAB IV
PEMBAHASAN
pembenturan di daerah kepala. Hal tersebut sesuai dengan definisi dari stroke, yaitu
suatu tanda klinis gangguan fungsi otak baik secara focal atau global yang
berkembang dengan cepat atau secara mendadak, berlangsung lebih dari 24 jam
atau menyebabkan kematian tanpa penyebab jelas selain berasal dari pembuluh
darah.1 Berdasarkan algoritma gajah mada (gambar 4.1), kasus ini termasuk stroke
perdarahan karena terdapat satu dari tiga gejala (penurunan kesadaran, nyeri kepala,
refleks babinski) yaitu penurunan kesadaran pada saat pasien datang di IGD.
51
Pada pemeriksaan fisik didapatkan reflex kedua pupil dalam batas normal. Pada
achilles(+2/+1), dan lutut(+1). Motorik (+3) pada eksterimitas superior dan inferior
kanan dapat melawan tahanan, sensibilitas normal, eutonus, gerak bebas terbatas,
dan tidak ada atoni. Pada ekstremitas superior dan inferior kiri didapatkan motorik
(0), tidak ada kontraksi, sensibilitas normal, hipertonus, gerak terbatas, dan tidak
ada atoni. Refleks patologi tidak ada. Reflek meningeal tidak ada. Nervus cranialis
didapatkan parase N.VII sinistra tipe sentral, lipatan nasolabial turun ke arah kiri,
tetapi pasien masih dapat mengangkat kedua alis, mengerutkan dahi, dan menutup
mata secara bersamaan. Hal ini berarti terjadi kelumpuhan nervus facialis sentral,
dan spesifisitas yang tinggi. Pemeriksaan CT scan pada Ny.F didapatkan lesi
berupa ranitidine untuk mencegah terjadinya stress ulcer pada pasien stroke.
Pada pasien ini tidak dilakukan tindakan operasi karena tidak terdapat
52
kompresi batang otak. AHA/ASA 2015 merekomendasikan evakuasi perdarahan
Outcome predictioin, yang paling sering digunakan adalah Skala Skor ICH.
Komponen dari ICH Skor adalah usia pasien, volume perdarahan, lokasi dan ada
tidaknya IVH (Tabel 4.1). Setiap peningkatan skor ICH sejalan dengan peningkatan
risiko mortalitas selama 30 hari dan kemungkinan penurunan pada fungsi jangka
Keluhan pasien ketika datang ke IGD adalah kejang. Kejang dialami sejak pukul
12 malam. Ada periode pasien sadar diantara kejang. Dari pukul 12 malam hingga
pukul 05.45 ini pasien mengalami kejang ± 5 kali. Pada pukul 05.45 pasien kejang,
bibir tergigit hingga berdarah. Selama kejang, kondisi mata, tangan kanan kaki
kanan dalam posisi ke atas, bagian tubuh sebelah kiri kaku, banyak keluar air liur,
selama kejang juga berkeringat. Gerakan kejang adalah kaku dan gemetaran. 1 kali
kejang terakhir pasien tidak sadar lagi. Dari keterangan keluarga pasien
sebelumnya, pasien memiliki riwayat stroke sejak 1 tahun yang lalu (bulan
53
Ramadhan 2018). Stroke dialami pada saat pasien dalam keadaan hamil anak ke 3
pada saat itu usia kehamilan 6 bulan. Setelah melahirkan anaknya secara sesar atau
operasi terminasi (saran dari dokter kandungan) pada usia kehamilan 7 bulan karena
adanya darah tinggi dan kejang selama hamil untuk menyelamatkan pasien.
Hal tersebut sesuai dengan definisi dari epilepsi, yaitu minimal 2 bangkitan tanpa
provokasi/bangkitan reflex dengan jarak antar bangkitan lebih dari 24 jam dan satu
(misalkan bangkitan dengan riwayat stroke, infeksi otak, cedera kepala, tumor otak,
Jenis epilepsi pada kasus ini adalah epilepsi simtomatik. Pada epilepsi
kepala, infeksi SSP, kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran
Pemeriksaan EEG ada tiga, yaitu EEG rutin, EEG deprivasi tidur, dan EEG
monitoring (dapat dilakukan 24 jam untuk menemukan EEG seizure dan clinical
seizure).16 EEG normal tidak menyingkirkan diagnosis epilepsi. MRI dan CT-scan
tumor ganas dan malformasi vascular.3 MRI berguna bila penyebab epilepsi berupa
54
kejang namun pada hasil lab masih dalam batas normal. Pemeriksaan LCS dapat
Terapi pendahuluan adalah pemberian satu obat anti epilepsi (OAE) pilihan utama
sesuai bentuk bangkitan/kejang epileptik dari dosis awal sampai tercapainya dosis
rumatan. Tujuannya adalah agar pasien bebas bangkitan dan tanpa memiliki efek
samping obat anti epilepsi. Bagi dokter umum, bila terdapat adanya keraguan
mengenai bentuk atau tipe bangkitan dari kejang pasien, dan ragu untuk memilih
obat anti epilepsinya, maka dapat segera dirujuk ke dokter spesialis saraf.16
tujuan pengobatan16
OAE pilihan utama sesuai dengan jenis kejang/bangkitan. Dosis rumatan OAE juga
dinaikkan/dititrasi bertahap sampai dosis efektif tercapai. Dosis efektif adalah dosis
berdasarkan bentuk bangkitan, dosisnya, dan efek samping yang sering terjadi:
55
Tabel 1. Pemilihan OAE berdasarkan bentuk bangkitan.16
Bangkitan
Bangkitan
Bangkitan Umum Bangkitan Bangkitan
OAE Umum
fokal Tonik Lena Mioklonik
Sekunder
Klonik
Asam Valproat B B C A D
Carbamazepin A A C
Clonazepam D
Fenobarbital C C C
Fenitoin A A C
Gabapentin C C D
Lamotrigin C C C A
Levetiracetam A A D
Oxcarbazepin C C C
Topiramat C C C D
Zonisamid A A
Keterangan: A. Efektif sebagai monoterapi; B. Sangat mungkin efektif sebagai
monoterapi; C. Mungkin efektif sebagai monoterapi; D. Berpotensi untuk efektif
sebagai monoterapi – tidak dapat digunakan
Pasien pada kasus ini memiliki epilepsi dengan bangkitan kejang tipe tonik,
maka semua obat pada tabel di atas dapat digunakan sebagai modalitas terapi
Waktu
Dosis
Jumlah dosis tercapainya
OAE Titrasi OAE Rumatan
per hari steady state
(mg/hari)
(hari)
Carbamazepine Mulai 100-200 400 – 1200 3x 2–7
mg/hr ↑ 100
mg bila perlu
tiap seminggu
56
mg setiap 1 – 2
hari
57
Tabel 3. Efek samping OAE yang sering terjadi.16
58
Lamotrigin SJS, gangguan hepar akut, Ruam, dizziness, tremor,
kegagalan multi organ, ataksia, diplopia, pandangan
teratogenic kabur, nyeri kepala, mual,
muntah, insomnia,
trombositopenia, nystagmus,
truncal ataxia, tics
membran neuron dan memperpanjang fase inaktivasi dari kanal ini sehingga
dimetabolisme di hati oleh CYP2C9 dan memiliki indeks terapi yang sempit,
sehingga perlu untuk memonitor penggunaan obat ini. Dosis letal Fenitoin dapat
59
Pengobatan pulang untuk pasien yang dapat dipilih sebagai first line
karbamazepin, fenobarbital, fenitoin, dan asam valproat. Sediaan per oral keempat
obat ini tersedia di fasilitas tingkat primer, sekunder, dan tertier pada formularium
Obat pulang pilihan yang dapat dipertimbangkan dari 4 obat di atas untuk kasus
ini adalah asam valproat. Asam valproat digunakan terutama untuk terapi epilepsi
tonik-klonik umum, khususnya yang primer. Cara kerja obat ini adalah dengan
konduksi membran untuk kalium. Efek antikonvulsi yang lain juga didapatkan dari
obat ini adalah peningkatan kadar neurotransmiter inhibitorik GABA pada SSP.
Pengguna obat ini dapat mengalami gangguan saluran cerna berupa anoreksia,
mual, dan muntah pada 16% kasus. Dosis awal titrasi asam valproat dimulai dari
500 mg per hari dan bila perlu dapat dinaikkan 250 mg setelah 7 hari. Rentang dosis
rumatan obat ini adalah 500 - 2000 mg dengan maksimal 3000 mg per hari, dibagi
menjadi 2 - 3 dosis.25
60
BAB V
PENUTUP
Telah dilaporkan sebuah kasus Ny. F, umur 36 tahun yang datang dengan
merupakan serangan kedua. Pasien masuk RS tanggal 28 Mei 2019. Pasien pulang
dari rumah sakit tanggal 7 Juni 2019 dengan keterangan diizinkan dan menjalani
61
DAFTAR PUSAKA
1. Sacco, Ralph L, et al. An update definition of stroke for the 21st century: A
statement for healthcare professionals from the American Heart Association/
American Stroke Assocation. AHA/ASA Expert Consensus Document.
2013;1(1):2064-89.
5. Dinata CA, Safrita Y, Sastri S. Artikel Penelitian Gambaran Faktor Risiko dan
Tipe Stroke pada Pasien Rawat Inap di Bagian Penyakit Dalam RSUD
Kabupaten Solok Selatan Periode 1 Januari 2010 - 31 Juni 2012. 2013;2(2):57–
61.
8. An SJ, Kim TJ, Yoon B. Epidemiology , Risk Factors , and Clinical Features
of Intracerebral Hemorrhage : An Update. 2017;19(1):3–10.
12. Swartz, MH. 2002. Buku Ajar Diagnostik Fisik. Jakarta : EGC.
62
14. Jordan J, et al. Stroke pathophysiology: management challenges and new
treatment advances. Journal of Physiology and Biochemical. 2007;63(3):261-
78.
16. Kelompok Studi Epilepsi. Pedoman tatalaksana epilepsi untuk dokter umum.
Edisi pertama. Surabaya: Airlangga Press. 2016: 10 - 9.
17. Epilepsy Foundation. Statistic of Epilepsy. Diakses dari 9 Juni 2019 dari
http://www.epilepsyfoundation.org/about/statistics.cfm.
18. Epilepsi Indonesia. Epilepsi pada Anak. Diakses tanggal 9 Juni 2019 dari
http://epilepsiindonesia.com/pengobatan/epilepsi-dan-anak/pahami-gejala-
epilepsi-pada-anak-2
19. Silbernagl S, Lang F. Teks & Atlas Berwarna patofisiologi. Edisi 1. Surabaya:
EGC. 2006: 219-36.
20. Shorvon SD. Handbook of Epilepsy Treatment Forms, Causes and Therapy
in Children and Adults. Edisi 2. America: Blackwell Publishing Ltd. 2005.
21. Aminoff MJ, David AG, Simon PR. Clinical Neurology. Edisi 9. New York:
McGraw-Hill. 2015: 342-68.
24. Hemphill JC, et al. The ICH Score: A simple, reliable grading scale for
intracerebral hemorrhage. AHA Journals. 2001;32:891-97.
63