Anda di halaman 1dari 12

1

BUTA SENJA
Definisi
Buta senja atau rabun senja (nyctalopia) adalah suatu kondisi dimana seseorang
kesulitan atau tidak dapat melihat dalam cahaya yang relatif kurang, atau dengan kata lain
merupakan sensasi subjektif terhadap penurunan penglihatan pada kondisi minim cahaya. Hal
ini merupakan gejala dari beberapa penyakit mata. Nyctalopia mungkin terdapat sejak lahir
atau diakibatkan oleh cedera atau gizi buruk. Hal ini dapat digambarkan sebagai keadaan yang
tidak dapat beradaptasi dengan kegelapan (Chia, 2006)
Rabun senja memberikan dampak yang merugikan bagi manusia karena menyebabkan
manusia sulit melihat pada keadaan lingkungan yang kurang cahaya. Apabila tetap dibiarkan,
rabun senja akan menjadi sebuah kelainan mata yang pada akhirnya menyebabkan kebutaan
(Sari et al., 2010)

Anatomi
Retina adalah lembaran jaringan saraf berlapis yang tipis dan semitransparan yang
melapisi bagian dalam 2/3 posterior dinding bola mata. Retina membentang anterior hampir
sejauh corpus ciliare dan berakhir pada ora serrate dengan tepi yang tidak rata. Pada orang
dewasa, ora serrate berada sekitar 6,5 mm di belakang garis Schwalbe pada sisi temporal dan
5,7 mm pada sisi nasal. Permukaan luar retina sensoris bertumpuk dengan lapisan epitel
berpigmen retina sehingga juga berhubungan dengan membrane Bruch, koroid dan sclera. Di
sebagian besar tempat, retina dan epitel berpigmen retina mudah terpisah hingga terbentuk
ruang subretina, seperti yang terjadi pada ablasio retina. Namun, pada diskus optikus dan ora
serrate, retina dan epitel pigmen retina saling melekat kuat sehingga perluasan cairan
subretina pada ablasio retina dapat dibatasi. Hal ini berlawanan dengan ruang subkoroid yang
dapat terbentuk antara koroid dan sclera, yang meluas ke taji sclera. Dengan demikian, ablasi
koroid akan meluas melampaui ora serrate, dibawah pars plana dan pars plicata. Lapisan-
lapisan epitel pada permukaan posterior iris merupakan perluasan retina dan epitel pigmen
retina ke anterior. Permukaan dalam retina berhadapan dengan vitreus (Vaughan, 2015).
Lapisan-lapisan retina mulai dari dalam ke luar, sebagai berikut (Vaughan, 2015).
1. Membrane limitans interna
2. Lapisan serat saraf, yang mengandung akson-akson sel ganglion yang berjalan menuju
nervus optikus
3. Lapisan sel ganglion
4. Lapisan pleksiform dalam, yang mengandung sambungan sel ganglion dengan sel
amakrin dan sel bipolar
2

5. Lapisan inti dalam badan-badan sel bipolar, amakrin dan horizontal


6. Lapisan pleksiform luar, yang mengandung sambungan sel bipolar dan sel horizontal
dengan fotoreseptor
7. Lapisan inti luar sel fotoreseptor
8. Membrane limitans eksterna
9. Lapisan fotoreseptor segmen dalam dan luar, batang dan kerucut

Gambar lapisan retina (Kurana, 2007).

Retina memiliki tebal 0,1 mm pada ora serrate dan 0,56 mm pada kutub posterior.
Ditengah tengah retina posterior terdapat macula berdiameter 5,5 6 mm, yang secara klinis
dinyatakan sebagai daerah yang dibatasi oleh cabang cabang pembuluh darah retina
temporal. Daerah ini ditetapkan oleh ahli anatomi sebagai area sentralis, yang secara
histologis merupakan bagian retina yang ketebalan lapisan sel ganglionnya lebih dari satu
lapis. Macula lutea secara anatomis didefinisikan sebagai daerah berdiameter 3 mm yang
mengandung pigmen luteal kuning xantofil. Fovea berdiameter1,5mm ini merupakan zona
avascular retina pada angiografi fluoresens. Secara histologis, fovea ditandai sebagai daerah
yang mengalami penipisan lapisan inti luar tanpa disertai lapisan parenkim lain. Hal ini terjadi
karena akson-akson sel fotoreseptor berjalan miring (lapisan serabut Henle) dan lapisan-
lapisan retina yang lebih dekat dengan permukaan dalam retina lepas secara sentrifugal. Di
tengah macula, 4 mm lateral dari diskus optikus, terdapat foveola yang berdiameter 0,25 mm,
yang secara klinis tampak jelas dengan oftalmoskop sebagai cekungan yang menimbulkan
pantulan khusus. Foveola merupakan bagian retina yang paling tipis dan hanya mengandung
fotoreseptor kerucut (Vaughan, 2015).
Retina menerima darah dari dua sumber, yaitu koriokapilaris yang berada tepat di luar
membrane Bruch, yang memvaskularisasi 1/3 luar retina, termasuk lapisan pleksiform luar
dan lapisan inti luar, fotoreseptor, dan lapisan epitel pigmen retina; serta cabang cabang dari
3

arteria sentralis retina, yang memvaskularisasi 2/3 retina. Fovea seluruhnya divaskularisasi
oleh koriokapilaris dan rentan terhadap kerusakan yang tidak dapat diperbaiki bila retina
mengalami ablasi. Pembuluh darah retina mempunyai lapisan endotel yang tidak berlubang,
yang , membentuk sawar darah retina. Lapisan endotel pembuluh koroid berlubang-lubang.
Sawar darah retina sebelah luar terletak setinggi lapisan epitel pigmen retina (Vaughan, 2015).
Empat lapisan terluar retina yaitu, pigmen epitelium, lapisan sel kerucut dan sel
batang, membrane limitans eksterna dan lapisan nucleus luar mendapat nutrisi dari pembuluh
darah koroid pada enam lapisan dalam mendapat vaskularisasi dari arteri retina sentral yang
merupakan cabang dari arteri oftalmikus. Arteri sentral retina muncul dari tengah cup optic
disk dan terbagi menjadi empat cabang, yaitu pada superior nasal, superior temporal, inferior
nasal, dan inferior temporal tetapi tidak bernastomose dengan lainnya. Vena retina mengikuti
dari arteri retina (Vaughan, 2015; Khurana, 2007)

.
Gambar pembuluh darah retina (Sobotta, 2012)
4

Gambar pembuluh darah retina (Sobotta, 2012).

Gambar pembuluh darah retina (Sobotta, 2012)

Etiologi
5

Beberapa penyakit mata yang menyebabkan nyctalopia antara lain defisiensi vitamin
A, retinitis pigmentosa, congentital night blindness, sorsby fundus dystrophy, Myopia
patologis.
1. Defisiensi vitamin A
Kekurangan vitamin A dapat terjadi pada semua umur, akan tetapi
kekurangan yang disertai kelainan pada mata umumnya terdapat pada anak
berusia 6 bulan sampai 4 tahun. Biasanya pada anak ini juga terdapat kelainan
protein kalori malnutrisi. Kekurangan vitamin A juga dapat terjadi pada pasein
dengan gangguan atau penyakit gastrointestinal dan sirosihepatis. Tanda dan
gejala kekurangan vitamin A adalah sebagai berikut:
Bintik Bitot: daerah proliferasi sel abnormal dan keratinisasi skuamosa pada
konjungtiva dapat dilihat pada anak-anak dengan VAD
Kebutaan karena cedera retina: vitamin A memiliki peran besar dalam
phototransduction. Sel-sel kerucut yang bertanggaung jawab atas penyerapan
cahaya dan untuk penglihatan warna dalam cahaya terang. Sel-sel batang
mendeteksi gerakan dan bertanggung jawab untuk penglihatan malam. Dalam sel-
sel batang retina, semua trans retinol ini diubah menjadi 11-cis-retinol, yang
kemudian dicampurkan dengan protein yang terikat membran yang disebut opsin
untuk menghasilkan rhodopsin. Jenis reaksi yang serupa terjadi pada sel kerucut
dari retina untuk menghasilkan iodopsin pigmen visual menyerap cahaya pada
panjang gelombang berbeda, sesuai dengan jenis sel kerucut mereka tempati. VAD
menyebabkan kurangnya pigmenvisual, ini mengurangi penyerapan dari berbagai
panjang gelombang cahaya yang mengakibatkan kebutaan.
Ketidakmampuan beradaptasi dengan kegelapan
Nyctalopia terutama merupakan gejala awal terhadap kekurangan vitamin A, baik
oleh karena kekurangan serum vitamin A, gangguan sintesis retinol binding protein,
konsentrasi zink yang rendah ( berfungsi sebagai konversi retinol di retina) ataupun
karena gangguan pada penyimpanannya di hati (Anastakis., 2013;Taren, 2012).

2. Retinitis Pigmentosa.
Retinitis pigmentosa adalah sekelompok degenerasi retina herediter
heterogen yang ditandai oleh disfungsi fotoreseptor, disertai oleh hilangnya sel
secara progresif dan akhirnya atrofi beberapa lapisan retina.
6

Gejala utama retinitis pigmentpsa adalah rabun senja (nyctalopia) dan


penurunan lapang pandang perifer secara progresif perlahan sebagai akibat
meningkat dan menyatunya skotomacincin. Temuan funduskopi yang paling
khas adalah penyempitan arteriol-arteriol retina, discus optikus pucat seperti
lilin, bercak-bercak di epitel pigmen retina, dan penggumpalan pigmen retina
perifer yang disebut bone-spiculeformation
3. Congenital night blindness
Congenital night blindness merupakan kelainan mata yang
diturunkan,tidak progresif dan pada prinsipnya mengenai sel batang di
retina, menyebabkan gangguan pada penglihatan malam hari. Kadang
disertai myopia sedang dan myopia berat.
4. Sorsbys fundus dystrophy
Sorsby's Fundus distrofi merupakan penyakit langka pada makula yang
diturunkan yang dapat menyebabkan kehilangan penglihatan yang biasanya
dimulai pada usia sekitar 30 atau 40 tahun.
5. Myopia
Kelainan ini ditandai dengan pemanjangan progresif yang disertai
penipisan dan atrofi pada koroid dan epitel pigmen retina di macula. Sesuai
definisinya, myopia patologik merupakan myopia yang lebih besar dari myopia
8 dioptri.
6. Katarak kortikal perifer
Katarak kortikal adalah kekeruhan pada korteks lensa. Perubahan hidrasi
serat lensa menyebabkan terbentuknya celah-celah dalam pola radial di
sekeliling daerah ekuator. Katarak ini cenderung bilateral, tetapi sering
asimetrik. Derajat gangguan fungsi penglihatan bervariasi, tergantung seberapa
dekat derajat kekeruhan lensa dengan sumbu penglihatan. Katarak kortikal
biasanya terjadi bilateral namund apat juga terjadi secara asimeteris.
7. Penyakit Oguchi
Penyakit ini dicirikan oleh kebutaan malam stasioner bawaan dan kelainan
morfologi dan dungsional yang unik dari retina. Pasien mengalami kebutaan
pada malam hari yang nonprogressif sejak kecil muda dengan penglihatan
siang hari normal, namun mereka sering mengaku terdapat peningkatan
sensitivitas cahaya ketika mereka menatap lama di lingkungan gelap.
Penelitian mengenai adaptasi dalam gelap menunjukkan bahwa ambang batas
sel batang yang meningkat sangat tinggi mengalami penurunan beberapa jam
7

kemudian dan akhirnya menghasilkan pemulihan ke tingkat normal atau


mendekati normal.

Patofisiologi
Pada sel batang di retina mata terdapat rhodopsin atau visual purple (pigmen ungu)
yang mengandung vitamin A yang terikat pada protein. Pada mata normal, apabila
menerima cahaya, rodopsin akan terkonversi menjadi visual yellow dan kemudian
menjadi visual white. Konversi ini membutuhkan vitamin A. Regenerasi visual purple
hanya akan terjadi apabila tersedia vitamin A yang cukup. Tanpa regenerasi, maka
pengelihatan mata pada cahaya remang akan terganggu. Oleh karena itu, apabila
kekurangan vitamin A, maka mata akan sulit melihat ketika berada di lingkungan kurang
cahaya (Sari et al., 2010).
Patofisiologi kebutaan senja sangat kompleks, dan tergantung pada proses penyakit ya
ng mendasarinya. Mutasi gen warisan menghasilkan versi abnormal atau bahkan tidak ada
protein esensial untuk fungsi fotoreseptor [Syaing & Raupong, 2016].
Vitamin A adalah vitamin yang larut dalam lemak, diuraikan oleh enzim pankreas dan
diserap di bagian proksimal usus kecil. Kondisi yang mempengaruhi fungsi pankreas, sepe
rti cystic fibrosis dan pankreatitis kronis, atau kondisi lain yang mengarah pada pengurang
an kemampuan menyerap vitamin A, seperti operasi lambung atau Crohn disease, dapat m
enyebabkan defisiensi vitamin A sehingga nutrisi untuk rhodopsin (suatu zat peka cahaya;
tersusun atas protein dan vitamin A) pada sel batang tidak tercukupi. Rhodopsin akan teru
rai jika ada cahaya dan berperan dalam penglihatan di tempat gelap. Vitamin A (retinol) di
perlukan oleh fotoreseptor untuk memproduksi protein esensial yang terlibat dalam siklus
fototransduksi.Ketika kekurangan protein ini, disfungsi fotoreseptor dapat menyebabkan g
ejala rabun senja/kebutaan malam/nyctalopia [Syaing & Raupong, 2016].

Gejala Klinik
Menurut Sari et al (2010) ada beberapa gejala yang muncul pada penderita Nyctalopia
atau rabun senja, yaitu :
sulit melihat pada tempat dengan cahaya minimal,
kesulitan melihat saat mengemudi di sore hari,
selain itu, perasaan bahwa mata memerlukan waktu yang lebih lama untuk
penyesuaian terhadap perubahan dari terang ke gelap juga dapat merupakan gejala
8

rabun senja.

Diagnosis

Mendeteksi rabun senja dapat dilakukan dengan banyak cara. Cara yang dilakukan
untuk mendiagnosis rabun senja dikelompokkan menjadi dua, yaitu anamnesis dan
pemeriksaan secara biofisik (Syaing & Raupong, 2016).
Anamnesis merupakan diagnosis awal terhadap suatu penyakit. Sedangkan
pemeriksaan biofisik terdiri dari Tes adaptasi gelap secara sederhana, tes adaptasi gelap
dengan adaptometri gelap, dan pemeriksaan mata dengan Electroretinography (Syaing &
Raupong, 2016).
1. Anamnesis
Anamnesis adalah pemeriksaan yang biasanya dilakukan pertama kali pada
penderita dengan menanyakan riwayat penderita tentang keluhan penyakitnya
saat ini dan penyakitnya pada masa lampau. Pertanyaan yang diberikan
mengenai:
a. Identitas diri dan identitas orangtua
b. Keluhan pada penglihatannya (penglihatan pada suasana bayak cahaya atau
kurang cahaya)
c. Riwayat penyakit yang diderita sebelumnya, (apakah pernah menderita
diabetes, campak, penyakit infeksi, gangguan pada hati, dll)
d. Riwayat pola makan (apakah mengkonsumsi makanan bervitamin A atau
tidak)
2. Pemeriksaan Biofisik
a. Tes Adaptasi Gelap sederhana
Tes adaptasi gelap sederhana dilakukan dengan merancang sebuah ruangan
dengan suasana gelap (kurang cahaya). Dapat dilakukan beberapa cara untuk
mendiagnosa seseorag menderita rabun senja atau tidak. Salah satu cara yang
sederhana adalah dengan memerintahakan orang yang akan diperiksa tersebut
untuk melakukan sesuatu, misalnya mengambil barang berbentuk segitiga. Orang
yang penglihatan skotopikya normal masih dapat membedakan bentuk karena
masih dapat melihat dalam keadaan kurang cahaya setelah beradaptasi beberapa
waktu. Sedangkan orang yang menderita rabun senja sudah tidak dapat lagi
membedakan bentuk, karena penglihatannya akan hitam dan gelap sama sekali.
b. Tes Adaptasi Gelap dengan menggunakan alat Adaptometri Gelap
9

1) Tujuan : Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat fungsi sel batang retina pada
pasien yang mengeluh buta senja.
2) Dasar : Mengukur pertambahan sensitivitas visual pada mata dari tempat
terang ke gelap.
3) Alat : Adaptometer (Goldmann Weeker).
4) Teknik
a. Pasien disinari dengan sinar terang standar dari alat adaptometer selama 10
menit
b. Kemudian seluruh ampu digelapkan, pasien diminta fiksasi pada target
berwwarna merah daam alat Dalam waktu 30 detik dicari ambang rangsang
sinar pada satu daerah lapang pandangan dengan menaikkan intensitas
sinar dengan lens fillter yang dinaikkan perlahan-lahan sampai terlihat oleh
pasien
c. Dibuat grafik timbulnya rangsangan dibanding dengan waktu pada satu
daerah lapang pandangan.
5) Nilai
a) Grafik menurunnya ambang retina dibanding dengan waktu menunjukkan
telah terjadinya adaptasi kerucut
b) Gelombang menaik menunjukkan adaptasi gelap sudah terjadi atau
adaptasi batang yang sudah berfungsi di tempat gelap tersebut
c) Merupakan ambang kerucut yang terlihat sesudah 5 menit dan
d) Merupakan ambang batang yang terlihat sesudah 30 menit
c. Pemeriksaan dengan Electroretinography (ERG)
Electroretinography adalah alat yang digunakan untuk mengukur respons
elektrik dari fotoreseptor cahaya di mata, yaitu sel batang dan sel kerucut di retina.
Mata pasien akan dibuka dengan sebuah retraktor setelah mata dibuat mati rasa
dengan ditetesi cairan. Elektroda akan ditempatkan pada setiap mata dan elektroda
tersebut akan mengukur aktivitas listrik ke retina sebagai respons terhadap cahaya.
Petugas pemeriksa akan mengukur hasilnya saat berada di keadaan terang dan
dalam keadaan gelap.
10

Gambar Electroretinography
a) Tujuan
Pemeriksaan ERG berguna untuk mengetahui apakah gangguan fungsi retina
teretak pada sel kerucut dan batang atau pada sel bipolar.
b) Dasar
Elektrode yang diletakkan pada kornea memberi reaksi identik di permukaan
retina. Elektroda ini dihubungkan dengan alat pencatat. ERG terdiri atas
gelombang defleksi negatif kornea pada permukaan (gelombang a), disusul
gelombang tinggi yang merupakan defleksi positif kornea (gelombang b) dan
kemudian disusul gelombang lebih rendah yang merupakan respons positif
yang panjang (gelombang c). Gelombang a berasal dari fotoreseptor retina,
gelombang b berasal dari sel bipolar, terutama sel muller, dan gelombang c
berasal dari sel pigmen epitel retina.
c) Teknik
1) Diberikan anastesi lokal pada mata yang akan diperiksa
2) Lensa kontak dengan eektrode dipasang pada mata tersebut
3) Elektroda diletakkan di dahi dan di daun telinga
4) Elektroda di dahi berfungsi sebagai pola negative dari lensa kontak kornea
potensi listrik akan keluar, diteruskan pada alat preamplifier, dan layar
5) Dilakukan rangsangan
d) Nilai
1) Terdapat periode laten sebuah rangsangan sampai timbulnya
2) gelombang a kira-kira 0.2 m detik
3) Terdapat periode implisit antara rangsangan dengan puncak
4) gelombang b
5) Gelombang hilang pada gangguan retina (retinopati dan hipoksia)

6) Prosedur ini berguna untuk membedakan berbagai kelainan retina seperti


distrofi kerucut dan retinitis pigmentosa (Hasil dari pemeriksaan ERG pada
pasien buta senja : gelombang a menghilang dan pada keadaan lanjut
gelombang ERG menghilang sama sekali )
Penatalaksanaan
11

Pengobatan rabun senja tergantung pada penyebabnya. Jika karena kekurangan


vitamin A, maka harus diberikan vitamin A dalam jumlah yang cukup, baik berupa
suplemen maupun dari makanan sehari-hari. Jika karena katarak, maka katarak sebaiknya
dioperasi. Demikian pula dengan penyebab lainnya, diusahakan untuk diatasi (Sari et al.,
2010)
Adapun jenis tatalaksna terhadap rabun senja adalah (BMJ 2012) :
1. Asupan vitamin A
2. Memperbaiki diit mikronutrien
3. Terapi medikamentosa

Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul jika penyakit ini tidak ditangani dengan baik adalah (BMJ.,
2012)
12

DAFTAR PUSTAKA
1. Chia A. 2006. Electrophysiological Findings in Person with Nyctalopia, vol. 35, No. 12.
Singapore : Singapore National Eye Centre.
2. Sari I K, Herna, dkk. 2010. Patofisiologi Rabun senja. Jakarta : UI.
3. Anastasakis A, Plainis S,dkk. 2013. Xerophtalmia And Acquired Night Blindness In A
Patient With A History Og GIT Neoplasia And Normal Serum Vit. A Levels. European
Union.
4. Taren D. 2012. Historical and Practical Uses of Assesing Night Blindness as an Indicator
for Vit. A Deficiency. America : University of Arizona.
5. BMJ Editors. 2012. Night Blindness. UK: BMJ Publishing Group: Best Practice BMJ.
6. Riordan-Eva, Paul. 2015. Voughan & Asbury Oftalmologi Umum. Jakarta : Penerbit EGC
7. Khurana. AK. 2007. Comprehensive Ophtalmology. Ed 4. New Delhi : New Age
International (P) Limited.
8. F. Paulsen & J. Waschke.. 2012. Atlas Anatomi Manusia Sobotta. Ed 23(I). Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
9. Syaing ESF, Raupong I. 2016. Rabun Senja. Online. Diakses dari
https://www.scribd.com/document/329103559/RABUN-SENJA-referat [29 Maret 2017]

Anda mungkin juga menyukai