Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN KASUS

BUTA SENJA

Oleh :

RAHMA TSUMMA AKMALA

21501101088

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Nyctalopia atau rabun senja adalah suatu kondisi dimana seseorang kesulitan
atau tidak dapat melihat dalam cahaya yang relative kurang, atau dengan kata lain
merupakan sensasi subjektif terhadap penurunan penglihatan pada kondisi minim
cahaya. Hal ini merupakan gejala dari beberapa penyakit mata. Nyctalopia
mungkin terdapat sejak lahir atau diakibatkan oleh cedera atau gizi buruk. Hal ini
dapat digambarkan sebagai keadaan yang tidak dapat beradaptasi dengan
kegelapan (Chia, 2006)
Rabun senja memberikan dampak yang merugikan bagi manusia karena
menyebabkan manusia sulit melihat pada keadaan lingkungan yang kurang
cahaya. Apabila tetap dibiarkan, rabun senja akan menjadi sebuah kelainan mata
yang pada akhirnya menyebabkan kebutaan (Sari et al., 2010)
Rabun senja, yang sering disebut juga bagai rabun ayam atau Nyctalopia,
merupakan kelainan pada mata yang terjadi akibat kekurangan vitamin A.
Kurangnya kadar energy protein, kekurangan zinc, mutasi genetic, dan konsumsi
alcohol berlebihan juga memperparah keadaan penderita rabun senja. Rabun senja
disebabkan oleh rusaknya sel retina yang semestinya bekerja pada lingkungan
minim cahaya. Pada penderita rabun senja, sel pada retina dapat menjadi rusak
karena kekurangan vitamin A, namun dapat pula diakibatkan oleh mata miopia,
katarak, retinis pigmentosa, obat-obatan, atau bawaan sejak lahir. (Sari et al.,
2010)
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana penegakan diagnosa sesuai kasus?
1.2.2 Bagaimana penatalaksanaan pada kasus?
1.2.3 Bagaimana prognosis pada kasus?
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui cara penegakan diagnosa sesuai kasus
1.3.2 Untuk mengetahui penatalaksanaan sesuai kasus
1.3.3 Untuk mengetahui prognosis sesuai kasus
1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat bagi penulis :
Meningkatkan kemampuan penulis mengetahui penyakit pada retina
1.4.2 Manfaat bagi pembaca :
Makalah ini bisa menjadi acuan pembelajaran mengenai penyakit pada
retina
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Retina

Retina adalah lembaran jaringan saraf berlapis yang tipis dan semitransparan

yang melapisi bagian dalam 2/3 posterior dinding bola mata. Retina membentang

anterior hampir sejauh corpus ciliare dan berakhir pada ora serrate dengan tepi yang

tidak rata. Pada orang dewasa, ora serrate berada sekitar 6,5 mm di belakang garis

Schwalbe pada sisi temporal dan 5,7 mm pada sisi nasal. Permukaan luar retina

sensoris bertumpuk dengan lapisan epitel berpigmen retina sehingga juga

berhubungan dengan membrane Bruch, koroid dan sclera. Di sebagian besar tempat,

retina dan epitel berpigmen retina mudah terpisah hingga terbentuk ruang subretina,

seperti yang terjadi pada ablasio retina. Namun, pada diskus optikus dan ora serrate,

retina dan epitel pigmen retina saling melekat kuat sehingga perluasan cairan

subretina pada ablasio retina dapat dibatasi. Hal ini berlawanan dengan ruang

subkoroid yang dapat terbentuk antara koroid dan sclera, yang meluas ke taji sclera.

Dengan demikian, ablasi koroid akan meluas melampaui ora serrate, dibawah pars

plana dan pars plicata. Lapisan-lapisan epitel pada permukaan posterior iris

merupakan perluasan retina dan epitel pigmen retina ke anterior. Permukaan dalam

retina berhadapan dengan vitreus (Vaughan, 2015).

Lapisan-lapisan retina mulai dari dalam ke luar, sebagai berikut (Vaughan, 2015).

1. Membrane limitans interna


2. Lapisan serat saraf, yang mengandung akson-akson sel ganglion yang berjalan

menuju nervus optikus

3. Lapisan sel ganglion

4. Lapisan pleksiform dalam, yang mengandung sambungan sel ganglion dengan

sel amakrin dan sel bipolar

5. Lapisan inti dalam badan-badan sel bipolar, amakrin dan horizontal

6. Lapisan pleksiform luar, yang mengandung sambungan sel bipolar dan sel

horizontal dengan fotoreseptor

7. Lapisan inti luar sel fotoreseptor

8. Membrane limitans eksterna

9. Lapisan fotoreseptor segmen dalam dan luar, batang dan kerucut

Gambar lapisan retina (Kurana, 2007).

Retina memiliki tebal 0,1 mm pada ora serrate dan 0,56 mm pada kutub

posterior. Ditengah –tengah retina posterior terdapat macula berdiameter 5,5 – 6 mm,

yang secara klinis dinyatakan sebagai daerah yang dibatasi oleh cabang – cabang

pembuluh darah retina temporal. Daerah ini ditetapkan oleh ahli anatomi sebagai area

sentralis, yang secara histologis merupakan bagian retina yang ketebalan lapisan sel
ganglionnya lebih dari satu lapis. Macula lutea secara anatomis didefinisikan sebagai

daerah berdiameter 3 mm yang mengandung pigmen luteal kuning – xantofil. Fovea

berdiameter1,5mm ini merupakan zona avascular retina pada angiografi fluoresens.

Secara histologis, fovea ditandai sebagai daerah yang mengalami penipisan lapisan

inti luar tanpa disertai lapisan parenkim lain. Hal ini terjadi karena akson-akson sel

fotoreseptor berjalan miring (lapisan serabut Henle) dan lapisan-lapisan retina yang

lebih dekat dengan permukaan dalam retina lepas secara sentrifugal. Di tengah

macula, 4 mm lateral dari diskus optikus, terdapat foveola yang berdiameter 0,25 mm,

yang secara klinis tampak jelas dengan oftalmoskop sebagai cekungan yang

menimbulkan pantulan khusus. Foveola merupakan bagian retina yang paling tipis

dan hanya mengandung fotoreseptor kerucut (Vaughan, 2015).

Retina menerima darah dari dua sumber, yaitu koriokapilaris yang berada

tepat di luar membrane Bruch, yang memvaskularisasi 1/3 luar retina, termasuk

lapisan pleksiform luar dan lapisan inti luar, fotoreseptor, dan lapisan epitel pigmen

retina; serta cabang – cabang dari arteria sentralis retina, yang memvaskularisasi 2/3

retina. Fovea seluruhnya divaskularisasi oleh koriokapilaris dan rentan terhadap

kerusakan yang tidak dapat diperbaiki bila retina mengalami ablasi. Pembuluh darah

retina mempunyai lapisan endotel yang tidak berlubang, yang , membentuk sawar

darah retina. Lapisan endotel pembuluh koroid berlubang-lubang. Sawar darah retina

sebelah luar terletak setinggi lapisan epitel pigmen retina (Vaughan, 2015).

Empat lapisan terluar retina yaitu, pigmen epitelium, lapisan sel kerucut dan

sel batang, membrane limitans eksterna dan lapisan nucleus luar mendapat nutrisi dari

pembuluh darah koroid pada enam lapisan dalam mendapat vaskularisasi dari arteri

retina sentral yang merupakan cabang dari arteri oftalmikus. Arteri sentral retina

muncul dari tengah cup optic disk dan terbagi menjadi empat cabang, yaitu pada
superior nasal, superior temporal, inferior nasal, dan inferior temporal tetapi tidak

bernastomose dengan lainnya. Vena retina mengikuti dari arteri retina (Vaughan,

2015; Khurana, 2007)

Gambar pembuluh darah retina (Sobotta, 2012)

Gambar pembuluh darah retina (Sobotta, 2012).


Gambar pembuluh darah retina (Sobotta, 2012)

2.2 Buta Senja

Buta senja atau rabun senja (nyctalopia) adalah suatu kondisi dimana

seseorang kesulitan atau tidak dapat melihat dalam cahaya yang relatif kurang, atau

dengan kata lain merupakan sensasi subjektif terhadap penurunan penglihatan pada

kondisi minim cahaya. Hal ini merupakan gejala dari beberapa penyakit mata.

Nyctalopia mungkin terdapat sejak lahir atau diakibatkan oleh cedera atau gizi buruk.

Hal ini dapat digambarkan sebagai keadaan yang tidak dapat beradaptasi dengan

kegelapan (Chia, 2006)

Rabun senja memberikan dampak yang merugikan bagi manusia karena

menyebabkan manusia sulit melihat pada keadaan lingkungan yang kurang cahaya.

Apabila tetap dibiarkan, rabun senja akan menjadi sebuah kelainan mata yang pada

akhirnya menyebabkan kebutaan (Sari et al., 2010)


2.3 Etiologi

Beberapa penyakit mata yang menyebabkan nyctalopia antara lain defisiensi

vitamin A, retinitis pigmentosa, congentital night blindness, sorsby fundus

dystrophy, Myopia patologis.

1. Defisiensi vitamin A

Kekurangan vitamin A dapat terjadi pada semua umur, akan tetapi

kekurangan yang disertai kelainan pada mata umumnya terdapat pada anak

berusia 6 bulan sampai 4 tahun. Biasanya pada anak ini juga terdapat kelainan

protein kalori malnutrisi. Kekurangan vitamin A juga dapat terjadi pada pasein

dengan gangguan atau penyakit gastrointestinal dan sirosihepatis. Tanda dan

gejala kekurangan vitamin A adalah sebagai berikut:

 Bintik Bitot: daerah proliferasi sel abnormal dan keratinisasi skuamosa

pada konjungtiva dapat dilihat pada anak-anak dengan VAD

 Kebutaan karena cedera retina: vitamin A memiliki peran besar dalam

phototransduction. Sel-sel kerucut yang bertanggaung jawab atas

penyerapan cahaya dan untuk penglihatan warna dalam cahaya terang. Sel-

sel batang mendeteksi gerakan dan bertanggung jawab untuk penglihatan

malam. Dalam sel-sel batang retina, semua trans retinol ini diubah menjadi

11-cis-retinol, yang kemudian dicampurkan dengan protein yang terikat

membran yang disebut opsin untuk menghasilkan rhodopsin. Jenis reaksi

yang serupa terjadi pada sel kerucut dari retina untuk menghasilkan

iodopsin pigmen visual menyerap cahaya pada panjang gelombang

berbeda, sesuai dengan jenis sel kerucut mereka tempati. VAD


menyebabkan kurangnya pigmenvisual, ini mengurangi penyerapan dari

berbagai panjang gelombang cahaya yang mengakibatkan kebutaan.

 Ketidakmampuan beradaptasi dengan kegelapan

Nyctalopia terutama merupakan gejala awal terhadap kekurangan vitamin

A, baik oleh karena kekurangan serum vitamin A, gangguan sintesis retinol

binding protein, konsentrasi zink yang rendah ( berfungsi sebagai konversi

retinol di retina) ataupun karena gangguan pada penyimpanannya di hati

(Anastakis., 2013;Taren, 2012).

2. Retinitis Pigmentosa.

Retinitis pigmentosa adalah sekelompok degenerasi retina herediter

heterogen yang ditandai oleh disfungsi fotoreseptor, disertai oleh hilangnya sel

secara progresif dan akhirnya atrofi beberapa lapisan retina.

Gejala utama retinitis pigmentpsa adalah rabun senja (nyctalopia) dan

penurunan lapang pandang perifer secara progresif perlahan sebagai akibat

meningkat dan menyatunya skotomacincin. Temuan funduskopi yang paling

khas adalah penyempitan arteriol-arteriol retina, discus optikus pucat seperti

lilin, bercak-bercak di epitel pigmen retina, dan penggumpalan pigmen retina

perifer yang disebut bone-spiculeformation

3. Congenital night blindness

Congenital night blindness merupakan kelainan mata yang

diturunkan,tidak progresif dan pada prinsipnya mengenai sel batang di

retina, menyebabkan gangguan pada penglihatan malam hari. Kadang

disertai myopia sedang dan myopia berat.

4. Sorsby’s fundus dystrophy


Sorsby's Fundus distrofi merupakan penyakit langka pada makula yang

diturunkan yang dapat menyebabkan kehilangan penglihatan yang biasanya

dimulai pada usia sekitar 30 atau 40 tahun.

5. Myopia

Kelainan ini ditandai dengan pemanjangan progresif yang disertai

penipisan dan atrofi pada koroid dan epitel pigmen retina di macula. Sesuai

definisinya, myopia patologik merupakan myopia yang lebih besar dari

myopia 8 dioptri.

6. Katarak kortikal perifer

Katarak kortikal adalah kekeruhan pada korteks lensa. Perubahan hidrasi

serat lensa menyebabkan terbentuknya celah-celah dalam pola radial di

sekeliling daerah ekuator. Katarak ini cenderung bilateral, tetapi sering

asimetrik. Derajat gangguan fungsi penglihatan bervariasi, tergantung

seberapa dekat derajat kekeruhan lensa dengan sumbu penglihatan. Katarak

kortikal biasanya terjadi bilateral namund apat juga terjadi secara asimeteris.

7. Penyakit Oguchi

Penyakit ini dicirikan oleh kebutaan malam stasioner bawaan dan kelainan

morfologi dan dungsional yang unik dari retina. Pasien mengalami kebutaan

pada malam hari yang nonprogressif sejak kecil muda dengan penglihatan

siang hari normal, namun mereka sering mengaku terdapat peningkatan

sensitivitas cahaya ketika mereka menatap lama di lingkungan gelap.

Penelitian mengenai adaptasi dalam gelap menunjukkan bahwa ambang batas

sel batang yang meningkat sangat tinggi mengalami penurunan beberapa jam

kemudian dan akhirnya menghasilkan pemulihan ke tingkat normal atau

mendekati normal.
2.4 Patofisiologi

Pada sel batang di retina mata terdapat rhodopsin atau visual purple (pigmen

ungu) yang mengandung vitamin A yang terikat pada protein. Pada mata normal,

apabila menerima cahaya, rodopsin akan terkonversi menjadi visual yellow dan

kemudian menjadi visual white. Konversi ini membutuhkan vitamin A.

Regenerasi visual purple hanya akan terjadi apabila tersedia vitamin A yang

cukup. Tanpa regenerasi, maka pengelihatan mata pada cahaya remang akan

terganggu. Oleh karena itu, apabila kekurangan vitamin A, maka mata akan sulit

melihat ketika berada di lingkungan kurang cahaya (Sari et al., 2010).

Patofisiologi kebutaan senja sangat kompleks, dan tergantung pada proses

penyakit yang mendasarinya. Mutasi gen warisan menghasilkan versi abnormal

atau bahkan tidak ada protein esensial untuk fungsi fotoreseptor [Syaing &

Raupong, 2016].

Vitamin A adalah vitamin yang larut dalam lemak, diuraikan oleh enzim

pankreas dan diserap di bagian proksimal usus kecil. Kondisi yang mempengaruhi

fungsi pankreas, seperti cystic fibrosis dan pankreatitis kronis, atau kondisi lain

yang mengarah pada pengurangan kemampuan menyerap vitamin A, seperti

operasi lambung atau Crohn disease, dapat menyebabkan defisiensi vitamin A

sehingga nutrisi untuk rhodopsin (suatu zat peka cahaya; tersusun atas protein

dan vitamin A) pada sel batang tidak tercukupi. Rhodopsin akan terurai jika ada

cahaya dan berperan dalam penglihatan di tempat gelap. Vitamin A (retinol)

diperlukan oleh fotoreseptor untuk memproduksi protein esensial yang terlibat

dalam siklus fototransduksi.Ketika kekurangan protein ini, disfungsi fotoreseptor

dapat menyebabkan gejala rabun senja/kebutaan malam/nyctalopia [Syaing &


Raupong, 2016].

2.5 Gejala Klinik

Menurut Sari et al (2010) ada beberapa gejala yang muncul pada penderita

Nyctalopia atau rabun senja, yaitu :

 sulit melihat pada tempat dengan cahaya minimal,

 kesulitan melihat saat mengemudi di sore hari,

 selain itu, perasaan bahwa mata memerlukan waktu yang lebih lama untuk

penyesuaian terhadap perubahan dari terang ke gelap juga dapat merupakan

gejala rabun senja.

2.6 Diagnosis

Mendeteksi rabun senja dapat dilakukan dengan banyak cara. Cara yang

dilakukan untuk mendiagnosis rabun senja dikelompokkan menjadi dua, yaitu

anamnesis dan pemeriksaan secara biofisik (Syaing & Raupong, 2016).

Anamnesis merupakan diagnosis awal terhadap suatu penyakit. Sedangkan

pemeriksaan biofisik terdiri dari Tes adaptasi gelap secara sederhana, tes adaptasi

gelap dengan adaptometri gelap, dan pemeriksaan mata dengan

Electroretinography (Syaing & Raupong, 2016).

1. Anamnesis

Anamnesis adalah pemeriksaan yang biasanya dilakukan pertama kali

pada penderita dengan menanyakan riwayat penderita tentang keluhan

penyakitnya saat ini dan penyakitnya pada masa lampau. Pertanyaan yang

diberikan mengenai:

a. Identitas diri dan identitas orangtua


b. Keluhan pada penglihatannya (penglihatan pada suasana bayak cahaya

atau kurang cahaya)

c. Riwayat penyakit yang diderita sebelumnya, (apakah pernah menderita

diabetes, campak, penyakit infeksi, gangguan pada hati, dll)

d. Riwayat pola makan (apakah mengkonsumsi makanan bervitamin A atau

tidak)

2. Pemeriksaan Biofisik

a. Tes Adaptasi Gelap sederhana

Tes adaptasi gelap sederhana dilakukan dengan merancang sebuah

ruangan dengan suasana gelap (kurang cahaya). Dapat dilakukan beberapa

cara untuk mendiagnosa seseorag menderita rabun senja atau tidak. Salah

satu cara yang sederhana adalah dengan memerintahakan orang yang akan

diperiksa tersebut untuk melakukan sesuatu, misalnya mengambil barang

berbentuk segitiga. Orang yang penglihatan skotopikya normal masih

dapat membedakan bentuk karena masih dapat melihat dalam keadaan

kurang cahaya setelah beradaptasi beberapa waktu. Sedangkan orang yang

menderita rabun senja sudah tidak dapat lagi membedakan bentuk, karena

penglihatannya akan hitam dan gelap sama sekali.

b. Tes Adaptasi Gelap dengan menggunakan alat Adaptometri Gelap

1) Tujuan : Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat fungsi sel batang

retina pada pasien yang mengeluh buta senja.

2) Dasar : Mengukur pertambahan sensitivitas visual pada mata dari

tempat terang ke gelap.

3) Alat : Adaptometer (Goldmann Weeker).

4) Teknik
a. Pasien disinari dengan sinar terang standar dari alat adaptometer

selama 10 menit

b. Kemudian seluruh ampu digelapkan, pasien diminta fiksasi pada

target berwwarna merah daam alat Dalam waktu 30 detik dicari

ambang rangsang sinar pada satu daerah lapang pandangan dengan

menaikkan intensitas sinar dengan lens fillter yang dinaikkan

perlahan-lahan sampai terlihat oleh pasien

c. Dibuat grafik timbulnya rangsangan dibanding dengan waktu pada

satu daerah lapang pandangan.

5) Nilai

a) Grafik menurunnya ambang retina dibanding dengan waktu

menunjukkan telah terjadinya adaptasi kerucut

b) Gelombang menaik menunjukkan adaptasi gelap sudah terjadi atau

adaptasi batang yang sudah berfungsi di tempat gelap tersebut

c) Merupakan ambang kerucut yang terlihat sesudah 5 menit dan

d) Merupakan ambang batang yang terlihat sesudah 30 menit

c. Pemeriksaan dengan Electroretinography (ERG)

Electroretinography adalah alat yang digunakan untuk mengukur

respons elektrik dari fotoreseptor cahaya di mata, yaitu sel batang dan sel

kerucut di retina.

Mata pasien akan dibuka dengan sebuah retraktor setelah mata dibuat

mati rasa dengan ditetesi cairan. Elektroda akan ditempatkan pada setiap

mata dan elektroda tersebut akan mengukur aktivitas listrik ke retina

sebagai respons terhadap cahaya. Petugas pemeriksa akan mengukur

hasilnya saat berada di keadaan terang dan dalam keadaan gelap.


Gambar Electroretinography

a) Tujuan

Pemeriksaan ERG berguna untuk mengetahui apakah gangguan fungsi

retina teretak pada sel kerucut dan batang atau pada sel bipolar.

b) Dasar

Elektrode yang diletakkan pada kornea memberi reaksi identik di

permukaan retina. Elektroda ini dihubungkan dengan alat pencatat.

ERG terdiri atas gelombang defleksi negatif kornea pada permukaan

(gelombang a), disusul gelombang tinggi yang merupakan defleksi

positif kornea (gelombang b) dan kemudian disusul gelombang lebih

rendah yang merupakan respons positif yang panjang (gelombang c).

Gelombang a berasal dari fotoreseptor retina, gelombang b berasal dari

sel bipolar, terutama sel muller, dan gelombang c berasal dari sel

pigmen epitel retina.


c) Teknik

1) Diberikan anastesi lokal pada mata yang akan diperiksa

2) Lensa kontak dengan eektrode dipasang pada mata tersebut

3) Elektroda diletakkan di dahi dan di daun telinga

4) Elektroda di dahi berfungsi sebagai pola negative dari lensa kontak

kornea potensi listrik akan keluar, diteruskan pada alat

preamplifier, dan layar

5) Dilakukan rangsangan

d) Nilai

1) Terdapat periode laten sebuah rangsangan sampai timbulnya

2) gelombang a kira-kira 0.2 m detik

3) Terdapat periode implisit antara rangsangan dengan puncak

4) gelombang b

5) Gelombang hilang pada gangguan retina (retinopati dan hipoksia)

6) Prosedur ini berguna untuk membedakan berbagai kelainan retina

seperti distrofi kerucut dan retinitis pigmentosa (Hasil dari

pemeriksaan ERG pada pasien buta senja : gelombang a

menghilang dan pada keadaan lanjut gelombang ERG menghilang

sama sekali )

2.7 Penatalaksanaan

Pengobatan rabun senja tergantung pada penyebabnya. Jika karena

kekurangan vitamin A, maka harus diberikan vitamin A dalam jumlah yang

cukup, baik berupa suplemen maupun dari makanan sehari-hari. Jika karena

katarak, maka katarak sebaiknya dioperasi. Demikian pula dengan penyebab

lainnya, diusahakan untuk diatasi (Sari et al., 2010)


Adapun jenis tatalaksna terhadap rabun senja adalah (BMJ 2012) :

1. Asupan vitamin A

2. Memperbaiki diet mikronutrien

3. Terapi medikamentosa

2.8 Komplikasi

Komplikasi yang dapat timbul jika penyakit ini tidak ditangani dengan baik adalah

(BMJ., 2012)
BAB III

LAPORAN KASUS

ANAMNESIS

IDENTITAS

Nama : Tn J

Usia : 55 thn

Status : menikah

Pendidikan : S1

Pekerjaan : Karyawan Swasta

KELUHAN UTAMA

Penglihatan kedua mata buram ketika malam hari

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Pasien mengeluh kabur menjelang malam ketika cahaya berkurang sejak 6 bulan
terakhir. Ia mengalami kesulitan ketika menyupir oleh karena tidak dapat melihat
penenda jalan. Semua lampu tampak redup. Akan tetapi pada siang hari
penglihatannya normal. Sebelum ini ia tidak ada keluhan mata. Tidak ada kesulitan
membedakan warna


RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


Pasien menderita trombosis vena mesenterica 4 tahun yang lalu. Ia menjalani operasi
reseksi usus halus dan usus besar(ascending dan transverse colon). Ketika itu
diketahui pula adanya cirrhotic- appearing liver. Ia juga menderita anemia kronis dan
mudah cepat lelah.


RIWAYAT TERAPI


Spironolactan, furosemid dan multivitamin



RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan serupa dan tidak ada yang didiagnosa
dengan retinitis pigmentosa.


RIWAYAT ALERGI:

(-)


RIWAYAT SOSIAL :


Tidak minum alkohol ataupun merokok

PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis
Keadaan Umum : baik

Kesadaran : compos mentis

Vital Sign : TD 110/70 mmHg, RR 12x/menit, Tax 36oC , TB 150 cm,

BB 51 kg

KEPALA/LEHER

Kepala : (mata di status lokalis), tidak didapatkan kelainan

Leher : tidak ada kelainan

THORAKS

Cor : ictus cordis mid clavicular line sinistra, batas jantung

kanan parasternal line sinistra, HR 70 x/menit reguler,

bising (-)

Pulmo : simetris, stem fremitus D~S, sonor, vesikuler,

ronkhi/wheezing (-)

ABDOMEN

: supel, hepar/lien tidak teraba, tidak teraba tumor, tidak nyeri tekan,
tanda cairan bebas (-) BU 3-6 x/menit

EKSTREMITAS SUPERIOR / INFERIOR

: simetris, hangat, anemis (-)

Status Lokalis Pemeriksaan Oftalmologis

Pemeriksaan dengan head loupe dan senter + oftalmoskop direk

6/6 AV 6/6

7 / 7,5 18,5 mmHg TIO 7 / 7,5 18,5 mmHg

Keduduka
n

Orthoforia

Pergeraka
n

spasme-, edem - P Spasme- edem -

Injeksi konjungyiva -, injeksi silier- CB Injeksi konjungtiva - injeksi silier -

Jernih C Jernih

Dalam, sel / flare - COA Dalam, sel / flare -

Bulat, sentral, refleks cahaya +, I/P Bulat, sentral, refleks cahaya +, diameter
diameter 3 mm, 3 mm, RAPD-
RAPD -

Jernih L Jernih
Jernih V Jernih

Papil bulat, batas tegas, CDR 0,3, F Papil bulat, batas tegas, CDR 0,3, aa/vv
aa/vv 2/3, RM +, 2/3, RM +, retina baik,
retina baik, bone bone spikula-
spikula-
BAB IV

Pembahasan

Pada kasus ini, diagnosa pasien dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan

fisik, dan pemeriksaan oftalmologi. Mata buram menandakan adanya kelainan

lapang pandang, bisa di sebabkan karena kelainan refraksi seperri miopi,

hipermetropi dan prespiopi yang memberikan gejala berupa penurunan dari

penglihatan sehingga buram ketika melihat sesuatu jarak dekat atau pun jauh. Bisa

juga di sebabkan karena penyakit katarak, nictalopia (rabun senja) dan Retinitis

pigmentosa. Pada penyakit katarak didapatkan penglihatan kabur atau buram yang

di sebabkan karena terjadi kekeruhan pada lensa, pada retinitis pigmentosa terjadi

kemunduran yang progresif pada retina yang mempengaruhi penglihatan pada

malam hari dan penglihatan tepi karena adanya degenerasi sel epitel retina

terutama pada sel batang dan atrofi saraf optic. Sama halnya dengan retinitis

pigmentosa, nictalopia (rabun senja) memiliki gejala mata kabur jika melihat pada

malam hari sedangkan pada siang hari normal.

Dari pemerikaan di dapatkan visus normal (6/6), sehingga dapat di

singkirkan dugaan mengalami kelianan refraksi karena pada kelianan refraksi visus

akan turun. Kornea jernih sehingga dapat menyingkirkan dugaan penyakit katarak

karena pada karatak tampak kornea yang keruh sehingga terjadi penglihatan kabur.

Pada pemeriksaan segmen posterior di dapatkan normal, baik dari arteri, vena dan

tidak ada degenerasi selepitel retina, sehingga dapat menyingkirkan dugaan

penyakit retinitis pigmentosa.

Sehingga dari kasus ini kami diagnosa sebagai nictalopia (rabun senja)

karena selain dari mata kabur atau buram pada malam hari dan normal pada siang

hari, dari anamnesa juga di dapatkan riwayat penyakit cirrhotic-appearing liver,


anemia kronis dan mudah cepat lelah. Dari riwayat ini diduga mengalami

kekurangan vitamin A yang merukan salah satu penyebab dari nictalopia.

Penatalaksanaan pada pasien ini adalah dengan pemberian vitamin A 50.000

IU / kgBB namun tidak boleh melebihi dosis 300.000 IU. Pemberian vitamin A ini

akan memberikan perbaikan berupa sel goblet konjungtiva kembali normal,

keratinisasi akan berangsur-angsur menghilang.


PENUTUP

kesimpulan

Nyctalopia atau rabun senja adalah suatu kondisi dimana seseorang kesulitan atau

tidak dapat melihat dalam cahaya yang relative kurang, atau dengan kata lain

merupakan sensasi subjektif terhadap penurunan sedangkan gejala yang muncul yaitu

sulit melihat pada tempat dengan cahaya minimal, dan melihat saat mengemudi di

sore dan terapi yang di perlukan yaitu asupan vitamin A dan Memperbaiki diet

mikronutrien
DAFTAR PUSTAKA

1. Chia A. 2006. Electrophysiological Findings in Person with Nyctalopia, vol. 35,

No. 12. Singapore : Singapore National Eye Centre.

2. Sari I K, Herna, dkk. 2010. Patofisiologi Rabun senja. Jakarta : UI.

3. Anastasakis A, Plainis S,dkk. 2013. Xerophtalmia And Acquired Night Blindness

In A Patient With A History Og GIT Neoplasia And Normal Serum Vit. A Levels.

European Union.

4. Taren D. 2012. Historical and Practical Uses of Assesing Night Blindness as an

Indicator for Vit. A Deficiency. America : University of Arizona.

5. BMJ Editors. 2012. Night Blindness. UK: BMJ Publishing Group: Best Practice

BMJ.

6. Riordan-Eva, Paul. 2015. Voughan & Asbury Oftalmologi Umum. Jakarta :

Penerbit EGC

7. Khurana. AK. 2007. Comprehensive Ophtalmology. Ed 4. New Delhi : New Age

International (P) Limited.

8. F. Paulsen & J. Waschke.. 2012. Atlas Anatomi Manusia “Sobotta”. Ed 23(I).

Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

9. Syaing ESF, Raupong I. 2016. Rabun Senja. Online. Diakses dari

https://www.scribd.com/document/329103559/RABUN-SENJA-referat [29

Maret 2017]

Anda mungkin juga menyukai