Anda di halaman 1dari 15

PENJERATAN (STRANGULASI)

I.

PENDAHULUAN
Penjeratan hampir sama dengan kasus gantung diri (hanging) perbedaannya adalah asal

tenaga yang dibutuhkan untuk memperkecil lingkaran. Pada kasus gantung, tenaga berasal dari
berat badan korban sendiri, meskipun tidak perlu seluruh berat badan digunakan, sedangkan pada
kasus penjeratan, tenaga tersebut datang dari luar.
Penjeratan adalah penyebab kematian akibat asfiksia yang paling sering ditemukan.
Asfiksia yang terjadi pada penjeratan berbeda dengan asfiksia dengan pada penggantungan. Pada
penjeratan ikatan yang terjadi sewaktu penjeratan berlangsung merupakan faktor yang terpenting
yang mengakibatkan terhalangnya jalan nafas dengan demikian faktor yang terpenting ada pada
alat penjerat, hal ini berbeda dengan penggantungan dimana berat badan merupakan faktor
utama.
Penjeratan biasanya terjadi karena adanya faktor yang berasal dari luar dan jarang pada
kasus ini yang disebabkan oleh karena kecelakaan. Kasus manual strangulation dan penjeratan
dengan tali biasanya sering terjadi sekitar 50-70%, dibandingkan jenis lainnya. Berbeda dengan
gantung diri yang biasanya merupakan bunuh diri maka pada kasus penjeratan biasanya adalah
pembunuhan.

II.

PEMBAHASAN
A. Defenisi
Penjeratan (strangulasi) adalah terhalangnya udara masuk ke saluran pernafasan

akibat adanya tenaga dari luar. Disini tidak ada pengaruh berat badan seperti hanging.
Menurut para ahli lainnya strangulasi (penjeratan) adalah kematian yang terjadi akibat
penekanan benda asing berupa tali, ikat pinggang, rantai, stagen, kawat, kabel, kaus kaki nilon
atau sejenisnya, yang melingkari/ mengikat leher makin lama makin kuat, sehingga udara
pernafasan tertutup. Disini tidak ada pengaruh berat badan seperti pada hanging.
B. Jenis- Jenis Penjeratan
1) Dicekik (Manual Strangulation)

Gambar 1: Pencekikan7
a) Pencekikan

atau manual strangulation merupakan cara membunuh yang

dipakai bila korbannya itu lebih lemah dari si pelaku, anak-anak atau orangtua
dan wanita yang bertubuh gemuk, juga sering dilakukan pada kasus
pembunuhan anak.
b) Ciri khas adalah adanya luka lecet berbentuk bulan sabit yang disebabkan oleh
tekanan kuku pencekik. Patahnya tulang lidah yang disertai dengan resapan
darah pada jaringan ikat dan otot disekitarnya, dapat merupakan petunjuk
yang hampir pasti bahwa korban mati dicekik.
c) Selain patah tulang lidah, yaitu pada bagian cornunya, tulang rawan thyroid
( cartilago thyroidea ), dapat juga patah pada korban yang mengalami
pencekikan.
d) Sembabnya katup pangkal tenggorok ( epiglottis ), dan jaringan longgar
disekitarnya yang disertai dengan bintik-bintik perdarahan sering dijumpai.
2

e) Jika mekanisme kematiannya asfiksia, maka pada korban akan didapatkan


tanda-tanda asfiksia yang jelas.
f) Jika kematiannya karena inhibisi vagal, kelainan hanya terbatas pada daerah
leher tanpa disertai tanda-tanda asfiksia.
g) Pada beberapa kasus korban dapat tetap hidup setelah dicekik, ini tergantung
dari kuatnya tekanan dan lamanya tekanan pada leher.
h) Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan pencekikan yang fatal tidak dapat
ditentukan secara pasti, kecuali bila dokter menyaksikannya yaitu sekitar 30
detik-beberapa menit.
2) Penjeratan dengan alat penjerat (tali, kawat, dll ).

Gambar: Penjeratan dengan alat7


a) Alat penjerat ( tali, kawat, dan lain-lain), biasanya berasal dari pelaku. Alat
penjerat yang berasal dari korban sendiri biasanya dasi, stocking, selendang
atau kain yang dipakai.
b) Jumlah lilitan umumnya satu, dengan simpul mati.
c) Alat penjerat berjalan mendatar, luka lecet tekan di bawahnya umumnya
melingkari leher secara keseluruhan, bentuk alat penjerat seringkali tampak
tercetak pada leher.
d) Dapat ditemukan luka lecet berbentuk bulan sabit yang disebabkan oleh kuku,
baik kuku sipenjerat atau kuku korban sewaktu berusaha melepaskan jeratan
tersebut.

e) Resapan darah dalam otot dan jaringan ikat leher serta kelenjar gondok dapat
ditemukan, tergantung dari besarnya tekanan alat penjerat dan luas permukaan
alat penjerat itu sendiri.
f) Patah tulang lidah ( Os. Hyoid), tidak lazim, kecuali dibarengi atau didahului
oleh pencekikan, atau alat penjerat mempunyai bagian yang keras menonjol,
dan tonjolan tersebut tepat menekan tulang lidah.
g) Bila mekanisme kematiannya asfiksia, maka baik pada pemeriksaan luar atau
pemeriksaan dalam akan ditemukan kelainan yang sesuai dengan kelainan
karena mati lemas, lebam mayat yang lebih gelap dan luas, sianosis, bintikbintik perdarahan di mata, busa halus putih keluar dari mulut dan hidung,
darah tetap cair, serta sembabnya alat-alat dalam tubuh korban.
h) Bila mekanisme kematiannya refleksi vagal, maka kelainan yang ditemukan
terbatas pada alat penjerat dengan luka lecet tekan akibat alat penjerat ( jejas
jerat ).
3) Ditekan leher dengan bahan selain tali ( misalnya potongan kayu, lengan).
4) Mugging : leher ditekan dengan lutut atau siku.
C. Patomekanisme kematian
1. Asfiksia merupakan penyebab kematian yang paling sering. Terjadi akibat
terhambatnya aliran udara pernafasan.9 Kekuatan kontraksi dari pengikat
menyebabkan penyempitan kompresif pada lumina laring dan trakea, dan
menekan ke atas dasar lidah terhadap dinding posterior faring, dan melipat
epiglotis di atas pintu masuk laring untuk menghalangi aliran udara.13,14,15
Mekanisme asfiksia oleh Puppo dibagi menjadi empat stadium yaitu:6
a. Stadium dispneu
Defisiensi oksigen pada sel-sel darah merah dan akumulasi karbon dioksida
dalam plasma akan merangsang pusat pernafasan di medulla oblongata. Hal
ini akan mengakibatkan gerak pernafasan yang cepat dan kuat, peningkatan
denyut nadi dan sianosis terutama dapat diamati pada wajah dan tangan.
b. Stadium konvulsi

Pertama adalah kejang klonik, setelah itu kejang tonik, terakhir terjadi spasme
epistotonik. Pupil menjadi lebar dan denyut jantung menjadi pelan. Hal ini
terjadi dimungkinkan karena menginkatnya kerusakan dari nukleus-nukleus
pada otak karena defisiensi oksigen.
c. Stadium Apnea
Depresi pada pusat pernafasan semakin dalam sehingga persnafasan menjadi
semakin lemah dan dapat berhenti. Timbulah keadaan tidak sadar dan
keluanya cadiran seperma secara tidak disadari (infolunter). Dapat juga terjadi
keluarnya urin dan fases secara tidahk disadari meskipun jarang.
d. Stadium final
Pada stadium ini terjadi kelumpuhan pernafasan secara lengkap. Setelah
beberapa kontraksi otomatis dari otot-otot aksesoris pernafasan di leher,
kemudian pernafasan berhenti. Jantung mungkin masih berdenyut setelah
beberapa waktu, setelah respirasi berhenti.
Tanda-tanda kelainan yang dapat ditemukan pada kasus kematian akibat asfikisa:
a. Sianosis
b. Perdarahan berbintik (Petechiae haemorrhages, Tardiuspot)
c. Pembuluh dara kecil pada konjungtiva melebar (injectide)

Gambar: Kongesti yang menyolok pada leher akibat gantung diri.9


2. Reflex vaso vagal
Menyebabkan serangan jantung mendadak karena terjadinya hambatan pada
reflex vaso vagal secara tiba-tiba, hal ini terjadis karena adanya tekanan pada
saraf vagus atau sinis carotid.
3. Fraktur vertebra servikal dapat menimbulkan kematian pada penggantungan
dengan mekanisme asfiksia atau dekapitasi. Kejadian ini biasa terjadi pada
hukuman gantung atau korban penggantungan yang dilepaskan dari tempat tinggi.
5

Sering terjadi fraktur atau cedera pada vertebra servikal 1 dan servikal 2 (aksis
dan atlas) atau lebih dikenali sebagai hangman fracture. Fraktur atau dislokasi
vertebra servikal akan menekan medulla oblongata sehingga terjadi depresi pusat
nafas dan korban meninggal karena henti nafas.14
D.

Cara kematian:
a. Bunuh diri
Pada kasus bunuh diri dengan jeratan, dilakukan dengan melilitkan tali secara
berulang dimana satu ujung difiksasi dan ujung yang lain di tarik. Anatara
jeratan dand leher dimasukkan tongkat lalu mereka memutar tongkat tersebut.
b. Kecelakaan
Kecelakaan pada kasus jeratan dapat kita temukan pada bayi yang terjerat oleh
tali pakaian, ornag yang bersenda guaru dan pemabuk. Vagal reflex menjadi
penyebab kematian pada orang yang bersenda gurau.
c. Pembunuhan
Pembunuhan pada kasus jeratan dapat kita jumpai pada kejadian invanticide
dengan menggunakan tali pusat, sikopat yang saling menjerat dan pada
hukuman mati (zaman dahulu).

E.

Pemeriksaan
Pemeriksaan post-mortal pada kasus penjeratan dipengaruhi oleh mekanisme
kematiannya; mekanisme kematian yang berbeda akan memberikan gambaran postmortal yang berbeda.
1.

Pemeriksaan tempat kejadian.1


a. Periksa apakah masih hidup atau sudah meninggal
b. Keadaan di TKP (tempat kejadian perkara) : Pada kasus gantung diri,
keadaanya tenang, di ruang atau tempat tersembunyi atau pada tempat yang
sudah tidak digunakan.
c. Pakaian korban : Pada kasus gantung diri biasa ditemukan pakaian korban
cukup rapih, sering didapatkan surat peninggalan dan tidak jarang diberikan
alas sapu tangan sebelum alat jerat dikalungkan ke leher.
d. Adakah alat penumpu seperti bangku dan sebagainya.
6

e. Jumlah lilitan : Semakin banyak jumlah lilitan, dugaan bunuh diri makin
besar.
f. Arah serabut tali penggantung:

Bunuh diri : arah serabut tali menuju korban.


Dibunuh terlebih dulu : arah serabut sebaliknya.
Penjeratan: Jejas jerat biasanya mendatar ( horizontal ) dan melingkari
leher dan letaknya lebih rendah dibandingkan jejas jerat pada gantung
diri, biasanya terletak pada atau di bawah rawan gondok. 15 Bentuk
Lekukan seperti perkamen kuning dan lekukan terdalam di titik berat
tubuh yang ditopang tali. Terdapat lipatan kulit disisi superior lekukan
tersebut. Pembunuhan dicurigai jika terdapat tanda secara horizontal
melewati leher dan lebih dari satu. Pada keadaan itu, tanda jari
penyerang sering ada di sisi atau punggung leher. Abrasi kuku jari
korban ditemukan di depan telinga, menunjukkan perlawanan untuk

menyingkirkan tali.15
g. Distribusi lebam mayat, diperiksa apakah sesuai dengan posisi korban yang
tergantung atau tidak.
h. Macam simpul pada jerat di leher:
Simpul hidup : Umumnya pada kasus bunuh diri.
1) Simpul mati.
Pemeriksaan : Bila dilonggarkan maksimal, apakah dapat melewati
kepala. Bila dapat biasanya bunuh diri, bila tidak, curiga
pembunuhan.
i. Jarak ujung jari kaki dengan lantai.
Pada kasus bunuh diri, posisi korban yang tergantung lebih mendekati
lantai, berbeda dengan pembunuhan dimana jarak antara kaki dan lantai
cukup lebar.
j. Letak korban di tempat kejadian
Cara menurunkan korban: Potong bahan penggantung di luar simpul.
Awalnya buat ikatan pada 2 tempat untuk mencegah serabut terurai lalu
potong

diantara

kedua

ikatan

secara

miring

untuk

memudahkan

rekonstruksi.
7

k. Bekas serabut tali pada tempat menggantung dan pada leher diamankan
untuk pemeriksaan lebih lanjut.
l. Bahan penjeratan, penggantungan, serta gantung diri; makin kecil/keras
bahan makin jelas alur jerat yang timbul di leher seperti tali, kawat,
selendang, ikat pinggang, seprei yang disambung.
2. Pemeriksaan luar 1, 12,13
Kepala:
1)

Muka sianotik (vena terjepit) atau muka pucat (vena dan arteri terjepit)

2)

Tanda penjeratan pada leher. Hal ini sangat penting diperhatikan oleh
dokter, dan keadaannya bergantung kepada beberapa kondisi :
a) Tanda penjeratannya jelas dan dalam jika tali yang digunakan kecil
dibandingkan jika menggunakan tali yang besar. Bila alat penjerat
mempunyai permukaan yang luas, yang berarti tekanan yang
ditimbulkan tidak terlalu besar tetapi cukup menekan pembuluh balik,
maka muka korban tampak sembab, mata menonjol, wajah berwarna
merah kebiruan dan lidah atau air liur dapat keluar tergantung dari
letak alat penjerat. Jika permukaan alat penjerat kecil, yang berarti
tekanan yang ditimbulkan besar dan dapat menekan baik pembuluh
balik maupun pembuluh nadi; maka korban tampak pucat dan tidak
ada penonjolan dari mata.
b) Alur jerat : bentuk penjeratannya berjalan miring (oblik atau berbentuk

V) pada bagian depan leher, dimulai pada leher bagian atas di antara
kartilago tiroid dengan dagu, lalu berjalan miring sejajar dengan garis
rahang bawah menuju belakang telinga. Tanda ini semakin tidak jelas
pada bagian belakang.
c) Tanda penjeratan atau jejas jerat yang sebenarnya luka lecet akibat

tekanan alat jerat yang berwarna merah kecoklatan atau coklat gelap
dan kulit tampak kering, keras dan berkilat. Pada perabaan, kulit terasa
seperti perabaan kertas perkamen, disebut tanda parchmentisasi, dan
sering ditemukan adanya vesikel pada tepi jejas jerat tersebut dan tidak
jarang jejas jerat membentuk cetakan sesuai bentuk permukaan dari
alat jerat.
8

d) Pada tempat dimana terdapat simpul tali yaitu pada kulit dibagian
bawah telinga, tampak daerah segitiga pada kulit dibawah telinga.
e) Pinggiran berbatas tegas dan tidak terdapat tanda-tanda abrasi
disekitarnya.
f) Jumlah tanda penjeratan. Kadang-kadang pada leher terlihat 2 buah
atau lebih bekas penjeratan. Hal ini menunjukkan bahwa tali dijeratkan
ke leher sebanyak 2 kali.
3) Tanda-tanda asfiksia.
a) Mata menonjol keluar; oleh karena pecahnya oleh bendungan kepala,
dimana vena-vena terhambat sedang arteri tidak.
b) Perdarahan berupa peteki tampak pada wajah dan subkonjungtiva;
pecahnya vena oleh bendungan dan meningkatnya permeabilitas
pembuluh darah akibat asfiksia.
c) Lidah menjulur; tergantung dari letak jerat. Bila tepat di kartilago
tiroid lidah akan terjulur sedang jika di atasnya lidah tidak akan
terjulur.
d) Air liur mengalir dari sudut bibir di bagian yang berlawanan dengan
simpul tali. Keadaan ini menunjukkan tanda pasti penggantungan antemortem.
1) Kedalaman dari bekas penjeratan menunjukkan lamanya tubuh tergantung.
2) Jika korban lama tergantung, ukuran leher menjadi semakin panjang.

Anggota gerak
1) Lebam mayat dan bintik-bintik perdarahan terutama pada bagian akral dari
ekstremitas, sangat tergantung dari lamanya korban dalam posisi tergantung.
2) Posisi tangan biasanya dalam keadaan tergenggam.

Dubur dan kelamin


1) Keluarnya mani, darah (sisa haid), urin dan feses akibat kontraksi otot polos
pada saat stadium konvulsi pada puncak asfiksia.
Hal ini bukan merupakan tanda khas dari penggantungan dan keadaan ini
tidak selalu menyertai penggantungan.
F. Hasil pemeriksaan otopsi1, 5, 12
9

Kelainan yang umum ditemukan pada pembedahan jenazah korban mati akibat
asfiksia adalah:
1. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, karena fibrinolisis darah yang
meningkat pasca mati
2. Busa halus di dalam saluran pernafasan
3. Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga menjadi
lebih berat, berwarna lebh gelap dan pada pengirisan banyak mengeluarkan darah
4. Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada bagian
belakang jantung daerah aurikuloventrikular, subpleura viseralis paru terutama di
lobus bawah pars diafragmatika dan fisura interlobaris, li;otkepala sebelah dalam
terutama daerah otot temporal, mukosa epiglottis dan daerah subglotis
5. Edema paru sering terjadi pada kematian yang berhubungan dengan hiposksia
6. Kelainan-kelainan yang berhubungan dengan kekerasan, seperti fraktur laring
langsung atau tidak langsung, perdarahan faring terutama bagian belakang rawan
krikoid (pleksus vena submokosa dengan dinding tipis).

Kepala
1) Tanda bendungan pembuluh darah otak

Leher
1) Jaringan yang berada dibawah jeratan berwarna putih, berkilat dan perabaan
seperti perkamen karena kekurangan darah, terutama jika mayat tergantung cukup
lama. Pada jaringan dibawahnya mungkin tidak terdapat cedera lainnya.
2) Platisma atau otot lain disekitarnya mungkin memar atau ruptur pada beberapa
keadaan. Kerusakan otot ini lebih banyak terjadi pada kasus penggantungan yang
disertai dengan tindak kekerasan.
3) Lapisan dalam dan bagian tengah pembuluh darah mengalami laserasi ataupun
ruptur. Resapan darah hanya terjadi didalam dinding pembuluh darah.
4) Fraktur tulang hyoid jarang terjadi. Fraktur ini biasanya terdapat pada
penggantungan yang korbannya dijatuhkan dengan tali penggantung yang panjang
dimana tulang hyoid mengalami benturan dengan tulang vertebra. Adanya efusi
darah disekitar fraktur menunjukkan bahwa penggantungannya ante-mortem.
10

5) Fraktur kartilago tiroid jarang terjadi. Pada korban diatas 40 tahun, patah tulang
ini darap terjadi bukan karena tekanan alat penjerat tetapi karena terjadinya traksi
pada penggantungan.
6) Fraktur 2 buah tulang vertebra servikalis bagian atas. Fraktur ini sering terjadi
pada korban hukuman gantung

Dada dan perut


1) Perdarahan pada pleura, pericard atau peritoneum
2) Organ-organ dapat mengalami kongesti atau bendungan

Darah
1) Darah dalam jantung gelap dan lebih cair.

VI. Kesimpulan
1.

Penjeratan atau strangulasi merupakan suatu tindakan pembunuhan


dengan cara manual atau dengan alat yang diakibatkan oleh suatu jeratan dan semakin erat

2.

karena kekuatan lain, bukan karena berat badan korban.


Mekanisme kematian dari penjeratan,

gantung

diri

maupun

penggantungan dapat disebabkan oleh asfikisa, refleks vaso vagal, atau fraktur vertebra
servikal

VII. Asepek Medikolegal


Prosedur mediko-legal adalah tata-cara atau prosedur penatalaksanaan dan berbagai
aspek yang berkaitan pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum. Secara garis besar
prosedur mediko-legal mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku
di Indonesia, dan pada beberapa bidang juga mengacu kepada sumpah dokter dan etika
kedokteran.

11

Penjeratan merupakan kasus pembunuhan, sedangkan pada penggantungan lebih sering


terjadi pada kasus bunuh diri. Tetapi tidak menolak kemungkinan korban penggantungan mati
akibat penganiayaan. Di sini lah dapat dilihat fungsinya dari satu perundangan yang ditetapkan.
Pada buku kedua KUHP Bab XIX tentang kejahatan terhadap nyawa. Berikut merupakan pasalpasal yang terkandung dalam bab XIX KUHP.18,19
1. Pasal 338
Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan
dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
2. Pasal 339
Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu perbuatan pidana, yang
dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya, atau untuk
melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan,
ataupun untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum,
diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh
tahun.
3.

Pasal 340
Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang

lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana rnati atau pidana penjara
seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.
4.

Pasal 345
Barang siapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan

itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat
tahun kalau orang itu jadi bunuh diri.
Pada kasus penjeratan, penggantungan, dan gantung diri dokter forensik dipanggil untuk
membuat pemeriksaan lengkap sesuai dengan Pasal 133 KUHAP yang menyatakan dalam hal
penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun
mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan
permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
Pada pasal 133 KUHAP (ayat 2 dan 3) menyatakan permintaan keterangan ahli sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas
untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat; dan mayat
12

yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakukan
secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat
identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian
lain badan mayat. Pernyataan ini menjadi dasar pembuatan visum et repertum (laporan bertulis)
pada kasus tindak pidana.19
Salah satu pemeriksaan yang dilakukan pada korban mati akibat penjertan,
penggantungan, dan gantung diri adalah otopsi. Hal ini dapat membantu dokter forensik untuk
mengetahui mekanisme kematian sehingga dapat membantu penyidik mengetahui cara kematian
korban. Sesuai dengan Pasal KUHP 222 yang menyatakan barang siapa dengan sengaja
mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan pemeriksaan mayat forensik, diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah.19
Pada persidangan kasus pidana, dokter forensik akan dipanggil sebagai saksi ahli. Sesaui
dengan Pasal 179 ayat 1 KUHAP yang menyatakan setiap orang yang diminta pendapatnya
sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan
ahli demi keadilan.19

13

Daftar Pustaka

1. Idries A. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi 1. PT Binarupa Aksara. Jakarta


Barat. 1989. Hal 169-209
2. Leonardo. Asifiksia Forensik. Cited

October

27th

2014. Available at :

http://www.kabarindonesia.com.
3. Arun M. Methods of suicide. A medicolegal perspective. JIAFM. 2006: 28 (1). P 22-26.
4. Sauvageau A. About Strangulation and Hanging: Language Matters. Journal of
Emergencies, Trauma and Shock. 2011 April-June; 4(2):320.
5. Budianto A, dkk. Ilmu kedokteran forensik. Edisi 1. Bagian kedokteran forensik fakultas
kedokteran Indonesia. Jakarta.1997. Hal 55-64.
6. Hoediyanto, Hariadi A. Buku ajar ilmu kedokteran forensik dan medikolegal. Edisi 7.
Departemen ilmu kedokteran forensik dan medikolegal fakultas kedokteran universitas
airlangga. Surabaya. 2011.
7. Dix J. Color atlas of forensic pathology. CRC Press LLC. New York. 2000. P. 98-105.
8. Susanti R. Kematian tahanan di ruang sel polisi kontrofersi pembunuhan atau bunuh diri.
Majalah

kedokteran

andalas.

Edisi

1.

Vol.

35.

Januari-juni

2012.

www.

Mka.fk.unad.ac.id.
9. Rom J.L. Possible death mechanism other then respiratory asphyxia: RS of LM. Turkey:
2013. P 169-72.
10. Skhrum J. Michael MD, Ramsay A. David, MB, ChB; Forensic Pathology of Trauma,
Common Problems for The Pathologist : Tontowa, New Jersey: 2007. Page : 81-107.
11. Nabachandra h. Auto erotic hanging brought as a caseof suicidal hanging. Jiafm, 2004;
26(3). P 119-20.
12. Dimaio D, Dimaio VJ. Forensic Pathology. 2 nd . Asphyxia. CRC Press, LLC. New York:
2001. P 248.
14

13. Raos. Dinesh. Forensic phatology. Hanging.


www.forensicphatology.online.com. Accessed on October 26th, 2014.
14. Anonym. Tanatologi, pengertian, identifikasi kematian mendadak.

2009.

www.Forensicpathologyonline.com Accessed on October 26th, 2014


15. Hawley D. Death By Strangulation. Accessed on June 23rd 2008. P 1-9.
16. Dolinak D, Mathes E, Lew E. Forensic pathology. Principle and practice. Asphyxia.
Elsiver APP. China: 2005. P. 201-22.
17. Ernoehazy JR. W. Hanging injuries and strangulation drag and disease. MD Emergency
Departmemt. Florida: 2013. Accessed on October 26th, 2014.
18. Bayu Johny. Peranan ilmu kedokteran dalam hokum dan peradilan. Accessed on October
27th, 2014. Avalible at:
http://www.medicinesia.com/harian/peranan-ilmu-kedokteran-dalam-hukum-danperadilan.
19. KUHPer, KUHP, KUHAP. Cetakan 1. Pustaka Yustisia. Yogyakarta: 2009. Hal. 540, 571,
684, 699.

15

Anda mungkin juga menyukai