PENDAHULUAN
1
1.2 Tujuan Umum
1) Mengetahui tentang kesehatan lansia
2) Mengetahui gejala klinin lansia dengan demensia
1.3 Tujuan Khusus
1) Mengetahui peranan dokter keluarga pada lansia dengan demensia
1.4 Rumusan Masalah
1) Definisi dokter keluarga
2) Standar pelayanan dokter keluarga
3) Tujuan pelayanan dokter keluarga
4) Manfaat pelayanan dokter keluarga
5) Apa itu kesehatan lansia?
6) Gejala klinis lansia dengan demensia
7) Mendiagnosa lansia dengan demensia
8) Bagaimana peranan dokter keluarga pada lansia dengan demensia?
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Pelayanan dokter keluarga memiliki sistim untuk memperhatikan
pemeliharaan kesehatan dan peningkatan kesehatan pasien dan
keluarganya.
4) Deteksi dini
5) Kuratif medik
8) Etik medikolegal
1) Anamnesis
5
beberapa diagnosis banding yang mungkin dengan pendekatan diagnosis
holistik.
4) Prognosis
5) Konseling
6) Konsultasi
7) Rujukan
8) Tindak lanjut
6
Pada saat - saat dinilai perlu, dokter keluarga menganjurkan untuk
dapat dilaksanakan tindak lanjut pada pasien, baik dilaksanakan di klinik,
maupun di tempat pasien.
9) Tindakan
c. Standar PelayananMenyeluruh(standardofholisticofcare)
7
2) Pasien adalah bagian dari keluarga dan lingkungannya
2) Mitradokter-pasien
1) Pelayanan proaktif
9
4) Pendampingan
2. Masa konsultasi
10
keluhan dan keinginannya, cukup untuk dokter menjelaskan apa yang
diperolehnya pada anamnesa dan pemeriksaan fisik, serta cukup
untuk menumbuhkan partisipasi pasien dalam melaksanakan
penatalaksanaan yang dipilihnya, sebisanya 10 menit untuk setiap
pasien.
4. Komunikasi efektif
11
Dokter keluarga melaksanakan praktik dengan bantuan satu atau
beberapa tenaga kesehatan dan tenaga lainnya berdasarkan atas
hubungan kerja yang profesional dalam suasana kekeluargaan.
3) Pemimpin klinik
12
diambil oleh dokter lain dan memperbaiki penatalaksanaan pasien
atas kepentingan pasien tanpa merugikan nama dokter lain.
3) Perkumpulan profesi
13
Pelayanan dokter keluarga mempunyai itikad baik dalam
pendidikan dokter keluarga, dan berusaha untuk berpartisipasi pada
pelatihan mahasiswa kedokteran atau pelatihan dokter.
5) Penulisan ilmiah
14
2) Partisipasi dalam kegiatan kesehatan masyarakat
1) Dokter keluarga
2) Perawat
15
3) Bidan
4) Administrator klinik
1) Pencatatan keuangan
1) Pembagian kerja
16
Semua personil mengerti dengan jelas pembagian kerjanya
masing - masing.
2) Program pelatihan
4) Alat komunikasi
5) Papan nama
1) Peralatan medis
18
2) Peralatan penunjang medis
19
pelayanannya.
4) Pengelolaan limbah
6) Pengelolaan obat
Pelayanan dokter keluarga melaksanakan sistim pengelolaan obat sesuai prosedur yang
berlaku termasuk mencegah penggunaan obat yang kadaluwarsa. (Eka Prasetyawati,
2015)
5. Tujuan Umum
6. Tujuan Khusus
d. Jika seluruh anggota keluarga ikut serta dalam pelayanan, maka segala
keterangan tentang keluarga tersebut, baik keterangan kesehatan dan
ataupun keterangan keadaan sosial dapat dimanfaatkan dalam menangani
masalah kesehatan yang sedang dihadapi.
22
2.5 Apa itu kesehatan lansia?
Beberapa faktor yang dihadapi lansia yang sangat mempengaruhi kesehatan jiwa
mereka adalah perubahan kondisi fisik, perubahan fungsi dan potensi seksual, perubahan
aspek psikososial, perubahan yang berkaitan dengan pekerjaan, dan perubahan peran
sosial di masyarakat.
Setelah orang memasuki masa lansia, umumnya mulai dihinggapi adanya kondisi fisik
yang bersifat patologis. Misalnya, tenaga berkurang, kulit makin keriput, gigi makin
rontok, tulang makin rapuh, berkurangnya fungsi indra pendengaran, penglihatan, gerak
fisik dan sebagainya maka muncul gangguan fungsional atau bahkan kecacatan pada
lansia misalnya badan menjadi bungkuk, pendengaran berkurang, penglihatan kabur,
sehingga menimbulkan keterasingan.
Perubahan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia sering kali berhubungan dengan
berbagai gangguan fisik seperti gangguan jantung, gangguan metabolisme, vaginitis, baru
selesai operasi (prostatektomi), kekurangan gizi (karena pencernaan kurang sempurna
atau nafsu makan sangat kurang), penggunaan obat-obatan tertentu (antihipertensi,
golongan steroid, tranquilizer), dan faktor psikologis yang menyertai lansia seperti rasa
malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada lansia, sikap keluarga dan
masyarakat yang kurang menunjang serta diperkuat oleh tradisi dan budaya, kelelahan
atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupannya, pasangan hidup telah
meninggal dunia, dan disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah
kesehatan jiwa lainnya misalnya cemas, depresi, pikun, dan sebagainya.
23
Perubahan Aspek Psikososial
Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia mengalami penurunan fungsi
kognitif dan fungsi psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi,
pemahaman, pengertian, perhatian, dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan
perilaku lansia menjadi makin lambat. Sementara fungsi psikomotorik (konatif) meliputi
hal-hal yang berhubungan dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan,
koordinasi yang berakibat bahwa lansia menjadi kurang cekatan.
Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga mengalami perubahan aspek
psikososial yang berkaitan dengan keadaan kepribadian lansia. Beberapa perubahan
tersebut dapat dibedakan berdasarkan lima tipe kepribadian lansia adalah sebagai berikut:
24
Perubahan yang berkaitan dengan pekerjaan
Pada umumnya perubahan ini diawali ketika masa pensiun. Meskipun tujuan ideal
pensiun adalah agar para lansia dapat menikmati hari tua atau jaminan hari tua, namun
dalam kenyataannya sering diartikan sebaliknya karena pensiun sering diartikan
kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status, dan harga diri.
Adapun beberapa masalah kesehatan yang sering terjadi pada lansia berbeda
dari orang dewasa, yang menurut Kane & Ouslander sering disebut dengan istilah 14 I,
yaitu Immobility (kurang bergerak), Instability (berdiri dan berjalan tidak stabil atau
mudah jatuh), Incontinence (beser buang air kecil dan atau buang air besar),
Intellectual impairment (gangguan intelektual/ dementia), Infection (infeksi),
Impairment of vision and hearing, taste, smell, communication, convalescence, skin
integrity (gangguan pancaindera, komunikasi, penyembuhan, dan kulit), Impaction
(sulit buang air besar), Isolation (depresi), Inanition (kurang gizi), Impecunity (tidak
punya uang), Iatrogenesis (menderita penyakit akibat obat-obatan), Insomnia
25
(gangguan tidur), Immune deficiency (daya tahan tubuh yang menurun), dan Impotence
(impotensi)
Secara garis besar penilaian ada lansia meliputi penilaian kondisi medis,
fungsional, psikologis dan status sosial. Penilaian pada lansia bertujuan untuk
menentukan kemampuan medis, psikologis dan fungsional dari orang tua yang lemah
dalam rangka untuk mengembangkan rencana yang terpadu untuk pengobatan dan
tindak lanjut jangka panjang.
3. Penilaian Psikologi
Penilaian yang dilakukan terkait permasalahn psikologi adalah penilaian
terhadap gangguan fungsi kognitif dan penilaian terkait depresi pada lansia.
Instrumen yang digunakan dalam menilai kemampuan fungsi kognitif lansia
bisa menggunakan MMSE (Mini Mental Score Examination) atau dengan
menggunakan instrumen MoCA (Montreal Cognitive Assesment). Untuk
mendeteksi adanya gangguan depresi pada lansia, instrumen yang biasanya
digunakan adalah Geriatric Depression Scale-15 (GDS-15)
Keadaan dan dukungan lingkungan merupakan salah satu hal yang harus
diperhatikan atau dinilai pada seseorang yang memasuki usia lanjut.
Penilaian terhadap lingkungan dapat menjadi tolak ukur dalam
mengevaluasi potensial hazard. Penilaian fungsi sosial juga terdiri dari
penilaian stresor finansial dan penilaian terhadap kekhawatiran dari
keluarga atau seseorang yang menemani lansia.
27
mengalami penurun. Penurunan terjadi pada materi verbal dan non verbal. Penurunan
ini juga harus didapatkan secara objektif dengan mendapatkan informasi dari orang –
orang yang sering bersamanya, atau pun dari tes neuropsikologi atau pengukuran
status kognitif. Tingkat keparahan penurunan dinilai sebagai berikut
28
3. Severe, penurunan ini ditandai dengan ada atau tidak adanya pemikiran yang
dapat dimenerti. Hal – hal tersebut tadi ada minimal 6 bulan baru dapat
dikatakan dementia.
Tingkat keparahan keseluruhan demensia dinyatakan melalui tingkat penurunan
memori atau kemampuan kognitif lainnya, dan bagian mana yang mengalami
penurunan yang lebih parah (misalnya ringan pada memori dan penurunan moderat
dalam kemampuan kognitif menunjukkan demensia keparahan moderat).
Pada dementia harus tidak didapatkan delirium. Selain itu, pada demensia terjadi
penurunan pengendalian emosi atau motivasi, atau perubahan perilaku sosial,
bermanifestasi sebagai berikut (setidaknya ada salah satu).
1. Adanya penurunan kemampuan daya ingat dan daya pikir, yang sampai
mengganggu kegiatan harian seseorang ( personal activities of daily living )
seperti : mandi, berpakaian, makan, kebersihan diri, buang air besar dan kecil
2. Tidak ada gangguan kesadaran ( clear consiousness ).
3. Gejala dan disabilitas sudah nyata untuk paling sedikit 6 bulan.
29
2.7 Mendiagnosa lansia dengan demensia
Penegakan diagnosis
Dalam menegakkan diagnosis klinis dari demensia dilakukan hal-hal sebagai berikut:
Anamnesis
Anamnesis (wawancara) dilakukan pada penderita, keluarga atau pengasuh yang
mengetahui perjalanan penyakit pada pasien. Hal yang penting untuk diperhatikan pada
saat melakukan anamnesis adalah riwayat penurunan fungsi terutama fungsi kognitif pada
pasien dibandingkan sebelumnya, mendadak atau progresif lama dan adanya perubahan
perilaku kepribadian.
a. Riwayat medis umum
Ditanyakan faktor resiko demensia, riwayat infeksi kronis (misalnya HIV dan sifilis),
gangguan endokrin (hiper/hipotiroid), diabetes melitus, neoplasma/tumor, penyakit
jantung, penyakit kolagen, hipertensi, hiperlipidemia dan aterosklerosis perifer mengarah
ke demensia vaskular.
b. Riwayat neurologis
Bertujuan untuk mengetahui etiologi demensia seperti riwayat gangguan serebrovaskular,
trauma kapitis, infeksi sistem saraf pusat , epilepsi, stroke, tumor serebri dan
hidrosefalus.
c. Riwayat gangguan kognitif
Riwayat gangguan memori sesaat, jangka pendek dan jangka panjang yang
meliputi:
Gangguan orientasi orang, waktu dan tempat
Gangguan berbahasa/komunikasi (kelancaran, menyebut maupun gangguan
komprehensif)
Gangguan fungsi eksekutif (pengorganisasian, perencanaan dan pelaksanaan suatu
aktifitas)
Gangguan praksis dan visuospasial.
Hal lain yang perlu untuk diketahui mengenai aktifitas harian yang dilakukan
pasien diantaranya melakukan pekerjaan, mengatur keuangan, mempersiapkan
keperluan harian, melaksanakan hobiserta mengikuti aktifitas sosial.
d. Riwayat gangguan perilaku dan kepribadian
Pada penderita demensia dapat ditemukan gejala-gejala neuropsikologis berupa waham,
halusinasi, miss identifikasi, depresi, delusi, pikiran paranoid, apatis dan cemas. Gejala
30
perilaku salah satu contohnya dapat berupa bepergian tanpa tujuan, agitasi, agresivitas
fisik maupun verbal, kegelisahan dan disinhibisi (rasa malu).
e. Riwayat keracunan, nutrisi dan obat-obatan
Adanya riwayat intoksikasi aluminium, air raksa, pestisida, insektisida, lem, alkoholisme
dan merokok. Riwayat pengobatan terutama pemakaian kronis obat anti depresan dan
narkotika perlu diketahui.
f. Riwayat keluarga
Mencari riwayat terhadap keluarga, apakah keluarga mengalami demensia atau riwayat
penyakit serebrovaskular, depresi, penyakit parkinson, retardasi mental, dan gangguan
psikiatri
g. Pemeriksaan objektif
Pemeriksaan untuk deteksi demensia harus meliputi pemeriksaan fisik umum,
pemeriksaan neurologis, pemeriksaan neuropsikologis, pemeriksaan status fungsional dan
pemeriksaan psikiatrik
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik terdiri dari pemeriksaan umum, pemeriksaan neurologis dan
pemeriksaan neuropsikologis.
a. Pemeriksaan umum
Pemeriksaan ini terdiri dari pemeriksaan medis umum atau status interna seperti yang
dilakukan dalam praktek klinis.
b. Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan ini penting dilakukan untuk membedakan proses degeneratif primer atau
sekunder dan kondisi komorbid lainnya. Pasien Demensia Alzheimer onset awal pada
umunya memiliki pemeriksaan neurologis yang normal. Kelainan hanya didapatkan pada
status mental pasien. Gejala tambahan spesifik selain status mental dapat mengarah ke
suatu diagnosis tertentu. Peningkatan tonus otot dan bradikinesia dengan tidak adanya
gejala tremor mengarah pada dementia Lewy’s Body. Refleks asimetris, defisit lapang
pandang dan lateralisasi mengindikasikan dementia vaskuler. Myoklonus sugesti pada
Creutzfeldt-Jakob. Neuropati perifer dapat mengarah pada toksin dan enselopati
metabolik. Pemeriksaan pendengaran dan visus penting untuk dilakukan karena dapat
mempengaruhi pemeriksaan MMSE (Sorbi et al, 2012). Pemeriksaan neurologis dapat
juga digunakan untuk mengetahui adanya tekanan tinggi intrakranial, gangguan
neurologis fokal misalnya: gangguan berjalan, gangguan motorik, sensorik, otonom,
koordinasi, gangguan penglihatan, pendengaran, keseimbangan, tonus otot, gerakan
31
abnormal/apraksia dan adanya refleks patologis dan primitif (Asosiasi Alzheimer
Indonesia, 2003).
c. Pemeriksaan neuropsikologis
Pemeriksaan neuropsikologis meliputi evaluasi memori, orientasi, bahasa, kalkulasi,
praksis, visuospasial dan visuoperceptual. Mini Mental State Examination (MMSE) dan
Clock Drawing Test (CDT) adalah pemeriksaan awal yang berguna untuk mengetahui
adanya disfungsi kognisi, menilai efektivitas pengobatan dan untuk menentukan
progresivitas penyakit. Nilai normal MMSE adalah 24-30. Gejala awal demensia perlu
dipertimbangkan pada penderita dengan nilai MMSE kurang atau dibawah dari 27
terutama pada golongan berpendidikan tinggi. Pemeriksaan aktifitas harian dengan
pemeriksaan Activity of Daily Living (ADL) dan instrumental Activity of Daily Living
(IADL) dapat pula dilakukan. Hasil pemeriksaan tersebut dipengaruhi olehtingkat
pendidikan, sosial dan budaya (Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003).
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk penegakkan demensia meliputi pemeriksaan laboratorium,
pencitraan otak, elektro ensefalografi dan pemeriksaan genetika.
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap termasuk elektrolit, fungsi ginjal, fungsi hati, hormon tiroid
dan kadar vitamin B12. Pemeriksaan HIV dan neurosifilis pada penderita dengan resiko
tinggi. Pemeriksaan cairanotak bila terdapat indikasi.
b. Pemeriksaan pencitraan otak
Pemeriksaan ini berperan untuk menunjang diagnosis, menentukan beratnya penyakit
serta prognosis. Computed Tomography (CT) – Scan atau Metabolic Resonance Imaging
(MRI) dapat mendeteksi adanya kelainan struktural sedangkan Positron Emission
Tomography (PET) dan Single Photon Emission Tomography (SPECT) digunakan untuk
mendeteksi pemeriksaan fungsional. MRI menunjukkan kelainan struktur hipokampus
secara jelas dan berguna untuk membedakan demensia alzheimer dengan demensia
vaskular pada stadium awal.
c. Pemeriksaan Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG tidak menunjukkan adanya kelainan yang spesifik. Pada stadium lanjut
ditemukan adanya perlambatan umum dan kompleks secara periodik.
d. Pemeriksaan Genetika
Apolipoprotein E (APOE) adalah suatu protein pengangkut lipid polimorfik yang
memiliki 3 allel yaitu epsilon 2, epsilon 3, dan epsilon 4. Setiap allel mengkode bentuk
32
APOE yang berbeda. Meningkatnya frekuensi epsilon 4 diantara penyandang demensia
Alzheimer tipe awitan lambat atau tipe sporadik menjadikan genotif APOE epsilon 4
sebagai penanda untuk demensia. (Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003).
A.2 Mini Mental State Examination (MMSE)
Pemeriksaan demensia dapat menggunakan Mini Mental State Examination (MMSE)
yang merupakan gold standar untuk diagnosis demensia. Pemeriksaan neuropsikologi ini
pertama kali diperkenalkan oleh Folstein pada tahun 1975. Pemeriksaan ini mudah
dikerjakan dan membutuhkan waktu yang relatif singkat yaitu antara lima sampai sepuluh
menit yang mencakup penilaian orientasi, registrasi, perhatian dan kalkulasi, mengingat
kembali serta bahasa. Pasien dinilai secara kuantitatif pada fungsifungsi tersebut dengan
nilai sempurna adalah 30. Pemeriksaan MMSE dapat digunakan secara luas sebagai
pemeriksaan yang sederhana dan cepat untuk mencari kemungkinan munculnya defisit
kognitif sebagai tanda demensia (Kaplan & Sadock, 2010). Pemeriksaan ini juga
digunakan secara luas pada praktik klinis sebagai instrumen skrining kognitif yang telah
dibuktikan dalam studi National Institute of Mental Health yang menyebutkan bahwa
MMSE sebagai penilai fungsi kognitif yang direkomendasikan untuk kriteria diagnosis
penyakit Alzheimer dan dikembangkan oleh National Institute of Neurological and
Communication Disorders & Stroke and the Alzheimer’s Disease & Related Disordes
Association. interpretasi MMSE didasarkan pada skor yang diperoleh pada saat
pemeriksaan:
1. Skor 27-30 diinterpretasikan sebagai fungsi kognitif normal,
2. Skor 21-26 diinterpretasikan sebagai gangguan fungsi kognitif ringan
3. Skor 10-20 diinterpretasikan sebagai gangguan fungsi kognitif sedang
4. Skor < 10 diinterpretasikan sebagai gangguan fungsi kognitif berat.
34
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam perawatan lansia penderita
demensia yang tinggal di rumah. Hidup bersama dengan penderita demensia bukan hal
yang mudah, tapi perlu kesiapan khusus baik secara mental maupun lingkungan sekitar.
Pada tahap awal demensia penderita dapat secara aktif dilibatkan dalam proses perawatan
dirinya. Membuat catatan kegiatan sehari-hari dan minum obat secara teratur. Ini sangat
membantu dalam menekan laju kemunduran kognitif yang akan dialami penderita
demensia.
Maka dari itu diperlukan juga peranan dokter keluarga untuk melihat aspek dari
segala sisi mulai dari, diri pasien itu sendiri, keluarga pasien lansia dengan demensia, dan
juga lingkungan social si penderita.
35
DAFTAR PUSTAKA
Kaplan HI, Sadock BJ, and G. J. (2010). Sinopsis Psikiatri: Ilmu Pengetahuan
Perilaku Psikiatri Klinis. Jilid Satu. Editor: Dr. I. Made Wiguna S. Jakarta: Bina
Rupa Aksara.hlm.113-129, 149-183.
Kuntjoro, Z.S. (2002). Masalah kesehatan jiwa lansia. Dibuka pada website
http://www.e-psikologi.com/epsi/lanjutuisa_detail.asp?id=182-17k- . Pada
tanggal 1 Desember 2018
Setiati, S., Harimurti, K., & R, A. G. (2009). Proses Menua dan Implikasi Kliniknya.
Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, dan Setiati S,
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.hlm.1335-
1340.
36
37