Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Lanjut usia (lansia) merupakan puncak dari rentang kehidupan manusia,

melalui adanya penuaan yang muncul secara alami pada setiap individu. Pada

lansia akan banyak mengalami penurunan, baik itu fisik, mental, maupun sosial.

Secara biologis, proses penuaan merupakan suatu perubahan fungsi dan struktur

organ, yang ditandai dengan adanya gambaran dari aktivitas fisik yang perlahan

akan berkurang. Hal tersebut menyebabkan adanya banyak lansia yang akan

bergantung pada orang lain terhadap aktivitas sehari – hari yang dilakukannya

atau Activity Daily Living (ADL) (Kusuma, 2018).

Menurut data BPS (2015) pada tahun 2012 Provinsi NTB memiliki jumlah

penduduk mencapai 4.6 juta jiwa dan memiliki jumlah lansia sekitar 330 ribu

jiwa. Kemudian terjadi peningkatan yang cukup signifikan pada tahun 2013

yaitu 340 ribu jiwa dan tahun 2014 sebanyak 360 ribu jiwa. Daerah Lombok

sendiri memiliki jumlah lansia sebanyak 125 ribu jiwa pada tahun 2014.

Kemudian pada tahun 2015 jumlah lansia mengalami peningkatan sebanyak

137 ribu jiwa.

Secara alamiah, proses penuaan mengakibatkan kemunduran kemampuan

fisik dan mental. Salah satu penyakit fisik yang dialami lansia adalah hipertensi.

Hipertensi adalah salah satu penyebab utama kematian dini diseluruh dunia.

1
Hampir 1 milyar orang diseluruh dunia menderita hipertensi. Kebanyakan orang

dengan hipertensi tidak memiliki gejala sama sekali, inilah mengapa dikenal

sebagai "silent killer". Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung, stroke,

infak miokard, diabetes dan gagal ginjal. Semakin tinggi tekanan darah,

semakin tinggi risiko kerusakan pada jantung dan pembuluh darah di organ

utama seperti otak dan ginjal, seseorang dikatakan menderita hipertensi jika

tekanan darahnya sama dengan atau lebih dari 140/90 mmHg (WHO, 2018).

Penyakit hipertensi dapat dicegah bila faktor risiko dikendalikan. Beberapa

faktor risiko yang mendorong timbulnya kenaikan tekanan darah yaitu pola

hidup yang buruk seperti merokok, asupan garam berlebih, obesitas, aktivitas

fisik, dan kecemasan, selain itu terdapat faktor genetis dan usia,

ketidakseimbangan antara modulator vasokontriksi dan vasodilatasi, serta

sistem renin, angiotensin, dan aldosteron (Yogiantoro, 2006).

Pada tahun 2008, secara global, keseluruhan prevalensi hipertensi (termasuk

yang menggunakan obat antihipertensi) pada orang dewasa berusia 25 tahun ke

atas adalah sekitar 40%. Prevalensi hipertensi tertinggi di wilayah Afrika

sebesar 46% dan terendah di wilayah Amerika sebesar 35%. Di wilayah Asia

Tenggara, 36% orang dewasa menderita hipertensi (WHO, 2013).

Prevalensi hipertensi di Indonesia yang didapat melalui pengukuran pada

usia ≥18 tahun sebesar 25,8%, tertinggi di Bangka Belitung (30,9%), sedangkan

terendah di Papua (16,8%) (Riskesdas, 2013). Berdasarkan data tersebut dari

25,8% orang yang mengalami hipertensi hanya 1/3 yang terdiagnosis, sisanya

2/3 tidak terdiagnosis (Kemenkes RI, 2014).

2
Di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) prevalensi hipertensi yang didapat

melalui pengukuran pada usia ≥18 tahun sebesar 24,3%. Kabupaten/kota

dengan prevalensi hipertensi tertinggi yaitu di Lombok Timur sebesar 47,64%,

tertinggi kedua yaitu Sumbawa 42,03%. Prevalensi hipertensi di Lombok Barat

sebesar 1,41% (Profil Kesehatan kabupaten/Kota Provinsi NTB, 2015).

Kemudian berdasarkan data yang dimiliki oleh Balai Sosial Lanjut Usia

(BSLU) Mandalika Provinsi NTB, didapatkan prevalensi Hipertensi pada tahun

2017 dari jumlah 74 lansia sebanyak 24 mencapai (32,4%). Kemudian pada

tahun 2018 mengalami peningkatan dari jumlah 80 lansia sebanyak 33

menderita hipertensi (40%) (Sukardin, 2018).

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, kecemasan merupakan satu-satunya

faktor psikologis yang mempengaruhi hipertensi, sebagai koping tubuh melalui

respon fisiologis yang terdiri dari sistem kardiovaskular, sistem pernafasan,

sistem gastrointestinal, sistem urinarius, serta sistem integumen sebagai upaya

melawan kecemasan atau perasaan tidak menyenangkan (Anwar 2009). Istilah

Kecemasan merupakan gangguan berupa kecemasan dan kekhawatiran yang

berlebihan yang membuat penderita tersebut sulit mengendalikan rasa

kekhawatiran yang timbul. Selain kekhawairan, setidaknya penderita

kecemasan ini mengalami tiga atau lebih di antara hal-hal berikut:

ketidaksabaran, sangat mudah lelah, sulit berkonsentrasi, mudah tersinggung,

ketegangan otot, dan gangguan tidur.

Seiring dengan bertambahnya usia, banyaknya faktor resiko dari berbagai

penyakit akan dapat terjadi, utamanya adalah penyakit kronis. Penyakit kronis

3
merupakan penyakit dimana onset terjadinya membutuhkan waktu yang lama,

sehingga hal tersebut sering untuk menimbulkan kematian. Menurut asosiasi

psikologi amerika menyatakan, hal tersebut secara langsung akan menyebabkan

gangguan anxietas atau kecemasan pada lansia mengenai masalah kesehatannya

(American Psychological Association. 2010).

Berdasarkan WHO (2017) total perkiraan jumlah orang hidup dengan

gangguan kecemasan di dunia ini 264 juta, sedangkan di Amerika sebanyak

7,7% dari populasi wanita diperkirakan menderita gangguan kecemasan (pria,

3,6%). Data Riskesdas (2013) memunjukkan prevalensi ganggunan mental

emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan untuk

usia 15 tahun ke atas mencapai sekitar 14 juta orang atau 6% dari jumlah

penduduk Indonesia.

Pada kecemasan di samping kerja otot, peningkatan tekanan darah yang

serupa juga dapat terjadi. Selama kecemasan terjadi, tekanan arteri bisa

meningkat sampai dua kali normal dalam waktu beberapa detik. Keadaan ini

disebut mekanisme koping, dan hal ini meningkatkan tekanan arteri yang dapat

dengan segera menyediakan darah bagi setiap organ tubuh. kecemasan juga

dapat menimbulkan saraf otonom untuk meningkatkan tekanan arteri, terdapat

banyak mekanisme pengaturan saraf khusus saraf yang bersifat bawah sadar

yang bekerja sepanjang waktu untuk mepertahankan tekanan arteri pada atau

mendekati normal (Guyton, 2013).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kecemasan berhubungan

dengan hipertensi, individu dengan kecemasan memiliki risiko hipertensi lebih

4
tinggi daripada mereka yang tidak cemas (Bacon, 2014). Beberapa penelitian

lain mengungkapkan bahwa pasien hipertensi memiliki risiko kecemasan yang

lebih tinggi daripada mereka yang tidak hipertensi (Hamer, 2010). Namun,

beberapa peneliti tidak mendukung peran dalam gejala kecemasan dalam

menimbulkan hipertensi, yang paling berperan adalah bergantung pada

kesejahteraan fisik seseorang dalam menimbulkan hipertensi (Witlink et al,

2011).

Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian tentang “Hubungan Kecemasan dengan Kejadian Hipertensi pada

Lansia di Balai Sosial Lanjut Usia Mandalika Mataram tahun 2019”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan

masalah dalam penelitian ini “Adakah Hubungan Kecemasan dengan Kejadian

Hipertensi pada Lansia di Balai Sosial Lanjut Usia Mandalika Mataram tahun

2019?”

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui Hubungan Kecemasan dengan Kejadian

Hipertensi pada Lansia di Balai Sosial Lanjut Usia Mandalika Mataram

tahun 2019

1.3.2 Tujuan Khusus

5
1. Mengidentifikasi kecemasan pada lanjut usia di Balai Sosial Lanjut

Usia Mandalika Mataram.

2. Mengidentifikasi kejadian hipertensi pada lanjut usia di Balai Sosial

Lanjut Usia Mandalika Mataram.

3. Menganalisis hubungan Kecemasan dengan Kejadian Hipertensi

pada Lansia di Balai Sosial Lanjut Usia Mandalika Mataram

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Pengembangan ilmu

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kepustakaan serta

pembelajaran guna perkembangan ilmu kesehatan dan dapat pula

digunakan sebagai bahan referensi untuk penelitian di bidang

kedokteran berikutnya.

1.4.2 Bagi Pengembangan Praktis

1.4.2.1 Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan untuk melakukan

penyuluhan bagi petugas kesehatan berkaitan dengan pengaruh

kecemasan terhadap kejadian hipertensi sehingga dapat

dilakukan tindak pencegahannya.

1.4.2.2 Memberikan informasi kepada masyarakat bahwa salah satu

faktor penyebab terjadinya hipertensi yaitu kecemasan tetang

memikirkan hal yang belum terjadi, sehingga diharapkan

masyarakat lebih peduli terhadap berbagai faktor yang dapat

meningkatkan resiko tentang kesehatan psikologis.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kecemasan

2.1.1 Definisi

Kecemasan merupakan respon adaptif tubuh yang memiliki

lifesaving qualities, mengingatkan akan adanya cedera pada tubuh, nyeri,

ketidakberdayaan, kemungkinan hukuman, atau frustasi dari kebutuhan

sosial atau tubuh, perpisahan dari orang yang dicintai, gangguan pada

keberhasilan atau status seseorang, dan akhirnya ancaman pada kesatuan

dan keutuhan seseorang. Kecemasan mampu membuat manusia

melakukan beberapa hal untuk mengatasi masalah tersebut (Sadock,

2014).

2.1.2 Prevalensi

Gangguan kecemasan merupakan gangguan mental yang paling

umum pada populasi luas. Prevalensi global gangguan kecemasan pada

tahun 2013 mulai dari 0,9% sampai 28,3% serta wanita lebih sering

mengalami gangguan kecemasan daripada laki-laki (Centers of Disease

Control and Prevention, 2013).

Pada penelitian terbaru oleh wolitzky - taylor ( 2010) melaporkan

perkiraan prevalensi gangguan kecemasan pada lanjut usia , mulai dari 3,2

% menjadi 14,2 %. comorbidity survey replication (NSC - r ) melaporkan 7

7
% lanjut usiadengan usia di atas 65 tahun memenuhi kriteria gangguan

kecemasan dalam satu tahun terakhir.

2.1.3 Etiologi

Sadock pada tahun 2014 menjelaskan bahwa ada tiga teori

psikologis yang menyebabkan kecemasan. Teori itu adalah :

a. Teori psikoanalitik

Menurut Freud, ketidakseimbangan dari id, ego, dan superego dapat

menimbulkan kecemasan. Id bertindak dengan prinsip kesenangan yang

mengarahkan perilaku untuk mencari situasi yang menyenangkan atau

memuaskan. Superego adalah sub-sistem yang berupa pesan-pesan moral

dan sosial yang mengandung nilai norma maupun spiritual. Ketegangan

antara id dan superego akan menimbulkan kecemasan. Kecemasan

sebagai suatu sinyal akan menyadarkan ego untuk melakukan suatu

tindakan defensif terhadap tekanan tersebut. Apabila tindakan ini

melebihi respon kecemasan normal, akan terjadi semua kehebatan

serangan panik. Dalam teori psikoanalitik, ada empat empat kategori

kecemasan, yaitu:

1) Kecemasan id atau impuls

Kecemasan id atau impuls berhubungan dengan ketidaknyamanan

primitif atau difus pada seorang bayi jika merasa butuh sesuatu atau

merasa dalam keadaan bahaya dan tidak memungkinkan adanya

pengendalian.

8
2) Kecemasan perpisahan

Kecemasan perpisahan biasanya terjadi pada anak-anak masa praoedipal

yang takut kehilangan cinta atau ditelantarkan orang tuanya jika merasa

gagal mengendalikan impuls sesuai standar orang tuanya.

3) Kecemasan kastrasi

Kecemasan kastrasi terjadi pada anak oedipal, khususnya dalam

hubungan dengan impuls seksual anak yang sedang berkembang.

4) Kecemasan superego

Kecemasan superego merupakan kecemasan akibat langsung dari

perkembangan akhir superego yang menandai berlalunya kompleks

oedipus dan datangnya periode latensi prapubertal.

b. Teori perilaku

Teori perilaku menyatakan bahwa kecemasan merupakan suatu respon

kebiasaan dari suatu keadaan tertentu. Kemungkinan penyebab pada

seseorang yang memiliki suatu respon kecemasan internal adalah karena

meniru respon kecemasan orang tuanya.

c. Teori eksistensial

Teori ini berhubungan dengan gangguan kecemasan umum

(generalized anxiety disorder), stimulus kecemasan tidak dapat

diidentifikasi secara spesifik. Kecemasan ini timbul secara terus-menerus

hampir di seluruh waktu penderita.

9
2.1.4 Mekanisme Kecemasan

Ciri utama sindrom kecemasan terdiri atas meningkatnya

keterjagaan (hyperarousal), meningkatanya aktivitas simpatetik dan

perasaan subjektif ketakutan serta kecemasan. Jaras saraf ascendens yang

mengandung noradrenalin dan 5-hidroksitriptamin menginervasi lobus

limbik dan neokortex. Meningkatnya aktivitas saraf noradrenergik akan

menimbulkan meningkatnya keterjagaan; meningkatnya aktivitas saraf

5-hidroksitriptamin akan meningkatkan respons terhadap stimulus yang

berifat aversif (Maramis, 2010).

Mekanisme terjadinya kecemasan diperantarai oleh suatu sistem

kompleks yang melibatkan sistem limbik (amigdala, hipokampus),

talamus, korteks frontal secara anatomis dan norepinefrin (lokus

seruleus), serotonin (nukleus rafe dorsal) dan GABA (reseptor GABAA

berpasangan dengan reseptor benzodiazepin) pada sistem neurokimia.

Hingga saat ini belum diketahui jelas bagaimana kerja bagian-bagian

tersebut dalam menimbulkan terjadinya kecemasan (Guyton, 2014).

Pendekatan secara endrokrinologi dan imunologi dijelaskan bahwa

setelah faktor psikis diketahui maka faktor psikis tersebut mempengaruhi

sistem tubuh kita. Salah satu mekanismenya yaitu dengan peningkatan

Adrenocortitropic hormon (ACTH) oleh kelenjar hipofisis anterior. Stres

dapat merangsang hypothalamus untuk mengeluarkan faktor pelepas

corticotrophin releasing factor (CRF), selanjutnya CRF disekresi ke

dalam pleksus kapiler utama dari sistem portal hipofisis di puncak media

10
hypothalamus dan kemudian dibawa ke kelenjar hipofisis anterior, CRF

ini akan merangsang sekresi ACTH. Apabila sekresi CRF terjadi terus-

menerus maka kadarnya akan tinggi, hal ini dapat berpengaruh terhadap

hypocampus. Mekanisme umpan balik hypocampus terganggu dan

gangguan mekanisme ini menyebabkan ketidakmampuan kortisol

menekan sekresi CRF. Akibatnya, semakin menambah tingginya

pelepasan CRF. Tingginya kadar CRF mempermudah seseorang

menderita kecemasan (Guyton, 2014).

2.1.5 Klasifikasi Kecemasan

Kecemasan dibagi menjadi tiga bagian (Maramis, 2010), yaitu:

a) Kecemasan yang mengambang (free floating anxiety), yaitu

kecemasan yang menyerap dan tidak ada hubungannya dengan

suatu pemikiran.

b) Agitasi, yaitu kecemasan yang disertai kegelisahan motorik yang

hebat.

c) Panik, yaitu serangan kecemasan yang hebat dengan kegelisahan,

kebingungan dan hiperaktifitas yang tidak terorganisasi.

Sumber lain menyebutkan yang termasuk dalam gangguan kecemasan

(Sadock, 2014) adalah sebagai berikut.

a) Gangguan kecemasan umum.

b) Gangguan panik dengan dan tanpa agoraphobia.

11
c) Fobia spesifik dan sosial.

d) Gangguan obesif-kompulsif.

e) Gangguan stres pasca traumatik.

f) Gangguan stres akut.

g) Gangguan kecemasan akibat zat.

h) Gangguan kecemasan yang tidak ditentukan.

i) Gangguan kecemasan-depresif campuran.

2.1.6 Klasifikasi Tingkat Kecemasan

Kecemasan sangat berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak

berdaya. Menurut Suliswati (2014) ada empat tingkatan yaitu:

1) Kecemasan Ringan

Dihubungkan dengan ketegangan yang dialami seharihari. Individu

masih waspada serta lapang persepsinya meluas, menajamkan indera.

Dapat memotivasi individu untuk belajar dan mampu memecahkan

masalah secara efektif dan menghasilkan pertumbuhan dan kreatifitas.

2) Kecemasan Sedang

Individu terfokus hanya pada pikiran yang menjadi perhatiannya,

terjadi penyempitan lapangan persepsi, masih dapat melakukan sesuatu

dengan arahan orang lain.

3) Kecemasan Berat

12
Lapangan persepsi individu sangat sempit. Pusat perhatiannya pada

detil yang kecil dan spesifik dan tidak dapat berfikir hal-hal lain. Seluruh

perilaku dimaksudkan untuk mengurangi kecemasan dan perlu banyak

perintah/arahan untuk terfokus pada area lain.

4) Panik

Individu kehilangan kendali diri dan detil perhatian hilang. Karena

hilangnya kontrol, maka tidak mampu melakukan apapun meskipun

dengan perintah. Terjadi peningkatan aktivitas motorik, berkurangnya

kemampuan berhubungan dengan orang lain, penyimpangan persepsi dan

hilangnya pikiran rasional, tidak mampu berfungsi secara efektif.

Biasanya disertai dengan disorganisasi kepribadian.

2.1.7 Manifestasi Klinik

Gejala kecemasan memiliki dua komponen yaitu sensasi fisiologis

(palpitasi dan berkeringat), rasa gugup dan ketakutan. Rasa malu juga

meningkatkan kecemasan. Manifestasi motor dan visera dari kecemasan

meliputi diare, pusing, hiperhidrosis, hiperrefleksia, hipertensi, palpitasi,

midriasis pupil, kegelisahan, sinkop, takikardia, geli atau gatal pada

ekstremitas, tremor, tidak nyaman pada perut, serta gangguan frekuensi,

hesitansi, dan urgensi urin. Selain gejala di atas, kecemasan juga

mempengaruhi afek berpikir, persepsi, dan belajar (Sadock, 2014).

13
2.1.8 Diagnosis

Untuk menentukan diagnosis kecemasan dapat dipakai pedoman

diagnostik yang merujuk pada Pedoman Penggolongan dan Diagnosis

Gangguan Jiwa (PPDGJ) edisi III, yaitu penderita harus menunjukkan

gejala kecemasan yang berlebih (distress) dan berlangsung hampir setiap

hari selama beberapa minggu atau bulan. Gejala-gejala tersebut biasanya

mencakup unsur-unsur berikut.

a. Kekhawatiran akan nasib buruk yang akan terjadi pada dirinya.

b. Ketegangan motorik, misalnya gelisah, sakit kepala, gemetaran dan tidak

dapat santai.

c. Overaktifitas otonomik, misalnya kepala terasa ringan, berkeringat,

jantung berdebar, sesak nafas, keluhan lambung, pusing dan mulut

kering.

2.2 Hipertensi

2.2.1 Definisi

Hipertensi atau hypertension, juga dikenal sebagai tekanan darah

tinggi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg

dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg pada dua kali

pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan cukup

istirahat/tenang (Kemenkes RI, 2013). Hipertensi didefinisikan oleh

Joint National Committee on Detection, Evaluation and Treatment of

High Blood Pressure sebagai tekanan yang lebih tinggi dari 140/90

mmHg (WHO, 2018).

14
Peningkatan tekanan darah yang berlangsung dalam jangka waktu

lama dapat menyebabkan kerusakan pada ginja, jantung, dan otak bila

tidak dideteksi secara dini dan mendapat pengobatan yang memadai

(Kemenkes RI, 2013).

Klasifikasi tekanan darah yang telah dirilis oleh Joint National

Committee VIII (JNC VIII) pada tahun 2013 masih merujuk klasifikasi

tekanan darah JNC VII. Tetapi, manajemen terapi hipertensi dalam JNC

VIII lebih berdasarkan Evidence Based Medicine (EBM), komplikasi

penyakit, ras dan riwayat penderita. Target tekanan darah pada

managemen terapi hipertensi dalam JNC VIII bergantung pada

komplikasi penyakit penderita (James PA. dkk., 2014).

Klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa menurut Joint National

Committee VII (JNC 7) terbagi menjadi kelompok normal, prahipertensi,

hipertensi derajat 1, dan hipertensi derajat 2 (Yogiantoro, 2009).

Tabel 2-1. Klasifikasi Tekanan Darah menurut JNC 7, 2003


Tekanan Tekanan
Klasifikasi
Darah Darah
Tekanan
Sistolik Diastolik
Darah
(mmHg) (mmHg)
Normal <120 <80
Prahipertensi 120-139 80-89
Hipertensi
140-159 90-99
derajat 1
Hipertensi
>160 >100
derajat 2

15
2.2.2 Fisiologi Pengaturan Tekanan Darah

Tekanan darah arteri rata-rata adalah gaya utama untuk mendorong

darah ke jaringan. Tekanan tersebut harus diatur secara ketat dengan

tujuan: 1) dihasilkan gaya dorong yang cukup sehingga otak dan jaringan

lain menerima aliran darah yang adekuat, dan 2) tidak terjadi tekanan

yang terlalu tinggi yang dapat memperberat kerja jantung dan

meningkatkan risiko kerusakan pembuluh darah. Pengaturan tekanan

darah melibatkan integrasi berbagai komponen sistem sirkulasi dan

sistem tubuh lain (Gambar 2). Perubahan setiap faktor tersebut akan

mengubah tekanan darah kecuali terjadi perubahan kompensatorik pada

variabel lain sehingga tekanan darah konstan (Sherwood, 2011).

Tekanan darah arteri dipengaruhi oleh cardiac output, resistensi

perifer dan volume darah (Sherwood, 2011), sehingga tekanan darah

dipengaruhi oleh kondisi yang mengatur ketiga faktor ini. Tetapi

dua penentu terbesar adalah cardiac output dan resistensi perifer

total, sehingga persamaannya adalah sebagai berikut :

Karena itu, setiap perubahan dari cardiac output dan resistensi

perifer, akan mempengaruhi tekanan darah. Adapun yang dapat

mempengaruhinya adalah sebagai berikut:

1. Curah Jantung

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi curah jantung adalah :

16
a. Denyut Jantung

Denyut Jantung dipengaruhi oleh persarafan, simpatis dan

parasimpatis (Barrett et al, 2010 dan Sherwood, 2011). Persarafan

simpatis akan meningkatkan denyut jantung dan parasimpatis

menurunkannya. (Barrett et al, 2010).

b. Stroke Volume (Isi Sekuncup)

Isi sekuncup dipengaruhi oleh aktivitas simpatis dan alirah darah

kembali ke jantung (venous return). Aktivitas simpatis

mempengaruhi daya kontraktilitas jantung (Barrett et al, 2010).

Aktivitas simpatis akan menyebabkan influx Ca2+ ke sitosol

jantung dan meningkatkan daya memeras otot jantung (Sherwood,

2011). Sedangkan aliran balik darah ke jantung berhubungan

dengan hukum Frank Starling yang mempengaruhi kontraksi

otot jantung, makin besar volume yang kembali, makin

panjang regangan otot jantung, makin kuat kontraksi otot jantung

hingga panjang optimal dicapai (Barrett et al, 2010 dan Sherwood,

2011).

2. Resistensi Perifer Total

Resistensi perifer total bergantung pada jari-jari arteriol dan

viskositas darah. Jari-jari arteriol dipengaruhi oleh kontrol

metabolik lokal, aktivitas simpatis, hormon vasopressin dan

angiotensin II. Sedangkan viskositas darah dipengaruhi jumlah sel

17
darah merah yang terkandung di setiap milliliter volume darah

(Sherwood, 2011).

Secara singkat, mekanisme pengaturan tekanan darah

digambarkan dalam bagan berikut :

Tekanan darah arteri rata-rata

Curah jantung Resitensi perifer total

Kecepatan Volume Jari-jari Viskositas


denyut jantung sekuncup arteriol darah

aktivitas kontrol kontrol vaso- jumlah


aktivitas aliran
simpatis dan metabolik kontriktor
parasimpatis eritrosit
epinefrin balik vena lokal lokal

Volume Aktivitas Aktivitas aktivitas simpatis Vasopresin dan


darah pernapasan otot rangka dan epinefrin angiotensin II

Pergeseran cairan bulk flow pasif Keseimbangan Vasopresin dan sistem


antara kompartmen vaskuler dan
garam dan air renin-angiotensin-aldoteron
cairan interstisium

Gambar 2-2. Fisiologi Pengaturan Tekanan Darah (Sherwood,2011)

Di dalam tubuh terdapat baroreseptor yang secara konstan

memantau tekanan darah arteri rata-rata. Baroreseptor tersebut adalah

sinus caroticus dan baroreseptor arcus aorta. Setiap perubahan pada

tekanan darah akan mencetuskan refleks baroreseptor yang diperantarai

18
oleh sistem saraf otonom. Tujuan refleks tersebut adalah penyesuaian

curah jantung dan resistensi perifer total sehingga tekanan darah kembali

normal. Contoh kerja reflek baroreseptor adalah peningkatan tekanan

darah setelah berolahraga. Hal tersebut akan mempercepat pembentukan

potensial aksi di neuron aferen sinus caroticus dan baroreseptor lengkung

aorta. Melalui peningkatan kecepatan pembentukan potensial aksi

tersebut, pusat kontrol kardiovaskuler mengurangi aktivitas simpatis dan

meningkatkan aktivitas parasimpatis. Sinyal-sinyal eferen tersebut akan

menurunkan kecepatan denyut jantung dan volume sekuncup,

merangsang vasodilatasi arteriol dan vena sehingga curah jantung dan

resistensi perifer turun. Hasil akhirnya adalah tekanan darah kembali

normal. Namun pada hipertensi, baroreseptor tidak berespon

mengembalikan tekanan darah ke tingkat normal karena mereka telah

beradaptasi untuk bekerja pada tingkat yang lebih tinggi (Sherwood,

2001).

2.2.3 Faktor Risiko

Faktor risiko hipertensi terdiri atas faktor risiko yang tidak dapat

diubah dan faktor risiko yang dapat diubah (Kemenkes RI, 2014).

1. Faktor risiko yang tidak dapat diubah

a. Umur

Usia cenderung menjadi faktor risiko yang sangat kuat. Angka

kejadian (prevalensi) Hipertensi pada orang usia muda masa kuliah

19
berkisar 2-3%, sementara prevalensi Hipertensi pada manula berkisar

65% atau lebih (Townsend, 2010). Tekanan darah cenderung naik

seiring bertambahnya usia, risiko untuk meningkatnya penyakit

Hipertensi akan lebih tinggi juga seiring bertambahnya usia (CDC,

2015).

Hipertensi merupakan penyakit multifaktorial yang munculnya oleh

karena interaksi berbagai faktor. Dengan bertambahnya umur, maka

tekanan darah juga akan meningkat. Setelah umur 45 tahun, dinding

arteri akan mengalami penebalan oleh karena adanya penumpukan

zat kolagen pada lapisan otot, sehingga pembuluh darah akan

berangsur-angsur menyempit dan menjadi kaku. Tekanan darah

sistolik meningkat karena kelenturan pembuluh darah besar yang

berkurang pada penambahan umur sampai dekade ketujuh sedangkan

tekanan darah diastolik meningkat sampai dekade kelima dan keenam

kemudian menetap atau cenderung menurun. Peningkatan umur akan

menyebabkan beberapa perubahan fisiologis, pada usia lanjut terjadi

peningkatan resistensi perifer dan aktivitas simpatik. Pengaturan

tekanan darah yaitu refleks baroreseptor pada usia lanjut

sensitivitasnya sudah berkurang. (Kumar et al, 2005).

b. Jenis Kelamin

Sebelum usia 55 tahun laki-laki lebih mungkin menderita Hipertensi

dibandingkan perempuan. Setelah usia 55 tahun, perempuan lebih

20
mungkin menderita Hipertensi dibandingkan laki- laki (NHLBI,

2015).

Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria sama dengan wanita.

Namun wanita terlindung dari penyakit kardiovaskuler sebelum

menopause. Wanita yang belum mengalami menopause dilindungi

oleh hormon estrogen yang berperan dalam meningkatkan kadar

High Density Lipoprotein (HDL). Kadar kolesterol HDL yang tinggi

merupakan faktor pelindung dalam mencegah terjadinya proses

aterosklerosis (Anggraini, 2009).

c. Riwayat Keluarga dan Genetik

Hipertensi esensial merupakan penyakit multifaktorial yang

dipengaruhi faktor genetik dan lingkungan. Pengaruh genetik ini

sangat bervariasi, dilaporkan sekitar 15% pada populasi tertentu

sampai dengan 60% pada populasi lainnya. Peranan faktor genetik

pada etiologi Hipertensi didukung oleh penelitian yang membuktikan

bahwa Hipertensi terjadi di antara keluarga terdekat walaupun dalam

lingkungan yang berbeda. Dibuktikan pula bahwa kecenderungan

Hipertensi lebih besar pada kembar monozigot dibandingan dizigot.

Demikian juga dalam keluarga, hubungan antara tekanan darah orang

tua lebih erat dengan anak biologis dibandingkan anak adopsi.

Dibandingkan subyek yang tanpa riwayat Hipertensi, subjek dengan

dua atau lebih anak turunan pertama (first degree relatives)

mempunyai kecenderungan mengalami Hipertensi empat kali pada

21
umur 40 tahun, tiga kali pada umur sebelum 50 tahun, dan dua kali

pada umur sebelum 60 tahun, sedangkan Hipertensi yang terjadi pada

umur 70 tahun biasanya tidak mempunyai komponen genetik (Bakri

dan Lawrence, 2008).

2. Faktor risiko yang dapat diubah

a. Kebiasaan Merokok

Zat-zat kimia beracun seperti nikotin dan karbon monoksida

yang dihisap melalui rokok yang masuk ke dalam aliran darah dapat

merusak lapisan endotel pembuluh darah arteri yang mengakibatkan

proses artereosklerosis dan tekanan darah tinggi. Pada studi autopsi,

dibuktikan kaitan erat antara kebiasaan merokok dengan adanya

artereosklerosis pada seluruh pembuluh darah. Merokok juga

meningkatkan denyut jantung dan kebutuhan oksigen untuk disuplai ke

otot-otot jantung. Merokok pada penderita tekanan darah tinggi semakin

meningkatkan risiko kerusakan pada pembuluh darah arteri (Depkes,

2006).

Merokok menyebabkan peninggian tekanan darah. Perokok berat

dapat dihubungkan dengan peningkatan insiden hipertensi maligna dan

risiko terjadinya stenosis arteri renal yang mengalami ateriosklerosis.

Menurut Depkes RI (2009), telah dibuktikan dalam penelitian bahwa

dalam satu batang rokok terkandung 4000 racun kimia berbahaya

termasuk 43 senyawa. Bahan utama rokok terdiri dari 3 zat, yaitu :

22
1. Nikotin, merupakan salah satu jenis obat perangsang yang dapat

merusak jantung dan sirkulasi darah dengan adanya penyempitan

pembuluh darah, peningkatan denyut jantung, pengerasan pembuluh

darah dan penggumpalan darah.

2. Tar dapat mengakibatkan kerusakan sel paru-paru dan

menyebabkan kanker.

3. Karbon Monoksida (CO) merupakan gas beracun yang dapat

menghasilkan berkurangnya kemampuan darah membawa

oksigen (Depkes, 2009).

b. Konsumsi Garam Berlebih

Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh karena

menarik cairan di luar sel agar tidak dikeluarkan, sehingga akan

meningkatkan volume dan tekanan darah. Pada sekitar 60% kasus

hipertensi primer (essensial) terjadi respon penurunan tekanan darah

dengan mengurangi asupan garam 3 gram atau kurang, ditemukan

tekanan darah rata-rata rendah, sedangkan pada masyarakat asupan

garam sekitar 7-8 gram tekanan rata-rata lebih tinggi (Depkes, 2006).

c. Konsumsi Lemak Jenuh

Asupan asam lemak jenuh yang berlebih dapat menyebabkan

terjadinya dislipidemia yang merupakan faktor risiko aterosklerosis.

Aterokslerosis dapat memicu terjadinya hipertensi (Manurung E, 2004).

Hal ini disebabkan karena pembuluh darah yang mengalami

aterosklerosis selain terjadi peningkatan resistensi pada dindingnya juga

23
mengalami penyempitan, sehingga memicu peningkatan denyut jantung

dan peningkatan volume aliran darah yang berakibat pada meningkatnya

tekanan darah serta terjadi hipertensi (Anwar TB, 2004).

d. Penggunaan Jelantah

Jelantah adalah minyak goreng yang sudah lebih dari satu kali

dipakai untuk menggoreng, dan minyak goreng ini merupakan minyak

yang telah rusak. Bahan dasar minyak goreng bisa bermacam-macam

seperti kelapa, sawit, kedelai, jagung dan lain-lain. Meskipun beragam,

secara kimia isi kendungannya sebetulnya tidak jauh berbeda, yakni

terdiri dari beraneka asam lemak jenuh (ALJ) dan asam lemak tidak jenuh

(ALTJ). Dianjurkan oleh Ali Komsan, bagi mereka yang tidak

menginginkan menderita hiperkolesterolemi dianjurkan untuk

membatasi penggunaan minyak goreng terutama jelantah karena akan

meningkatkan pembentukan kolesterol yang berlebihan yang dapat

menyebabkan aterosklerosis dan hal ini dapat memicu terjadinya

penyakit tertentu, seperti penyakit jantung, darah tinggi dan lain-lain

(Khomsan A, 2003).

e. Kebiasaan Minum-Minuman Beralkohol

Hipertensi akan meninggi jika meminum alkohol lebih dari tiga kali

dalam sehari. Tapi, mengkonsumsi alkohol sedang (moderate)

diperkirakan punya efek protektif (Bustan, 2015).

Pengaruh alkohol terhadap kenaikan tekanan darah telah

dibuktikan. Mekanisme peningkatan tekanan darah akibat alkohol

24
masih belum jelas. Namun, diduga peningkatan kadar kortisol dan

peningkatan volume sel darah merah serta kekentalan darah berperan

dalam menaikkan tekanan darah. Beberapa studi menunjukkan

hubungan langsung antara tekanan darah dan asupan alkohol

dilaporkan menimbulkan efek terhadap tekanan darah baru terlihat

apabila mengkomsumsi alkohol sekitar 2-3 gelas ukuran standar setiap

harinya (Depkes, 2006).

Di negara barat seperti Amerika, komsumsi alkohol yang

berlebihan berpengaruh terhadap terjadinya hipertensi. Sekitar 10%

hipertensi di Amerika disebabkan oleh asupan alkohol yang berlebihan

di kalangan pria separuh baya. Akibatnya, kebiasaan meminum

alkohol ini menyebabkan hipertensi sekunder di usia ini (Depkes, 2006).

Komsumsi alkohol seharusnya kurang dari dua kali per hari pada

laki-laki untuk pencegahan peningkatan tekanan darah. Bagi

perempuan dan orang yang memiliki berat badan berlebih,

direkomendasikan tidak lebih satu kali minum per hari (Krummel, 2004).

f. Obesitas

Seseorang lebih berisiko mengalami pra-Hipertensi maupun

menderita Hipertensi jika memiliki berat badan berlebih atau obesitas.

Istilah “berat badan berlebih” dan "obesitas" merujuk pada berat badan

yang lebih besar dari apa yang dianggap sehat untuk tinggi badan tertentu

(NHLBI, 2015).

25
Hubungan antara pengurangan berat badan dan pengurangan

tekanan darah tampaknya saling berhubungan. Pengurangan 1 kg berat

badan dapat mengurangi tekanan darah sebesar 2 atau 1 mmHg.

Penurununan tekanan darah karena penurunan berat badan terkait juga

dengan penurunan massa lemak visceral. Pada orang yang obesitas

terjadi peningkatan kerja pada jantung untuk memompa darah. Berat

badan berlebihan menyebabkan bertambahnya volume darah dan

perluasan sistem sirkulasi. Makin besar massa tubuh, makin banyak pula

suplai darah yang dibutuhkan untuk memasok oksigen dan nutrisi ke

jaringan tubuh. Hal ini mengakibatkan volume darah yang beredar

melalui pembuluh darah akan meningkat sehingga tekanan pada dinding

arteri menjadi lebih besar (Frisoli et al, 2011).

g. Kurang Aktivitas Fisik/Olahraga

Olahraga teratur adalah suatu kebiasaan yang memberikan banyak

keuntungan seperti berkurangnya berat badan, tekanan darah, kolesterol

serta penyakit jantung. Dalam kaitannya dengan Hipertensi, olahraga

teratur dapat mengurangi kekakuan pembuluh darah dan meningkatkan

daya tahan jantung dan paru-paru sehingga dapat menurunkan tekanan

darah (Widyanto dan Triwibowo, 2013).

h. Diabetes mellitus

Diabetes mellitus terjadi apabila kadar gula darah melebihi batas

normal. Pada pasien diabetes terjadi perubahan metabolik meliputi

hiperglikemia, pengeluaran berlebihan asam lemak bebas, dan resistensi

26
insulin yang menyebabkan abnormalitas fungsi sel endotel yang terjadi

karena penurunan aviabilitas nitric oxide (NO) yang akhirnya

menyebabkan kerusakan organ–organ vital tubuh seperti jantung dan

ginjal, serta pembuluh darah, saraf dan mata. Pasien dengan DM

dibandingkan non DM pada kelompok usia yang sama 2 kali lebih rentan

menderita hipertensi (Govindarajan G et al, 2006).

i. Stres atau kecemasan

Stress atau kecemasan terjadi karena ketidakmampuan mengatasi

ancaman yang dihadapi mental, fisik, emosional, dan spiritual seseorang.

Kondisi tersebut pada suatu saat akan mempengaruhi kesehatan fisik

seseorang. Hubungan kecemasan dengan Hipertensi, diduga terjadi

melalui saraf simpatis. Kondisi cemas meningkatkan aktivitas saraf

simpatis yang kemudian meningkatkan tekanan darah secara bertahap,

artinya semakin berat kondisi cemas seseorang maka semakin tinggi pula

tekanan darahnya (Widyanto dan Triwibowo, 2013).

Kondisi kecemasan atau stres yang membuat tubuh menghasilkan

hormon adrenalin lebih banyak, membuat jantung berkerja lebih kuat dan

cepat. Apabila terjadi dalam jangka waktu yang lama maka akan timbul

rangkaian reaksi dari organ tubuh lain. Perubahan fungsional tekanan

darah yang disebabkan oleh kondisi stres dapat menyebabkan hipertropi

kardiovaskuler bila berulang secara intermiten. Begitupula cemas yang

dialami penderita hipertensi, maka akan mempengaruhi peningkatan

tekanan darahnya yang cenderung menetap atau bahkan dapat bertambah

27
tinggi sehingga menyebabkan kondisi hipertensinya menjadi lebih berat

(Lawson et al, 2007).

2.2.4 Klasifikasi

Ada pun klasifikasi hipertensi terbagi menjadi:

1. Berdasarkan penyebab

a. Hipertensi Primer/Hipertensi Esensial

Merupakan 90% dari seluruh kasus hipertensi adalah hipertensi

esensial yang didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah yang

tidak diketahui penyebabnya (Idiopatik) (Kemenkes RI, 2014).

b. Hipertensi sekunder

Hipertensi yang diketahui penyebabnya. Pada sekitar 5-10%

penderita hipertensi, penyebabnya adalah penyakit ginjal. Pada

sekitar 1-2%, penyebabnya adalah kelainan hormonal atau

pemakaian obat tertentu (misalnya pil KB) (Kemenkes RI, 2014).

2. Berdasarkan bentuk

Hipertensi Hipertensi diastolik (diastolic hypertension), Hipertensi

campuran (sistol dan diastol yang meninggi), Hipertensi sistolik (isolated

systolic hypertension) (Kemenkes RI, 2014).

Terdapat jenis hipertensi yang lain:

1. Hipertensi Pulmonal

28
Suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah pada

pembuluh darah arteri paru-paru yang menyebabkan sesak nafas, pusing

dan pingsan pada saat melakukan aktivitas. Berdasar penyebabnya

hipertensi pulmonal dapat menjadi penyakit berat yang ditandai dengan

penurunan toleransi dalam melakukan aktivitas dan gagal jantung kanan

(Kemenkes RI, 2014).

2. Hipertensi Pada Kehamilan

Pada dasarnya terdapat 4 jenis hipertensi yang umumnya terdapat pada

saat kehamilan, yaitu (Kemenkes RI, 2014):

a. Preeklampsia-eklampsia atau disebut juga sebagai hipertensi yang

diakibatkan kehamilan/keracunan kehamilan ( selain tekanan darah yang

meninggi, juga didapatkan kelainan pada air kencingnya ). Preeklamsi

adalah penyakit yang timbul dengan tanda-tanda hipertensi, edema, dan

proteinuria yang timbul karena kehamilan.

b. Hipertensi kronik yaitu hipertensi yang sudah ada sejak sebelum ibu

mengandung janin.

c. Preeklampsia pada hipertensi kronik, yang merupakan gabungan

preeklampsia dengan hipertensi kronik.

d. Hipertensi gestasional atau hipertensi yang sesaat.

29
2.2.5 Patofisiologi

Hipertensi adalah suatu penyakit multifaktorial yang timbul disebabkan

interaksi antara faktor-faktor resiko tertentu. Faktor-faktor yang

mendorong terjadinya hipertensi adalah; (Yogiantoro, 2009):

1. Faktor risiko seperti: diet dan asupan garam, stres, ras, obesitas,

merokok, genetik.

2. Sistem saraf simpatis

a. Tonus simpatis

b. Variasi diurnal

3. Keseimbangan antara modulator vasodilatasi dan vasokonstriksi:

Endotel pembuluh darah berperan utama, tetapi remodelling dari endotel,

otot polos, dan interstisium juga memberikan kontribusi akhir.

4. Pengaruh sistem endokrin setempat yang berperan pada sistem renin,

angiotensin, dan aldosterone.

Kaplan menggambarkan beberapa faktor yang berperan dalam

pengendalian tekanan darah yang mempengaruhi rumus dasar:

Tekanan Darah= Curah Jantung x Tahanan Perifer.

30
Tekanan Darah = Curah Jantung x Tahanan Primer
Hipertensi C.J. meningkat dan atau T.P.meningkat

Gambar 2-3. Faktor-faktor yang berpengaruh pada pengendalian tekanan


darah (Sudoyo AW, 2016)

Berbagai faktor seperti faktor genetik yang menimbulkan perubahan

pada ginjal dan membran sel, aktivitas saraf simpatis dan sistem renin-

angiotensin yang mempengaruhi keadaan hemodinamik, asupan natrium

dan metabolisme natrium dalam ginjal, serta obesitas dan faktor endotel

mempunyai peran dalam peningkatan tekanan darah pada hipertensi

primer (Gambar 2-3) (Sudoyo AW dkk, 2016)

31
2.2.6 Manisfestasi Klinis

Peninggian tekanan darah tidak jarang merupakan satu-satunya

tanda pada hipertensi primer. Bergantung pada tingginya tekan darah

gejala yang timbul dapat berbeda-beda. Kadang-kadang hipertensi

primer berjalan tanpa gejala, dan baru timbul gejala setelah terjadi

komplikasi pada organ target seperti pada ginjal, mata, otak, dan jantung

(Kemenkes RI, 2014).

Gejala seperti sakit kepala, epistaksis, pusing, dan migren dapat

ditemukan sebagai gejala klinis hipertensi primer meskipun tidak jarang

yang tanpa gejala. Pada penyelidikan hipertensi di Paris, dari 1771 pasien

hipertensi yang tidak diobati, gejala sakit kepala menduduki urutan

pertama (40,5%), yang diikuti oleh palpitasi (28,5%), nokturia (20,4%),

pusing (20,8%), dan tinitus pada 13,8% (Sudoyo AW dkk, 2016).

Gejala lain yang disebabkan oleh komplikasi hipertensi seperti

gangguan penglihatan, gangguan neurologi, gagal jantung, dan gangguan

fungsi ginjal tidak jarang dijumpai. Gagal jantung dan gangguan

penglihatan banyak dijumpai pada hipertensi berat atau hipertensi

maligna yang umumnya juga disertai oleh gangguan fungsi ginjal bahkan

sampai gagal ginjal. Gangguan serebral yang disebabkan oleh hipertensi

dapat berupa kejang atau gejala akibat atau gejala akibat perdarahan

pembuluh darah otak yang berupa kelumpuhan, gangguan kesadaran

32
bahkan sampai koma. Timbulnya gejala tersebut merupakan pertanda

bahwa tekanan darah perlu segera diturunkan (Sudoyo AW dkk, 2016).

Linggungan Hereditas

Pre-Hipertensi

Hipertensi Dini

Hipertensi Menetap

Tanpa Komplikasi Dengan Komplikasi

Hipertensi Jantung Pembuluh Otak Ginjal


Maligna Hipertrofi Darah Iskemia Nefrosklerosis
Gagal jantung Aneurisma Trombosis Gagal ginjal
Infark disekan Perdarahan

Gambar 2-4. Perjalanan Alamiah Hipertensi Primer yang Tidak Terobati


(Sudoyo AW dkk, 2016)

2.2.7 Pengukuran Tekanan Darah

Untuk mengukur tekanan darah maka perlu dilakukan pengukuran tekanan

darah secara rutin. Pengukuran tekanan darah dapat dilakukan secara

langsung atau tidak langsung (Smeltzer & Bare, 2001).

1. Cara Langsung

Pada metode langsung, kateter arteri di masukkan ke dalam arteri.

Walaupun hasilnya sangat tepat, akan tetapi metode pengukuran ini

sangat berbahaya dan dapat menimbulkan masalah kesehatan lain.

Bahaya yang dapat ditimbulkan saat pemasang kateter arteri yaitu nyeri

33
inflamasi pada lokasi penusukkan, bekuan darah karena tertekuknya

kateter, perdarahan: ekimosis bila jarum lepas dan tromboplebitis.

(Smeltzer & Bare, 2001).

2. Cara Tidak Langsung

Sedangkan pengukuran tidak langsung dapat dilakukan dengan

menggunakan sphygmomanometer dan stetoskop. Sphgmomanometer

tersusun atas manset yang dapat dikembangkan dan alat pengukur

tekanan yang berhubungan dengan ringga dalam manset. Alat ini

dikalibrasi sedemikian rupa sehingga tekanan yang terbaca pada

manometer seseuai dengan tekanan dalam milimeter air raksa yang

dihantarkan oleh arteri brakialis (Smeltzer & Bare, 2001).

Ada 3 tipe dari sphygmomanometer yaitu dengan menggunakan air raksa

(merkuri), aneroid dan elektrik. Tipe air raksa adalah jenis

sphygmomanometer yang paling akurat. Tingkat bacaan dimana detak

terdengar pertama kali adalah tekanan sistolik, sedangkan tingkat dimana

bunyi detak menghilang adalah tekanan diastolik. Sphygmomanometer

aneroid prinsip penggunaannya yaitu menyeimbangkan tekanan darah

dengan tekanan darah kapsul metalis tipis yang menyimpan udara di

dalamnya. Sphygmomanometer elektronik merupakan pengukur tekanan

darah terbaru dan lebih mudah digunakan dibanding model standar yang

menggunakan air raksa, tetapi akurasinya juga relatif rendah (Sustrani L,

dkk, 2004).

34
Adapun cara pengukuran tekanan darah dimulai dengan membalutkan

manset dengan kencang dan lembut pada lengan atas dan dikembangkan

dengan pompa. Tekanan dalam manset dinaikkan sampai denyut radial

atau brakial menghilang. Hilangnya denyutan menunjukkan bahwa

tekanan sistolik darah telah dilampaui dan arteri brakialis telah tertutup.

Manset dikembangkan lagi sebesar 20 sampai 30 mmHg di atas titik

hilangnya denyutan radial. Kemudian manset dikempiskan perlahan, dan

dilakukan pembacaan secara auskultasi maupun palpasi. Dengan palpasi

kita hanya dapat mengukur tekanan sistolik. Sedangkan dengan

auskultasi kita dapat mengukur tekanan sistolik dan diastolik dengan

lebih akurat (Smeltzer & Bare, 2001).

Untuk mengauskultasi tekanan darah, ujung stetoskop yang berbentuk

diantara kedua kaput otot biseps. Manset dikempiskan dengan kecepatan

2 sampai 3 mmHg per detik, sementara kita mendengarkan awitan bunyi

berdetak, yang menunjukkan tekanan darah sistolik. Bunyi tersebut

dikenal sebagai Bunyi Korotkoff yang terjadi bersamaan dengan detak

jantung, dan akan terus terdengar dari arteri brakialis sampai tekanan

dalam manset turun di bawah tekanan diastolic dan pada titik tersebut,

bunyi akan menghilang (Smeltzer & Bare, 2001).

2.2.8 Penatalaksanaan

Hipertensi dapat ditatalaksana dengan menggunakan perubahan gaya

hidup atau dengan obat-obatan. Perubahan gaya hidup dapat dilakukan

35
dengan membatasi asupan garam tidak melebihi seperempat sampai

setengah sendok teh atau enam gram perhari, menrunkan berat badan

yang berlebih, menghindari minuman yang mengandung kafein, berhenti

merokok, dan meminum minuman beralkohol. Penderita hipertensi

dianjurkan berolahraga, dapat berupa jalan, lari, jogging, bersepeda

selama 20-25 menit dengan frekuensi 3-5 kali per minggu. Cukup

istirahat (6-8 jam) dan megendalikan istirahat penting untuk penderita

hipertensi. Makanan yang harus dihindari atau dibatasi oleh penderita

hipertensi adalah sebagai berikut: (Kemenkes RI, 2014)

1. Makanan yang memiliki kadar lemak jenuh yang tinggi, seperti otak,

ginjal, paru, minyak kelapa, gajih.

2. Makanan yang diolah dengan menggunakan garam natrium, seperti

biskuit, kreker, keripik, dan makanan kering yang asin.

3. Makanan yang diawetkan, seperti dendeng, asinan sayur atau buah, abon,

ikan asin, pindang, udang kering, telur asin, selai kacang.

4. Susu full cream, margarine, mentega, keju mayonnaise, serta sumber

protein hewani yang tinggi kolesterol seperti daging merah sapi atau

kambing, kuning telur, dan kulit ayam.

5. Makanan dan minuman dalam kaleng, seperti sarden, sosis, korned,

sayuran serta buah-buahan kaleng, dan soft drink.

6. Bumbu-bumbu seperti kecap, maggi, terasi, saus tomat, saus sambal,

tauco, serta bumbu penyedap lain yang pada umumnya mengandung

garam natrium.

36
7. Alkohol dan makanan yang mengandung alkohol seperti durian dan tape.

Jenis-jenis obat antihipertensi yang dianjurkan oleh JNC 7 untuk

terapi farmakologis hipertensi: (Yogiantoro, 2009)

1. Diuretika, terutama jenis Thiazide (Thiaz) atau Aldosterone

Antagonist (Aldo Ant).

2. Beta Blocker (BB).

3. Calcium Channel Blocker atau Calcium antagonist (CCB).

4. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI).

5. Angiotensin II Receptor Blocker atau AT, receptor antagonist or

blocker (ARB).

2.3 Hubungan Antara Kecemasan Dengan Hipertensi

Kecemasan telah dianggap sebagai faktor risiko untuk penyakit hipertensi.

Pada kecemasan terjadi peningkatan sekresi adrenalin kedalam sirkulasi darah

yang telah diamati berhubungan dengan peningkatan risiko penyakit vaskular

dan juga dilaporkan pada kasus dengan hipertensi. Akan tetapi meskipun

kecemasan juga dikenal sebagai faktor risiko untuk hipertensi, namun peranan

kecemasan sebagai faktor risiko kausal penyakit kardiovaskular masih

kontroversi (Witlink et al, 2011).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kecemasan berhubungan

dengan hipertensi, individu dengan kecemasan memiliki risiko hipertensi lebih

tinggi daripada mereka yang tidak cemas (Bacon, 2014). Beberapa penelitian

lain mengungkapkan bahwa pasien hipertensi memiliki risiko kecemasan yang

37
lebih tinggi daripada mereka yang tidak hipertensi (Hamer, 2010). Namun,

beberapa peneliti tidak mendukung peran dalam gejala kecemasan dalam

menimbulkan hipertensi, yang paling berperan adalah bergantung pada

kesejahteraan fisik seseorang dalam menimbulkan hipertensi (Witlink et al,

2011).

Selanjutnya banyak penelitian mengenai kecemasan dan dari penelitian-

penelitian tersebut diketahui beberapa bukti yang menunjukkan bahwa

kecemasan memang berhubungan dengan hipertensi, seperti studi yang

dilakukan oleh Yu Pan (2015) bahwa akan menimbulkan ‘’fight or flight’’.

Flight merupakan reaksi isotonik tubuh untuk melarikan diri, dimana terjadi

peningkatan sekresi adrenalin kedalam sirkulasi darah yang akan menyebabkan

meningkatnya denyut jantung dan tekanan darah sistolik , sedangkan fight

merupakan reaksi agresif untuk menyerang yang akan menyebabkan sekresi

noradrenalin, rennin angiotensin sehingga tekanan darah meningkat baik

sistolik maupun diastolik. Sekresi adrenalin yang berlebihan akan

menyebabkan tekanan darah meningkat, akan tetapi pada ketakuatan yang

sangat hebat bisa terjadi reaksi yang dipengaruhi oleh komponen parasimpatis

sehingga menyebabkan tekanan darah menurun (Guyton, 2014).

Mekanisme yang mendasari terjadinya hipertensi pada kecemasan

dijelaskan pada gambar di bawah ini.

38
Gambar 2-5. Mekanisme hipertensi pada kecemasan/stress

Pada seseorang yang mengalami stress, tubuhnya akan melakukan

mekanisme koping yang akan mengaktifkan aksis hipotalamus-hipofisis-

adrenal yang bertugas mengintegrasikan dan memediasi respons stres dari

kehidupan awal sampai tahap menghadapi permasalahan. Persepsi ancaman

fisik dan psikososial yang nyata atau diduga menyebabkan aktivasi dari axis

hipotalamus-hipofisis-adrenal. Keadaan cemas timbul dari aktivasi

amigdala dan memperbesar respons stres melalui proyeksi neuron ke inti

paraventrikular (PVN). Hipokampus memainkan peran penting dalam

penilaian stresor dan sebagai tempat reseptor glukokortikoid (GR) yang

dimediasi regulasi umpan balik negatif. Pelepasan hipotalamus

39
neuropeptida corticotrophin-releasing hormone (CRH) dan arginine

vasopressin (AVP) mempromosikan sintesis dan sekresi

adrenocorticotrophin (ACTH), produk pembelahan posttranslational

mRNA (POMC) hipofisis pasca-translasional. ACTH pada gilirannya

merangsang pelepasan glukokortikoid dan kortisol ke dalam sirkulasi darah.

Peningkatan kadar kortisol dalam darah akan mengakibatkan peningkatan

renis plasma, angiotensin II dan peningkatan kepekaan pembuluh darah

terhadap katekolmin, sehingga terjadi peningkatan tekanan darah dari

kelenjar adrenal. Hormon-hormon ini bersirkulasi di seluruh tubuh dan otak

dan berikatan dengan reseptor steroid nuklir intraseluler. Reseptor

Hippocampal mineralocorticoid (MR) bertindak terhadap timbulnya

respons stres, sementara GR di hippocampus, PVN, dan hipofisis anterior

mengakhiri respons stres. GR selanjutnya mentransaktivasi FKBP51 yang

mengkode protein chaperon yang membatasi aktivitas GR melalui loop

umpan balik negatif intraseluler yang cepat (Sherwood, 2011).

40
2.4 Kerangka Teori

Axis Hipotalamus-
Kecemasan
Hipofisis-Adrenal

CRH dan AVP


Flight Fight

ACTH
↑ Sekresi ↑ Sekresi Non Adrenalin,
Adrenalin Renin dan Angiotensi II
Kortisol

↑ Denyut ↑ TD ↑ TD Sistolik
Jantung Sistolik dan Diastolik Renin Angiotensin

Hipertensi ↑ TD

Keterangan :
: Diteliti

: Tidak diteliti

Gambar 2-6. Kerangka Teori

2.5 Kerangka Konsep

Kecemasan Hipertensi

Gambar 2-7. Kerangka Konsep

41
2.6 Hipotesis

Terdapat hubungan antara kecemasan dengan kejadian hipertensi pada

Lansia di Balai Sosial Lanjut Usia Mandalika Mataram tahun 2019.

42

Anda mungkin juga menyukai