Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Disfonia adalah istilah umum untuk setiap gangguan suara yang disebabkan
kelainan organik atau fungsional organ-organ fonasi. Organ yang paling sering
terganggu sehingga menyebabkan disfonia adalah laring. Berdasarkan definisi ini,
disfonia bukan entinitas penyakit gejala penyakit.

Produksi suara adalah proses prilaku rumit yang melibatkan berbagai sistem
organ yaitu sistem respirasi, fonasi, dan artikulasi, serta dipengaruhi oleh teknik
vokal dan kondisi emosional seseorang. Produksi suara merefleksikan ketiga
sistem tersebut yang bekerja secara terhubung satu sama lain.

Keluhan yang umum dikeluhkan oleh pasien dalam praktik klinis


sehubungan dengan disfonia antara lain suara parau (roughess), suara lemah
(hipofonia), hilang suara (afonia), suara tegang dan susah keluan (spastik), suara
terdiri dari beberapa nada (diploofonia), nyeri saat bersuara (odinofonia), atau
ketidakmampuan mencapai nada atau intensitas tertentu.

Penyebab disfonia bervariasi, antara lain proses radang, neoplasma, paralisis


otot laring, sikatriks, atau kelainan sendi. Selain penyebab organik, disfonia juga
bisa disebabkan penyebab fungsional yang sering berkaitan dengan kondisi
psikologis pasien. Disfonia dapat menjadi pertanda awal dari proses penyakit
yang serius pada laring, khususna bila prosesnya progesif kronik pada pasien usia
tua terlebih jika ditambah riwayat merokok.

Anamnesa mendetail untuk mengetahui kualitas vokal pasien yang


terganggu, onset, dan progresifitas penyakit diperlakukan untuk diagnosis.
Riwayat pekerjaan sangat penting mengingat kemungkinan besar pasien memiliki
profesi yang berkaitan dengan penggunaan suara seperti guru, atau penyanyi.
Riwayat penyakit sebelumnya dan pemakaian obat-obatan juga penting untuk
diselidiki.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Disfonia adalah istilah umum untuk setiap gangguan suara yang
disebabkan kelainan organ-organ fonasi, terutama laring, baik yang
bersifat organik maupun fungsional. Disfonia bukan merupakan suatu
penyakit, tetapi merupakan suatu gejala penyakit atau kelainan pada laring.
Setiap keadaan yang menimbulkan gangguan dalam getaran,
gangguan dalam ketegangan serta gangguan dalam pendekatan kedua pita
suara kiri dan kanan akan menimbulkan disfonia. Gangguan suara atau
disfonia ini dapat berupa suara yang terdengar kasar dengan nada lebih
rendah dari biasanya (suara parau), suara lemah (hipofonia), hilang suara
(afonia), suara tegang dan sulit keluar (spastik), suara yang terdiri dari
beberapa nada (diplofonia), nyeri saat bersuara (odinofonia)

B. ANATOMI DAN FISIOLOGI


1. ANATOMI
Laring adalah suatu struktur berbentuk tabung yang terbentuk dari
suatu sistem yang kompleks yang terdiri dari otot, kartilago, jaringan ikat.
Laring menggantung dari tulang hyoid, yang merupakan satu-satunya
tulang didalam tubuh yang tidak berartikulasi dengan tulang lain.
Kerangka laring tersusun atas 3 kartilago berpasangan dan 3 kartilago
tidak berpasangan.
Ketiga kartilago yang berpasangan adalah kartilago aritenoid,
kuneiformis, dan kornikulatus. Aritenoid berbentuk seperti piramid dan
karena mereka melekat pada korda vokalis, membiarkan terjadinya
gerakan membuka dan menutup dari korda vokalis yang penting untuk
respirasi dan bersuara. Kuneiformis dan kornikulatus berukuran sangat
kecil dan tidak memiliki fungsi yang jelas.

2
Ketiga kartilago yang tidak berpasangan adalah yang pertama
kartilago tiroid, merupakan kartilago tidak berpasangan yang terbesar,
terletak dibawah os. Hioideum dan menggantung pada ligamentum
tirohioideum adalah alae atau sering menonjol pada beberapa pria, dan
biasa disebut “Adam’s Apple”. Kartilago tidak berpasangan yang kedua
adalah kartilago krikoid yang mudah teraba dibawah kulit, melekat pada
kartilago tiroid bentuk kartilago krikoid berupa lingkaran, kartilago krioid
ini dihubungkan dengan kartilago tidoid oleh ligamentum krikoid. Yang
ketiga adalah kartilago epiglotika, yang berbentuk seperti sebuah bat
pingpong.

Batas-batas laring berupa sebelah kranial terdapat Auditus Laringeus


yang berhubungan dengan hipofaring, disebelah kaudal dibentuk oleh sisi
inferior kartilago krikoid dan berhubungan dengan trakea, di sebelah
posterior dipisahkan oleh vertebra cervicalis oleh otot-otot prevertebral,
dinding dan cavum laringofaring serta disebelah anterior ditutupi oleh
fascia, jaringan lemak dan kulit,. Sedangkan disebelah lateral ditutupi oleh
otot sternocleidomastoideus, infrahyoid, dan lbus kelenjar tiroid.

Otot-otot Laring
Otot-otot laring terdiri dari dua kelompok utama yaitu otot-otot
ekstrinsik dan otot-otot intrinsik. Otot-otot ekstrinsik laring adalah otot
yang berfungsi untuk menaikkan, menurunkan, atau menstabilkan laring.
Disebut otot ekstrinsik karena otot ini disatu pihak otot ini melekat pada
laring dan juga melekat diluar laring. Sedangkan otot-otot intrinsik adalah
otot yang anatomi terbatas pada otot yang melekat pada laring.
Otot ekstrinsik terutama bekerja pada laring secara keseluruhan yaitu
M. Digastrikus, M. Geniohioid, M. Stilohioid, M. Milohioid, M.
Sternotiroid, M. Sternohioid, M. Omohioid, dan M. Tirohioid. Sedangkan
otot-otot intrinsik pada bagian laring tertentu yang berhubungan dengan
gerakan pita suara, yaitu M. Krikoaritenoid lateral, M. Tiroepiglotika, M.
Vokalis, M. Tiroariteoid, M. Ariepiglotika, dan M. Krikotiroid, otot-otot ini
terletak di bagian lateral laring. Otot-otot intrinsik laring yang terletak
dibagian posterior ialah M. Aritenoid transversum, M. Aritenoid oblik san
M. Krikoaritenoid posterior. Sebagian besar otot-otot intrinsik adalah otot
adduktor (kontraksinya akan mendkatkan kedua pita suara ketengah)
kecuali M. Krikoaritenoid posterior yang merupakan otot abduktor
(menjauhkan kedua pita suara ke lateral).

4
Rongga Laring
Batas superior rongga laring terdiri dari aditus laring, batas inferiornya
ialah bidang yang melalui pinggir bawah kartilago krikoid. Batas anterior
ialah permukaan belakang epiglotis, tuberkulum epiglotis, ligamentum
tiroepiglotik, susut antara kedua belah lamina kartilago tiroid dan arkus
kartilago krikoid. Batas porterior ialah M. Aritenoid transverses dan
lamina kartilago krikoid. Dan batas lateralnya ialah membrane
kuadrangularis, kartilago aritenoid, konus elastikus, dan arkus kartilago
krikoid.
Plika vokalis dan plika ventrikularis terbentuk karena adanya lipatan
mukosa pada ligamentum vokale dan ligamentum ventrikulare. Bidang
antara plika vokalis kiri dan kanan vokalis dan plika ventrikularis
membagi rongga laring menjadi 3 bagian yaitu vestibulum laring
(supraglotik), glotik dan subglotik.
1. Supraglotis (Vestibulum Superior)
 Ruangan diantara permukaan atas pita suara palsu dan Inlet
laring
2. Glotis (Pars Media)
 Ruangan yang terletak antara pita suara palsu dengan pita suara
sejati
3. Infraglotis (Pars Inferior)
 Ruangan diantara pita suara sejati dengan tepi bawah kartilago
krikoidea.

Rima glotis terdiri dari 2 bagian yaitu bagian intramembran dan


bagian interkartilago.

Perdarahan
Perdarahan untuk laring terdiri dari 2 cabang, yaitu arteri laringis
superior dan arteri laringis inferior. Arteri laringis superior merupakan
cabang dari arteri tiroid superior. Arteri laringis superior berjalan agak
mendatar melewati bagian belakang membran tirohoid bersama-sama
dengan cabang internus dari arteri nervus laringis superior kemudian
menembus membrane ini untuk berjalan kebawah di submukosa dari
dinding lateral dan lantai sinus piriformis untuk memperdarahi mukosa
dan otot-otot laring. Arteri laringis inferior merupakan cabang dari arteri
tiroid inferior dan bersama-sama nervus laringis inferior berjalan ke
belakang sendi krikotiroid, masuk laring melalui daerah pinggir bawah m.
Konstriktor faring inferior.

6
Vena laringis superior dan vena laringis inferior letaknya sejajar
dengan arteri laringis superior dan inferior, dan kemudian bergabung
dengan vena tiroid superior dan inferior.

Persarafan laring
laring dipersarafi oleh cabang-cabang nervus vagus, yaitu nervus
laringis superior dan nervus laringis inferior. Kedua saraf ini merupakan
campuran saraf sensorik dan motorik. Nervus laringis superior
mempersarafi M. Krikotiroid, sehingga memberikan sensasi pada mukosa
laring dibawah pita suara. Nervus laringis inferior merupakan lanjutan dari
nervus rekuren setelah saraf itu memberikan cabangnya menjadi ramus
kardia inferior. Nervus rekuren merupakan cabang dari nervus vagus, saraf
ini bercabang 2 menjadi ramus anterior dan ramus posterior. Ramus
anterior mempersarafi otot-otot intrinsik laring bagian lateral sedangkan
ramus posterior mempersarafi otot-otot intrinsik laring superior.

2. FISIOLOGI
Laring merupakan organ penghasil suara, serta memiliki fungsi utama
lainya proteksi jalan napas, respirasi dan fonasi. Udara memaksa
pemisahan pita suara sejati, pita suara akan memantul untuk berdekatan
lagi yang akan menimbulkan bunyi suara manusia.
Fungsi laring untuk Proteksi ialah untuk mencegah makanan dan
benda asing masuk ke dalam trakea, dengan jalan menutup aditus laring
dan rima glottis secara bersamaan.
Fungsi reflex batuk, benda asing yang masuk ke dalam trakea dapat
dibatukkan keluar. Demikian juga dengan bantuan batuk, secret yang
berasal dari paru dapat dikeluarkan.
fungsi laring membantu proses menelan dengan 3 mekanisme, yaitu
gerakakn laring bagian bawah ke atas, menutup aditus laringis dan
mendorong bolus makanan turun ke hipofaring dan tidak mungkin masuk
ke dalam laring.
Fungsi lain laring ialah untuk fonasi, dengan membuat suara serta
menentukan tinggi rendahnya nada. Tinggi rendahnya nada diatur oleh
ketegangan plika vokalis. Bila plika vokalis dalam aduksi, maka
m.krikotiroid akan merotasika kartilago tiroid ke bawah dank e depan,
menjauhi kartilgo arytenoid. Pada saat yang bersamaan m. krikoaritenoid
posterior akan menahan atau menarik kartilago arytenoid ke belakang.

8
Plika vokalis kini dalam keadaan yang efektif untuk berkontraksi.
Sebaiknya kontraksi m. krikoaritenoid akan mendorong kartilago ke
depan, sehingga plika vokalis akan mengendor, kontraksi serta
mengendornya plika vokalis plika akan menenntukan tinggi rendahnya
nada.
Plika vokalis berperan dalam menghasilkan suara, dengan
mengeluarkan suara secara tiba-tiba dari pulmo, dapat menggetarkan
(vibrasi) plika vokalis yang menghasilkan suara. Nada dasar suara
ditentukan oleh panjang dan ketegangan pita suara. Volume suara
ditentukan oleh jumlah udara yang menggetarkan plika vokalis, sedangkan
kualitas suara ditentukan oleh cavitas oris, lingua, palatum, otot-otot fasial,
dan kavitas nasi serta sinus paranasalis.

Mekanisme Fonasi
Suara dihasilkan oleh pembukaan dan penutupan yang cepat dari pita
suara, yang dibuat bergetar oleh gabungan kerja tegangan otot dan
perubahan tekanan udara yang cepat. Tinggi nada terutama ditentukan oleh
frekuensi getaran pita suara.
Fungsi laring untuk fonasi dengan membuat suara serta menentukan
tinggi rendahnya nada. Fungsi paru yang baik sangat diperlukan untuk
mendukung proses pembentukan suara yang normal, karena pada saat
fonasi akan terjadi penutupan rima glotis oleh pita suara, sehingga aliran
udara dari paru tertahan di subglotis. Akibatnya perbedaan tekanan udara
di atas dan di bawah glotis cukup tinggi, sehingga terjadi getaran (vibrasi).
Tingginya tekanan udara di subglotis yang akhirnya melewati celah glotis
pada saat pita suara membuka (abduksi) secara tiba- tiba akan menentukan
intensitas energi suara yang akhirnya keluar melalui ronga mulut. Bila
ingin menghasilkan suara dengan volume keras maka harus melakukan
inspirasi dan ekspirasi maksimal, agar terjadi tekanan udara yang tinggi di
subglotis.
Pada keadaan istirahat pita suara dalam keadaaan abduksi dengan
jarak antara pinggir lateral ke median 8 mm. Pada saat fonasi, terjadi
kontraksi dari otot-otot intrinsik laring seperti m.krikotiroid dan
m.krikoaritenoid lateral dengan cara menarik kartilago aritenoid ke arah
medial, sehingga terjadi penutupan rima glotis (adduksi), karena pita suara
kanan dan kiri saling merapat. Bila pita suara menjadi tipis, kaku, dan
panjang maka akan menghasilkan suara tinggi. Sebaliknya pita suara tebal,
kendor dan pendek, maka akan menghasilakan suara yang rendah.

C. EPIDEMIOLOGI
Walaupun tidak diketahui berapa jumlah pasti orang dengan disfonia,
diperkirakan 1,2-23,4% populasi mengalami gangguan pada suara. Pada
tahun 2011, di dunia barat, sekitar sepertiga penduduk yang bekerja
menggunakan suaranya untuk bekerja, seperti guru, penyanyi. Di Inggris
sekitar 50.000 pasien per tahun dirujuk ke bidang THT karena bermasalah
dengan suaranya.

D. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO


Setiap keadaan yang menimbulkan gangguan getaran, ketegangan dan
pendekatan kedua pita suara kiri dan kanan akan menimbulkan suara
serak. Gangguan dalam bersuara seperti suara serak, biasanya disebabkan
berbagai macam faktor yang prinsipnya menimpa laring dan sekitarnya.
Penyebabnya dapat berupa radang, tumor, paralisis oto-otot laring, serta
penggunaan suara yang berlebihan.
Penyebab yang paling sering adalah laryngitis akut yang biasanya
muncul karena commond cold, infeksi saluran pernafasan atas, atau iritasi
saat bersuara keras seperti berteriak. Kebiasaan menggunakan suara
berlebihan mengakibatkan timbulnya vocal nodule atau polip pada pita
suara.merokok juga dapat menyebabkan suara menjadi parau.

Penyebab suara parau dapat bermacam-macam, diantaranya :


1. Kelainan Kongenital
a. Laringomalasia
b. Laryngeal web
c. Paralisis pita suara bisa terjadi pada saat lahir, baik satu atau kedua
pita suara.
2. Infeksi
a. Infeksi virus merupakan infeksi yang paling banyak menyebabkan
suara serak, virus yang paling sering adalah rinovirus

10
b. Infeksi bakteri seperti epglotitis bacterial oleh haemophilus
influenza type B.
c. Infeksi jamur seperti candida pada mulut dan tenggorokan kadang
bisa menyebabkan suara parau pada anak yang sehat.
3. Inflamasi
Berkembangnya nodul, polip, atau granuloma pada pita suara dapat
diakibatkan oleh iritasi dan inflamasi yang kronis pada pita suara yang
sering terjadi pada perokok, terpapar racun dari lingkungan, dan
penyalahgunaan suara.
a. Nodul paling sering didapatkan pada anak-anak dan wanita, ada
hubungan dengan penyalahgunaan suara.
b. Polip lebih sering didapatkan pada laki-laki dan sangat kuat
hubungannya dengan rokok. Neoplasma
4. Trauma
Trauma laring merupakan suatu keadaan dimana laring mengalami
suatu kerusakan yang dapat disebabkan oleh trauma tumpul, tajam, dan
penyebab lainnya. Hal ini menyebabkan laring sebagai proteksi jalan
nafas, pengaturan pernafasan dan penghasil suara terganggu sehingga
dapat menimbulkan resiko kecacatan bahkan kematian.
a. Endotrakeal intubation
b. Fraktur pada laring
c. Benda asing
5. Paralisis pita suara
Paralisis berarti terganggunya kemampuan anggota tubuh untuk
bergerak dan berfungsi, yang biasanya diakibatkan oleh kerusakan
saraf. Paralisis dapat terjadi juga pada pita suara. Paralisis pita suara
terjadi jika salah satu atau kedua pita suara tidak dapat membuka
ataupun menutup dengan semestinya.

Faktor Risiko
- bernafas pada lingkungan yang tidak bersih
- pubertas (berkaitan dengan pelebaran laring)
- merokok
- pekerjaan yang menggunakan suara sebagai modal utama, misal : guru,
penyanyi, aktor
- penggunaan steroid dalam jangka waktu lama
- berteriak
- kebiasaan sering batuk untuk membersihkan tenggorokan
- stres, gelisah, depresi dapat menyebabkan tremor pita suara

12
E. GEJALA / MANIFESTASI KLINIS
Disfonia bukan merupakan suatu penyakit, namun merupakan suatu gejala
penyakit. Dalam melakukan anamnesis harus lengkap dan terarah sesuai
dengan penyakit yang dapat menyebabkan disfonia. Berikut adalah
beberapa penyakit yang dapat menyebabkan disfonia, disertai gejala-gejala
yang menyertainya :
1. Radang
Gejala yang timbul itu seperti suara parau yang menetap, rasa
tersangkut di tenggorok, sehingga pasien sering mendeham tanpa
mengeluarkan secret karena mukosa yang menebal, nyeri menelan
yang sangat hebat.
2. Neoplasma
terdapat tumor laring, gejala yang timbul itu seperti suara parau dan
kadang-kadang disertai batuk.
3. Paralisis otot laring
Gejala yang timbul adalah suara parau, stridor atau bahkan disertai
dengan kesulitan menelan yang tergantung pada penyebabnya.
4. Kelainan kongenital
Bermanifestasi sebagai suara serak atau stridor pada saat bernafas.
Dimulai dari usia dini.

F. DIAGNOSIS
a. Anamnesa
Anamnesis meliputi keluhan gangguan suara, lamanya keluhan,
progesifitas, riwayat keluhan sebelumnya (penggunaan suara berlebih),
keluhan yang menyertai (sesak nafas, batuk), pekerjaan, riwayat
keluarga, kebiasaan merokok, minum kopi atau alkohol, riwayat
penyakit lain yang pernah diderita (trauma), alergi dan lingkungan
tempat tinggal.
b. Pemeriksaan klinik dan penunjang
Pemeriksaan klinik meliputi pemeriksaan umum, pemeriksaan THT
termasuk pemeriksaan laringoskopi tak langsung untuk melihat laring
melalu kaca laring atau dengan menggunakan teleskop laring baik
yang kaku atau serat optic. Penggunaan teleskop ini dapat
dihubungkan dengan alat video (Video Laringoskopi) sehingga akan
memberikan visualisasi larig (pita suara) yang lebih jelas baik dalam
keaadaan diam maupun saat bergerak.
Terkadang diperlukan pemeriksaan laring secara langsung (direct
laringoscopy) untuk biopsi tumor dan menentukan perluasannya atau
bila diperlukan tindakan pada bagian-bagian tertentu pada laring.
Visualisasi laring
- Laringoskop tidak langsung (Indirek)

14
Visualisasi laring dapat dilakukan melalui pemeriksaan
laringoskop tidak langsung dengan menggunakan kaca
laring.

- Laringoskop langsung (Direk)


Apabila diperlukan visualisasi yang lebih detail,
pencahayaan, dan pembesaran, dapat dilakukan
laringoskopi langsung dengan menggunakan teleskop
laring.

Pemeriksaan penunjang lainnyayang diperlukan meliputi pemeriksaan


laboratorium, radiologi, elektromiografi, dan patologi anatomi.

G. PENATALAKSANAN
Pilihan pengobatan pada disfonia tergantung gangguan yang
menyebabkannya. Terapi yang dilakukan bisa terapi konservatif dan
pembedahan. Disfonia fungsional umumnya sembuh dengan terapi
konservatif berupa memperbaiki faktor risiko dan voice therapy, namun
apabila disfonia tidak diobati dapat berkembang menjadi disfonia organik.
Penatalaksanaan disfonia diawali dengan diagnosis yang tepat dan
terapi yang sesuai dengan diagnosis dan etiologi tersebut. Terapi dapat
berupa medikamentosa, vocal hygien, terapi suara dan bicara serta
tindakan operatif. Tindakan operatif untuk mengatasi gangguan suara atau
disfonia disebut Phanosurgery.

Penatalaksanaan berdasarkan penyebabnya.


1. Radang akut
 Istirahat berbicara selama 2-3 hari, menghirup udara segar.
Menghindari iritasi pada laring seperti merokok makan makanan
yang pedas, atau minum es. Antibiotik dapat diberikan, bila
terdapat sumbatan laring dapat dilakukan pemasangan pipa
endotrakea atau trakeostomi.
2. Radang kronis
 Dapat diberikan pengobatan sesuai dengan penyebabnya, misalkan
penyebabnya sinusitis, maka dapat diberikan antibiotik, mukolitik,
dan analgetik
3. Neoplasma
 Tindakan bedah mikro dapat dilakukan apabila ada kecurigaan
keganasan.
4. Paralisis pita suara
 Pengobatan pada kelumpuhan pita suara adalah terapi suara dan
bedah pita suara. Pada umumnya terapi suara diberikan terlebih
dahulu, sedangkan tindakan bedah pita suara dapat dilakukan
tergantung pada beratnya gejala, kebutuhan suara pasien, posisi
kelumpuhan pita suara dan penyebab kelumpuhan tersebut.

16
BAB III
KESIMPULAN

Disfonia merupakan suatu gejala dan bukan penyakit. Walupun tidak


diketahui berapa jumlah pastinya pasti orang dengan disfonia, diperkirakan
1,2-23,4% populasi mengalami gangguan pada suara. Manifestasi
gangguan kualitas suara pada disfonia dapat berariasi seperti desahan,
parau, tegang, tercekik, tebal, nada menjadi tinggi atau rendah, tergantung
struktur anatomis yang terganggu dan terganggu dan patofisiologi produksi
suara yang disebabkan penyakit yang mendasari disfonia.
Etiologi disfonia bervariasi seperti neoplasma jinak, neoplasma ganas,
traua peradangan/infeksi, gangguan saraf, gangguan psiologis/fungsional.
Lesi jinak pada laring yang paling sering ditemukan adalah radang
(laringitis), polip, kista, granuloma, dan polip.
Untuk mendiagnosa diperlukan anamnesia mendetail untuk
mengetahui kualitas vokal pasien yang terganggu, onset, dan progesifitas
penyakit. Riwayat pekerjaan sangat penting mengingat kemungkinan besar
pasien memiliki profesi yang berkaitan dengan penggunaan suara seperti
penyanyi atau guru. Riwayat penyakit sebelumnya dan pemakaian obat-
obatan juga penting untuk diselidiki.
Terapi berfokus pada konservasi suara dan edukasi teknik penggunaan
suara yang benar pada pasien. Medikamentosa digunakan secara
konservatif dan diutamakan pada pasien yang memang profesinya
menuntut penggunaan suara. Intervensi bedah bergantung pada jenis
penyebab disfonia, dan perlu didahului terapi suara untuk mencegah
komplikasi trauma sekunder paska operasi. Tindakan pencegahan disfonia
yang umum adalah anjuran untuk banyak minum dengan tujuan memberi
hidrasi laring.
DAFTAR PUSTAKA

Soepardi E. Iskandar N dkk Ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ke-7. Jakarta. Balai Penerbit FK UI.
2009.
Banvetz JD. Gangguan laring jinak Dalam BOIES buku ajar THT Edisi 6.
Jakarta : EGC, 2009.
Cohen James, Anotomi dan Fisiologi laring. Boies buku ajar penyakit THT.
Jakarta. Penerbit buku kedokteran EGC. 2012
Anonymous. Normal laryng [online] 2015. Available at
www.voiceandswallowing.com
Hermani, bambang. Disfonia. Jakarta: Sub divisi laring faring departemen THT
FKUI/RSCM
Yuwono N, Novita S. Nodul Pita Suara. 2014. Jakarta

18

Anda mungkin juga menyukai