Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Medis

1. Masa Nifas

a. Pengertian

1) Masa nifas atau puerperium dimulai sejak 1 jam setelah

lahirnya plasenta sampai dengan 6 minggu (42 hari) setelah itu

(Saifuddin, 2010).

2) Masa nifas (puerperium) adalah masa pemulihan kembali,

mulai dari persalinan selesai sampai alat-alat kandungan

kembali seperti prahamil. Lama masa nifas yaitu 6-8 minggu

(Sofian, 2011).

Pengertian diatas dapat disimpulkan masa nifas atau

puerperium adalah masa setelah keluarnya plasenta sampai alat-alat

reproduksi pulih seperti sebelum hamil dan secara normal masa

nifas berlangsung selama 6 minggu atau 42 hari.

7
8

b. Periode Masa Nifas

Tahapan masa nifas menurut Sofian (2011) dibagi dalam 3 periode:

1) Puerperium dini, kepulihan saat ibu diperbolehkan berdiri

dan berjalan-jalan. Dalam agama Islam, dianggap telah bersih

dan boleh bekerja selama 40 hari.

2) Puerperium intermediat, kepulihan menyeluruh alat-alat

genetalia yang lamanya 6-8 minggu.

3) Puerperium lanjut, waktu yang diperlukan untuk pulih dan

kembali sehat sempurna, terutama jika selama hamil atau

sewaktu persalinan timbul komplikasi. Waktu untuk mencapai

kondisi sehat sempurna dapat berminggu-minggu, bulanan,

atau tahunan.

c. Perubahan Fisiologi dan Psikologis Masa Nifas

1) Uterus

Uterus secara berangsur-angsur menjadi kecil (berinvolusi)

hingga akhirnya kembali seperti sebelum hamil.


9

Tabel 2.1 Tinggi Fundus Uteri dan Berat Uterus Menurut Masa

Involusi
Waktu involusi Tinggi fundus uteri Berat uterus
Bayi lahir Setinggi pusat 1000 gram
Plasenta lahir 2 jari dibawah pusat 750 gram
1 minggu Pertengahan pusat-simfisis 500 gram
2 minggu Tidak teraba 350 gram
6 minggu Bertambah kecil 50 gram
8 minggu Normal 30 gram
Sumber: Sofian (2011)

2) Laserasi

Laserasi (luka-luka) pada jalan lahir jika tidak disertai infeksi

akan sembuh dalam 6-7 hari (Sofian, 2011).

3) Rasa Nyeri

Rasa nyeri (after pains) atau mules-mules disebabkan

kontraksi rahim, biasanya berlangsung 2-4 hari pascapersalinan

(DeCherney, 2007; Sofian, 2011).

4) Lokia

Peluruhan jaringan desidua menyebabkan timbulnya sekret

vagina dalam jumlah yang beragam. Sekret tersebut dinamakan

lokia dan terdiri dari eritrosit, potongan jaringan desidua, sel

epitel, dan bakteri (Cunningham, 2012).

Lokia rubra (cruenta) berisi darah segar dan sisa-sisa selaput

ketuban, sel-sel desidua, verniks kaseosa, lanugo, dan


10

mekonium, selama 2 hari pascapersalinan. Selama 3-7 hari

pascapersalinan, cairan berwarna merah kuning, berisi darah

dan lendir, dinamakan lokia sanguinolenta. Lokia serosa

berwarna kuning, tidak berdarah lagi, pada hari ke 7-14

pascapersalinan. Setelah 14 hari, karena penurunan leukosit dan

penurunan kandungan cairan, lokia berwarna putih, disebut

lokia alba (Sofian, 2011).

5) Serviks

Bentuk serviks sedikit menganga seperti corong, berwarna

merah kehitaman setelah persalinan. Konsistensinya lunak,

kadang-kadang terdapat perlukaan kecil. Setelah bayi lahir,

tangan masih bisa dimasukkan ke rongga rahim, setelah 2 jam

dapat dilalui oleh 2-3 jari dan setelah 7 hari hanya dapat dilalui

1 jari (Sofian, 2011).

6) Saluran Kemih

Ureter yang berdilatasi dan pelvis renal kembali ke keadaan

sebelum hamil dalam 2-8 minggu setelah persalinan

(Cunningham, 2012).
11

7) Perubahan Psikologis Masa Nifas

Kesejahteraan emosional selama periode pascapersalinan

dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti kelelahan, kepuasaan

menerima peran baru sebagai ibu, cemas, dan dukungan yang

diberikan (Rukiyah, 2010).

Ibu pascapersalinan akan memperoleh kembali rasa

keseimbangan antara 6-12 minggu karena telah ada

penyesuaian terhadap aktivitas rutin sehari-hari. Perubahan

seksual, stabilitas emosi, dan merasa utuh kembali memerlukan

waktu beberapa bulan (Fraser, 2009).

2. Penyulit atau Komplikasi Masa Nifas

a. Perdarahan postpartum

Perdarahan postpartum didefinisikan sebagai perdarahan lebih

dari 500 cc yang terjadi setelah bayi lahir pervaginam atau lebih

dari 1.000 cc setelah persalinan abdominal (Nugroho, 2012).

Menurut waktunya, perdarahan postpartum dibagi atas dua

bagian yaitu perdarahan postpartum primer (early postpartum

haemorraghe) yang terjadi dalam 24 jam setelah anak lahir dan

perdarahan postpartum sekunder (late postpartum haemorraghe)


12

yang terjadi setelah 24 jam, biasanya antara hari ke 5 sampai 15

pascapersalinan (Sofian, 2011).

b. Etiologi perdarahan postpartum

Perdarahan pascapersalinan disebabkan oleh atonia uterus, sisa

plasenta dan selaput ketuban (retensio sisa plasenta), laserasi

saluran genetalia seperti robekan perineum, vagina serviks, forniks,

dan rahim, serta gangguan pembekuan darah misalnya

hipofibrinogenemia (DeCherney, 2007; Gant, 2010; Nugroho,

2012).

3. Retensio Sisa Plasenta

a. Pengertian

Retensio sisa plasenta merupakan tertinggalnya kotiledon atau

lobus suksenturiat di dalam uterus (Norwitz, 2008).

b. Etiologi terjadinya retensio sisa plasenta

1) Implantasi plasenta abnormal

Setelah janin lahir, beberapa menit kemudian mulailah proses

pelepasan plasenta disertai sedikit perdarahan. Apabila plasenta

telah lepas dan turun ke bagian bawah rahim, maka uterus akan

berkontraksi untuk mengeluarkan plasenta (Sofian, 2011).


13

Kadang-kadang pelepasan ini terlambat karena plasenta

melekat di tempat implantasi dengan cara tidak biasa.

Perlekatan plasenta abnormal pada akhirnya akan

menyebabkan retensio sisa plasenta. Perlekatan plasenta

abnormal pada dinding uterus seperti plasenta akreta, plasenta

inkreta, plasenta adesiva, serta plasenta previa (Dutton, 2011;

Cunningham, 2012; Antonella, 2015).

2) Kala uri berlangsung tidak lancar

Setelah melakukan plasenta manual atau menemukan adanya

kotiledon yang tidak lengkap pada saat melakukan pemeriksaan

plasenta dan masih ada perdarahan dari ostium uteri eksternum

pada saat kontraksi rahim telah baik dan robekan jalan lahir

telah terjahit (Saifuddin, 2010).

3) Lobus Suksenturiatus (Plasenta Suksenturiatus)

Plasenta ini merupakan versi plasenta bilobata yang lebih

kecil. Plasenta bilobata yaitu plasenta yang tali pusatnya

menyisip diantara kedua lobus plasenta ke dalam jembatan

korionik atau ke dalam membran yang menyelanginya. Pada

plasenta suksenturiatus, satu lobus aksesorius atau lebih kecil

berkembang dalam membran pada jarak tertentu dari plasenta


14

utama, dan lobus-lobus itu biasanya memiliki jaringan vaskular

yang berasal dari janin (Cunningham, 2012).

Lobus aksesori kadang-kadang dapat tertinggal didalam

uterus setelah persalinan dan dapat mengakibatkan perdarahan

serius. Perdarahan pascapersalinan segera jarang disebabkan

oleh tertinggalnya fragmen plasenta, tetapi potongan plasenta

yang tertinggal merupakan sebab lazim perdarahan lanjut masa

nifas. Inspeksi plasenta setelah persalinan harus menjadi proses

rutin. Apabila terdapat bagian plasenta yang hilang, uterus

harus di eksplorasi dan fragmen dikeluarkan, khususnya jika

terjadi perdarahan lanjut (Wylie, 2010; Cunningham, 2012).

c. Patofisiologi retensio sisa plasenta

Plasenta tertanam di sebuah daerah yang luas pada desidua uteri.

Segera setelah janin lahir, uterus masih berkontraksi untuk

mengeluarkan plasenta secara spontan yang mengakibatkan

penciutan permukaan kavum uteri tempat implantasi plasenta dan

ukuran rongganya akan mengecil. Apabila terdapat faktor

predisposisi yaitu plasenta previa, umur diatas 35 tahun, paritas

tinggi, riwayat operasi SC, riwayat kuretase dan kehamilan ganda,

maka dapat memicu terjadinya implantasi plasenta abnormal, kala


15

uri tidak lancar, maupun adanya lobus suksenturiatus. Etiologi

tersebut menyebabkan tertinggalnya sebagian plasenta di dalam

uterus (retensio sisa plasenta). Sisa plasenta akan menghalangi

kontraksi dan retraksi sempurna otot uterus sehingga terjadi

subinvolusi uteri, menghambat penekanan pembuluh darah yang

terbuka dan mengganggu hemostasis (proses penghentian darah)

pada tempat implantasi. Tanpa disertai kontraksi uterus secara

efektif, perdarahan akan berlangsung dengan cepat (Saifuddin,

2010; Nugroho, 2012; Cunningham, 2012). (Bagan terlampir)

d. Faktor predisposisi

Beberapa faktor predisposisi retensio sisa plasenta diantaranya

plasenta previa, umur (semakin meningkat umur resiko plasenta

previa semakin tinggi), grandemultipara (resiko plasenta previa),

riwayat operasi seksio sesarea, riwayat kuretase, dan kehamilan

ganda (Anderson, 2007; Saifuddin 2010).

e. Keluhan subjektif

Sebagian besar pasien akan kembali lagi ke tempat bersalin

dengan keluhan perdarahan setelah beberapa hari pulang ke rumah

dan beberapa disertai rasa sakit pada perut bagian bawah pada
16

kasus retensio sisa plasenta dengan perdarahan pascapersalinan

lanjut (Saifuddin, 2010; Nugroho, 2012).

f. Gejala klinis/ laboratorium

Diagnosis retensio sisa plasenta dapat ditegakkan dengan

perdarahan segera 24 jam pascapersalinan, uterus berkontraksi

tetapi terjadi subinvolusi uteri (tinggi fundus uteri tidak

berkurang), serta kadang-kadang disertai rasa sakit pada perut

bagian bawah (Nugroho, 2012; Kemenkes RI, 2013).

Penemuan awal kasus retensio sisa plasenta hanya

dimungkinkan dengan melakukan pemeriksaan kelengkapan

plasenta setelah dilahirkan. Pemeriksaan lebih lanjut juga

diperlukan pada kasus ini seperti pemeriksaan keadaan fisik,

keadaan umum, pemeriksaan laboratorium (Hb dan golongan

darah) serta pemeriksaan USG untuk melihat kemungkinan adanya

retensi sisa plasenta, gumpalan darah, atau selaput ketuban yang

tertinggal (DeCherney, 2007; Sofian, 2011; Nugroho, 2012).

g. Prognosis

Prognosis bergantung pada jumlah perdarahan yang dikeluarkan

akibat retensio sisa plasenta. Apabila perdarahan yang terjadi

minimal maka tidak menimbulkan kematian maternal. Faktor lain


17

yang mempengaruhi adalah kecepatan penanganan yang

didapatkan pasien dengan efisien dan aman. Retensio sisa plasenta

yang masih terdapat di dalam uterus pada masa nifas akan

menyebabkan perdarahan karena mengakibatkan kontraksi uterus

tidak efektif sehingga tidak dapat mengikat pembuluh darah. Maka

dari itu, apabila banyak mengeluarkan darah, hendaknya segera

dilakukan eksplorasi kavum uteri secara manual atau kuretase,

disusul dengan pemberian obat-obatan oksitosika dan antibiotika

(Wiknjosastro, 2010).

h. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan untuk kasus retensio sisa plasenta dapat

dilakukan dengan cara:

1) Observasi keadaan umum, tanda-tanda vital, perdarahan

pervaginam, TFU, dan kontraksi uterus (Nugroho, 2012).

2) Kolaborasi dengan dokter spesialis obstetri dan ginekologi

dalam pemberian terapi atau tindakan:

a) Berikan input cairan infus berupa oksitosin 20 unit drip RL

atau NaCl 0,9% 1000 ml 60 tetes/menit agar kontraksi

uterus efektif.
18

b) Berikan antibiotika karena perdarahan juga merupakan

gejala metritis. Antibiotika ampisilin 2 gr IV setiap 6 jam

dan metronidazole 500 mg oral setiap 8 jam.

c) Lakukan eksplorasi digital apabila serviks terbuka dan

keluarkan bekuan darah dan jaringan. Apabila serviks

hanya dapat dilalui oleh instrumen, lakukan evakuasi sisa

plasenta dengan aspirasi vakum manual atau dilatasi dan

kuretase.

(JMST, 2012; Kemenkes RI, 2013; WHO, 2015) (Bagan

terlampir)

B. Teori Manajemen Kebidanan

Pelaksanaan manajemen kebidanan berdasarkan 7 langkah Varney

(2007) meliputi:

1. Langkah I. Pengumpulan/ Penyajian Data dasar Secara Lengkap

a. Data Subjektif

1) Identitas

Data fokus pada kasus ini yang perlu ditanyakan bidan

adalah umur dan paritas pasien. Paritas tinggi dan usia diatas

35 tahun meningkatkan resiko terjadinya plasenta previa yang


19

merupakan faktor predisposisi retensio sisa plasenta (Saifuddin,

2010).

2) Keluhan Utama

Pasien akan kembali ke tempat bersalin dengan keluhan

perdarahan dan kadang-kadang disertai nyeri perut bagian

bawah (Saifuddin, 2010; Nugroho, 2012).

3) Riwayat Kebidanan

Data fokus riwayat kebidanan dalam kasus perdarahan

karena retensio sisa plasenta yaitu riwayat persalinan dan nifas

yang lalu. Riwayat persalinan dan nifas dengan plasenta previa,

operasi seksio sesaria, dan kuretase menjadi perhatian lebih

karena merupakan faktor resiko terjadinya retensio sisa

plasenta (Anderson, 2007; Saifuddin, 2010).

b. Data Objektif

1) Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada ibu nifas dengan perdarahan karena

retensio sisa plasenta meliputi keadaan umum, kesadaran,

tanda-tanda vital, dan pemeriksaan head to toe misalnya

pemeriksaan pada konjungtiva mata, mulut, serta kuku untuk

melihat apakah pucat atau tidak. Pemeriksaan tanda-tanda vital


20

mencakup tekanan darah, nadi, suhu, dan respirasi untuk

memantau keadaan umum pasien. Keadaan umum semakin

memburuk apabila tekanan darah sistolik <90 mmHg dan nadi

>100x/menit (Nugroho, 2012).

2) Pemeriksaan Khusus Obstetri

a) Inspeksi

Pemeriksaan inspeksi pada pasien dengan perdarahan

postpartum karena retensio sisa plasenta perlu diperiksa

seberapa banyak perdarahan yang terjadi (Saifuddin, 2010;

Cunningham, 2012; Nugroho, 2012).

b) Palpasi

Perdarahan karena retensio sisa plasenta uterus

berkontraksi tetapi tinggi fundus uteri tidak berkurang

(Saifuddin, 2010; Nugroho, 2012).

c) Periksa Dalam

Pemeriksaan dalam yang dilakukan pada kasus retensio

sisa plasenta ditemukan uterus yang membesar, terdapat

sisa hasil konsepsi di dalam uterus, dan ostium uteri

mengeluarkan darah (Saifuddin, 2010; Wiknjosastro, 2010).


21

3) Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang pada retensio sisa plasenta meliputi

pemeriksaan laboratorium (golongan darah dan Hb) serta

pemeriksaan USG untuk melihat kemungkinan adanya retensi

sisa plasenta, gumpalan darah, atau selaput ketuban yang

tertinggal (DeCherney, 2007: Sofian, 2011; Nugroho, 2012).

2. Langkah II. Interpretasi Data Dasar

a. Diagnosa Kebidanan

Diagnosa kebidanan dalam kasus ini adalah : Ny. X umur X

tahun PxAx dengan retensio sisa plasenta.

b. Masalah

Masalah yang sering dijumpai pada ibu nifas dengan retensio

sisa plasenta adalah perasaan cemas dan takut akibat perdarahan

yang banyak dari jalan lahir (Saifuddin, 2010).

c. Kebutuhan

Kebutuhan yang diperlukan untuk mengatasi masalah ibu nifas

diatas yaitu dukungan secara mental dan spiritual kepada pasien

dan keluarganya serta jelaskan tentang keadaan pasien (Saifuddin,

2010).
22

3. Langkah III. Identifikasi Diagnosa atau Masalah Potensial/ Diagnosa

Potensial dan Antisipasi Penanganan

Masalah potensial yang dapat terjadi pada kasus ibu nifas dengan

retensio sisa plasenta antara lain:

a. Perdarahan dan infeksi, karena sisa plasenta biasanya mengalami

nekrosis dengan terjadinya deposisi fibrin dan pada akhirnya dapat

membentuk sesuatu yang disebut polip plasenta. Ketika eskar polip

tersebut lepas dari miometrium, perdarahan aktif dapat terjadi

(Cunningham, 2012).

b. Syok, dapat disebabkan oleh kehilangan banyak cairan dari dalam

tubuh berupa perdarahan hebat salah satunya perdarahan

pascapersalinan seperti perdarahan karena retensio sisa plasenta

akibat kehilangan banyak darah maupun disebabkan oleh adanya

infeksi jika sisa hasil konsepsi tidak segera dikeluarkan sehingga

pasien tampak gelisah, bingung, hingga mengalami penurunan

kesadaran, kulit menjadi pucat dan basah, kerja jantung berkurang,

nadi cepat dan lemah, pernafasan cepat, serta tekanan sistolik

menurun(Saifuddin, 2010; Kemenkes RI, 2013).

Antisipasi penanganan yang dapat dilakukan oleh bidan menurut

Saifuddin (2010), Nugroho (2012) dan Kemenkes RI (2013) yaitu


23

pantau keadaan umum, tanda-tanda vital, TFU, kontraksi, estimasi

pengeluaran darah, tanda-tanda infeksi, dan tanda-tanda syok.

4. Langkah IV. Kebutuhan Terhadap Tindakan Segera

Menurut JMST (2012), Kemenkes RI (2013) dan WHO (2015),

tindakan segera yang dapat dilakukan yaitu kolaborasi dengan dokter

Sp.OG untuk pemberian terapi dan tindakan berupa:

a. Pasang infus (oksitosin 20 unit drip RL atau NaCl 0,9% 1000 ml

60 tetes/menit)

b. Berikan antibiotika profilaksis ampisilin 2 gr IV dan metronidazole

500 mg oral.

c. Lakukan eksplorasi digital apabila serviks terbuka lalu keluarkan

bekuan darah dan jaringan. Apabila serviks hanya dapat dilalui

oleh instrumen, lakukan evakuasi sisa plasenta dengan aspirasi

vakum manual atau dilatasi dan kuretase.

5. Langkah V. Perencanaan Asuhan yang Menyeluruh

Rencana tindakan kepada ibu dengan retensio sisa plasenta meliputi:

a. Jelaskan kepada ibu dan keluarga mengenai keadaan yang dialami

ibu (Varney, 2007).

b. Motivasi pada ibu untuk tetap tenang dan tidak terlalu cemas

dengan kondisinya (Saifuddin, 2010).


24

c. Observasi keadaan umum, tanda-tanda vital, perdarahan

pervaginam, TFU, dan kontraksi uterus (Nugroho, 2012).

d. Lakukan informed consent kepada pasien atau keluarga untuk

memberikan kewenangan kepada bidan dan tenaga kesehatan lain

setelah pasien mendapat informasi mengenai tindakan yang akan

dilakukan (Saifuddin, 2010).

e. Lakukan advis dokter spesialis obstetri dan ginekologi yang

diberikan pada kasus perdarahan dengan retensio sisa plasenta

menurut yaitu:

1) Berikan input cairan infus (oksitosin 20 unit drip RL atau NaCl

0,9% 1000 ml 60 tetes/menit)

2) Berikan antibiotika profilaksis ampisilin 2 gr setiap 6 jam dan

metronidazole 500 mg oral setiap 8 jam.

3) Lakukan eksplorasi digital apabila serviks terbuka dan

keluarkan bekuan darah dan jaringan. Apabila serviks hanya

dapat dilalui oleh instrumen, laukan evakuasi sisa plasenta

dengan aspirasi vakum manual atau dilatasi dan kuretase.

(JMST, 2012; Kemenkes RI, 2013; WHO, 2015)

f. Dokumentasikan semua tindakan yang telah dilakukan (JNPK-KR,

2008).
25

6. Langkah VI. Pelaksanaan Langsung Asuhan dengan Efisien dan Aman

Bidan dan tenaga kesehatan lain menjalankan rencana asuhan

sesuai yang telah direncanakan dalam langkah sebelumnya dengan

efisien dan aman (JNPK-KR, 2008).

7. Langkah VII. Evaluasi

Evaluasi merupakan langkah terakhir untuk mengukur sejauh mana

keberhasilan asuhan yang diberikan kepada pasien dan memeriksa

apakah rencana asuhan yang dilakukan benar-benar memenuhi

kebutuhan pasien. Penatalaksaan yang telah dilakukan diharapkan

dapat mengeluarkan sisa plasenta yang tertinggal di dalam uterus dan

menghentikan perdarahan (JNPK-KR, 2008).

C. Follow Up Catatan Perkembangan Kondisi Pasien

Menurut KEPMENKES RI No. 938/MENKES/SK/VIII/2007, dalam

pendokumentasian data perkembangan kondisi pasien pada ibu nifas

dengan retensio sisa plasenta, penulis menggunakan metode

pendokumentasian SOAP. Pendokumentasian dalam bentuk SOAP

meliputi:
26

S = Subjektif

Data subjektif yang dikumpulkan pada kasus perdarahan dengan

retensio sisa plasenta menggambarkan hasil anamnesa sebagai langkah 1

Varney yaitu pasien tidak mengeluhkan sakit pada perut bagian bawah dan

tidak mengeluarkan banyak darah dari jalan lahir (Saifuddin, 2010;

Nugroho, 2012).

O = Objektif

Data objektif yang dikumpulkan pada kasus perdarahan dengan

retensio sisa plasenta menggambarkan hasil pemeriksaan sebagai langkah

1 Varney meliputi pemeriksaan fisik seperti keadaan umum pasien,

kesadaran, tanda-tanda vital, hasil pemeriksaan obstetri yaitu bagaimana

perdarahannya masih berlanjut atau telah dalam batas normal dan menilai

kontraksi uterus efektif atau tidak, serta data pendukung dari pemeriksaan

penunjang seperti hasil pemeriksaan ulang kadar Hb dan USG (Saifuddin,

2010; Nugroho, 2012, Cunningham, 2012).

A = Assesment

Menggambarkan pendokumentasian hasil analisis serta interpretasi

data subjektif maupun objektif dalam suatu identifikasi diagnosa dan

masalah kebidanan sebagai langkah 2 Varney. Assesment dari kasus

perdarahan karena retensio sisa plasenta berdasarkan data subjektif dan


27

data objektif yang telah dikumpulkan adalah Ny. X umur X tahun PxAx

dengan postkuretase karena retensio sisa plasenta.

P = Planning

Mencatat seluruh perencanaan dan penatalaksanaan yang telah

dilakukan seperti tindakan antisipatif, tindakan segera, tindakan secara

komprehensif; penyuluhan, dukungan, kolaborasi, evaluasi/ follow up dan

rujukan sebagai langkah 3, 4, 5, 6, dan 7 Varney.

Penatalaksanaan pada kasus perdarahan dengan retensio sisa plasenta

adalah monitoring keadaan umum dan perawatan pasien setelah dilakukan

eksplorasi uterus atau kuretase. Kolaborasi dengan dokter Sp.OG untuk

pemberian terapi yaitu oksitosin 10 unit drip RL atau NaCl 0,9% 1000 ml

30 tetes/menit dan ampisilin 1 gr IV setiap 6 jam serta metronidazole 500

mg setiap 8 jam sebagai dosis perawatan, lalu mendokumentasikan semua

tindakan yang telah dilakukan (JNPK-KR, 2008; WHO, 2015).

Anda mungkin juga menyukai