Anda di halaman 1dari 48

HUBUNGAN KEPADATAN HUNIAN RUMAH DENGAN TERJADINYA

PENYAKIT ISPA PADA BALITA DI KELURAHAN PEMATANG WANGI,

BANDAR LAMPUNG TAHUN 2020

Oleh :

TIARA NOVRILIA

190101052P

UNIVERSITAS AISYAH PRINGSEWU

TAHUN AKADEMIK

2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan infeksi yang
menyerang saluran pernapasan, mulai dari hidung, tenggorokan, sampai paru.
ISPA dibagi menjadi infeksi respiratorius akut atas dan infeksi respiratorius
akut bawah. Infeksi respiratorius akut bawah adalah infeksi yang terjadi pada
bagian laring ke bawah, seperti bronkitis dan pneumonia. Pneumonia masih
merupakan salah satu permasalahan kesehatan di dunia. Hal ini ditunjukkan
dengan masih tingginya angka kesakitan sampai angka kematian pada anak,
terutama anak di bawah usia lima tahun. UNICEF Commiting to Child
Survival: A Promise Renewed Progress Report pada Januari 2020 mencatat,
di 800.000 anak dibawah lima tahun terdapat 153.000 kematian akibat
pneumonia, yang bearti angka kematian balita di Dunia mencapai 29 orang di
setiap detiknya dimana kematian tersebut dapat dicegah (UNICEF, 2020).
Kasus pneumonia banyak terjadi di negara-negara berkembang, seperti
Asia Selatan dan Afrika sub-sahara. Indonesia menduduki peringkat ke-6 di
dunia dalam kasus kematian balita akibat pneumonia dengan jumlah total
kasus sekitar enam juta anak. Pneumonia merupakan penyebab kematian
nomor dua setelah diare di Indonesia. Berdasarkan data dari United Nations
Children’s Fund (UNICEF), pada tahun 2015 terdapat kurang lebih 14 persen
dari 147.000 anak di bawah usia lima tahun di Indonesia meninggal karena
pneumonia. Jadi, ada sekitar dua sampai tiga anak di bawah usia lima tahun
meninggal karena pneumonia setiap jamnya kematian akibat pneumonia pada
tahun 2015 sekitar 15,5%. Angka kejadian pneumonia pada tahun 2016 di
Indonesia mencapai 57,84%.
Pemerintah Indonesia sendiri telah menyusun rencana strategi
penaggulangan ISPA. Berbagai upaya pengendalian telah dilakukan
Kemenkes antara lain penyiapan rumah sakit rujukan, penguatan surveilan
sentinel pneumonia, laboratorium virology, KIE, dan kerja sama internasional.
Peran aktif petugas/Puskesmas sangat penting dalam memantau kejadian,
karena apabila kejadian ISPA tidak terkendali dapat mengakibatkab ledakan
kasus kematian balita di wilayah tersebut (Kemenkes, 2011).
Faktor kepadatan penduduk , ventilasi, suhu dan pencahayaan rumah
yang jendelanya tidak memenuhi persyaratan menyebabkan pertukaran udara
tidak dapat berlangsung dengan baik, akibatnya asap dapur dan asap rokok
dapat terkumpul dalam rumah, bayi dan anak yang sering menghisap asap
tersebut di dalam rumah lebih mudah terserang ISPA. Berdasarkan hasil
penelitian wahyudi (2018), diketahui bahwa ada hubungan yang bermakna
antara kepadatan penduduk dengan kejadian ISPA pada balita.
Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.829/Menkes/SK/VII/1999, rumah merupakan salah satu kebutuhan pokok
manusia yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang digunakan untuk
berlindung dari gangguan iklim dan makhluk lainnya, serta tempat
perkembangan kehidupan keluarga. Kondisi fisik rumah dan lingkungan yang
tidak memenuhi standar kesehatan merupakan faktor risiko penularan berbagai
jenis penyakit, termasuk ISPA. Angka kejadian penyakit Infeksi Saluran
Pernafasan Atas (ISPA) di Indonesia masih tinggi terutama pada balita, kasus
kesakitan tiap tahun mencapai 260.000 balita. Pada akhir tahun 2000, ISPA
mencapai enam kasus di antara 1000 bayi dan balita. Tahun 2003 kasus
kesakitan balita akibat ISPA sebanyak lima dari 1000 balita, salah satu
penyebab ISPA pada balita yaitu sanitasi rumah yang tidak sehat (Supraptini,
2006).
Di Indonesia rumah sehat dibagi menjadi tiga kategori yaitu kategori
baik, kategori sedang dan kategori kurang. Persentase rumah sehat di
Indonesia kategori baik mencapai 35,3%, kategori sedang 39,8% dan kategori
kurang 24,9%. Target rumah sehat di Indonesia sebesar 80%, dari kategori
rumah sehat di atas tidak ada yang memenuhi target, sehingga rumah sehat di
Indonesia belum tercapai (Depkes RI, 2000). Lingkungan fisik dan kepadatan
hunian rumah merupakan salah satu factor yang berhubungan dengan kejadian
ISPA. Berdampak pada kesehatan balita yang rentan terhadap penyakit.
Data Dinas Kesehatan Provinsi Lampung pada tahun 2018, penyakit
ISPA merupakan penyakit saluran pernafasan yang banyak diderita oleh
responden (18.0%) diikuti oleh pneumonia (0.8%). Dan menurut data dari
Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung pada tahun 2019 menyebutkan bahwa
penyakit ISPA menduduki peringkat pertama di tingkat puskesmas yaitu
sebesar 3.208 kasus ISPA pneumonia pada balita. (Riskesdas, 2018).
Dari prasurvey yang dilakukan pada tanggal 20 – 22 Agustus 2020
terdapat 76 kasus ISPA pneumonia pada balita dari 126 balita yang ada di
Kelurahan Pematang Wangi. Di daerah tersebut terdapat komplek pemukiman
yang padat penduduk dengan jumlah 70. 200 penduduk, dengan luas wilayah
8,3 km2 dengan kepadatan hunian penduduk yang termasuk tinggi yaitu 8.457
(Biro Pusat Statistik Kota Bandar Lampung 2018).
Berdasarkan permasalahan diatas perlu memperhatikan kepadatan hunian
maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Hubungan
Kepadatan Hunian Rumah Dengan Terjadinya Penyakit ISPA Pada
Balita Di Kelurahan Pematang Wangi, Bandar Lampung Tahun 2020”

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam
penelitian ini adalah “Apakah ada hubungan Kepadatan Hunian Rumah
Dengan Terjadinya Penyakit ISPA Pada Balita di Kelurahan Pematang
Wangi, Bandar Lampung Tahun 2020 ?”

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah
dipaparkan di atas, adapun yang menjadi tujuan dari penulisan hukum ini,
adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui hubungan kepadatan hunian rumah dengan
terjadinya penyakit ISPA pada balita di Kelurahan Pematang Wangi,
Bandar Lampung Tahun 2020.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui distribusi frekuensi kepadatan hunian rumah di
Kelurahan Pematang Wangi Bandar Lampung 2020.
b. Untuk mengetahui distribusi terjadinya penyakit ISPA pada Balita di
Kelurahan Pematang Wangi, Bandar Lampung Tahun 2020.
c. Untuk mengetahui hubungan antara kepadatan rumah dengan
terjadinya penyakit ISPA pada balita di Kelurahan Pematang Wangi,
Bandar Lampung Tahun 2020.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Data atau informasi hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai
masukan khususnya di bidang tatalaksana P2 ISPA dan bidang pengelola
program kesehatan lingkungan tentang data hasil penelitian kepadatan
hunian kamar pada balita yang menderita ISPA.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Masyarakat / Responden
Data atau informasi penelitian ini dapat dimanfaatkan
Memberikan informasi tentang terjadinya penyakit ISPA pada balita
sehingga masyarakat dapat mengetahui dan menerapkan hunian rumah
sehat di rumah nya.
b. Manfaat Bagi Universitas
Sebagai referensi keilmuan terkait permasalahan pada penerapan
aplikasi tentang kepadatan hunian dan penyakit ISPA pada balita.

E. Ruang Lingkup
Penelitian kuantitatif ini menggunakan metode analitik dengan
pendekatan penelitian cross sectional. Penelitian akan dilaksanakan pada Bulan

Desember 2020. Variabel dependen pada penelitian ini adalah Penyakit ISPA pada
balita di kelurahan Pematang Wangi, Bandar Lampung sedangkan variabel
independen pada penelitian ini adalah Kepadatan hunian di Kelurahan
Pematang Wangi Bandar Lampung 2020. Populasi penelitian ini adalah
seluruh balita yang menderita ISPA di Kelurahan Pematang Wangi, Bandar
Lampung Tahun 2020. Instrumen penelitian yang digunakan adalah lembar
ceklist lembar format (rekapitulasi).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori

1. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

Infeksi Saluran Pernapasan Akut sering disingkat dengan ISPA. Istilah ini

diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections

(ARI). ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernapasan dan akut

dengan pengertian (Yudarmawan, 2012), sebagai berikut:

a. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh

manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.

b. Saluran pernapasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta

organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura.

ISPA secara anatomis mencakup saluran pernapasan bagian atas, saluran

pernapasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ

adneksa saluran pernapasan. Dengan batasan ini, jaringan paru termasuk

dalam saluran pernapasan (respiratory tract).

c. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari.


Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk

beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat

berlangsung lebih dari 14 hari.

Menurut WHO (2007), Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

didefinisikan sebagai penyakit saluran pernapasan akut yang disebabkan

oleh agen infeksius yang ditularkan dari manusia ke manusia. Timbulnya

gejala biasanya cepat, yaitu dalam waktu beberapa jam sampai beberapa

hari.

Menurut Depkes RI (2005), Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

adalah penyakit Infeksi akut yang menyerang salah satu bagian dan atau

lebih dari saluran napas mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli

(saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya seperti sinus, rongga telinga

tengah dan pleura.

Dari definisi di atas, menurut peneliti sendiri ISPA adalah infeksi

yang menyerang mulai dari saluran napas atas hingga alveoli, yang gejala

timbulnya cepat yaitu dalam waktu beberapa jam sampai beberapa hari.

2. Etiologi

Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia

(Depkes RI, 2005). Bakteri penyebab ISPA seperti : Diplococcus

pneumonia, Pneumococcus, Streptococcus hemolyticus, Streptococcus

aureus, Hemophilus influenza, Bacillus Friedlander. Virus seperti :


Respiratory syncytial virus, virus influenza, adenovirus, cytomegalovirus.

Jamur seperti : Mycoplasma pneumoces dermatitides, Coccidioides

immitis, Aspergillus, Candida albicans (Kurniawan dan Israr, 2009)

3. Gejala ISPA

Menurut WHO (2007), penyakit ISPA adalah penyakit yang sangat

menular, hal ini timbul karena menurunnya sistem kekebalan atau daya

tahan tubuh, misalnya karena kelelahan atau stres. Pada stadium awal,

gejalanya berupa rasa panas, kering dan gatal dalam hidung, yang

kemudian diikuti bersin terus menerus, hidung tersumbat dengan ingus

encer serta demam dan nyeri kepala. Permukaan mukosa hidung tampak

merah dan membengkak. Infeksi lebih lanjut membuat sekret menjadi

kental dan sumbatan di hidung bertambah. Bila tidak terdapat komplikasi,

gejalanya akan berkurang sesudah 3-5 hari. Komplikasi yang mungkin

terjadi adalah sinusitis, faringitis, infeksi telinga tengah, infeksi saluran

tuba eustachii, hingga bronkhitis dan pneumonia (radang paru). Secara

umum gejala ISPA meliputi demam, batuk, dan sering juga nyeri

tenggorok, coryza (pilek), sesak napas, mengi atau kesulitan bernapas).

4. Penularan ISPA

Penularan penyakit ISPA dapat terjadi melalui udara yang telah tercemar,

bibit penyakit masuk ke dalam tubuh melalui pernapasan, oleh karena itu

maka penyakit ISPA ini termasuk golongan Air Borne Disease. Penularan
melalui udara dimaksudkan adalah cara penularan yang terjadi tanpa

kontak dengan penderita maupun dengan benda terkontaminasi. Sebagian

besar penularan melalui udara dapat pula menular melalui kontak

langsung, namun tidak jarang penyakit yang sebagian besar penularannya

adalah karena menghisap udara yang mengandung unsur penyebab atau

mikroorganisme penyebab (WHO, 2007)

5. Diagnosis Penyakit ISPA

Pneumonia yang merupakan salah satu dari jenis ISPA adalah pembunuh

utama balita di dunia, lebih banyak dibanding dengan gabungan penyakit

AIDS, malaria dan campak. Di dunia setiap tahun diperkirakan lebih dari 2

juta balita meninggal karena pneumonia (1 balita/20 detik) dari 9 juta total

kematian balita. Di antara 5 kematian balita, 1 di antaranya disebabkan

oleh pneumonia. Bahkan karena besarnya kematian pneumonia ini,

pneumonia disebut sebagai “pandemi yang terlupakan” atau “the forgotten

pandemic”. Namun, tidak banyak perhatian terhadap penyakit ini,

sehingga pneumonia disebut juga pembunuh Balita yang terlupakan atau

“the forgotten killer of children” (Kemenkes RI, 2011b). Diagnosis

etiologi pnemonia khususnya pada balita sulit untuk ditegakkan karena

dahak biasanya sukar diperoleh. Sedangkan prosedur pemeriksaan

imunologi belum memberikan hasil yang memuaskan untuk menentukan

adanya bakteri sebagai penyebab pnemonia, hanya biakan spesimen fungsi

atau aspirasi paru serta pemeriksaan spesimen darah yang dapat

diandalkan untuk membantu menegakkan diagnosis etiologi pnemonia.


Pemeriksaan cara ini sangat efektif untuk mendapatkan dan menentukan

jenis bakteri penyebab pnemonia pada balita, namun di sisi lain dianggap

prosedur yang berbahaya dan bertentangan dengan etika (terutama jika

semata untuk tujuan penelitian). Dengan pertimbangan tersebut, diagnosis

bakteri penyebab pnemonia bagi balita di Indonesia mendasarkan pada

hasil penelitian asing (melalui publikasi WHO), bahwa Streptococcus,

Pnemonia dan Hemophylus influenzae merupakan bakteri yang selalu

ditemukan pada penelitian etiologi di negara berkembang. Di Negara

maju, pnemonia pada balita disebabkan oleh virus. Diagnosis pnemonia

pada balita didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran bernapas

disertai peningkatan frekuensi napas (napas cepat) sesuai umur. Penentuan

napas cepat dilakukan dengan cara menghitung frekuensi pernapasan

dengan menggunakan sound timer. Batas napas cepat (Kemenkes RI,

2011b) adalah :

a. Pada anak usia kurang 2 bulan frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali

per menit atau lebih.

b. Pada anak usia 2 bulan - <1 tahun frekuensi pernapasan sebanyak 50

kali per menit atau lebih.

c. Pada anak usia 1 tahun - <5 tahun frekuensi pernapasan sebanyak 40

kali per menit atau lebih

Diagnosis pneumonia berat untuk kelompok umur kurang 2 bulan

ditandai dengan adanya napas cepat, yaitu frekuensi pernapasan sebanyak


60 kali per menit atau lebih, atau adanya penarikan yang kuat pada dinding

dada sebelah bawah ke dalam. Rujukan penderita pnemonia berat

dilakukan dengan gejala batuk atau kesukaran bernapas yang disertai

adanya gejala tidak sadar dan tidak dapat minum. Pada klasifikasi bukan

pneumonia maka diagnosisnya adalah batuk pilek biasa (common cold),

pharyngitis, tonsilitis, otitis atau penyakit non-pnemonia lainnya.

6. Klasifikasi ISPA

a. Klasifikasi berdasarkan umur (Kemenkes RI, 2011) :

1) Kelompok umur < 2 bulan, diklasifikasikan atas :

a) Pneumonia berat: bila disertai dengan tanda-tanda klinis

seperti berhenti menyusu (jika sebelumnya menyusu

dengan baik), kejang, rasa kantuk yang tidak wajar atau

sulit bangun, stridor pada anak yang tenang, mengi,

demam (38ºC atau lebih) atau suhu tubuh yang rendah (di

bawah 35,5 ºC), pernapasan cepat 60 kali atau lebih per

menit, penarikan dinding dada berat, sianosis sentral (pada

lidah), serangan apnea, distensi abdomen dan abdomen

tegang.

b) Bukan pneumonia: jika anak bernapas dengan frekuensi

kurang dari 60 kali per menit dan tidak terdapat tanda

pneumonia seperti di atas.

2) Kelompok umur 2 bulan - < 5 tahun, diklasifikasikan atas :


a) Pneumonia sangat berat: batuk atau kesulitan bernapas

yang disertai dengan sianosis sentral, tidak dapat minum,

adanya penarikan dinding dada, anak kejang dan sulit

dibangunkan.

b) Pneumonia berat: batuk atau kesulitan bernapas dan

penarikan dinding dada, tetapi tidak disertai sianosis

sentral dan dapat minum.

c) Pneumonia: batuk (atau kesulitan bernapas) dan

pernapasan cepat tanpa penarikan dinding dada.

d) Bukan pneumonia (batuk pilek biasa): batuk (atau

kesulitan bernapas) tanpa pernapasan cepat atau penarikan

dinding dada.

e) Pneumonia persisten: anak dengan diagnosis pneumonia

tetap sakit walaupun telah diobati selama 10-14 hari

dengan dosis antibiotik yang adekuat dan antibiotik yang

sesuai, biasanya terdapat penarikan dinding dada,

frekuensi pernapasan yang tinggi, dan demam ringan.

3) Kelompok umur dewasa yang mempunyai faktor risiko lebih

tinggi untuk terkena pneumonia (Kurniawan dan Israr, 2009),

yaitu :

a) Usia lebih dari 65 tahun

b) Merokok
c) Malnutrisi baik karena kurangnya asupan makan ataupun

dikarenakan penyakit kronis lain.

d) Kelompok dengan penyakit paru, termasuk kista fibrosis,

asma, PPOK, dan emfisema.

e) Kelompok dengan masalah-masalah medis lain, termasuk

diabetes dan penyakit jantung.

f) Kelompok dengan sistem imunitas dikarenakan HIV,

transplantasi organ, kemoterapi atau penggunaan steroid

lama.

g) Kelompok dengan ketidakmampuan untuk batuk karena

stroke, obatobatan sedatif atau alkohol, atau mobilitas yang

terbatas.

h) Kelompok yang sedang menderita infeksi traktus

respiratorius atas oleh virus.

b. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi (Depkes RI, 2005), sebagai

berikut :

1) Infeksi Saluran Pernapasan Atas Akut (ISPAA)

Infeksi yang menyerang hidung sampai bagian faring, seperti pilek,

otitis media, faringitis.

2) Infeksi Saluran Pernapasan Bawah Akut (ISPBA)

Infeksi yang menyerang mulai dari bagian epiglotis atau laring

sampai dengan alveoli, dinamakan sesuai dengan organ saluran


napas, seperti epiglotitis, laringitis, laringotrakeitis, bronkitis,

bronkiolitis, pneumonia.

7. Epidemiologi Penyakit ISPA

a. Distribusi penyakit ISPA

1) Distribusi penyakit ISPA berdasarkan orang

Penyakit ISPA lebih sering diderita oleh anak-anak. Daya tahan

tubuh anak sangat berbeda dengan orang dewasa karena sistim

pertahanan tubuhnya belum kuat. Kalau di dalam satu rumah

seluruh anggota keluarga terkena pilek, anak-anak akan lebih

mudah tertular. Dengan kondisi tubuh anak yang masih lemah,

proses penyebaran penyakit pun menjadi lebih cepat. Dalam

setahun seorang anak rata-rata bisa mengalami 6-8 kali penyakit

ISPA. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Djaja et al. (2001)

dengan menganalisis data Survei Sosial Ekonomi Nasional

(Susenas) 1998, didapatkan bahwa prevalensi penyakit ISPA

berdasarkan umur balita adalah untuk usia.

2) Distribusi penyakit ISPA berdasarkan tempat

ISPA, diare dan kurang gizi merupakan penyebab utama

morbiditas dan mortalitas pada anak di negara maju dan

berkembang. ISPA merupakan penyebab morbiditas utama pada

negara maju sedangkan di negara berkembang morbiditasnya

relatif lebih kecil tetapi mortalitasnya lebih tinggi terutama

disebabkan oleh ISPA bagian bawah atau pneumonia.


Berdasarkan penelitian Djaja et al. (2001) didapatkan

bahwa prevalensi ISPA di perkotaan sebesar 11,2%, sementara di

pedesaan 8,4%; di Jawa-Bali 10,7%, dan di luar Jawa-bali 7,8%.

Berdasarkan klasifikasi daerah, prevalensi ISPA untuk daerah tidak

tertinggal sebesar 9,7%, sementara di daerah tertinggal 8,4%.

3) Distribusi penyakit ISPA berdasarkan waktu

Sinaga (2007), dalam penelitiannya yang menganalisis catatan

bulanan program P2 ISPA Kota Medan tahun 2002-2006

didapatkan bahwa berdasarkan hasil uji regresi linier terdapat nilai

signifikan sebesar 0,552 (>0,05), tidak terdapat hubungan yang

signifikan antara waktu dengan jumlah penderita bukan pneumonia

pada balita usia 1 – 4 tahun.

8. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit ISPA

a) Agent

Infeksi dapat berupa flu biasa hingga radang paru-paru. Kejadiannya

bisa secara akut atau kronis, yang paling sering adalah rinitis simpleks,

faringitis, tonsilitis, dan sinusitis. Rinitis simpleks atau yang lebih

dikenal sebagai selesma/common cold/koriza/flu/pilek, merupakan

penyakit virus yang paling sering terjadi pada manusia. Penyebab


penyakit ini adalah virus Myxovirus, Coxsackie, dan Echo (WHO,

2007).

b) Manusia

1) Umur

Berdasarkan hasil penelitian Anom (2006), risiko untuk terkena

ISPA pada anak yang lebih muda umurnya lebih besar

dibandingkan dengan anak yang lebih tua umurnya. Dari hasil uji

statistik menunjukkan ada pengaruh umur terhadap kejadian ISPA

pada anak Balita. Dengan demikian, umur merupakan determinan

dari kejadian ISPA pada anak Balita di wilayah kerja Puskesmas

Blahbatuh II, dengan risiko untuk mendapatkan ISPA pada anak

Balita yang berumur.

2) Jenis Kelamin

Berdasarkan hasil penelitian Daroham dan Mutiatikum (2009),

menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan prevalensi, insiden

maupun lama ISPA pada laki-laki dibandingkan dengan

perempuan. Namun menurut beberapa penelitian kejadian ISPA

lebih sering didapatkan pada anak laki-laki dibandingkan anak

perempuan, terutama anak usia muda, di bawah 6 tahun.

3) Status Gizi

Hasil penelitian Nuryanto (2012) di Palembang menyebutkan

bahwa balita yang status gizinya kurang menyebabkan ISPA


sebesar 29,91 kali lebih tinggi dibandingkan dengan balita yang

mempunyai status gizi baik.

4) Berat badan lahir rendah

Berdasarkan hasil penelitian Sarmia dan Suhartatik (2014) di Kota

Makkasar, didapatkan bahwa balita dengan berat badan lahir

rendah, yaitu < α, berarti ada hubungan antara berat badan lahir

rendah (BBLR) dengan kejadian pneumonia.

5) Status ASI ekslusif

Arini (2012) menyebutkan bahwa Air Susu Ibu (ASI) dibutuhkan

dalam proses tumbuh kembang bayi yang kaya akan faktor

antibodi untuk melawan infeksi-infeksi bakteri dan virus, terutama

selama minggu pertama (4-6 hari) payudara akan menghasilkan

kolostrum, yaitu ASI awal mengandung zat kekebalan

(Imunoglobulin, Lisozim, Laktoperin, bifidus factor dan sel-sel

leukosit) yang sangat penting untuk melindungi bayi dari infeksi.

Bayi (0-12 bulan) memerlukan jenis makanan ASI, susu formula,

dan makanan padat. Pada enam bulan pertama, bayi lebih baik

hanya mendapatkan ASI saja (ASI Eksklusif) tanpa diberikan susu

formula. Usia lebih dari enam bulan baru diberikan makanan

pendamping ASI atau susu formula, kecuali pada beberapa kasus

tertentu ketika anak tidak bisa mendapatkan ASI, seperti ibu

dengan komplikasi post natal.


Berdasarkan hasil penelitian Arini (2012), frekuensi

kejadian ISPA sering lebih banyak terjadi pada anak yang tidak

diberikan ASI (84,4%), dan secara parsial sebesar 87,5 % dan pola

pemberian ASI secara predominan sebagian besar mengalami

ISPA dengan frekuensi jarang (82,1%), sementara yang tidak

mengalami kejadian ISPA terjadi pada anak dengan pola

pemberian ASI secara eksklusif (94,6%). Anak yang tidak

diberikan ASI mengalami kejadian ISPA dengan frekuensi jarang

sebesar 267 kali lebih tinggi dibandingkan pada anak yang diberi

ASI secara eksklusif, namun tidak ada hubungan antara pola

pemberian ASI secara eksklusif dengan frekuensi kejadian ISPA

yang sering pada anak usia 6-12 bulan.

6) Status imunisasi

Menurut Depkes RI (1997), imunisasi adalah suatu upaya untuk

melindungi seseorang terhadap penyakit menular tertentu agar

kebal dan terhindar dari penyakit infeksi tertentu. Pentingnya

imunisasi didasarkan pada pemikiran bahwa pencegahan penyakit

merupakan upaya terpenting dalam pemeliharaan kesehatan anak.

Imunisasi bermanfaat untuk mencegah beberapa jenis penyakit,

seperti : polio (lumpuh layu), TBC (batuk berdarah), difteri, liver

(hati), tetanus, dan pertusis. Bahkan imunisasi juga dapat

mencegah kematian dari akibat penyakit-penyakit tersebut. Jadwal

pemberian imunisasi sesuai dengan yang ada dalam Kartu Menuju


Sehat (KMS) yaitu BCG : 0-11 bulan, DPT 3 kali : 2-11 bulan,

Polio 4x : 0-11 bulan, Campak 1 kali : 9-11 bulan, Hepatitis B 3

kali : 0-11 bulan. Selang waktu pemberian imunisasi yang lebih

dari 1 kali adalah 4 minggu. Berdasarkan hasil penelitian Catiyas

(2012), ada hubungan yang bermakna antara status imunisasi

dengan kejadian penyakit ISPA pada balita. Balita yang status

imunisasinya tidak lengkap memiliki risiko 3,25 kali lebih besar

untuk menderita penyakit ISPA dibandingkan dengan balita

dengan status imunisasi lengkap.

c) Lingkungan

Faktor lingkungan sangat besar pengaruhnya terhadap kejadian

penyakit ISPA. Faktor lingkungan tersebut dapat berasal dari dalam

maupun luar rumah. Untuk faktor yang berasal dari dalam rumah

sangat dipengaruhi oleh kualitas sanitasi dari rumah itu sendiri,

seperti :

(a) Kelembaban ruangan

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor

1077/Menkes/Per/V/2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara

Dalam Ruang Rumah menetapkan bahwa kelembaban yang sesuai

untuk rumah sehat adalah 40- 60%. Kelembaban yang terlalu tinggi

maupun rendah dapat menyebabkan suburnya pertumbuhan

mikrorganisme, termasuk mikroorganisme penyebab ISPA

(Kemenkes RI, 2011a).


Penelitian Nindya dan Sulistyorini (2005), tentang hubungan

sanitasi rumah dengan kejadian ISPA pada anak balita yang

dilakukan di tiga daerah yang berbeda, yaitu di Kelurahan

Penjaringan Sari Kecamatan Rungkut Kota Surabaya, Desa

Sidomulyo Kecamatan Buduran Kabupaten Sidoarjo, dan di Desa

Tual Kecamatan Kei Kecil Kabupaten Maluku Tenggara

didapatkan bahwa kelembaban ruangan berpengaruh terhadap

ISPA pada balita.

(b) Suhu ruangan

Salah satu syarat fisiologis rumah sehat adalah memiliki suhu

optimum 18- 300C. Hal ini berarti, jika suhu ruangan rumah di

bawah 180C atau di atas 300C, keadaan rumah tersebut tidak

memenuhi syarat (Kemenkes RI, 2011a).

(c) Penerangan alami

Rumah yang sehat adalah rumah yang tersedia cahaya yang cukup.

Suatu rumah atau ruangan yang tidak mempunyai cahaya, dapat

menimbulkan perasaan kurang nyaman, juga dapat mendatangkan

penyakit. Sebaliknya suatu ruangan yang terlalu banyak

mendapatkan cahaya akan menimbulkan rasa silau, sehingga

ruangan menjadi tidak sehat. Agar rumah atau ruangan mempunyai

sistem cahaya yang baik, dapat dipergunakan dua cara (Kemenkes

RI, 2011a), yaitu :


1.1 Cahaya alami,

Yakni mempergunakan sumber cahaya yang terdapat di alam,

seperti matahari. Cahaya matahari sangat penting, karena dapat

membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah.

Pencahayaan alami dianggap baik jika besarnya minimal 60 lux

. Hal yang perlu diperhatikan dalam membuat jendela, perlu

diusahakan agar sinar matahari dapat langsung masuk ke dalam

ruangan, dan tidak terhalang oleh bangunan lain. Fungsi

jendela di sini, di samping sebagai ventilasi juga sebagai jalan

masuk cahaya. Lokasi penempatan jendelapun harus

diperhatikan dan diusahakan agar sinar matahari lebih lama

menyinari lantai (bukan menyinari dinding).

1.2 Cahaya Buatan

menggunakan sumber cahaya yang bukan alamiah, seperti

lampu minyak tanah, listrik, api dan sebagainya. Pencahayaan

alami dan/atau buatan langsung maupun tidak langsung dapat

menerangi seluruh ruangan minimal intensitasnya 60 lux, dan

tidak menyilaukan.

(d) Ventilasi

Ventilasi sangat penting untuk suatu tempat tinggal, hal ini karena

ventilasi mempunyai fungsi ganda. Fungsi pertama sebagai lubang

masuk dan keluar angin sekaligus udara dari luar ke dalam dan

sebaliknya. Dengan adanya jendela sebagai lubang ventilasi, maka


ruangan tidak akan terasa pengap asalkan jendela selalu dibuka.

Untuk lebih memberikan kesejukan, sebaiknya jendela dan lubang

angin menghadap ke arah datangnya angin, diusahakan juga aliran

angin tidak terhalang sehingga terjadi ventilasi silang (cross

ventilation). Fungsi ke dua dari jendela adalah sebagai lubang

masuknya cahaya dari luar (cahaya alam/matahari). Suatu ruangan

yang tidak mempunyai system ventilasi yang baik akan

menimbulkan beberapa keadaan seperti berkurangnya kadar

oksigen, bertambahnya kadar karbon dioksida, bau pengap, suhu

dan kelembaban udara meningkat. Keadaan yang demikian dapat

merugikan kesehatan dan atau kehidupan dari penghuninya, bukti

yang nyata pada kesehatan menunjukkan terjadinya penyakit

pernapasan, alergi, iritasi membrane mucus dan kanker paru.

Sirkulasi udara dalam rumah akan baik dan mendapatkan suhu

yang optimum harus mempunyai ventilasi minimal 10% dari luas

lantai (Depkes RI, 1999).

Berdasarkan hasil penelitian Yudarmawan (2012), prevalensi rate

ISPA pada bayi yang memiliki ventilasi kamar tidur yang tidak

memenuhi syarat kesehatan sebesar 56,5%, sedangkan untuk yang

memenuhi syarat kesehatan sebesar 43,5%. Hasil uji statistik

diperoleh bahwa ada hubungan yang bermakna antara kondisi

ventilasi dengan kejadian penyakit ISPA.

(e) Kepadatan hunian rumah


Kepadatan penghuni rumah merupakan perbandingan luas lantai

dalam rumah dengan jumlah anggota keluarga penghuni rumah

tersebut. Kepadatan hunian ruang tidur menurut Permenkes RI

Nomor 829/MENKES/SK/VII/1999 adalah minimal 8 m2 , dan

tidak dianjurkan digunakan lebih dari dua orang tidur dalam satu

ruang tidur, kecuali anak di bawah umur lima tahun (Depkes RI,

1999)

(f) Pengunaan anti nyamuk

Pemakaian obat nyamuk bakar merupakan salah satu penghasil

bahan pencemar dalam ruang. Obat nyamuk bakar menggunakan

bahan aktif octachloroprophyl eter yang apabila dibakar maka

bahan tersebut menghasilkan bischloromethyl eter (BCME) yang

diketahui menjadi pemicu penyakit kanker, juga bisa menyebabkan

iritasi pada kulit, mata, tenggorokan dan paru-paru (Kemenkes RI,

2011a).

(g) Bahan bakar untuk memasak

Bahan bakar yang digunakan untuk memasak sehari-hari dapat

menyebabkan kualitas udara menjadi rusak, terutama akibat

penggunaan energi yang tidak ramah lingkungan, serta penggunaan

sumber energi yang relatif murah seperti batubara dan biomasa

(kayu, kotoran kering dari hewan ternak, residu pertanian)

(Kemenkes RI, 2011a).


(h) Keberadaan perokok

Rokok bukan hanya masalah perokok aktif tetapi juga perokok

pasif. Asap rokok terdiri dari 4.000 bahan kimia, 200 di antaranya

merupakan racun antara lain Carbon Monoksida (CO), Polycyclic

Aromatic Hydrocarbons (PAHs) dan lain-lain (Kemenkes RI,

2011a).

Berdasarkan hasil penelitian Nasution et al. (2009) serta Winarni et

al. (2010), didapatkan hubungan yang bermakna antara pajanan

asap rokok dengan kejadian ISPA pada Balita.

(i) Debu rumah

Menurut Kemenkes RI (2011a), partikel debu diameter 2,5µ (PM2,5) dan

Partikel debu diameter 10µ (PM10) dapat menyebabkan pneumonia,

gangguan system pernapasan, iritasi mata, alergi, bronchitis kronis.

PM2,5 dapat masuk ke dalam paru yang berakibat timbulnya emfisema

paru, asma bronchial, dan kanker paru-paru serta gangguan

kardiovaskular atau kardiovascular (KVS).

Secara umum PM2,5 dan PM10 timbul dari pengaruh udara luar

(kegiatan manusia akibat pembakaran dan aktivitas industri).

Sumber dari dalam rumah antara lain dapat berasal dari perilaku

merokok, penggunaan energi masak dari bahan bakar biomasa, dan

penggunaan obat nyamuk bakar.

(j) Dinding rumah


Fungsi dari dinding selain sebagai pendukung atau penyangga atap

juga untuk melindungi rumah dari gangguan panas, hujan dan

angin dari luar dan juga sebagai pembatas antara dalam dan luar

rumah. Dinding berguna untuk mempertahankan suhu dalam

ruangan, merupakan media bagi proses rising damp (kelembaban

yang naik dari tanah) yang merupakan salah satu faktor penyebab

kelembaban dalam rumah. Bahan dinding yang baik adalah dinding

yang terbuat dari bahan yang tahan api seperti batu bata atau yang

sering disebut tembok. Dinding dari tembok akan dapat mencegah

naiknya kelembaban dari tanah (rising damp) Dinding dari

anyaman bambu yang tahan terhadap segala cuaca sebenarnya

cocok untuk daerah pedesaan, tetapi mudah terbakar dan tidak

dapat menahan lembab, sehingga kelembabannya tinggi (Depkes

RI, 1999).

(k) Status ekonomi pendidikan

Persepsi masyarakat mengenai keadaan sehat dan sakit berbeda

dari satu individu dengan individu lainnya. Bagi seseorang yang

sakit, persepsi terhadap penyakitnya merupakan hal yang penting

dalam menangani penyakit tersebut. Untuk bayi dan anak balita

persepsi ibu sangat menentukan tindakan pengobatan yang akan

diterima oleh anaknya.

Berdasarkan hasil penelitian Djaja et al. (2001), didapatkan bahwa

bila rasio pengeluaran makanan dibagi pengeluaran total perbulan


bertambah besar, maka jumlah ibu yang membawa anaknya

berobat ke dukun ketika sakit lebih banyak. Berdasarkan hasil uji

statistik didapatkan bahwa ibu dengan status ekonomi tinggi 1,8

kali lebih banyak pergi berobat ke pelayanan kesehatan

dibandingkan dengan ibu yang status ekonominya rendah. Ibu

dengan pendidikan lebih tinggi, akan lebih banyak membawa anak

berobat ke fasilitas kesehatan, sedangkan ibu dengan pendidikan

rendah lebih banyak mengobati sendiri ketika anak sakit ataupun

berobat ke dukun. Ibu yang berpendidikan minimal tamat SLTP

2,2 kali lebih banyak membawa anaknya ke pelayanan kesehatan

ketika sakit dibandingkan dengan ibu yang tidak bersekolah, hal ini

disebabkan karena ibu yang tamat SLTP ke atas lebih mengenal

gejala penyakit yang diderita oleh balitanya.

2. Rumah dan Kepadatan Hunian

a. Definisi

Rumah adalah salah satu persyaratan pokok bagi kehidupan manusia.

Rumah bagi manusia memang mempunyai arti yang sangat penting

sehingga dianggap sebagai kebutuhan pokok setelah kebutuhan pangan

dan sandang.
Menurut Depkes RI (1999), rumah adalah bangunan yang berfungsi

sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga. Rumah

untuk manusia mempunyai beberapa arti (Kasjono, 2011), yaitu :

a. Sebagai tempat untuk melepas lelah, beristirahat setelah lelah

melaksanakan kewajiban sehari - hari.

b. Sebagai tempat untuk bergaul dengan keluarga atau membina rasa

kekeluargaan bagi segenap anggota keluarga yang ada.

c. Sebagai tempat untuk melindungi diri dari kemungkinan bahaya yang

dating mengancam.

d. Sebagai lambang status sosial yang dimiliki, yang masih dirasakan

hingga saat ini.

e. Sebagai tempat untuk meletakkan atau menyimpan barang-barang

berharga yang dimiliki, yang terutama masih ditemui pada masyarakat

pedesaan.

f. Dalam kaitan ini rumah juga dapat diartikan sebagai modal, yang jika

dalam keadaan memaksa dapat dijual untuk menutup kebutuhan lain yang

dianggap lebih utama.

Berdasarkan Pedoman Survey Knowledge, Attitude, Practice (KAP) yang

dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)


bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik, kualitas rumah dibagi menjadi

tiga (BNPB, 2013), yaitu : permanen, semi permanen, dan tidak permanen.

b. Syarat Rumah Sehat

Sehat tidaknya rumah sangat erat kaitannya dengan angka kesakitan

penyakit menular, terutama ISPA. Aspek kesehatan dari rumah harus

menjamin kesehatan penghuninya dalam arti luas. Oleh karena itu

diperlukan syarat perumahan (Kasjono, 2011), sebagai berikut :

1) Memenuhi kebutuhan fisiologis

Secara fisik kebutuhan fisiologis meliputi kebutuhan suhu, pencahayaan,

perlindungan terhadap kebisingan, ventilasi, dan tersedianya ruang yang

optimal untuk bermain anak.

2) Memenuhi kebutuhan psikologis

Kebutuhan psikologis berfungsi untuk menjamin privacy bagi penghuni

yang tinggal di rumah tersebut secara normal, memberi rasa keindahan

dan memungkinkan hubungan yang serasi antara orang tua dan anak.

Adanya ruangan tersendiri bagi remaja dan ruangan untuk

berkumpulnya anggota keluarga serta ruang tamu sangat diperlukan

untuk memenuhi kebutuhan psikologis dalam rumah.

3) Perlindungan terhadap penularan penyakit

Untuk mencegah penularan penyakit diperlukan sarana air bersih,

fasilitas pembuangan air kotor, fasilitas penyimpanan makanan,


menghindari adanya intervensi dari serangga dan hama atau hewan lain

yang dapat menularkan penyakit.

4) Perlindungan/pencegahan terhadap bahaya kecelakaan dalam

rumah.

Agar terhindar dari kecelakaan maka konstruksi rumah harus kuat dan

memenuhi syarat bangunan, desain pencegahan terjadinya kebakaran

dan tersedianya alat pemadam kebakaran, pencegahan kecelakaan jatuh,

dan kecelakaan mekanis lainnya.

Menurut Kepmenkes RI Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang

persyaratan kesehatan perumahan (Depkes RI, 1999), syarat rumah sehat

adalah sebagai berikut :

a) Bahan bangunan

(a) Tidak terbuat dari bahan yang dapat melepaskan bahan yang

dapat membahayakan kesehatan, antara lain : debu total

kurang dari 150 ug/m2 , asbestos kurang dari 0,5 serat/m3

per 24 jam, plumbum (Pb) kurang dari 300 mg/kg bahan.

(b) Tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi tumbuh dan

berkembangnya mikroorganisme pathogen.

b) Komponen dan penataan ruang

1) Lantai kedap air dan mudah dibersihkan

2) Dinding rumah memiliki ventilasi, di kamar mandi dan kamar

cuci kedap air dan mudah dibersihkan


3) Langit-langit rumah mudah dibersihkan dan tidak rawan

kecelakaan

4) Bumbungan rumah 10 m dan ada penangkal petir

5) Ruang ditata sesuai dengan fungsi dan peruntukannya

6) Dapur harus memiliki sarana pembuangan asap

c) Pencahayaan

Pencahayaan alam dan/atau buatan langsung maupun tidak langsung

dapat menerangi seluruh ruangan dengan intensitas penerangan

minimal 60 lux dan tidak menyilaukan mata.

d) Kualitas udara

(a) Suhu udara nyaman antara 18 – 30oC

(b) Kelembaban udara 40 – 70 %

(c) Gas SO2 kurang dari 0,10 ppm/24 jam

(d) Pertukaran udara 5 kaki3 /menit/penghuni

(e) Gas CO kurang dari 100 ppm/8 jam

(f) Gas formaldehid kurang dari 120 mg/m3

e) Ventilasi

Luas lubang ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% luas

lantai.

f) Vektor penyakit

Tidak ada lalat, nyamuk ataupun tikus yang bersarang di dalam

rumah.

g) Kepadatan hunian
Luas kamar tidur minimal 8 m2 dan dianjurkan tidak untuk lebih

dari 2 orang tidur.

3. Hubungan Kepadatan hunian dengan kejadian penyakit ISPA

Faktor kualitas sanitasi/kesehatan lingkungan rumah yang terdiri dari

ventilasi, kelembaban, suhu, pencahayaan alami rumah, kepadatan hunian

rumah serta pencemaran udara dalam rumah berhubungan erat dengan

kejadian penyakit ISPA. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian sebagai

berikut :

Berdasarkan penelitian Maryani (2012) yang dilaksanakan di Kelurahan

Bandarharjo Kota Semarang. Dari hasil analisis antara kepadatan hunian

kamar terhadap kejadian ISPA pada balita dengan menggunakan uji chi

square didapat nilai p value (0,000) kurang dari 0,05. Sehingga dapat

disimpulkan bahwa kepadatan hunian kamar tidur berpengaruh terhadap

kejadian penyakit ISPA.

B. Penelitian Terkait

Maryani (2012) dengan judul Hubungan antara Kondisi

Lingkungan Rumah dan Kebiasaan Merokok Anggota Keluarga dengan

Kejadian ISPA pada Balita di Kelurahan Bandarharjo Kota Semarang.

menggunakan survey analitik dengan pendekatan cross sectional. hasil


penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara

luas ventilasi kamar (p value=0,005), kelembaban udara kamar (p

value=0,000), kepadatan hunian kamar (p value=0,000),dan kebiasaan

merokok anggota keluarga (p value=0,001) dengan kejadian ISPA pada balita

di Kelurahan Bandarharjo Kota Semarang. Dan tidak ada hubungan antara

pencahayaan alami (p value=0,937) dengan kejadian ISPA pada balita di

Kelurahan Bandarharjo Kota Semarang.

Zairinayati, dkk (2020) dengan judul hubungan kepadatan hunian dan

luas ventilasi dengan kejadian ispa pada rumah susun Palembang. . enelitian

ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kepadatan hunian dan luas ventilasi

dengan kejadian ISPA pada rumah susun 24 Ilir Bukit Kecil Kota Palembang.

Metode penelitian ini adalah penelitian observasional dengan desain cross

sectional. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh penduduk yang tinggal

di rumah susun yaitu 196 unit rumah dan sampel berjumlah 66 sampel dengan

menggunakan rumus Slovin dan teknik sampling dengan simple random

sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 69,7% responden

mengalami penyakit ISPA. Berdasarkan uji statistik didapatkan bahwa ada

hubungan luas ruangan terhadap kejadian ISPA dengan nilai p value = 0,003

(p < 0,05), ada hubungan kepadatan hunian terhadap kejadian ISPA

didapatkan nilai p value = 0,003 (p < 0,05).

Sunaryanti (2018) hubungan antara ventilasi dan kepadatan hunian

dengan kejadian penyakit ispa pada balita di desa cabean kunti, kecamatan

cepogo, kabupaten boyolali tahun 2018. Data balita umur terbanyak yang
menderita penyakit ISPA dengan batuk > 7 hari sebesar 58 anak (58%), batuk

< 7 hari sebesar (42) 42%, keadaan ventilasi yang memenuhi syarat sebesar

(72%), tidak memenuhi syarat (28%), kepadatan hunian memenuhi standart

(54%), tidak memenuhi standart(46%), hasil analisa dengan Chi-Square

dengan hasil X2hitung= 2,879 dengan nilai p = 0,069 >.0,05 berarti tidak ada

hubungan antara ventilasi dengan kejadian penyakit ISPA dan kurang

signifikan, dengan nilai X2hitung = 0,896 dengan nilai p = 0,529 > 0,05,

tidak ada hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian penyakit ISPA

pada balita, dan kurang bermakna kemungkinan ada faktor lain yang

mempengaruhi kejadian penyakit ISPA

Simpulan: Tidak ada hubungan antara ventilasi dan kepadatan hunian dengan

kejadian penyakit ISPA dan hasil nya kurang signifikan pada balita di Desa

Cabean Kunti Kecamatan Cepogo Kabupaten Boyolali.

Agungnisa (2009) dengan judul faktor sanitasi fisik rumah yang

berpengaruh terhadap kejadian ispa pada balita di desa kalianget timur. Hasil

penelitian menunjukkan kepadatan hunian kamar balita (p=0,004)

berpengaruh terhadap kejadian ISPA pada balita, sedangkan luas ventilasi

(p=0,239), suhu udara (p=0,750), kelembapan (p=0,720), dan pencahayaan

(p=0,612) tidak berpengaruh terhadap kejadian ISPA pada balita. Masyarakat

di Desa Kalianget Timur yang memiliki kepadatan hunian yang tidak

memenuhi syarat, harus mengatur ulang jumlah penghuni kamar tidur balita,

seperti ayah tidur di ruang tamu untuk mencegah terjadinya ISPA pada balita.

Makmur (2018) dengan Judul hubungan kepadatan hunian dan ventilasi


rumah dengan kejadian ispa pada balita di wilayah kerja puskesmas

ulugalung, kecamatan eremerasa Kabupaten Bantaeng.  enelitian ini

merupakan penelitian kuantitatif desain observasional analitik dengan

pendekatan Case Control . Sampel dalam penelitian dipilih dengan tehnik

Purposive sampling sebanyak 68 responden. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA (p=0,000)

dan Tidak terdapat hubungan antara ventilasi rumah dengan kejadian ISPA

(p=0,116). Dengan kata lain ada hubungan yang bermakna antara hubungan

antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA di Wilayah Kerja Puskesmas

Ulugalung, Kecamatan Eremerasa, Kabupaten Bantaeng.


C. Kerangka Teori

. Faktor Host
Host Jenis kelamin
(manusia) Status imunisasi
Umur
Status gizi
Pemberian ASI eksklusif

Faktor agent

Bakteri
Streptococcus, Kejadian ISPA pada balita
Staphylococcus,
Haemophilus
Luas Ventilasi

Lingkungan Kepadatan Hunian


(environment) Penggunaan Obat
Bakar Nyamuk

Kepemilikan Lubang
Asap

Jenis Lantai
Jenis Dinding

Gambar 2.1 Kerangka Teori


Sumber: Teori Segitiga Epidemiologi
C. Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah suatu acuan sistem tertentu, prinsip dasar, konsep

atau nilai yang lazimnya merupakan ciri khas suatu kelompok. Konsep adalah

rencana, sketsa pikiran yang diutarakan dengan sederet kata-kata mengenai

suatu hal secara jelas mengutarakan peristiwa yang diverivikasi. Konsep ini

adalah meggambarkan dengan deretan kata-kata dengan eksistensi dari suatu

fenomena social dengan ciri-cirinya yang karakteristik. (Notoatmodjo, 2010).

Kerangka konsep dapat diartikan suatu hubungan atau kaitan antara konsep

satu terhadap konsep yang lain atau variabel-variabel dari masalah yang ingin

diteliti. (Aprina, 2012)

Variabel independen Variabel dependen

Kejadian ISPA balita Kepadatan hunian rumah

E. Hipotesis

Ha : Terdapat hubungan kepadatan hunian rumah dengan terjadinya

penyakit ISPA pada balita di Kelurahan Pematang Wangi Bandar

Lampung Tahun 2020


BAB III

METODE PENELITIAN

A. JENIS PENELITIAN

Jenis penelitian yang peneliti pakai adalah penelitian kuantitatif.

Penelitian kuantitatif merupakan salah satu jenis kegiatan penelitian yang

spesifikasinya adalah sistematis, terencana, dan terstruktur dengan jelas

sejak awal hingga pembuatan desain penelitian, baik tentang tujuan

penelitian, subjek penelitian, objek penelitian, sampel data, sumber data,

maupun metodologinya (mulai pengumpulan data hingga analisis data).

B. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

1. Waktu

Waktu pelaksanaannya akan dilakukan pada Bulan Desember 2020.

2. Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Puskesmas Kelurahan Pematang

Wangi, Bandar Lampung

C. RANCANGAN PENELITIAN

Berdasarkan tujuan penelitian desain penelitian yang digunakan adalah

analitik, dimana penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan antar

variable dan menjelaskan hubungan yang ditemukan (Nursalam, 2013 :

160). pendekatan yang digunakan adalah cross sectional. Dimana peneliti

melakukan observasi atau pengukuran variabel sesaat. Artinya subyek


diobservasi satu kali saja. Dan pengukuran variabel independen dan

variabel dependent dilakukan pada saat pemeriksaan atau pengkajian data

(Nursalam, 2013 : 161).

D. SUBJEK PENELITIAN

1. Populasi

Populasi penelitian ini adalah semua anak usia 12-59 bulan yang

berdomisili di Kelurahan Pematang wangi pada tahun 2020 yang

berjumlah 129 balita.

2. Sampel

Sampel merupakan sebagian dari populasi yang digunakan dalam

penelitian dan dianggap bias mewakili dari seluruh populasi yang

diteliti (Nursalam, 2013).

a. Besar Sampel

Penentuan jumlah sample penelitian ini menggunakan rumus


lameshow :

Z21-/2 P (1-P).N
n = -------------------------------
d2(N-1) + Z21-/2 P (1-P)

Keterangan:
d = Tingkat penyimpangan yang diinginkan 0,05
Z21-/2 = standar deviasi normal pada derajat kepercayaan
(kemaknaan 95% adalah 1,96)
P = Proporsi sifat populasi misalnya prevalensi. Bila tidak diketahui
gunakan 0,5 (50%)
N = Besar populasi
n = Besarnya sampel

Sehingga,
Z21-/2 P (1-P).N
n = -------------------------------
d2 (N-1) + Z21-/2 P (1-P)

1,96 x 0,5 (1 – 0,5) x 129


= -------------------------------------------
(0,05)2 x (129-1) + 1,96 x 0,5 (1-0,5)

63,21
= -------------------
0,32 + 0,49

= 78 orang balita.
Sehingga, jumlah sampel penelitian ini adalah 78 orang responden.

b. Kriteria Sampel :

1.1 Kriteria Inklusi

a) Berusia 12 – 59 bulan

b) Orang tua bersedia anaknya menjadi responden


1.2 Kriteria ekslusi

Balita yang hanya tinggal di wilayah Kelurahan Pematang

Wangi < 24 jam.

c. Teknik Sampel

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik

accidental sampling. Yaitu pengambilan sampel yang dilakukan

secara kebetulan. Siapa saja yang bertemu peneliti saat itu yang akan

diteli.

E. VARIABEL PENELITIAN

Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat atau ukuran

yang dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang suatu konsep

pengertian tertentu. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan variabel:

1. Variabel Terikat (Dependen)

Variabel terikat adalah variabel yang dapat dipengaruhi

Variabel dependen dalam penelitian ini adalah Penyakit ISPA pada

balita

2. Variabel Bebas (Independen)

Variabel terikat adalah variabel yang dapat mempengaruhi.

Variabel independen dalam penelitian ini adalah kepadatan hunian


F. DEFINISI OPERASIONAL

Menurut Agus Riyanto dalam buku ajar Metodologi Penelitian (2011)

definisi operasional merupakan defnisi dari variabel-variabel yang akan

diteliti secara operasional di lapangan yang bermanfaat untuk

mengarahkan kepada pengukuran atau pengamatan terhadap variabel-

variabel yang akan diteliti dan untuk pengembangan instrumen, sehingga

variabel yang diteliti menjadi terbatas dan penelitian akan lebih focus.

Berikut tabel definisi operasional dalam penelitian ini :

Tabel 3.1
Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Hasil Ukur Skala


Ukur
Dependen
Kejadian Kejadian infeksi Lembar Mengisi 0 = Tidak ISPA Nominal
ISPA balita saluran pernapasan ceklis lembar 1 = ISPA
akut yang ditandai ceklis
dengan gejala batuk, dengan
pilek, disertai dengan rekam
demam dan di medis
diagnose oleh dokter
ISPA
Independen
Kepadatan Banyaknya penghuni Lembar Mengisi 0 = Memenuhi syarat Rasio
hunian yang tinggal di dalam ceklis lembar ruang tidur, ≥ 4m2 /
ruang tidur ceklis orang
dibandingkan dengan 1 = Tidak memenuhi
luas ruang tidur syarat ruang tidur <4m2 /
orang
G. PENGUMPULAN DATA

Pengumpulan data dalam penelitian ini dengan menggunakan lembar

ceklis. diperoleh melalui wawancara secara langsung kepada responden

dengan menggunakan pedoman wawancara, observasi, kuesioner dan

pengukuran dilakukan pada kondisi fisik rumah. Pengukuran dilakukan

secara langsung oleh peneliti pada setiap rumah penduduk yang memiliki

balita di Kelurahan Pematang Wangi, Bandar Lampung.

1. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian menggunakan lembar ceklis dengan melihat

rekam medis untuk variabel ISPA, dan mengisi lembar ceklis untuk

variabel kepadatan hunian.

H. PENGOLAHAN DATA

Pengolahan data dilakukan dengan cara EDP (electronic data processing)

dengan bantuan komputer menggunakan sofware dengan program SPSS

(Statistical Product And Service Solution). Dimana data yang telah

terkumpul kemudian dilakukan pengolahan dengan langkah-langkah

sebagai berikut :

1. Editing

Merupakan tahapan melakukan pengecekan formulir atau kuesioner seperti

kelengkapan pengisian, konsistensi jawaban dari setiap lembar kuesioner

di dalam penelitian.

2. Coding
Merupakan kegiatan mengubah data berbentuk huruf menjadi data

berbentuk angka/bilangan. Kegunaan coding untuk mempermudah pada

saat analisis data dan mempercepat pada saat entri data. Pemberian kode

untuk setiap kelompok pertanyaan dalam format kuesioner yang dilakukan

peneliti yaitu untuk kuesioner variabel ISPA diberi 0 = Tidak ISPA, 1 =

ISPA. Untuk variabel kepadatan hunian diberi 0 = Memenuhi syarat ruang

tidur, ≥ 4m2 / orang, 1 = Tidak memenuhi syarat ruang tidur <4m2 / orang

3. Processing

Setelah data melewati tahap coding, maka langkah selanjutnya adalah

memproses data agar dapat dianalisis. Pemprosesan data dilakukan dengan

cara mengentri data kuesioner ke paket komputer.

4. Cleaning

Merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah di-entry apakah

ada kesalahan atau tidak.

I. ANALISA DATA

a. Analisa Univariat

Analisa univariat hanya terdiri dari satu variabel. Analisis yang

paling sederhana karena ditujukan mengetahui distribusi frekuensi

data dari variabel yang diteliti. (Dahlan, 2015). Analisa univariat

digunakan untuk melakukan analisis pengetahuan pasien dan

kecemasan pasien. Hasil jawaban responden yang telah diberi


pembobotan dijumlahkan dan di analisa dengan bantuan komputer.

(Hastono, 2007).

Rumus :

Χ = ∑ xi/ n

b. Analisa Bivariat

Analisa bivariat digunakan untuk melihat hubungan antara variable

pengetahuan dengan kecemasan pasien pre operasi katarak (Dahlan, 2015).

Dalam penelitian ini analisa data dengan bantuan program computer. Uji

statistik yang digunakan adalah menggunakan uji Kai Kuadrat (Chi

Square). Dengan keputusan sebagai berikut:

1.1 Jika p value ≤ α, Ho ditolak, berarti data sampel mendukung adanya

perbedaan atau hubungan yang bermakna (signifikan)

1.2 Jika p value > α, Ho gagal ditolak, berarti data sampel tidak

mendukung adanya perbedaan atau hubungan yang bermakanan

(signifikan) (Hastono, 2007).

Dengan nilai α adalah 5% (0,05).

Dalam bidang kesehatan untuk mengetahui derajat hubungan, dikenal

ukuran Risk Realaty (RR) dan Odd Ratio (OR), kerena metode yang

digunakan dalam penelitian ini adalah Survey Cross Sectional, maka untuk

mengetahui derajat hubungan menggunakan ukuran OR.

Rumus :

X2 = ∑k (_Fo-Fn)2
1=1
Fn
DAFTAR PUSTAKA

Achmad Munib, dkk (2004) Pengantar Ilmu Pendidikan, Semarang: UPT

UNNES Press.

Aditya, (2011), Luxmeter,

http://semutitempro.blogspot.com/2011/03/luxmeter.html, diakses

pada tanggal 19 november 2020 jam 09:00 WIB

Ahmad Watik Pratiknya, (2010), Dasar-Dasar Metodologi Penelitian

Kedokteran dan Kesehatan, Jakarta: Rajawali Pers.

Bpi. Lipi, (2012), Rollmeter, http://ecalib.bpi.lipi.go.id/product.php?

id_product=114, diakses pada 20 November 2020 pukul 16:08WIB

Buston, (2007), Epidemiologi Penyakit Tidak Menular, Jakarta: PT.

Rineka Cipta.

Cissy B. Kartasasmita, (2010), Pneumonia Pembunuh Balita, Buletin

Jendela Epidemiologi Volume 3, September 2010.

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan,

(2013), Pedoman Program Pemberantasan Penyakit ISPA untuk

Penanggulangan Pneumonia pada Balita, Jakarta: Depkes RI.

_______, (2001), Pedoman Pemberantasan Penyakit ISPA, Jakarta:

Depkes RI.

_______, (2009), Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2008, Jakarta: Depkes

RI.

______, (2009), Sistem Kesehatan Nasional, Jakarta: Depkes RI.


Djoko Wahyono, dkk, (2008), Pola Pengobatan Infeksi Saluran

Pernapasan Akut Anak Usia Bawah Lima Tahun (Balita) Rawat

Jalan di Puskesmas I Purwareja Klampok Kabupaten

Banjarnegara tahun 2004, Majalah Farmasi Indonesia 19 (1) Hal.

20-24.

Juli Soemirat Slamet, (2002), Epidemiologi Lingkungan, Yogjakarta:

Gajah Mada University Press.

Muchamad Fauzi, (2009), Metode Penelitian Kuantitatif, Semarang:

Walisongo Press.

Mukono, (2000), Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan, Surabaya:

Airlangga University Press.

Retno Widyaningtyas, dkk, (2004), Survei Cepat Gambaran Kondisi Fisik

Rumah Kaitannya dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan

Akut (ISPA) pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kebumen 2

Kabupaten Kebumen. Vol.III/No.02/Oktober 2004, hal.33.

Soedjajadi Keman, (2005), Kesehatan Perumahan dan Lingkungan

Pemukiman, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Volume 2, No.1,

Tahun 2005.

Soekidjo Notoatmodjo, (2003), Ilmu Kesehatan Masyarakat, Jakarta: PT.

Rineka Cipta.

______, (2005), Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta: PT. Rineka

Cipta.
Sopiyudin Dahlan, (2008), Statistika untuk Kedokteran dan Kesehatan,

Jakarta: Arkanas.

Sugiarto, dkk, (2003), Teknik Sampling, Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama.

Sugiyono, (2005), Statistika untuk Penelitian, Bandung: Alfabeta.

Trisna Susila dan Lilis Sulistyorini, (2005). Hubungan Sanitasi Rumah

dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada

Anak Balita, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Volume 2, No. 1,

Tahun 2005 Hal. 43-52.

WHO, (2006), Pneumonia The Forgotten Killer of Children.

http://whqlibdoc.who.int/publications/2006/9280640489_eng.pdf

diakses pada tanggal 1 November 2020 pukul 21.00 WIB

Widoyono, (2008), Penyakit Tropis “Epidemiologi, Penularan,

Pencegahan, dan Pemberantasannya”, Semarang: Erlangga.

Yunita Ringgih Pangestika, (2007), Hubungan Kondisi Lingkungan Fisik

Rumah terhadap Kejadian ISPA pada Balita di Keluarga

Pembuat Gula Aren Desa Pandanarum dan Desa Beji

Kecamatan Pandanarum Kabupaten

Anda mungkin juga menyukai