Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bencana yang selalu mengancam hingga saat ini adalah banjir dan tanah longsor.

Banjir dan tanah longsor yang terjadi pada 2013 silam misalnya, masih berbekas

dalam ingatan warga kota. Pada saat itu terjadi banjir yang merendam 10 kecamatan

di Kota Kendari yaitu Kecamatan Poasia, Abeli, Kambu, Baruga, Wua-Wua, Kadia,

Mandonga, Puuwatu, Kendari Barat dan Kendari. Menurut Badan Penanggulangan

Bencana Daerah (BPBD) Kota Kendari (2014), banjir setinggi 30 cm hingga 3 m

akibat meluapnya air sungai telah menimbulkan dampak negatif di Kota Kendari.

Banjir dan tanah longsor pada 2013 kembali terulang pada 2017. Sama halnya dengan

banjir sebelumnya, bencana ini juga menimbulkan banyak dampak negatif. Dampak

negatif dimaksud adalah rusaknya infrastruktur. terganggunya aktifitas warga,

terputusnya jalan, dan kerugian materil lainnya.

Berdasarkan peta kawasan rawan bencana banjir dan tanah longsor di kota Kendari,

Kelurahan Lepo-Lepo yang berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) Wanggu

merupakan salah satu kelurahan yang sering mengalami banjir. Pada 2013 dan 2017,

DAS ini menjadi salah satu lokasi yang terkena banjir terparah di Kota Kendari.DAS

Wanggu dengan luas ± 45.377 ha merupakan ekosistem dinamis juga turut merusak

lingkungan. Banyaknya korban pada bencana tersebut menggambarkan kurangnya

kesiapan dan antisipasi masyarakat khususnya masyarakat yang tinggal di daerah

rawan bencana. Hal ini mencerminkan kurangnya pengetahuan dan minimnya

informasi mengenai

fenomena bencana alam yang menghubungkan antara hulu (upstream) dan hilir

(downstream) serta merespons semua kegiatan penggunaan lahan dan perubahannya

di bagian hilir (out let) ( Marwah, 2008).Keadaan hidrologis DAS ini telah terganggu
akibat perubahan penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan tersebut telah

melampaui kemampuan lahannya sehingga menyebabkan fluktuasi debit sungai, erosi

dan banjir. Selanjutnya dampak lain yaitu terjadi pendangkalan pada saluran irigasi,

badan sungai, rawa dan kerusakan lingkungan di Teluk Kendari (Handayani et al.,

2001 dalam Alwi etal., 2011).

Pengetahuan yang dimiliki rumah tangga tentang banjir akan mempengaruhi sikap

dan kepedulian untuk siap dan siaga dalam mengantisipasi banjir. Oleh karena itu,

rumah tangga seharusnya berpartisipasi dan memiliki pemahaman tentang

kesiapsiagaan menghadapi banjir untuk mengurangi resiko, mengantisipasi bencana

dan mengurangi dampak negatif yang kemungkinan bisa terjadi di lingkungan tempat

tinggal mereka. Partisipasi pada lingkup yang paling kecil adalah kesiapsiagaan diri

dan keluarga masing- masing. Berdasarkan hal ini maka diperlukan sebuah kajian

tentang kesiapsiagaan rumah tangga dalam mengantisipasi bencana banjir.

.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Menajemen Atau Pengelolaan Bencana

Penanggulangan bencana atau yang sering didengar dengan manajemen  bencana

(disaster management) adalah serangkaian upaya yang meliputi  penetapan kebijakan

pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan  pencegahan bencana,

tanggap darurat, dan rehabilitasi. Konsep manajemen bencana saat ini telah

mengalami pergeseran  paradigma dari pendekatan konvensional menuju pendekatan

holistik (menyeluruh). Pada pendekatan konvensial bencana itu suatu peristiwa atau

kejadian yang tidak terelakkan dan korban harus segera mendapatkan  pertolongan,

sehingga manajemen bencana lebih fokus pada hal yang bersifat  bantuan (relief) dan

tanggap darurat (emergency response).

Selanjutnya  paradigma manajemen bencana berkembang ke arah pendekatan

pengelolaan risiko yang lebih fokus pada upaya-upaya pencegahan dan mitigasi, baik

yang bersifat struktural maupun non-struktural di daerah-daerah yang rawan terhadap

bencana, dan upaya membangun kesiap-siagaan.

Sebagai salah satu tindak lanjut dalam menghadapi perubahan paradigma

manajemen bencana tersebut, pada bulan januari tahun 2005 di kobe-jepang,

diselengkarakan konferensi pengurangan bencana dunia (world conference on disaster

reduction) yang menghasilkan beberapa substansi dasar dalam mengurangi kerugian

akibat bencana, baik kerugian jiwa, sosial, ekonomi dan lingkungan. Substansi dasar

tersebut yang selanjutnya merupakan lima  prioritas kegiatan untuk tahun 2005-2015

yaitu :

1. Meletakkan pengurangan risiko bencana sebagai prioritas nasional maupun

daerah yang pelaksanaannya harus didukung oleh kelembagaan yang kuat.


2. Mengidentifikasi, mengkaji dan memantau risiko bencana serta menerapkan

sistem peringatan dini

3.  Memanfaatkan pengetahuan, inovasi dan pendidikan membangun kesadaran

kesadaran keselamatan diri dan ketahanan terhadap bencana  pada semua

tingkat masyarakat.

4. Mengurangi faktor-faktor penyebab risiko bencana

5. Memperkuat kesiapan menghadapi bencana pada semua tingkatan masyarakat

agar respons yang dilakukan lebih efektif

Pengelolaan Bencana didefinisikan sebagai suatu ilmu pengetahuan terapan

(aplikatif) yang mencari, dengan observasi sistematik dan analisis bencana untuk

meningkatkan tinadakan-tindakan(measures) terkait dengan preventif

(pencegahan), mitigasi(pengurangan), persiapan, respondarurat dan pemuliahan.

Menurut Neil Grigg (dalam Robert J. Kodeatie dan Roestam Sjarif) phase utama dan

fungsi pengelolaan atau manajemen secara umum termasuk dalam pengelolaan

bencana, meliputi :

1. Perencanaan (planning) meliputi: a) Identifikasi masalah bencana atau sasaran /

tujuan pengelolaan bencana yang ditargetkan , b) Pengumpulan data primer dan

sekunder , c) Penentuan metode yang digunakan, d) Investigasi,analisis atau

kajian, e) Penentuan solusi dengan berbagai konsep strategi dan implementasi

perencanaan yang jelas dan terarah. Strategi perncanaan ini melalui beberapa

tingkatan (stage). Sedangkan implementasi perencanaan merupakan aplikasi

atau aksi dan strategi.


2. Pengorganisasian (organising). Organize berarti mengetur,sehingga

pengorganisasian merupakan pengaturan dalam pembagian kerja,tugas,hak dan

kewajiban semua pihak yang masuk dalam suatu kesatuan/kelompok

organisasi.

3. Kepemimpinan (directing). Lebih dominan ke aspek- aspek leadership,

yaitu proses kepemimpinan,pembimbingan,pembinaan,pengetahuan, 

motivator,reward and punishment,konselor,dan pelatiahan. Kepemimpinan

khususnya dalam pengelolaan bencana mempunyai peran yang vital akan

mempernaruhui semua aspek dalam semua tingkatan.

4. Pengkoordinasian (coordinating). Koordinasi adalah upaya bagaimana

mengordnasi sumber daya manusia(SDM) agar dapat berperan serta dengan

baik sebagian maupun menyeluruh dari suatu kegiatan sehingga dapat dipastika

SDM dapat bekerja secara cepat dan benar.

5. Pengendalian (controlling). Pengendalian merupakan upaya

control,pengawasan,evaluasi dn monitoring terhadap SDM,organisasi hasil

kegiatan dan bagian-bagian atauoun dari seluruh kegiatan yang ada.

6. Pengawasan (supervising). Pengawasan dilakukan untuk memastikan SDM

bekerja dengan benar sesuai dengan fungsi tugas dan kewenangannya.

Pengawasan juga berfungsi untuk memastikan suatu proses sudah berjalan

dengan semestinya dan keluaran yang dihasilkan sesuai dengan tujuan,target

dan sasaran dan juga berfungsi untuk mengetahui suatu kerja atau kegiatan

sudah dilakukan dengan benar


B. Pengelolaan Bencana Terpadu

Pengelolaan bencana terpadu merupakan penanganan integral yang mengarahkan

semua stakeholders dari pengelolaan bencana sub-sektor ke sektor silang. Secara lebih

spesifik pengelolaan bencana terpadu (khususnya yang terkait dengan daya rusak air)

didefinisikan sebagai suatu proses yang mempromosikan koordinasi pengembangan

dan pengelolaan bencana serta pengelolaan aspek lainnya yang terkait langsung

maupun tidak langsung dalam rangka mengoptimalkan resultan kepentingan ekonomi

dan kesejahteraan sosial khususnya dalam kenyamanan dan keamanan terhadap

bencana dalam sikap yang cocok/tepat tanpa mengganggu kestabilan dari ekosistem-

ekosistem penting. Robert J. Kodoatie dan Roestam Sjarif , op. cit., h. 78.

Pengelolaan bencana terpadu dikelompokkan dalam tiga elemen penting, yaitu :

the enabling environment, peran-peran institusi ( institutional role), dan alat-alat

manajemen (management instrument). sebagai berikut :

1. Enabling Environment

Enabling Environment diterjemahkan sebagai suatu pengkondisian yang

mungkin terjadi. Dalam hal pengelolaan bencana maka pengertiannya adalah

hal-hal utama atau substansi-substansi pokok yang membuat pengelolaan

dilakukan dengan cara-cara, strategi dan langkah-langkah ideal yang tepat

sehinggga tercapai tujuan pengelolaan bencana yang optimal. Global Water

Partnership (GWP), Integrated Water Resources Management, (Stockholm,

Sweden : GWP Box, 2001).

2. Peran Institusi

Seperti sudah disebutkan bahwa pengelolaan bencana adalah kompleks dan

saling ketergantungannya sangat tinggi, maka dalam kelembagaan perlu dibuat

organisasi lintas batas, baik secara nasional, propinsi maupun kabupaten kota.
Institusi nasional resmi dan legal yang menangani pengelolaan bencana,

sampai saat ini adalah Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana

Dan Penanganan Pengungsi disingkat Bakornas PBP. Institusi ini dibentuk

berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 3 tahun 2001 Tentang Badan

Koordinasi Nasional Penanggulangan bencana dan Penanganan Pengungsi dan

Keputusan Presiden RI No. 111 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas

Keputusan Presiden No. 3 Tahun 2001. Berdasarkan Keppres No 3/2001 dan

Keppres No 111/2001, di tingkat nasional dibentuk Badan Koordinasi Nasional

(Bakornas) Penanggulangan Bencana dan Pengungsi, di tingkat provinsi

dibentuk Satuan Koordinasi Pelaksanaan (Satkorlak), dan di tingkat kabupaten

dibentuk Satuan Pelaksana (Satlak). Di tingkat nasional badan ini diketuai oleh

Wakil Presiden, di provinsi oleh gubernur, dan di kabupaten oleh bupati.

Instrumen-instrumen perubahan sosial dalam pengelolaan bencana

meliputi : pendidikan dan pelatihan (institutional capacity building),

komunikasi, partisipasi dan kepedulian.

a) Institutional Capacity Building (Pengembangan SDM)

Institutional Capacity Building dalam kaitannya dengan pengelolaan

bencana terpadu adalah semua usaha dan upaya untuk melatih, mendidik,

mengajar, mengembangkan kemampuan dan kecakapan sumber daya

manusia pada semua stakeholder yang terkait dengan bencana sehingga

penampilan sumber daya manusia seacara fisik maupun mental

meningkat. Tujuannya agar dengan peningkatan ini, sumber daya

manusia dapat lebih efektif dan efisien bekerja di bidangnya, dapat

bekerja sama dan menjalin


b) Teori Komunikasi

Komunikasi merupakan salah satu faktor utama dalam pencapaian tujuan

(kesuksesan) pengelolaan bencana terpadu dan merupakan bagian dari

instrumen perubahan sosial pada alat-alat manajemen/instrumen

pengelolaan. Dengan kompleksnya permasalahan yang berkaitan dengan

bencana maka kepandaian berkomunikasi dapat merupakan alat (sarana)

dalam pemberian informasi dan koordinasi bagi semua pihak yang

terlibat. Peoples membuat ranking tentang faktor-faktor apa yang

menyebabkan orang berhasil dan komunikasi menempati ranking

pertama.Peoples David A., Presentasi Plus, terjemahan oleh Setyawan

E.P., ed. oleh Drs. Muh Sholeh ( Jakarta : Penerbit Delaprata, 2002).

c) Partisipasi dan Kepedulian Publik ( Public Awareness)

Peningkatan dan perluasan partisipasi ke semua pihak dalam

pengelolaan bencana, termasuk peningkatan peran wanita merupakan hal

yang sangat penting dalam pengelolaan bencana terpadu. Partisipasi

masyarakat mempunyai arti penting dalam suksesnya suatu kegiatan

pengelolaan bencana. Tingkatan partisipasi masyarakat akan

memberikan pengaruh signifikan terhadap laju konflik yang timbul

akibat adanya kegiatan/proyek tersebut. Semakin tinggi partisipasi maka

semakin rendah konflik yang timbul.

Secara umum tingkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan

bencana meliputi : tidak terlibat, terlibat dan berpartisipasi, bermitra dan

sebagai pemain utama.Ibid., h. 128


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Bencana yang selalu mengancam hingga saat ini adalah banjir dan tanah longsor.

Banjir dan tanah longsor yang terjadi pada 2013 silam misalnya, masih berbekas

dalam ingatan warga kota. Pada saat itu terjadi banjir yang merendam 10 kecamatan

di Kota Kendari yaitu Kecamatan Poasia, Abeli, Kambu, Baruga, Wua-Wua, Kadia,

Mandonga, Puuwatu, Kendari Barat dan Kendari.Namun demikian, komponen atau

paramter mobilisasi sumberdaya dan sistem peringatan bencana harus segera

mendapat porsi perhatian serius dari semua stakeholder terkait terutama pada saat pra

bencana melalui ragam pendekatan. Diantaranya adalah pembaharuan berbagai

kebijakan daerah terkait bencana alam, perbaikan akses dan informasi terkait

mobilisasi sumberdaya dan pemanfaatan teknologi informasi dalam kegiatan

pengembangan sistem peringatan bencana.

B. Saran

Masalah pengelolaan kegawatdaruratan bencana tidak hanya menjadi beban

pemerintah atau lembaga-lembaga yang terkait. Tetapi juga diperlukan dukungan dari

masyarakat umum. Diharapkan masyarakat dari tiap lapisan dapat ikut berpartisipasi

dalam upaya pengelolaan kegawatdaruratan bencana.


DAFTAR PUSTAKA

Marwah, S. 2008. Optimalisasi System Agroforestry Untuk Pertanian Berkelanjutan di

DAS Konaweha Sulawesi Tenggara [Disertasi ]. Institut Pertanian Bogor.

Alwi, L, Sinukaban, N dan Pawitan.2011. Kajian Dampak Perubahan Penggunaan

Lahan Terhadap Degradasi Lahan Dan Kondisi Hidrologi DAS Wanggu DS. Fakultas

pertanian Universitas Halu Oleo. Jurnal Agriplus 21(3): 214-216.

Robert J. Kodoatie dan Roestam Sjarif , op. cit., h. 78.

Global Water Partnership (GWP), Integrated Water Resources Management,

(Stockholm, Sweden : GWP Box, 2001).

Peoples David A., Presentasi Plus, terjemahan oleh Setyawan E.P., ed. oleh Drs. Muh

Sholeh ( Jakarta : Penerbit Delaprata, 2002).

Ibid., h. 128

Anda mungkin juga menyukai