Anda di halaman 1dari 27

KEPERAWATAN BENCANA

DISASTER MANAGEMENT CYCLE - PHASE :

KESIAPSIAGAAN (PREPAREDNESS)

OLEH:

Kadek Ariesta Mahayasa (18089014005)

I Made Artha Putra Widana (18089014006)

I Nyoman Arya Widiana (18089014007)

Gusti Kadek Dedi Praja Kusuma (18089014012)

Ni Kadek Maitri Dharmiyani (18089014032)

Ida Ayu Mas Santi Komala Dewi (18089014034)

SEMESTER VIIA

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHETAN BULELENG

S1 ILMU KEPERAWATAN

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan
makalah “Disaster Management Cycle - Phase : Kesiapsiagaan (Preparedness)”,
dengan dosen pembimbing Ns. Made Martini, S.Kep.,M.Kep. Adapun tujuan
dalam pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu mata kuliah
Keperawatan Bencana.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, karena itu
segenap saran dan kritik membangun dari berbagai pihak sangat kami harapkan
untuk perbaikan di masa mendatang. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita
semua.

Singaraja, 3 September 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................. i


DAFTAR ISI ................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................... 2
1.3 Tujuan ............................................................................................. 2
1.4 Manfaat ........................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 4
2.1 Konsep Bencana .............................................................................. 4
2.2 Konsep Kesiapsiagaan Bencana Sebagai Perawat .......................... 10
BAB III PEMBAHASAN ........................................................................... 14
3.1 Definisi Disaster Preparedness ........................................................ 14
3.2 Disaster Risk Reduction (DRR) ....................................................... 16
3.3 Konsep Dasar The Emergency Operation Plan (EOP) .................... 18
3.4 Developing and Writing the EOP ................................................... 18
BAB IV PENUTUP ..................................................................................... 22
3.1 Kesimpulan ..................................................................................... 22
3.2 Saran ............................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kondisi geologis wilayah Indonesia merpuakan pertemuan antara dua
rangkaian jalur pegunungan muda yaitu sirkum pasifik dan sirkum mediteran
dan juga kondisi geografis Indonesia yang berada pada posisi silang antara
benua Asia dan Australia serta dihampit dengan dua samudera yatu samudara
Hindia dan pasifik sehingga menyebabkan Indonesia rawan terhadap berbagai
jenis bencana alam (BNPB, 2016). Dengan demikian siklus manajemen
bencana memberikan gambaran bagaimana rencana dibuat untuk mengurangi
atau mencegah kerugian bencana, bagaimana reaksi dilakukan selama dan
segera setelah bencana berlangsung dan bagaimana langkah-langkah diambil
untuk pemulihan setelah bencana terjadi.
Kata manajemen diambil dari kata bahasa inggris yaitu “manage” yang
berarti mengurus, mengelola, mengendalikan, mengusahakan, memimpin.
Tujuan dari manajemen itu sendiri adalah agar suatu kegiatan atau pekerjaan
dapat berhasil dengan baik dan teratur sesuai dengan sasaran yang ingin
dicapai. Kata kunci dari manajemen yang dirangkum dari pendapat berbagai
ahli antara lain Dalton E.M.C. Farland (1990) dan George R. Ferry (1990),
yaitu; Perencanaan (Planning), Pengorganisasian (Organizing), Pengawasan
(Controlling), Pelaksanaan (Aktivating), Pengarahan (Directing) (Mareta,
2018).
Manajemen bencana bisa diartikan sebagai upaya-upaya untuk
merencanakan, mengorganisasikan, mengawasi, melaksanakan dan
mengarahkan segala sumberdaya jika terjadi bencana (disaster) pada suatu
daerah. Manajemen bencana bisa digambarkan sebagai suatu siklus yang
berlangsung secara terus menerus (kontinyu). Menurut Warfield, manajemen
bencana mempunyai tujuan: mengurangi atau mencegah kerugian karena
bencana, menjamin terlaksananya bantuan yang segera dan memadai terhadap
korban bencana dan mencapai pemulihan yang cepat dan efektif. Dengan
demikian siklus manajemen bencana memberikan gambaran bagaimana
rencana dibuat untuk mengurangi atau mencegah kerugian bencana,

1
2

bagaimana reaksi dilakukan selama dan segera setelah bencana berlangsung


dan bagaimana langkah-langkah diambil untuk pemulihan setelah bencana
terjadi. Dalam manajemen bencana dikenal 4 tahapan kerja penanggulangan
bencana yaitu; Fase Pencegahan dan Mitigasi; dilakukan pada situasi tidak
terjadi bencana tujuannya untuk memperkecil dampak negatif bencana.
Pengetahuan & Manajemen Bencana 20 NMST , Fase Kesiapsiagaan
(Preparadness); dilakukan pada situasi terdapat potensi bencana dengan
merencanakan bagaimana menanggapi bencana, Fase Tanggap Darurat
(Emergency Response); dilakukan pada saat terjadi bencana tujuannya untuk
mengurangi dampak negatif pada saat bencana, Fase Pemulihan (Recovery);
dilakukan setelah terjadi bencana tujuannya untuk mengembalikan masyarakat
pada kondisi normal.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah yaitu :
1.2.1 Apa yang dimaksud dengan Disaster Preparedness ?
1.2.2 Apa yang dimaksud dengan Disaster Risk Reduction (DRR) ?
1.2.3 Apa yang dimaksud dengan The Emergency Operation Plan (EOP)?
1.2.4 Apa yang dimaksud dengan Developing and Writing the EOP ?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari makalah ini adalah kita dapat mengetahui
bagaimana manajemen bencana dalam tahap pra-bencana :
kesiapsiagaan (preparedness)
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Dapat mengetahui mengenai definisi Disaster Preparedness.
1.3.2.2 Dapat mengetahui mengenai Disaster Risk Reduction (DRR).
1.3.2.3 Dapat mengetahui mengenai The Emergency Operation Plan
(EOP).
1.3.2.4 Dapat mengetahui mengenai Developing and Writing the
EOP.
3

1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat Teoritis
Sebagai tambahan informasi di bidang keperawatan bencana dalam
melakukan kesiapsiagaan dalam menghadapi suatu bencana yang akan
terjadi dalam mencegah atau meminimalisir jatuhnya korban jiwa,
kerugian materi, kerugian ekonomi dan kerugian lingkungan
1.4.2 Manfaat praktis
1.4.2.1 Bagi Penulis
Sebagai bahan untuk memenuhi nilai tugas dalam mata
kuliah “Keperawatan Bencana” dan sebagai acuan untuk
pengaplikasian dalam menghadapai suatu bencana yang
kemungkinan terjadi.
1.4.2.2 Bagi Pembaca
Diharapkan dapat menambah wawasan pembaca tentang
manajemen bencana dalam tahap pra-bencana : kesiapsiagaan
bencana dan sebagai acuan untuk mengaplikasikan dalam
menghadapi bencana yang kemungkinan terjadi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Teori
2.1 Konsep Bencana
2.1.1 Definisi Bencana
Bencana dapat didefinisikan dalam berbagai arti baik secara
normatif maupun pendapat para ahli. Menurut Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2007, bencana adalah peristiwa atau rangkaian
peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam
atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis.
Pengertian bencana dalam Kepmen Nomor
17/kep/Menko/Kesra/x/95 adalah sebagai berikut : Bencana adalah
Peristiwa atau rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam,
manusia, dan atau keduanya yang mengakibatkan korban dan
penderitaan manusia, kerugian harta benda, kerusakan lingkungan,
kerusakan sarana prasarana dan fasilitas umum serta menimbulkan
gangguan terhadap tata kehidupan dan penghidupan masyarakat.
Menurut Departemen Kesehatan RI (2001), definisi bencana adalah
peristiwa atau kejadian pada suatu daerah yang mengakibatkan
kerusakan ekologi, kerugian kehidupan manusia, serta
memburuknya kesehatan dan pelayanan kesehatan yang bermakna
sehingga memerlukan bantuan luar biasa dari pihak luar.
Sedangkan definisi bencana (disaster) menurut WHO (2002)
adalah setiap kejadian yang menyebabkan kerusakan, gangguan
ekologis, hilangnya nyawa 21 manusia, atau memburuknya derajat
kesehatan atau pelayanan kesehatan pada skala tertentu yang
memerlukan respon dari luar masyarakat atau wilayah yang
terkena.

4
5

2.1.2 Jenis-Jenis dan Faktor Penyebab Bencana


Menurut Undang-undang No. 24 Tahun 2007, bencana adalah
peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan, baik oleh faktor alam atau faktor non alam maupun
faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis.
1. Jenis-jenis Bencana Jenis-jenis bencana menurut Undang-
undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan
bencana, yaitu:
a. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan
oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami,
gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan
tanah longsor;
b. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau rangkaian peristiwa non alam antara lain
berupa gagal teknologi,gagal modernisasi. dan wabah
penyakit;
c. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh
manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok
atau antar komunitas masyarakat.
d. Kegagalan Teknologi adalah semua kejadian bencana
yang diakibatkan oleh kesalahan desain, pengoprasian,
kelalaian dan kesengajaan, manusia dalam penggunaan
teknologi dan atau insdustriyang menyebabkan
pencemaran, kerusakan bangunan, korban jiwa, dan
kerusakan lainnya.
6

2. Faktor Penyebab Terjadinya Bencana


Terdapat 3 (tiga) faktor penyebab terjadinya bencana, yaitu :
(1) Faktor alam (natural disaster) karena fenomena alam dan
tanpa ada campur tangan manusia. (2) Faktor non-alam
(nonnatural disaster) yaitu bukan karena fenomena alam dan
juga bukan akibat perbuatan manusia, dan (3) Faktor
sosial/manusia (man-made disaster) yang murni akibat
perbuatan manusia, misalnya konflik horizontal, konflik
vertikal, dan terorisme.
Secara umum faktor penyebab terjadinya bencana adalah
karena adanya interaksi antara ancaman (hazard) dan
kerentanan (vulnerability). Ancaman bencana menurut
Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 adalah “Suatu
kejadian atau peristiwa yang bisa menimbulkan bencana”.
Kerentanan terhadap dampak atau risiko bencana adalah
“Kondisi atau karateristik biologis, geografis, sosial,
ekonomi, politik, budaya dan teknologi suatu masyarakat di
suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi
kemampuan masyarakat untuk mencegah, meredam,
mencapai kesiapan, dan menanggapi dampak bahaya
tertentu”.
2.1.3 Manajemen Bencana
Manajemen bencana adalah suatu proses dinamis, berlanjut dan
terpadu untuk meningkatkan kualitas langkah-langkah yang
berhubungan dengan observasi dan analisis bencana serta
pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, peringatan dini, penanganan
darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi bencana. (UU 24/2007).
Manajemen bencana menurut (University British Columbia)
ialah proses pembentukan atau penetapan tujuan bersama dan nilai
bersama (common value) untuk mendorong pihak-pihak yang
terlibat (partisipan) untuk menyusun rencana dan menghadapi baik
bencana potensial maupun aktual.
7

Secara umum manajemen bencana dapat dikelompokkan


menjadi 3 tahapan dengan beberapa kegiatan yang dapat dilakukan
mulai dari pra bencana, pada saat tanggap darurat, dan pasca
bencana.
1. Tahap Pra Bencana (mencangkup Kegiatan pencegahan,
mitigasi, kesiapsiagaan, dan peringatan dini).
a. Pencegahan (prevention)
Upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya
bencana (jika mungkin dengan meniadakan bahaya).
Misalnya : Melarang pembakaran hutan dalam
perladangan, Melarang penambangan batu di daerah
yang curam, dan Melarang membuang sampah
sembarangan.
b. Mitigasi Bencana (Mitigation)
Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk
mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan
fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan
menghadapi ancaman bencana. Kegiatan mitigasi dapat
dilakukan melalui a) pelaksanaan penataan ruang; b)
pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur,
tata bangunan; dan c) penyelenggaraan pendidikan, 26
penyuluhan, dan pelatihan baik secara konvensional
maupun modern (UU Nomor 24 Tahun 2007 Pasal 47
ayat 2 tentang Penanggulangan Bencana).2
c. Kesiapsiagaan (Preparedness)
Serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta
melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna.
Beberapa bentuk aktivitas kesiapsiagaan yang dapat
dilakukan antara lain: a) penyusunan dan uji coba
rencana penanggulangan kedaruratan bencana; b)
pengorganisasian, pemasangan, dan pengujian sistem
8

peringatan dini; c) penyediaan dan penyiapan barang


pasokan pemenuhan kebutuhan dasar; d)
pengorganisasian, penyuluhan, pelatihan, dan gladi
tentang mekanisme tanggap darurat; e) penyiapan lokasi
evakuasi; f) penyusunan data akurat, informasi, dan
pemutakhiran prosedur tentang tanggap darurat bencana;
dan g) penyediaan dan penyiapan bahan, barang, dan
peralatan untuk pemenuhan pemulihan prasarana dan
sarana.3
d. Peringatan Dini (Early Warning)
Serangkaian kegiatan pemberian peringatan
sesegera mungkin kepada masyarakat tentang
kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh
lembaga yang berwenang (UU 24/2007) atau Upaya
untuk memberikan tanda peringatan bahwa bencana
kemungkinan akan segera terjadi. Pemberian peringatan
dini harus : Menjangkau masyarakat (accesible), Segera
(immediate), Tegas tidak membingungkan (coherent),
Bersifat resmi (official).
2. Tahap saat terjadi bencana yang mencakup kegiatan tanggap
darurat untuk meringankan penderitaan sementara, seperti
kegiatan bantuan darurat dan pengungsian.
a. Tanggap Darurat (response)
Tanggap darurat adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana
untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan yang
meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban,
harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan,
pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan
prasarana dan sarana. Beberapa aktivitas yang dilakukan
pada tahapan tanggap darurat antara lain: a)
pengkajianyang dan tepat terhadap lokasi, kerusakan,
9

dan sumberdaya; b) penentuan status keadaan darurat


bencana; c) penyelamatan dan evakuasi masyarakat
terkena bencana; d) pemenuhan kebutuhan dasar; e)
perlindungan terhadap kelompok rentan; dan f)
pemulihan dengan segera prasaran dan sarana vital ( UU
Nomor 24 Tahun 2007 Pasal 48 tentang
Penaanggulangan Bencana).
b. Bantuan Darurat (relief)
Merupakan upaya untuk memberikan bantuan
berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar berupa :
Pangan, Sandang, Tempat tinggal sementara, kesehatan,
sanitasi dan air bersih.
3. Tahap pasca bencana yang mencakup kegiatan pemulihan,
rehabilitasi, dan rekonstruksi.
a. Pemulihan (recovery)
Pemulihan adalah serangkaian kegiatan untuk
mengembalikan kondisi masyarakat dan lingkungan
hidup yang terkena bencana dengan memfungsikan 28
kembali kelembagaan, prasarana, dan sarana dengan
melakukan upaya rehabilitasi. Beberapa kegiatan yang
terkait dengan pemulihan adalah a) perbaikan
lingkungan daerah bencana; b) perbaikan prasarana dan
sarana umum; c) pemberian bantuan perbaikan rumah
masyarakat; d) pemulihan sosial psikologis; e)
pelayanan kesehatan; f) rekonsiliasi dan resolusi
konflik; g) pemulihan sosial ekonomi budaya, dan j)
pemulihan fungsi pelayanan publik.
b. Rehabilitasi (rehabilitation)
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua
aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat
yang memadai pada wilayah pasca bencana dengan
sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya
10

secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan


masyarakat pada wilayah pascabencana. Rehabilitasi
dilakukan melalui kegiatan : perbaikan lingkungan
daerah bencana, perbaikan prasarana dan sarana umum,
pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat,
pemulihan sosial psikologis, pelayanan kesehatan,
rekonsiliasi dan resolusi konflik, pemulihan sosial
ekonomi budaya, pemulihan keamanan dan ketertiban,
pemulihan fungsi pemerintahan, dan pemulihan fungsi
pelayanan publik.
c. Rekonstruksi (reconstruction)
Rekonstruksi adalah perumusan kebijakan dan
usaha serta langkahlangkah nyata yang terencana baik,
konsisten dan berkelanjutan untuk membangun kembali
secara permanen semua prasarana, sarana dan sistem
kelembagaan, baik di tingkat pemerintahan maupun
masyarakat, dengan sasaran utama tumbuh
berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan
budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan
bangkitnya peran dan partisipasi 29 masyarakat sipil
dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat di
wilayah pasca bencana. Lingkup pelaksanaan
rekonstruksi terdiri atas program rekonstruksi fisik dan
program rekonstruksi non fisik.
2.2 Konsep Kesiapsiagaan Bencana Sebagai Perawat
2.2.1 Kesiapsiagaan Perawat Menghadapi Bencana
Perawat merupakan front-line health provider yang paling
sering berinteraksi dengan klien, baik individu, keluarga dan
komunitas pada berbagai tatanan pelayanan kesehatan atau
organisasi relawan saat bencana (Susilawati, 2015).
Perawat dianggap sebagai salah satu profesi kesehatan yang
harus memiliki kesiapan dalam menghadapi bencana (Putra,
11

Wongchan & Khomapak, 2011). Kesiapan perawat dalam bencana


sangat penting untuk mengurangi dampak negatif dalam bidang
kesehatan pada korban bencana (Labrague, et al., 2017). Hal ini
sejalan dengan pendapat Hiroko ketua Japan Society of Disaster
(2016) bahwa kesiapan perawat yang baik menjadi salah satu
faktor yang berpengaruh pada penyelamatan jiwa, membatasi
kecacatan dan mempercepat pemulihan di masyarakat.
Kurangnya kesiapsiagaan perawat dalam bencana menyebabkan
kesulitan dalam mencegah dan mengurangi resiko bencana
(International Council of Nurses, 2019). Hal ini juga dapat
menyebabkan kurangnya pemenuhan kebutuhan fisik dan
psikologis perawat, kemampuan melakukan pertolongan pertama
pada korban terhambat, dan mengurangi kemampuan perawat
bekerja dalam kondisi bencana (Johal, et al,. 2016). Perawat yang
tidak siap memberikan pelayanan saat bencana akan berdampak
pada perawatan dan keselamatan, serta meningkatkan kejadian
trauma dan kematian pada korban (Ibrahim, 2014).
Kesiapsiagaan perawat yang baik akan membuat penanganan
korban, penyaluran logistik, proses pengambilan keputusan dan
pemulihan masyarakat menjadi lebih efektif dan efisien (Oztekin et
al., 2016). Sehingga perawat perlu memiliki motivasi yang baik
dalam diri untuk mengembangkan pengetahuan mengenai bencana
dan penanganannya, memiliki sikap yang positif dan percaya diri
serta terus meningkatkan kapasitas dalam menghadapi bencana
(Baack & Alfred, 2013).
2.2.2 Faktor Yang Berhubungan dengan Kesiapsiagaan Perawat
1. Faktor Usia
Tujuh studi mengungkapkan bahwa terdapat hubungan
antara usia dengan tingkat kesiapsiagaan. Pada penelitian Yu
et al. (2013) responden yang berusia > 50 tahun yang memiliki
skor kompetensi lebih tinggi hal ini dikaitkan dengan
kemampuan kontrol penyakit semakin meningkat pada perawat
12

yang lebih tua . Pada studinya bahwa usia memiliki nilai


signifikan terhadap keterampilan . Secara spesifik
keterampilan yang dipengaruhi oleh usia adalah kemampuan
komunikasi dan berpikir kritis karena semakin tua seseorang
maka dapat lebih bijaksana dan tepat dalam mengambil
keputusan(Septiana & Faith, 2019). Sejalan dengan penelitian
Hodge et al. ( 2015) bahwa faktor usia menyebabkan perawat
lebih familiar terhadap kesiapsiagaan darurat, karena sudah
terbiasa menghadapi bencana (Putri et al., 2021).
2. Faktor lama kerja
Lebih dari setengah studi menunjukan bahwa lama kerja
juga memiliki hubungan yang signifikan terhadap
kesiapsiagaan (Al Khalieh et al., 2011).Young et al. (2017)
menyatakan bahwa perawat dengan pengalaman kerja lebih
dari 3 tahun memiliki kesiapsiagaan yang lebih baik.
Penelitian lain (Tzeng et al., 2016) yang sejalan,
mengungkapkan bahwa perawat yang sudah senior dianggap
telah memiliki kinerja yang lebih baik
3. Faktor tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan juga menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi kompetensi perawat dalam menerima informasi
kesiapsiagaan bencana. Sejalan dengan penelitian Putra et al.
(2011) yang menunjukan lulusan diploma keperawatan
memiliki tingkat kemampuan yang moderat, sedangkan
perawat lulusan sarjana memiliki tingkat kesiapsiagaan
bencana lebih tinggi (p= 0,002). Hal ini sejalan dengan
pendapat Ahayalimudin & Osman (2016) bahwa semakin
tinggi tingkat pendidikan dapat mendukung kesiapsiagaan
perawat karena dapat membuat informasi lebih mudah
diterima.
13

4. Pengalaman menghadapi bencana


Perawat yang memiliki pengalaman merawat korban
kemampuan dalam manajemen bencana lebih baik. Sehingga
pengalaman menangani bencana dapat mendukung
kesiapsiagaan perawat jika diasumsikan perawat tersebut
belajar dari kejadian yang sudah dihadapi (Munandar &
Wardaningsih, 2018).
5. Pelatihan
Pelatihan membuat perawat lebih terencana, karena sudah
terlatih dengan skenario bencana saat pelatihan. Pelatihan
dapat mendukung keterampilan perawat dalam menolong
korban bencana yaitu pelatihan pertolongan pertama, triase
lapangan, BCLS, ACLS, disaster drills, dan pelatihan
komunikasi (Husna, 2012). Pelatihan dapat mendukung
kesiapsiagaan jika dilakukan secara berkelanjutan (Usher K. et
al., 2015).
6. Pendidikan keperawatan bencana
Pendidikan keperawatan bencana juga menjadi factor
pendukung dalam kesiapsiagaan perawat. Pendidikan
keperawatan bencana dalam kurikulum pendidikan
keperawatan membuat mahasiswa keperawatan tidak asing lagi
akan sistem komando, analisis resiko bencana dan community
resillience (Sangkala & Gerdtz, 2018).
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Definisi Disaster Preparedness


Kesiapan merupakan suatu kegiatan atau tindakan yang dilakukan untuk
mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian melalui langkah yang tepat
guna, beberapa kegiatan kesiapsiagaan yang dapat dilakukan diantaranya
yaitu, penyusunan rencana penanggulangan kedaruratan bencana,
memberikan pemasangan peringatan dini, penyiapan barang pasokan
pemenuhan kebutuhan dasar, penyuluhan dan pelatihan .Gambaran
Pengetahuan Masyarakat Terhadap Kesiapan Bencana (Disaster
Preparedness) Siti Yulipah Agustini tentang mekanisme tanggap darurat serta
penyiapan lokasi evakuasi, serta pemenuhan pemulihan prasarana dan sarana.
Kesiapan merupakan tindakan yang dilakukan sebelum keadaan darurat
terjadi dan merupakan suatu kemampuan untuk memfasilitasi tanggapan yang
efektif saat kejadian darurat Mat Said (2011). Berdasarkan hasil penelitian
Paramesti (2011) didapatkan bahwa kesiapan masyarakat dalam menghadapi
bencana berada pada kategori rendah-sedang, penelitian tersebut menunjukan
bahwa pengetahuan sangat penting dimiliki oleh masyarakat yaitu sebagai
bekal dalam melakukan segala tindakan.
Kesiapsiagaan Bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang
tepat guna dan berdaya guna (UU RI No. 24 Tahun 2007). Sedangkan
kesiapsiagaan menurut Carter (1991) adalah tindakan-tindakan yang
memungkinkan pemerintahan, organisasi, masyarakat, komunitas, dan
individu untuk mampu menanggapi suatu situasi bencana secara cepat dan
tepat guna. The United Nations International Strategy for Disaster Reduction
(UNISDR, 2009) mendefinisikan kesiapsiagaan sebagai berikut.
"Kesiapsiagaan adalah pengetahuan dan kapasitas yang dikembangkan oleh
pemerintah, lembaga-lembaga profesional dalam bidang respons dan
pemulihan, serta masyarakat dan perorangan dalam mengantisipasi,
merespons, dan pulih secara efektif dari dampak-dampak peristiwa atau

14
15

kondisi ancaman bahaya yang mungkin ada, akan segera ada, atau saat ini
ada."
Salah satu kecepatan penyelenggaraan operasi penanggulangan bencana
(response time), menyelenggarakan siaga penanggulangan bencana yang
meliputi kesiagaan pada S (Hrna) komponen utama penanggulangan bencana,
antara lain:
1. Kesiapan manajemen operasi penanggulangan bencana
2. Kesiapan fasilitas penanggulangan bencana.
3. Kesiapan komunikasi penanggulangan bencana.
4. Kesiapan pertolongan darurat penanggulangan bencana.
5. Dokumentasi.
Termasuk ke dalam tindakan kesiapsiagaan adalah penyusunan rencana
penanggulangan bencana, pemeliharaan, dan pelatihan personel.
Kesiapsiagaan adalah upaya yang dilaksanakan untuk mengantisipasi
kemungkinan terjadinya bencana guna menghindari jatuhnya korban jiwa,
kerugian harta benda, dan berubahnya tata kehidupan masyarakat. Sebaiknya
suatu kabupaten kota melakukan kesiapsiagaan. Kesiapsiagaan menghadapi
bencana adalah suatu kondisi masyarakat yang baik secara individu maupun
kelompok yang memiliki kemampuan secara fisik dan psikis dalam
menghadapi bencana. Kesiapsiagaan merupakan bagian tak terpisahkan dari
manajemen bencana secara terpadu.

Kesiapsiagaan adalah bentuk apabila suatu saat terjadi bencana dan apabila
bencana masih lama akan terjadi, maka cara yang terbaik adalah menghindari
risiko yang akan terjadi. Misalnya memilih ternpat tinggal yang jauh dari
jangkauan banjir. Kesiapsiagaan adalah setiap aktivitas sebelum terjadinya
bencana yang bertujuan untuk mengembangkan kapasitas operasional dan
memfasilitasi respons yang efektif ketika suatu bencana terjadi. Perubahan
paradigma penanggulangan bencanayaitu tidaklagi memandang
penanggulangan bencana merupakan aksi pada saat situasi tanggap darurat,
tetapi penanggulangan bencana lebih diprioritaskan pada fase prabencana
16

yang bertujuan untuk mengurangi risiko bencana. Dengan demikian, semua


kegiatan yang berada dalam lingkup prabencana lebih diutamakan.

3.2 Disaster Risk Reduction (DRR)


Pengurangan Risko Bencana (PRB) dimaknai sebagai sebuah proses
pemberdayaan komunitas melalui pengalaman mengatasi dan menghadapi
bencana yang berfokus pada kegiatan partisipatif untuk melakukan kajian,
perencanaan, pengorganisasian kelompok swadaya masyarakat, serta
pelibatan dan aksi dari berbagai pemangku kepentingan, dalam
menanggulangi bencana sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana.
Tujuannya agar komunitas mampu mengelola risiko, mengurangi, maupun
memulihkan diri dari dampak bencana tanpa ketergantungan dari pihak luar.
Dalam tulisan siklus penanganan bencana kegiatan ini ada dalam fase pra
bencana (Usiono et al., 2018).
Tingkat penentu resiko bencana disuatu wilayah dipengaruhi oleh 3 faktor
yaitu ancaman, kerentanan dan kapasitas. Dalam upaya pengurangan resiko
bencana (PRB) atau disaster risk reduction (DRR), ketiga faktor tersebut yang
menjadi dasar acuan untuk dikaji guna menentukan langkah-langkah dalam
pengelolaan bencana.
1. Ancaman
Kejadian yang berpotensi mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat sehingga menyebabkan timbulnya korban jiwa, kerusakan
harta benda, kehilangan rasa aman, kelumpuhan ekonomi dan
kerusakan lingkungan serta dampak psikologis. Ancaman dapat
dipengaruhi oleh faktor :
a. Alam, seperti gempa bumi, tsunami, angin kencang, topan, gunung
meletus.
b. Manusia, seperti konflik, perang, kebakaran pemukiman, wabah
penyakit, kegagalan teknologi, pencemaran, terorisme.
c. Alam dan Manusia, seperti banjir, tanah longsor, kelaparan,
kebakaran hutan. Kekeringan.
17

2. Kerentanan
Suatu kondisi yang ditentukan oleh faktor – faktor fisik, sosial,
ekonomi, geografi yang mengakibatkan menurunnya kemampuan
masyarakat dalam menghadapi bencana.
3. Kapasitas
Kemampuan sumber daya yang dimiliki tiap orang atau kelompok
di suatu wilayah yang dapat digunakan dan ditingkatkan untuk
mengurangi resiko bencana. Kemampuan ini dapat berupa pencegahan,
mengurangi dampak, kesiapsiagaan dan keterampilan mempertahankan
hidup dalam situasi darurat. Sehingga untuk mengurangi resiko bencana
maka diperlukan upaya–upaya untuk mengurangi ancaman, mengurangi
kerentanan dan meningkatkan kapasitas. Dalam kajian risiko bencana
ada faktor kerentanan (vulnerability) rendahnya daya tangkal
masyarakat.
Dalam menerima ancaman, yang mempengaruhi tingkat risiko
bencana, kerentanan dapat dilihat dari faktor lingkungan, sosial budaya,
kondisi sosial seperti kemiskinan, tekanan sosial dan lingkungan yang
tidak strategis, yang menurunkan daya tangkal masyarakat dalam
menerima ancaman. Besarnya resiko dapat dikurangi oleh adanya
kemampuan (capacity) adalah kondisi masyarakat yang memiliki
kekuatan dan kemampuan dalam mengkaji dan menilai ancaman serta
bagaimana masyarakat dapat mengelola lingkungan dan sumberdaya
yang ada, dimana dalam kondisi ini masyarakat sebagai penerima
manfaat dan penerima risiko bencana menjadi bagian penting dan
sebagai aktor kunci dalam pengelolaan lingkungan untuk mengurangi
risiko bencana dan ini menjadi suatu kajian dalam melakukan
manajemen bencana berbasis masyarakat (Comunity Base Disaster Risk
Management). Pengelolaan lingkungan harus bersumber pada 3 aspek
penting yaitu Biotik (makluk hidup dalam suatu ruang), Abiotik
(sumberdaya alam) dan Culture (Kebudayaan). Penilaian risiko bencana
dapat dilakukan dengan pendekatan ekologi (ekological approach) dan
pendekatan keruangan (spatial approach) berdasarkan atas analisa
18

ancaman (hazard), kerentanan (vulnerabiliti) dan kapasitas (capacity)


sehingga dapat dibuat hubungannya untuk menilai risiko bencana.

3.3 The Emergency Operation Plan (EOP)


Rencana Operasi Darurat (EOP) Adalah suatu proses perencanaan
tindakan operasi darurat bencana dengan menyepakati tujuan operasi dan
ketetapan tindakan teknis dan manejerial untuk penanganan darurat bencana
dan disusun berdasarkan berbagai masukan penanganan bencana termasuk
rencana kontinjensi dan informasi bencana untuk mencapai tujuan
penanganan darurat bencana secara aman, efektif dan akuntabel.
a. Merupakan penerapan dari rencana kontijensi yang diberlakukan pada saat
terjadi kedaruratan.
b. Rencana operasi tidak selalu sesuai dengan keadaan nyata di lapangan
sehingga rencana kontijensi perlu disesuaikan secara berkala.
Penanggulangan bencana pada tahap pra-bencana meliputi
kegiatankegiatan yang dilakukan dalam “situasi tidak terjadi bencana” dan
kegiatankegiatan yang dilakukan pada situasi ”terdapat potensi bencana”. Pada
situasi tidak terjadi bencana, salah satu kegiatannya adalah perencanaan
penanggulangan bencana (Pasal 5 ayat [1] huruf a PP 21/2008). Sedangkan
pada situasi terdapat potensi bencana kegiatannya meliputi kesiapsiagaan,
peringatan dini, dan mitigasi bencana. Perencanaan Kontinjensi sesuai dengan
ketentuan Pasal 17 ayat (3) PP 21/2008 dilakukan pada kondisi kesiapsiagaan
yang menghasilkan dokumen Rencana Kontinjensi (Contingency Plan). Dalam
hal bencana terjadi, maka Rencana Kontinjensi berubah menjadi Rencana
Operasi Tanggap Darurat atau Rencana Operasi (Operational Plan) setelah
terlebih dahulu melalui kaji cepat (rapid assessment)

3.4 Developing and Writing the EOP.


Rencana Operasi Darurat Bencana disusun berdasarkan masukan yang
dituangkan ke dalam formulir-formulir Sistem Komando Darurat Bencana
(Formulir 1-10) dengan menggunakan Format seperti pada Lampiran 3
sampai dengan Lampiran 24, dengan ketentuan sebagai berikut:
19

1. Melengkapi Formulir Tujuan Operasi (Formulir 2, Lampiran 08)


termasuk lampiran yang disesuaikan dengan kebutuhan, yaitu:
a. Formulir Informasi Bencana (Formulir 1a-1d, Lampiran 03 s/d 06)
b. Formulir Susunan Organisasi Komando (Formulir 3, Lampiran 10)
c. Bagan Organisasi Komando (Formulir 7, Lampiran-17)
d. Formulir Susunan Penugasan (Formulir 4, Lampiran-12)
e. Formulir Jaring Komunikasi (Formulir 5, Lampiran-14)
f. Formulir Rencana Medis (Formulir 6, Lampiran-16)
g. Dan formulir lain sesuai dengan kebutuhan.
2. Melengkapi Formulir Rencana Kebutuhan Operasi (Formulir 9).
Rencana Operasi dapat dibuat dalam bentuk deskriptif atau dalam
bentuk susunan formulir Tujuan Operasi yang dilengkapi dengan
formulir-formulir pendukung.
a. Dalam bentuk Deskriptif
1) Rencana Operasi secara lengkap dapat dibuat dalam bentuk
deskriptif (narasi) tertulis dengan menggunakan Formulir 8
(Rencana Operasi, Lampiran-18 s/d 20), dengan susunan yang
terdiri dari penunjukan, daerah waktu, situasi, tugas pokok,
pelaksanaan, administrasi dan logistik, komando dan
pengendalian.
2) BNPB, BPBD/Satkorlak PB Provinsi, BPBD/Satlak PB
Kabupaten/Kota menggunakan bentuk deskriptif untuk
menuangkan Rencana Operasi penanganan darurat bencana.
3) Komando Darurat Bencana dapat membuat Rencana Operasi
dalam bentuk deskriptif.
b. Dalam bentuk Susunan Formulir
1) Rencana Operasi Komando Darurat Bencana, secara lengkap
dapat dibuat dalam bentuk kumpulan isian formulir seperti
ketentuan penyusunan pada ketentuan Khusus di atas.
2) Secara umum Rencana Operasi menggunakan isian Formulir
Tujuan Operasi (Formulir 2), yang dilengkapi dengan lampiran
yang dibutuhkan.
20

3) Rencana Operasi dalam bentuk formulir ini menjadi dokumen


dasar untuk koordinasi dan komunikasi bagi semua organisasi
terkait dalam pelaksanaan operasi penanganan darurat
Rencana Operasi Darurat Bencana disusun sesuai dengan dampak dan
tingkatan bencana yang dinyatakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah.
Baik tahapan dalam proses penyusunan maupun rencana operasi di tingkatan
penanganan darurat bencana tersebut, pada dasarnya memiliki kesamaan,
sehingga pedoman penyusunan rencana operasi darurat bencana ini berlaku
untuk semua tingkatan bencana (Husein & Onasis, 2017).
1. Tingkat Pusat
a. Apabila dampak dan eskalasi bencana bersifat nasional, maka
rencana operasi darurat bencana disusun oleh Komandan Darurat
Bencana Tingkat Nasional yang ditunjuk oleh Presiden sesuai
dengan tingkat dan kewenangannya.
b. Perencanaan Operasi bantuan BNPB kepada BPBD, baik yang
diminta atau atas inisiatif BNPB pada saat siaga darurat, tanggap
darurat dan transisi darurat ke pemulihan menggunakan Pedoman
ini.
c. Rencana Operasi bantuan dari Luar Negeri pada saat siaga darurat,
tanggap darurat dan transisi darurat ke pemulihan mengacu kepada
Pedoman ini.
d. Rencana Operasi bantuan ke Luar Negeri mengacu kepada
peraturan internasional dan regional yang berlaku.
2. Tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota Berdasarkan dampak bencana
dan tingkatan bencana maka:
a. Pada saat keadaan darurat bencana, sesuai dengan tingkatan
bencana, BPBD Provinsi/Kabupaten/Kota berdasarkan peraturan
yang berlaku, membentuk Komando Darurat Bencana yang
bertugas untuk melaksanakan penanganan darurat bencana, yaitu
pada status siaga darurat, tanggap darurat dan transisi darurat ke
pemulihan dan menyusun Rencana Operasi sesuai dengan Pedoman
ini.
21

b. Bagi pemerintah daerah yang tidak memiliki BPBD maka Rencana


Operasi disusun oleh perangkat daerah yang sesuai dengan tugas
pokok dan fungsi penanggulangan bencana.
c. Agar penanganan darurat bencana dapat dilaksanakan sesuai
dengan sasaran yang ditetapkan secara efektif, Komando Darurat
Bencana menyusun Rencana Operasi berdasarkan Pedoman ini.
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
1. Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah
yang tepat guna dan berdaya guna (UU RI No. 24 Tahun 2007).
Sedangkan kesiapsiagaan menurut Carter (1991) adalah tindakan-
tindakan yang memungkinkan pemerintahan, organisasi, masyarakat,
komunitas, dan individu untuk mampu menanggapi suatu situasi
bencana secara cepat dan tepat guna. The United Nations International
Strategy for Disaster Reduction (UNISDR, 2009) mendefinisikan
kesiapsiagaan sebagai berikut.
2. Pengurangan Risko Bencana (PRB) dimaknai sebagai sebuah proses
pemberdayaan komunitas melalui pengalaman mengatasi dan
menghadapi bencana yang berfokus pada kegiatan partisipatif untuk
melakukan kajian, perencanaan, pengorganisasian kelompok swadaya
masyarakat, serta pelibatan dan aksi dari berbagai pemangku
kepentingan, dalam menanggulangi bencana sebelum, saat dan sesudah
terjadi bencana.
3. Rencana Operasi Darurat Bencana disusun sesuai dengan dampak dan
tingkatan bencana yang dinyatakan oleh Pemerintah atau pemerintah
daerah. Baik tahapan dalam proses penyusunan maupun rencana operasi
di tingkatan penanganan darurat bencana tersebut, pada dasarnya
memiliki kesamaan, sehingga pedoman penyusunan rencana operasi
darurat bencana ini berlaku untuk semua tingkatan bencana.
4. Rencana Operasi Darurat Bencana disusun berdasarkan masukan yang
dituangkan ke dalam formulir-formulir Sistem Komando Darurat
Bencana (Formulir 1-10) dengan menggunakan Format seperti pada
Lampiran 3 sampai dengan Lampiran 24, dengan ketentuan sebagai
berikut:

22
23

4.2 Saran
Dalam pembuatan makalah ini penulis menyadari masih banyak
kekurangan pengetahuanserta kekurangan dalam penulisan.Hal tersebut
terjadi karena penulis masih dalam tahap pembelajaran sehingga diharapkan
untuk kritik dan saran dari para pembaca untuk menyempurnakan makalah
ini.
DAFTAR PUSTAKA

Husein, A., & Onasis, A. (2017). Manajemen Bencana (Vol. 1).


http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-
content/uploads/2017/11/Daftar-isi-ManajemenBencana_k1_restu.pdf
Mareta, N. (2018). Pengetahuan dan Manajemen Bencana. Jurnal Keperawatan,
1(March 2014), 14. https://doi.org/10.13140/RG.2.2.28196.94089
Munandar, A., & Wardaningsih, S. (2018). Kesiapsiagaan Perawat Dalam
Penatalaksanaan Aspek Psikologis Akibat Bencana Alam : Literature
Review. Jurnal Keperawatan, 9(2), 72–81.
http://ejournal.umm.ac.id/index.php/keperawatan/article/view/5311%0AKES
IAPSIAGAAN
Putri, K. E., Arianto, A. B., & Listianingsih, L. triastuti. (2021). Faktor-Faktor
Yang Mendukung Kesiapsiagaan Perawat Dalam Menghadapi Bencana :
Literature Review. In jurnal sahabat keperawatan (Vol. 03, Issue 02).
http://jurnal.unimor.ac.id/JSK/article/download/1383/580/
Usiono, D., Utami, D. T. N., Nasution, F., & Nanda, M. (2018). Disaster
Management: Perspektif Kesehatan dan Kemanusiaan (pp. 5–208). Perdana
Publishing. http://repository.uinsu.ac.id/8134/1/3. DISASTER
MANAGEMENT.pdf

Anda mungkin juga menyukai