Dosen Pengampu :
Ns. Padila, S.Kep., M.Kep
Di Susun Oleh :
Kelompok 1
i
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................ 2
1.3 Tujuan ........................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengkajian Kebutuhan Saat Bencana ........................................................ 3
2.1.1 Perencanaan Dalam Penanggulanan Bencana ................................ 3
2.1.2 Mekanisme Pengolahan Bantuan ...................................................... 7
2.2 Air Dan Higiene Sanitasi ............................................................................. 9
2.3 Surveilans Bencana ..................................................................................... 12
2.3.1 Surveilans Penyakit ............................................................................ 13
2.3.2 Surveilans Faktor Resiko ................................................................... 14
2.3.3 Surveilans Gizi .................................................................................... 15
2.4 Proses Kegiatan Surveilans ........................................................................ 16
2.5 Pengendalian Vektor Saat Bencana ........................................................... 19
2.6 Manajemen Korban Masal ......................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
tidak terjadi tumpang tindih dan bahkan terdapat langkah upaya yang penting
tidak tertangani. Sepert yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2007 tentang Penanggulangan Bencana mengamanatkan pada pasal 35 dan 36
agar setiap daerah dalam upaya penanggulangan bencana, mempunyai
perencanaan penanggulangan bencana. Secara lebih rinci disebutkan di dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana (BNPB 2008).
1.3 Tujuan
1. Mendeskripsikan pengkajian kebutuhan saat bencana.
2. Mendeskripsikan air dan hygiene sanitasi bencana.
3. Mendeskripsikan surveilans bencana.
4. Mendeskripsikan pengendalian vector saat bencana.
5. Mendeskripsikan manajemen korban massal bencana.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
didasarkan atas skenario menghadapi bencana tertentu ( single hazard ) maka
disusun satu rencana yang disebut Rencana Kontinjensi (Contingency Plan).
3) Pada Saat Tangap Darurat dilakukan Rencana Operasi (Operational Plan )
yang merupakan operasionalisasi/aktivasi dari Rencana Kedaruratan atau
Rencana Kontinjensi yang telah disusun sebelumnya.
4) Pada Tahap Pemulihan dilakukan Penyusunan Rencana Pemulihan (Recovery
Plan) yang meliputi rencana rehabilitasi dan rekonstruksi yang dilakukan pada
pasca bencana. Sedangkan jika bencana belum terjadi, maka untuk
mengantisipasi kejadian bencana dimasa mendatang dilakukan penyusunan
petunjuk /pedoman mekanisme penanggulangan pasca bencana.
Dalam Pedoman Penyusunan Rencana Penangulangan Bencana (BNPB:
2008) secara garis besar proses penyusunan/penulisan rencana penanggulangan
bencana adalah sebagai berikut:
1. Pengenalan dan pengkajian bencana.
2. Pengenalan kerentanan.
3. Analisi kemungkinan dampak bencana.
4. Pilihan tindakan penanggulangan bencana.
5. Mekanisme penanggulangan dampak bencana.
6. Alokasi tugas dan peran instansi.
Sebagaimana diuraikan di atas bahwa langkah pertama adalah pengenalan
bahaya / ancaman bencana yang mengancam wilayah tersebut. Kemudian bahaya /
ancaman tersebut di buat daftar dan di disusun langkah-langkah / kegiatan untuk
penangulangannya. Sebagai prinsip dasar dalam melakukan Penyusunan Rencana
Penanggulangan Bencana ini adalah menerapkan paradigma pengelolaan risiko
bencana secara holistik. Pada hakekatnya bencana adalah sesuatu yang tidak dapat
terpisahkan dari kehidupan. Pandangan ini memberikan arahan bahwa bencana
harus dikelola secara menyeluruh sejak sebelum, pada saat dan setelah kejadian
bencana.
Dalam Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat
Bencana (Depkes RI 2007) tugas penyelenggaraan penanggulangan bencana
ditangani oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di tingkat
Pusat dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di tingkat Daerah.
4
1) Tingkat Pusat
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merupakan
Lembaga Pemerintah Nondepartemen setingkat menteri yang memiliki fungsi
perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan
pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat serta efektif dan efisien; dan
pengoordinasikan pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara
terencana, terpadu dan menyeluruh.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mempunyai tugas
senagai berikut :
a. Memberikan pedoman dan pengarahan terhadap usaha penanggulangan
bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan tanggap
darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi secara adil dan setara;
b. Menetapkan standardisasi dan kebutuhan penyelenggaraan
penanggulangan bencana berdasarkan Peraturan Perundang-undangan;
c. Menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat;
d. Melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada Presiden
setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan pada setiap saat
dalam kondisi darurat bencana;
e. Menggunakan dan mempertanggungjawabkan sumbangan/bantuan
nasional dan internasional;
f. Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
g. Melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan Peraturan Perundang-
undangan; dan
h. Menyusun pedoman pembentukan Badan Penanggulangan Bencana
Daerah.
Tugas dan kewenangan Departemen Kesehatan adalah merumuskan
kebijakan, memberikan standar dan arahan serta mengkoordinasikan
penanganan krisis dan masalah kesehatan lain baik dalam tahap sebelum,
saat maupun setelah terjadinya. Dalam pelaksanaannya dapat melibatkan instansi
terkait baik Pemerintah maupun non Pemerintah, LSM, Lembaga
Internasional, organisasi profesi maupun organisasi kemasyarakatan sesuai
5
dengan peraturan perundangan yang berlaku. Selain itu Departemen
Kesehatan secara aktif membantu mengoordinasikan bantuan kesehatan yang
diperlukan oleh daerah yang mengalami situasi krisis dan masalah kesehatan
lain.
2) Daerah
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) adalah perangkat
daerah yang dibentuk untuk melaksanakan tugas dan fungsi penyelenggaraan
penanggulangan bencana di daerah. Pada tingkat provinsi BPBD dipimpin
oleh seorang pejabat setingkat di bawah gubernur atau setingkat eselon Ib
dan pada tingkat kabupaten/kota dipimpin oleh seorang pejabat setingkat di
bawah bupati/walikota atau setingkat eselon IIa. Kepala BPBD dijabat secara
rangkap (ex-officio) oleh Sekretaris Daerah yang bertanggungjawab langsung
kepada kepala daerah.
BPBD terdiri dari Kepala, Unsur Pengarah Penanggulangan Bencana
dan Unsur Pelaksana Penanggulangan Bencana.
BPBD mempunyai fungsi :
a) Perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan
penanganan pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat, efektif dan efisien.
b) pengoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara
terencana, terpadu dan menyeluruh.
BPBD mempunyai tugas :
a) Menetapkan pedoman dan pengarahan sesuai dengan kebijakan
pemerintah daerah dan BNPB terhadap usaha penanggulangan bencana yang
mencakup pencegahan bencana, penanganan darurat, rehabilitasi, serta
rekonstruksi secara adil dan setara.
b) Menetapkan standardisasi serta kebutuhan penyelenggaraan
penanggulangan bencana berdasarkan Peraturan Perundang-undangan.
c) Menyusun, menetapkan, dan menginformasikan peta rawan bencana.
d) Menyusun dan menetapkan prosedur tetap penanganan bencana.
e) Melaksanakan penyelenggaraan penanggulangan bencana pada wilayahnya.
6
f) Melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada kepala
daerah setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan setiap saat dalam
kondisi darurat bencana.
g) Mengendalikan pengumpulan dan penyaluran uang dan barang.
h) Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
i) Melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan Peraturan Perundang-
undangan.
7
yang melayani korban bencana baik di Puskesmas, pos kesehatan, RSU,
Sarana Pelayanan Kesehatan TNI dan POLRI maupun Swasta.
d) Bila persediaan obat di Dinkes Kab/Kota mengalami kekurangan dapat
segera meminta kepada Dinkes Provinsi.
Prinsip dasar dari pengelolaan obat dan perbekalan kesehatan pada
situasi bencana adalah harus cepat, tepat dan sesuai kebutuhan. Oleh karena
itu, dengan banyaknya institusi kesehatan yang terlibat perlu dilakukan
koordinasi dan pembagian wewenang dan tanggung jawab.
Prinsip utama yang harus dipenuhi dalam proses pemberian bantuan obat
dan perbekalan kesehatan mengacu lepada “Guidelines for Drug Donations”,
yaitu:
a) Prinsip pertama: obat sumbangan harus memberikan keuntungan yang
sebesar-besarnya bagi negara penerima, sehingga bantuan harus
didasarkan pada kebutuhan, sehingga kalau ada obat yang tidak
diinginkan, maka kita dapat menolaknya.
b) Prinsip kedua: obat sumbangan harus mengacu kepada keperluan dan
sesuai dengan otoritas penerima dan harus mendukung kebijakan
pemerintah dibidang kesehatan dan sesuai dengan persyaratan administrasi
yang berlaku.
c) Prinsip ketiga: tidak boleh terjadi standar ganda penetapan kualitas jika
kualitas salah satu item obat tidak diterima di negara donor, sebaiknya
hal ini juga diberlakukan di negara penerima.
d) Prinsip keempat: adalah harus ada komunikasi yang efektif antara negara
donor dan negara penerima, sumbangan harus berdasarkan permohonan
dan sebaiknya tidak dikirimkan tanpa adanya pemberitahuan.
2) Sumber daya manusia
Pada saat terjadi bencana perlu adanya mobilisasi SDM kesehatan yang
tergabung dalam suatu Tim Penanggulangan Krisis yang meliputi:
1. Tim Reaksi Cepat
Tim yang diharapkan dapat segera bergerak dalam waktu 0–24 jam
setelah ada informasi kejadian bencana.
2. Tim Penilaian Cepat (Tim RHA)
8
Tim yang bisa diberangkatkan bersamaan dengan Tim Reaksi Cepat atau
menyusul dalam waktu kurang dari 24 jam.
9
2) Air Permukaan (sungai dan danau)
a) Diperlukan pompa untuk memompa air ke tempat pengolahan air dan
kemudian ke tangki penampungan air di tempat penampungan pengungsi
b) Area disekitar sumber harus dibebaskan dari kegiatan manusia dan hewan
3) Sumur gali
a) Lantai sumur harus dibuat kedap air dan dilengkapi dengan SPAL
(saluran pembuangan air limbah)
b) Bilamana mungkin dipasang pompa untuk menyalurkan air ke tangki
tangki penampungan air
4) Sumur Pompa Tangan (SPT)
a) Lantai sumur harus dibuat kedap air dan dilengkapi dengan SPAL
(saluran pembuangan air limbah)
b) Bila lokasinya agak jauh dari tempat penampungan pengungsi harus
disediakan alat pengangkut seperti gerobak air dan sebagainya
5) Mata Air
a) Perlu dibuat bak penampungan air untuk kemudian disalurkan dengan
pompa ke tangki air
b) Bebaskan area sekitar mata air dari kemungkinan pencemaran
c) Perbaikan dan Pengawasan Kualitas Air Bersih
Pada situasi bencana dan pengungsian umumnya sulit memperoleh air
bersih yang sudah memenuhi persya-ratan, oleh karena itu apabila air yang
tersedia tidak memenuhi syarat, baik dari segi fisik maupun bakteriologis,
perlu dilakukan:
Buang atau singkirkan bahan pencemar dan lakukan hal berikut.
a) Lakukan penjernihan air secara cepat apabila tingkat kekeruhan air yang
ada cukup tinggi.
b) Lakukan desinfeksi terhadap air yang ada dengan menggunakan bahan
bahan desinfektan untuk air
c) Periksa kadar sisa klor bilamana air dikirim dari PDAM
d) Lakukan pemeriksaan kualitas air secara berkala pada titik-titik distribusi
e) Pembuangan Kotoran
Langkah langkah yang diperlukan:
10
1) Pada awal terjadinya pengungsian perlu dibuat jamban umum yang dapat
menampung kebutuhan sejumlah pengungsi. Contoh jamban yang
sederhana dan dapat disediakan dengan cepat adalah jamban kolektif (jamban
jamak).
Pada awal pengungsian: 1 (satu) jamban dipakai oleh 50 – 100 org Pemeliharaan
terhadap jamban harus dilakukan dan diawasi secara ketat dan lakukan
desinfeksi di area sekitar jamban dengan menggunakan kapur, lisol dan
lain-lain.
2) Pada hari hari berikutnya setelah masa emergency berakhir, pembangunan
jamban darurat harus segera dilakukan dan 1 (satu) jamban disarankan
dipakai tidak lebih dari 20 orang.
1 (satu) jamban dipakai oleh 20 orang. Jamban yang dibangun di lokasi pengungsi
disarankan:
- Ada pemisahan peruntukannya khusus laki laki dan wanita
- Lokasi maksimal 50 meter dari tenda pengungsi dan minimal 30 meter dari
sumber air.
- Konstruksi jamban harus kuat dan dilengkapi dengan tutup pada lubang
jamban agar tidak menjadi tempat berkembang biak lalat
g. Sanitasi Pengelolaan Sampah
11
2) Pengangkutan Sampah
- Pengangkutan sampah dapat dilakukan dengan gerobak sampah atau dengan
truk pengangkut sampah untuk diangkut ke tempat pembuangan akhir.
3) Pembuangan Akhir Sampah
Pembuangan akhir sampah dapat dilakukan dengan beberapa cara, seperti
pembakaran, penimbunan dalam lubang galian atau parit dengan ukuran dalam
2 meter lebar 1,5 meter dan panjang 1 meter untuk keperluan 200 orang.
Perlu diperhatikan bahwa lokasi pembuangan akhir harus jauh dari tempat
hunian dan jarak minimal dari sumber air 10 meter
12
dan kesehatan lingkungan terutama di tempat pengungsian. Langkah-langkah
penyelidikan dan pengendalian awal dalam surveilans menjadi tanggung jawab
unit kesehatan setempat yang terkait bencana (PAHO, 2000).
Di dalam Pedoman Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) Kesehatan
Dalam Penanggulangan Bencana dan beberapa Surveilans yang dilaksanakan di
daerah bencana bencana meliputi beberapa survei sebagai berikut
2.3.1 Surveilans Penyakit
Surveilans penyakit memiliki tujuan menyediakan informasi kebutuhan
pelayanan kesehatan di lokasi bencana dan tempat pengungsian, dan secara
khusus menyediakan informasi mengenai kesakitan dan kematian dari penyakit
potensial wabah (Depkes R1, 2007).
Untuk menunjang ketersediaan informasi kebutuhan pelayanan kesehatan di
lokasi bencana dan tempat pengungsian ada beberapa hal yang diidentifikasi
adalah sebagai berikut;
a. Mengidentifikasi sedini mungkin kemungkinan terjadinya peningkatan
penyakit potensial KLB/wabah
b. Mengidentifikasi kelompok risiko tinggi
c. Mengidentifikasi daerah risiko tinggi
d. Mengidentifikasi status gizi di daerah bencana
e. Mengidentifikasi status sanitasi lingkungan
Surveilans yang dilakukan terhadap beberapa penyakit menular dan bila
menemukan kasus penyakit menular, semua pihak termasuk LSM kemanusiaan di
pengungsian, harus melaporkan kepada Puskesmas dibawah koordinasi Dinas
Kesehatan Kabupaten sebagai penanggung jawab pemantauan dan pengendalian
Langkah-langkah surveilans penyakit di daerah bencana meliputi:
a) Pengumpulan data
1) Data kesakitan dan kematian
Data kesakitan yang dikumpulkan meliputi jenis penyakit yang diamati
berdasarkan kelompok usia. Data kematian adalah setiap kematian pengungsi,
penyakit yang kemungkinan menjadi penyebab kematian berdasarkan kelompok
usia
13
2) Data denominator (jumlah korban bencana) diperlukan untuk menghitung
pengukuran epidemiologi, misalnya angka insidensi, angka kematian, dsb.
3) Sumber data Data dikumpulkan melalui laporan masyarakat, petugas pos
kesehatan, petugas Rumah Sakit, koordinator penanggulangan bencana
setempat.
4) Jenis form
Form BA-3: Register Harian Penyakit pada Korban Bencana
Form BA-4: Rekapitulasi Harian Penyakit Korban Bencana
Form BA-5: Laporan Mingguan Penyakit Korban Bencana
Form BA-6: Register Harian Kematian Korban Bencana
Form BA-7: Laporan Mingguan Kematian Korban Bencana
b) Pengolahan dan penyajian data
Data surveilans yang terkumpul diolah untuk menyajikan informasi
epidemiologi sesuai kebutuhan. Penyajian data meliputi deskripsi maupun grafik
data kesakitan penyakit menurut umur dan data kematian menurut penyebabnya
akibat bencana.
c) Analisis dan interpretasi
Kajian epidemiologi merupakan kegiatan analisis dan interpretasi data
epidemiologi yang dilaksanakan oleh tim epidemiologi. Langkah-langkah
pelaksanaan analisis:
Menentukan prioritas masalah yang akan dikaji
Merumuskan pemecahan masalah dengan memperhatikan efektifitas dan
efisiensi kegiatan
Menetapkan rekomendasi sebagai tindakan korektif.
d) Penyebarluasan informasi hasil analisis disampaikan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan.
2.3.2 Surveilans Faktor Risiko
Surveilans faktor risiko adalah surveilans yang dilakukan terhadap kondisi
lingkungan disekitar lokasi bencana, lokasi penampungan pengungsi yang dapat
menjadi faktor risiko penyebaran penyakit pada para pengungsi. Kegiatan ini
dilakukan dengan cara menidentifikai :
1) Cakupan pelayanan air bersih;
14
2) Cakupan pemanfaatan sarana pembuangan kotoran;
3) Pengelolaan sampah;
4) Pengamanan makanan;
5) Kepadatan vector;
6) Kebersihan lingkungan;
7) Tempat-tempat yang berpotensi menjadi tempat perindukan vektor (genangan
air, sumber pencemaran, dll)
2.3.3 Surveilans Gizi
Surveilans gizi adalah proses pengamatan keadaan gizi korban bencana
khususnya kelompok rentan secara terus menerus untuk pengambilan keputusan
dalam menentukan tindakan intervensi(Kemenkes R1, 2012).
Dalam pengadaan surveilans gizi menurut KemenKes RI tahun 2012 dalam
Pedoman Teknis Penanggulanan Krisis Akibat Bencana terdapat langkah langkah
sebagai berikut :
1) Registrasi pengungsi
Registrasi perlu dilakukan secepat mungkin untuk mengetahui jumlah
Kepala Keluarga, jumlah jiwa, jenis kelamin, usia dan kelompok rawan (balita,
bumil, buteki, dan usila). Di samping itu diperlukan data penunjang lainnya
misalnya: luas wilayah, jumlah camp, dan sarana air bersih. Data tersebut
digunakan untuk menghitung kebutuhan bahan makanan pada tahap penyelamatan
dan merencanakan tahapan surveilans berikutnya.
2) Pengumpulan data dasar gizi
Data yang dikumpulkan adalah data antropometri yang meliputi, berat badan,
tinggi badan dan umur untuk menentukan status gizi, dikumpulkan melalui survei
dengan metodologi surveilans atau survei cepat. Disamping itu diperlukan data
penunjang lainnya seperti, diare, ISPA, Pneumonia, campak, malaria, angka
kematian kasar dan kematian balita. Data penunjang ini diperoleh dari sumber
terkait lainnya,. Data ini digunakan untuk menentukan tingkat kedaruratan gizi
dan jenis intervensi yang diperlukan. Data latar belakang harus dikumpulkan pada
daerah geografis yang terkena dampak, risiko penyakitutama di daerah yang
terkena (misalnya, apakah kolera atau malaria adalah endemik) (PAHO, 2000).
3) Penapisan
15
Penapisan atai skrining adalah proses pendeteksian kasus atau kondisi
kesehatan. Penapisan ini dilakukan apabila diperlukan intervensi Pemberian
Makanan Tambahan (PMT) darurat terbatas dan PMT terapi. Untuk itu dilakukan
pengukuran antropometri (berat badan dan tinggi badan) semua anak untuk
menentukan sasaran intervensi. Pada kelompok rentan lainnya seperti bumil,
buteki dan usila, penapisan dilakukan dengan melakukan pengukuran Lingkar
Lengan Atas/LILA.
Untuk keperluan surveilans gizi pengungsi, di dalam Pedoman Teknis
Penanggulanan Krisis Akibat Bencana sudah dicantumkan beberapa hal yang
perlu disiapkan, yakni sebagai berikut:
a) Petugas pelaksana adalah tenaga gizi (Ahli gizi atau tenaga pelaksana gizi)
yang sudah mendapat latihan khusus penanggulangan gizi dalam keadaan
darurat. Jumlah petugas pelaksana gizi minimal tiga orang tenaga gizi terlatih,
agar surveilans dapat dilakukan secepat mungkin. Tenaga pelaksana gizi ini
akan bekerja secara tim dengan surveilans penyakit atau tenaga kedaruratan
lainnya.
b) Alat untuk identifikasi, pengumpulan data dasar, pemantauan dan evaluasi:
Formulir untuk registrasi awal dan pengumpulan data dasar dan
screening/penapisan; dan juga formulir untuk pemantauan dan evaluasi secara
periodik.
Alat ukur antropometri untuk balita dan kelompok umur golongan rawan
lainnya. Untuk balita diperlukan timbangan berat badan (dacin/salter),alat
ukur panjang badan (portable), dan medline (meteran).
Monitoring pertumbuhan untuk balita (KMS).
Jika memungkinkan disiapkan komputer yang dilengkapi dengan sistem
aplikasi untuk pemantauan setiap individu.
c) Melakukan kajian data surveilans gizi dengan mengintegrasikan informasi
dari surveilans lainnya (penyakit dan kematian).
16
a) Kegiatan di Pos KesehatannKegiatan surveilans yang dilakukan di pos
kesehatan, antara lain:
1) Pengumpulan data kesakitan penyakit yang diamati dan kematian melalui
pencatatan harian kunjungan rawat jalan.
2) Validasi data agar data menjadi sahih dan akurat, pengolahan data kesakitan
menurut jenis penyakit dan golongan umur per minggu.
3) Pembuatan dan pengiriman laporan. Dalam kegiatan pengumpulan data
kesakitan penyakit yang ditujukan pada penyakit-penyakit yang mempunyai
potensi menimbulkan terjadinya wabah, dan masalah kesehatan yang bisa
memberikan dampak jangka panjang terhadap kesehatan dan/atau memiliki
fatalitas tinggi.
Jenis penyakit yang diamati , antara lain:
1. Diare berdarah
2. Campak
3. Diare
4. Demam berdarah dengue
5. Pnemonia
6. Lumpuh layuh akut (AFP)
7. ISPA non-pneumonia
8. Tersangka hepatitis
9. Malaria klinis
10. Gizi buruk, dsb.
Apabila petugas kesehatan di pos kesehatan, maupun puskesmas
menemukan atau mencurigai kemungkinan adanya peningkatan kasus-kasus
tersangka penyakit yang ditularkan melalui makanan (foodborne diasease)
ataupun penyakit lain yang jumlahnya meningkat dalam kurun waktu singkat,
maka petugas yang bersangkutan harus melaporkan keadaan tersebut secepat
mungkin ke Puskesmas terdekat atau Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
b) Kegiatan di Puskesmas
Kegiatan surveilans yang dilakukan di puskesmas, antara lain:
17
1) Pengumpulan data kesakitan penyakit-penyakit yang diamati dan kematian
melalui pencatatan harian kunjungan rawat jalan dan rawat inap pos kesehatan
yang ada di wilayah kerja.
2) Validasi data agar data menjadi sahih dan akurat.
3) Pengolahan data kesakitan menurut jenis penyakit golongan usia dan tempat
tinggal per minggu.
4) Pembuatan dan pengiriman laporan.
c) Kegiatan di Rumah Sakit
Kegiatan surveilans yang dilakukan di Rumah Sakit, antara lain:
1) Pengumpulan data kesakitan penyakit yang diamati dan kematian melalui
pencatatan rujukan kasus harian kunjungan rawat jalan dan rawat inap dari para
korban bencana.
2) Validasi data agar data menjadi sahih dan akurat.
3) Pengolahan data kesakitan menurut jenis penyakit, golongan usia dan tempat
tinggal per minggu.
4) Pembuatan dan pengiriman laporan.
d) Kegiatan di Kabupaten/Kota
Kegiatan surveilans yang dilakukan di tingkat Kabupaten/Kota, antara
lain:
1. Pengumpulan data berupa jenis bencana, keadaan bencana, kerusakan sarana
kesehatan, angka kesakitan penyakit yang diamati dan angka kematian korban
bencana yang berasal dari puskesmas, Rumah Sakit, atau Poskes khusus.
2. Pengumpulan data berupa jenis bencana, keadaan bencana, kerusakan sarana
kesehatan, angka kesakitan penyakit yang diamati dan angka kematian korban
bencana yang berasal dari Puskesmas, Rumah Sakit atau Poskes khusus.
3. Surveilans aktif untuk penyakit tertentu.
4. Validasi data agar data menjadi sahih dan akurat
5. Pengolahan data kesakitan menurut jenis penyakit, golongan umur dan tempat
tinggal per minggu.
6. Pertemuan tim epidemiologi kabupaten/kota untuk melakukan analisis data dan
merumuskan rekomendasi rencana tindak lanjut penyebar-luasan informasi.
e) Kegiatan di Provinsi
18
Kegiatan surveilans yang dilakukan di tingkat Provinsi, antara lain:
1) Pengumpulan data kesakitan penyakit-penyakit yang diamati dan kematian
korban bencana yang berasal dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
2) Surveilans aktif untuk penyakit-penyakit tertentu.
3) Validasi data agar data menjadi sahih dan akurat.
4) Pengolahan data kesakitan menurut jenis penyakit golongan umur dan tempat
tinggal per minggu.
5) Pertemuan tim epidemiologi provinsi untuk melakukan analisis data dan
merumuskan rekomendasi rencana tindak lanjut, penyebarluasan informasi ,
pembuatan dan pengiriman laporan.
f) Keluaran
Adanya rekomendasi dari hasil kajian analisis data oleh tim epidemiologi
diharapkan dapat menetapkan rencana kegiatan korektif yang efektif dan efisien
sesuai dengan kebutuhan. Rencana kegiatan korektif ini tentunya dapat menekan
peningkatan penyakit khususnya penyakit menular di lokasi bencana yang
akhirnya menekan angka kematian akibat penyakit pada pasca bencana.
19
4) Penyediaan Sarana Pembuangan Air Limbah (SPAL) dan pembuangan
sampah yang baik
5) Kebiasaan penanganan makanan secara higienis
Dalam pelaksanaannya pengendalian vektor tidak hanya bisa dilakukan dengan
pengelolaan lingkungan seperti yang telah disebutkan di atas, tetapi bisa juga
melalui bahan kimia seperti berikut ini :
1) Dilakukan dengan cara melakukan penyemprotan atau pengasapan di luar
tenda pengungsi menggunakan insektida
2) Penyemprotan dengan insektisida sedapat mungkin dihindari dan hanya
dilakukan untuk menurunkan populasi vektor secara drastis apabila dengan
cara lain tidak memungkinkan
3) Frekuensi penyemprotan, pengasapan serta jenia insektisida yang digunakan
sesuai dengan rekomendasi dari Dinas Kesehatan setempat
20
a) Transportasi dan alat kesehatan
Fasilitas Kesehatan yang berupa sarana evakuasi/transportasi meliputi :
(1) Kendaraan roda dua kesehtan lapangan
(2) Kendaraan ambulans biasa
(3) Kendaraan ambulans rusuh masal
(4) Kapal motor sungai/laut
(5) Helikopter udara
(6) Pesawat
b) Sarana pelayanan kesehatan
(1) Pos kesehatan lapangan
(2) Rumah sakit lapangan
(3) Puskesmas/poliklinik/RS Swasta/RSLSM.
(4) Rumah sakit rujukan tingkat Kabupaten RSUD/RS Polri/TNI
(5) Rumah sakit rujukan tingkat Provinsi
(6) Rumah sakit pusat rujukan Depkes/Polri/TNI
c) Obat dan alat kesehatan
(1) Obat rutin
(2) Obat Khusus
(3) Bermacam-macam pembalut cepat
(4) Kit Keslap
(5) Minor surgery
(6) Oxigyn dan perlengkapannya
d) Fasilitas pendukung non medis
(1) Seragam berupa rompi dan topi khusus (bertuliskan identitas kesehatan
daerah dan ditengah ada simbol palang merah)
(2) Tandu
(3) Alat Komunikasi
(4) Kendaraan taktis untuk pengawalan evakuasi
e) Posko satgas kesehatan
(1) Posko kesehatan di lapangan
(2) Posko kesehatan koordinator wilayah
2) Ketenagaan
21
(a) Di tempat kejadian/peristiwa sebagai koordinator adalah kasatgas lapangan
(dokter/para medik senior) yang berkedudukan di poskes lapangan atau di
salah satu ambulans dan mengatur seluruh kegiatan dilapangan.
(b) Pada setiap ambulans minimal terdiri dari 2 orang para medik dan satu
pengemudi (bila memungkinkan ada 1 orang dokter).
(c) Pada Puskesmas / Poliklinik / RS Swasta / RS Polri / RS TNI tim
penanggulangan korban minimal dipimpin seorang dokter dan telah
menyiapkan ruang pelayanan khusus atau perawatan khusus.
(d) Rumah sakit rujukan dipimpin oleh dokter bedah dan telah menyiapkan ruang
pelayanan dan rawat khusus.
(e) Pada Puskesmas dan RS rujukan dapat dibentuk tim khusus untuk pembuatan
visum at repertum yang dipimpin oleh dokter dan dibantu 2 orang tenaga
administrasi.
3) Pelaksanaan dilapangan
a) Pertolongan dan evakuasi korban masyarakat umum
(1) Petugas lapangan menilai tingkat kegawatan korban untuk korban luka ringan
dan sedang diberi pertolongan pertama di tempat kejadian atau pos kesehatan
lapangan.
(2) Korban luka berat segera dievakuasi ke RS rujukan wilayah /RS Swasta/RS
Polri/RS TNI terdekat. Korban yang memerlukan perawatan lebih lanjut
dapat dievakuasi ke pusat rujukan melalui jalan darat/sungai/laut/ udara
sesuai sarana yang dimiliki.
b) Pertolongan dan evakuasi korban petugas/aparat pengamanan
(1) Korban luka ringan dan sedang diperlakukan sama seperti masyarakat umum.
(2) Korban luka berat segera dievakuasi dengan prioritas ke Rumah Sakit
terdekat.
(3) Korban yang memerlukan rawat lanjut dievakuasi ke RS Pusat rujukan.
4) Penanganan Korban Meninggal
(a) Sasarannya adalah semua korban yang meninggal akibat kerusuhan masal.
(b) Pelaksanaan Penanganan Korban meninggal adalah sebagai berikut
(1) Korban meninggal akibat kerusuhan seluruhnya dievakuasi ke satu tempat
khusus yaitu RSUD/RS Polri/RS TNI setempat.
22
(2) Pada tempat tersebut jenazah yang datang dilakukan registrasi dan pencatatan
(minimal diberi nomor, tanggal dan tempat kejadian) oleh petugas.
(3) Kemudian jenazah dimasukan keruang pemeriksaan untuk dilakukan
identifikasi medik, pemeriksaan luar oleh dokter.
(4) Pemeriksaan dalam (otopsi) untuk mengetahui sebab kematian bisa dilakukan
setelah ada permintaan dari pihak kepolisian setempat dan persetujuan dari
keluarga korban serta sesuai peraturan yang berlaku.
(5) Pemeriksaan medik dilakukan sesuai dengan formulir yang ada.
(6) Barang bukti berupa pakaian, perhiasaan surat -surat dan lain-lain dimasukan
dalam kantong plastik tersendiri diberi nama, nomor sesuai dengan nama dan
nomor jenazah.
(7) Jenazah dan barang bukti setelah selesai pemeriksaan dokter diserahkan
kepada petugas kepolisian.
23
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
1. Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana adalah serangkaian upaya yang
meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya
bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
Persediaan obat dan perbekalan kesehatan diperlukan sebagai penyangga bila
terjadi bencana mulai dari tingkat kabupaten, provinsi sampai pusat.
2. Ketersediaan air bersih untuk memelihara kesehatan bagi pengungsi perlu
mendapat perhatian, karena tanpa adanya air bersih sangat berpengaruh
terhadap kebersihan dan mening-katkan risiko terjadinya penularan penyakit
seperti diare, typhus, scabies dan penyakit lainnya. Tempat penampungan
pengungsi muncul gangguan kesehatan, seperti kasus penyakit dan masalah
gizi serta masalah kesehatan yang lain salah satunya masalah penyediaan
fasilitas pelayanan kesehatan, penyediaan air bersih, sanitasi serta penurunan
kualitas kesehatan lingkungan. Untuk mengatasi masalah tersebut perlu
adanya tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien melalui surveilans
bencana.
3. Surveilans yang dilakukan adalah sebuah tindakan penanggulangan secara
efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan dan
penyebaran informasi
4. Pengendalian vektor dilakukan melalui pengelolaan lingkungan dan
penanganan melalui bahan kimia. Namun harus diperhatikan aturan yang
telah dikeluarkan oleh dinas kesehatan setempat.
5. Dalam melakukan manajemen penanganan korban massal maka harus
dipentingkan keselamatan penolong lebih dulu untuk meminimalisasi adanya
korban, sehingga perlu adanya manajemen yang tepat dalam menangani
korban dalam suatu bencana.
3.2 Saran
1. Bagi Pembaca
Diharapkan dengan makalah ini pembaca dapat memahami bagaimana
tindakan yang dilakukan pasca bencana, beberapa hal mengenai masalah yang
24
timbul setelah bencana dan bagaimana penanggulanan serta pencegahan
terhadap masalah kesehatan yang di timbulkan
2. Bagi pemerintah
Dengan makalah ini diharapkan pemerintah dapat menganilisis tindakan
pasca bencana yang tidak berjalan dengan baik supaya dapat berjalan dengan
baik dan sesuai dengan tujuan yang diinginkan dan menentukan indicator
keberhasilan dari tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien melalui
proses pengumpulan data, pengolahan dan penyebaran informasi
3. Bagi Masyarakat
Masyarakat diharapkan dapat berpartisipasi dalam penanggulanan bencana
yang terjadi agar meminimalisir masalah yang ditimbulkan setelah bencana.
25
DAFTAR PUSTAKA
26