Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Bencana adalah peristiwa/rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik
oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia, sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda dan dampak psikologis dan di luar kemampuan
masyarakat dengan segala sumber dayanya.
Penanggulangan bencana tidak hanya bersifat reaktif: baru melakukan
setelah terjadi bencana. Tetapi penanggulangan bencana juga bisa bersifat
antisipatif, melakukan pengkajian dan tindakan pencegahan untuk
meminimalisir kemungkinan terjadinya bencana. Bencana menimbulkan
berbagai kerusakan dan kehilangan. Hal ini akan menyebabkan angka
kemiskinan di suatu wilayah yang terkena bencana akan meningkat. Hal inilah
yang coba diantisipasi. Di dalam makalah ini penulis akan membahas
bagaimana pemerintah Indonesia membuat kebijakan terkait penanggulangan
bencana. Apakah sesuai dengan penanggulangan bencana yang seharusnya
atau tidak

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apasajakah kebijakan nasional yang sudah dikeluarkan pemerintah dalam
bidang kesiapsigaan bencana destinasi pariwisata?
2. Bagaimanakah pentingnya kebijakan nasional terkait penanggulangan
bencana?
3. Bagaimanakah upaya pemberdayaan masyarakat terkait penanggulangan
bencana pada destinasi pariwisata?
4. Bagaimanakah mekanisme koordinasi saat terjadinya bencana?
5. Bagaimanakah kebijakan penanggulangan bencana pariwisata hotel?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui kebijakan nasional yang sudah dikeluarkan pemerintah
dalam bidang kesiapsigaan bencana destinasi pariwisata

Halaman 1
2. Untuk mengetahui pentingnya kebijakan nasional terkait penanggulangan
bencana
3. Untuk mengetahui upaya pemberdayaan masyarakat terkait
penanggulangan bencana pada destinasi pariwisata
4. Untuk mengetahui mekanisme koordinasi saat terjadinya bencana
5. Untuk mengetahui kebijakan penanggulangan bencana pariwisata hotel.

D. MANFAAT
Manfaat yang akan di dapat setalah mengetahui tentanag kebijakan
pemerintah Indonesia mengenai kesiapsiagaan bencana destinasi pariwisata
adalah mahasiswa dapat menerapkan pengetahuan tetang kebijakan kebijakan
pemerintah dalam kesiapsigaan bencana untuk melakukan tindakan
kesiapsigaan bencana di daerah destinasi pariwisata kedepannya dalam
melakukan praktkum maupun pekerjaan.

Halaman 2
BAB II

PEMBAHASAN

A. KEBIJAKAN PEMERINTAH INDONESIA BERKAITAN DENGAN


PENANGGULANGAN BENCANA
Apa itu Bencana, menurut UU No.24/2007 tentang Penanggulangan
Bencana, bencana adalah Peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam
dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan
baik oleh faktor alam dan/ atau faktor non alam maupun faktor manusia
sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Pengertian bencana menurut International Strategy for Disaster Reduction
(ISDR) :
Suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu masyarakat, sehingga
menyebabkan kerugian yang meluas pada kehidupan manusia dari segi
materi , ekonomi atau lingkungan dan melampaui kemampuan masyarakat
yang bersangkutan untuk mengatasi dengan menggunakan sumber daya
mereka sendiri.
Sistem nasional penanggulangan di Indonesia dibuat menuju upaya
penanggulangan bencana secara tepat. Pada tahun 2008, PERATURAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG
BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA, bahwa untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana, dipandang perlu menetapkan Peraturan
Presiden tentang Badan Nasional. Penanggulangan Bencana BNPB
mempunyai tugas :
1. memberikan pedoman dan pengarahan terhadap usaha penanggulangan
bencana yang mencakup pencegahan bencana,m penanganan tanggap
darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi secara adil dan setara;
2. menetapkan standardisasi dan kebutuhan penyelenggaraan
penanggulangan bencana berdasarkan peraturan perundangundangan;
3. menyampaikan informasi kegiatan penanggulangan bencana kepada
masyarakat;

Halaman 3
4. melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada Presiden
setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan setiap saat dalam kondisi
darurat bencana;
5. menggunakan dan mempertanggungjawabkan sumbangan/bantuan
nasional dan internasional;
6. mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
7. melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan peraturan
perundangundangan;dan
8. menyusun pedoman pembentukan Badan Penanggulangan Bencana
Daerah.

Secara umum, DASAR HUKUM penanggulangan bencana di Indonesia


(Yultekni,2012), yaitu:
1. UUD 1945 RI, Pasal 4, Ayat 1
2. UU No.24 Th. 2007 Tentang Penanggulangan Bencana
3. PP No. 38 Th. 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
4. PP No. 21 Th. 2008 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
5. PP No. 32 Th. 2008 Tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan
Bencana.
6. Pepres No. 8 Th. 2008 Tentang BNPB

B. KATEGORI PEMBAGIAN KEBIJAKAN


1. Pada Tahap Kesiapan
Paragraf 4, Pepres No. 8 Th. 2008 Tentang BNPB,Deputi Bidang
Pencegahan dan Kesiapsiagaan

Pasal 19
(1) Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Kepala BNPB.
(2) Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan dipimpin oleh Deputi.

Pasal 20
Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan mempunyai tugas
mengkoordinasikan dan melaksanakan kebijakan umum di bidang
penanggulangan bencana pada prabencana serta pemberdayaan
masyarakat.

Halaman 4
Pasal 21
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Deputi
Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan menyelenggarakan fungsi:
a. perumusan kebijakan umum di bidang penanggulangan bencana pada
prabencana serta pemberdayaan masyarakat;
b. pengkoordinasian dan pelaksanaan kebijakan umum di bidang
penanggulangan bencana pada prabencana serta pemberdayaan
masyarakat;
c. pelaksanaan hubungan kerja di bidang penanggulangan bencana pada
prabencana serta pemberdayaan masyarakat;
d. pemantauan, evaluasi, dan analisis pelaporan tentang pelaksanaan
kebijakan umum di bidang penanggulangan bencana pada prabencana
serta pemberdayaan masyarakat.

2. Pada Saat Tanggap Darurat Bencana


Pasal 23
Deputi Bidang Penanganan Darurat mempunyai tugas mengkoordinasikan
dan melaksanakan kebijakan umum di bidang penanggulangan bencana
pada saat tanggap darurat.

Pasal 24
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Deputi
Bidang Penanganan Darurat menyelenggarakan fungsi:
a. perumusan kebijakan umum di bidang penanggulangan bencana pada
saat tanggap darurat dan penanganan pengungsi;
b. pengkoordinasian dan pelaksanaan kebijakan umum di bidang
penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat dan penanganan
pengungsi;
c. komando pelaksanaan penanggulangan bencana pada saat tanggap
darurat;
d. pelaksanaan hubungan kerja di bidang penanggulangan bencana pada
saat tanggap darurat dan penanganan pengungsi;
e. pemantauan, evaluasi, dan analisis pelaporan tentang pelaksanaan
kebijakan umum di bidang penanggulangan bencana pada saat tanggap
darurat dan penanganan pengungsi.

Halaman 5
3. Pada Tahap Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Pasal 25
(1) Deputi Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Kepala BNPB.
(2) Deputi Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi dipimpin oleh Deputi.

Pasal 26
Deputi Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi mempunyai tugas
mengkoordinasikan dan melaksanakan kebijakan umum di bidang
penanggulangan bencana pada pascabencana.

Pasal 27
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, Deputi
Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi menyelenggarakan fungsi:
a. perumusan kebijakan umum di bidang penanggulangan bencana pada
pascabencana;
b. pengkoordinasian dan pelaksanaan kebijakan umum di bidang
penanggulangan bencana pada pascabencana;
c. pelaksanaan hubungan kerja di bidang penanggulangan bencana pada
pascabencana;
d. pemantauan, evaluasi, dan analisis pelaporan tentang pelaksanaan
kebijakan umum di bidang penanggulangan bencana pada
pascabencana.

4. Deputi Bidang Logistik Dan Peralatan


Pasal 28
(1) Deputi Bidang Logistik dan Peralatan berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Kepala BNPB.
(2) Deputi Bidang Logistik dan Peralatan dipimpin oleh Deputi.

Pasal 29

Halaman 6
Deputi Bidang Logistik dan Peralatan mempunyai tugas melaksanakan
koordinasi dan dukungan logistik dan peralatan dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana.

Pasal 30
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Deputi
Bidang Logistik dan Peralatan menyelenggarakan fungsi:
a. perumusan kebijakan di bidang logistik dan peralatan dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana;
b. pelaksanaan penyusunan perencanaan di bidang logistik dan peralatan
dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana;
c. pemantauan, evaluasi, analisis, pelaporan pelaksanaan kebijakan
dibidang logistik dan peralatan dalam penyelenggaraan.

C. KEBIJAKAN NASIONAL DALAM PENANGGULANGAN BENCANA


Rangkaian bencana yang dialami Indonesia, khususnya pada tahun 2004
dan 2005, telah mengembangkan kesadaran mengenai kerawanan dan
kerentanan masyarakat. Sikap reaktif dan pola penanggulangan bencana yang
dilakukan dirasakan tidak lagi memadai. Dirasakan kebutuhan untuk
mengembangkan sikap baru yang lebih proaktif, menyeluruh, dan mendasar
dalam menyikapi bencana.
Pola penanggulangan bencana mendapatkan dimensi baru dengan
dikeluarkannya Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana yang diikuti beberapa aturan pelaksana terkait, yaitu Peraturan
Presiden No. 08 tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan
Bencana, Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, PP No. 22 tahun 2008 tentang
Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana, dan PP No. 23 tahun 2008
tentang Peran Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing non
Pemerintah Dalam Penanggulangan Bencana. Dimensi baru dari rangkaian
peraturan terkait dengan bencana tersebut adalah:
1. Penanggulangan bencana sebagai sebuah upaya menyeluruh dan
proaktif dimulai dari pengurangan risiko bencana, tanggap darurat, dan
rehabilitasi dan rekonstruksi.

Halaman 7
2. Penanggulangan bencana sebagai upaya yang dilakukan bersama oleh
para pemangku kepentingan dengan peran dan fungsi yang saling
melengkapi.
3. Penanggulangan bencana sebagai bagian dari proses pembangunan
sehingga mewujudkan ketahanan (resilience) terhadap bencana.
Berbagai kebijakan tersebut telah ditindaklanjuti dengan pendirian Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan masih akan dilengkapi
dengan berbagai peraturan pelaksanaan. Sementara proses pengembangan
kebijakan sedang berlangsung, proses lain yang tidak kalah penting adalah
memastikan bahwa provinsi dan kabupaten/kota mulai mengembangkan
kebijakan, strategi, dan operasi penanggulangan bencana sesuai dengan arah
pengembangan kebijakan di tingkat nasional.
Upaya penanggulangan bencana di daerah perlu dimulai dengan adanya
kebijakan daerah yang bertujuan menanggulangi bencana sesuai dengan
peraturan yang ada. Strategi yang ditetapkan daerah dalam menanggulangi
bencana perlu disesuaikan dengan kondisi daerah. Operasi penanggulangan
bencana perlu dipastikan efektif, efisien dan berkelanjutan.

Evaluasi Sistem Penanggulangan Bencana Tingkat Nasional


Sistem penanggulangan bencana di Indonesia didasarkan pada
kelembagaan yang ditetapkan oleh pemerintah. Pada waktu yang lalu,
penanggulangan bencana dilaksanakan oleh satuan kerja-satuan kerja yang
terkait. Dalam kondisi tertentu, seperti bencana dalam skala besar pada
umumnya pimpinan pemerintah pusat/daerah mengambil inisiatif dan
kepemimpinan untuk mengkoordinasikan berbagai satuan kerja yang
terkait.
Dengan dikeluarkannya UU No. 24 tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana, maka terjadi berbagai perubahan yang cukup
signifikan terhadap upaya penganggulangan bencana di Indonesia, baik
dari tingkat nasional hingga daerah yang secara umum, peraturan ini telah
mampu memberi keamanan bagi masyarakat dan wilayah Indonesia

Halaman 8
dengan cara penanggulangan bencana dalam hal karakeristik, frekuensi
dan pemahaman terhadap kerawanan dan risiko bencana. Sejak tahun
2001, Pemerintah Indonesia telah memiliki kelembagaan penanggulangan
bencana seperti tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2001
tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan
Penanganan Pengungsi sebagaimana telah diubah dengan Keputusan
Presiden Nomor 111 Tahun 2001. Rangkaian bencana yang dialami
Indonesia khususnya sejak tsunami Aceh tahun 2004 telah mendorong
pemerintah memperbaiki peraturan yang ada melalui PP No. 83 tahun
2005 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana (Bakornas-
PB). Rangkaian bencana yang terus terjadi mendorong berbagai pihak
termasuk DPR untuk lebih jauh mengembangkan kelembagaan
penanggulangan bencana dengan mengeluarkan UU No. 24 tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana. Di dalam UU tersebut, diamanatkan
untuk dibentuk badan baru, yaitu Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB) menggantikan Badan Koordinasi Nasional Penanganan
Bencana (Bakornas-PB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah
(BPBD) menggantikan Satkorlak Satlak di daerah. Secara lebih rinci
perubahan yang terjadi dalam sistem penanggulangan bencana di
Indonesia.

Halaman 9
SISTEM LAMA SISTEM BARU
Dasar Hukum Bersifat sektoral Berlaku umum dan mengikat
seluruh departemen, masyarakat
dan lembaga non pemerintah
Paradigma Tanggap darurat Mitigasi, tanggap darurat,
rehabilitasi dan rekonstruksi
Lembaga Bakornas PB, BNPB, BPBD PROPINSI,
Satkorlak dan Satlak BPBD Kab/Kota
Peran Terbatas Melibatkan masyarakat secara
Masyarakat aktif
Pembagian Sebagian besar Tanggung jawab pemerintah
Tanggung pemerintah pusat pusat, propinsi dan kabupaten
Jawab
Perencanaan Belum menjadi bagian Rencana Aksi Nasional
Pembangunan aspek perencanaan Pengurangan Resiko Bencana
pembangunan (RAN PRB)
Rencana
Penanggulangan Bencana
(RPB)
Rencana Aksi Daerah
Pengurangan Resiko Bencana
(RAD PRB)
Pendekatan Kerentanan Analilsa resiko
Mitigasi (menggabungkan antara
kerentanan dan kapasitas)
Forum kerjasamaBelum ada National Platform (akan)
antar pemangku Provincial Platform (akan)
kepentingan
Alokasi Anggaran Tanggung jawab Tergantung pada tingkatan
pemerintah pusat bencana
Pedoman Terpecah dan bersifat Mengacu pada pedoman yang
Penanggulangan sektoral dibuat oleh BNPB dan BPBD
Bencana
Keterkaitan Belum menjadiHalaman
aspek 10Aspek bencana harus
Dengan Tata diperhitungkan dalam
Ruang penyusunan tata ruang
D. UPAYA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT TERKAIT
PENANGGULANGAN BENCANA PADA DESTINASI PARIWISATA

Menurut UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana


Alam, mitigasi adalah upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui
pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan
menghadapi ancaman bencana. Mitigasi bencana pada umumnya dilakukan
dalam rangka mengurangi kerugian akibat kemungkinan terjadinya bencana,
baik itu berupa korban jiwa atau kerugian harta benda yang berpengaruh pada
untuk mengurangi konsekuensi-konsekuensi dampak lainnya akibat bencana,
seperti kerusakan infrastruktur, terganggunya kegiatan sosial dan ekonomi
masyarakat.
Sedangkan strategi mitigasi bencana dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut.
1. Mengintegrasikan mitigasi bencana dalam program pembangunan yang
lebih besar.
2. Pemilihan upaya mitigasi harus didasarkan atas biaya dan manfaat.
3. Agar dapat diterima masyarakat, mitigasi harus menunjukkan hasil yang
segera tampak.
4. Upaya mitigasi harus dimulai dari yang mudah dilaksanakan segera setelah
bencana.
5. Mitigasi dilakukan dengan cara meningkatkan kemampuan lokal dalam
manajemen dan perencanaan.
Kaitannya dengan masyarakat, dikenal pula penanggulangan bencana berbasis
komunitas/ kelompok. Penanggulangan Bencana Berbasis Komunitas merupakan
serangkaian aktivitas masyarakat (komunitas) pada saat sebelum, saat dan setelah
bencana terjadi untuk mengurangi jumlah korban baik jiwa, kerusakan
sarana/prasarana dan terganggunya peri kehidupan masyarakat dan lingkungan hidup
dengan mengandalkan sumber dan kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat.
Penanggulangan bencana berbasis komunitas juga merupakan upaya
mengkolaborasikan penanggulangan bencana sebagai upaya bersama antara
masyarakat, LSM, swasta dan Pemerintah
Pembangunan kemampuan penanggulangan bencana ditekankan pada
peningkatan kemampuan masyarakat khususnya masyarakat pada kawasan
rawan bencana , agar secara dini menekan bahaya tersebut. Umumnya

Halaman 11
berpangkal pada tindakan penumbuhan kemampuan masyarakat dalam
menangani dan menekan akibat bencana. Untuk mencapai kondisi tersebut,
lazimnya diperlukan langkah-langkah : (1) pengenalan jenis bencana, (2)
pemetaan daerah rawan bencana, (3) zonasi daerah bahaya dan prakiraan
resiko, (4) pengenalan sosial budaya masyarakat daerah bahaya, (5)
penyusunan prosedur dan tata cara penanganan bencana (6) pemasyarakatan
kesiagaan dan peningkatan kemampuan, (7) mitigasi fisik, (8) pengembangan
teknologi bencana alam.
Saat ini organisasi penanggulangan bencana di Indonesia masih
merupakan lembaga ad hoc. Di tingkat Pusat terdapat Badan Koordinasi
Nasional (BAKORNAS) Penanggulangan Bencana dan Pengungsi dengan
Ketua Pelaksana Harian (Kalakhar) Wakil Presiden. Di tingkat Provinsi
terdapat Satuan Koordinasi Pelaksana (SATKORLAK) Penanggulangan
Bencana dan Pengungsi. Di tingkat Kabupaten/Kota terdapat Satuan
Pelaksana (SATLAK) Penanggulangan Bencana dan Pengungsi yang dibentuk
berdasarkan Perpres No.85/2005.
Dalam melakukan manajemen bencana khususnya terhadap bantuan
darurat dikenal ada dua model pendekatan yaitu konvensional dan
pemberdayaan. (Anderson & Woodrow, 1989). Perbedaan kedua
pendekatan tersebut terutama terletak kepada cara melihat : (1) kondisi
korban, (2) taksiran kebutuhan, (3) kecepatan dan ketepatan, (4) fokus yang
dibantukan; (5) target akhir.

Konvensional Pemberdayaan
Korban adalah tidak berdaya dan Korban adalah manusia yang aktif
membutuhkan barang yang harus dengan berbagai kemampuan dan
kita berikan kapasitas

Harus melakukan taksiran kebutuhan Taksiran kebutuhan dilakukan dengan


yang cepat / kilat seksama dengan memperhatikan
kapasitas yang ada
Kebutuhan begitu mendesak Sejak awal harus mempertimbangkan

Halaman 12
sehingga kecepatan dan efiensi dampak jangka panjang dari bantuan
adalah prioritas; tidak ada waktu luar dan perlu menghormati gagasan
untuk konsultasi dengan melibatkan dan kapasitas yang ada pada
masyarakat setempat masyarakat setempat

Fokus utama adalah benda fisik dan Walaupun kita memberikan benda-
material benda fisik dan material yang
dibutuhkan, kita harus mendukung
kapasitas dan sisi sosial/kelembagaan
serta sisi sikap/motivasi.

Tujuannya adalah agar keadaan Tujuannya adalah mengurangi


kembali normal kerentanan dalam jangka panjang dan
untuk mendukung peningkatan
kapasitas

1. Permasalahan Dan Kebijakan


a. Masyarakat melihat bencana sering disikapi sebagai topik yang tabu
untuk dibicarakan.
b. Sebagian masyarakat juga menilai bencana alam adalah kondisi alam
yang melekat pada bumi.
c. Bencana yang terjadi dari bencana satu ke bencana yang lainnya. Terus
demikian berulang-ulang .Seolah tidak pernah menjadi bahan
pelajaran, pengalaman berharga atau setidaknya bahan renungan dalam
menangani bencana.

Kompleksnya dampak yang diakibatkan oleh suatu bencana, tidak


hanya mencakup pada kerugian fisik material akan tetapi mencakup pula
permasalahan sosial - psikologis mereka yang menjadi korban bencana
dan masyarakat yang khawatir akan terjadi bencana yang sama. Kejadian
bencana yang datang secara berproses dan / atau tiba-tiba menimbulkan

Halaman 13
efek serius yang tidak hanya dirasakan oleh perorangan tetapi juga oleh
seluruh masyarakat terutama yang bertempat tinggal ditempat terjadinya
bencana. Tabel frekuensi kejadian bencana alam dan jumlah korban
berdasarkan time series 1988 - 2007 di Indonesia.
N TAHUN FREKUENSI JUMLAH KORBAN
O MENINGGAL
1. 1988 - 2003 647 Kejadian 2022
2. 2004 Gempa & Tsunami NAD dan Nias 220.000
3. 2005 281 Kejadian 2462
4. 2006 343 Kejadian 10292
5. 2007 342 Kejadian 888
Sumber : Depsos Februari 2008, walhi 2004.

2. Faktor Faktor Kerentanan Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian


Bencana Alam
a. Berada dilokasi berbahaya (lereng gunung api, sekitar tanggul sungai,
dll).
b. Kemiskinan.
c. Pertambahan penduduk yang pesat.
d. Perpindahan penduduk desa ke kota.
e. Perubahan budaya.
f. Kerusakan dan penurunan kualitas lingkungan.
g. Kurangnya informasi dan kesadaran.

3. Gambaran Ideal Penanggulangan Bencana


Sepuluh prinsip strategi Yokohama bagi pengurangan resiko bencana saat
ini:
(1) Pengkajian risiko bencana adalah langkah yang diperlukan untuk
penerapan kebijakan dan upaya pengurangan risiko bencana yang
efektif.
(2) Pencegahan dan kesiapsiagaan bencana sangat penting dalam
mengurangi kebutuhan tanggap bencana
(3) Pencegahan bencana dan kesiapsiagaan merupakan aspek terpadu dari
kebijakan pembangunan dan perencanaan pada tingkat nasional,
regional dan internasional
(4) Pengembangan dan penguatan kemampuan untuk mencegah,
mengurangi dan mitigasi bencana adalah prioritas utama dalam
Dekade Pengurangan Bencana Alam Internasional

Halaman 14
(5) Peringatan dini terhadap bencana dan penyebarluasan informasi
bencana yang dilakukan secara efektif dengan menggunakan sarana
telekomunikasi adalah faktor kunci bagi kesuksesan pencegahan dan
kesiapsiagaan bencana
(6) Upaya-upaya pencegahan akan sangat efektif bila melibatkan
partisipasi masyarakat lokal (lembaga adat dan budaya setempat),
nasional, regional dan internasional
(7) Kerentanan terhadap bencana dapat dikurangi dengan menerapkan
desain dan pola Pembangunan yang difokuskan pada kelompok-
kelompok masyarakat melalui pendidikan dan pelatihan yang tepat
(8) Masyarakat internasional perlu berbagi teknologi untuk mencegah,
mengurangi dan mitigasi bencana, dan hal ini sebaiknya dilaksanakan
secara bebas dan tepat waktu sebagai bagian dari kerjasama teknik
(9) Perlindungan lingkungan merupakan salah satu komponen
pembangunan berkelanjutan yang sejalan dengan pengentasan
kemiskinan dan merupakan upaya yang sangat penting dalam
pencegahan dan mitigasi bencana alam
(10) Setiap negara bertanggung jawab untuk melindungi masyarakat,
infrastruktur dan aset nasional lainnya dari dampak yang ditimbulkan
oleh bencana.

4. Pentingnya Pemberdayaan Peran Masyarakat Dalam


Penanggulangan Bencana
a. Penanggulangan bencana adalah tanggungjawab semua pihak, bukan
pemerintah saja. Setiap orang berhak untuk mendapatkan
perlindungan atas martabat, keselamatan dan keamanan dari bencana.
b. Masyarakat adalah pihak pertama yang langsung berhadapan dengan
ancaman dan bencana. Karena itu kesiapan masyarakat menentukan
besar kecilnya dampak bencana dimasyarakat meskipun terkena
bencana mempunyai kemampuan yang bisadi pakai dan dibangun
untuk pemuihan melalui keterlibatan aktif. Masyarakat adalah pelaku
penting untuk mengurangi kerentanan dengan meningkatkan
kemampuan diri dalam menangani bencana. Masyarakat yang
menghadapi bencana adalah korban yang harus siap menghadapi
kondisi akibat bencana.

Halaman 15
c. Masyarakat yang terkena bencana adalah pelaku aktif untuk
membangun kembali kehidupannya

5. Alternatif Kebijakan
Kriteria Pemilihan Alternatif
Kualitatif
Kriteria kualitatif adalah kriteria yang lebih melihat besaran potensi
sebagai sesuatu yang perlu di dayagunakan sebagai bagian dari
strategi penanggulangan bencana alam, yang meliputi :
(1) Pemanfaatan nilai-nilai lokal dan pengetahuan masyarakat
setempat yang terkait dengan penanggulangan bencana alam.
(2) Pemanfaatan inovasi pengetahuan dan pendidikan untuk
membangun budaya keselamatan dan ketahanan pada seluruh
tingkatan
(3) Pengurangan cakupan resiko bencana alam.
(4) Mekanisme penanggulangan bencana yang mencakup :
- Pengurangan resiko bencana alam sebagai prioritas nasional
maupun daerah
- Peningkatan pemahaman dan pengetahuan masyarakat lokal
tentang bencana yang akan terjadi
- Pembentukan Institusi pelaksana yang kuat, terkoordinasi
dan efektif
- Pengadaan dan perbaikan sistem peringatan dini
- Pengidentifikasian, pengkajian dan pemantauan bencana
alam
- Peningkatan kesiapan menghadapi bencana pada semua
tingkatan masyarakat agar tanggapan yang dilakukan lebih
efektif, sebaiknya lakukan juga kegiatan simulasi bencana
- Peningkatan kesadaran masyarakat dalam kesiapsiagaan
menghadapi bencana
- Pemberdayaan peran masyarakat dalam menghadapi
bencana yang didapat dari pengalaman (proses belajar dari
pengalaman sebelumnya)
- Respon pemerintah daerah dan aparatnya dari instansi sektor
dalam membangun kesiapsiagaan masyarakat
- Terlatih, terorganisasi dan terkoordinasinya tenaga lokal
(Desa/Kelurahan) dalam penanggulangan bencana alam

Halaman 16
- Dibangunnya kesamaan persepsi tentang kebencanaan
dilingkungan masyarakat.
Kuantitatif
Kriteria kuantitatif adalah sejumlah potensi yang terkait
dengan penggunaan teknologi dan suporting sistemnya sebagai
bagian dalam upaya penanggulangan bencana alam yang meliputi:
(1) Pemetaan Daerah Rawan Bencana (gempa bumi, tanah longsor,
bencana, gunung berapi, banjir, dll)
(2) Pengembangan Sistem Deteksi Dini (Early Warning System /
EWS) didaerah rawan bencana (termasuk pengenalannya
kepada masyarakat)
(3) Tersedianya lokasi yang dijadikan sebagai wilayah aman oleh
masyarakat sesuai dengan penempatan POSKO dari beberapa
lembaga yang mempunyai komitmen dalam penanggulangan
bencana alam
(4) Tersedianya kebutuhan dasar masyarakat yang terkena bencana
(5) Adanya dukungan pelayanan terhadap korban bencana
(khususnya di Departemen Sosial) dalam hal ini Direktorat
BSK Bencana Alam Ditjen Bantuan dan Jaminan Sosial
(6) Pendataan kegiatan secara simultan sesuai dengan konsentrasi
permasalahan dan kebutuhan yang ada
(7) Tanggap darurat terhadap korban bencana
(8) Cakupan pemulihan trauma pasca bencana

6. Pilihan - Pilihan Kebijakan


Dalam rangka upaya pemberdayaan peran masyarakat dalam
penanggulangan bencana alam perlu dikembangkan kebijakan sosial
sebagai berikut :
1. Peningkatan jumlah, pengetahuan dan kemampuan Karang Taruna,
PSM dan TKSM lainnya yang diarahkan menjadi Taruna Siaga
Bencana(TAGANA).
2. Peningkatan peran masyarakat dalam penanggulangan bencana alam
baik pada pra bencana, tanggap darurat dan pasca bencana.
3. Tata Cara Pemberdayaan Peran Masyarakat dalam Penanggulangan
Bencana Alam, sebagai penjabaran Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008, yang
berhubungan dengan prinsip penanggulangan bencana, pengaturan

Halaman 17
pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban masyarakat dalam
penanggulangan bencana alam.
4. Aktualisasi peran lembaga kemasyarakatan, keagamaan dan
kelembagaan sosial lokal lainnya untuk menjadi bagian dalam
kampanye sosialisasi pemberdayaan masyarakat dalam
penanggulangan bencana alam.

7. Alasan Pemilihan Kebijakan


Peningkatan peran masyarakat dalam penanggulangan bencana alam baik
pada pra bencana, tanggap darurat dan pasca bencana.
1. Ditinjau dari efisiensi, maka hasil yang dicapai lebih optimal dengan
memanfaatkan sumber daya manusia yang tersedia.
2. Ditinjau dari efektivitas, maka diharapkan melalui alternatif
kebijakan tersebut dapat mempercepat tercapainya tujuan fungsional
dalam upaya penanggulangan bencana alam, yaitu ketepatan,
kecepatan dan kesesuaian.
Keberlanjutan menjadi program / kegiatan yang dilaksanakan secara terus
menerus karena sifatnya masalah membutuhkan penanganan yang
berkelanjutan.

E. MEKANISME KOORDINASI SAAT BENCANA


Koordinasi dan pengendalian di lapangan pasca kerawanan bencana.
Koordinasi dan pengendalian merupakan hal yang sangat diperlukan dalam
penanggulangan dilapangan, karena dengan koordinasi yang baik diharapkan
menghasilkan output/ keluaran yang maksimal sesuai sumber daya yang ada
meminimalkan kesenjangan dan kekurangan dalam pelayanan, adanya
kesesuaian pembagian tanggung jawab demi keseragaman langkah dan
tercapainya standard penanggulangan bencana dilapangan yang diharapkan.
Koordinasi yang baik akan menghasilkan keselarasan dan kerjasama yang
efektif dari organisasi-organisasi yang terlibat penanggulangan bencana di
lapangan. Dalam hal ini perlu diperhatikan penempatan struktur organisasi
yang tepat sesuai dengan tingkat penanggulangan bencana yang berbeda, serta
adanya kejelasan tugas, tanggung jawab dan otoritas dari masing-masing
komponen/ organisasi yang terus menerus dilakukan secara lintas program dan
lintas sektor mulai saat persiapan, saat terjadinya bencana dan pasca bencana.

Halaman 18
Kegiatan pemantauan dan mobilisasi sumber daya dalam penanggulangan
bencana di lapangan pada prinsipnya adalah :
1. Melaksanakan penilaian kebutuhan dan dampak keselamatan secara cepat
(Rapid Health Assesment) sebagai dasar untuk pemantauan dan
penyusunan program mobilisasi bantuan.
2. Melaksanakan skalasi pelayanan dan mobilisasi organisasi yang terkait
dalam penanggulangan masalah akibat bencana dilapangan,
mempersiapkan sarana pendukung guna memaksimalkan pelayanan.
3. Melakukan mobilisasi tim pelayanan ke lokasi bencana (On site) beserta
tim surveilas yang terus mengamati keadaan lingkungan dan
kecenderungan perubahan-perubahan yang terjadi.
Kendala koordinasi :
1. Gangguan aksesibilitas
2. Gangguan keamanan
3. Pertimbangan politik
4. Keengganan untuk mengamati tujuan

Masalah khusus koordinasi :


1. Penundaan inisiatif
2. Keikutsertaan pemerintah sangat minim dengan pertimbangan :
a. tidak prioritas
b. adanya konflik pemerintah dengan pihak lain
c. badan internasional tidak sepaham dengan pemerintah
d. perbedaan tujuan karena adanya konflik internal dalam sector
pemerintah
3. Pembagian tugas tidak berjalan
4. Kerangka waktu tidak disepakati
5. Pengalihan tugas

Dalam melaksanakan penanggulangan bencana, maka penyelenggaraan


penanggulangan bencana meliputi :
1. Tahap Prabencana
Pada tahap pra bencana ini meliputi dua keadaan yaitu :
a. Situasi Tidak Terjadi Bencana
Situasi tidak ada potensi bencana yaitu kondisi suatu wilayah yang
berdasarkan analisis kerawanan bencana pada periode waktu tertentu
tidak menghadapi ancaman bencana yang nyata. Penyelenggaraan
penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi bencana meliputi :
1) perencanaan penanggulangan bencana;
2) pengurangan risiko bencana;
3) pencegahan;
4) pemaduan dalam perencanaan pembangunan;

Halaman 19
5) persyaratan analisis risiko bencana;
6) pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang;
7) pendidikan dan pelatihan; dan
8) persyaratan standar teknis penanggulangan bencana.
b. Situasi Terdapat Potensi Bencana
Pada situasi ini perlu adanya kegiatan-kegiatan kesiap siagaan,
peringatan dini dan mitigasi bencana dalam penanggulangan bencana.
1) Kesiapsiagaan
2) Peringatan Dini
3) Mitigasi Bencana

Kegiatan-kegiatan pra-bencana ini dilakukan secara lintas sector


dan multi stakeholder, oleh karena itu fungsi BNPB/BPBD adalah
fungsi koordinasi.

2. Saat Tanggap Darurat


Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat
meliputi:
a. Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan
sumber daya;
b. penentuan status keadaan darurat bencana;
c. penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana;
d. pemenuhan kebutuhan dasar;
e. perlindungan terhadap kelompok rentan; dan
f. pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.

3. Pasca Bencana
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap pasca bencana
meliputi:
a. rehabilitasi; dan
b. rekonstruksi.

4. Mekanisme Penanggulangan Bencana


Mekanisme penanggulangan bencana yang akan dianut dalam hal ini
adalah mengacu pada UU No 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan
Bencana dan Peraturan Pemerintah No 21 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan dan Penanggulangan Bencana. Dari peraturan perundang
- undangan tersebut di atas, dinyatakan bahwa mekanismetersebut dibagi
ke dalam tiga tahapan yaitu :
a. Pada pra bencana maka fungsi BPBD bersifat koordinasi dan
pelaksana,

Halaman 20
b. Pada saat Darurat bersifat koordinasi, komando dan pelaksana
c. Pada pasca bencana bersifat koordinasi dan pelaksana.

F. ALOKASI DAN PERAN PELAKU KEGIATAN PENANGGULANGAN


BENCANA
1. Peran dan Fungsi Instansi Pemerintahan Terkait
Dalam melaksanakan penanggulangan becana di daerah akan memerlukan
koordinasi dengan sektor. Secara garis besar dapat diuraikan peran lintas
sektor sebagai berikut :

a. Sektor Pemerintahan, mengendalikan kegiatan pembinaan pembangunan


daerah
b. Sektor Kesehatan, merencanakan pelayanan kesehatan dan medik
termasuk obat-obatan dan para medis
c. Sektor Sosial, merencanakan kebutuhan pangan, sandang, dan
kebutuhan dasar lainnya untuk para pengungsi

d. Sektor Pekerjaan Umum, merencanakan tata ruang daerah,


penyiapan lokasi dan jalur evakuasi, dan kebutuhan pemulihan
sarana dan prasarana.
e. Sektor Perhubungan, melakukan deteksi dini dan informasi
cuaca/meteorologi dan merencanakan kebutuhan transportasi dan
komunikasi
f. Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral, merencanakan dan
mengendalikan upaya mitigatif di bidang bencana geologi dan
bencana akibat ulah manusia yang terkait dengan bencana geologi
sebelumnya
g. Sektor Tenaga Kerja dan Transmigrasi, merencanakan pengerahan
dan pemindahan korban bencana ke daerah yang aman bencana.
h. Sektor Keuangan, penyiapan anggaran biaya kegiatan
penyelenggaraan penanggulangan bencana pada masa pra bencana
i. Sektor Kehutanan, merencanakan dan mengendalikan upaya
mitigatif khususnya kebakaran hutan/lahan
j. Sektor Lingkungan Hidup, merencanakan dan mengendalikan

Halaman 21
upaya yang bersifat preventif, advokasi, dan deteksi dini dalam
pencegahan bencana.
k. Sektor Kelautan merencanakan dan mengendalikan upaya mitigatif
di bidang bencana tsunami dan abrasi pantai.
l. Sektor Lembaga Penelitian dan Peendidikan Tinggi, melakukan
kajian dan penelitian sebagai bahan untuk merencanakan
penyelenggaraan penanggulangan bencana pada masa pra bencana,
tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi
m. TNI/POLRI membantu dalam kegiatan SAR, dan pengamanan saat
darurat termasuk mengamankan lokasi yang ditinggalkan karena
penghuninya mengungsi.

2. Peran dan Potensi Masyarakat


a. Masyarakat
Masyarakat sebagai pelaku awal penanggulangan bencana sekaligus
korban bencana harus mampu dalam batasan tertentu menangani
bencana sehingga diharapkan bencana tidak berkembang ke skala yang
lebih besar.
b. Swasta
Peran swasta belum secara optimal diberdayakan. Peran swasta cukup
menonjol pada saat kejadian bencana yaitu saat pemberian bantuan
darurat. Partisipasi yang lebih luas dari sektor swasta ini akan sangat
berguna bagi peningkatan ketahanan nasional dalam menghadapi
bencana.
c. Lembaga Non-Pemerintah
Lembaga-lembaga Non Pemerintah pada dasarnya memiliki
fleksibilitas dan kemampuan yang memadai dalam upaya
penanggulangan bencana. Dengan koordinasi yang baik lembaga Non
Pemerintah ini akan dapat memberikan kontribusi dalam upaya
penanggulangan bencana mulai dari tahap sebelum, pada saat dan
pasca bencana.
d. Perguruan Tinggi / Lembaga Penelitian
Penanggulangan bencana dapat efektif dan efisien jika dilakukan
berdasarkan penerapan ilmupengetahuan dan teknologi yang tepat.
Untuk itu diperlukan kontribusi pemikiran dari para ahli dari lembaga-

Halaman 22
lembaga pendidikan dan penelitian.
e. Media
Media memiliki kemampuan besar untuk membentuk opini publik.
Untuk itu peran media sangat penting dalam hal membangun
ketahanan masyarakat menghadapi bencana melalui kecepatan dan
ketepatan dalam memberikan informasi kebencanaan berupa
peringatan dini, kejadian bencana serta upaya penanggulangannya,
serta pendidikan kebencanaan kepada masyarakat.
f. Lembaga Internasional
Pada dasarnya Pemerintah dapat menerima bantuan dari lembaga
internasional, baik pada saat pra bencana, saat tanggap darurta maupun
pasca bencana. Namun demikian harus mengikuti peraturan dan
perundang-undangan yang berlaku.

3. Pendanaan
Sebagian besar pembiayaan untuk kegiatan-kegiatan
Penanggulangan bencana terintegrasikan dalam kegiatan-kegiatan
pemerintahan dan pembangunan yang dibiayai dari anggaran pendapatan
dan belanja nasional, propinsi atau kabupaten/kota. Kegiatan sektoral
dibiayai dari anggaran masing-masing sektor yang bersangkutan.
Kegiatan-kegiatan khusus seperti pelatihan, kesiapan, penyediaan
peralatan khusus dibiayai dari pos-pos khusus dari anggaran pendapatan
dan belanja nasional, propinsi atau kabupaten/kota. Pemerintah dapat
menganggarkan dana kontinjensi untuk mengantisipasi diperlukannya
dana tambahan untuk menanggulangi kedaruratan. Besarnya dan tatacara
akses serta penggunaannya diatur bersama dengan DPR yang
bersangkutan.Bantuan dari masyarakat dan sektor non-pemerintah,
termasuk badan-badan PBB dan masyarakat internasional, dikelola secara
transparan oleh unit-unit koordinasi.

G. KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA PARIWISATA HOTEL


1. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan Instansi
Vertikal di Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1988 Nomor 10,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3373);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2006 tentang Search and Rescue (SAR)

Halaman 23
3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2006 tentang Pedoman Umum
Mitigasi Bencana;
4. Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. PM.106/PW.006/MPK/2011.
5. Lampiran Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia
Nomor : PM.106/PW.006/MPEK/2011 Tentang Sistem Manajemen Pengamanan
Hotel pada Elemen Sembilan t e n t a n g Penanganan Keadaan Darurat berisi :
a. Usaha hotel wajib memiliki prosedur penanganan keadaan
darurat untuk menghadapi keadaan darurat dan diuji secara
berkala untuk dilakukan pada saat kejadian yang sebenarnya.
Pengujian prosedur penanganan keadaan darurat tersebut secara
berkala dilakukan oleh pekerja hotel yang memiliki kompetensi.
Untuk kegiatan pengujian prosedur penanganan keadaan darurat
seperti pada instalasi atau peralatan yang mempunyai potensi
ancaman besar, contohnya uji coba memadamkan kebakaran
dan mengatasi ancaman bom di hotel dikoordinasikan dengan
instansi terkait yang berwenang
b. Usaha hotel wajib menetapkan, menerapkan dan memelihara suatu
prosedur penanganan keadaan darurat untuk:
1) mengidentifikasi potensi terjadinya keadaan darurat;
2) menangani situasi darurat; dan
3) petunjuk pelaksanaan untuk tim manajemen krisis (crisis
management team).
c. Dalam perencanaan penanganan keadaan darurat, usaha hotel wajib
memasukkan tanggung jawab kepada pihak-pihak terkait.
d. Usaha hotel wajib mengantisipasi situasi darurat, mencegah dan
menurunkan dampak terhadap status keamanan.
e. Usaha hotel wajib menguji secara berkala prosedur penanganan
keadaan darurat agar tetap terlatih dengan melibatkan pihak-pihak
terkait.
Catatan dokumen tentang keadaan darurat mencakup: Rencana Pemulihan
Keadaan Darurat (Disaster Recovery Plan), Rencana Keberlangsungan Usaha
(Business Continuity Plan), Rencana Manajemen Keadaan Darurat
(Emergency Management Plan), Rencana Manajemen Krisis (Crisis
Management Plan), dan prosedur lainnya yang berkaitan. Kegiatan yang
dilakukan untuk pengendalian keadaan darurat di hotel antara lain:
1) Ancaman bom (bomb threat):

Halaman 24
a) pelatihan dasar penanganan bom (training explosive basic
training);
b) pemeriksaan (screening) tamu dan pekerja hotel
c) pemeriksaan latar belakang (background check) oleh pihak
usaha hotel terhadap pekerja hotel tetap dan tidak tetap,
outsourcing, pekerja kontraktor, supplier atau rekanan hotel;
d) pengembangan Sumber Daya Manusia (Human Resources
Development/HRD);
e) mempunyai peralatan penanganan bom;
f) melakukan patroli lingkungan;
g) hal-hal yang wajib dilakukan saat mendapat ancaman bom;
h) operator memancing pembicaraan/memperpanjang komunikasi
dengan pihak penelepon gelap;
i) operator menghubungi petugas keamanan (security)
j) petugas keamanan (security) menghubungi pihak polisi; dan
k) petugas keamanan (security) membuat laporan kejadian.
2) Pembunuhan;
a) menyediakan alat perekam CCTV;
b) petugas keamanan (security) melakukan patroli;
c) petugas hotel (bell boy) mengenali tamu & kamar; dan d)
membuat kunci akses di setiap lift/kamar.
3) Perampokan:
a) pekerja hotel dilarang memberikan informasi tentang tamu kepada
yang tidak berkepentingan;
b) kamar wajib selalu tertutup, walaupun sedang dibersihkan; dan
c) barang-barang berharga milik tamu wajib selalu disimpan di
kotak pengaman (safety deposit box)
4) Keracunan Makanan (Food Poisoning):
a) sistem pertama masuk pertama keluar (First In First Out
System/FIFO), masa kadaluarsa (expire date);
b) bahan baku (raw product);
c) sistem penyimpanan (system storage);
d) penanganan persiapan;
e) penyajian dengan aman.
5) Kebakaran.
Tersedianya:
a) peralatan kebakaran;
b) melengkapi alat-alat proteksi kebakaran;
c) alat pemadam api ringan;
d) sistem pipa air (hydrant);
e) sistem alat penyiram (sprinkler);
f) deteksi asap (smoke detector);
g) deteksi panas (head detector);
h) alat untuk mengumumkan informasi ke publik (public announcement);

Halaman 25
i) pintu keluar dalam keadaan darurat (emergency exit)
j) tempat berkumpul (assembly point);
k) tanda jalur evakuasi (evacuation route sign);
l) pemeliharaan (maintenance) peralatan; dan
m) merencanakan dan melaksanakan evakuasi lokal.
6) Penanganan tamu penting (Very Important Person/VIP).
Usaha hotel wajib:
a) melakukan pemeriksaan kepada pegawai yang berkaitan;
b) melakukan pemeriksaaan lokasi;
c) membentuk dan menjaga zona/area terlarang untuk umum;
d) menyediakan seluruh informasi yang berkaitan dengan
pegawai;
e) melakukan pemeriksaan kepada pegawai yang berkaitan;
f) melakukan pemeriksaaan lokasi;
g) membentuk dan menjaga zona/area terlarang untuk umum;
h) menyediakan seluruh informasi yang berkaitan dengan pegawai;
i) memasang dan menguji pengamanan dan perlengkapan komunikasi;
j) merancang posko pusat; dan melakukan pemeriksaan akhir.
7) Unjuk Rasa.
Usaha hotel wajib:
a) menghubungi pihak kepolisian setempat;
b) Tim Petugas Keamanan (Security Team) melokalisir area unjuk
rasa; dan
c) berkoordinasi dengan koordinator unjuk rasa.
8) Gempa Bumi (Earth Quake).
Usaha hotel wajib menetapkan aturan tentang:
a) saat gempa:
(1) diam di ruangan;
(2) lindungi kepala;
(3) berlindung di bawah meja; dan
(4) jauhi dari kaca.
b) setelah gempa:
(1) evakuasi seluruh tamu dan karyawan;
(2) pemeriksaan keadaan gedung;
(3) mengijinkan tamu dan karyawan kembali masuk apabila
dinyatakan aman.
9) Banjir (Flooding).
Usaha hotel wajib :
a) menyediakan pompa penghisap;
b) membersihkan area banjir; dan
c) menyediakan pasir-pasir dalam karung.

6. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan


Instansi Vertikal di Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

Halaman 26
1988 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3373);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2006 tentang Search and Rescue
(SAR)
8. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2006 tentang Pedoman
Umum Mitigasi Bencana;
9. Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No.
PM.106/PW.006/MPK/2011.
10. Lampiran Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik
Indonesia Nomor : PM.106/PW.006/MPEK/2011 Tentang Sistem
Manajemen Pengamanan Hotel pada Elemen Sembilan tentang
Penanganan Keadaan Darurat.

Halaman 27
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Pada Pusat terdapat Badan Koordinasi Nasional (BAKORNAS)
Penanggulangan Bencana dan Pengungsi dengan Ketua Pelaksana Harian
(Kalakhar) Wakil Presiden. Di tingkat Provinsi terdapat Satuan Koordinasi
Pelaksana (SATKORLAK) Penanggulangan Bencana dan Pengungsi. Di
tingkat Kabupaten/Kota terdapat Satuan Pelaksana (SATLAK)
Penanggulangan Bencana dan Pengungsi yang dibentuk berdasarkan
Perpres No.85/2005.
Dalam UU No.24/2007 tentang penanggulangan bencana
diamanatkan tentang pembentukanBadan Nasional Penanggulangan
Bencana dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah, dansampai
sekarang Peraturan Pemerintah yang mengaturnya belum terbit.
Dalam kerja penanggulangan bencana di tingkat daerah, biasa dilakukan:
1. Kantor/Dinas Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat
(Kesbanglinmas) yang jugamengorganisir Search and Rescue (SAR).
Bertugas meningkatkan kesiapsiagaan dan tanggap darurat bencana.
2. Dinas lainnya seperti Pertambangan dan Energi yang berfungsi sebagai
pengawas tatakelola pertambangan dan energi, mempunyai peta-peta
rawan bencana yang biasanya terkait dengan pertambangan (longsor,
bencana lingkungan). Kemudian Dinas Sosial, Bagian Kesra, DPU dsb
3. Palang Merah Indonesia di daerah masing-masing
4. Pusat Studi Bencana di Universitas terdekat yang dapat memberikan
peta ancaman, mikrozonasi, dan penelitian tentang kebencanaan yang
lain
5. Badan Meteorologi dan Geofisika untuk mengetahui tentang cuaca,
iklim dikaitkan dengan bencana, termasuk peringatan dini yang ada
untuk berbagai jenis bencana.Selain itu terdapat organisasi masyarakat
dan LSM baik nasional, lokal maupun internasionalyang concern
terhadap isu-isu penanggulangan bencana.
B. SARAN

Halaman 28
Kata kunci penanggulangan bencana: Serangkaian upaya
komprehensif dalam pra-bencana, saat bencana dan pasca bencana.
Pemerintah tidak boleh melupakan 3 unsur penting ini dalam
penanggulangan bencana. Indonesia secara peraturan dan kebijakan sudah
membuat 3 unsur penting tersebut, namun dalam pelaksanaan ini belum
terealisasi dengan sempurna. Dalam hal ini Pemerintah perlu mangadakan
promosi dan pelatihan pelatihan bagi kader- kader dan tim medis untuk
dapat terlibat dalam sehingga pelaksanaannya sempurna.

Halaman 29
DAFTAR PUSTAKA

Afrina Risa, 2017. Pemberdayaan Masyarakat dalam Kesiapsiagaan Menghadapi


Bencana (online). Available:
https://www.scribd.com/document/343049321/Bencana diakses pada
11 Mei 2017, pukul : 20.16 wita

Bappenas. 2014. Telaahan Sistem Terpadu Penanggulangan Bencana di Indonesia.


(online.available). from:
http://www.bappenas.go.id/index.php/download_file/view/14057/3930/
diakses pada 11 Mei 2017, pukul : 19.18 wita

Dhani Armanto, et.al, Mengelola Bencana, Buku Bantu Pendidikan


PengelolaanBencana untuk Anak Usia Sekolah Dasar, WALHI, 2006.

Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan bencana. 2008. Pedoman


Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana. Jakarta

Salinan Peraturan Presiden (mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.Ditetapkan di :


Jakarta pada tanggal : 26 Januari 2008.PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,ttd DR.H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO)

Halaman 30

Anda mungkin juga menyukai