Anda di halaman 1dari 13

PERAN STAKEHOLDER DALAM MANAJEMEN BENCANA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Mitigasi Bencana

Oleh:

Nugroho Adi Kurniawan


21040118410009

MAGISTER PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA


FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2019
Bencana adalah suatu proses alam atau bukan alam yang menyebabkan
korban jiwa, harta, dan mengganggu tatanan kehidupan. Longsor lahan merupakan
bencana alam geologi yang diakibatkan oleh gejala alami geologi maupun tindakan
manusia daiam mengelola lahan atau ruang hidupnya. Dampak dari bencana ini
sangat merugikan, baik dari segi lingkungan maupun sosial ekonomi.
Bencana alam merupakan suatu kejadian yang tidak dapat diprediksi kapan
akan terjadi, iklim yang tidak menentu seringkali berdampak pada terjadinya bencana
alam yang datang dengan tiba-tiba. Di Indonesia pada umumnya merupakan wilayah
rawan bencana alam, hampir disetiap tahun di setiap daerah mengalami berbagai
bencana alam. Menurut International Strategy for
Disaster Reduction (UN-ISDR-2002,2004) bencana alam adalah suatu
kejadian, yang disebabkan oleh alam atau karena ulah manusia, terjadi secara tiba-
tiba atau perlahan-lahan, sehingga menyebabkan hilangnya jiwa manusia, harta
benda, kerusakan lingkungan, kejadian ini terjadi di luar kemampuan masyarakat
dengan segala sumber dayanya. Sedangkan menurut UU No 24 Tahun 2007 Pasal 1
poin 1, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh
faktor alam dan/atau non-alam maupun faktor manusia sehingga menyebabkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
dampak psikologis.
Mitigasi bencana adalah suatu usaha memperkecil jatuhnya korban manusia
dan atau kerugian harta benda akibat peristiwa atau rangkaian peristiwa yang di
sebabkan oleh alam, manusia, dan oleh keduanya yang mengakibatkan jatuhnya
korban, penderitaan manusia, kerugian harta benda, kerusakan sarana dan prasarana
dan fasilitas umum serta menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan dan
penghidupan masyarakat. Mitigasi longsor pada prinsipnya bertujuan untuk
meminimumkan dampak bencana tersebut yang dimana kajian tersebut dilihat dari 2
aspek baik structural maupun non structural karena setiap kawasan di daerah rawan
longsor akan membentuk pola mitigasi bencana yang berbeda. Dengan dilatar
belakanginya permasalahan ini diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai
refrensi baik pemerintah maupun masyarakat dalam meningkatkan menjadi kota
tangguh bencana
Manajemen bencana sangat perlu untuk ditingkatkan,, data BNPB
menyebutkan sepanjang tahun 2016 bencana banjir merupakan bencana alam yang
paling banyak menelan korban jiwa serta berdampak pada kerusakan rumah maupun
fasilitas umum. Dampak dari bencana sangatlah besar, oleh sebab itu manajemen
bencana yang baik harus segera diterapkan. Menurut Carter (1991) penanggulangan
bencana alam (disaster management) perlu diselenggarakan melalui tahap-tahap:
Persiapan (preparation), Penghadangan/penanganan (Facing disaster), Perbaikan
akibat kerusakan (reconstruction), Pengfungsian kembali prasarana dan sarana sosial
yang rusak (Rehabilitation), dan Penjinak gerak alam yang menimbulkan bencana
(Mitigation). Sedangkan menurut Nurjanah dkk (2013) Manajemen bencana adalah
ilmu pngetahuan yang mempelajari bencana beserta segala aspek yang berkaitan
dengan bencana, terutama resiko bencana dan bagaimana menghindari resiko
bencana. Manajemen bencana merupakan proses dinamis tentang bagaiman
bekerjanya fungsi-fungsi manajemen yang kita kenal selama ini misalnya fungsi
planning, organizing, actuating, dan controlling.
Manajemen bencana khusunya pada mitigasi diterapkan, guna untuk
mencegah dampak dari bencana tersebut. Mitigasi perlu untuk dilakukan untuk
mengurangi resiko dari bencana serta bisa untuk meningkatkan kemampuan
masyarakat serta organisasi dalam penanganan bencana. Menurut UU No 24 Tahun
2007 Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik
melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan
menghadapi ancaman bencana.
Mitigasi sangat berperan dalam pengurangan resiko bencana, dengan
mitigasi dampak dari bencana dapat diminimalisir dengan baik. pengetahuan dan
kemampuan masyarakat maupun stakeholder dapat menigkat dalam penanganan
bencan, sehingga korban jiwa, kehilangan harta benda serta dampak dari bencana
lainnya dapat ditangani. Mitigasi yang koprehensif perlu adanya peran stakeholder
dalam penangannnya, karena tanpa peran stakeholder maka penyelenggaraan
mitigasi dalam bencana tidak akan berjalan. Dalam Pembagian Tanggung Jawab
Manajemen Bencana pada UU No. 24 Tahun 2007, pemeritah pusat, pemerintah
daerah, BNPB (Badan Nasional, Penanggulangan Bencana Nasional) lembaga usaha,
dan lembaga international adalah lembaga yang bertanggung jawab dalam mitigasi
bencana. Oleh sebab itu mitigasi perlu dilakukan dengan peran dan fungsi masing-
masing. Yang dimana manajemen penanggulangan bencana yang dilakukan oleh
pemerintah dilakukan melalui tahapan respon, pemulihan, dan pengembangan.
Dimana Tahapan paling dominan yang dilakukan melalui tindakan response sebelum
dan sesudah terjadinya bencana. Sedangkan penanggulangan bencana yang
dilakukan oleh masyarakat berupa partisipasi dalam bentuk buah pikiran, tenaga,
harta benda, keterampilan, dan kemahiran, serta partisipasi sosial. Partisipasi yang
dominan dilakukan oleh masyarakat adalah partisipasi tenaga dan partisipasi sosial.
manajemen bencana dilakukan melalui tindakan respon sebelum dan sesudah
terjadinya bencana oleh pemerintah. Peran dan fungsi stakeholder sangat dibutuhkan
dalam manajemen bencana khususnya dalam hal mitigasi, oleh karena itu penelitian
ini hendak mengeksplorasi peran-peran yang dilakukan oleh stakeholder dalam
Mitigasi Bencana, dengan stakeholder yang dimaksud adalah pihak pemerintah, pihak
lembaga non pemerintah dan pihak swasta.
Peranan (role) merupakan proses dinamis kedudukan (status). Apabila
seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, dia
menjalankan suatu peranan. Perbedaan antara kedudukan dengan peranan adalah
untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Keduanya tidak dapat dipisah-pisahkan karena
yang satu tergantung pada yang lain dan sebaliknya (Soekanto, 2009). Levinson
dalam Soekanto (2009) mengatakan peranan mencakup tiga hal, antara lain: (1)
Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat
seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-
peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan bermasyarakat. (2) Peranan
merupakan suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam
masyarakat sebagai organisasi. (3) Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku
individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat. Peranan merupakan hal
penting dalam kehidupan bermasyarakat, dengan menjalankan peran masing-masing,
maka fungsi pokok individu dapat dijalankan dengan baik. Pada dasarnya individu
memiliki peran yang berbeda-beda, baik yang diterapkan dalam diri sendiri,
lingkungan masyarakat maupun institusi/organisasi dimana individu itu berada.
Kaitannya dengan peran indiviudu dalam institusi/organisasi tentunya memiliki fungsi
dan tanggung jawab sebagai pemangku kepentingan (stakeholder). Stakeholder
merupakan pemangku kepentingan yang berperan dalam pengambilan keputusan
serta memiliki kekuasaan dalam mempengaruhi individu, kelompok mapun organisasi.
Menurut Budimanta dkk, 2008 Stakeholder merupakan individu, sekelompok manusia,
komunitas atau masyarakat baik secara keseluruhan maupun secara parsial yang
memiliki hubungan serta kepentingan terhadap perusahaan. Individu, kelompok,
maupun komunitas dan masyarakat dapat dikatakan sebagai stakeholder jika memiliki
karakteristik seperti yaitu mempunyai kekuasaan, legitimasi, dan kepentingan
terhadap perusahaan. Stakeholder merupakan pemangku kepentingan dalam
pengambilan keputusan dan kekuasaan dalam mempengaruhi individu maupun
organisasi, namun pada dasarnya peran stakeholder disesuaikan fungsi pokok dan
tanggung jawabnya sebagai stakeholder. Berkaitan dengan peran stakeholder dalam
bencana, Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang pembagian tanggung jawab
manajemen bencana bahwa stakeholder yang berperan ialah pemerintah pusat,
pemerintah daerah, BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), lembaga
usaha, dan lembaga internasional.
Penyelenggaraan mitigasi bencana seluruhnya dilaksanakan oleh
pemerintah. Pemerintah bertanggung jawab penuh dalam penyelesaian masalah
bencana, khususnya pada hal mitigasi bencana. Peran dan tanggung jawab
pemerintah telah diatur pada UU No. 24 Tahun 2007, bahwa penyelenggaraan
tanggung penanggulangan bencana diserahkan pada pemerintah pusat, pemerintah
daerah, dan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), namun pada pasal 28,
29, dan 30 UU No. 24 Tahun 2007 merumuskan lembaga usaha dan organisasi
international dalam penanggulangan bencana baik secara sendiri mapun bersama-
sama. Peran pemerintah pusat tersebar di berbagai Kementerian serta lembaga non
kementerian, masing-masing mempunya fungsi dan peran dalam hal mitigasi benca.
Peran serta semua lembaga pemerintah dalam mitigasi bencana menyebar
dihampir seluruh instansi/institusi, baik kementrian maupun lembaga non kementrian.
Hal ini menunjukan masing-masng lembaga mempunyai andil yang berbeda-beda
dalam mitagasi bencana. Penyelenggaraan mitigasi bencana , setiap lembaga saling
berkoordinasi antara satu sama lain. Selain pemerintah pusat, pemerintah daerah
mempunyai peran dalam hal mitigasi bencana, namun tugas dan fungsi yang
dilakukan searah dengan pemerintah pusat. Perbedaan penanganan mitigasi bencana
antara pemerintah pusat daerah ialah pada tata letak wilayah, pemerintah pusat
melaksanakan mitigasi secara menyeluruh di wilayah Indonesia, sedangkan
pemerintah daerah pada daerah otonomnya sendiri.
Fungsi dan peran pemerintah daerah sangat jelas dalam mitigasi bencana,
pemerintah daerah meyusun rencana penanggulangan bencana meliputi, mitigasi,
kegiatan pra bencana dan pasca benca. Kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah
daerah berkoordinasi pada semua instasi terkait yang mempunya fungsi dalam
mitigasi bencana . Pemerintah daerah juga melakukan koordinasi terhadap
penyusunan rencana penanggulangan bencana dengan BPBD, karena lembaga atau
institusi BPBD mempunyai kewenangan lebih terhadap mitigasi bencana. Pada
dasarnya pemerintah daerah dan BPBD mempunyai kedudukan yang sama dalam
penanganan mitigasi bencana, BPBD sendiri merupakan bentukan dari BNPB yang
dimana lembaga ini memiliki kewenangan yang besar terhadap penanggulangan
bencana yang bertanggung jawab langsung pada Presiden.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) mempunyai tugas dan fungsi yang langsung
dalam kewenangan penanganan mitigasi bencana . Secara khusus BNPB dan BPBD
menjadi pusat koordinasi seluruh instansi/institusi yang terkait dalam mitigasi bencana
. Penanggulangan bencana baik tingkat daerah mapun pusat, terlebih dahulu
berkoordinasi dengan BNPB dan BPBD.
Selain Pemerintah Pusat, pemerintah daerah dan BNPB, penanggulangan
bencana khusnya pada mitigasi bencana , dilakukan oleh lembaga swasta dan
international. Peran lembaga swasta dan international dalam mitigasi bencana antara
lain membantu pengumpulan bantuan untuk disalurkan kepada korban bencana;
membantu proses rehabilitasi dan rekonstruksi daerah yang terkena bencana; dan
membantu penyediaan data berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan secara
independent oleh lembaga yang bersangkutan.
Dapat dilihat dari fungsi, tugas dan peran masing-masing stakeholder dalam
penanganan mitigasi bencana , baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, BNPB dan
lembaga swasta dan international, memiliki fungsi, tugas dan peran yang bebeda-
beda. Namun dapat dlihat dari uraian yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa, BNPB
dan BPBD merupakan instasi/lembaga yang tugas, fungsi dan perannya secara
keseluruhan bergerak pada penanggulangan bencana khusnya dalam mitigasi
bencana.
Mengacu uu 24 tahun 2007 terdapat peran berbagai pihak dalam
penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
1. Peran Pemerintah dan Pemerintah Daerah
Pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab dalam
penyelenggaraan PB. Secara khusus tanggung jawab itu dilaksanakan oleh Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di tingkat pemerintah pusat dan Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di tingkat pemerintah daerah.
Tugas BNPB antara lain (1) Memberikan pedoman dan pengarahan terhadap
PB, (2) Menetapkan standarisasi dan kebutuhan penyelenggaraan PB, (3)
Menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat, (4) Melaporkan
penyelenggaraan PB kepada Presiden 1 kali per bulan dalam kondisi normal dan setiap
saat dalam kondisi darurat bencana, (5) Menggunakan dan
mempertanggungjawabkan sumbangan/bantuan nasional dan internasional, (6)
Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), (7) Melaksanakan kewajiban lain sesuai
dengan peraturan perundang-undangan, dan (8) Menyusun pedoman pembentukan
BPBD.
Sementara itu tugas BPBD antara lain (1) Memberikan pedoman dan
pengarahan sesuai dengan kebijakan pemerintah daerah dan BNPB terhadap PB, (2)
Menetapkan standarisasi dan kebutuhan penyelenggaraan PB, (3) Menyusun,
menetapkan, dan menginformasikan peta rawan bencana, (4) Menyusun dan
menetapkan prosedur tetap (protap) PB, (5) Melaksanakan penyelenggaraan PB di
wilayahnya, (6) Melaporkan penyelenggaraan PB kepada kepala daerah 1 kali per
bulan dalam kondisi normal dan setiap saat dalam kondisi darurat bencana, (7)
Mengendalikan pengumpulan dan penyaluran uang dan barang, (8)
Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dan (9) Melaksanakan kewajiban lain sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
2. Peran Masyarakat
Masyarakat terdiri dari individu-individu dan kelompok-kelompok. Di dalam
UU 24/2007 tidak ada definisi khusus tentang masyarakat, tapi pengertian masyarakat
itu secara umum terdapat dalam terdapat dalam pengertian “setiap orang adalah
orang perseorangan, kelompok orang, dan/atau badan hukum.” Di dalam
penyelenggaraan PB ada hak dan kewajiban masyarakat.
Masyarakat (setiap orang) berhak untuk (1) Mendapatkan perlindungan
sosial dan rasa aman, khususnya kelompok masyarakat rentan bencana, (2)
Mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan ketrampilan, (3) Mendapatkan informasi
secara tertulis dan/atau lisan, tentang kebijakan PB, (4) Berperan serta dalam
perencanaan, pengoperasian, dan pemeliharaan program penyediaan bantuan, (5)
Berpartisipasi dalam pengambilan keputusan khususnya yang berkaitan dengan diri
dan komunitasnya, (6) Melakukan pengawasan, (7) Mendapatkan bantuan
pemenuhan kebutuhan dasar (khusus kepada yang terkena bencana), dan (8)
Memperoleh ganti kerugian karena terkena bencana yang disebabkan oleh kegagalan
konstruksi.
Sementara itu kewajiban masyarakat adalah (1) Menjaga kehidupan sosial
masyarakat yang harmonis, (2) Memelihara keseimbangan, keserasian, keselarasan,
dan kelestarian fungsi lingkungan hidup, (3) Melakukan kegiatan penanggulangan
bencana, dan (4) Memberikan informasi yang benar kepada publik tentang PB.
Secara nyata peran masyarakat itu terlibat pada pra bencana, saat bencana,
dan pascabencana. Peran masyarakat pada saat pra bencana antara lain (1)
Berpartisipasi pembuatan analisis risiko bencana, (2) Melakukan penelitian terkait
kebencanaan, (3) Membuat Rencana Aksi Komunitas, (4) Aktif dalam Forum PRB, (5)
Melakukan upaya pencegahan bencana, (6) Bekerjasama dengan pemerintah dalam
upaya mitigasi, (7) Mengikuti pendidikan, pelatihan dan penyuluhan untuk upaya PRB,
dan (8) Bekerjasama mewujudkan Desa/Kelurahan Tangguh Bencana.
Peran masyarakat pada saat bencana antara lain (1) Memberikan informasi
kejadian bencana ke BPBD atau iInstansi terkait, (2) Melakukan evakuasi mandiri, (3)
Melakukan kaji cepat dampak bencana, dan (4) Berpartisipasi dalam respon tanggap
darurat sesuai bidang keahliannya.
Sementara itu peran masyarakat pada saat pascabencana adalah (1)
Berpartisipasi dalam pembuatan rencana aksi rehabilitasi dan rekonstruksi, dan (2)
Berpartisipasi dalam upaya pemulihan dan pembangunan sarana dan prasarana
umum.

Membangun partisipasi masyarakat dalam pengurangan resiko bencanaperlu


dilakukan dalam siklus manajemen bencana secara menyeluruh, dari mulai
kesiapsiagaan, masa sebelum bencana , masa selama bencana dan masa setelah
bencana . Pada aspek kesiapsiagaan dilakukan sosialisasi, pembuatan pemetaan
swadaya, identifikasi potensi komunitas lokal dan penguatan kelompok masyarakat
serta pemahaman penanganan kepada masyarakat. Partisipasi masyarakat yang bisa
dilakukan pada masa sebelum bencana berupa pemberian peringatan dini kepada
komunitas sekitar, penanganan evakuasi korban, pencarian dan penyelamatan korban
, pertolongan pertama pada korban , penyiapan dapur umum. Pada masa selama ,
partisipasi masyarakat berupa: Penyiapan tenda darurat untuk penanganan korban ,
kewaspadaan pada area bencana, pengumpulan, pengelolaan, dan penyaluran
berbagai bantuan dan pelaporan kejadian kepada pihak berwenang. Bentuk
paritisapasi masyarakat pada masa paska bencana bisa dilakukan dengan: pencatatan
berapa jumlah korban dan kerugian akibat, penguburan korban, pemberian trauma
healing kepada komunitas, perbaikan infrastruktur, pengobatan korban di area ruma
pertolongan, pelaporan penanganan ke pihak berwenang

3. Peran Lembaga Usaha


Lalu bagaimana dengan peran lembaga usaha dalam PB? Lembaga usaha
mendapatkan kesempatan dalam penyelenggaraan PB, baik secara tersendiri maupun
secara bersama dengan pihak lain. Dalam aktivitasnya lembaga usaha menyesuaikan
kegiatannya dengan kebijakan penyelenggaraan penanggulangan bencana. Lembaga
usaha juga berkewajiban menyampaikan laporan kepada pemerintah dan/atau badan
yang diberi tugas melakukan PB serta menginformasikannya kepada publik secara
transparan. Selain itu lembaga usaha berkewajiban mengindahkan prinsip
kemanusiaan dalam melaksanakan fungsi ekonominya dalam PB.
Peran nyata lembaga usaha juga terlibat pada pra bencana, saat bencana
dan pasca bencana. Peran lembaga usaha pada saat pra bencana antara lain (1)
Membuat kesiapsiaagaan internal lembaga usaha (business continuity plan), (2)
Membantu kesiapsiagaan masyarakat, (3) Melakukan upaya pencegahan bencana,
seperti konservasi lahan, (4) Melakukan upaya mitigasi struktural bersama pemerintah
dan masyarakat, (5) Melakukan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan untuk upaya
PRB, (6) Bekerjasama dengan pemerintah membangun sistem peringatan dini, dan
(7) Bersinergi dengan Pemerintah dan LSM/Orsosmas mewujudkan Desa/Kelurahan
Tangguh Bencana.
Sementara itu peran lembaga usaha pada saat bencana antara lain (1)
Melakukan respon tanggap darurat di bidang keahliannya, (2) Membantu
mengerahkan relawan dan kapasitas yang dimilikinya, (3) Memberikan dukungan
logistik dan peralatan evakuasi, dan (4) Membantu upaya pemenuhan kebutuhan
dasar.
Sedangka peran lembaga usaha pada saat pascabencana antara lain (1)
Terlibat dalam pembuatan rencana aksi rehabilitasi dan rekonstruksi, (2) Membantu
pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi sesuai dengan kapasitasnya, dan (3)
Membangun sistem jaringan pengaman ekonomi.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2011. Manajemen Penanganan Bencana di Jawa Tengah, Dewan Riset Daerah Jawa
Tengah.
Badan Nasional Penenggulangan Bencana, 2010.Rencana Nasional Penanggulangan Bencana
Nasional 2010-2014. Jakarta: BNPB,
Badan Nasional Penenggulangan Bencana, 2012.b. Data Informasi Bencana Indonesia,
Jakarta: BNPB,
Birkmann, J. (2006.b): Measuring Vulnerability to Natural Hazards. Towards disaster resilient
societies Tokyo, New York, Paris, UNU Press.
Burhan, Bungin, 2011. Metodologi Penelitian Kuantitatif: Komunikasi, Ekonomi, dan Kebijakan
Publik serta Ilmu sosial lainnya, Jakarta: Prenada Media Group
Cutter, S.L.; Boruff, B. J.; Shirley, W.L. (2003): Social vulnerability to environmental hazards.
In Social Science Quarterly. Vol 84. pp. 242-261
Damm, M (2010) Evolution of Vulnerability concepts. In Mapping So-cial-Ecological
Vulnerability to Flooding. A sub-National Approach for Germany.
Damm, M. (2010): Mapping Social-Ecological Vulnerability to Flooding,
Pelling, M. 2003. The Vulnerability of Cities: Natural Disaster and Social Resilience. Earthscan
Publications Ltd.
Pelling.M (2003): The Vulnerability of Cities: Natural disasters and So-cial Resilience.
Plate, 2012. Flood risk and flood management, J. Hydrol, Vol.267, pp. 2-11, 2002
Setywan, A.A., Muzakar Isa, dan Farid Wajdi, 2012 Model Pengembangan Manajemen Resiko
Bencana dan Potensi Pembiayaan Mikro Pasca Bencana bagi UMKM Di Kota Surakarta, Laporan
Penelitian PPMB FE UMS – AIFDR AUSAID
Suprapto, 2011, Statistik Pemodelan Bencana Banjir Indonesia (Kejadian 2002-2010), Jurnal
Penanggulangan Bencana Volume 2 Nomer 2, Tahun 2011,
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan
Bencana
Lampiran 1 :
Mitigasi Kesiapsiagaan Tanggap Rehab Rekon
Bencana
Individual a b c d
Melakukan Mengikuti Berpartisipasi Berpartisipasi
evakuasi mandiri pendidikan, dalam respon dalam
pelatihan dan tanggap pembuatan
penyuluhan darurat sesuai rencana aksi
untuk upaya bidang rehabilitasi dan
PRB keahliannya rekonstruksi
Kolektif w x y Z
Membuat Bekerjasama Melakukan kaji Berpartisipasi
Rencana Aksi mewujudkan cepat dampak dalam upaya
Komunitas Desa/Kelurahan bencana pemulihan dan
Tangguh pembangunan
Bencana sarana dan
prasarana
umum
Sistem aw bx cy dz
Menyusun, Melakukan Membuat early Membantu
menetapkan, dan pendidikan, Warning pelaksanaan
menginformasikan pelatihan dan System rehabilitasi dan
peta rawan penyuluhan rekonstruksi
bencana untuk upaya sesuai dengan
PRB, kapasitasnya
Lampiran 2 :
STR vs NSTR BUD vs PAR vs TOP IND vs PRIV vs PUB
T/IPTEK
STR NSTR BUD T/IP PAR TOP IND PRIV PUB
a    
b      
c    
d     
w      
x       
y    
z     
aw    
bx      
cy    
dz    

Anda mungkin juga menyukai