Anda di halaman 1dari 6

NASKAH POLICY BRIEF

KEBIJAKAN PENGURANGAN KANTONG PLASTIK SEKALI


PAKAI DI DKI JAKARTA

Disusun Oleh:
Andyka Cahya K ( )
Adna Dante ( )
Elok ( )
Riska ( )
Fitratul ( )
POLICY BRIEF
Kebijakan Pengurangan Kantong Plastik Sekali Pakai di DKI Jakarta

Ringkasan Eksekutif
Pada saat ini Negara Indonesia memiliki masalah yang cukup serius yang berhubungan
dengan sampah. Banyak dari sampah kantong plastik tidak sampai ke tempat pembuangan sampah
dan hanya sedikit yang didaur ulang, sehingga banyak sampah kantong plastik tersebut yang
berakhir pada saluran air, sungai, sampai akhirnya ke laut. Kondisi saat ini menimbulkan banyak
permasalahan lingkungan yang terjadi karena kantong plastik yang memerlukan waktu yang sangat
lama untuk terurai di alam. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan
beberapa Surat Edaran dan merancang Peraturan Menteri terkait kebijakan penggunaan kantong
plastik di pasar modern. Kebijakan tersebut menjawab pertanyaan yang salah, tidak tepat sasaran,
karena hanya ditujukan untuk ritel dan pasar modern. Beberapa opsi kebijakan yang ditawarkan
antara lain:
Opsi I : Pemberlakuan kebijakan cukai pada produk kantong plastik
Opsi II : Pengurangan penggunaan kantong plastik dengan penggunaan tas belanja sendiri atau tas
belanja ramah lingkungan hingga pengenaan biaya untuk kantong plastik dalam rangka menekan
perilaku masyarakat dalam mengkonsumsi kantong plastik sekali pakai
Opsi III : Pemberian sanksi administratif bagi pengelola mall, toko swalayan dan pasar rakyat yang
menyediakan kantong plastik

Latar Belakang Masalah


Sampah plastik menjadi sebuah persoalan lingkungan karena jumlahnya yang meningkat
secara signifikan dalam 10 tahun terakhir. Indonesia merupakan negara kedua di dunia yang
menghasilkan sampah plastik terbesar ke laut (KLHK, 2016). Data Asosiasi Industri Plastik
Indonesia (INAPLAS) dan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan sampah plastik di Indonesia
mencapai 64 juta ton per tahun. Sebanyak 3,2 juta ton di antaranya merupakan sampah plastik
yang dibuang ke laut. Sumber yang sama menyebutkan, kantong plastik yang terbuang ke
lingkungan sebanyak 10 miliar lembar per tahun atau sebanyak 85.000 ton kantong plastik.
Sebelumnya, berdasarkan data The World Bank tahun 2018, sebanyak 87 kota di pesisir Indonesia
memberikan kontribusi sampah ke laut diperkirakan sekitar 1, 27 juta ton. Dengan komposisi
sampah plastik mencapai 9 juta ton dan diperkirakan sekitar 3,2 juta ton adalah sedotan plastik.
Indonesia memiliki populasi pesisir sebesar 187,2 juta yang setiap tahunnya menghasilkan 3,22
juta ton sampah plastik yang tidak terkelola dengan baik. Sekitar 0,48-1,29 juta ton dari sampah
plastik tersebut diduga mencemari lautan. Data itu juga mengatakan bahwa Indonesia merupakan
negara dengan jumlah pencemaran sampah plastik ke laut terbesar kedua di dunia. Dimana Jakarta
sebagai ibukota negara Indonesia dengan jumlah penduduk yang sedemikian banyak juga menjadi
penyumbang terbesar dari adanya sampah plastik ini.
Kantong plastik menjadi salah satu yang paling disoroti dalam diskursus sampah plastik
dan pengelolaan sampah. Harganya yang ekonomis, mudah dipakai dan mudah ditemukan
membuat kantong plastik menjadi sebuah hal yang tidak terpisahkan dalam kehidupan manusia.
Hampir semua kemasan makanan dan minuman serta pembungkus barang memanfaatkan
penggunaan plastik dan kantong plastik, begitu pula yang lainnya. Namun, karena penggunaan
kantong plastik yang murah dan mudah didapatkan ini oleh mayoritas penduduk di dunia
menimbulkan sebuah masalah baru, terutama bagi lingkungan. Dimana kantong plastik banyak
bermuara di laut dan mencemarkan perairan. Diperparah dengan fakta bahwa sampah plastik
memerlukan waktu yang sangat lama, butuh ratusan bahkan ribuan tahun untuk dapat terurai secara
sempurna, itulah mengapa 57 persen sampah yang ditemukan di pantai berupa sampah plastik.
Sebanyak 46 ribu sampah plastik mengapung di setiap mil persegi samudera bahkan kedalaman
sampah plastik di samudera pasifik sudah mencapai hampir 100 meter. Para ilmuwan dari CSIRO
(Commonwealth Scientific and Industrial Research Organization) dan Imperial College London
mengatakan bahwa 90% dari burung laut terdapat plastik di perutnya. Diperkirakan jumlah
tersebut akan bertambah menjadi 99% pada tahun 2050.

Fakta dan Kondisi yang ada (data-data)


Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang, Bekasi, merupakan muara
pembuangan sampah akhir bagi warga DKI. Tempat pembuangan sampah yang telah beroperasi
sejak tahun 1989 ini memiliki luas sekitar 104,7 hektar. Sesuai dengan Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum No. 21 Tahun 2006 yang mengharuskan TPA di kota besar dan metropolitan
direncanakan sesuai metode lahan urug saniter, TPST Bantar Gebang menggunakan zona seluas
81,4 hektar sebagai Sanitary Landfill, sedangkan 23,3 sisanya digunakan sebagai sarana prasarana
Dinas Lingkungan Hidup Pemprov DKI Jakarta. Berdasarkan data beberapa tahun terakhir, ada
sekitar 53 juta ton sampah dari Jakarta yang ditampung di TPST. Pada tahun 2019, Dinas
Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta membuat kajian terhadap ketinggian tumpukan sampah di
TPST Bantar Gebang dan empat zona aktif masing-masing memiliki ketinggian 33,59 meter; 46,99
meter; 44,50 meter; dan 48,99 meter. Menurut Asep Kuswanto, Kepala Unit Pengelola Sampah
Terpadu DLH DKI Jakarta, dalam melakukan kajian pihaknya menargerkan agar tumpukan
sampah di empat zona tersebut tidak melebihi 50 meter atau setara gedung dengan ketinggian 17
lantai. Hal ini dikarenakan tumpukan sampah tersebut dapat meningkatkan resiko kebakaran dan
longsoran sampah. Sayangnya, dua tahun sejak kajian tersebut dilakukan ketinggian tumpukan
sampah di empat zona TPST hampir mencapai 50 meter. Selama dua tahun terakhir, tercatat setiap
harinya ada sekitar 1.200 truk atau kurang lebih 7.400-7.700 ton sampah yang hilir mudik ke TPST
Bantar Gebang. CNN Indonesia melansir sebanyak 50 persen sampah adalah sampah organik
berupa sisa makanan, disusul sampah plastik, kertas, dan sampah lainnya. Hal ini menunjukkan
bahwa saat ini adalah masa kritis bagi TPST Bantar Gebang dan harus segera dicarikan solusinya.
Asep menjelaskan bahwa Pemprov DKI setidaknya memiliki tiga strategi pengelolaan sampah di
Jakarta, yakni strategi Hulu, Tengah, dan Hilir. Strategi Hulu, Pemprov mengkampanyekan kepada
masyarakat untuk memilah sampah sejak dari rumah. Strategi Hilir, akan dilakukan di Bantar
Gebang dengan cara membangun dua fasilitas pengolahan sampah. satu fasilitas untuk mengolah
sampah lama dan fasilitas lainnya untuk mengolah sampah baru. Sedangkan pada Strategi Tengah,
pembangunan empat Fasilitas Pengolahan Sampah Antara (FPSA) atau Intermediate Treatment
Facility (ITF). Namun hingga saat ini, proses pembangunan empat ITF yang diperkirakan akan
memakan waktu tiga tahun belum juga dimulai karena Direktur Eksekutif Walhi Jakarta, Tubagus
Soleh Ahmadi, menolak pembangunan tersebut dengan alasan pembangunan ITF dikhawatirkan
akan memunculkan masalah baru di Jakarta, yaitu pencemaran udara. Menurutnya hal ini juga
sudah menyalahi Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 Pasal 29 Huruf g tentang larangan
“membakar sampah yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis pengelolaan sampah”.
Aktivitas masyarakat yang erat kaitannya dengan penggunaan plastik, seperti kemasan
makanan atau minuman; sedotan plastik; dan kemasan paket online, menyebabkan lonjakan tinggi
jumlah sampah plastik di Jakarta. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh LIPI, pandemi
Covid-19 memunculkan sampah APD yang mengambil bagian sebesar 16 persen dari sampah
plastik di Teluk Jakarta. Demi menangani masalah ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
menerapkan kebijakan baru mengenai pelarangan penggunaan kantong plastik sekali pakai mulai
tanggal 1 Juli 2020. Peraturan ini tertera dalam Peraturan Gubernur No. 142 Tahun 2019 tentang
Kewajiban Penggunaan Kantong Belanja Ramah Lingkungan pada Pusat Perbelanjaan, Toko
Swalayan, dan Pasar Rakyat di wilayah DKI Jakarta. Pemprov DKI Jakarta telah melakukan
sosialisasi kebijakan ini sejak tahun 2017. Sosialisasi dilakukan dengan cara mendatangi langsung
pusat perbelanjaan, menyebarkan poster dan spanduk, dan pemberitaan langsung lewat media.
Kebijakan yang berlaku ditengah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Work From
Home (WFH) ini sulit diterapkan. Kegiatan PSBB dan WFH yang mengharuskan kita untuk tetap
berada dirumah memberikan dampak terhadap perilaku belanja (online) yang kian meningkat.
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh LIPI, sampah plastik bertambah di tengah pembatasan
sosial, transaksi belanja online yang berbentuk paket naik 62 persen, dan belanja layanan pesan
antar makanan siap saji naik sebesar 47 persen. Sampah didominasi oleh plastik berupa bubble
wrap dan selotip. Kebijakan ini juga masih memperbolehkan kemasan plastik sekali pakai yang
biasa digunakan untuk kemasan pangan, karena belum ada pengganti yang lebih ramah
lingkungan. Sehingga pengelola, pelaku usaha, hingga konsumen masih banyak yang
menggunakan plastik jenis ini. Kemudian target dari kebijakan ini harusnya adalah seluruh
pengelola dan pelaku usaha di pusat perbelanjaan dan pasar yang berada di DKI Jakarta, tetapi
banyak masyarakat mengira bahwa kebijakan ini hanya berlaku untuk toko swalayan dan pusat
perbelanjaan saja. Sehingga pedagang kaki lima dan pelaku usaha di pasar masih menggunakan
kantong plastik sekali pakai. Kebijakan ini memang menyertakan sanksi berupa teguran, denda
sebesar Rp5 juta s/d 25 juta, hingga pencabutan izin usaha. Tetapi di sisi lain kebijakan ini juga
diperkirakan akan membuat sekitar 5.000 orang kehilangan pekerjaannya. Wakil Ketua Umum
Asosiasi Industri Plastik Indonesia (Inaplas), Budi Susanto Sadiman, memperhitungkan dampak
kebijakan ini hingga ke industri bahan baku. Ia memprediksi industri bahan baku plastik bisa
kehilangan pasar sebesar Rp2,1 miliar per tahun. Budi sangat menyayangkan kebijakan ini
ditetapkan di tengah pandemi dan ketidakstabilan ekonomi khususnya di daerah DKI Jakarta. Ia
mengklaim, pihaknya pernah memberikan masukan terkait sampah tak menghasilkan buangan
atau zero waste kepada Pemprov DKI Jakarta, tetapi Pemprov menolak. Direktur Jenderal
Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun dan Berbahaya, Rosa Vivien Ratnawati, pernah
mengatakan bahwa sampah akan terus menjadi persoalan jika tidak ada strategi tepat dalam
penanganan dan pengolahan.
Saat ini Indonesia memiliki target untuk mengurangi sampah plastik di laut hingga 70
persen pada tahun 2025. Agenda ini menjadi salah satu program kerja yang diwujudkan melalui
dokumen Rencana Aksi Nasional (RAN) Penanganan Sampah Plastik Laut Tahun 2018-2025.
Agenda ini juga menggunakan Peraturan Presiden No. 83 Tahun 2018 tentang Pengelolaan
Sampah Laut sebagai panduan. Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi RI, Luhut Binsar
Pandjaitan menekankan, Indonesia berkomitmen untuk mengimplementasikan program
pembangunan berkelanjutan di semua lini, termasuk dengan terus mengurangi limbah plastik baik
di laut atau darat. Selain mengkoordinasikan seluruh kementerian terkait, target tersebut
membutuhkan keterlibatan pihak swasta dan komunitas masyarakat. pihak swasta dibutuhkan,
karena mereka mampu mendesain pengganti produk plastik sekali pakai. Kemudian, penanganan
sampah plastik ini memerlukan penanganan yang terintegrasi seperti yang diterapkan pada
program Citarum Harum di Jawa Barat. Unit paling kecil dalam menerapkan pengelolaan sampah
adalah rumah. Sesuai dengan Undang Undang No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah
yang Diubah dari Kumpul Angkut Buang menjadi Daur Ulang, di mana setiap rumah harus
menerapkan prinsip 3R yaitu reduce, reuse, recycle. kebijakan ini diperjelas dalam Peraturan
Presiden No. 97 Tahun 2017 tentang Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah
Tangga. Acuan lain yang digunakan dalam pengurangan sampah adalah Surat Edaran Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan
Berbahaya dan beracun Nomor: S. 1230/PSLB3-PS/2016 tentang Harga dan Mekanisme
Penerapan Kantong Plastik Berbayar. Dalam SE di atas, disebutkan bahwa harga satu kantong
plastik minimal Rp200, -. Dalam kebijakan ini menjelaskan dalam rangka mengurangi sampah
yang khususnya sampah plastik ialah dengan cara menerapkan sistem kantong plastik berbayar di
seluruh pasar di Indonesia. Dengan adanya kebijakan ini diharapkan dapat menekan timbunan
sampah plastik yang menjadi salah satu faktor pencemaran lingkungan.
Beberapa ketentuan yang diatur dalam SE 1230/2016 antara lain:
1. Pengusaha ritel tidak lagi memberi kantong plastik secara gratis kepada pembeli. Jika
konsumen membutuhkan kantong plastik, konsumen tersebut diwajibkan untuk membayar
2. Berkaitan dengan harga kantong plastik, disepakati harga Rp200, - per kantong plastik
termasuk PPN selama uji coba penerapan
3. Harga kantong plastik akan dievaluasi oleh Pemerintah serta Pemerintah Daerah dengan
APRINDO setelah masa uji coba selama 3 bulan
4. Jenis kantong plastik yang disediakan disepakati kantong plastik yang menimbulkan
dampak paling minimal pada kerusakan lingkungan
5. APRINDO sepakat akan berkomitmen dalam mendukung kegiatan pemberian intensif
kepada konsumen, pengelolaan sampah, serta pengelolaan lingkungan hidup dengan
program tanggung jawab sosial perusahaan dengan mekanisme yang diatur oleh masing
masing perusahaan ritel
6. Ketentuan tersebut juga berlaku bagi usaha ritel modern yang tidak masuk anggota
APRINDO

Kesimpulan dan Urgensi


Dewasa ini kenaikan jumlah sampah plastic semakin tak tertangani. Bagaimana tidak
hampir semua kemasan makanan, minuman, bungkus kemasan (deterjen, sampo, sabun, dll),
maupun kantong plastic sebagai pembungkus barang menggunakan bahan dasar plastic. Harganya
yang ekonomis, mudah dipakai dan mudah ditemukan membuat kantong plastic menjadi sebuah
hal yang tidak lagi dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Di Indonesia sendiri penggunaan
kantong plastic juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat sehari-
harinya. Kian hari tumpukan kantong plastic yang akhirnya menjadi sampah, menyebabkan
permasalah lingkungan serius. terlebih Indonesia hanya memiliki kemampuan daur ulang sebesar
9-15% dari total 8,69 juta ton sampah plastik dalam negeri per tahunnya (KLHK,2018).
Sedikitnya sampah kantong plastic yang dapat didaur ulang, menyebabkan banyaknya
sampah plastic yang terbuang sembarangan atau berakhir pada saluran air, sungai, bahkan sampai
akhirnya ke laut. Selain itu minimnya kapasitas daur ulang sampah plastic di Indonesia
berimplikasi pada pencemaran lingkungan, yang menjadikan Indonesia sebagai salah satu polutan
terbesar sampah plastic ke laut di dunia setelah China (Nisrina,2018). Sampah plastic selain
mecemari air laut juga menyebabkan teracuninya biota atau hewan laut serta hewan lain yang
menggantungkan hidupnya pada laut. Hal tersebut disebabkan oleh munculnya zat berupa
mikroplastik yang berukuran kurang dari 5 milimeter yang akan tertelan oleh hewan melalui
pembuangan sampah plastic ke wilayah perairan. Permasalahan sampah plastic jelas menimbulkan
banyak permasalahan lingkungan, karena memerlukan waktu yang sangat lama untuk terurai di
alam.
Sebenarnya pemerintah Indonesia, terutama Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Berbahaya dan Beracun,
mengeluarkan Surat Edaran Nomor: S. 1230/PSLB3PS/2016 tentang Harga dan Mekanisme
penerapan kantong plastic berbayar, untuk menekan timbunan sampah plastic. Dalam Surat Edaran
tersebut dijelaskan bahwa usaha ritel tidak dapat memberikan kantong plastic secara gratis kepada
konsumen atau pembeli. Jika konsumen membutuhkan kantong plastic, diwajibkan membayar
dengan minimal uang sebesar Rp. 200,- per kantong plastic. Namun pada kenyataanya kebijakan
pemerintah melalui Surat Edaran tersebut belum tepat sasaran, karena hanya ditujukan untuk ritel
dan pasar modern. Sehingga masyarakat dengan sangat mudah, masih dapat menggunakan kantong
plastik secara gratis.
Upaya pengurangan limbah sampah ini bukan persoalan baru yang memang baru saja
ditangani, sehingga membuat para masyarakat kaget dan enggan untuk mengupayakan hidup tanpa
kantong plastic. kendatinya upaya serta kebijakan yang dibuat dalam penangana limbah plastic ini
sudah lama berjalan. Kunci utama dari persoalan ini tetap kembali pada kesadaran masyarakat
sendiri akan peduli lingkungan. bahwa lingkungan sehat yang mereka ciptakan dan berikan akan
berdampak baik dan panjang nantinya, untuk kehidupan yang akan datang dan untuk anak cucunya
kemudian.

Rekomendasi Kebijakan
1. Menetapkan harga tinggi pada penggunaan kantong plastik di toko ritel modern, hotel,
restoran, pusat perbelanjaan, dan pedagang pasar serta dapat menyediakan opsi kemasan
lain kepada konsumen berupa kemasan dengan bahan karton, kardus, kain, atau bio-
plastik.
2. Membuat surat edaran yang berisi batasan produksi kantong plastik sekali pakai dan
kemasan sachet oleh industri di DKI Jakarta dan menghimbau untuk membuat kantong
plastik dan kemasan yang lebih ramah lingkungan.
3. Meningkatkan produksi tas belanja daur ulang oleh UMKM sebagai bentuk pemanfaatan
limbah plastik yang juga dapat meningkatkan perekonomian warga.
4. Membuat bank sampah dan mengoptimalisasi bank sampah yang telah ada di setiap
wilayah dengan membentuk kader lingkungan bertugas untuk mengawasi dan membuat
laporan terkait kegiatan pengurangan plastik sekali pakai dan bank sampah yang sedang
berjalan.
5. Mewajibkan adanya pemilahan sampah, baik di perkantoran, rumah tangga, rumah sakit,
sekolah, dan tempat lainnya minimal menjadi 3 kategori atau lebih, yakni kategori organik
(sisa makanan, kulit buah, tulang ikan, dedaunan, dan jenis lain yang dapat dikompos);
kategori anorganik (kaleng, botol kaca, botol plastik, kertas, dan jenis lain yang dapat
diserahkan ke bank sampah); dan kategori residu (popok, pembalut, styrofoam, plastic
sachet, dan jenis lainnya yang tidak dapat diserahkan ke bank sampah).
6. Pemerintah DKI Jakarta dapat melakukan forum atau kemitraan dengan beberapa
perusahaan pengelola sampah, komunitas, dan organisasi lingkungan dengan output berupa
solusi atau terobosan baru untuk memperjuangkan kelestarian lingkungan, utamanya
terkait plastik sekali pakai di DKI Jakarta.

Referensi

Anda mungkin juga menyukai