PENILAIAN:
Bidang Keilmuan Pendidikan Fisika
Disusun oleh:
Islamiani Safitri (23070550002)
DAFTAR ISI..................................................................................................................... 1
A. Ontologi ................................................................................................................. 3
B. Epistemologi .......................................................................................................... 7
C. Aksiologi ............................................................................................................... 9
1. Apa itu keberadaan? Pertanyaan ini mencoba untuk memahami esensi atau
hakikat dari keberadaan itu sendiri.
2. Apa yang benar-benar ada? Ontologi membahas apa yang dapat dianggap sebagai
nyata dan bagaimana hal-hal tersebut dapat diidentifikasi.
3. Bagaimana objek-objek berhubungan satu sama lain? Ini mencakup studi tentang
hubungan kausal, hubungan spasial, dan hubungan lainnya antara entitas-entitas
yang ada.
4. Apakah ide dan konsep-konsep bersifat nyata? Beberapa ontologis
mempertanyakan status ontologis ide dan konsep-konsep abstrak.
Ada berbagai pandangan ontologis yang berbeda, dan filosof ontologi dapat
memiliki perspektif yang berbeda tentang sifat keberadaan. Beberapa pendekatan
ontologis termasuk:
Realisme
Realisme enganggap bahwa entitas-entitas yang ada memiliki keberadaan
independen dari pemikiran atau pengamatan manusia. Dalam konteks ontologi,
"realisme" merujuk pada pandangan bahwa objek-objek atau entitas-entitas yang ada
memiliki keberadaan independen dari pemikiran atau persepsi manusia. Realisme
ontologis mengakui bahwa dunia luar sana memiliki keberadaan yang nyata, tidak
tergantung pada apakah manusia menyadarinya atau tidak. Dalam filsafat, terdapat
beberapa bentuk realisme ontologis. Berikut adalah beberapa di antaranya:
Dalam realisme ontologis, ada keyakinan bahwa dunia memiliki keberadaan nyata
di luar pemikiran manusia. Pandangan ini berbeda dari idealisme, yang menyatakan
bahwa hanya pemikiran atau kesadaran yang memiliki keberadaan yang mendasar, dan
dari nominalisme, yang menyatakan bahwa hanya individu-individu konkrit yang
memiliki keberadaan nyata.
Penting untuk dicatat bahwa realisme ontologis bukanlah satu pandangan tunggal,
tetapi dapat memiliki variasi dalam tingkat keyakinan tergantung pada konteks dan aspek-
aspek khusus ontologi yang sedang dipertimbangkan. Beberapa filsuf realis mungkin
mempertimbangkan beberapa aspek dunia lebih mandiri daripada yang lain.
Idealisme
Idelaisme menganggap bahwa realitas berasal dari ide atau pikiran, dan keberadaan
sesuatu bergantung pada kesadaran. Ontologi idealisme adalah pandangan filosofis yang
menekankan bahwa kenyataan sejati terletak dalam ide atau pikiran, bukan dalam materi
atau substansi fisik. Dalam ontologi idealis, keyakinan utama adalah bahwa dunia nyata
atau realitas lebih merupakan hasil dari pikiran atau kesadaran daripada entitas material
yang independen. Beberapa tokoh terkenal dalam tradisi ontologi idealis meliputi
(Lakatos, 1978):
1. George Berkeley: Berkeley adalah seorang filsuf Irlandia yang terkenal dengan
pandangannya yang dikenal sebagai idealisme subjektif. Menurut Berkeley, benda-
Materialisme
Materialisme dalam ontologi adalah pandangan atau posisi filsafat yang mengakui
bahwa realitas atau eksistensi fundamental terdiri dari materi atau substansi fisik. Ini
berarti bahwa segala sesuatu yang ada dapat dijelaskan atau dijelaskan dalam istilah
materi dan proses fisik. Materialisme ontologis menganggap materi sebagai dasar yang
paling mendasar dari kenyataan dan menganggap bahwa segala sesuatu, termasuk pikiran,
ide, dan konsep abstrak, pada akhirnya dapat dijelaskan dalam konteks materi.
Pandangan materialisme ini kontras dengan pandangan idealisme, yang
menyatakan bahwa ide atau pikiran adalah substansi yang paling mendasar, dan segala
sesuatu yang tampak merupakan manifestasi atau representasi dari ide tersebut.
Materialisme ontologis juga berbeda dari dualisme, yang mengakui keberadaan baik
materi maupun roh sebagai substansi yang terpisah.
Beberapa tokoh dalam sejarah filsafat yang mendukung materialisme ontologis
termasuk Karl Marx, Friedrich Engels, dan Émile Zola. Mereka melihat materi sebagai
dasar yang paling mendasar dari kehidupan manusia dan masyarakat, serta menyatakan
Platonisme
Platonisme berpendapat bahwa ide dan konsep-konsep abstrak memiliki
keberadaan independen dan bersifat nyata. Platonisme adalah pandangan filosofis yang
berasal dari pemikiran Plato, seorang filsuf Yunani kuno. Dalam konteks ontologi,
platonisme mengacu pada pandangan tentang realitas atau eksistensi yang memiliki
beberapa karakteristik kunci (Popper, 2002):
1. Ide atau Bentuk: Plato meyakini bahwa dunia materi yang kita lihat dan alami
hanyalah bayangan atau salinan dari dunia ide atau bentuk yang lebih nyata. Ide-
ide ini tidak tergantung pada dunia fisik, tetapi merupakan bentuk-bentuk abstrak
yang eternal dan universal. Contohnya, konsep keindahan atau keadilan tidak
terletak pada objek fisik tertentu, melainkan pada bentuk ide keindahan atau
keadilan yang ada di luar dunia fisik.
2. Realitas Abstrak: Menurut platonisme, realitas sejati terletak pada konsep-konsep
abstrak dan ide-ide, bukan pada objek fisik yang sementara dan terbatas. Dunia
nyata yang kita lihat hanyalah salinan yang kurang sempurna dari bentuk-bentuk
ide yang sejati.
3. Universalisme: Ide-ide atau bentuk-bentuk itu bersifat universal, artinya mereka
berlaku untuk semua hal di seluruh dunia. Misalnya, ide keadilan berlaku untuk
semua kejadian keadilan di dunia, tidak terbatas pada kasus tertentu.
4. Partisipasi: Plato berpendapat bahwa objek-objek di dunia fisik ini "berpartisipasi"
dalam bentuk-bentuk ide. Ini berarti bahwa objek-objek tersebut mendapatkan sifat-
sifat mereka yang sejati dari partisipasi dalam bentuk-bentuk ide yang bersifat
universal.
Beberapa elemen yang dapat dimasukkan dalam ontologi penilaian melibatkan (Freire,
2005):
10 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
2. Struktur Pengetahuan: Ontologi dapat membantu menyusun struktur
pengetahuan fisika sehingga guru dan siswa memiliki pandangan yang konsisten
dan terorganisir tentang bagaimana konsep-konsep fisika saling terkait. Ini
membantu dalam merancang kurikulum yang konsisten dan efektif.
3. Pengembangan Soal Ujian: Dengan menggunakan ontologi, pembuat soal ujian
dapat memastikan bahwa soal-soal yang disusun mencerminkan pemahaman
konsep fisika secara tepat. Ontologi membantu mengidentifikasi hubungan antar
konsep dan memastikan bahwa soal-soal mencakup berbagai aspek fisika.
4. Evaluasi Pencapaian Siswa: Ontologi dapat digunakan untuk mengembangkan
alat evaluasi yang dapat mengukur pemahaman siswa terhadap konsep-konsep
fisika. Ini membantu dalam menilai sejauh mana siswa telah memahami materi
pelajaran.
5. Integrasi Teknologi Pendidikan: Ontologi dapat mendukung integrasi teknologi
pendidikan dalam pembelajaran fisika. Misalnya, ontologi dapat membantu dalam
pengembangan aplikasi pembelajaran yang terstruktur dengan baik dan sesuai
dengan konsep-konsep fisika yang harus diajarkan.
6. Pembangunan Sistem Tutor Cerdas: Ontologi dapat digunakan dalam
pengembangan sistem tutor cerdas yang dapat memberikan bimbingan personal
kepada siswa berdasarkan tingkat pemahaman mereka. Sistem ini dapat
memberikan latihan dan penjelasan tambahan sesuai dengan kebutuhan individu.
11 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
1. Sumber Pengetahuan:
• Empirisisme: Epistemologi fisika sering kali mencerminkan pendekatan empiris,
di mana pengetahuan diperoleh melalui pengamatan dan eksperimen. Penilaian
fisika dapat mempertimbangkan kualitas dan reliabilitas data empiris yang
mendukung suatu klaim atau teori.
• Rasionalisme: Rasionalisme menekankan peran akal budi dan deduktif dalam
membangun pengetahuan. Dalam penilaian fisika, pertimbangan terhadap
deduktif dan rasio-empiris dapat menjadi relevan, misalnya, dalam menilai
kesesuaian suatu teori dengan prinsip-prinsip dasar fisika.
2. Metode Ilmiah:
• Metode Deduktif: Penilaian fisika dapat melibatkan pertimbangan terhadap
deduksi logis dari prinsip-prinsip umum untuk mencapai kesimpulan spesifik.
Misalnya, seberapa baik suatu model fisika dapat menghasilkan prediksi yang
sesuai dengan pengamatan empiris.
• Metode Induktif: Proses induksi, yang melibatkan generalisasi dari pengamatan
tertentu ke prinsip umum, juga merupakan pertimbangan penting. Bagaimana
bukti empiris yang diberikan mendukung konsep umum atau hukum fisika?
12 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
fisika dapat mencakup pertimbangan terhadap seberapa baik suatu teori
mencerminkan realitas empiris.
• Konstruksionisme: Pemahaman bahwa konsep fisika adalah konstruksi manusia
dapat mempengaruhi cara kita menilai validitas dan relevansi teori fisika.
Penting untuk dicatat bahwa epistemologi fisika adalah area yang kompleks, dan
penilaian fisika yang baik melibatkan pemahaman yang mendalam tentang metode
ilmiah, sumber pengetahuan, dan landasan filosofis yang mendasari disiplin ini.
13 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
• Penilaian harus mengukur apa yang sebenarnya diinginkan diukur, dan
hasilnya harus mencerminkan kemampuan atau karakteristik yang
seharusnya diukur.
• Keabsahan adalah sejauh mana suatu penilaian benar-benar mengukur apa
yang diinginkan diukur.
5. Transparansi:
• Proses penilaian dan kriteria penilaian harus transparan, memberikan
pemahaman yang jelas kepada peserta mengenai apa yang diharapkan dari
mereka.
6. Keterbukaan dan Partisipasi:
• Memberikan ruang bagi peserta untuk berpartisipasi dalam proses penilaian
atau setidaknya memahami cara penilaian dilakukan.
7. Ketelitian:
• Penilaian harus dilakukan secara cermat dan akurat, menghindari kesalahan
dan kecerobohan yang dapat memengaruhi hasil.
14 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
3. Relevansi: Soal-soal atau tugas penilaian harus relevan dengan tujuan
pembelajaran fisika dan mencakup materi-materi yang telah diajarkan. Hal ini
memastikan bahwa penilaian benar-benar mengukur pemahaman dan keterampilan
yang diinginkan.
4. Keterlibatan Siswa: Proses penilaian fisika sebaiknya melibatkan siswa secara
aktif. Siswa harus dapat memahami kriteria penilaian, mendapatkan umpan balik
konstruktif, dan memiliki kesempatan untuk merespons atau memperbaiki kinerja
mereka.
5. Keadilan: Penilaian harus adil dan memperlakukan semua siswa dengan adil tanpa
memandang latar belakang sosial, ekonomi, atau budaya mereka. Ini juga
mencakup penyediaan dukungan ekstra bagi siswa dengan kebutuhan khusus.
6. Berkelanjutan: Penilaian fisika sebaiknya bersifat berkelanjutan, yang berarti
memantau dan mengevaluasi kemajuan siswa sepanjang waktu, bukan hanya pada
akhir suatu periode tertentu. Ini memungkinkan adanya perbaikan dan penyesuaian
selama proses pembelajaran.
7. Ketepatan Waktu: Penilaian harus dilakukan pada waktu yang sesuai dengan
perkembangan materi. Penilaian yang dilakukan terlalu cepat atau terlambat
mungkin tidak memberikan gambaran yang akurat tentang pemahaman siswa.
8. Transparansi: Kriteria penilaian dan tujuan pembelajaran fisika sebaiknya
dikomunikasikan dengan jelas kepada siswa. Transparansi ini membantu siswa
memahami apa yang diharapkan dari mereka dan bagaimana mereka akan dinilai.
15 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
metafisik, karena manusia tidak sempurna sehingga membutuhkan hal-hal yang konkrit
dan terukur untuk meneruskan keberadaannya.
Awal dari segala kegiatan dan sifat manusia di dalam kehidupan berdasarkan pada
takdir yang bersifat fatal dan ikhtiar yang bersifat vital. Bersifat fatal karena manusia tidak
bisa memilih seperti apa dan dimana ia dilahirkan, karena ini merupakan sebuah ketetapan
yang tidak bisa diulang waktunya. Dalam hal ini, manusia diminta untuk menerima segala
takdir yang sudah menjadi ketetapan dalam keberadaanya. Selain itu, manusia juga
bersifat vital, yakni mamiliki kemampuan untuk memilih dan berikhtiar atas sesuatu yang
diinginkan untuk menjadi pengalaman dalam kehidupannya. Sifat ini menghasilkan
perubahan dalam kehidupan dan dapat memperbaiki aspek-aspek dikehidupannya meski
hasilnya tetap mengacu pada sebuah takdir yang telah menjadi ketetapan dalam
kehidupannya.
Ketetapan maupun takdir adalah bersifat idealism yaitu sebuah realitas yang terdiri
atas atau sangat erat hubungannya dengan ide, fikiran, atau jiwa. Hal ini juga bersifat
absolut yaitu ketertiban dan konsistensi alam adalah riil disebabkan oleh akal yang aktif
yaitu akal Tuhan, yakni sebagai pencipta dan pengatur alam. Kehendak Tuhan adalah
hukum alam, dan Tuhan lah yang menentukan urutan dan susunan ide-ide alam, juga
merupakan sebab dari segala sebab. Idelisme ini condong pada penekanan koherensi
yakni suatu putusan dipandang benar jika telah sesuai dengan putusan-putusan lain yang
telah diterima sebagai sebuah kebenaran. Sehingga muncullah sebuah hukum yang
sifatnya formal dan normative. Selanjutnya, hal ini juga merupakan pengetahuan a
priori yaitu sebuah pengetahuan yang tidak bergantung pada adanya pengalaman, atau
yang ada sebelum pengalaman, yakni percaya meski belum pernah melihat wujudnya.
Analitis a priori adalah pengetahuan yang dihasilkan oleh analisis-analisis terhadap
unsur-unsur a priori dan pengetahuan sintesis a priori dihasilkan oleh akal terhadap
bentuk-bentuk pengalaman sendiri dan penggabungan unsur-unsur yang tidak saling
bertumpu.
Alam ini dinamis, terus bergerak dan merupakan struktur peristiwa yang mengalir
terus menerus secara kreatif, dan ini cenderung pada kemampuan memilih maupun ikhtiar
itu bersifat materialism, yaitu sesuatu dikatakan benar-benar ada jika berbentuk materi.
Artinya, semua hal di alam ini terdiri atas materi dan semua fenomena yang terjadi adalah
hasil dari interaksi antar material. Selanjutnya, hal ini juga merupakan a posteriori yaitu
16 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
sesuatu terjadi sebagai akibat dari sebuah pengalaman. Analitis a posteriori dan
analisisnya diperoleh setelah melakukan atau setelah adanya pengalaman. Hal ini juga
bersifat empirism yakni bahwa pengetahuan yang ada berasal dari pengalaman indera
manusia sehingga sifatnya dinamis atau selalu berubah-ubah.
17 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
Selanjutnya, Immanuel Kant menganalisis tentang pengetahuan. Kant berpendapat
bahwa kita tidak dapat terus menerus meragukan pengetahuan kita. Dalam buku Critique
of Pure Reason, Kant secara jelas mengeksplorasi suatu kondisi sebagai penentu dalam
memiliki pengetahuan. Dalam hubungannya dengan waktu, Kant menegaskan bahwa
pengetahuan tidak akan mendahului yang namanya pengalaman. Dalam hal ini,
pengetahuan diawali dengan adanya pengalaman. Meski begitu, tidak semua pengetahuan
harus lahir dari pengalaman. Kant mengemukakan premis itu karena baginya akan sangat
memungkinkan adanya pengetahuan empiris yaitu pengetahuan yang lahir dari perpaduan
antara impresi dan kemampuan kognisi diri sendiri. Pengetahuan inilah yang disebut
dengan istilah ‘Pengetahuan Empiris’. Pengetahuan semacam itu berjudul apriori, dan
dibedakan dari empiris, yang memiliki sumber-sumbernya posteriori, yaitu dalam
pengalaman. Kant melihat permasalahan ini secara analitis, sehingga dapat dipecahkan
melalui penalaran. Menurut Kant, pengetahuan dibagi menjadi sebagai berikut:
• Pernyataan bersifat analitik, jika predikat dari subjek termuat dalam subjek.
Contoh: tautologi “Bola itu bulat”. Pernyataan ini benar karena predikat ‘bulat’
terkandung dalam subjek ‘bola’.
• Pernyataan bersifat tidak analitik, jika pernyataan tersebut menambahkan sesuatu
yang baru tentang subjek. Pernyataan ini kemudian disebut tidak murni dan
disebut sebagai pernyataan sintetik. Sebagai contoh, “Bola itu berwarna merah”.
• Pernyataan disebut benar secara a priori, jika kebenarannya ditentukan sebelum
pengalaman, atau tanpa referensi pada pengalaman.
• Pernyataan disebut benar secara a posteriori, jika pernyataan tersebut ditentukan
kebenarannya melalui referensi pada pengalaman. Artinya kebenarannya hanya
dapat ditentukan melalui acuan bukti empiris.
Kant berpendapat, bahwa a priori sintetik merupakan sesuatu yang esensial, karena
merupakan bagian dari keutuhan nalar kita. A priori sintetik merupakan kondisi niscaya
yang diperlukan agar pengetahuan menjadi mungkin. Di sinilah terletak kekhasan
pemikiran seorang Immanuel Kant, yang ia sebut sebagai Revolusi Copernicus dalam
bangunan filsafat. Kant menempatkan pikiran dalam kerangka aktif proses mengetahui
dan a priori sintentik merupakan cara pikiran untuk aktif dalam proses mengetahui.
18 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
Konsekuensi pemikiran Immanuel Kant tentang dunia fenomena dan noumena
adalah: Dunia yang kita tinggali ini merupakan dunia fenomena yang diorganisasikan
oleh pikiran dengan mensintesiskan banyak data. Jika saya melihat sesuatu, maka sesuatu
tersebut ada, karena dapat disentuh dan diorganisasikan dalam pikiran. Hal ini merupakan
sebuah fenomena bukan noumena. Kant berpendapat bahwa dunia kita terbatas pada batas
kemampuan memahami dan mengkonseptualisasikan sesuatu.
19 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
inderawi saja. Imanuel Kant meyakini bahwa ada sesuatu yang menjadi "dalang" atas
pikirannya. Dan dia memakai istilah "transenden" untuk menunjukkan subyek yang
niscaya sudah ada itu.
20 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
saya mengatakan, "Semua tubuh diperpanjang," ini adalah penilaian analitis. Karena saya
tidak perlu melampaui konsepsi tubuh untuk menemukan perluasan yang terhubung
dengannya, tetapi hanya menganalisis konsepsi tersebut, yaitu, menjadi sadar akan
berbagai sifat yang saya pikirkan dalam konsepsi tersebut, untuk menemukan predikat di
dalamnya: oleh karena itu, ini adalah penilaian analitis. Di sisi lain, ketika saya berkata,
"Semua tubuh itu berat," predikatnya adalah sesuatu yang sama sekali berbeda dari apa
yang saya pikirkan dalam konsepsi semata-mata tentang tubuh. Dengan penambahan
predikat seperti itu, maka itu menjadi penilaian sintetis
21 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
penyebabnya (principium causalitatis), dan dia percaya dirinya telah menunjukkan bahwa
proposisi apriori seperti itu sama sekali tidak mungkin. Kant kemudian melanjutkan
dengan sebuah pertanyaa “Bagaimana metafisika, sebagai watak alami menjadi
mungkin?”. Dengan demikian kritik akal, pada akhirnya, tentu mengarah pada
pengetahuan ilmiah; sementara pekerjaan dogmatisnya, di sisi lain, mendaratkan kita
dalam pernyataan dogmatis di mana pernyataan lain, yang sama-sama muluk-muluk,
selalu dapat ditentang - yaitu, dalam skeptisisme.
7. Ide dan Pembagian Ilmu Pengetahuan Tertentu, di bawah Nama Kritik atas
Nalar Murni
Dari semua yang telah dikatakan, muncullah gagasan tentang ilmu pengetahuan
tertentu, yang dapat disebut sebagai Kritik Nalar Murni. Karena akal adalah fakultas yang
membekali kita dengan prinsip-prinsip pengetahuan secara apriori. Oleh karena itu, akal
budi murni adalah fakultas yang berisi prinsip-prinsip untuk mengetahui apa pun secara
apriori. Sebuah organon akal murni akan menjadi ringkasan dari prinsip-prinsip tersebut
yang dengannya semua kognisi murni secara apriori dapat diperoleh. Penerapan yang
sepenuhnya diperluas dari organon semacam itu akan memberi kita sebuah sistem nalar
murni. Namun, karena hal ini menuntut banyak hal, dan masih diragukan apakah
perluasan pengetahuan kita di sini dimungkinkan, atau, jika demikian, dalam suatu kasus;
kita dapat menganggap ilmu pengetahuan tentang kritik belaka terhadap nalar murni,
sumber-sumber dan batas-batasnya, sebagai propaedeutik untuk sistem nalar murni.
Ilmu pengetahuan seperti itu tidak boleh disebut doktrin, tetapi hanya sebuah kritik
terhadap nalar murni; dan penggunaannya, sehubungan dengan spekulasi, hanya akan
bersifat negatif, bukan untuk memperbesar batas-batas, tetapi untuk memurnikan, nalar
kita, dan untuk melindunginya dari kesalahan-yang tidak ada gunanya. Saya menerapkan
istilah transendental untuk semua pengetahuan yang tidak begitu banyak ditempati
dengan objek-objek seperti halnya dengan modus kognisi kita terhadap objek-objek ini,
sejauh sejauh modus kognisi ini dimungkinkan secara apriori. Sebuah sistem konsepsi
seperti itu akan disebut filsafat transendental. Tapi ini, sekali lagi, masih di luar batas-
batas esai kita saat ini. Karena ilmu pengetahuan seperti itu harus mengandung sebuah
eksposisi lengkap tidak hanya dari apriori sintetis kita, tetapi juga pengetahuan apriori
analitis kita, itu terlalu luas untuk tujuan kita saat ini, karena kita tidak perlu membawa
analisis kita lebih jauh dari yang diperlukan untuk memahami, secara penuh, prinsip-
22 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
prinsip sintesis a priori, yang hanya dengan itu saja kita harus melakukannya.
Penyelidikan ini, yang tidak dapat kita sebut sebagai doktrin, tetapi hanya sebuah kritik
transendental, karena tidak bertujuan untuk perluasan, tetapi untuk koreksi dan
bimbingan, pengetahuan, dan berfungsi sebagai batu ujian dari nilai atau
ketidakberdayaan dari semua pengetahuan secara apriori, adalah satu-satunya objek dari
esai kita saat ini. Kritik seperti itu, akibatnya, merupakan persiapan untuk sebuah
organon; dan jika organon baru ini harus ditemukan gagal, setidaknya untuk kanon akal
murni, yang menurutnya sistem lengkap filsafat akal murni, apakah itu memperluas atau
membatasi batas-batas alasan itu, mungkin suatu hari nanti dapat ditetapkan baik secara
analitis maupun sintetis. Bahwa hal ini mungkin saja terjadi, atau, bahwa sistem seperti
itu tidak begitu luas sehingga menghalangi harapan untuk diselesaikan, adalah jelas.
Karena di sini kita tidak berurusan dengan sifat benda-benda lahiriah, yang tidak terbatas,
tetapi semata-mata dengan pikiran, yang menilai sifat benda-benda, dan, sekali lagi,
dengan pikiran hanya sehubungan dengan kognisinya secara apriori. Dan objek dari
penyelidikan kita, karena tidak harus dicari di luar, tetapi, sama sekali di dalam, diri kita
sendiri, tidak dapat tetap tersembunyi, dan kemungkinan besar cukup terbatas untuk
disurvei sepenuhnya dan diperkirakan secara adil, sesuai dengan nilai atau
ketidakberdayaannya. Masih kurang membiarkan pembaca di sini mengharapkan suatu
kritik terhadap buku-buku dan sistem-sistem akal budi murni; objek kita sekarang ini
secara eksklusif merupakan suatu kritik terhadap fakultas akal budi murni itu sendiri.
Hanya ketika kita menjadikan kritik ini sebagai fondasi kita, kita memiliki batu ujian yang
murni untuk memperkirakan nilai filosofis tulisan-tulisan kuno dan modern tentang hal
ini; dan tanpa kriteria ini, sejarawan atau hakim yang tidak kompeten memutuskan dan
mengoreksi pernyataan-pernyataan tak berdasar orang lain dengan pernyataan-
pernyataannya sendiri, yang hanya memiliki sedikit dasar.
23 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
IV. MENERAPKAN FILSAFAT PENILAIAN
A. Sejarah Perkembangan Penilaian
Sejarah perkembangan penilaian mencakup evolusi metode dan pendekatan yang
digunakan untuk mengukur pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan seseorang.
Berikut adalah gambaran umum tentang perkembangan penilaian:
1. Era Kuno
Pendidikan pada masa ini cenderung lebih terfokus pada pembelajaran individual.
Penilaian didasarkan pada pengamatan langsung oleh guru atau mentor. Sistem penilaian
di era kuno cenderung mencerminkan nilai-nilai budaya dan kepercayaan masyarakat
pada waktu itu. Selain itu, sistem penilaian ini sering kali lebih terpusat pada kelompok
sosial tertentu dan dapat bersifat hierarkis. Sistem penilaian di era kuno bervariasi
tergantung pada masyarakat, budaya, dan waktu. Berikut adalah beberapa contoh sistem
penilaian yang digunakan dalam era kuno (Hadiwijono, 2005):
Mesir Kuno:
• Sistem penilaian di Mesir Kuno sangat terkait dengan administrasi pemerintahan
dan agama.
• Pemimpin dan pejabat pemerintahan dinilai berdasarkan pencapaian administratif
dan kemampuan untuk memelihara ketertiban.
• Masyarakat Mesir juga menganggap kehidupan setelah mati sebagai faktor
penting, sehingga kualitas moral dan spiritual seseorang juga bisa memengaruhi
penilaian mereka.
Yunani Kuno:
• Di Yunani Kuno, pendidikan dan keahlian dalam bidang olahraga, seni, dan
filsafat sering kali menjadi dasar penilaian.
• Warga Yunani dinilai berdasarkan partisipasi dalam urusan politik dan militer.
• Konsep kehidupan baik (eudaimonia) dianggap sebagai tujuan utama, dan
penilaian masyarakat terhadap individu sering kali dipengaruhi oleh sejauh mana
seseorang mencapai kehidupan baik ini.
Romawi Kuno:
• Di Romawi Kuno, penilaian sering kali berkaitan dengan prestasi militer dan
kontribusi terhadap kemajuan Roma.
• Kepatuhan terhadap hukum dan moralitas juga menjadi faktor penilaian.
24 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
• Kelas sosial memainkan peran penting dalam menentukan status dan penilaian
dalam masyarakat Romawi.
India Kuno:
• Dalam sistem kasta India Kuno, penilaian sering kali didasarkan pada kasta
seseorang dan pekerjaannya dalam masyarakat.
• Konsep karma dan dharma memainkan peran penting dalam menentukan
penilaian moral dan spiritual.
China Kuno:
• Di Tiongkok Kuno, Konfusianisme mempengaruhi pandangan masyarakat
terhadap etika dan moralitas.
• Kualitas kepemimpinan dan pengabdian kepada keluarga serta masyarakat
menjadi faktor penting dalam penilaian.
2. Abad Pertengahan:
Pada Abad Pertengahan, sistem penilaian atau evaluasi pendidikan tidak seperti
sistem modern yang kita kenal saat ini. Pendidikan pada masa itu lebih terfokus pada
lingkungan keagamaan dan klerikal, dan tujuan utamanya adalah untuk mendidik kaum
rohaniwan atau calon rohaniwan. Pada era ini penilaian lebih terpusat di sekitar ujian oral
dan tertulis. Ujian sering kali diadakan sebagai bagian dari ujian kualifikasi keagamaan
atau profesional. Sistem penilaian ini mencerminkan nilai-nilai dan tujuan pendidikan
pada masa tersebut, yang sangat dipengaruhi oleh peran gereja dalam masyarakat
medieval (Bertens, 2001). Berikut adalah beberapa ciri sistem penilaian pada Abad
Pertengahan:
1. Pendidikan Agama: Pendidikan pada Abad Pertengahan didominasi oleh
pendidikan agama dan teologi. Sebagian besar institusi pendidikan dijalankan
oleh gereja dan didedikasikan untuk melatih para rohaniwan.
2. Sistem Gurukul: Sistem pendidikan pada masa itu sering kali dilakukan dalam
lingkungan gurukul atau biara. Murid-murid belajar langsung dari seorang guru
atau ahli di bidang agama, sastra, dan filsafat.
3. Pengajaran Lisan: Pengetahuan pada Abad Pertengahan lebih banyak
disampaikan secara lisan daripada tertulis. Para guru mentransmisikan
pengetahuan mereka kepada murid-murid melalui ceramah, diskusi, dan
pembicaraan.
25 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
4. Sistem Pembelajaran Bertahap: Pendidikan pada masa itu sering kali melibatkan
sistem pembelajaran bertahap. Murid-murid dapat memulai sebagai pemula dan
secara bertahap naik ke tingkat yang lebih tinggi dengan memperoleh
pengetahuan yang lebih mendalam.
5. Ujian Oral dan Praktik: Evaluasi sering kali dilakukan melalui ujian lisan, di
mana murid diminta untuk menjawab pertanyaan secara verbal. Selain itu, ujian
praktik juga mungkin dilakukan, terutama dalam konteks kehidupan rohaniwan
yang memerlukan keterampilan liturgi dan praktik keagamaan.
6. Hukuman dan Disiplin: Hukuman dan disiplin memiliki peran penting dalam
pendidikan Abad Pertengahan. Pendidikan sering kali dilakukan dengan ketat,
dan pelanggaran dapat mengakibatkan hukuman fisik atau sanksi lainnya.
7. Fokus pada Pendidikan Klerikal: Tujuan utama pendidikan pada Abad
Pertengahan adalah untuk mempersiapkan individu untuk kehidupan rohaniwan.
Oleh karena itu, penilaian lebih terfokus pada pemahaman dan penginternalan
ajaran agama daripada pada kemampuan praktis atau keterampilan umum.
3. Renaisans
Pada masa Renaisans, sistem penilaian lebih berkaitan dengan perkembangan
pendidikan dan pemikiran baru yang muncul pada periode tersebut. Renaisans (sekitar
abad ke-14 hingga ke-17) merupakan periode kebangkitan seni, ilmu pengetahuan, dan
kemanusiaan di Eropa. Beberapa karakteristik sistem penilaian pada masa Renaisans
melibatkan perubahan dalam pendidikan, penekanan pada kebebasan berpikir, dan
peningkatan penghargaan terhadap kemampuan individu. Periode ini menyaksikan
pengembangan ujian tertulis dan lisan yang lebih formal. Pada periode ini pula mulai
munculnya sistem penilaian standar (Bertens, 2001).
Periode Renaisans secara umum mencirikan perubahan paradigma dalam
pendidikan dan penilaian, dengan lebih menekankan pada pengembangan pribadi,
kebebasan berpikir, dan kreativitas. Sistem penilaian pada masa ini mencerminkan
semangat intelektual dan kebebasan berpikir yang menjadi ciri khas era tersebut.
Beberapa poin penting terkait sistem penilaian pada masa Renaisans antara lain:
1. Pendidikan Humanistik:
26 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
• Pendidikan pada masa Renaisans banyak dipengaruhi oleh pendekatan
humanistik yang menekankan pada studi klasik, khususnya karya-karya
sastra klasik Yunani dan Romawi.
• Sistem penilaian cenderung menghargai pemahaman mendalam terhadap
sastra klasik, kemampuan berbicara, dan keahlian dalam bahasa Latin.
2. Pengembangan Kemampuan Pribadi:
• Pada masa ini, terjadi pergeseran dari pendidikan yang sangat terpusat
pada ajaran agama menuju pendidikan yang lebih menekankan pada
pengembangan kemampuan pribadi, termasuk kreativitas, kecerdasan, dan
keterampilan berpikir kritis.
3. Penekanan pada Kreativitas dan Inovasi:
• Renaisans menandai era di mana masyarakat mulai menghargai kreativitas
dan inovasi. Oleh karena itu, sistem penilaian lebih mendorong
pengembangan bakat individu, baik dalam seni, sastra, maupun ilmu
pengetahuan.
4. Pendekatan Holistik:
• Sistem penilaian cenderung bersifat holistik, yang berarti bahwa tidak
hanya prestasi akademis yang diukur, tetapi juga kemampuan seni,
keterampilan interpersonal, dan pengembangan pribadi secara
keseluruhan.
5. Pengaruh Humanisme:
• Filsafat humanisme yang muncul pada masa Renaisans menekankan pada
martabat manusia dan kebebasan berpikir. Ini mempengaruhi pendekatan
terhadap penilaian, dengan lebih banyak perhatian diberikan pada
kemampuan individu untuk berpikir secara mandiri dan kreatif.
6. Guru sebagai Pembimbing:
• Guru pada masa Renaisans tidak hanya sebagai penyampai pengetahuan,
tetapi juga sebagai pembimbing yang membantu mengembangkan potensi
siswa secara keseluruhan.
7. Peningkatan Penggunaan Metode Evaluasi:
27 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
• Meskipun belum sekompleks sistem penilaian modern, masa Renaisans
menyaksikan peningkatan penggunaan metode evaluasi, termasuk ujian
tertulis dan lisan, penugasan, dan proyek seni.
4. Abad ke-19
Pada abad ke-19, sistem penilaian berfokus pada berbagai aspek, tergantung pada
tingkat pendidikan dan lokasi geografis. Pendidikan formal semakin berkembang, dan
ujian standar lebih umum digunakan. Ujian nasional mulai diperkenalkan di beberapa
negara. Penting untuk diingat bahwa sistem pendidikan dan penilaian dapat bervariasi di
berbagai negara dan lembaga pada abad ke-19, dan beberapa konsep ini mungkin tidak
berlaku secara universal. Di bawah ini adalah beberapa ciri umum sistem penilaian pada
abad ke-19:
Pendidikan Formal:
1. Pendidikan Dasar dan Menengah
• Penekanan pada hafalan: Pendidikan pada abad ke-19 sering kali menekankan
pada hafalan dan pemahaman fakta-fakta dasar.
• Pengujian tulisan tangan: Keterampilan menulis tangan dinilai sebagai bagian
integral dari pendidikan.
• Kurikulum agama: Di banyak tempat, pendidikan agama menjadi bagian penting
dari kurikulum.
2. Pendidikan Tinggi
• Sistem ujian oral: Ujian seringkali bersifat lisan, di mana siswa diuji oleh dosen
atau panel.
• Keterampilan retorika: Siswa diharapkan memiliki keterampilan berbicara dan
menulis secara efektif.
• Fokus pada klasifikasi: Sistem penilaian cenderung bersifat klasifikasi, membagi
siswa menjadi kelompok-kelompok berdasarkan prestasi akademis mereka.
Pendidikan Profesional:
1. Kedokteran
• Pemahaman anatomi dan ilmu medis dasar diuji melalui ujian praktis dan
teoritis.
28 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
• Magang klinis: Siswa sering melakukan magang di rumah sakit sebagai bagian
dari pendidikan mereka.
2. Hukum
• Penguasaan hukum: Siswa diuji tentang pengetahuan mereka tentang hukum dan
kemampuan mereka dalam menerapkan hukum.
• Studi kasus: Penggunaan studi kasus sering kali digunakan untuk menguji
pemahaman hukum.
Pendidikan Khusus:
1. Seni dan Musik
• Penilaian seni visual: Pengevaluasian karya seni sering dilakukan oleh seniman
senior atau dosen.
• Ujian musik: Siswa diuji dalam keterampilan musik, baik melalui kinerja
langsung maupun ujian tertulis.
2. Pendidikan Teknis
• Ujian keterampilan praktis: Siswa diuji dalam keterampilan teknis yang sesuai
dengan bidang mereka, seperti mesin, pertanian, atau kerajinan tangan.
29 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
pendidikan, metode penilaian, dan pemahaman tentang keberhasilan siswa atau individu
dalam berbagai konteks. Pada abad ini telah muncul pengenalan tes kecerdasan, seperti
tes IQ oleh Alfred Binet, untuk mengukur kecerdasan anak-anak. Munculnya tes
psikologis untuk mengukur berbagai aspek kepribadian dan kemampuan. Berikut adalah
beberapa poin penting terkait sistem penilaian pada abad ke-20:
1. Pendidikan Formal
• Pendekatan Tradisional: Pada awal abad ke-20, banyak sistem pendidikan
menggunakan metode penilaian yang bersifat formal dan didasarkan pada
tes tertulis, ujian akhir, dan skor numerik.
• Perubahan Kurikulum: Seiring perkembangan pendidikan progresif,
terjadi perubahan dalam kurikulum dan metode pengajaran. Sistem
penilaian mencoba untuk mencerminkan pemahaman holistik terhadap
kemampuan dan potensi siswa.
2. Ujian Standardisasi:
• Pertumbuhan Ujian Standar: Munculnya ujian standar nasional dan
internasional di banyak negara untuk mengukur pengetahuan dan
kemampuan siswa secara konsisten.
• Kritik terhadap Ujian Standar: Sistem penilaian ini kemudian menghadapi
kritik karena dianggap terlalu fokus pada pengukuran kognitif dan kurang
memperhitungkan aspek-aspek non-kognitif, seperti kreativitas dan
keterampilan sosial.
3. Pendekatan Holistik:
• Perubahan Filosofi Pendidikan: Pergeseran dari pendekatan yang bersifat
mekanis dan mengukur pengetahuan semata, menuju pendekatan yang
lebih holistik, mempertimbangkan aspek-aspek seperti kreativitas,
keterampilan interpersonal, dan karakter pribadi.
• Penilaian Formatif: Perkembangan konsep penilaian formatif, di mana
evaluasi dilakukan secara berkelanjutan untuk memberikan umpan balik
dan membantu perkembangan siswa.
4. Inklusi dan Keadilan:
• Pentingnya Keadilan Pendidikan: Munculnya kesadaran akan pentingnya
inklusi dan keadilan dalam pendidikan. Penilaian lebih diperhatikan untuk
30 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
memastikan bahwa semua siswa memiliki peluang yang setara untuk
berhasil.
5. Teknologi dan E-learning:
• Pengaruh Teknologi: Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi
memengaruhi cara penilaian dilakukan. Munculnya ujian daring, evaluasi
berbasis komputer, dan platform pembelajaran daring.
6. Pergeseran pada Keterampilan Soft:
• Pentingnya Keterampilan Soft: Penekanan yang meningkat pada
keterampilan lunak seperti kritis berpikir, kolaborasi, dan komunikasi,
yang mencerminkan perubahan kebutuhan dalam masyarakat dan pasar
kerja.
7. Evaluasi Kinerja di Tempat Kerja:
• Peningkatan Evaluasi Kinerja: Di dunia kerja, ada pergeseran dari
penilaian kinerja yang bersifat otoriter menuju model yang lebih
kolaboratif, dengan penekanan pada pengembangan karyawan.
8. Globalisasi dan Komparabilitas:
• Standarisasi Internasional: Dalam beberapa bidang, seperti pendidikan
tinggi dan bisnis, penekanan pada standarisasi internasional untuk
membandingkan dan mengevaluasi prestasi.
Penting untuk diingat bahwa evolusi sistem penilaian terus berlanjut seiring dengan
perubahan dalam pendidikan, teknologi, dan masyarakat. Pada abad ke-21, kita terus
melihat perkembangan seperti pembelajaran berbasis proyek, penilaian berbasis
portofolio, dan penggunaan teknologi baru dalam evaluasi.
31 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
• Positif: Pembentukan PBB dianggap sebagai langkah penting untuk mencegah
konflik berskala besar di masa depan dan mempromosikan kerjasama
internasional.
• Negatif: Kritik terhadap PBB mencakup ketidakmampuan untuk mencegah
konflik-konflik lokal, veto kekuatan besar di Dewan Keamanan, dan tantangan
dalam menangani konflik global.
32 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
7. Globalisasi:
• Positif: Globalisasi membawa pertumbuhan ekonomi dan pertukaran budaya.
• Negatif: Kritik terhadap globalisasi mencakup ketidaksetaraan ekonomi,
kehilangan pekerjaan, dan kerusakan lingkungan.
7. Abad ke-21
Sistem penilaian pada abad ke-21 berfokus pada pengembangan keterampilan dan
kemampuan yang relevan dengan kebutuhan dunia modern. Munculnya pendekatan
penilaian formatif yang lebih menekankan feedback dan pengembangan individu.
Teknologi memainkan peran besar dalam penilaian, dengan penggunaan tes online dan
alat penilaian berbasis komputer. Penilaian sekarang mencakup berbagai metode,
termasuk proyek, portofolio, dan penilaian kinerja.
Sistem penilaian ini mencerminkan pergeseran paradigma dari pendekatan yang
bersifat tes dan nilai akhir menuju pendekatan yang lebih holistik, kontekstual, dan
berkelanjutan. Tujuan utamanya adalah mempersiapkan siswa untuk menghadapi
tantangan dan kesempatan yang ada di dunia nyata dengan keterampilan yang relevan dan
diperlukan. Beberapa karakteristik utama dari sistem penilaian ini termasuk:
1. Pentingnya Keterampilan Lunak (Soft Skills): Penilaian tidak hanya berfokus pada
pengetahuan akademis, tetapi juga pada pengembangan keterampilan lunak
seperti kolaborasi, komunikasi, kreativitas, pemecahan masalah, dan kecerdasan
emosional. Ini mencerminkan kebutuhan dunia kerja yang semakin menekankan
aspek interpersonal dan kepemimpinan.
2. Proyek dan Karya Praktis: Siswa dievaluasi melalui proyek-proyek dan tugas-
tugas yang mencerminkan situasi dunia nyata. Ini membantu siswa
mengaplikasikan pengetahuan mereka dalam konteks praktis dan
mengembangkan kemampuan mereka untuk memecahkan masalah secara kreatif.
3. Penilaian Formatif: Sistem penilaian lebih berorientasi pada umpan balik
(feedback) dan pemahaman secara berkelanjutan. Ini memungkinkan guru dan
33 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
siswa untuk terus meningkatkan kinerja mereka sepanjang waktu, bukan hanya
pada akhir periode penilaian.
4. Teknologi dalam Penilaian: Penggunaan teknologi, seperti ujian online, simulasi,
dan analisis data, dapat membantu memberikan wawasan yang lebih mendalam
tentang kemajuan siswa. Teknologi juga dapat digunakan untuk menyediakan
penilaian adaptif, menyesuaikan tingkat kesulitan dengan kemampuan individual
siswa.
5. Diversifikasi Metode Penilaian: Sistem penilaian abad ke-21 mengakui
keberagaman kemampuan siswa dan menggunakan berbagai metode penilaian,
termasuk ujian tertulis, proyek, presentasi, dan portofolio.
6. Kolaborasi dan Tim: Kemampuan untuk bekerja dalam tim dan berkolaborasi
dinilai dengan lebih vokal. Penekanan diberikan pada kemampuan berkontribusi
dalam lingkungan kerja kelompok dan berbagi tanggung jawab.
7. Pengukuran Kemajuan Individual: Lebih dari sekadar memberikan nilai, sistem
penilaian abad ke-21 mencoba mengukur kemajuan individual siswa sepanjang
waktu, memperhitungkan perkembangan mereka dari waktu ke waktu.
8. Pentingnya Keterampilan Digital: Evaluasi juga mencakup keterampilan digital,
termasuk literasi digital, pemahaman teknologi informasi, dan etika online.
34 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
perubahan penilaian juga seringkali merupakan langkah positif menuju masyarakat yang
lebih adil, berkelanjutan, dan inklusif. Beberapa contoh kontroversi dan perubahan
penilaian pada masa kini melibatkan bidang-bidang seperti teknologi, lingkungan, sosial,
dan politik. Berikut beberapa contoh:
35 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
• Kontroversi: Kepemimpinan politik seringkali menjadi sumber kontroversi,
terutama dalam hal kebijakan imigrasi, perdagangan, dan hubungan
internasional.
• Perubahan Penilaian: Masyarakat semakin terlibat dalam politik dan
menuntut transparansi, akuntabilitas, dan kebijakan yang memperhatikan
kepentingan rakyat. Kepemimpinan yang responsif dan bertanggung jawab
diharapkan untuk merespons aspirasi masyarakat.
36 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
1. Progresivisme:
• Ideologi: Menekankan pada pengembangan potensi penuh individu,
menggali minat dan bakat mereka.
• Penilaian: Mungkin lebih fokus pada penilaian formatif (pengukuran
selama pembelajaran) daripada penilaian sumatif (pengukuran akhir).
2. Essensialisme:
• Ideologi: Mengutamakan pengetahuan dasar dan keterampilan esensial.
• Penilaian: Cenderung menuju penilaian yang bersifat objektif dan tes
standar untuk mengukur pemahaman materi inti.
3. Perennialisme:
• Ideologi: Menekankan pada pembelajaran konsep-konsep universal dan
pemahaman abadi.
• Penilaian: Mungkin lebih cenderung pada penilaian tulisan, esai, atau
proyek yang memerlukan pemikiran kritis dan pemahaman mendalam.
4. Konstruktivisme:
• Ideologi: Berfokus pada pembelajaran sebagai proses konstruksi
pengetahuan oleh siswa.
• Penilaian: Lebih mendorong penilaian autentik yang mencerminkan
pemahaman mendalam dan penerapan konsep dalam konteks nyata.
5. Humanisme:
• Ideologi: Memandang pendidikan sebagai sarana untuk pengembangan
pribadi dan kesejahteraan siswa.
• Penilaian: Mungkin mencakup penilaian yang menekankan pertumbuhan
pribadi, seperti penilaian portofolio atau refleksi diri.
6. Multikulturalisme:
• Ideologi: Mengakui dan menghargai keberagaman budaya, etnis, dan latar
belakang siswa.
• Penilaian: Mungkin mencakup elemen penilaian yang mempertimbangkan
konteks budaya siswa.
7. Teknologi Pendidikan:
37 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
• Ideologi: Memanfaatkan teknologi sebagai alat untuk meningkatkan
pembelajaran.
• Penilaian: Dapat melibatkan penilaian berbasis teknologi, seperti ujian
daring atau portofolio digital.
8. Pendidikan Inklusif:
• Ideologi: Menekankan pada pendidikan yang memenuhi kebutuhan semua
siswa, termasuk mereka dengan kebutuhan khusus.
• Penilaian: Memerlukan penilaian yang dapat diakses oleh semua siswa,
mungkin dengan penyesuaian untuk kebutuhan khusus.
Paul Ernest adalah seorang filsuf pendidikan yang memiliki pandangan kritis
terhadap penilaian dalam konteks pendidikan matematika. Ia mengusulkan ide-ide
tertentu yang dapat membentuk ideologi pendidikan menuju penilaian. Meskipun
pemikirannya lebih terfokus pada bidang matematika, prinsip-prinsip yang diusulkan
olehnya dapat diterapkan secara lebih luas dalam konteks pendidikan secara umum.
Berikut adalah beberapa aspek kunci yang dapat diidentifikasi dari pandangan Paul Ernest
terkait penilaian dalam pendidikan:
1. Keterlibatan dan Partisipasi: Ernest menekankan pentingnya keterlibatan aktif dan
partisipasi siswa dalam proses belajar-mengajar. Penilaian tidak hanya seharusnya
mencerminkan kemampuan siswa untuk mengingat fakta, tetapi juga kemampuan
mereka untuk berpikir kritis, memecahkan masalah, dan berpartisipasi dalam
kegiatan pembelajaran.
2. Keadilan dan Kesetaraan: Ideologi Ernest menunjukkan kepeduli terhadap aspek
keadilan dan kesetaraan dalam penilaian. Dia menolak pendekatan yang hanya
mengukur kemampuan siswa berdasarkan faktor-faktor sosial atau ekonomi.
Sebaliknya, penilaian seharusnya mencerminkan kemampuan sebenarnya dan
memberikan peluang yang setara untuk semua siswa.
3. Pentingnya Konsep: Ernest menekankan pentingnya memahami konsep-konsep
dalam pembelajaran matematika. Penilaian seharusnya tidak hanya mencakup
kemampuan mengingat rumus atau aturan, tetapi juga pemahaman siswa terhadap
konsep-konsep dasar dan kemampuan mereka untuk mengaplikasikannya dalam
konteks nyata.
38 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
4. Penekanan pada Aspek Kualitatif: Pemikiran Ernest cenderung lebih mendukung
penilaian kualitatif dibandingkan penilaian kuantitatif. Hal ini dapat mencakup
penilaian berbasis proyek, diskusi, atau penugasan yang mendorong siswa untuk
menunjukkan pemahaman mereka secara mendalam.
5. Pengukuran Kemajuan Seiring Waktu: Ernest mendukung pengukuran kemajuan
siswa seiring waktu, daripada penilaian tunggal atau ujian akhir. Ini
memungkinkan untuk pemahaman yang lebih baik tentang perkembangan siswa
dan memberikan kesempatan untuk penyempurnaan lebih lanjut.
6. Pemahaman Tentang Kesalahan: Dalam pandangan Ernest, kesalahan siswa
seharusnya dilihat sebagai bagian alami dari proses pembelajaran. Penilaian
seharusnya membantu siswa memahami kesalahan mereka, bukan hanya
memberikan nilai sebagai hasil akhir.
Penting untuk diingat bahwa pandangan Paul Ernest lebih spesifik terhadap
pendidikan matematika. Meskipun konsep-konsep ini dapat diterapkan dalam konteks
pendidikan secara umum, sebaiknya juga mempertimbangkan pandangan dan konsep dari
filsuf pendidikan lainnya untuk memperoleh pemahaman yang lebih holistik tentang
penilaian dalam pendidikan.
Terminologi lain yang perlu dijelaskan dalam ulasan ini, sebelum melakukan
elaborasi lebih lanjut, ialah istilah pendidikan. Kata pendidikan diambilkan dari term
education bermakna tindakan atau proses mendidik (Freire, 2003) sebagai bentuk derivat
dari educe yang berarti untuk membawa atau menarik keluar; menyebabkan muncul
(Freire, 2002). Aktivitas mendidik tidak lain ialah untuk memunculkan atau membimbing
potensi seorang anak; untuk mengembangkan dan menumbuhkan, baik secara fisik,
mental, atau moral (Reimer, 1987). Sedangkan sekolah atau school merupakan tempat
atau lembaga untuk belajar (an institution for learning). Dewasa ini, tidak sedikit dari
para teoritisi pendidikan yang skeptis terhadap eksistensi sekolah sebagai institusi
pembelajaran. Everett Reimer, misalnya, menganggap bahwa sekolah tak ubahnya seperti
bengkel terapis bagi anak-anak “nakal”, media awal pemisahan anak-
anak ke dalam celah-celah sosial melalui penjenjangan kelas, mengajarkan indoktrinasi
dengan menetapkan standar “baik” dan “buruk” versi lembaga.
Padahal, seharusnya peran sekolah ialah membebaskan peserta didik dari segala
bentuk ketertindasan (Siemens, 2004).
39 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
Begitu juga aktivis pendidikan dari Brazil Paulo Freire menilai bahwa sekolah
menjadi media ampuh untuk menjauhkan peserta didik dari realitas (alienasi). Kondisi
demikian sangat mungkin terjadi manakala sekolah dipegang oleh guru konservatif yang
dalam setiap pembelajarannya cukup mengakomodasikan dan mengadaptasikan siswa
dengan dunia yang dihadirkannya. Oleh karena itu, Freire menyarankan kepada pegiat
pendidikan untuk mengubah karakter guru-guru konservatif menjadi guru progresif, yaitu
guru yang cakap mengkonstruksikan kritisisme siswa dengan menantangnya untuk
memahami bahwa dunia yang dihadirkan sebagaimana adanya adalah sebuah dunia yang
diciptakan, sehingga ia dapat diubah, ditransformasikan, dan direka ulang.
Proses mengenal dunia, bukan sebagai dunia yang begitu saja diterima, melainkan
sebagai dunia yang secara dinamis aktif dalam proses pembentukan, dinamai Freire
sebagai proses konsientisasi (penyadaran). Kesadaran diri di sini tidak sekedar berhenti
pada tahap refleksi, tetapi juga merembes pada aksi nyata yang akan selalu
direfleksikan sebagai proses timbal balik yang terus menerus.
40 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
1. Ideologi Pendidikan Konservatif
a. Fundamentalisme Pendidikan
Paham ini meminimalkan pertimbangan-pertimbangan filosofis dan atau
intelektual, serta cenderung untuk mendasarkan diri mereka pada penerimaan yang relatif
tanpa kritik terhadap kebenaran yang diwahyukan atau konsesnsus sosial yang sudah
mapan (yang biasanya diabsahkan sebagai “akal sehat”). Penalaran kaum fundamentalis
bisa disederhanakan menjadi lima hal, yaitu (Foucault, 1977):
41 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
menyalurkan informasi dan keterampilan-keterampilan yang perlu agar berhasil dalam
tatanan sosial yang ada sekarang.
Anak-anak sebagai pelajar dianggap condong ke arah kekeliruan dan kejahatan jika
tidak ada bimbingan yang kuat dan pengajaran yang baik. Kesamaan-kesamaan
individual lebih penting ketimbang perbedaaan-perbedaan di antara mereka, dan
kesamaan ini secara tepat bersifat menentukan program-program pendidikan yang baik.
Metoda pengajaran dan penilaian hasil belajar ditekankan pada tata cara pengajaran
dalam kelas yang tradisional, misalnya ceramah, hapalan, serta diskusi kelompok yang
terstruktur secara ketat. Ulangan/tes sesudah pembelajaran diberikan merupakan cara
terbaik untuk memapankan kebiasaan. Pembelajaran terbaik ditentukan dan diarahkan
oleh guru, sebab siswa tidak cukup tercerahkan untuk mengarahkan proses perkembangan
intelektualnya sendiri. Guru harus dipandang sebagai panutan dalam kesempurnaan moral
dan akademik. Persaingan antarpersonal untuk mendapatkan nilai terbaik dan peringkat
nilai tertinggi di kelas adalah hal yang dikehendaki dan perlu diadakan demi memupuk
kesempurnaan.
b. Intelektualisme pendidikan
42 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
condong ke arah kebijaksanaan dan kebaikan, karena secara hakiki ia adalah mahluk yang
rasional dan sosial.
Kesamaan individual lebih penting daripada perbedaan dan menjadi dasar untuk
menentukan program sekolah. Wewenang pendidikan musti ditanamkan di tangan elit
intelektual yang berpendidikan tinggi. Penekanan pada intelektual (yakni yang bersifat
ideasional, berkaitan dengan teori penafsiran yang luas), ketimbang yang praktis (yang
segera berguna bagi siswa) ataupun yang akademis (belajar tentang bagaimana caranya
belajar, dan menguasai jenis pengetahuan teknis).
c. Konservatisme Pendidikan
Beberapa ciri dari konservatisme pendidikan adalah 1) penghormatan terhadap
masa silam, 2) konsepsi organis mengenai masyarakat, 3) kesatuan komunal, 4)
keberlanjutan konstitusional, 5) menentang revolusi Pembaharuan/reformasi yang hati-
hati atau secara evolusioner, 6) landasan keagamaan bagi negara, 7) sumber ketuhanan
bagi wewenang yang absah, 8) mendahulukan kewajiban ketimbang hak, 9) watak
individu dan karakter komunal adalah hal yang sangat penting, dan 10) kesetiaan/loyalitas
Akal sehat, realisme, dan kepraktisan.
Tujuan utama pendidikan ialah melestarikan dan menyalurkan pola-pola perilaku
sosial konvensional. Sasaran sekolah untuk mendorong tentang pemahaman dan
penghargaan terhadap lembaga-lembaga, tradisi-tradisi, proses-proses budaya yang telah
teruji waktu, termasuk rasa hormat yang mandalam terhadap hukum dan tatanan. Selain
itu, juga untuk menanamkan informasi yang diperlukan supaya berhasil di dalam tatanan
sosial yang ada. Anak sebagai pelajar memerlukan bimbingan yang ketat serta pengarahan
yang jelas sebelum ia menjadi terbelajarkan (tersosialisasikan) secara efektif sebagai
seorang warga negara yang bertanggungjawab. Kesamaan individual lebih penting
43 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
daripada perbedaannya sekaligus menjadi dasar penentuan program berikutnya.
Wewenang pendidikan diserahkan kepada pendidik profesional yang matang serta
bertanggung jawab dan cukup bijaksana untuk menghindari perubahan-perubahan yang
berlebihan dalam menanggapi tuntutan masyarakat luas. Wewenang guru didasarkan pada
peran dan status sosial yang dimilikinya dalam arti seorang guru memiliki wewenang
karena ia adalah guru. Tak peduli apakah dalam menjadi guru berprestasi atau tidak,
kompeten atau tidak, baik atau buruk, benar atau salah, yang penting ia adalah seorang
guru.
44 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
praktis lewat penerapan tatacara penyelesaian masalah secara individual maupun
kelompok yang didasarkan pada metoda-metoda ilmiah-rasional. Anak sebagai pelajar
pada umumnya cenderung untuk menjadi baik (yakni menginginkan/melakukan tindakan
yang efektif dan tercerahkan) berdasarkan konsekuensi-konsekuensi alamiah dari
perilakunya sendiri yang terus berkelanjutan. Perbedaan-perbedaan individu lebih
penting daripada persamaannya dan perbedaan itu bersifat menentukan (determinatif)
dalam penetapan program-program pendidikan (Heidegger, 2012). Anak-anak secara
moral setara dan mereka musti memiliki kesetaraan kesempatan.
b. Liberasionisme Pendidikan
Sasaran puncak pendidikan, bagi kaum liberasionis mustilah berupa penanaman
pembangunan kembali masyarakat mengikuti alur yang benar-benar berkemanusiaan
(humanistik), yang menekankan perkembangan sepenuh-pnuhnya dari potensi-potensi
khas setiap orang sebagai mahluk manusia. Tujuan pendidikan adalah untuk mendorong
pembaharuan-pembaharuan sosial yang perlu, dengan cara memaksimalkan kemerdekaan
personal di dalam sekolah, serta dengan cara membela kondisi yang lebih manusiawi dan
45 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
memanusiakan. Sasaran sekolah untuk membantu para siswa mengenali dan menanggapi
kebutuhan akan pembaharuan/perombakan sosial, menyediakan informasi dan
keterampilan-keterampilan yang diperlukan supaya bisa belajar secara efektif bagi
dirinya sendiri, dan untuk mengajarkan para siswa bagaimana cara memecahkan masalah-
masalah praktis melalui penerapan teknik-teknik penyelesaian masalah secara individual
maupun kelompok yang didasari oleh metoda ilmiah-rasional. Anak-anak sebagai pelajar
condong untuk menjadi baik jika diasuh dalam masyarakat yang baik (yakni bersifat
rasional dan berkemanusiaan). Perbedaan individual lebih penting daripada kesamaannya
dan menjadi landasan penentuan program selanjutnya. Wewenang pendidikan musti
ditanamkan di tangan minoritas yang tercerahkan, yang terdiri atas para intelektual yang
bertanggung jawab, yang sepenuhnya sadar akan kebutuhan objektif bagi perubahan-
perubahan sosial yang konstruktif, dan mampu menanamkan perubahan tersebut melalui
sekolah-sekolah. Metoda pengajaran harus seimbang pada pemahaman problem
(pengenalan dan analisis terhadap problem secara tepat) serta pemecahan masalah.
Disiplin dan hapalan mungkin terkadang perlu supaya bisa menguasai sebuah
keterampilan yang akan diperlukan demi menangani problem personal atau sosial yang
penting secara efektif, dan hapalan harus diminimalisir dan atau dihapus sama sekali.
Guru dipandang sebagai panutan dalam hal komitmen intelektual serta keterlibatan
sosialnya (Wittgenstein, 2009).
Ujian yang didasarkan kepada perilaku para siswa yang tanpa dilatih/dipersiapkan
lebih dulu sebagai tanggapan atas persoalan-persoalan sosial yang penting adalah lebih
disukai ketimbang ujian yang dinilai berdasarkan tes-tes biasa di ruang kelas. Persaingan
antarpribadi dan penyusunan peringkat nilai siswa secara tradisional harus diminimalisir
dan atau dihapuskan sama sekali. Guru harus demokratis dan objektif dalam menentukan
tolok ukur perilaku dan harus ditentukan bersama-sama dengan para siswa, sebagai cara
mengembangkan rasa tanggung jawab moral mereka.
c. Anarkisme Pendidikan
Anarkisme adalah sudut pandang yang membela pemusnahan seluruh kekangan
kelembagaan terhadap kebebasan manusia, sebagai jalan untuk mengujudkan sepenuh-
penuhnya potensi-potensi manusia yang telah dibebaskan. Bagi kaum anarkis, pendidikan
yang dipandang sebagai sebuah proses yang harus ada untuk belajar melalui pengalaman
sosial alamiah manusia itu sendiri jangan sampai dikacaukan dengan persekolahan
46 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
(Derrida, 2001). Denganmemerosotkan tanggung jawab personal, Negara dan
persekolahan membuat anak-anak jadi tak bisa dididik dalam arti pendidikan yang sejati;
mereka membantu membawakan pendidikan sejati dan meninggikan apa yang hanya
sekedar pelatihan. Sekolah, sebagaimana negara sendiri, diadakan terutama untuk
mengatur kebutuhan-kebutuhan ciptaannya sendiri. Kita memerlukan sebuah perobohan
lembaga-lembaga deinstitusionalisasi yang radikal, termasuk perobohan lembaga
persekolahan (deschooling).
47 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
dihapuskan. Guru adalah sebuah aspek yang bisa dihapus/dibuang (atau paling banter
menjadi sebuah pilihan saja) dari proses pendidikan. Penilaian atau evaluasi terbaik
adalah penilaian dari diri sendiri yang harus difungsikan hampir secara eksklusif untuk
tujuan persaingan diri. Secara alamiah, manusia bersifat sosial dan mau bekerjasama.
Sejalan dengan itu, kegiatan belajar harus menekankan kerjasama serta meminimalkan
persaingan antarpribadi demi ganjaran-ganjaran. Individu secara intrinsik
memilikipersaingan diri (dengan dirinya sendiri), serta tidak memerlukan dorongan dari
luar untuk belajar. Pembedaan tradisional antara yang kognitif, afektif, dan interpersonal
adalah pembedaan palsu/artifisial dan tidak produktif dalam memandang proses belajar
yang sebenarnya bersifat total serta organis.
48 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
masa sehingga nilai-nilai yang tertanam dalam warisan budaya/sosial adalah nilai-nilai
kemanusiaan yang berbentuk secara berangsur-angsur melalui kerja keras dan susah
payah selama beratus tahun, di dalam telah teruji dalam gagasan-gagasan dan cita-cita
yang telah teruji dalam perjalanan waktu. Realisme berasal dari kata real yang berarti
aktual atau yang ada. Realisme adalah aliran yang patuh kepada yang ada (fakta).
Realisme termasuk dalam kelompok pemikiran klasik. Aliran ini memandang dunia
dari sudut materi. Menurut mereka, realitas dunia ini adalah alam. Segala sesuatu berasal
dari alam dan yang menjadi subjek adalah hukum alam (dunia nyata, alam dan benda).
Oleh karenanya suatu pengetahuan akan dikatakan benar atau tepat apabila sesuai dengan
kenyataan. Menurut aliran filsafat realisme, pendidikan dimaksudkan sebagai kajian atau
pembelajaran disiplin-disiplin keilmuan yang melaluinya kemudian kita mendapatkan
definisi-definisi dan juga pengklasifikasiannya. Realisme yang mendukung esensialisme
yang disebut realisme obyektif karena mempunyai pandangan yang sistematis mengenai
alam serta tcmpat manusia di dalamnya. Ilmu pengetahuan yang mempengaruhi aliran
realisme dapat dilihat dari fisika dan ilmuilmu lain yang sejenis dapat dipelajari bahwa
tiap aspek dari alam. Sedangkan menurut aliran esistensialisme pendidikan menekankan
pada individu sebagai sumber pengetahuan. Dalam bidang pendidikan, aliran
eksistensialisme menuntut adanya system pendidikan yang beraneka ragam warna dan
berbeda-beda, baik metode pengajarannya maupun penyusunan keahlian-keahlian. Hal
ini karena aliran eksistensialisme mengutamakan perorangan/individu. Oleh sebab itu, ia
tidak membatasi murid dengan buku-buku yang ditetapkan saja. Sebab, hal ini akan
membatasi kemampuan murid untuk mengenal pengetahuan lain yang bermacam-macam
dan berbeda-beda.
1. Ideologi Penilaian
Ideologi atau adicita merupakan suatu ide atau gagasan. Kata ideologi sendiri
diciptakan oleh Antoine Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan
"sains tentang ide". Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai
cara memandang segala sesuatu (bandingkan Weltanschauung). Tujuan utama di balik
ideologi adalah untuk menawarkan perubahan melalui proses pemikiran normatif.
Ideologi adalah sistem pemikiran abstrak (tidak hanya sekadar pembentukan ide) yang
diterapkan pada masalah publik sehingga membuat konsep ini menjadi inti politik. Secara
49 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
implisit setiap pemikiran politik mengikuti sebuah ideologi walaupun tidak diletakkan
sebagai sistem berpikir yang eksplisit. (definisi ideologi Marxisme).
Kata Ideologi pertama kali diperkenalkan oleh filsuf Prancis Destutt de Tracy pada
tahun 1796. Kata ini berasal dari bahasa Prancis idéologie, merupakan gabungan 2 kata
yaitu, idéo yang mengacu kepada gagasan dan logie yang mengacu kepada logos, kata
dalam bahasa Yunani untuk menjelaskan logika dan rasio. Destutt de Tracy
menggunakan kata ini dalam pengertian etimologinya, sebagai "ilmu yang meliputi kajian
tentang asal usul dan hakikat ide atau gagasan".
Ideologi berbeda dengan kebudayaan, tapi mempunyai makna yang hampir sama.
Dalam ideologi, penilaian dianggap lebih penting. Sedangkan dalam kebudayaan
keterampilan dan pengetahuan teknik lebih diperhitungkan. Selain itu, ideologi hanya
dianut oleh kalangan tertentu dari seluruh masyarakat. Sebaliknya, kebudayaan diyakini
oleh seluruh lapisan masyarakat. Dalam disiplin ilmiah, ideologi hanya dikaji
dalam sosiologi. Dalam sosiologi pengetahuan, ideologi merupakan kajian utama.
Sedangkan dalam sosiologi agama dan sosiologi politik, ideologi menjadi bagian dari
kajiannya.
50 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
komprehensif dalam pembelajaran adalah penilaian hasil belajar yang melibatkan
penialian proses dan penilaian produk dengan melibatkan ketiga ranah penilaian, yaitu
ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Penilaian pengetahuan dilakukan sesuai
dengan tuntutan kompetensi yang dirumuskan dalam kurikulum, penilaian sikap
diarahkan pada perkembangan sikap ilmiah yang dimiliki oleh peserta didik, dan
penilaian keterampilan ditekankan pada penilaian kemampuan peserta didik dalam
mengimplementasikan metode ilmiah.
Tiga ranah penilaian tersebut (sikap, pengetahuan, keterampilan), pengembangan
sikap dan keterampilan memerlukan waktu dan kesabaran para pendidik. Pengembangan
sikap harus dikondisikan secara terus menerus sampai menjadi kebiasaan. Hal tersebut
dapat dilakukan dengan membuat tantangan-tantangan masalah bagi peserta didik yang
harus dipecahkan dengan dorongan rasa ingin tahu, secara jujur, secara hati-hati, secara
objektif, dan lainlain. Pengembangan keterampilan harus diulangi berkali-kali sampai
terampil. Misalnya, melakukan pengukuran berat dengan jalan menimbang harus
dilakukan berkali-kali sampai peserta didik mampu menimbang zat yang dibutuhkan
dengan takaran yang tepat dan dalam waktu yang singkat. Apabila penilaian sudah
dilakukan dengan melibatkan produk dan proses sains, maka hal berikutnya yang harus
diperhatikan adalah memberikan proporsi bobot penilaian agar sesuai dengan kompetensi
yang menjadi tuntutan kurikulum.
Pembaharuan paradigma dalam objek penilaian adalah perubahan pola pikir
terhadap hal-hal yang harus dinilai sebagai hasil belajar sains. Dalam hal ini, penilaian
hasil belajar harus diarahkan pada penilaian otentik. Artinya, penilaian harus dilakukan
sesuai dengan kegiatan real pembelajaran yang dilakukan oleh peserta didik. Jangan
sampai penilaian dilakukan tidak sesuai dengan kegiatan yang dilakukan peserta didik
dalam pembelajaran. Misalnya, apabila peserta didik dituntut untuk melakukan praktikum
dan melaporkan hasil praktikumnya, maka penilaian harus melibatkan proses praktikum
yang dilakukan peserta didik dan penilaian terhadap laporan hasil praktikum yang
dibuatnya; apabila peserta didik diminta untuk berdiskusi untuk memahami suatu materi,
maka penilaian hasil belajarnya harus melibatkan penilain kegiatan diskusi dan
penguasaan materi yang didiskusikan.
51 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
3. Teori Pembelajaran
Dalam teorinya, secara garis besar terdapat tiga teori pembelajaran yaitu
Behaviourism, Cognitive Approaches, dan Connectivism. Berikut adalah
pembahasannya:
Behaviourism
Teori belajar yang menekankan terhadap perubahan perilaku anak adalah teori
belajar behaviorisme. Teori behaviorisme melihat bahwa belajar merupakan perubahan
tingkah laku. Seseorang telah dianggap belajar apabila mampu menunjukkan perubahan
tingkah lakunya. Teori behaviorisme ini mengakui pentingnya masukan (input) yang
berupa stimulus dan keluaran (output) yang berupa respon. Berdasarkan hal ini, maka
penulis ingin membahas penerapan teori belajar behaviorisme dalam pembelajaran (studi
pada anak).
Teori belajar behaviorisme ialah teori yang mempelajari perilaku manusia. Teori ini
berfokus pada peran dari belajar dalam menjelaskan tingkah laku manusia dan terjadi
melalui rangsangan atau stimulus yang menimbulkan hubungan perilaku yang reaktif atau
respon. Dalam teori behaviorisme, tingkah laku sepenuhnya ditentukan oleh aturan, bisa
diramalkan dan bisa ditentukan. Menurut teori ini, seseorang yang terlibat dalam tingkah
laku tertentu karena telah mempelajarinya atau menghubungkan tingkah laku tersebut
dengan hadiah. Namun, seseorang dapat pula menghentikan tingkah laku karena belum
diberi hadiah. Semua hasil tingkah laku tersebut merupakan tingkah laku yang dapat
dipelajari (Fahyuni & Istikomah, 2016).
Teori belajar behaviorisme adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari
pengalaman. Belajar disebabkan adanya interaksi antara stimulus dengan respon (Abidin,
2022). Dalam belajar, hal yang terpenting yaitu adanya input (stimulus) dan output
(respon). Misalnya, munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan
akan menghilang bila dikenai hukuman. Jadi hakikat dari teori belajar behaviorisme ini
adalah teori yang berfokus hubungan stimulus-respon dan adanya perilaku nyata (Ismail
et al., 2019). Menurut (Zulhammi, 2015) teori belajar behaviorisme adalah teori tentang
tingkah laku manusia. Fokus utama dari teori belajar behaviorisme ini adalah perilaku
yang terlihat dan penyebab luar menstimulasinya. Belajar merupakan perubahan tingkah
laku sebagai pengalaman. Belajar menurut teori ini merupakan akibat adanya interaksi
antara rangsangan (stimulus) dan reaksi (respon). Seseorang akan dianggap telah belajar
52 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
jika dapat menunjukkan perubahan perilaku. Sedangkan teori belajar behaviorisme
menurut (Putrayasa, 2013) menekankan bahwa dalam belajar yang terpenting adalah
input yang berupa stimulus dan output yang berupa respons. Stimulus adalah sesuatu yang
diberikan guru kepada anak, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan anak
terhadap stimulus yang diberikan. Untuk itu, segala sesuatu yang diberikan oleh guru
(stimulus) dan segala sesuatu yang diterima oleh anak (respon) harus dapat diamati dan
diukur. Berdasarkan beberapa uraian di atas, dapat dipahami bahwa teori belajar
behaviorisme memiliki konsep dasar bahwa belajar merupakan interaksi antara
rangsangan (stimulus) dan tanggapan (respon). Stimulus ialah rangsangan atau dorongan
yang digunakan oleh guru untuk membentuk tingkah laku, sedangkan respon ialah
tanggapan atau kemampuan (pikiran, perasaan, ataupun tindakan) yang ditunjukkan oleh
anak setelah adanya stimulus yang diberikan oleh guru. Teori ini mengutamakan
pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi
tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Cognitive Approach
Teori kognitif mulai berkembang pada abad 20-an. Secara sederhana teori ini
menggambarkan bahwa belajar adalah aktivitas internal yang terdiri dari beberapa proses,
seperti: pemahaman, mengingat, mengolah informasi, problem-solving, analisis, prediksi,
dan perasaan. Pada implementasi proses belajar mengajar di sekolah, bentuk penerapan
teori kognitif adalah guru ketika menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh peserta
didik serta memberi ruang bagi mereka untuk saling berbicara serta diskusi dengan
teman-temannya. Ada juga yang menggambarkan bahwa teori belajar kognitif itu ibarat
komputer. Proses awalnya dimulai dengan input data, kemudian mengolahnya hingga
mendapatkan hasil akhir. Beberapa tokoh yang berperan mengembangkan teori ini adalah
Jean Piaget, dan Jerome Bruner.
Teori kognitif juga menekankan bahwa bagian-bagian bahawa dari sistuasi saling
berhubungan dengan seluruh kontek situasi tersebut. Memisah-misahkan atau membagi-
bagi situasi /materi pelajaran menjadi komponen-komponen yang kecil- kecil dan
mempelajarinya secara terpisah-pisah, akan kehilangan makna. Teori ini berpandangan
bahwa belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi,
pengolahan infirnasi, emosi, dan aspek-aspek kejiwaan lainnya. Belajar merupakan
aktifitas yang melibatkan proses berfikir yang sangat komplek (Nurhadi, 2020). Prose
53 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
belajar terjadi antara lain mencakup pengaturan stimulus yang diitrerima dan
menyesuaikannya dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki dan sudah terbentuk
dalam diri sesorang berdasarkan pemahman dan pengalaman-pengalaman sebelumnnya.
Dalam praktek pembelajaran, teori kognitif antara lain tampak dalam rumusan-rumusan
seperti: “tahap-tahap perkembangan” yang dikemukakan oleh j.piaget, advance organizer
oleh ausubel, pemahaman konsep oleh bruner, hirarki belajar oleh gagne, webteacing oleh
norman dan sebagainya (Budiningsih, 2015).
Dalam Teori Piaget, anak dilahirkan dengan beberapa skemata sensorimotor, yang
memberi kerangka bagi interaksi awal anak dengan lingkungannya. Pengalaman awal si
anak akan ditentukan oleh skemata sensorimotor ini. Dengan kata lain, hanya kejadian
yang dapat diasimilasikan ke skemata itulah yang dapat di respons oleh si anak, dan
karenanya kejadian itu akan menentukan batasan pengalaman anak. Tetapi melalui
pengalaman yang dialami anak, skemata awal ini dimodifikasi.
Setiap pengalaman mengandung elemen unik yang harus di akomodasi oleh
struktur kognitif anak. Melalui interaksi dengan lingkungan, struktur kognitif akan
berubah, dan memungkinkan perkembangan pengalaman terus-menerus. Menurut Piaget
menyatakan bahwa pertumbuhan intelektual yang dimulai dengan respons refleksif anak
terhadap lingkungan akan terus berkembang sampai ke titik di mana anak mampu
memikirkan kejadian potensial dan mampu secara mental mengeksplorasi kemungkinan
akibatnya. Teori Piaget berfokus pada anak-anak, mulai dari lahir hingga remaja, dan
menjelaskan berbagai tahap perkembangan, termasuk bahasa, moral, memori, dan
pemikiran. Ada 4 tahapan perkembangan anak menurut Piaget yaitu:
54 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
Tahap Pra-operasional (Usia 2 – 7 Tahun)
Tahap pra-operasional merupakan tahap kedua dalam teori Piaget. Tahap ini
dimulai sekitar 2 tahun dan berlangsung hingga kira-kira 7 tahun. Selama periode ini,
anak berpikir pada tingkat simbolik tapi belum menggunakan operasi kognitif.
Pemikiran anak selama tahap ini adalah sebelum operasi kognitif. Artinya, anak
tidak bisa menggunakan logika atau mengubah, menggabungkan, atau memisahkan ide
atau pikiran. Perkembangan anak terdiri dari membangun pengalaman tentang dunia
melalui adaptasi dan bekerja menuju tahap (konkret) ketika ia bisa menggunakan
pemikiran logis. Selama akhir tahap ini, anak secara mental bisa merepresentasikan
peristiwa dan objek (fungsi semiotik atau tanda), dan terlibat dalam permainan simbolik.
55 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
Tingkatan perkembangan intelektual manusia mempengaruhi kedewasaan,
pengalaman fisik, pengalaman logika, transmisi sosial dan pengaturan sendiri. Teori
Piaget jelas sangat relevan dalam proses perkembangan kognitif anak, karena dengan
menggunakan teori ini, manusia dapat mengetahui adanya tahap-tahap perkembangan
tertentu pada kemampuan berpikir anak di levelnya. Dengan demikian bila dikaitkan
dengan pembelajaran kita bisa memberikan perlakuan yang tepat bagi anak, misalnya
dalam memilih cara penyampaian materi bagi siswa sesuai dengan tahap perkembangan
kemampuan berpikir yang dimiliki oleh anak (Mukaramah et al., 2020).
Connectivism
Perkembangan teknologi yang begitu cepat saat ini telah berimplikasi pada
perubahan teori pembelajaran. Teori pembelajaran yang lebih tua tidak mampu
menjelaskan perkembangan yang ada. Oleh karena itu lahirlah teori belajar baru yang
dibangun dengan tanpa membuang teori lama yang telah ada. Sesuai perkembangan era
digital saat ini maka kita mengenal teori belajar connectivism.
Teori connectivism telah diperkenalkan oleh George Siemens, seorang pakar
pendidikan dari Universitas Manitoba Canada pada tanggal 12 Desember 2004 dalam
sebuah artikel online sebagai suatu gagasan mengenai pembelajaran di abad ke-21
(Malikah et al., 2022). Teori ini sangat sesuai untuk pembelajaran abad 21 yang ditandai
dengan keterampilan digital, berpikir kritis, menyelesaikan masalah, kreatif, dan
kolaboratif. Connectivisme merupakan salah satu teori pembelajaran yang diintegrasikan
berdasarkan prinsip teori chaos, jejaring, kompleksitas, dan self-organizing (Kontesa &
Fauziati, 2022).
Chaos
Chaos artinya kekacauan/hilangnya prediktabilitas, yang dibuktikan dengan
pengaturan yang rumit dan bertentangan dengan ketertiban. Hal ini tidak sebagaimana
teori konstruktivisme yang menyatakan bahwa pembelajar berusaha untuk
mengembangkan pemahaman dengan tugas membuat makna. Chaos menyatakan bahwa
makna itu ada, dan tantangan pembelajar adalah mengenali pola-pola yang tampak
tersembunyi. Membuat makna dan membentuk hubungan antara komunitas merupakan
kegiatan yang penting. Dalam pengambilan keputusan, perubahan yang terjadi pada hal
yang mendasari pengambilan keputusan, maka akan menjadikan keputusan itu sendiri
tidak lagi benar sebagaimana pada saat keputusan dibuat. Disinilah peran pembelajar
56 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
yang utama adalah kemampuan untuk mengenali dan menyesuaikan diri dengan pola
perubahan.
Networking
Belajar adalah sebagai penciptaan jaringan (Siemens, 2004). Siemens menyatakan
bahwa saat pelajar terlibat dalam menciptakan pembelajaran mereka sendiri dalam sebuah
jaringan, maka pemahaman akan muncul melalui penerapan metakognisi untuk
mengevaluasi elemen mana yang bermanfaat dalam mencapai tujuan dan elemen mana
yang perlu dihilangkan. Dalam salah satu penelitiannya Siemens (2004) juga menyatakan
tentang trend era peralihan saat ini adalah pembelajaran informal merupakan bagian yang
signifikan dari pengalaman belajar seseorang.
Pendidikan formal tidak lagi menjadi bagian utama pembelajaran. Pembelajaran
sekarang dilakukan melalui beraneka cara, baik melalui praktek dalam komunitas,
jejaring pribadi, atau melalui penyelesaian pekerjaan yang saling terkait. Saat ini kita
memperoleh pembelajaran yang kita butuhkan tidak lagi secara individual, tetapi dengan
melakukan keterhubungan atau jejaring. Jejaring dapat didefinisikan sebagai
keterhubungan baik keterhubungan melalui jejaring komputer, maupun jejaring sosial
lainnya. Manusia di dunia saat ini bersaing untuk mendapatkanhubungan, karena
kemampuan untuk membangun hubungan adalah syarat untuk survival dalam lingkungan
saat ini yang serba terkoneksi. Dalam pembelajaran, terdapat kecenderungan bahwa
konsep pembelajaran yang akan dipakai adalah tergantungpadaseberapa baik sesuatu itu
terhubung dengan jejaring yang ada saat ini.
Kompeksitas
Kompleksitas artinya adanya suasana yang tidak teratur atau ruwet. Karena
informasi yang datang begitu cepat dengan adanya teknologi digital.
57 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
otomatis atau spontan akan mengubah perilakunya sesuai kondisi yang ada di
lingkungannya masing-masing. Di era digital ini, kemampuan maing-masing orang untuk
mengatur dirinya sendiri untuk menciptakan pengetahuan baru melalui keterhubungan
antar sumber informasi menjadi penting untuk dipelajari.
Connectivism merupakan teori belajar yang sesuai dengan gaya belajar dan
karakteristik masing-masing siswa. Implikasi teori ini sangat dirasakan dalam proses
pembelajaran siswa di dalam kelas. Implikasi Teori belajar connectivism terhadap
pemanfaatan E-learning dalam pembelajaran saat ini cukup besar dirasakan pengaruhnya
antara lain:
a) Siswa dapat mengakses sumber belajar dengan cepat dalam hitungan detik.
b) Siswa secara aktif terlibat dalam mengkoneksikan aneka sumber belajar menurut
kebutuhannya masing-masing dan disesuaikan dengan tujuan belajar.
c) Siswa bisa belajar kelompok bersama temannya dan juga gurunya dengan
memanfaatkan fasilitas jaringan internet dan aplikasi belajar (secara waktu dan
tempat sangat flexible.
d) Siswa senantiasa mendapatkan kebaharuan pengetahuan melalui sumber
informasi yang sangat cepat dan ini merupakan tujuan dari teori connectivism.
V. PENILAIAN KONSTRUKTIF
Setiap kali mendengar istilah penilaian, maka akan diingatkan oleh sebuah ruang
ujian atau menunggu hasil tes (penilaian = tes dan nilai numerik). Setelah dilakukan tes,
maka beberapa saat kemudian akan dilakukan penilaian yang pada akhirnya akan
ditemukan sebuah nilai akhir. Ketika dilihat lebih dalam, hasil penilaian sering kali hanya
berupa angka atau huruf yang tidak memiliki penjelasan lebih lanjut mengenai penilain
tersebut. padahal, pada penilaian siswa ada beberapa hal yang diamati yaitu afektif,
psikomotrik atau kognitif (penilaian tidak berkelanjutan). Penilaian merupakan
rangkaian kegiatan untuk memperoleh, menganalisis, dan menafsirkan data tentang
proses dan hasil belajar peserta didik yang dilakukan secara sistematis dan
berkesinambungan, sehingga menjadi informasi yang bermakna dalam pengambilan
58 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
keputusan. Penilaian pembelajaran harus dirancang untuk dapat mengukur dan
memberikan informasi mengenai pencapaian kompetensi peserta didik yang diperoleh
melalui kegiatan tatap muka, penugasan terstruktur, dan kegiatan mandiri tidak
terstruktur. Berbagai macam teknik penilaian dapat dilakukan secara komplementer
(saling melengkapi) sesuai dengan kompetensi yang dinilai.
Penilaian juga bertujuan untuk mengetahui seberapa besar keberhasilan
berdasarkan standar kompetensi yang kemudian diperluas menjadi kompetensi dasar,
penilaian juga dilakukan secara terstruktur, mempunyai jangka waktu untuk mengamati
keberhasilan dan pencapaian peserta didik. Oleh karena itu pentingnya mengenali lebih
dalam mengenai penilaian dalam pembelajaran matematika dengan cara mempelajari
filsafat, ideologi, paradigma, dan teori penilaian dalam pembelajaran matematika agar
memberikan inspirasi bagaimana mengorganisasikan proses penilaian yang ideal.
Pada makalah ini akan dibahas tentang penilaian pembelajaran, bagaimana cara
melakukan penilaian terhadap peserta didik, mengapa harus melakukan penilaian
terhadap peserta didik dan lain sebagainya. Semuanya dibahas dari sudut pandang filsafat,
ideologi, paradigma dan teori penilaian.
Learning Assesment
Evaluation
No Model Syntax Reference
Quantitative Qualitative
1 Behaviouristik 1. Orientasi Tes kemampuan - Penilaian Abidin, A. M. (2022).
(direct 2. Presentasi kognitif proses Penerapan Teori Belajar
learning) 3. Latihan terstruktur - Penilaian Behaviorisme dalam
4. Latihan terbimbing afektif Pembelajaran (Studi Pada
5. Latihan mandiri Anak ). An Nisa’, 15(1), 1–8
B.F Skinner, John B. Watson
2 Pembelajaran 1. Persiapan - Tes kognitif Abidin, A. M. (2022).
Ekspositoris 2. Penyajian (LOTS) Penerapan Teori Belajar
3. Korelasi - Pear assasmen Behaviorisme dalam
4. Menyimpulkan - Self assesmen Pembelajaran ( Studi Pada
5. Mengaplikasikan Anak ). An Nisa’, 15(1), 1–8
3 Sosial 1. Sajian masalah - Tes kognitif - Observasi Budiningsih. (2015). Belajar
Cognitive konseptual dan (LOTS) - Penilaian dan pembelajaran. PT.
kontekstual - Pear assasmen afektif Rineka Cipta.
2. Konfrontasi miskonsepsi - Tes diagnostic
terkait dengan masalah - Self assesmen Nurhadi. (2020). Teori
yang disajikan oleh kognitivisme serta
pendidik aplikasinya dalam
3. Konfrontasi sangkalan pembelajaran. 2, 77–95.
yang bersifat
demonstrasi, analogis, Rahyubi, 2012
59 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
atau contoh-contoh
konkrit
4. Konfrontasi pembuktian
pembuktian konsep dan
prinsip ilmiah
5. Konfrontasi materi dan
contoh-contoh
kontekstual
6. Konfrontasi pertanyaan-
pertanyaan untuk
memperluas pemahaman
dan penerapan
pengetahuan secara
bermakna.
4 Cognitive 1. Motivasi, fase awal - Tes kemampuan - Penilaian Robert M. Gagne dalam
information memulai pembelajaran kognitif (HOTS) proses Rusman (2014: 139)
process dengan adanya dorongan - Lembar penilaian - Penilaian
untuk melakukan suatu aktivitas afektif, Fahyuni, E. F., & Istikomah.
tindakan dalam mencapai psikomotorik (2016). Psikologi Belajar
tujuan tertentu (motivasi dan Mengajar. Nizamia
instrinsik dan ekstrinsik); Learning Center.
2. Pemahaman, fase
individu menerima dan Ismail, R. N., Mudjiran, &
memahami informasi Neviyarni. (2019).
yang diperoleh dari Membangun Karakter
pembelajaran. melalui Implementasi Teori
Pemahaman didapat Belajar Behavioristik
melalui perhatian; Pembelajaran Matematika
3. Pemerolehan, individu Berbasis Kecakapan Abad
memberikan 21. Menara Ilmu, 8(11), 76–
makna/mempersepsikan 88
segala informasi yang
ada pada dirinya
sehingga terjadi proses
penyimpanan dalam
memori peserta didik;
4. Penahanan, menahan
informasi yang sampai
pada dirinya sehingga
terjadi proses
penyimpanan dalam
memori siswa;
5. Ingatan kembali,
mengeluarkan kembali
informasi yang telah
disimpan, bila ada
rangsangan;
6. Generalisasi,
menggunakan hasil
60 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
pembelajaran untuk
keperluan tertentu;
7. Perlakuan, perwujudan
perubahan perilaku
individu sebagai hasil
pembelajaran;
8. Umpan balik, individu
memperoleh feedback da
ri perilaku yang telah
dilakukannya.
5 Meaningful 1. Membangun relevansi - Tes diagnostic - Penilaian
learning theory dan pemahaman awal - Tes kognitif proses
2. Mengorganisir informasi (HOTS) - Penilaian
3. Menerapkan dalam - Self assasment afektif dan
konteks nyata psikomotorik
6 Constructivism 1. Orientasi - Tes kognitif - Penilaian Kontesa, D. A., & Fauziati,
2. Elicitasi (HOTS) proses E. (2022). Teori
3. Rekonstruksi ide - Self assasment - Penilaian Connectivism Dan
4. Aplikasi ide afektif dan Implikasinya Terhadap
5. Review psikomotor Pemanfaatan E-Learning
ik Dalam Pembelajaran Di
- Rubrik Sekolah Dasar. Jurnal Mitra
penilaian Swara Ganesha, 9(2), 117–
laporan 126.
http://ejournal.utp.ac.id/inde
x.php/JMSG/article/view/21
56
61 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
3. Perencanaan dan - Lembar - Penilaian
pelaksanaan penilaian afektif dan
4. Evaluasi dan refleksi laporan psikomotorik
10 Pembelajaran 1. Mengidentifikasi dan - Tes kemampuan - Penilaian Malikah, S., Fauziati, E., &
reasoning mengolah masalah kognitif proses Maryadi, M. (2022).
2. Mengeksplorasi masalah - Lembar - Penilaian Perspektif Connectivisme
3. Menyeleksi strategi penilaian afektif dan terhadap Pembelajaran
pemecahan masalah laporan psikomotorik Daring Berbasis Google
4. Menemukan jawaban Workspace For Education.
5. Refleksi dan perluasan Edukatif : Jurnal Ilmu
Pendidikan, 4(2), 2050–
2058.
11 Problem based 1. Orientasi siswa kepada - Tes kemampuan - Observasi Hariyanto dan Warsono
learning masalah kognitif - Penilaian (2014)
2. Mendefinisikan masalah - Lembar penilaian portofolio
dan mengorganisasikan laporan
siswa untuk belajar
3. Memandu investigasi
mandiri maupun
kelompok
4. Menegembangkan dan
mempresentasikan karya
5. Refleksi dan penilaian
12 Project based 1. Menentukan pertanyaan - Tes kemampuan - Penilaian Putrayasa, I. . (2013).
learning mendasar kognitif proses Landasan Pembelajaran.
(mengumpulkan (HOTS) - Penilaian Undiksha Press.
informasi) - Lembar afektif dan
2. Mendesain perencanaan penilaian psikomotor
produk laporan ik
3. Menyusun jadwal - Lembar
pengerjaan proyek penilaian
4. Monitoring keaktifan dan product
perkembangan proyek
5. Menguji hasil
6. Pengalaman belajar
13 Sainstifik 1. Mengamati sebuah - Tes kemampuan - Penilaian
fenomena alam kognitif proses
2. Merumuskan pertanyaan (HOTS) - Penilaian
3. Mengumpulkan - Lembar afektif dan
informasi/ data penilaian psikomotor
4. Menalar/ mengasosiasi laporan ik
5. Mengkomunikasikan - Self assasment - Lembar
penilaian
aktivitas
14 Connectivism - Tes diagnostic 1. Penilaian Kontesa, D. A., & Fauziati,
karakteristik proses E. (2022). Teori
siswa 2. Penilaian Connectivism Dan
afektif dan Implikasinya Terhadap
Pemanfaatan E-Learning
62 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
- Tes kemampuan psikomotori Dalam Pembelajaran Di
kognitif k Sekolah Dasar. Jurnal Mitra
(HOTS) 3. Lembar Swara Ganesha, 9(2), 117–
- Lembar penilaian 126.
penilaian aktivitas http://ejournal.utp.ac.id/inde
laporan x.php/JMSG/article/view/21
- Self assasment 56
DAFTAR PUSTAKA
63 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
Dunlavey, R. dan Van Lente, F. (2009). Filsuf Jagoan Jilid 3 (Penerjemah: Margaretha
Widiastuti). Jakarta: KPG
Ernest, Paul. (2004). The Phylosophy of Mathematics Education. Taylor & Francis e-
Library.
Fahyuni, E. F., & Istikomah. (2016). Psikologi Belajar dan Mengajar. Nizamia Learning
Center.
Freire, Paulo. (2005). Pedagogy of the Oppressed. New York: Continuum International
Publishing Group.
Freire, P. (2002). Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan.
Pustaka Belajar.
Freire, P. (2003). Pendidikan Masyarakat Kota. PT. Hanindita Graha Widya.
Foucault, Michel. (1977). Discipline and Punish: The Birth of the Prison. New York:
Vintage Books.
Hardiman, F.B. (2004). Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Habermas, Jurgen. (1996). The Theory of Communicative Action. Boston: Beacon Press.
Hadiwijono, Harun. (2005). Sari Sejarah Filsafat 2. Yogyakarta: Kanisius.
Heidegger, Martin. (2012). Being and Time. Albany: State University of New York Press.
Ismail, R. N., Mudjiran, & Neviyarni. (2019). Membangun Karakter melalui
Implementasi Teori Belajar Behavioristik Pembelajaran Matematika Berbasis
Kecakapan Abad 21. Menara Ilmu, 8(11), 76–88.
Kant, I. (1929). Critique of Pure Reason (Penerjemah: Norman Kemp Smith). Boston:
Bedford.
Kontesa, D. A., & Fauziati, E. (2022). Teori Connectivism Dan Implikasinya Terhadap
Pemanfaatan E-Learning Dalam Pembelajaran Di Sekolah Dasar. Jurnal Mitra
Swara Ganesha, 9(2), 117–126.
http://ejournal.utp.ac.id/index.php/JMSG/article/view/2156
Klenowski, V. (1996). Connecting assessment and learning. Paper presented at the British
Educational Research Association annual conference, Lancaster University, 12–15
September, 1996.
Malikah, S., Fauziati, E., & Maryadi, M. (2022). Perspektif Connectivisme terhadap
64 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
Pembelajaran Daring Berbasis Google Workspace For Education. Edukatif : Jurnal
Ilmu Pendidikan, 4(2), 2050–2058.
Mukaramah, M., Kustina, R., & Rismawati. (2020). Analisis Kelebihan dan Kekurangan
Model Discovery Learning Berbasis Media Audiovisual dalam Pembelajaran
Bahasa Indonesia. Orphanet Journal of Rare Diseases, 21(1), 1–9.
Nelson, B. (2002a). Media release: Howard government focus on literacy and numeracy
pays dividends. Retrieved on 18 April 2005 from
http://dest.gov.au/ministers/nelson/apr02/n41_170402.htm
Newmann, F.M. (1992). Linking restructuring to authentic student achievement. In K.
Burke, (Ed.). Authentic assessment: A collection, pp. 133–148. Arlington Heights,
IL: Skylight.
Nurhadi. (2020). Teori kognitivisme serta aplikasinya dalam pembelajaran. 2, 77–95.
O’Neil, J. (1994). Aiming for new outcomes: The promise and the reality. Educational
Leadership, 51, 6–10.
Putrayasa, I. . (2013). Landasan Pembelajaran. Undiksha Press.
Parke, C.S., Lane, S., Silver, E.A., & Magone, M.E. (2003). Using assessment to improve
middle-grades mathematics teaching & learning. Reston, VA: National Council of
Teachers of Mathematics.
Parker, L.H., & Rennie, L.J. (1998). Equitable assessment strategies. In B.J. Fraser &
K.G. Tobin, (Eds.) International handbook of science education, pp. 897–910.
Dordrecht, The Netherlands: Kluwer.
Reimer, E. (1987). Sekitar Eksistensi Sekolah. PT. Hanindita Graha Widya.
Scurton, R. (1982). Kant. Oxford: Oxford University Press.
Starthern, P. (2001). 90 Menit Bersama Kant (Penerjemah: Frans Kowa). Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Shaklee, B.D., Barbour, N.E., Ambrose, R., & Hansford, S.J. (1997). Designing and using
portfolios. Boston: Allyn and Bacon.
Shepard, L.A. (1992). Why we need better assessments. In K. Burke, (Ed.). Authentic
assessment: A collection. pp. 37-48. Arlington Heights, ILL: Skylight.
Siemens, G. (2004). A Learning Theory for the Digital Age. Psu.Edu.
Tjahjadi, S.P.L. (2007). Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan: Dari Descartes Sampai
Whitehead. Yogyakarta: Kanisius
65 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
Tost, J. T. (2016). The End of the End of Ideology. The American Psychological
Association, 61(7), 653.
Wittgenstein, Ludwig. (2009). Philosophical Investigations. Oxford: Blackwell
Publishers
Zulhammi. (2015). Teori Belajar Behavioristik dan Humanistik dalam Perspektif
Pendidikan Islam. DARUL’ILMI: Jurnal Ilmu Kependidikan Dan Keislaman, 3(1),
105–125.
66 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n