Anda di halaman 1dari 67

KONSTRUKSI DAN IMPLEMENTASI FILSAFAT

PENILAIAN:
Bidang Keilmuan Pendidikan Fisika

Disusun oleh:
Islamiani Safitri (23070550002)

PROGRAM STUDI PENELITIAN DAN EVALUASI PENDIDIKAN


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2023
KATA PENGANTAR

Seiring dengan perkembangan zaman dan kompleksitas masyarakat modern,


penilaian menjadi unsur yang krusial dalam mengukur pencapaian dan kualitas suatu
karya atau tindakan. Dalam ranah akademis, konstruksi dan implementasi filsafat
penilaian menjadi aspek yang mendalam dan esensial. Tugas ini bertujuan untuk
mengeksplorasi dan menganalisis berbagai dimensi yang terlibat dalam membangun serta
menerapkan suatu kerangka filsafat penilaian.
Dalam pengembangan konsep ini, kita akan menelusuri landasan teoretis dan
filosofis yang membentuk dasar pemikiran di balik penilaian. Dari sini, kita akan
memahami bagaimana konstruksi suatu sistem penilaian memainkan peran penting dalam
mencerminkan nilai-nilai dan prioritas yang dipegang oleh suatu entitas atau komunitas.
Penilaian tidak hanya menjadi ukuran kinerja, tetapi juga mencerminkan pandangan
tentang keberhasilan dan kegagalan dalam berbagai konteks.
Selain itu, tugas ini juga akan membahas tantangan dan perdebatan yang muncul
seiring dengan implementasi filsafat penilaian, baik dalam konteks pendidikan, bisnis,
maupun ranah sosial lainnya. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti keadilan,
akurasi, dan dampak sosial, kita akan menyelidiki bagaimana keputusan penilaian dapat
memiliki efek jangka panjang dan bagaimana kita dapat mengoptimalkan proses ini untuk
mencapai hasil yang lebih baik.
Melalui pemahaman yang mendalam tentang konstruksi dan implementasi filsafat
penilaian, diharapkan tugas ini dapat memberikan wawasan yang berharga tentang
kompleksitas dan relevansi penilaian dalam konteks kontemporer. Selain itu, tugas ini
diharapkan dapat menjadi pijakan untuk refleksi kritis terhadap praktik penilaian yang
ada dan mendorong pemikiran kreatif dalam pengembangan model penilaian yang lebih
baik di masa depan.
Semoga tugas ini memberikan pemahaman yang lebih baik tentang peran filsafat
penilaian dalam membentuk pandangan dan tindakan kita dalam berbagai aspek
kehidupan. Terima kasih atas kesempatan ini untuk menjelajahi konsep yang mendalam
ini, dan semoga tugas ini dapat memberikan kontribusi positif dalam pemahaman kita
tentang penilaian.

1|Filsafat Peneltian & Evaluasi Pendidikan


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..................................................................................................................... 1

I. FILSAFAT UMUM ................................................................................................... 3

A. Ontologi ................................................................................................................. 3

B. Epistemologi .......................................................................................................... 7

C. Aksiologi ............................................................................................................... 9

II. FILSAFAT PENILAIAN ........................................................................................... 9

A. Ontologi Penilaian Fisika ...................................................................................... 9

B. Epistemologi Penilaian Fisika ..............................................................................11

C. Aksiologi Penilaian Fisika ................................................................................... 13

III. MEMBANGUN FILSAFAT PENILAIAN ......................................................... 15

A. Mereview Video Kuliah Filsafat Prof. Dr. Marsigit, M.A ................................... 15

B. Mereview Critique of Pure Reason Immanuel Kant ........................................... 17

IV. MENERAPKAN FILSAFAT PENILAIAN ............................................................ 24

A. Sejarah Perkembangan Penilaian ........................................................................ 24

B. Ideologi Pendidikan Menuju Penilaian ............................................................... 36

C. Paradigma dan Teori Pembelajaran Menuju Penilaian ........................................ 48

V. PENILAIAN KONSTRUKTIF ............................................................................... 58

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 63

2|Filsafat Peneltian & Evaluasi Pendidikan


I. FILSAFAT UMUM
A. Ontologi
Ontologi adalah cabang filsafat yang mempertanyakan dan mempelajari tentang
keberadaan, realitas, dan hakikat dari segala sesuatu yang ada. Istilah "ontologi" berasal
dari bahasa Yunani, di mana "ontos" berarti "berkaitan dengan keberadaan" dan "logos"
berarti "studi" atau "ilmu" (Adib, 2015). Oleh karena itu, ontologi dapat dianggap sebagai
ilmu yang mempertanyakan apa yang benar-benar ada di dunia ini dan bagaimana objek-
objek tersebut berhubungan satu sama lain. Ontologi memainkan peran penting dalam
berbagai disiplin ilmu, tidak hanya dalam filsafat, tetapi juga dalam ilmu pengetahuan,
matematika, dan bahkan dalam pemikiran sehari-hari tentang apa yang nyata dan
bagaimana kita dapat memahaminya. Beberapa pertanyaan ontologis dasar melibatkan:

1. Apa itu keberadaan? Pertanyaan ini mencoba untuk memahami esensi atau
hakikat dari keberadaan itu sendiri.
2. Apa yang benar-benar ada? Ontologi membahas apa yang dapat dianggap sebagai
nyata dan bagaimana hal-hal tersebut dapat diidentifikasi.
3. Bagaimana objek-objek berhubungan satu sama lain? Ini mencakup studi tentang
hubungan kausal, hubungan spasial, dan hubungan lainnya antara entitas-entitas
yang ada.
4. Apakah ide dan konsep-konsep bersifat nyata? Beberapa ontologis
mempertanyakan status ontologis ide dan konsep-konsep abstrak.

Ada berbagai pandangan ontologis yang berbeda, dan filosof ontologi dapat
memiliki perspektif yang berbeda tentang sifat keberadaan. Beberapa pendekatan
ontologis termasuk:

Realisme
Realisme enganggap bahwa entitas-entitas yang ada memiliki keberadaan
independen dari pemikiran atau pengamatan manusia. Dalam konteks ontologi,
"realisme" merujuk pada pandangan bahwa objek-objek atau entitas-entitas yang ada
memiliki keberadaan independen dari pemikiran atau persepsi manusia. Realisme
ontologis mengakui bahwa dunia luar sana memiliki keberadaan yang nyata, tidak
tergantung pada apakah manusia menyadarinya atau tidak. Dalam filsafat, terdapat
beberapa bentuk realisme ontologis. Berikut adalah beberapa di antaranya:

3|Filsafat Peneltian & Evaluasi Pendidikan


1. Realisme Naturalis: Realisme naturalis mengatakan bahwa objek dan entitas yang
ada di dunia ini memiliki keberadaan independen dan eksis di alam semesta ini
tanpa adanya campur tangan manusia.
2. Realisme Ilmiah: Realisme ilmiah menyatakan bahwa teori-teori ilmiah
memberikan representasi yang akurat tentang dunia nyata, dan bahwa entitas-
entitas ilmiah, seperti partikel subatom atau gaya gravitasi, benar-benar ada.
3. Realisme Modal: Realisme modal mengklaim bahwa properti dan hubungan modal,
seperti kemungkinan dan keharusan, bukan hanya konstruksi mental, tetapi
memiliki keberadaan nyata di dunia.
4. Realisme Abstrak: Realisme abstrak berpendapat bahwa objek abstrak, seperti
angka matematika atau konsep logika, memiliki keberadaan independen dan bukan
hanya konstruksi pikiran manusia (Adib, 2015).

Dalam realisme ontologis, ada keyakinan bahwa dunia memiliki keberadaan nyata
di luar pemikiran manusia. Pandangan ini berbeda dari idealisme, yang menyatakan
bahwa hanya pemikiran atau kesadaran yang memiliki keberadaan yang mendasar, dan
dari nominalisme, yang menyatakan bahwa hanya individu-individu konkrit yang
memiliki keberadaan nyata.
Penting untuk dicatat bahwa realisme ontologis bukanlah satu pandangan tunggal,
tetapi dapat memiliki variasi dalam tingkat keyakinan tergantung pada konteks dan aspek-
aspek khusus ontologi yang sedang dipertimbangkan. Beberapa filsuf realis mungkin
mempertimbangkan beberapa aspek dunia lebih mandiri daripada yang lain.

Idealisme
Idelaisme menganggap bahwa realitas berasal dari ide atau pikiran, dan keberadaan
sesuatu bergantung pada kesadaran. Ontologi idealisme adalah pandangan filosofis yang
menekankan bahwa kenyataan sejati terletak dalam ide atau pikiran, bukan dalam materi
atau substansi fisik. Dalam ontologi idealis, keyakinan utama adalah bahwa dunia nyata
atau realitas lebih merupakan hasil dari pikiran atau kesadaran daripada entitas material
yang independen. Beberapa tokoh terkenal dalam tradisi ontologi idealis meliputi
(Lakatos, 1978):

1. George Berkeley: Berkeley adalah seorang filsuf Irlandia yang terkenal dengan
pandangannya yang dikenal sebagai idealisme subjektif. Menurut Berkeley, benda-

4|Filsafat Peneltian & Evaluasi Pendidikan


benda fisik tidak ada keberadaannya tanpa adanya pikiran yang mengamatinya.
Dengan kata lain, "to be is to be perceived" ("ada adalah untuk diamatilah").
2. Immanuel Kant: Meskipun tidak sepenuhnya idealis dalam arti tradisional, Kant
memiliki kontribusi besar terhadap pemikiran idealis. Dalam karyanya yang
terkenal, "Kritik atas Akal Murni," Kant mengajukan bahwa sebagian besar struktur
pengalaman manusia merupakan konstruksi dari akal budi, dan kenyataan yang
sebenarnya mungkin tidak dapat diakses oleh manusia.
3. Friedrich Wilhelm Joseph von Schelling dan Johann Gottlieb Fichte: Keduanya
merupakan filsuf Jerman yang berkembang pada abad ke-18 dan ke-19, yang
menyumbangkan pemikiran-pemikiran pada idealisme Jerman. Fichte
memperkenalkan idealisme subjektif, sedangkan Schelling mengembangkan
idealisme absolut, yang menyatakan bahwa kenyataan sejati adalah kesatuan antara
subjek dan objek (Hardiman, 2004).

Ontologi idealisme seringkali berkontrast dengan ontologi materialisme yang


menekankan bahwa dunia fisik merupakan kenyataan paling mendasar, dan bahwa
pikiran dan ide-ide berasal dari materi. Pendekatan ini telah memainkan peran penting
dalam sejarah filsafat dan terus memengaruhi pemikiran filosofis kontemporer.

Materialisme
Materialisme dalam ontologi adalah pandangan atau posisi filsafat yang mengakui
bahwa realitas atau eksistensi fundamental terdiri dari materi atau substansi fisik. Ini
berarti bahwa segala sesuatu yang ada dapat dijelaskan atau dijelaskan dalam istilah
materi dan proses fisik. Materialisme ontologis menganggap materi sebagai dasar yang
paling mendasar dari kenyataan dan menganggap bahwa segala sesuatu, termasuk pikiran,
ide, dan konsep abstrak, pada akhirnya dapat dijelaskan dalam konteks materi.
Pandangan materialisme ini kontras dengan pandangan idealisme, yang
menyatakan bahwa ide atau pikiran adalah substansi yang paling mendasar, dan segala
sesuatu yang tampak merupakan manifestasi atau representasi dari ide tersebut.
Materialisme ontologis juga berbeda dari dualisme, yang mengakui keberadaan baik
materi maupun roh sebagai substansi yang terpisah.
Beberapa tokoh dalam sejarah filsafat yang mendukung materialisme ontologis
termasuk Karl Marx, Friedrich Engels, dan Émile Zola. Mereka melihat materi sebagai
dasar yang paling mendasar dari kehidupan manusia dan masyarakat, serta menyatakan

5|Filsafat Peneltian & Evaluasi Pendidikan


bahwa struktur sosial dan kehidupan manusia dapat dijelaskan melalui analisis materi dan
hubungan produksi. Perlu diingat bahwa pandangan materialisme dalam ontologi dapat
bervariasi dalam hal rincian dan interpretasi, dan ada berbagai aliran atau varian
materialisme yang telah muncul sepanjang sejarah filsafat.

Platonisme
Platonisme berpendapat bahwa ide dan konsep-konsep abstrak memiliki
keberadaan independen dan bersifat nyata. Platonisme adalah pandangan filosofis yang
berasal dari pemikiran Plato, seorang filsuf Yunani kuno. Dalam konteks ontologi,
platonisme mengacu pada pandangan tentang realitas atau eksistensi yang memiliki
beberapa karakteristik kunci (Popper, 2002):
1. Ide atau Bentuk: Plato meyakini bahwa dunia materi yang kita lihat dan alami
hanyalah bayangan atau salinan dari dunia ide atau bentuk yang lebih nyata. Ide-
ide ini tidak tergantung pada dunia fisik, tetapi merupakan bentuk-bentuk abstrak
yang eternal dan universal. Contohnya, konsep keindahan atau keadilan tidak
terletak pada objek fisik tertentu, melainkan pada bentuk ide keindahan atau
keadilan yang ada di luar dunia fisik.
2. Realitas Abstrak: Menurut platonisme, realitas sejati terletak pada konsep-konsep
abstrak dan ide-ide, bukan pada objek fisik yang sementara dan terbatas. Dunia
nyata yang kita lihat hanyalah salinan yang kurang sempurna dari bentuk-bentuk
ide yang sejati.
3. Universalisme: Ide-ide atau bentuk-bentuk itu bersifat universal, artinya mereka
berlaku untuk semua hal di seluruh dunia. Misalnya, ide keadilan berlaku untuk
semua kejadian keadilan di dunia, tidak terbatas pada kasus tertentu.
4. Partisipasi: Plato berpendapat bahwa objek-objek di dunia fisik ini "berpartisipasi"
dalam bentuk-bentuk ide. Ini berarti bahwa objek-objek tersebut mendapatkan sifat-
sifat mereka yang sejati dari partisipasi dalam bentuk-bentuk ide yang bersifat
universal.

Platonisme dalam ontologi telah memengaruhi pemikiran banyak filsuf setelahnya,


dan banyak teori tentang realitas abstrak dan universalitas masih terkait erat dengan
pandangan platonis. Meskipun ada kritik terhadap platonisme, terutama dari aliran
filosofi lain seperti Aristotelianisme, pandangan ini tetap relevan dan menjadi bagian
penting dari sejarah pemikiran filosofis.

6|Filsafat Peneltian & Evaluasi Pendidikan


B. Epistemologi
Epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari sifat, asal-usul, batasan, dan
validitas pengetahuan. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani, di mana "episteme" berarti
pengetahuan dan "logos" berarti studi atau ilmu. Dengan demikian, epistemologi fokus
pada pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang bagaimana kita tahu, apa yang dapat kita
ketahui, dan bagaimana kita dapat membenarkan pengetahuan tersebut.
Beberapa pertanyaan kunci dalam epistemologi melibatkan:

1. Asal-usul Pengetahuan: Bagaimana pengetahuan itu sendiri muncul? Apakah itu


berasal dari pengalaman, rasio, atau sumber lain?
2. Batasan Pengetahuan: Apa batasan-batasan dari pengetahuan manusia? Adakah
pengetahuan yang benar-benar pasti atau apakah semuanya bersifat relatif?
3. Validitas Pengetahuan: Bagaimana kita dapat menilai kebenaran atau kevalidan
pengetahuan? Apakah ada kriteria tertentu yang dapat digunakan?
4. Hubungan Subyek dan Objek: Bagaimana hubungan antara penerima pengetahuan
(subjek) dan apa yang diketahui (objek)? Apakah ada cara untuk memastikan
objektivitas dalam pengetahuan?
5. Metode Pengetahuan: Apa metode atau cara yang dapat digunakan untuk
memperoleh pengetahuan yang sahih? Apakah metode ilmiah satu-satunya cara
yang dapat diandalkan?

Epistemologi memainkan peran penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan


dan filosofi secara umum. Berbagai aliran pemikiran filosofis memiliki pandangan yang
berbeda tentang sumber, batasan, dan validitas pengetahuan, dan epistemologi membantu
menyelidiki dan merumuskan konsep-konsep ini secara lebih mendalam. Berikut adalah
beberapa contoh pemikiran epistemologi yang mewakili berbagai pendekatan dan
pandangan (Bertens, 2001):
1. Empirisme
Representatif: Pemikiran empiris tradisional, seperti yang diusulkan oleh John
Locke, berpendapat bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman indrawi.
Kesimpulan umum diambil dari pengalaman konkrit dan spesifik.
Positivisme: Auguste Comte memegang pandangan positivisme yang menekankan
observasi empiris sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang sah. Ilmu
pengetahuan harus didasarkan pada fakta yang dapat diamati dan diukur.

7|Filsafat Peneltian & Evaluasi Pendidikan


2. Rasionalisme
Deduktif: René Descartes mengusulkan bahwa pengetahuan dapat diperoleh
melalui akal budi dan deduksi logis. Pendekatan ini menekankan pemikiran rasional
dan metode deduktif sebagai cara untuk mencapai kebenaran.
Intuisi: Menurut Gottfried Wilhelm Leibniz, pengetahuan juga dapat diperoleh
melalui intuisi, yaitu pemahaman langsung atau naluri terhadap kebenaran.
3. Konstruktivisme
Sosial: Epistemologi konstruktivisme sosial, seperti yang dikembangkan oleh Lev
Vygotsky, berpendapat bahwa pengetahuan dibangun secara sosial melalui
interaksi dan kolaborasi dengan orang lain.
Kognitif: Jean Piaget mengembangkan konstruktivisme kognitif, yang menekankan
peran aktif individu dalam membangun pengetahuan melalui proses kognitif dan
pengalaman langsung.
4. Pragmatisme
Instrumentalisme: Menurut William James, pengetahuan harus diukur berdasarkan
kegunaannya atau efektivitasnya dalam memecahkan masalah praktis. Kriteria
kebenaran adalah utilitas atau manfaat.
Teori kesesuaian: Menurut John Dewey, pengetahuan yang sah adalah yang sesuai
dengan kebutuhan dan pengalaman praktis manusia.
5. Feminisme Epistemologi
Standpoint Theory: Pemikiran feminist epistemologi, seperti teori sudut pandang
(standpoint theory), menekankan bahwa pengetahuan tidak bersifat netral gender
dan dipengaruhi oleh posisi sosial dan gender individu.
Epistemology Feminis Postmodern: Menganalisis bagaimana kekuasaan dan
struktur sosial mempengaruhi produksi pengetahuan, dengan mempertanyakan ide-
ide otoritas dan kebenaran objektif.

Penting untuk diingat bahwa ini hanyalah contoh-contoh pemikiran epistemologi,


dan ada banyak variasi dan nuansa di dalam masing-masing pendekatan ini. Pemikiran
epistemologi terus berkembang seiring waktu dan melibatkan kontribusi dari berbagai
filsuf dan pemikir.

8|Filsafat Peneltian & Evaluasi Pendidikan


C. Aksiologi
Aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari nilai-nilai atau aksioma-
aksioma moral, serta prinsip-prinsip yang terkait dengan nilai-nilai tersebut. Dalam
konteks ini, aksiologi membahas tentang hakikat nilai, sifat nilai, serta bagaimana nilai-
nilai tersebut dapat diukur dan diinterpretasikan. Aksiologi mempertanyakan tentang apa
yang dianggap baik dan buruk, benar dan salah, serta bagaimana kita seharusnya
bertindak dalam kehidupan.
Beberapa konsep yang terkait dengan aksiologi melibatkan pemahaman tentang
moralitas, etika, estetika, dan nilai-nilai budaya. Filsafat aksiologi mencoba untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti "Apakah ada nilai-nilai yang universal?" atau
"Bagaimana kita dapat mengambil keputusan moral?"
Penting untuk diingat bahwa ada berbagai aliran dan pendekatan dalam aksiologi,
dan pandangan tentang nilai-nilai bisa bervariasi antara berbagai filosof. Sebagai contoh,
etika deontologis (kewajiban moral) berfokus pada ketaatan terhadap aturan, sedangkan
etika konsekuensialisme (akibat moral) menilai moralitas tindakan berdasarkan
konsekuensinya.
Dalam kaitannya dengan filsafat umum, aksiologi menjadi bagian integral dari
pemahaman kita tentang bagaimana nilai-nilai ini mempengaruhi pemikiran, tindakan,
dan masyarakat secara keseluruhan.

II. FILSAFAT PENILAIAN


A. Ontologi Penilaian Fisika
Ontologi penilaian merujuk pada struktur konseptual yang digunakan untuk
merepresentasikan pengetahuan tentang penilaian atau evaluasi dalam suatu domain
tertentu. Ontologi adalah suatu model konseptual yang menggambarkan hubungan antara
entitas-entitas dan konsep-konsep di dalam suatu bidang pengetahuan. Dalam konteks
penilaian, ontologi dapat membantu dalam memahami dan mengorganisir pengetahuan
tentang proses penilaian, kriteria penilaian, dan hubungan antara entitas yang dinilai.

Beberapa elemen yang dapat dimasukkan dalam ontologi penilaian melibatkan (Freire,
2005):

9|Filsafat Peneltian & Evaluasi Pendidikan


1. Entitas yang Dinilai: Ontologi dapat mencakup entitas-entitas yang menjadi fokus
penilaian, seperti produk, layanan, kinerja individu, atau aspek lain dari suatu
domain.
2. Kriteria Penilaian: Ontologi bisa mencakup kriteria atau standar yang digunakan
untuk menilai entitas-entitas tersebut. Ini mencakup aspek-aspek yang dianggap
penting dalam penilaian.
3. Proses Penilaian: Ontologi penilaian dapat memodelkan langkah-langkah atau
proses yang terlibat dalam melakukan penilaian. Ini bisa mencakup pemilihan
kriteria, pengumpulan data, analisis, dan pengambilan keputusan.
4. Hubungan Antar-Entitas: Ontologi dapat mencakup hubungan antara entitas-entitas
yang berpartisipasi dalam proses penilaian. Contohnya, hubungan antara penilai
dan entitas yang dinilai, atau hubungan antara beberapa entitas yang saling terkait.
5. Tingkat Kepentingan: Ontologi dapat mencakup tingkat kepentingan atau bobot
yang diberikan pada berbagai aspek atau kriteria penilaian. Hal ini dapat
mencerminkan sejauh mana suatu aspek dianggap penting dalam konteks penilaian
tertentu.

Ontologi penilaian dapat digunakan untuk membantu pemahaman bersama tentang


penilaian di dalam suatu komunitas atau organisasi. Penggunaan ontologi dapat
mendukung standarisasi, interoperabilitas, dan pertukaran pengetahuan tentang penilaian
di antara berbagai sistem dan aplikasi. Ontologi penilaian juga dapat menjadi dasar untuk
pengembangan sistem informasi atau aplikasi yang mendukung proses penilaian (Freire,
2005).
Ontologi dalam konteks penilaian fisika dapat merujuk pada pengembangan
struktur konseptual yang menggambarkan entitas, hubungan, dan sifat-sifat dasar dalam
domain fisika. Dalam konteks ini, ontologi dapat membantu menyusun basis pengetahuan
yang jelas dan bersifat formal untuk menggambarkan elemen-elemen kunci dalam fisika.
Berikut adalah beberapa cara di mana ontologi dapat diterapkan dalam penilaian fisika
(Habermas, 1996):

1. Definisi Konsep Fisika: Ontologi dapat membantu mendefinisikan konsep-konsep


fisika dengan jelas. Misalnya, menggambarkan apa yang dimaksud dengan massa,
energi, momentum, dan sebagainya. Ontologi dapat menentukan sifat-sifat dasar
dari entitas fisika ini dan hubungan di antara mereka.

10 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
2. Struktur Pengetahuan: Ontologi dapat membantu menyusun struktur
pengetahuan fisika sehingga guru dan siswa memiliki pandangan yang konsisten
dan terorganisir tentang bagaimana konsep-konsep fisika saling terkait. Ini
membantu dalam merancang kurikulum yang konsisten dan efektif.
3. Pengembangan Soal Ujian: Dengan menggunakan ontologi, pembuat soal ujian
dapat memastikan bahwa soal-soal yang disusun mencerminkan pemahaman
konsep fisika secara tepat. Ontologi membantu mengidentifikasi hubungan antar
konsep dan memastikan bahwa soal-soal mencakup berbagai aspek fisika.
4. Evaluasi Pencapaian Siswa: Ontologi dapat digunakan untuk mengembangkan
alat evaluasi yang dapat mengukur pemahaman siswa terhadap konsep-konsep
fisika. Ini membantu dalam menilai sejauh mana siswa telah memahami materi
pelajaran.
5. Integrasi Teknologi Pendidikan: Ontologi dapat mendukung integrasi teknologi
pendidikan dalam pembelajaran fisika. Misalnya, ontologi dapat membantu dalam
pengembangan aplikasi pembelajaran yang terstruktur dengan baik dan sesuai
dengan konsep-konsep fisika yang harus diajarkan.
6. Pembangunan Sistem Tutor Cerdas: Ontologi dapat digunakan dalam
pengembangan sistem tutor cerdas yang dapat memberikan bimbingan personal
kepada siswa berdasarkan tingkat pemahaman mereka. Sistem ini dapat
memberikan latihan dan penjelasan tambahan sesuai dengan kebutuhan individu.

Penerapan ontologi dalam penilaian fisika dapat membantu menciptakan kerangka


kerja yang konsisten, jelas, dan terstruktur untuk mendukung pengajaran dan
pembelajaran fisika. Ini dapat meningkatkan kualitas penilaian dan membantu siswa
memahami konsep-konsep fisika secara lebih mendalam.

B. Epistemologi Penilaian Fisika


Epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari asal usul, sifat, metode, dan
batasan pengetahuan. Dalam konteks penilaian fisika, epistemologi membahas cara kita
memahami dan menilai pengetahuan tentang fenomena fisika. Beberapa konsep
epistemologis yang relevan dalam penilaian fisika melibatkan pertimbangan tentang
sumber pengetahuan, metode ilmiah, dan karakteristik pengetahuan fisika itu sendiri.
Berikut adalah beberapa poin yang dapat dipertimbangkan:

11 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
1. Sumber Pengetahuan:
• Empirisisme: Epistemologi fisika sering kali mencerminkan pendekatan empiris,
di mana pengetahuan diperoleh melalui pengamatan dan eksperimen. Penilaian
fisika dapat mempertimbangkan kualitas dan reliabilitas data empiris yang
mendukung suatu klaim atau teori.
• Rasionalisme: Rasionalisme menekankan peran akal budi dan deduktif dalam
membangun pengetahuan. Dalam penilaian fisika, pertimbangan terhadap
deduktif dan rasio-empiris dapat menjadi relevan, misalnya, dalam menilai
kesesuaian suatu teori dengan prinsip-prinsip dasar fisika.

2. Metode Ilmiah:
• Metode Deduktif: Penilaian fisika dapat melibatkan pertimbangan terhadap
deduksi logis dari prinsip-prinsip umum untuk mencapai kesimpulan spesifik.
Misalnya, seberapa baik suatu model fisika dapat menghasilkan prediksi yang
sesuai dengan pengamatan empiris.
• Metode Induktif: Proses induksi, yang melibatkan generalisasi dari pengamatan
tertentu ke prinsip umum, juga merupakan pertimbangan penting. Bagaimana
bukti empiris yang diberikan mendukung konsep umum atau hukum fisika?

3. Teori dan Paradigma:


• Konstruktivisme: Pandangan konstruktivis dapat menyoroti peran konstruksi
sosial dari pengetahuan fisika. Dalam hal ini, penilaian fisika mungkin
mempertimbangkan bagaimana teori atau paradigma tertentu muncul dan diterima
dalam komunitas ilmiah.
• Falsifikasiisme: Teori fisika dapat dinilai dengan cara menguji kesanggupannya
untuk dipalsukan atau ditolak berdasarkan bukti empiris. Falsifikasiisme, seperti
yang diajukan oleh Karl Popper, dapat memainkan peran dalam menilai
keberlanjutan suatu teori (Popper, 2002).

4. Konsep Realitas dan Representasi:


• Realisme Ilmiah: Pertanyaan epistemologis tentang sejauh mana konsep fisika
merepresentasikan keadaan yang nyata atau eksis menjadi relevan. Penilaian

12 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
fisika dapat mencakup pertimbangan terhadap seberapa baik suatu teori
mencerminkan realitas empiris.
• Konstruksionisme: Pemahaman bahwa konsep fisika adalah konstruksi manusia
dapat mempengaruhi cara kita menilai validitas dan relevansi teori fisika.

Penting untuk dicatat bahwa epistemologi fisika adalah area yang kompleks, dan
penilaian fisika yang baik melibatkan pemahaman yang mendalam tentang metode
ilmiah, sumber pengetahuan, dan landasan filosofis yang mendasari disiplin ini.

C. Aksiologi Penilaian Fisika


Aksiologi penilaian mengacu pada prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang mendasari
proses penilaian atau evaluasi. Aksiologi ini mencakup pertimbangan etika, moral, dan
filosofis dalam merancang, mengimplementasikan, dan mengevaluasi sistem penilaian.
Beberapa prinsip aksiologi penilaian yang umumnya diakui melibatkan keadilan,
kebermaknaan, keandalan, dan keabsahan.
1. Keadilan:
• Penilaian harus adil dan setimpal, memberikan kesempatan yang sama
kepada semua peserta.
• Tidak boleh ada diskriminasi atau perlakuan tidak adil terhadap individu
atau kelompok tertentu.
2. Kebermaknaan:
• Penilaian harus memiliki relevansi dan kegunaan yang jelas bagi peserta dan
pihak terkait.
• Pertanyaannya adalah sejauh mana penilaian memberikan informasi yang
bermanfaat tentang kemampuan atau prestasi seorang individu.
3. Keandalan:
• Penilaian harus memberikan hasil yang konsisten jika diulang beberapa kali
di bawah kondisi yang sama.
• Keandalan menjamin bahwa hasil penilaian tidak terlalu dipengaruhi oleh
faktor-faktor eksternal yang tidak relevan.
4. Keabsahan:

13 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
• Penilaian harus mengukur apa yang sebenarnya diinginkan diukur, dan
hasilnya harus mencerminkan kemampuan atau karakteristik yang
seharusnya diukur.
• Keabsahan adalah sejauh mana suatu penilaian benar-benar mengukur apa
yang diinginkan diukur.
5. Transparansi:
• Proses penilaian dan kriteria penilaian harus transparan, memberikan
pemahaman yang jelas kepada peserta mengenai apa yang diharapkan dari
mereka.
6. Keterbukaan dan Partisipasi:
• Memberikan ruang bagi peserta untuk berpartisipasi dalam proses penilaian
atau setidaknya memahami cara penilaian dilakukan.
7. Ketelitian:
• Penilaian harus dilakukan secara cermat dan akurat, menghindari kesalahan
dan kecerobohan yang dapat memengaruhi hasil.

Aksiologi penilaian ini penting untuk memastikan bahwa penilaian memberikan


gambaran yang akurat dan adil tentang kemampuan atau prestasi individu. Prinsip-prinsip
ini membantu dalam menciptakan lingkungan penilaian yang bermoral, etis, dan
mendukung pertumbuhan dan perkembangan peserta
Aksiologi dalam penilaian fisika merujuk pada aspek atau prinsip-prinsip dasar
yang menjadi dasar atau landasan bagi proses penilaian atau evaluasi dalam konteks
pelajaran fisika. Aksiologi ini mencakup nilai-nilai atau pandangan yang mengarah pada
bagaimana kita seharusnya menilai prestasi siswa dalam pembelajaran fisika. Berikut
adalah beberapa prinsip aksiologi yang dapat diterapkan dalam penilaian fisika:

1. Objektivitas: Penilaian fisika haruslah obyektif, artinya tidak dipengaruhi oleh


faktor-faktor yang tidak relevan. Pengukuran dan penilaian harus didasarkan pada
bukti konkret dan dapat diukur secara konsisten oleh berbagai orang yang
berkompeten.
2. Ketepatan dan Kekonsistenan: Penilaian harus mencerminkan tingkat
pemahaman dan penguasaan siswa terhadap konsep-konsep fisika yang diajarkan.
Hasil penilaian harus konsisten dan dapat diandalkan.

14 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
3. Relevansi: Soal-soal atau tugas penilaian harus relevan dengan tujuan
pembelajaran fisika dan mencakup materi-materi yang telah diajarkan. Hal ini
memastikan bahwa penilaian benar-benar mengukur pemahaman dan keterampilan
yang diinginkan.
4. Keterlibatan Siswa: Proses penilaian fisika sebaiknya melibatkan siswa secara
aktif. Siswa harus dapat memahami kriteria penilaian, mendapatkan umpan balik
konstruktif, dan memiliki kesempatan untuk merespons atau memperbaiki kinerja
mereka.
5. Keadilan: Penilaian harus adil dan memperlakukan semua siswa dengan adil tanpa
memandang latar belakang sosial, ekonomi, atau budaya mereka. Ini juga
mencakup penyediaan dukungan ekstra bagi siswa dengan kebutuhan khusus.
6. Berkelanjutan: Penilaian fisika sebaiknya bersifat berkelanjutan, yang berarti
memantau dan mengevaluasi kemajuan siswa sepanjang waktu, bukan hanya pada
akhir suatu periode tertentu. Ini memungkinkan adanya perbaikan dan penyesuaian
selama proses pembelajaran.
7. Ketepatan Waktu: Penilaian harus dilakukan pada waktu yang sesuai dengan
perkembangan materi. Penilaian yang dilakukan terlalu cepat atau terlambat
mungkin tidak memberikan gambaran yang akurat tentang pemahaman siswa.
8. Transparansi: Kriteria penilaian dan tujuan pembelajaran fisika sebaiknya
dikomunikasikan dengan jelas kepada siswa. Transparansi ini membantu siswa
memahami apa yang diharapkan dari mereka dan bagaimana mereka akan dinilai.

Penerapan prinsip-prinsip aksiologi ini dalam penilaian fisika akan membantu


menciptakan sistem penilaian yang adil, obyektif, dan mendukung proses pembelajaran
efektif.

III. MEMBANGUN FILSAFAT PENILAIAN


A. Resume Pengantar Kuliah Filsafat Penelitian dan Evaluasi Pendidikan
Hidup manusia adalah metafisik yaitu dibalik sesuatu yang konkrit, yaitu terdapat
hal-hal yang bersifat tak nampak dan lebih tinggi atau lebih kuasa dibandingkan dengan
alam semesta (supernaturalisme). Namun sejatinya kehidupan manusia tidak hanya

15 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
metafisik, karena manusia tidak sempurna sehingga membutuhkan hal-hal yang konkrit
dan terukur untuk meneruskan keberadaannya.
Awal dari segala kegiatan dan sifat manusia di dalam kehidupan berdasarkan pada
takdir yang bersifat fatal dan ikhtiar yang bersifat vital. Bersifat fatal karena manusia tidak
bisa memilih seperti apa dan dimana ia dilahirkan, karena ini merupakan sebuah ketetapan
yang tidak bisa diulang waktunya. Dalam hal ini, manusia diminta untuk menerima segala
takdir yang sudah menjadi ketetapan dalam keberadaanya. Selain itu, manusia juga
bersifat vital, yakni mamiliki kemampuan untuk memilih dan berikhtiar atas sesuatu yang
diinginkan untuk menjadi pengalaman dalam kehidupannya. Sifat ini menghasilkan
perubahan dalam kehidupan dan dapat memperbaiki aspek-aspek dikehidupannya meski
hasilnya tetap mengacu pada sebuah takdir yang telah menjadi ketetapan dalam
kehidupannya.
Ketetapan maupun takdir adalah bersifat idealism yaitu sebuah realitas yang terdiri
atas atau sangat erat hubungannya dengan ide, fikiran, atau jiwa. Hal ini juga bersifat
absolut yaitu ketertiban dan konsistensi alam adalah riil disebabkan oleh akal yang aktif
yaitu akal Tuhan, yakni sebagai pencipta dan pengatur alam. Kehendak Tuhan adalah
hukum alam, dan Tuhan lah yang menentukan urutan dan susunan ide-ide alam, juga
merupakan sebab dari segala sebab. Idelisme ini condong pada penekanan koherensi
yakni suatu putusan dipandang benar jika telah sesuai dengan putusan-putusan lain yang
telah diterima sebagai sebuah kebenaran. Sehingga muncullah sebuah hukum yang
sifatnya formal dan normative. Selanjutnya, hal ini juga merupakan pengetahuan a
priori yaitu sebuah pengetahuan yang tidak bergantung pada adanya pengalaman, atau
yang ada sebelum pengalaman, yakni percaya meski belum pernah melihat wujudnya.
Analitis a priori adalah pengetahuan yang dihasilkan oleh analisis-analisis terhadap
unsur-unsur a priori dan pengetahuan sintesis a priori dihasilkan oleh akal terhadap
bentuk-bentuk pengalaman sendiri dan penggabungan unsur-unsur yang tidak saling
bertumpu.
Alam ini dinamis, terus bergerak dan merupakan struktur peristiwa yang mengalir
terus menerus secara kreatif, dan ini cenderung pada kemampuan memilih maupun ikhtiar
itu bersifat materialism, yaitu sesuatu dikatakan benar-benar ada jika berbentuk materi.
Artinya, semua hal di alam ini terdiri atas materi dan semua fenomena yang terjadi adalah
hasil dari interaksi antar material. Selanjutnya, hal ini juga merupakan a posteriori yaitu

16 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
sesuatu terjadi sebagai akibat dari sebuah pengalaman. Analitis a posteriori dan
analisisnya diperoleh setelah melakukan atau setelah adanya pengalaman. Hal ini juga
bersifat empirism yakni bahwa pengetahuan yang ada berasal dari pengalaman indera
manusia sehingga sifatnya dinamis atau selalu berubah-ubah.

B. Review Critique of Pure Reason Immanuel Kant


Pada buku Critique of Pure Reason, Immanuel Kant memakai dan mengkritisi
gagasan-gagasan filsuf besar yang mempengaruhi zamannya. Banyak bagian dari buku
ini yang menyangkal gagasan – gagasan filsafat empirik Hume, Berkeley dan Locke.
Dalam buku ini secara khusus menyanggah idealisme murni. Tujuan utama dari buku
Critique of Pure Reason oleh Immanuel Kant adalah untuk mendamaikan pertentangan
antara rasionalisme dan empirisme (antara akal budi dengan indera) dengan menunjukkan
bahwa keduanya saling melengkapi.
Di pendahuluan buku terdapat pembahasan tentang estetika. Dalam Critique of Pure
Reason, istilah estetika mengacu pada pengertian studi tentang persepsi yang ditangkap
melalui indera secara langsung. Terdapat dua bagian dari estetika yaitu aspek intuitif dan
aspek konseptual. Menurut Kant, intuisi adalah sebuah proses penerimaan ‘data mentah’
pengetahuan dari pengalaman tanpa melalui konseptualisasi terhadap data tersebut.
Salah satu konsekuensi hadirnya Critique of Pure Reason, menurut Immanuel Kant
adalah Revolusi ala Copernicus dalam dunia filsafat. Nicolaus Copernicus merupakan
seorang ilmuwan abad ke-16 yang mencetuskan teori heliosentris. Teori ini menggeser
pemahaman bahwa bumi merupakan pusat semesta. Model heliosentris dipandang lebih
tepat untuk menjelaskan fenomena astronomis kala itu. Akan tetapi merupakan
pandangan revolusioner yang ditentang keras oleh otoritas gereja Katolik semasa Kant
hidup. Kant juga memandang bahwa filsafat yang ia bangun merevolusikan pandangan
terhadap akal budi manusia. Akal budi manusia kala itu dipandang sebagai ‘bejana’ pasif
pengalaman menurut penganut empirisme, menjadi pusat kesadaran yang aktif. Kant
berpendapat bahwa akal budi sebagai partisipator dalam pengamatan. Bahkan jika ditarik
lebih jauh, Kant menganggap akal budi–lah yang memprakarsai dan membentuk
pengalaman. Dunia yang saat ini kita pahami merupakan hasil dari pengorganisasian akal
budi.

17 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
Selanjutnya, Immanuel Kant menganalisis tentang pengetahuan. Kant berpendapat
bahwa kita tidak dapat terus menerus meragukan pengetahuan kita. Dalam buku Critique
of Pure Reason, Kant secara jelas mengeksplorasi suatu kondisi sebagai penentu dalam
memiliki pengetahuan. Dalam hubungannya dengan waktu, Kant menegaskan bahwa
pengetahuan tidak akan mendahului yang namanya pengalaman. Dalam hal ini,
pengetahuan diawali dengan adanya pengalaman. Meski begitu, tidak semua pengetahuan
harus lahir dari pengalaman. Kant mengemukakan premis itu karena baginya akan sangat
memungkinkan adanya pengetahuan empiris yaitu pengetahuan yang lahir dari perpaduan
antara impresi dan kemampuan kognisi diri sendiri. Pengetahuan inilah yang disebut
dengan istilah ‘Pengetahuan Empiris’. Pengetahuan semacam itu berjudul apriori, dan
dibedakan dari empiris, yang memiliki sumber-sumbernya posteriori, yaitu dalam
pengalaman. Kant melihat permasalahan ini secara analitis, sehingga dapat dipecahkan
melalui penalaran. Menurut Kant, pengetahuan dibagi menjadi sebagai berikut:

• Pernyataan bersifat analitik, jika predikat dari subjek termuat dalam subjek.
Contoh: tautologi “Bola itu bulat”. Pernyataan ini benar karena predikat ‘bulat’
terkandung dalam subjek ‘bola’.
• Pernyataan bersifat tidak analitik, jika pernyataan tersebut menambahkan sesuatu
yang baru tentang subjek. Pernyataan ini kemudian disebut tidak murni dan
disebut sebagai pernyataan sintetik. Sebagai contoh, “Bola itu berwarna merah”.
• Pernyataan disebut benar secara a priori, jika kebenarannya ditentukan sebelum
pengalaman, atau tanpa referensi pada pengalaman.
• Pernyataan disebut benar secara a posteriori, jika pernyataan tersebut ditentukan
kebenarannya melalui referensi pada pengalaman. Artinya kebenarannya hanya
dapat ditentukan melalui acuan bukti empiris.

Kant berpendapat, bahwa a priori sintetik merupakan sesuatu yang esensial, karena
merupakan bagian dari keutuhan nalar kita. A priori sintetik merupakan kondisi niscaya
yang diperlukan agar pengetahuan menjadi mungkin. Di sinilah terletak kekhasan
pemikiran seorang Immanuel Kant, yang ia sebut sebagai Revolusi Copernicus dalam
bangunan filsafat. Kant menempatkan pikiran dalam kerangka aktif proses mengetahui
dan a priori sintentik merupakan cara pikiran untuk aktif dalam proses mengetahui.

18 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
Konsekuensi pemikiran Immanuel Kant tentang dunia fenomena dan noumena
adalah: Dunia yang kita tinggali ini merupakan dunia fenomena yang diorganisasikan
oleh pikiran dengan mensintesiskan banyak data. Jika saya melihat sesuatu, maka sesuatu
tersebut ada, karena dapat disentuh dan diorganisasikan dalam pikiran. Hal ini merupakan
sebuah fenomena bukan noumena. Kant berpendapat bahwa dunia kita terbatas pada batas
kemampuan memahami dan mengkonseptualisasikan sesuatu.

1. Perbedaan antara pengetahuan murni dengan pengetahuan empiris


Suatu konsep disebut sebagai pengetahuan murni, jika konsep tersebut diabstraksi
dari pengalaman dan tidak terjadi secara langsung pada kenyataan. Seluruh pengetahuan
berawal dari pengalaman, akan tetapi hal ini tidak berarti, bahwa seluruh pengetahuan
berasal secara langsung dari pengalaman. Dalam hubungannya dengan waktu, Kant
menegaskan bahwa pengetahuan tidak akan mendahului yang namanya pengalaman.
Dalam hal ini, pengetahuan diawali dengan adanya pengalaman. Meski begitu, tidak
semua pengetahuan harus lahir dari pengalaman. Kant mengemukakan premis itu karena
baginya akan sangat memungkinkan adanya pengetahuan empiris yaitu pengetahuan yang
lahir dari perpaduan antara impresi dan kemampuan kognisi diri sendiri. Pengetahuan
inilah yang disebut dengan istilah ‘Pengetahuan Empiris’. Pengetahuan semacam itu
berjudul apriori, dan dibedakan dari empiris, yang memiliki sumber-sumbernya
posteriori, yaitu dalam pengalaman.

2. Akal Manusia, bahkan dalam keadaan tidak filosofis, adalah dalam


Kepemilikan Kognisi Tertentu secara "a priori"
A priori adalah pengetahuan yang ada sebelum bertemu dengan pengalaman. Atau
dengan kata lain, sebuah istilah yang dipakai untuk menjelaskan bahwa seseorang dapat
berpikir dan memiliki asumsi tentang segala sesuatu, sebelum bertemu dengan
pengalaman dan akhirnya mengambil kesimpulan. Bagi Kant, a priori berangkat dari
dugaan tanpa bergantung yang empiris atau pengalaman yang bisa ditangkap
oleh inderawi. Istilah ini dipakai untuk menyatakan bahwa manusia sudah memiliki
kesadaran dalam dirinya sebelum bertemu dengan pengalaman-pengalaman dalam
lingkungan dan dunianya. Kant menyatakan bahwa pengetahuan yang sahih bukan hanya
bergantung dari pengalaman saja, sebab hal ini kurang logis berkenaan dengan waktu dan
asal mula. Bagi dia, terdapat hal-hal yang selalu tidak bisa ditangkap dan dijelaskan oleh

19 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
inderawi saja. Imanuel Kant meyakini bahwa ada sesuatu yang menjadi "dalang" atas
pikirannya. Dan dia memakai istilah "transenden" untuk menunjukkan subyek yang
niscaya sudah ada itu.

3. Filsafat membutuhkan sebuah ilmu yang akan menentukan kemungkinan,


prinsip-prinsip, dan luasnya pengetahuan manusia secara "a priori”
Pada bagian ini, Kant menjelaskan bahwa masalah-masalah yang tidak dapat
dihindari yang ditetapkan oleh nalar murni adalah Tuhan, kebebasan, dan keabadian. Ilmu
yang tujuan akhirnya diarahkan semata-mata pada solusi berupa metafisika dan
prosedurnya pada awalnya dogmatis, yaitu, ia dengan percaya diri menetapkan dirinya
untuk tugas ini tanpa pemeriksaan sebelumnya tentang kapasitas atau ketidakmampuan
alasan untuk usaha yang begitu besar. Menurut Kant, untuk satu bagian dari pengetahuan
ini, matematika, telah lama memiliki keandalan yang mapan, dan dengan demikian
menimbulkan anggapan yang menguntungkan sehubungan dengan bagian lain, yang
mungkin belum memiliki sifat yang sangat berbeda. Selain itu, begitu kita berada di luar
lingkaran pengalaman, kita dapat yakin untuk tidak bertentangan dengan pengalaman.
Matematika memberi kita contoh cemerlang tentang seberapa jauh, terlepas dari
pengalaman, kita dapat maju dalam pengetahuan apriori. Nalar kita terdiri dari analisis
konsepsi yang sudah kita miliki tentang objek. Dengan cara ini, menurut Kant kita
memperoleh banyak kognisi, yang meskipun sebenarnya tidak lebih dari penjelasan atau
penjelasan tentang apa yang sudah dipikirkan dalam konsepsi kita, setidaknya dalam
kaitannya dengan kenyataan.

4. Perbedaan antara penilaian analitik dan penilaian sintetik


Penilaian analitis (afirmatif) adalah penilaian di mana hubungan predikat dengan
subjek dikognisikan melalui identitas, sedangkan penilaian di mana hubungan ini
dikognisikan tanpa identitas, disebut penilaian sintetis. Penilaian analitik dapat disebut
eksplikatif, dan penilaian sintetik disebut juga dengan penilaian augmentative. Penilaian
analitik tidak menambahkan apa pun ke dalam predikat pada konsepsi subjek, tetapi
hanya menganalisisnya ke dalam konsepsi konstituennya, yang dianggap sudah ada di
dalam subjek, meskipun dengan cara yang membingungkan; yang terakhir menambahkan
pada konsepsi kita tentang subjek sebuah predikat yang tidak terkandung di dalamnya,
dan yang tidak dapat ditemukan oleh analisis apa pun di dalamnya. Sebagai contoh, ketika

20 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
saya mengatakan, "Semua tubuh diperpanjang," ini adalah penilaian analitis. Karena saya
tidak perlu melampaui konsepsi tubuh untuk menemukan perluasan yang terhubung
dengannya, tetapi hanya menganalisis konsepsi tersebut, yaitu, menjadi sadar akan
berbagai sifat yang saya pikirkan dalam konsepsi tersebut, untuk menemukan predikat di
dalamnya: oleh karena itu, ini adalah penilaian analitis. Di sisi lain, ketika saya berkata,
"Semua tubuh itu berat," predikatnya adalah sesuatu yang sama sekali berbeda dari apa
yang saya pikirkan dalam konsepsi semata-mata tentang tubuh. Dengan penambahan
predikat seperti itu, maka itu menjadi penilaian sintetis

5. Dalam Semua ilmu pengetahuan teoritis tentang nalar, penilaian sintetis; a


priori terkandung sebagai prinsip
Pada bagian ini terdapat tiga hal yang dikemukakan oleh Kant yaitu: 1) bahwa
semua penilaian matematika, tanpa kecuali, adalah sintetis; 2) ilmu pengetahuan alam
(fisika) mengandung penilaian a priori sebagai prinsip; 3) Metafisika, bahkan jika kita
memandangnya sebagai telah gagal dalam semua upayanya, belum, karena sifat akal
manusia, ilmu yang sangat diperlukan, dan harus mengandung pengetahuan sintetis
apriori. Dalam metafisika sendiri, setidaknya dalam niat, seluruhnya dari proposisi
sintetis apriori.
6. Permasalahan umum dari akal budi
Sangat menguntungkan untuk dapat membawa sejumlah investigasi pada satu
permasalahan. Karena dengan cara ini, kita tidak hanya memfasilitasi kerja kita sendiri,
tetapi juga memudahkan orang lain untuk memutuskan apakah kita telah melakukan
keadilan terhadap usaha kita. Maka, masalah yang tepat untuk akal budi murni terkandung
dalam pertanyaan ini: "Bagaimana penilaian sintetis secara apriori dapat dilakukan?"
Metafisika sampai sekarang tetap dalam keadaan ketidakpastian dan kontradiksi
yang begitu bimbang, sepenuhnya disebabkan oleh fakta bahwa masalah ini, dan bahkan
mungkin perbedaan antara penilaian analitik dan sintetis, sebelumnya tidak pernah
dipertimbangkan. Atas solusi dari masalah ini, atau pada bukti yang cukup bahwa
kemungkinan yang ingin dijelaskannya sebenarnya tidak ada sama sekali, tergantung
keberhasilan atau kegagalan metafisika. Di antara para filsuf, David Hume sempat
membayangkan masalah ini, tetapi masih sangat jauh dalam memahaminya dengan
kepastian dan universalitas yang cukup. Bagi Kant, David Hume menyibukkan dirinya
secara eksklusif dengan proposisi sintetis mengenai hubungan suatu efek dengan

21 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
penyebabnya (principium causalitatis), dan dia percaya dirinya telah menunjukkan bahwa
proposisi apriori seperti itu sama sekali tidak mungkin. Kant kemudian melanjutkan
dengan sebuah pertanyaa “Bagaimana metafisika, sebagai watak alami menjadi
mungkin?”. Dengan demikian kritik akal, pada akhirnya, tentu mengarah pada
pengetahuan ilmiah; sementara pekerjaan dogmatisnya, di sisi lain, mendaratkan kita
dalam pernyataan dogmatis di mana pernyataan lain, yang sama-sama muluk-muluk,
selalu dapat ditentang - yaitu, dalam skeptisisme.
7. Ide dan Pembagian Ilmu Pengetahuan Tertentu, di bawah Nama Kritik atas
Nalar Murni
Dari semua yang telah dikatakan, muncullah gagasan tentang ilmu pengetahuan
tertentu, yang dapat disebut sebagai Kritik Nalar Murni. Karena akal adalah fakultas yang
membekali kita dengan prinsip-prinsip pengetahuan secara apriori. Oleh karena itu, akal
budi murni adalah fakultas yang berisi prinsip-prinsip untuk mengetahui apa pun secara
apriori. Sebuah organon akal murni akan menjadi ringkasan dari prinsip-prinsip tersebut
yang dengannya semua kognisi murni secara apriori dapat diperoleh. Penerapan yang
sepenuhnya diperluas dari organon semacam itu akan memberi kita sebuah sistem nalar
murni. Namun, karena hal ini menuntut banyak hal, dan masih diragukan apakah
perluasan pengetahuan kita di sini dimungkinkan, atau, jika demikian, dalam suatu kasus;
kita dapat menganggap ilmu pengetahuan tentang kritik belaka terhadap nalar murni,
sumber-sumber dan batas-batasnya, sebagai propaedeutik untuk sistem nalar murni.
Ilmu pengetahuan seperti itu tidak boleh disebut doktrin, tetapi hanya sebuah kritik
terhadap nalar murni; dan penggunaannya, sehubungan dengan spekulasi, hanya akan
bersifat negatif, bukan untuk memperbesar batas-batas, tetapi untuk memurnikan, nalar
kita, dan untuk melindunginya dari kesalahan-yang tidak ada gunanya. Saya menerapkan
istilah transendental untuk semua pengetahuan yang tidak begitu banyak ditempati
dengan objek-objek seperti halnya dengan modus kognisi kita terhadap objek-objek ini,
sejauh sejauh modus kognisi ini dimungkinkan secara apriori. Sebuah sistem konsepsi
seperti itu akan disebut filsafat transendental. Tapi ini, sekali lagi, masih di luar batas-
batas esai kita saat ini. Karena ilmu pengetahuan seperti itu harus mengandung sebuah
eksposisi lengkap tidak hanya dari apriori sintetis kita, tetapi juga pengetahuan apriori
analitis kita, itu terlalu luas untuk tujuan kita saat ini, karena kita tidak perlu membawa
analisis kita lebih jauh dari yang diperlukan untuk memahami, secara penuh, prinsip-

22 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
prinsip sintesis a priori, yang hanya dengan itu saja kita harus melakukannya.
Penyelidikan ini, yang tidak dapat kita sebut sebagai doktrin, tetapi hanya sebuah kritik
transendental, karena tidak bertujuan untuk perluasan, tetapi untuk koreksi dan
bimbingan, pengetahuan, dan berfungsi sebagai batu ujian dari nilai atau
ketidakberdayaan dari semua pengetahuan secara apriori, adalah satu-satunya objek dari
esai kita saat ini. Kritik seperti itu, akibatnya, merupakan persiapan untuk sebuah
organon; dan jika organon baru ini harus ditemukan gagal, setidaknya untuk kanon akal
murni, yang menurutnya sistem lengkap filsafat akal murni, apakah itu memperluas atau
membatasi batas-batas alasan itu, mungkin suatu hari nanti dapat ditetapkan baik secara
analitis maupun sintetis. Bahwa hal ini mungkin saja terjadi, atau, bahwa sistem seperti
itu tidak begitu luas sehingga menghalangi harapan untuk diselesaikan, adalah jelas.
Karena di sini kita tidak berurusan dengan sifat benda-benda lahiriah, yang tidak terbatas,
tetapi semata-mata dengan pikiran, yang menilai sifat benda-benda, dan, sekali lagi,
dengan pikiran hanya sehubungan dengan kognisinya secara apriori. Dan objek dari
penyelidikan kita, karena tidak harus dicari di luar, tetapi, sama sekali di dalam, diri kita
sendiri, tidak dapat tetap tersembunyi, dan kemungkinan besar cukup terbatas untuk
disurvei sepenuhnya dan diperkirakan secara adil, sesuai dengan nilai atau
ketidakberdayaannya. Masih kurang membiarkan pembaca di sini mengharapkan suatu
kritik terhadap buku-buku dan sistem-sistem akal budi murni; objek kita sekarang ini
secara eksklusif merupakan suatu kritik terhadap fakultas akal budi murni itu sendiri.
Hanya ketika kita menjadikan kritik ini sebagai fondasi kita, kita memiliki batu ujian yang
murni untuk memperkirakan nilai filosofis tulisan-tulisan kuno dan modern tentang hal
ini; dan tanpa kriteria ini, sejarawan atau hakim yang tidak kompeten memutuskan dan
mengoreksi pernyataan-pernyataan tak berdasar orang lain dengan pernyataan-
pernyataannya sendiri, yang hanya memiliki sedikit dasar.

23 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
IV. MENERAPKAN FILSAFAT PENILAIAN
A. Sejarah Perkembangan Penilaian
Sejarah perkembangan penilaian mencakup evolusi metode dan pendekatan yang
digunakan untuk mengukur pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan seseorang.
Berikut adalah gambaran umum tentang perkembangan penilaian:

1. Era Kuno
Pendidikan pada masa ini cenderung lebih terfokus pada pembelajaran individual.
Penilaian didasarkan pada pengamatan langsung oleh guru atau mentor. Sistem penilaian
di era kuno cenderung mencerminkan nilai-nilai budaya dan kepercayaan masyarakat
pada waktu itu. Selain itu, sistem penilaian ini sering kali lebih terpusat pada kelompok
sosial tertentu dan dapat bersifat hierarkis. Sistem penilaian di era kuno bervariasi
tergantung pada masyarakat, budaya, dan waktu. Berikut adalah beberapa contoh sistem
penilaian yang digunakan dalam era kuno (Hadiwijono, 2005):
Mesir Kuno:
• Sistem penilaian di Mesir Kuno sangat terkait dengan administrasi pemerintahan
dan agama.
• Pemimpin dan pejabat pemerintahan dinilai berdasarkan pencapaian administratif
dan kemampuan untuk memelihara ketertiban.
• Masyarakat Mesir juga menganggap kehidupan setelah mati sebagai faktor
penting, sehingga kualitas moral dan spiritual seseorang juga bisa memengaruhi
penilaian mereka.
Yunani Kuno:
• Di Yunani Kuno, pendidikan dan keahlian dalam bidang olahraga, seni, dan
filsafat sering kali menjadi dasar penilaian.
• Warga Yunani dinilai berdasarkan partisipasi dalam urusan politik dan militer.
• Konsep kehidupan baik (eudaimonia) dianggap sebagai tujuan utama, dan
penilaian masyarakat terhadap individu sering kali dipengaruhi oleh sejauh mana
seseorang mencapai kehidupan baik ini.
Romawi Kuno:
• Di Romawi Kuno, penilaian sering kali berkaitan dengan prestasi militer dan
kontribusi terhadap kemajuan Roma.
• Kepatuhan terhadap hukum dan moralitas juga menjadi faktor penilaian.

24 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
• Kelas sosial memainkan peran penting dalam menentukan status dan penilaian
dalam masyarakat Romawi.
India Kuno:
• Dalam sistem kasta India Kuno, penilaian sering kali didasarkan pada kasta
seseorang dan pekerjaannya dalam masyarakat.
• Konsep karma dan dharma memainkan peran penting dalam menentukan
penilaian moral dan spiritual.
China Kuno:
• Di Tiongkok Kuno, Konfusianisme mempengaruhi pandangan masyarakat
terhadap etika dan moralitas.
• Kualitas kepemimpinan dan pengabdian kepada keluarga serta masyarakat
menjadi faktor penting dalam penilaian.

2. Abad Pertengahan:
Pada Abad Pertengahan, sistem penilaian atau evaluasi pendidikan tidak seperti
sistem modern yang kita kenal saat ini. Pendidikan pada masa itu lebih terfokus pada
lingkungan keagamaan dan klerikal, dan tujuan utamanya adalah untuk mendidik kaum
rohaniwan atau calon rohaniwan. Pada era ini penilaian lebih terpusat di sekitar ujian oral
dan tertulis. Ujian sering kali diadakan sebagai bagian dari ujian kualifikasi keagamaan
atau profesional. Sistem penilaian ini mencerminkan nilai-nilai dan tujuan pendidikan
pada masa tersebut, yang sangat dipengaruhi oleh peran gereja dalam masyarakat
medieval (Bertens, 2001). Berikut adalah beberapa ciri sistem penilaian pada Abad
Pertengahan:
1. Pendidikan Agama: Pendidikan pada Abad Pertengahan didominasi oleh
pendidikan agama dan teologi. Sebagian besar institusi pendidikan dijalankan
oleh gereja dan didedikasikan untuk melatih para rohaniwan.
2. Sistem Gurukul: Sistem pendidikan pada masa itu sering kali dilakukan dalam
lingkungan gurukul atau biara. Murid-murid belajar langsung dari seorang guru
atau ahli di bidang agama, sastra, dan filsafat.
3. Pengajaran Lisan: Pengetahuan pada Abad Pertengahan lebih banyak
disampaikan secara lisan daripada tertulis. Para guru mentransmisikan
pengetahuan mereka kepada murid-murid melalui ceramah, diskusi, dan
pembicaraan.

25 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
4. Sistem Pembelajaran Bertahap: Pendidikan pada masa itu sering kali melibatkan
sistem pembelajaran bertahap. Murid-murid dapat memulai sebagai pemula dan
secara bertahap naik ke tingkat yang lebih tinggi dengan memperoleh
pengetahuan yang lebih mendalam.
5. Ujian Oral dan Praktik: Evaluasi sering kali dilakukan melalui ujian lisan, di
mana murid diminta untuk menjawab pertanyaan secara verbal. Selain itu, ujian
praktik juga mungkin dilakukan, terutama dalam konteks kehidupan rohaniwan
yang memerlukan keterampilan liturgi dan praktik keagamaan.
6. Hukuman dan Disiplin: Hukuman dan disiplin memiliki peran penting dalam
pendidikan Abad Pertengahan. Pendidikan sering kali dilakukan dengan ketat,
dan pelanggaran dapat mengakibatkan hukuman fisik atau sanksi lainnya.
7. Fokus pada Pendidikan Klerikal: Tujuan utama pendidikan pada Abad
Pertengahan adalah untuk mempersiapkan individu untuk kehidupan rohaniwan.
Oleh karena itu, penilaian lebih terfokus pada pemahaman dan penginternalan
ajaran agama daripada pada kemampuan praktis atau keterampilan umum.

3. Renaisans
Pada masa Renaisans, sistem penilaian lebih berkaitan dengan perkembangan
pendidikan dan pemikiran baru yang muncul pada periode tersebut. Renaisans (sekitar
abad ke-14 hingga ke-17) merupakan periode kebangkitan seni, ilmu pengetahuan, dan
kemanusiaan di Eropa. Beberapa karakteristik sistem penilaian pada masa Renaisans
melibatkan perubahan dalam pendidikan, penekanan pada kebebasan berpikir, dan
peningkatan penghargaan terhadap kemampuan individu. Periode ini menyaksikan
pengembangan ujian tertulis dan lisan yang lebih formal. Pada periode ini pula mulai
munculnya sistem penilaian standar (Bertens, 2001).
Periode Renaisans secara umum mencirikan perubahan paradigma dalam
pendidikan dan penilaian, dengan lebih menekankan pada pengembangan pribadi,
kebebasan berpikir, dan kreativitas. Sistem penilaian pada masa ini mencerminkan
semangat intelektual dan kebebasan berpikir yang menjadi ciri khas era tersebut.
Beberapa poin penting terkait sistem penilaian pada masa Renaisans antara lain:
1. Pendidikan Humanistik:

26 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
• Pendidikan pada masa Renaisans banyak dipengaruhi oleh pendekatan
humanistik yang menekankan pada studi klasik, khususnya karya-karya
sastra klasik Yunani dan Romawi.
• Sistem penilaian cenderung menghargai pemahaman mendalam terhadap
sastra klasik, kemampuan berbicara, dan keahlian dalam bahasa Latin.
2. Pengembangan Kemampuan Pribadi:
• Pada masa ini, terjadi pergeseran dari pendidikan yang sangat terpusat
pada ajaran agama menuju pendidikan yang lebih menekankan pada
pengembangan kemampuan pribadi, termasuk kreativitas, kecerdasan, dan
keterampilan berpikir kritis.
3. Penekanan pada Kreativitas dan Inovasi:
• Renaisans menandai era di mana masyarakat mulai menghargai kreativitas
dan inovasi. Oleh karena itu, sistem penilaian lebih mendorong
pengembangan bakat individu, baik dalam seni, sastra, maupun ilmu
pengetahuan.
4. Pendekatan Holistik:
• Sistem penilaian cenderung bersifat holistik, yang berarti bahwa tidak
hanya prestasi akademis yang diukur, tetapi juga kemampuan seni,
keterampilan interpersonal, dan pengembangan pribadi secara
keseluruhan.
5. Pengaruh Humanisme:
• Filsafat humanisme yang muncul pada masa Renaisans menekankan pada
martabat manusia dan kebebasan berpikir. Ini mempengaruhi pendekatan
terhadap penilaian, dengan lebih banyak perhatian diberikan pada
kemampuan individu untuk berpikir secara mandiri dan kreatif.
6. Guru sebagai Pembimbing:
• Guru pada masa Renaisans tidak hanya sebagai penyampai pengetahuan,
tetapi juga sebagai pembimbing yang membantu mengembangkan potensi
siswa secara keseluruhan.
7. Peningkatan Penggunaan Metode Evaluasi:

27 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
• Meskipun belum sekompleks sistem penilaian modern, masa Renaisans
menyaksikan peningkatan penggunaan metode evaluasi, termasuk ujian
tertulis dan lisan, penugasan, dan proyek seni.

4. Abad ke-19
Pada abad ke-19, sistem penilaian berfokus pada berbagai aspek, tergantung pada
tingkat pendidikan dan lokasi geografis. Pendidikan formal semakin berkembang, dan
ujian standar lebih umum digunakan. Ujian nasional mulai diperkenalkan di beberapa
negara. Penting untuk diingat bahwa sistem pendidikan dan penilaian dapat bervariasi di
berbagai negara dan lembaga pada abad ke-19, dan beberapa konsep ini mungkin tidak
berlaku secara universal. Di bawah ini adalah beberapa ciri umum sistem penilaian pada
abad ke-19:

Pendidikan Formal:
1. Pendidikan Dasar dan Menengah
• Penekanan pada hafalan: Pendidikan pada abad ke-19 sering kali menekankan
pada hafalan dan pemahaman fakta-fakta dasar.
• Pengujian tulisan tangan: Keterampilan menulis tangan dinilai sebagai bagian
integral dari pendidikan.
• Kurikulum agama: Di banyak tempat, pendidikan agama menjadi bagian penting
dari kurikulum.
2. Pendidikan Tinggi
• Sistem ujian oral: Ujian seringkali bersifat lisan, di mana siswa diuji oleh dosen
atau panel.
• Keterampilan retorika: Siswa diharapkan memiliki keterampilan berbicara dan
menulis secara efektif.
• Fokus pada klasifikasi: Sistem penilaian cenderung bersifat klasifikasi, membagi
siswa menjadi kelompok-kelompok berdasarkan prestasi akademis mereka.

Pendidikan Profesional:
1. Kedokteran
• Pemahaman anatomi dan ilmu medis dasar diuji melalui ujian praktis dan
teoritis.

28 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
• Magang klinis: Siswa sering melakukan magang di rumah sakit sebagai bagian
dari pendidikan mereka.
2. Hukum
• Penguasaan hukum: Siswa diuji tentang pengetahuan mereka tentang hukum dan
kemampuan mereka dalam menerapkan hukum.
• Studi kasus: Penggunaan studi kasus sering kali digunakan untuk menguji
pemahaman hukum.

Pendidikan Khusus:
1. Seni dan Musik
• Penilaian seni visual: Pengevaluasian karya seni sering dilakukan oleh seniman
senior atau dosen.
• Ujian musik: Siswa diuji dalam keterampilan musik, baik melalui kinerja
langsung maupun ujian tertulis.
2. Pendidikan Teknis
• Ujian keterampilan praktis: Siswa diuji dalam keterampilan teknis yang sesuai
dengan bidang mereka, seperti mesin, pertanian, atau kerajinan tangan.

Aspek Budaya dan Sosial:


1. Etimologi dan Bahasa Asing
• Ujian bahasa: Penguasaan bahasa Latin dan Yunani sering dianggap penting di
banyak program pendidikan tinggi.
• Pembelajaran bahasa asing: Siswa juga diuji dalam kemampuan berbahasa asing,
terutama dalam bahasa Eropa.
2. Disiplin dan Etika
• Kedisiplinan dan etika sering kali dianggap sebagai bagian integral dari
penilaian.
• Perilaku dan moralitas: Sikap dan perilaku siswa dapat memengaruhi penilaian
mereka.

5. Awal Abad ke-20


Abad ke-20 melibatkan sejumlah perkembangan penting dalam berbagai bidang,
termasuk dalam sistem penilaian di berbagai tingkat pendidikan dan profesi. Beberapa
ciri khas sistem penilaian pada abad ke-20 melibatkan perubahan dalam pendekatan

29 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
pendidikan, metode penilaian, dan pemahaman tentang keberhasilan siswa atau individu
dalam berbagai konteks. Pada abad ini telah muncul pengenalan tes kecerdasan, seperti
tes IQ oleh Alfred Binet, untuk mengukur kecerdasan anak-anak. Munculnya tes
psikologis untuk mengukur berbagai aspek kepribadian dan kemampuan. Berikut adalah
beberapa poin penting terkait sistem penilaian pada abad ke-20:

1. Pendidikan Formal
• Pendekatan Tradisional: Pada awal abad ke-20, banyak sistem pendidikan
menggunakan metode penilaian yang bersifat formal dan didasarkan pada
tes tertulis, ujian akhir, dan skor numerik.
• Perubahan Kurikulum: Seiring perkembangan pendidikan progresif,
terjadi perubahan dalam kurikulum dan metode pengajaran. Sistem
penilaian mencoba untuk mencerminkan pemahaman holistik terhadap
kemampuan dan potensi siswa.
2. Ujian Standardisasi:
• Pertumbuhan Ujian Standar: Munculnya ujian standar nasional dan
internasional di banyak negara untuk mengukur pengetahuan dan
kemampuan siswa secara konsisten.
• Kritik terhadap Ujian Standar: Sistem penilaian ini kemudian menghadapi
kritik karena dianggap terlalu fokus pada pengukuran kognitif dan kurang
memperhitungkan aspek-aspek non-kognitif, seperti kreativitas dan
keterampilan sosial.
3. Pendekatan Holistik:
• Perubahan Filosofi Pendidikan: Pergeseran dari pendekatan yang bersifat
mekanis dan mengukur pengetahuan semata, menuju pendekatan yang
lebih holistik, mempertimbangkan aspek-aspek seperti kreativitas,
keterampilan interpersonal, dan karakter pribadi.
• Penilaian Formatif: Perkembangan konsep penilaian formatif, di mana
evaluasi dilakukan secara berkelanjutan untuk memberikan umpan balik
dan membantu perkembangan siswa.
4. Inklusi dan Keadilan:
• Pentingnya Keadilan Pendidikan: Munculnya kesadaran akan pentingnya
inklusi dan keadilan dalam pendidikan. Penilaian lebih diperhatikan untuk

30 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
memastikan bahwa semua siswa memiliki peluang yang setara untuk
berhasil.
5. Teknologi dan E-learning:
• Pengaruh Teknologi: Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi
memengaruhi cara penilaian dilakukan. Munculnya ujian daring, evaluasi
berbasis komputer, dan platform pembelajaran daring.
6. Pergeseran pada Keterampilan Soft:
• Pentingnya Keterampilan Soft: Penekanan yang meningkat pada
keterampilan lunak seperti kritis berpikir, kolaborasi, dan komunikasi,
yang mencerminkan perubahan kebutuhan dalam masyarakat dan pasar
kerja.
7. Evaluasi Kinerja di Tempat Kerja:
• Peningkatan Evaluasi Kinerja: Di dunia kerja, ada pergeseran dari
penilaian kinerja yang bersifat otoriter menuju model yang lebih
kolaboratif, dengan penekanan pada pengembangan karyawan.
8. Globalisasi dan Komparabilitas:
• Standarisasi Internasional: Dalam beberapa bidang, seperti pendidikan
tinggi dan bisnis, penekanan pada standarisasi internasional untuk
membandingkan dan mengevaluasi prestasi.

Penting untuk diingat bahwa evolusi sistem penilaian terus berlanjut seiring dengan
perubahan dalam pendidikan, teknologi, dan masyarakat. Pada abad ke-21, kita terus
melihat perkembangan seperti pembelajaran berbasis proyek, penilaian berbasis
portofolio, dan penggunaan teknologi baru dalam evaluasi.

6. Setelah Perang Dunia II:


Penilaian terhadap peristiwa dan dampak Perang Dunia II telah berlangsung
sepanjang sejarah pasca-perang. Ini melibatkan analisis politik, ekonomi, sosial, dan
budaya dari berbagai perspektif. Perkembangan tes standar yang lebih canggih dan
komprehensif. Penggunaan tes di berbagai bidang, termasuk seleksi pekerjaan dan
penempatan militer. Berikut adalah beberapa elemen penilaian umum terhadap periode
pasca-Perang Dunia II:

1. Pembentukan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa):

31 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
• Positif: Pembentukan PBB dianggap sebagai langkah penting untuk mencegah
konflik berskala besar di masa depan dan mempromosikan kerjasama
internasional.
• Negatif: Kritik terhadap PBB mencakup ketidakmampuan untuk mencegah
konflik-konflik lokal, veto kekuatan besar di Dewan Keamanan, dan tantangan
dalam menangani konflik global.

2. Pembagian Dunia dan Perang Dingin:


• Positif: Beberapa melihat pembagian dunia antara Blok Barat dan Blok Timur
sebagai perlu untuk mencegah konflik besar antara kekuatan besar.
• Negatif: Perang Dingin menyebabkan konflik lokal, perlombaan senjata nuklir,
dan pengorbanan hak asasi manusia dalam beberapa kasus.

3. Rekonstruksi dan Pemulihan Ekonomi:


• Positif: Program Marshall membantu pemulihan ekonomi Eropa, dan Jepang
mengalami pertumbuhan ekonomi yang signifikan.
• Negatif: Beberapa negara masih menghadapi kemiskinan dan kerusakan ekonomi
yang berkepanjangan.

4. Dekolonisasi dan Perubahan Politik:


• Positif: Proses dekolonisasi memberikan kemerdekaan kepada banyak negara di
Asia, Afrika, dan Timur Tengah.
• Negatif: Beberapa wilayah mengalami ketidakstabilan politik pasca-dekolonisasi,
dan beberapa konflik masih berlanjut.

5. Pertumbuhan Teknologi dan Kemajuan Sosial:


• Positif: Pertumbuhan teknologi, termasuk revolusi teknologi informasi, membawa
kemajuan signifikan dalam berbagai sektor.
• Negatif: Kemajuan teknologi juga membawa tantangan baru, seperti potensi
konflik siber dan pertanyaan etika terkait dengan pengembangan teknologi.

6. Perkembangan HAM dan Keamanan Global:


• Positif: Kesadaran akan hak asasi manusia meningkat, dan beberapa institusi
internasional berusaha menangani pelanggaran HAM.
• Negatif: Konflik bersenjata, terorisme, dan pelanggaran HAM masih menjadi
masalah serius di berbagai belahan dunia.

32 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
7. Globalisasi:
• Positif: Globalisasi membawa pertumbuhan ekonomi dan pertukaran budaya.
• Negatif: Kritik terhadap globalisasi mencakup ketidaksetaraan ekonomi,
kehilangan pekerjaan, dan kerusakan lingkungan.

Penilaian atas peristiwa pasca-Perang Dunia II dapat bervariasi tergantung pada


perspektif dan nilai-nilai individu serta kelompok. Berbagai sektor kehidupan manusia,
baik politik, ekonomi, sosial, maupun budaya, terus mengalami dampak peristiwa ini, dan
evaluasi terhadap era pasca-Perang Dunia II terus berkembang seiring waktu.

7. Abad ke-21
Sistem penilaian pada abad ke-21 berfokus pada pengembangan keterampilan dan
kemampuan yang relevan dengan kebutuhan dunia modern. Munculnya pendekatan
penilaian formatif yang lebih menekankan feedback dan pengembangan individu.
Teknologi memainkan peran besar dalam penilaian, dengan penggunaan tes online dan
alat penilaian berbasis komputer. Penilaian sekarang mencakup berbagai metode,
termasuk proyek, portofolio, dan penilaian kinerja.
Sistem penilaian ini mencerminkan pergeseran paradigma dari pendekatan yang
bersifat tes dan nilai akhir menuju pendekatan yang lebih holistik, kontekstual, dan
berkelanjutan. Tujuan utamanya adalah mempersiapkan siswa untuk menghadapi
tantangan dan kesempatan yang ada di dunia nyata dengan keterampilan yang relevan dan
diperlukan. Beberapa karakteristik utama dari sistem penilaian ini termasuk:
1. Pentingnya Keterampilan Lunak (Soft Skills): Penilaian tidak hanya berfokus pada
pengetahuan akademis, tetapi juga pada pengembangan keterampilan lunak
seperti kolaborasi, komunikasi, kreativitas, pemecahan masalah, dan kecerdasan
emosional. Ini mencerminkan kebutuhan dunia kerja yang semakin menekankan
aspek interpersonal dan kepemimpinan.
2. Proyek dan Karya Praktis: Siswa dievaluasi melalui proyek-proyek dan tugas-
tugas yang mencerminkan situasi dunia nyata. Ini membantu siswa
mengaplikasikan pengetahuan mereka dalam konteks praktis dan
mengembangkan kemampuan mereka untuk memecahkan masalah secara kreatif.
3. Penilaian Formatif: Sistem penilaian lebih berorientasi pada umpan balik
(feedback) dan pemahaman secara berkelanjutan. Ini memungkinkan guru dan

33 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
siswa untuk terus meningkatkan kinerja mereka sepanjang waktu, bukan hanya
pada akhir periode penilaian.
4. Teknologi dalam Penilaian: Penggunaan teknologi, seperti ujian online, simulasi,
dan analisis data, dapat membantu memberikan wawasan yang lebih mendalam
tentang kemajuan siswa. Teknologi juga dapat digunakan untuk menyediakan
penilaian adaptif, menyesuaikan tingkat kesulitan dengan kemampuan individual
siswa.
5. Diversifikasi Metode Penilaian: Sistem penilaian abad ke-21 mengakui
keberagaman kemampuan siswa dan menggunakan berbagai metode penilaian,
termasuk ujian tertulis, proyek, presentasi, dan portofolio.
6. Kolaborasi dan Tim: Kemampuan untuk bekerja dalam tim dan berkolaborasi
dinilai dengan lebih vokal. Penekanan diberikan pada kemampuan berkontribusi
dalam lingkungan kerja kelompok dan berbagi tanggung jawab.
7. Pengukuran Kemajuan Individual: Lebih dari sekadar memberikan nilai, sistem
penilaian abad ke-21 mencoba mengukur kemajuan individual siswa sepanjang
waktu, memperhitungkan perkembangan mereka dari waktu ke waktu.
8. Pentingnya Keterampilan Digital: Evaluasi juga mencakup keterampilan digital,
termasuk literasi digital, pemahaman teknologi informasi, dan etika online.

8. Kontroversi dan Perubahan Terkini


Seiring dengan perkembangan zaman, banyak kontroversi muncul di berbagai
bidang, dan perubahan penilaian terjadi sebagai respons terhadap dinamika ini. Beberapa
contoh kontroversi dan perubahan penilaian pada masa kini melibatkan bidang-bidang
seperti teknologi, lingkungan, sosial, dan politik. Semakin banyak kritik terhadap tes
standar dan pendekatan penilaian yang terlalu fokus pada ujian. Peningkatan minat pada
penilaian holistik yang mencakup lebih banyak aspek dari kemampuan dan potensi siswa.
Perhatian pada inklusivitas dalam penilaian, mengakomodasi keberagaman siswa.
Perkembangan penilaian terus berlanjut seiring waktu, dipengaruhi oleh
perkembangan teori pendidikan, teknologi, dan perubahan dalam tuntutan masyarakat
terhadap sistem pendidikan. Pendekatan yang lebih holistik dan inklusif semakin menjadi
fokus, dengan penilaian yang mendukung pembelajaran sepanjang hidup dan
perkembangan pribadi. Perubahan penilaian ini mencerminkan evolusi nilai-nilai dan
norma-norma masyarakat modern. Meskipun kontroversi dapat menciptakan ketegangan,

34 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
perubahan penilaian juga seringkali merupakan langkah positif menuju masyarakat yang
lebih adil, berkelanjutan, dan inklusif. Beberapa contoh kontroversi dan perubahan
penilaian pada masa kini melibatkan bidang-bidang seperti teknologi, lingkungan, sosial,
dan politik. Berikut beberapa contoh:

1. Teknologi dan Privasi:


• Kontroversi: Perkembangan teknologi, terutama dalam hal pengumpulan dan
penggunaan data pribadi, telah menimbulkan banyak kontroversi terkait
privasi. Misalnya, ketika perusahaan teknologi besar mengumpulkan data
pengguna tanpa izin atau ketika teknologi pemantauan massal digunakan oleh
pemerintah.
• Perubahan Penilaian: Masyarakat dan pemerintah mulai lebih kritis terhadap
praktik pengumpulan data yang tidak etis. Beberapa negara mengeluarkan
regulasi yang lebih ketat untuk melindungi privasi pengguna, dan perusahaan
teknologi diharapkan untuk mengikuti standar-standar yang lebih tinggi.
2. Lingkungan dan Perubahan Iklim:
• Kontroversi: Isu perubahan iklim dan lingkungan menghasilkan banyak
kontroversi, termasuk seputar tanggung jawab perusahaan terhadap emisi
karbon, deforestasi, dan pengelolaan limbah.
• Perubahan Penilaian: Kesadaran akan pentingnya keberlanjutan meningkat,
dan perubahan penilaian mencakup tekanan pada perusahaan dan pemerintah
untuk mengadopsi praktik yang lebih ramah lingkungan. Investor dan
konsumen juga semakin memilih produk dan layanan yang memiliki jejak
karbon yang lebih rendah.
3. Sosial dan Keadilan:
• Kontroversi: Isu-isu sosial seperti rasisme, ketidaksetaraan gender, dan
ketidaksetaraan ekonomi telah menjadi pusat kontroversi. Gerakan sosial
seperti Black Lives Matter dan Me Too menjadi perdebatan global.
• Perubahan Penilaian: Masyarakat semakin menyadari pentingnya kesetaraan
dan keadilan. Perusahaan dan pemerintah didorong untuk mengambil
tindakan yang lebih tegas dalam memerangi diskriminasi dan menciptakan
lingkungan yang inklusif.
4. Politik dan Kepemimpinan:

35 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
• Kontroversi: Kepemimpinan politik seringkali menjadi sumber kontroversi,
terutama dalam hal kebijakan imigrasi, perdagangan, dan hubungan
internasional.
• Perubahan Penilaian: Masyarakat semakin terlibat dalam politik dan
menuntut transparansi, akuntabilitas, dan kebijakan yang memperhatikan
kepentingan rakyat. Kepemimpinan yang responsif dan bertanggung jawab
diharapkan untuk merespons aspirasi masyarakat.

B. Ideologi Pendidikan Menuju Penilaian


Definisi standar dari ideology adalah seperangkat ide dimana orang mengandaikan,
menjelaskan dan membenarkan tujuan dan sarana aksi sosial terorganisir, terlepas dari
apakah tindakan tersebut bertujuan untuk melestarikan, mengubah, mencabut atau
membangun kembali tatanan sosial yang diberikan (Alexander, 2015). Ideologi tidak
sebatas gagasan yang terkurung dalam pikiran manusia, melainkan oleh Althusser
dimaknai sebagai sesuatu yang diaktualisasikan dalam tindakan dan praktik keseharian
(Critten, 2015).
Dalam kerangka pragmatis, Adorno sebagaimana dikutip oleh John. T. Tost-
meletakkan ideologi untuk memposisikan sebuah organisasi, berupa pendapat, sikap, dan
nilai-nilai. Dengan bahasa yang lebih sederhana, ideologi merupakan cara berpikir
tentang manusia dan Masyarakat (Tost, 2016). Melalui perspektif ini, Tost sekaligus
melakukan kritik terhadap gagasan beberapa sosiolog dan ilmuwan politik seperti Edward
Shils, Raymond Aron, Daniel Bell, Seymour Lipset, dan Philip Converse yang
mengkampanyekan “The End of Ideology” sebagai simbol kematian ideologi.
Ideologi pendidikan mengacu pada kumpulan keyakinan, nilai, dan prinsip yang
membimbing sistem pendidikan suatu negara atau lembaga. Penilaian dalam konteks
pendidikan mencakup proses pengukuran kemajuan, pemahaman, dan pencapaian siswa.
Pendekatan penilaian dalam konteks ideologi pendidikan dapat bervariasi di berbagai
tingkat pendidikan dan konteks budaya. Sebagai contoh, sebuah negara atau lembaga
pendidikan dapat menggabungkan elemen-elemen dari beberapa ideologi pendidikan
untuk menciptakan pendekatan yang unik sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai local.
Berikut adalah beberapa ideologi pendidikan yang dapat memengaruhi pendekatan
terhadap penilaian:

36 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
1. Progresivisme:
• Ideologi: Menekankan pada pengembangan potensi penuh individu,
menggali minat dan bakat mereka.
• Penilaian: Mungkin lebih fokus pada penilaian formatif (pengukuran
selama pembelajaran) daripada penilaian sumatif (pengukuran akhir).

2. Essensialisme:
• Ideologi: Mengutamakan pengetahuan dasar dan keterampilan esensial.
• Penilaian: Cenderung menuju penilaian yang bersifat objektif dan tes
standar untuk mengukur pemahaman materi inti.
3. Perennialisme:
• Ideologi: Menekankan pada pembelajaran konsep-konsep universal dan
pemahaman abadi.
• Penilaian: Mungkin lebih cenderung pada penilaian tulisan, esai, atau
proyek yang memerlukan pemikiran kritis dan pemahaman mendalam.
4. Konstruktivisme:
• Ideologi: Berfokus pada pembelajaran sebagai proses konstruksi
pengetahuan oleh siswa.
• Penilaian: Lebih mendorong penilaian autentik yang mencerminkan
pemahaman mendalam dan penerapan konsep dalam konteks nyata.
5. Humanisme:
• Ideologi: Memandang pendidikan sebagai sarana untuk pengembangan
pribadi dan kesejahteraan siswa.
• Penilaian: Mungkin mencakup penilaian yang menekankan pertumbuhan
pribadi, seperti penilaian portofolio atau refleksi diri.
6. Multikulturalisme:
• Ideologi: Mengakui dan menghargai keberagaman budaya, etnis, dan latar
belakang siswa.
• Penilaian: Mungkin mencakup elemen penilaian yang mempertimbangkan
konteks budaya siswa.
7. Teknologi Pendidikan:

37 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
• Ideologi: Memanfaatkan teknologi sebagai alat untuk meningkatkan
pembelajaran.
• Penilaian: Dapat melibatkan penilaian berbasis teknologi, seperti ujian
daring atau portofolio digital.
8. Pendidikan Inklusif:
• Ideologi: Menekankan pada pendidikan yang memenuhi kebutuhan semua
siswa, termasuk mereka dengan kebutuhan khusus.
• Penilaian: Memerlukan penilaian yang dapat diakses oleh semua siswa,
mungkin dengan penyesuaian untuk kebutuhan khusus.

Paul Ernest adalah seorang filsuf pendidikan yang memiliki pandangan kritis
terhadap penilaian dalam konteks pendidikan matematika. Ia mengusulkan ide-ide
tertentu yang dapat membentuk ideologi pendidikan menuju penilaian. Meskipun
pemikirannya lebih terfokus pada bidang matematika, prinsip-prinsip yang diusulkan
olehnya dapat diterapkan secara lebih luas dalam konteks pendidikan secara umum.
Berikut adalah beberapa aspek kunci yang dapat diidentifikasi dari pandangan Paul Ernest
terkait penilaian dalam pendidikan:
1. Keterlibatan dan Partisipasi: Ernest menekankan pentingnya keterlibatan aktif dan
partisipasi siswa dalam proses belajar-mengajar. Penilaian tidak hanya seharusnya
mencerminkan kemampuan siswa untuk mengingat fakta, tetapi juga kemampuan
mereka untuk berpikir kritis, memecahkan masalah, dan berpartisipasi dalam
kegiatan pembelajaran.
2. Keadilan dan Kesetaraan: Ideologi Ernest menunjukkan kepeduli terhadap aspek
keadilan dan kesetaraan dalam penilaian. Dia menolak pendekatan yang hanya
mengukur kemampuan siswa berdasarkan faktor-faktor sosial atau ekonomi.
Sebaliknya, penilaian seharusnya mencerminkan kemampuan sebenarnya dan
memberikan peluang yang setara untuk semua siswa.
3. Pentingnya Konsep: Ernest menekankan pentingnya memahami konsep-konsep
dalam pembelajaran matematika. Penilaian seharusnya tidak hanya mencakup
kemampuan mengingat rumus atau aturan, tetapi juga pemahaman siswa terhadap
konsep-konsep dasar dan kemampuan mereka untuk mengaplikasikannya dalam
konteks nyata.

38 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
4. Penekanan pada Aspek Kualitatif: Pemikiran Ernest cenderung lebih mendukung
penilaian kualitatif dibandingkan penilaian kuantitatif. Hal ini dapat mencakup
penilaian berbasis proyek, diskusi, atau penugasan yang mendorong siswa untuk
menunjukkan pemahaman mereka secara mendalam.
5. Pengukuran Kemajuan Seiring Waktu: Ernest mendukung pengukuran kemajuan
siswa seiring waktu, daripada penilaian tunggal atau ujian akhir. Ini
memungkinkan untuk pemahaman yang lebih baik tentang perkembangan siswa
dan memberikan kesempatan untuk penyempurnaan lebih lanjut.
6. Pemahaman Tentang Kesalahan: Dalam pandangan Ernest, kesalahan siswa
seharusnya dilihat sebagai bagian alami dari proses pembelajaran. Penilaian
seharusnya membantu siswa memahami kesalahan mereka, bukan hanya
memberikan nilai sebagai hasil akhir.

Penting untuk diingat bahwa pandangan Paul Ernest lebih spesifik terhadap
pendidikan matematika. Meskipun konsep-konsep ini dapat diterapkan dalam konteks
pendidikan secara umum, sebaiknya juga mempertimbangkan pandangan dan konsep dari
filsuf pendidikan lainnya untuk memperoleh pemahaman yang lebih holistik tentang
penilaian dalam pendidikan.
Terminologi lain yang perlu dijelaskan dalam ulasan ini, sebelum melakukan
elaborasi lebih lanjut, ialah istilah pendidikan. Kata pendidikan diambilkan dari term
education bermakna tindakan atau proses mendidik (Freire, 2003) sebagai bentuk derivat
dari educe yang berarti untuk membawa atau menarik keluar; menyebabkan muncul
(Freire, 2002). Aktivitas mendidik tidak lain ialah untuk memunculkan atau membimbing
potensi seorang anak; untuk mengembangkan dan menumbuhkan, baik secara fisik,
mental, atau moral (Reimer, 1987). Sedangkan sekolah atau school merupakan tempat
atau lembaga untuk belajar (an institution for learning). Dewasa ini, tidak sedikit dari
para teoritisi pendidikan yang skeptis terhadap eksistensi sekolah sebagai institusi
pembelajaran. Everett Reimer, misalnya, menganggap bahwa sekolah tak ubahnya seperti
bengkel terapis bagi anak-anak “nakal”, media awal pemisahan anak-
anak ke dalam celah-celah sosial melalui penjenjangan kelas, mengajarkan indoktrinasi
dengan menetapkan standar “baik” dan “buruk” versi lembaga.
Padahal, seharusnya peran sekolah ialah membebaskan peserta didik dari segala
bentuk ketertindasan (Siemens, 2004).

39 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
Begitu juga aktivis pendidikan dari Brazil Paulo Freire menilai bahwa sekolah
menjadi media ampuh untuk menjauhkan peserta didik dari realitas (alienasi). Kondisi
demikian sangat mungkin terjadi manakala sekolah dipegang oleh guru konservatif yang
dalam setiap pembelajarannya cukup mengakomodasikan dan mengadaptasikan siswa
dengan dunia yang dihadirkannya. Oleh karena itu, Freire menyarankan kepada pegiat
pendidikan untuk mengubah karakter guru-guru konservatif menjadi guru progresif, yaitu
guru yang cakap mengkonstruksikan kritisisme siswa dengan menantangnya untuk
memahami bahwa dunia yang dihadirkan sebagaimana adanya adalah sebuah dunia yang
diciptakan, sehingga ia dapat diubah, ditransformasikan, dan direka ulang.

Proses mengenal dunia, bukan sebagai dunia yang begitu saja diterima, melainkan
sebagai dunia yang secara dinamis aktif dalam proses pembentukan, dinamai Freire
sebagai proses konsientisasi (penyadaran). Kesadaran diri di sini tidak sekedar berhenti
pada tahap refleksi, tetapi juga merembes pada aksi nyata yang akan selalu
direfleksikan sebagai proses timbal balik yang terus menerus.

Ideologi Pendidikan Perspektif William F. O’Neill


Peta ideologi pendidikan menurut O’Neill terbagi ke dalam dua aliran besar yaitu
Konservatif dan Liberal. Bagi kubu Konservatif mempercayai bahwa nilai tertinggi
adalah perujudan diri dan bisa dicapai dengan cara mengidentifikasikan dan menaati
hukum alam dan atau ketuhanan. Berbeda dengan ideologi Liberal yang meyakini bahwa
ketercapaian perujudan diri tergantung dari manusia itu sendiri sebagai faktor utama dan
merupakan sumber segala jenis pengetahuan. O’Neill mengatakan (Foucault, 1977):

…jika Konservatisme cenderung untuk menjadi sebuah humanismetidak


langsungmenganggap perujudan diri sebagai sebuah keluaran sampingan dari
ketaatan terhadap perintah-perintah kenyataan suprapersonal yang adanya di atas
serta melampaui pengalaman manusia itu sendiri; maka Liberalisme cenderung
untuk menjadi humanismelangsung, yang memandang semua kenyataan berakar
pada dan ditarik dari pengalaman manusia secara personal ataupun kolektif.

Ideologi Konservatif diklasifikasikan menjadi tiga tradisi utama, yaitu


fundamentalisme, intelektualisme, dan konservatisme pendidikan. Adapun ideologi
Liberal meliputi liberalisme, liberasionisme, dan anarkisme pendidikan.

40 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
1. Ideologi Pendidikan Konservatif
a. Fundamentalisme Pendidikan
Paham ini meminimalkan pertimbangan-pertimbangan filosofis dan atau
intelektual, serta cenderung untuk mendasarkan diri mereka pada penerimaan yang relatif
tanpa kritik terhadap kebenaran yang diwahyukan atau konsesnsus sosial yang sudah
mapan (yang biasanya diabsahkan sebagai “akal sehat”). Penalaran kaum fundamentalis
bisa disederhanakan menjadi lima hal, yaitu (Foucault, 1977):

• Ada jawaban-jawaban otoritatif terhadap seluruh problema kehidupan yang


memiliki arti penting.
• Jawaban-jawaban itu pada dasarnya bersandar pada kewenangan dari luar
(eksternal); entah itu dalam wahyu keagamaan yang diterima para nabi dan orang-
orang suci, yang didukung oleh iman; akal sehat; kebijaksanaan umum (folk
wisdom) intuitif yang dimiliki oleh orang kebanyakan.
• Jawaban-jawaban itu bukan saja otoritatif; melainkan juga sederhana dan
langsung pada titik permasalahan. Mereka tidak mengandung makna ganda, tidak
mendua, bisa langsung dimengerti orang biasa, tidak membutuhkan tafsiran
khusus ataupun campur tangan pakar. Jawaban-jawaban itu apa adanya dan
merupakan kebenaran harfiyah.
• Jawaban-jawaban yang disediakan oleh intuisi/iman sudah cukup bagi siapapun
yang berhasrat untuk hidup secara baik.
• Untuk kehidupan yang baik, betapapun orang tidak hanya perlu kembali ke
kepastian-kepastian kebijaksanaan umum, atau ke agama yang sederhana dan
langsung ke pokok masalah. Adalah juga perlu untuk memurnikan masyarakat
kontemporer dan melenyapkan unsur-unsur yang tidak perlu.

Bagi seorang pendidik fundamentalis, masyarakat kontemporer dihadapkan pada


keruntuhan moral dalam waktu dekat dan keharusan tertinggi yang musti dilakukan
adalah merombak tolok-ukur keyakinan dan perilaku konvensional dengan cara kembali
ke ciri-ciri kebaikan yang lebih tinggi di masa silam. Tujuan utama pendidikan adalah
untuk membangkitkan dan meneguhkan kembali cara-cara lama yang lebih baik, untuk
memapankan kembali tolok ukur keyakinan dan perilaku tradisional. Lembaga sekolah
ada karena dua alasan mendasar: pertama, untuk membantu membangun kembali
masyarakat dengan cara mendorong kembali ke tujuan-tujuan aslinya. Kedua, untuk

41 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
menyalurkan informasi dan keterampilan-keterampilan yang perlu agar berhasil dalam
tatanan sosial yang ada sekarang.
Anak-anak sebagai pelajar dianggap condong ke arah kekeliruan dan kejahatan jika
tidak ada bimbingan yang kuat dan pengajaran yang baik. Kesamaan-kesamaan
individual lebih penting ketimbang perbedaaan-perbedaan di antara mereka, dan
kesamaan ini secara tepat bersifat menentukan program-program pendidikan yang baik.
Metoda pengajaran dan penilaian hasil belajar ditekankan pada tata cara pengajaran
dalam kelas yang tradisional, misalnya ceramah, hapalan, serta diskusi kelompok yang
terstruktur secara ketat. Ulangan/tes sesudah pembelajaran diberikan merupakan cara
terbaik untuk memapankan kebiasaan. Pembelajaran terbaik ditentukan dan diarahkan
oleh guru, sebab siswa tidak cukup tercerahkan untuk mengarahkan proses perkembangan
intelektualnya sendiri. Guru harus dipandang sebagai panutan dalam kesempurnaan moral
dan akademik. Persaingan antarpersonal untuk mendapatkan nilai terbaik dan peringkat
nilai tertinggi di kelas adalah hal yang dikehendaki dan perlu diadakan demi memupuk
kesempurnaan.

b. Intelektualisme pendidikan

Penalaran filosofis intelektualisme dilandasi oleh:


• Dunia ini penuh dengan makna dalam dirinya. Adanya kebenaran-kebenaran
fundamental tertentu yang bersifat mutlak dan tidak berubah, mendahului atau
menjadi preseden bagi pengalaman personal.
• Manusia tidak dilahirkan dengan bekal pengetahuan yang gamblang (eksplisit)
mengenai kebenaran-kebenaran tadi, maka harus ada kesadaran yang diperoleh
melalui pengalaman yang dipelajari dalam dunia alamiah.
• Dalam hampir semua kasus, kebenaran-kebenaran tadi dapat dicapai dan
dipahami lewat latihan penalaran.

Tujuan pendidikan ialah untuk mengenali, merumuskan, melestarikan, dan


menyalurkan kebenaran (yakni pengetahuan tentang makna dan nilai penting kehidupan
secara mendasar). Sasaran sekolah diperuntukkan bagi pengajaran siswa tentang
bagaimana cara menalar (bagai cara berpikir secara jernih dan tertata) serta untuk
menyalurkan kebijaksanaan yang tahan lama dari masa silam. Anak-anak sebagai pelajar

42 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
condong ke arah kebijaksanaan dan kebaikan, karena secara hakiki ia adalah mahluk yang
rasional dan sosial.
Kesamaan individual lebih penting daripada perbedaan dan menjadi dasar untuk
menentukan program sekolah. Wewenang pendidikan musti ditanamkan di tangan elit
intelektual yang berpendidikan tinggi. Penekanan pada intelektual (yakni yang bersifat
ideasional, berkaitan dengan teori penafsiran yang luas), ketimbang yang praktis (yang
segera berguna bagi siswa) ataupun yang akademis (belajar tentang bagaimana caranya
belajar, dan menguasai jenis pengetahuan teknis).

Metoda pembelajaran ditekankan pada tata cara tradisional, seperti ceramah,


hapalan, tes Sokratik (diarahkan oleh guru), dan diskusi kelompok yang sangat
terstruktur. Ulangan/latihan berdasarkan hapalan adalah cara terbaik untuk membiasakan
kebiasaan siswa. Pembelajaran yang ditentukan dan diarahkan oleh guru adalah yang
terbaik, namun sang guru harus berusaha untuk bekerjasama dengan sifat-sifat hakiki
siswa yang secara alamiah rasional, daripada menuntun kepatuhan membuta melalui
tatacara indoktrinasi. Guru harus dipandang sebagai sosok panutan keunggulan
intelektual serta seorang “wasit” atau juru penengah kebenaran.

c. Konservatisme Pendidikan
Beberapa ciri dari konservatisme pendidikan adalah 1) penghormatan terhadap
masa silam, 2) konsepsi organis mengenai masyarakat, 3) kesatuan komunal, 4)
keberlanjutan konstitusional, 5) menentang revolusi Pembaharuan/reformasi yang hati-
hati atau secara evolusioner, 6) landasan keagamaan bagi negara, 7) sumber ketuhanan
bagi wewenang yang absah, 8) mendahulukan kewajiban ketimbang hak, 9) watak
individu dan karakter komunal adalah hal yang sangat penting, dan 10) kesetiaan/loyalitas
Akal sehat, realisme, dan kepraktisan.
Tujuan utama pendidikan ialah melestarikan dan menyalurkan pola-pola perilaku
sosial konvensional. Sasaran sekolah untuk mendorong tentang pemahaman dan
penghargaan terhadap lembaga-lembaga, tradisi-tradisi, proses-proses budaya yang telah
teruji waktu, termasuk rasa hormat yang mandalam terhadap hukum dan tatanan. Selain
itu, juga untuk menanamkan informasi yang diperlukan supaya berhasil di dalam tatanan
sosial yang ada. Anak sebagai pelajar memerlukan bimbingan yang ketat serta pengarahan
yang jelas sebelum ia menjadi terbelajarkan (tersosialisasikan) secara efektif sebagai
seorang warga negara yang bertanggungjawab. Kesamaan individual lebih penting

43 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
daripada perbedaannya sekaligus menjadi dasar penentuan program berikutnya.
Wewenang pendidikan diserahkan kepada pendidik profesional yang matang serta
bertanggung jawab dan cukup bijaksana untuk menghindari perubahan-perubahan yang
berlebihan dalam menanggapi tuntutan masyarakat luas. Wewenang guru didasarkan pada
peran dan status sosial yang dimilikinya dalam arti seorang guru memiliki wewenang
karena ia adalah guru. Tak peduli apakah dalam menjadi guru berprestasi atau tidak,
kompeten atau tidak, baik atau buruk, benar atau salah, yang penting ia adalah seorang
guru.

Metoda pembelajaran harus ada penyesuaian praktis antara tatacara-tatacara di


ruang kelas yang tradisional dengan yang progresif. Sang guru musti menggunakan
metode apapun yang dianggap paling efektif dalam meningkatkan kegiatan belajar
megajar, namun ia harus lebih cenderung ke arah menyesuaikan tatacara tradisional
dengan cara-cara baru misalnya peragaan, studi lapangan, penelitian di laboratorium, dll.
Pendisiplinan jasmani dan mental (lewat baris berbaris, berhitung di luar kepala,
menghapal, dan sebagainya) adalah cara terbaik untuk memapankan kebiasaan yang
tepat. Belajar yang baik ditentukan dan diarahkan oleh guru, namun para siswa musti
diijinkan berperan serta dalam aspek-aspek yang kurang penting dalam perencanaan
pendidikan. Guru dipandang sebagai seorang pakar “penyuntik” pengetahuan serta
keterampilan-keterampilan khusus. Persaingan antarpersonal untuk mengejar peringkat
antara siswa-siswi adalah perlu sekaligus dikehendaki demi memupuk keunggulan.

2. Ideologi Pendidikan Liberal


a. Liberalisme Pendidikan
Dasar-dasar filosofis liberalisme pendidikan ialah menganggap bahwa cara terbaik
untuk berpikir adalah menyempurnakan proses alamiah (instrumental) pemecahan
masalah, dengan cara menerapkan pengendalian-pengendalian tertentu dalam
penyelidikan, yang akan melahirkan pengetahuan baru yang lebih objektif. Pengetahuan
musti dibuktikan dengan cara menerapkan gagasan-gagasan pada pemecahan masalah
praktis yang ada di dalam dunia nyata.
Tujuan pendidikan adalah untuk mempromosikan perilaku-perilaku personal yang
efektif. Sasaran sekolah ialah untuk menyediakan informasi dan keterampilan-
keterampilan yang diperlukan oleh siswa untuk belajar secara efektif bagi dirinya sendiri.
Di samping itu, juga untuk mengajar para siswa bagaimana cara memecahkan masalah

44 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
praktis lewat penerapan tatacara penyelesaian masalah secara individual maupun
kelompok yang didasarkan pada metoda-metoda ilmiah-rasional. Anak sebagai pelajar
pada umumnya cenderung untuk menjadi baik (yakni menginginkan/melakukan tindakan
yang efektif dan tercerahkan) berdasarkan konsekuensi-konsekuensi alamiah dari
perilakunya sendiri yang terus berkelanjutan. Perbedaan-perbedaan individu lebih
penting daripada persamaannya dan perbedaan itu bersifat menentukan (determinatif)
dalam penetapan program-program pendidikan (Heidegger, 2012). Anak-anak secara
moral setara dan mereka musti memiliki kesetaraan kesempatan.

Wewenang pendidikan ditanamkan di tangan pendidik yang telah memperoleh


latihan tingkat tinggi, yang memiliki komitmen terhadap proses penyelidikan kritis dan
yang mampu membuat perubahan-perubahan yang diperlukan sehubungan dengan
informasi baru yang relevan. Wewenang guru didasarkan pada keterampilan-
keterampilan yang dimiliknya dalam bidang pendidikan. Guru harus menyandarkan diri
terutama pada tatacara pemecahan masalah secara individual maupun kelompok yang
diterapkan pada persoalan-persoalan yang dikenali berdasarkan minat-minat personal
para siswa sendiri; penekanan harus diletakkan pada tatacara-tatacara di ruang kelas yang
lebih terbuka dan bersifat eksperimental. Disiplin dan hapalan bisa bernilai jika ia
diperlukan demi menguasai suatu keterampilan yang pada puncaknya akan diperlukan
untuk menangani problema personal yang penting secara efektif. Persaingan
antarapribadi dan penjenjangan atau penyusunan peringkat nilai siswa harus
diminimalisir dan atau dilenyapkan sama sekali karena akan menyuburkan sikap buruk
dan melemahkan motivasi diri siswa. Para siswa harus dianggap bertanggung jawab atas
tindakan-tindakan mereka. Guru bersikap demokratis dan objektif dalam menentukan
tolok ukur tingkah laku; meminta persetujuan siswa dalam memapankan aturan-aturan
tentang peri laku di dalam kelas.

b. Liberasionisme Pendidikan
Sasaran puncak pendidikan, bagi kaum liberasionis mustilah berupa penanaman
pembangunan kembali masyarakat mengikuti alur yang benar-benar berkemanusiaan
(humanistik), yang menekankan perkembangan sepenuh-pnuhnya dari potensi-potensi
khas setiap orang sebagai mahluk manusia. Tujuan pendidikan adalah untuk mendorong
pembaharuan-pembaharuan sosial yang perlu, dengan cara memaksimalkan kemerdekaan
personal di dalam sekolah, serta dengan cara membela kondisi yang lebih manusiawi dan

45 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
memanusiakan. Sasaran sekolah untuk membantu para siswa mengenali dan menanggapi
kebutuhan akan pembaharuan/perombakan sosial, menyediakan informasi dan
keterampilan-keterampilan yang diperlukan supaya bisa belajar secara efektif bagi
dirinya sendiri, dan untuk mengajarkan para siswa bagaimana cara memecahkan masalah-
masalah praktis melalui penerapan teknik-teknik penyelesaian masalah secara individual
maupun kelompok yang didasari oleh metoda ilmiah-rasional. Anak-anak sebagai pelajar
condong untuk menjadi baik jika diasuh dalam masyarakat yang baik (yakni bersifat
rasional dan berkemanusiaan). Perbedaan individual lebih penting daripada kesamaannya
dan menjadi landasan penentuan program selanjutnya. Wewenang pendidikan musti
ditanamkan di tangan minoritas yang tercerahkan, yang terdiri atas para intelektual yang
bertanggung jawab, yang sepenuhnya sadar akan kebutuhan objektif bagi perubahan-
perubahan sosial yang konstruktif, dan mampu menanamkan perubahan tersebut melalui
sekolah-sekolah. Metoda pengajaran harus seimbang pada pemahaman problem
(pengenalan dan analisis terhadap problem secara tepat) serta pemecahan masalah.
Disiplin dan hapalan mungkin terkadang perlu supaya bisa menguasai sebuah
keterampilan yang akan diperlukan demi menangani problem personal atau sosial yang
penting secara efektif, dan hapalan harus diminimalisir dan atau dihapus sama sekali.
Guru dipandang sebagai panutan dalam hal komitmen intelektual serta keterlibatan
sosialnya (Wittgenstein, 2009).
Ujian yang didasarkan kepada perilaku para siswa yang tanpa dilatih/dipersiapkan
lebih dulu sebagai tanggapan atas persoalan-persoalan sosial yang penting adalah lebih
disukai ketimbang ujian yang dinilai berdasarkan tes-tes biasa di ruang kelas. Persaingan
antarpribadi dan penyusunan peringkat nilai siswa secara tradisional harus diminimalisir
dan atau dihapuskan sama sekali. Guru harus demokratis dan objektif dalam menentukan
tolok ukur perilaku dan harus ditentukan bersama-sama dengan para siswa, sebagai cara
mengembangkan rasa tanggung jawab moral mereka.

c. Anarkisme Pendidikan
Anarkisme adalah sudut pandang yang membela pemusnahan seluruh kekangan
kelembagaan terhadap kebebasan manusia, sebagai jalan untuk mengujudkan sepenuh-
penuhnya potensi-potensi manusia yang telah dibebaskan. Bagi kaum anarkis, pendidikan
yang dipandang sebagai sebuah proses yang harus ada untuk belajar melalui pengalaman
sosial alamiah manusia itu sendiri jangan sampai dikacaukan dengan persekolahan

46 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
(Derrida, 2001). Denganmemerosotkan tanggung jawab personal, Negara dan
persekolahan membuat anak-anak jadi tak bisa dididik dalam arti pendidikan yang sejati;
mereka membantu membawakan pendidikan sejati dan meninggikan apa yang hanya
sekedar pelatihan. Sekolah, sebagaimana negara sendiri, diadakan terutama untuk
mengatur kebutuhan-kebutuhan ciptaannya sendiri. Kita memerlukan sebuah perobohan
lembaga-lembaga deinstitusionalisasi yang radikal, termasuk perobohan lembaga
persekolahan (deschooling).

Tujuan utama pendidikan adalah membawa pembaharuan/perombakan berskala


besar dan segera, di dalam masyarakat dengan cara menghilangkan persekolahan formal.
Sistem sekolah formal harus dihapuskan sepenuhnya dan digantikan dengan sebuah pola
belajar sukarela serta mengarahkan diri sendiri; akses yang bebas dan universal ke bahan-
bahan pendidikan serta kesempatan-kesempatan belajar musti disediakan, namun tanpa
sistem pengajaran wajib. Anak sebagai pelajar cenderung menjadi baik (yakni
menginginkan tindakan yang efektif dan tercerahkan) ketika anak-anak itu diasuh dalam
masyarakat yang baik (yakni yang rasional dan berkemanusiaan). Perbedaan-perbedaan
antar-individubergerak menentang kebijaksanaan meresepkan pengalaman-pengalaman
pendidikan yang sama atau serupa bagi setiap orang. Anak-anak secara moral setara, dan
mereka musti mendapatkan kesempatan-kesempatan untuk belajar apapun yang mereka
pilih sendiri, demi memperoleh tujuan apapun yang mereka anggap layak dikejar.
Masayarakat dan Negara tidaklah sama artinya. Masyarakat adalah perlu bagi pemenuhan
diri. Tetapi, Negara menghalangi perujudan sepenuhnya masyarakat tersebut.
Wewenang pendidikan musti dikembalikan kepada rakyat dengan mengizinkan
setiap orang untuk mengendalikan hakikat dan pelaksanaan perkembangan dirinya
sendiri. Tidak perlu ada wewenang khusus yang diberikan kepada guru sebagai guru.
Sekolah harus dihapuskan demi memperbesar pilihan personal yang bebas. Pendidikan
tidak sama dengan persekolahan; satu-satunya kegiatan belajar yang sebenarnya hanyalah
belajar yang ditentukan sendiri; dan ini hanya bisa berlangsung secara efektif di dalam
sebuah masyaraakat yang “tanpa sekolah”. Siswa secara individual musti menjadi
penentu metoda-metoda pengajaran mana yang paling sesuai dengan tujuan-tujuan dan
rancangan-rancangan pendidikannya sendiri.Nilai disiplin dan hapalan serta lain-lainnya
yang berkaitan dengan itu harus dibiarkan menjadi “rahasia” orang yang belajar itu
sendiri. Peran-peran tradisional guru dan siswa yang diterapkan oleh lembaga harus

47 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
dihapuskan. Guru adalah sebuah aspek yang bisa dihapus/dibuang (atau paling banter
menjadi sebuah pilihan saja) dari proses pendidikan. Penilaian atau evaluasi terbaik
adalah penilaian dari diri sendiri yang harus difungsikan hampir secara eksklusif untuk
tujuan persaingan diri. Secara alamiah, manusia bersifat sosial dan mau bekerjasama.
Sejalan dengan itu, kegiatan belajar harus menekankan kerjasama serta meminimalkan
persaingan antarpribadi demi ganjaran-ganjaran. Individu secara intrinsik
memilikipersaingan diri (dengan dirinya sendiri), serta tidak memerlukan dorongan dari
luar untuk belajar. Pembedaan tradisional antara yang kognitif, afektif, dan interpersonal
adalah pembedaan palsu/artifisial dan tidak produktif dalam memandang proses belajar
yang sebenarnya bersifat total serta organis.

C. Paradigma dan Teori Pembelajaran Menuju Penilaian


Seorang pendidik akan selalu melakukan proses penilaian kepada siswanya berupa
asesmen maupun evaluasi. Penilaian akan sangat berpengaruh pada proses belajar-
mengajar siswa. Keyakinan yang kita anuti mengenai penilaian adalah bahwasanya
penilaian itu memberikan gradasi kepada siswa dengan simbol-simbol yang memiliki
makna tertentu, yang disepakati dan besifat permanen (jika berada di ijazah).
Bagaimanapun, simbol-simbol itu, entah huruf ataupun angka, sangat berpengaruh pada
siswa baik secara positif (membangkitkan motivasi) maupun secara negatif
(menghancurkan motivasi). Jika proses mengetahui adalah sebuah proses yang sifatnya
dinamis, alamiah dan dapat berubah sewaktu-waktu, maka proses penilaian juga tidak
bersifat mutlak. Berarti standar penilaian yang diatur adalah bukan sebagai barometer
pengetahuan, tetapi sebagai sesuatu yang lain.
Menurut aliran esensialisme, pendidikan merupakan upaya untuk memelihara
kebudayaan “Education as Cultural Conservation”, Pendidikan Sebagai Pemelihara
Kebudayaan. Karena ini maka aliran Esensialisme dianggap para ahli “Conservative
Road to Culture” yakni aliran ini ingin kembali kekebudayaan lama, warisan sejarah yang
telah membuktikan kebaikan-kebaikannya bagi kehidupan manusia. Esensialisme
percaya bahwa pendidikan itu harus didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah
ada sejak awal peradaban umat manusia. Esensialisme memandang bahwa pendidikan
harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama sehingga
memberikan kestabilan dan arah yang jelas. Menurut esensialisme pendidikan harus
bertumpu pada nilai-nilai yang telah teruji ketangguhannya, dan kekuatannya sepanjang

48 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
masa sehingga nilai-nilai yang tertanam dalam warisan budaya/sosial adalah nilai-nilai
kemanusiaan yang berbentuk secara berangsur-angsur melalui kerja keras dan susah
payah selama beratus tahun, di dalam telah teruji dalam gagasan-gagasan dan cita-cita
yang telah teruji dalam perjalanan waktu. Realisme berasal dari kata real yang berarti
aktual atau yang ada. Realisme adalah aliran yang patuh kepada yang ada (fakta).
Realisme termasuk dalam kelompok pemikiran klasik. Aliran ini memandang dunia
dari sudut materi. Menurut mereka, realitas dunia ini adalah alam. Segala sesuatu berasal
dari alam dan yang menjadi subjek adalah hukum alam (dunia nyata, alam dan benda).
Oleh karenanya suatu pengetahuan akan dikatakan benar atau tepat apabila sesuai dengan
kenyataan. Menurut aliran filsafat realisme, pendidikan dimaksudkan sebagai kajian atau
pembelajaran disiplin-disiplin keilmuan yang melaluinya kemudian kita mendapatkan
definisi-definisi dan juga pengklasifikasiannya. Realisme yang mendukung esensialisme
yang disebut realisme obyektif karena mempunyai pandangan yang sistematis mengenai
alam serta tcmpat manusia di dalamnya. Ilmu pengetahuan yang mempengaruhi aliran
realisme dapat dilihat dari fisika dan ilmuilmu lain yang sejenis dapat dipelajari bahwa
tiap aspek dari alam. Sedangkan menurut aliran esistensialisme pendidikan menekankan
pada individu sebagai sumber pengetahuan. Dalam bidang pendidikan, aliran
eksistensialisme menuntut adanya system pendidikan yang beraneka ragam warna dan
berbeda-beda, baik metode pengajarannya maupun penyusunan keahlian-keahlian. Hal
ini karena aliran eksistensialisme mengutamakan perorangan/individu. Oleh sebab itu, ia
tidak membatasi murid dengan buku-buku yang ditetapkan saja. Sebab, hal ini akan
membatasi kemampuan murid untuk mengenal pengetahuan lain yang bermacam-macam
dan berbeda-beda.

1. Ideologi Penilaian
Ideologi atau adicita merupakan suatu ide atau gagasan. Kata ideologi sendiri
diciptakan oleh Antoine Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan
"sains tentang ide". Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai
cara memandang segala sesuatu (bandingkan Weltanschauung). Tujuan utama di balik
ideologi adalah untuk menawarkan perubahan melalui proses pemikiran normatif.
Ideologi adalah sistem pemikiran abstrak (tidak hanya sekadar pembentukan ide) yang
diterapkan pada masalah publik sehingga membuat konsep ini menjadi inti politik. Secara

49 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
implisit setiap pemikiran politik mengikuti sebuah ideologi walaupun tidak diletakkan
sebagai sistem berpikir yang eksplisit. (definisi ideologi Marxisme).
Kata Ideologi pertama kali diperkenalkan oleh filsuf Prancis Destutt de Tracy pada
tahun 1796. Kata ini berasal dari bahasa Prancis idéologie, merupakan gabungan 2 kata
yaitu, idéo yang mengacu kepada gagasan dan logie yang mengacu kepada logos, kata
dalam bahasa Yunani untuk menjelaskan logika dan rasio. Destutt de Tracy
menggunakan kata ini dalam pengertian etimologinya, sebagai "ilmu yang meliputi kajian
tentang asal usul dan hakikat ide atau gagasan".
Ideologi berbeda dengan kebudayaan, tapi mempunyai makna yang hampir sama.
Dalam ideologi, penilaian dianggap lebih penting. Sedangkan dalam kebudayaan
keterampilan dan pengetahuan teknik lebih diperhitungkan. Selain itu, ideologi hanya
dianut oleh kalangan tertentu dari seluruh masyarakat. Sebaliknya, kebudayaan diyakini
oleh seluruh lapisan masyarakat. Dalam disiplin ilmiah, ideologi hanya dikaji
dalam sosiologi. Dalam sosiologi pengetahuan, ideologi merupakan kajian utama.
Sedangkan dalam sosiologi agama dan sosiologi politik, ideologi menjadi bagian dari
kajiannya.

2. Paradigma Penilaian Hasil Belajar


Penilaian yang dilakukan dalam pembelajaran tidak hanya penilaian atas
pembelajaran (assessment of learning), tetapi juga penilaian untuk pembelajaran
(assessment for learning), dan penialain sebagai pembelajaran (assessment as learning).
Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa penilaian hasil belajar tidak hanya ditujukan
untuk mengukur capaian atas pembelajar, tetapi juga untuk perbaikan pembelajaran dan
sebagai bahan pelajaran. Oleh karena itu, perbaikan paradigma pembelajaran dapat
digunakan sebagai upaya peningkatan mutu pembelajaran.
Dengan memperhatikan kondisi real penilaian hasil belajar yang dilakukan di
sekolah dan di perguruan tinggi saat ini, paradigma penilaian hasil belajar harus
diperbaharui. Pembaharuan tersebut dapat dilakukan dalam tiga aspek pokok, yaitu:
pembaharuan lingkup penilaian, pembaharuan objek penilaian, dan pembaharuan waktu
penilaian.
Pembaharuan paradigma dalam lingkup penilaian adalah perubahan pola pikir
terhadap cakupan aspek hasil belajar yang harus dinilai. Dalam hal ini, penilaian hasil
belajar hendaknya menuju pada penilaian komprehensif. Yang dimaksud penilaian

50 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
komprehensif dalam pembelajaran adalah penilaian hasil belajar yang melibatkan
penialian proses dan penilaian produk dengan melibatkan ketiga ranah penilaian, yaitu
ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Penilaian pengetahuan dilakukan sesuai
dengan tuntutan kompetensi yang dirumuskan dalam kurikulum, penilaian sikap
diarahkan pada perkembangan sikap ilmiah yang dimiliki oleh peserta didik, dan
penilaian keterampilan ditekankan pada penilaian kemampuan peserta didik dalam
mengimplementasikan metode ilmiah.
Tiga ranah penilaian tersebut (sikap, pengetahuan, keterampilan), pengembangan
sikap dan keterampilan memerlukan waktu dan kesabaran para pendidik. Pengembangan
sikap harus dikondisikan secara terus menerus sampai menjadi kebiasaan. Hal tersebut
dapat dilakukan dengan membuat tantangan-tantangan masalah bagi peserta didik yang
harus dipecahkan dengan dorongan rasa ingin tahu, secara jujur, secara hati-hati, secara
objektif, dan lainlain. Pengembangan keterampilan harus diulangi berkali-kali sampai
terampil. Misalnya, melakukan pengukuran berat dengan jalan menimbang harus
dilakukan berkali-kali sampai peserta didik mampu menimbang zat yang dibutuhkan
dengan takaran yang tepat dan dalam waktu yang singkat. Apabila penilaian sudah
dilakukan dengan melibatkan produk dan proses sains, maka hal berikutnya yang harus
diperhatikan adalah memberikan proporsi bobot penilaian agar sesuai dengan kompetensi
yang menjadi tuntutan kurikulum.
Pembaharuan paradigma dalam objek penilaian adalah perubahan pola pikir
terhadap hal-hal yang harus dinilai sebagai hasil belajar sains. Dalam hal ini, penilaian
hasil belajar harus diarahkan pada penilaian otentik. Artinya, penilaian harus dilakukan
sesuai dengan kegiatan real pembelajaran yang dilakukan oleh peserta didik. Jangan
sampai penilaian dilakukan tidak sesuai dengan kegiatan yang dilakukan peserta didik
dalam pembelajaran. Misalnya, apabila peserta didik dituntut untuk melakukan praktikum
dan melaporkan hasil praktikumnya, maka penilaian harus melibatkan proses praktikum
yang dilakukan peserta didik dan penilaian terhadap laporan hasil praktikum yang
dibuatnya; apabila peserta didik diminta untuk berdiskusi untuk memahami suatu materi,
maka penilaian hasil belajarnya harus melibatkan penilain kegiatan diskusi dan
penguasaan materi yang didiskusikan.

51 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
3. Teori Pembelajaran
Dalam teorinya, secara garis besar terdapat tiga teori pembelajaran yaitu
Behaviourism, Cognitive Approaches, dan Connectivism. Berikut adalah
pembahasannya:
Behaviourism
Teori belajar yang menekankan terhadap perubahan perilaku anak adalah teori
belajar behaviorisme. Teori behaviorisme melihat bahwa belajar merupakan perubahan
tingkah laku. Seseorang telah dianggap belajar apabila mampu menunjukkan perubahan
tingkah lakunya. Teori behaviorisme ini mengakui pentingnya masukan (input) yang
berupa stimulus dan keluaran (output) yang berupa respon. Berdasarkan hal ini, maka
penulis ingin membahas penerapan teori belajar behaviorisme dalam pembelajaran (studi
pada anak).
Teori belajar behaviorisme ialah teori yang mempelajari perilaku manusia. Teori ini
berfokus pada peran dari belajar dalam menjelaskan tingkah laku manusia dan terjadi
melalui rangsangan atau stimulus yang menimbulkan hubungan perilaku yang reaktif atau
respon. Dalam teori behaviorisme, tingkah laku sepenuhnya ditentukan oleh aturan, bisa
diramalkan dan bisa ditentukan. Menurut teori ini, seseorang yang terlibat dalam tingkah
laku tertentu karena telah mempelajarinya atau menghubungkan tingkah laku tersebut
dengan hadiah. Namun, seseorang dapat pula menghentikan tingkah laku karena belum
diberi hadiah. Semua hasil tingkah laku tersebut merupakan tingkah laku yang dapat
dipelajari (Fahyuni & Istikomah, 2016).
Teori belajar behaviorisme adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari
pengalaman. Belajar disebabkan adanya interaksi antara stimulus dengan respon (Abidin,
2022). Dalam belajar, hal yang terpenting yaitu adanya input (stimulus) dan output
(respon). Misalnya, munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan
akan menghilang bila dikenai hukuman. Jadi hakikat dari teori belajar behaviorisme ini
adalah teori yang berfokus hubungan stimulus-respon dan adanya perilaku nyata (Ismail
et al., 2019). Menurut (Zulhammi, 2015) teori belajar behaviorisme adalah teori tentang
tingkah laku manusia. Fokus utama dari teori belajar behaviorisme ini adalah perilaku
yang terlihat dan penyebab luar menstimulasinya. Belajar merupakan perubahan tingkah
laku sebagai pengalaman. Belajar menurut teori ini merupakan akibat adanya interaksi
antara rangsangan (stimulus) dan reaksi (respon). Seseorang akan dianggap telah belajar

52 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
jika dapat menunjukkan perubahan perilaku. Sedangkan teori belajar behaviorisme
menurut (Putrayasa, 2013) menekankan bahwa dalam belajar yang terpenting adalah
input yang berupa stimulus dan output yang berupa respons. Stimulus adalah sesuatu yang
diberikan guru kepada anak, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan anak
terhadap stimulus yang diberikan. Untuk itu, segala sesuatu yang diberikan oleh guru
(stimulus) dan segala sesuatu yang diterima oleh anak (respon) harus dapat diamati dan
diukur. Berdasarkan beberapa uraian di atas, dapat dipahami bahwa teori belajar
behaviorisme memiliki konsep dasar bahwa belajar merupakan interaksi antara
rangsangan (stimulus) dan tanggapan (respon). Stimulus ialah rangsangan atau dorongan
yang digunakan oleh guru untuk membentuk tingkah laku, sedangkan respon ialah
tanggapan atau kemampuan (pikiran, perasaan, ataupun tindakan) yang ditunjukkan oleh
anak setelah adanya stimulus yang diberikan oleh guru. Teori ini mengutamakan
pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi
tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.

Cognitive Approach
Teori kognitif mulai berkembang pada abad 20-an. Secara sederhana teori ini
menggambarkan bahwa belajar adalah aktivitas internal yang terdiri dari beberapa proses,
seperti: pemahaman, mengingat, mengolah informasi, problem-solving, analisis, prediksi,
dan perasaan. Pada implementasi proses belajar mengajar di sekolah, bentuk penerapan
teori kognitif adalah guru ketika menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh peserta
didik serta memberi ruang bagi mereka untuk saling berbicara serta diskusi dengan
teman-temannya. Ada juga yang menggambarkan bahwa teori belajar kognitif itu ibarat
komputer. Proses awalnya dimulai dengan input data, kemudian mengolahnya hingga
mendapatkan hasil akhir. Beberapa tokoh yang berperan mengembangkan teori ini adalah
Jean Piaget, dan Jerome Bruner.
Teori kognitif juga menekankan bahwa bagian-bagian bahawa dari sistuasi saling
berhubungan dengan seluruh kontek situasi tersebut. Memisah-misahkan atau membagi-
bagi situasi /materi pelajaran menjadi komponen-komponen yang kecil- kecil dan
mempelajarinya secara terpisah-pisah, akan kehilangan makna. Teori ini berpandangan
bahwa belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi,
pengolahan infirnasi, emosi, dan aspek-aspek kejiwaan lainnya. Belajar merupakan
aktifitas yang melibatkan proses berfikir yang sangat komplek (Nurhadi, 2020). Prose

53 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
belajar terjadi antara lain mencakup pengaturan stimulus yang diitrerima dan
menyesuaikannya dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki dan sudah terbentuk
dalam diri sesorang berdasarkan pemahman dan pengalaman-pengalaman sebelumnnya.
Dalam praktek pembelajaran, teori kognitif antara lain tampak dalam rumusan-rumusan
seperti: “tahap-tahap perkembangan” yang dikemukakan oleh j.piaget, advance organizer
oleh ausubel, pemahaman konsep oleh bruner, hirarki belajar oleh gagne, webteacing oleh
norman dan sebagainya (Budiningsih, 2015).
Dalam Teori Piaget, anak dilahirkan dengan beberapa skemata sensorimotor, yang
memberi kerangka bagi interaksi awal anak dengan lingkungannya. Pengalaman awal si
anak akan ditentukan oleh skemata sensorimotor ini. Dengan kata lain, hanya kejadian
yang dapat diasimilasikan ke skemata itulah yang dapat di respons oleh si anak, dan
karenanya kejadian itu akan menentukan batasan pengalaman anak. Tetapi melalui
pengalaman yang dialami anak, skemata awal ini dimodifikasi.
Setiap pengalaman mengandung elemen unik yang harus di akomodasi oleh
struktur kognitif anak. Melalui interaksi dengan lingkungan, struktur kognitif akan
berubah, dan memungkinkan perkembangan pengalaman terus-menerus. Menurut Piaget
menyatakan bahwa pertumbuhan intelektual yang dimulai dengan respons refleksif anak
terhadap lingkungan akan terus berkembang sampai ke titik di mana anak mampu
memikirkan kejadian potensial dan mampu secara mental mengeksplorasi kemungkinan
akibatnya. Teori Piaget berfokus pada anak-anak, mulai dari lahir hingga remaja, dan
menjelaskan berbagai tahap perkembangan, termasuk bahasa, moral, memori, dan
pemikiran. Ada 4 tahapan perkembangan anak menurut Piaget yaitu:

Tahap Sensorimotor (Usia 18 – 24 bulan)


Teori ini meluas sejak lahir hingga sekitar 2 tahun, dan merupakan periode
pertumbuhan kognitif yang cepat. Selama periode ini, bayi mengembangkan pemahaman
tentang dunia melalui koordinasi pengalaman sensorik (melihat, mendengar) dengan
tindakan motorik (menggapai, menyentuh). Perkembangan utama selama tahap
sensorimotor adalah pemahaman bahwa ada objek dan peristiwa terjadi di dunia secara
alami dari tindakannya sendiri. Misalnya, jika ibu meletakkan mainan di bawah selimut,
anak tahu bahwa main yang biasanya ada (dia lihat) kini tidak terlihat (hilang), dan anak
secara aktif mencarinya. Pada awal tahapan ini, anak berperilaku seolah mainan itu hilang
begitu saja.

54 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
Tahap Pra-operasional (Usia 2 – 7 Tahun)
Tahap pra-operasional merupakan tahap kedua dalam teori Piaget. Tahap ini
dimulai sekitar 2 tahun dan berlangsung hingga kira-kira 7 tahun. Selama periode ini,
anak berpikir pada tingkat simbolik tapi belum menggunakan operasi kognitif.
Pemikiran anak selama tahap ini adalah sebelum operasi kognitif. Artinya, anak
tidak bisa menggunakan logika atau mengubah, menggabungkan, atau memisahkan ide
atau pikiran. Perkembangan anak terdiri dari membangun pengalaman tentang dunia
melalui adaptasi dan bekerja menuju tahap (konkret) ketika ia bisa menggunakan
pemikiran logis. Selama akhir tahap ini, anak secara mental bisa merepresentasikan
peristiwa dan objek (fungsi semiotik atau tanda), dan terlibat dalam permainan simbolik.

Tahap Operasional Konkret (Usia 7 – 11 Tahun)


Tahap operasional konkret merupakan tahap ketiga dalam teori Piaget. Periode
berlangsung sekitar usia 7 hingga 11 tahun, dan ditandai dengan perkembangan pemikiran
yang terorganisir dan rasional. Piaget menganggap tahap konkret sebagai titik balik utama
dalam perkembangan kognitif anak, karena menandai awal pemikiran logis. Pada tahapan
ini, anak cukup dewasa untuk menggunakan pemikiran atau pemikiran logis, tapi hanya
bisa menerapkan logika pada objek fisik.

Tahap Operasional Formal (Usia 12 tahun ke atas)


Tahap operasional formal dimulai sekitar usia 12 tahun dan berlangsung hingga
dewasa. Saat remaja memasuki tahap ini, mereka memperoleh kemampuan untuk berpikir
secara abstrak dengan memanipulasi ide di kepalanya, tanpa ketergantungan pada
manipulasi konkret. Seorang remaja bisa melakukan perhitungan matematis, berpikir
kreatif, menggunakan penalaran abstrak, dan membayangkan hasil dari tindakan tertentu.
Piaget percaya, bahwa kita semua melalui keempat tahap tersebut, meskipun
mungkin setiap tahap dilalui dalam usia berbeda. Setiap tahap dimasuki ketika otak kita
sudah cukup matang untuk memungkinkan logika jenis baru atau operasi. Semua manusia
melalui setiap tingkat, tetapi dengan kecepatan yang berbeda, jadi mungkin saja seorang
anak yang berumur 6 tahun berada pada tingkat operasional konkrit, sedangkan ada
seorang anak yang berumur 8 tahun masih pada tingkat pra-operasional dalam cara
berfikir. Namun urutan perkembangan intelektual sama untuk semua anak, struktur untuk
tingkat sebelumnya terintegrasi dan termasuk sebagai bagian dari tingkat-tingkat
berikutnya.

55 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
Tingkatan perkembangan intelektual manusia mempengaruhi kedewasaan,
pengalaman fisik, pengalaman logika, transmisi sosial dan pengaturan sendiri. Teori
Piaget jelas sangat relevan dalam proses perkembangan kognitif anak, karena dengan
menggunakan teori ini, manusia dapat mengetahui adanya tahap-tahap perkembangan
tertentu pada kemampuan berpikir anak di levelnya. Dengan demikian bila dikaitkan
dengan pembelajaran kita bisa memberikan perlakuan yang tepat bagi anak, misalnya
dalam memilih cara penyampaian materi bagi siswa sesuai dengan tahap perkembangan
kemampuan berpikir yang dimiliki oleh anak (Mukaramah et al., 2020).

Connectivism
Perkembangan teknologi yang begitu cepat saat ini telah berimplikasi pada
perubahan teori pembelajaran. Teori pembelajaran yang lebih tua tidak mampu
menjelaskan perkembangan yang ada. Oleh karena itu lahirlah teori belajar baru yang
dibangun dengan tanpa membuang teori lama yang telah ada. Sesuai perkembangan era
digital saat ini maka kita mengenal teori belajar connectivism.
Teori connectivism telah diperkenalkan oleh George Siemens, seorang pakar
pendidikan dari Universitas Manitoba Canada pada tanggal 12 Desember 2004 dalam
sebuah artikel online sebagai suatu gagasan mengenai pembelajaran di abad ke-21
(Malikah et al., 2022). Teori ini sangat sesuai untuk pembelajaran abad 21 yang ditandai
dengan keterampilan digital, berpikir kritis, menyelesaikan masalah, kreatif, dan
kolaboratif. Connectivisme merupakan salah satu teori pembelajaran yang diintegrasikan
berdasarkan prinsip teori chaos, jejaring, kompleksitas, dan self-organizing (Kontesa &
Fauziati, 2022).

Chaos
Chaos artinya kekacauan/hilangnya prediktabilitas, yang dibuktikan dengan
pengaturan yang rumit dan bertentangan dengan ketertiban. Hal ini tidak sebagaimana
teori konstruktivisme yang menyatakan bahwa pembelajar berusaha untuk
mengembangkan pemahaman dengan tugas membuat makna. Chaos menyatakan bahwa
makna itu ada, dan tantangan pembelajar adalah mengenali pola-pola yang tampak
tersembunyi. Membuat makna dan membentuk hubungan antara komunitas merupakan
kegiatan yang penting. Dalam pengambilan keputusan, perubahan yang terjadi pada hal
yang mendasari pengambilan keputusan, maka akan menjadikan keputusan itu sendiri
tidak lagi benar sebagaimana pada saat keputusan dibuat. Disinilah peran pembelajar

56 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
yang utama adalah kemampuan untuk mengenali dan menyesuaikan diri dengan pola
perubahan.

Networking
Belajar adalah sebagai penciptaan jaringan (Siemens, 2004). Siemens menyatakan
bahwa saat pelajar terlibat dalam menciptakan pembelajaran mereka sendiri dalam sebuah
jaringan, maka pemahaman akan muncul melalui penerapan metakognisi untuk
mengevaluasi elemen mana yang bermanfaat dalam mencapai tujuan dan elemen mana
yang perlu dihilangkan. Dalam salah satu penelitiannya Siemens (2004) juga menyatakan
tentang trend era peralihan saat ini adalah pembelajaran informal merupakan bagian yang
signifikan dari pengalaman belajar seseorang.
Pendidikan formal tidak lagi menjadi bagian utama pembelajaran. Pembelajaran
sekarang dilakukan melalui beraneka cara, baik melalui praktek dalam komunitas,
jejaring pribadi, atau melalui penyelesaian pekerjaan yang saling terkait. Saat ini kita
memperoleh pembelajaran yang kita butuhkan tidak lagi secara individual, tetapi dengan
melakukan keterhubungan atau jejaring. Jejaring dapat didefinisikan sebagai
keterhubungan baik keterhubungan melalui jejaring komputer, maupun jejaring sosial
lainnya. Manusia di dunia saat ini bersaing untuk mendapatkanhubungan, karena
kemampuan untuk membangun hubungan adalah syarat untuk survival dalam lingkungan
saat ini yang serba terkoneksi. Dalam pembelajaran, terdapat kecenderungan bahwa
konsep pembelajaran yang akan dipakai adalah tergantungpadaseberapa baik sesuatu itu
terhubung dengan jejaring yang ada saat ini.

Kompeksitas
Kompleksitas artinya adanya suasana yang tidak teratur atau ruwet. Karena
informasi yang datang begitu cepat dengan adanya teknologi digital.

Self organizing (mengatur diri sendiri)


Dalam era saat ini, pembelajaran sebagai sebuah kegiatan mengatur diri sendiri.
Dalam proses ini dibutuhkan adanya sistem keterbukaan dalam memperoleh informasi.
Mengatur diri sendiri dianalogkan sebagai ribuan semut yang secara spontan menghindari
tabrakan satu dengan lainnya melalui cara membentuk barisan. Begitupun manusia akan
mengatur dirinya masing-masing agar tidak terjadi benturan atau tabrakan baik dalam arti
benturan fisik maupun dalam arti benturan berbagai kepentingan. Seseorang secara

57 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
otomatis atau spontan akan mengubah perilakunya sesuai kondisi yang ada di
lingkungannya masing-masing. Di era digital ini, kemampuan maing-masing orang untuk
mengatur dirinya sendiri untuk menciptakan pengetahuan baru melalui keterhubungan
antar sumber informasi menjadi penting untuk dipelajari.

Implikasi Teori Connectivism dalam pemanfaatan E-Learning

Connectivism merupakan teori belajar yang sesuai dengan gaya belajar dan
karakteristik masing-masing siswa. Implikasi teori ini sangat dirasakan dalam proses
pembelajaran siswa di dalam kelas. Implikasi Teori belajar connectivism terhadap
pemanfaatan E-learning dalam pembelajaran saat ini cukup besar dirasakan pengaruhnya
antara lain:

a) Siswa dapat mengakses sumber belajar dengan cepat dalam hitungan detik.
b) Siswa secara aktif terlibat dalam mengkoneksikan aneka sumber belajar menurut
kebutuhannya masing-masing dan disesuaikan dengan tujuan belajar.
c) Siswa bisa belajar kelompok bersama temannya dan juga gurunya dengan
memanfaatkan fasilitas jaringan internet dan aplikasi belajar (secara waktu dan
tempat sangat flexible.
d) Siswa senantiasa mendapatkan kebaharuan pengetahuan melalui sumber
informasi yang sangat cepat dan ini merupakan tujuan dari teori connectivism.

Adanya keterhubungan dengan sumber belajar secara menerus, memungkinkan


terjadinya pembelajaran yang berkelanjutan.

V. PENILAIAN KONSTRUKTIF
Setiap kali mendengar istilah penilaian, maka akan diingatkan oleh sebuah ruang
ujian atau menunggu hasil tes (penilaian = tes dan nilai numerik). Setelah dilakukan tes,
maka beberapa saat kemudian akan dilakukan penilaian yang pada akhirnya akan
ditemukan sebuah nilai akhir. Ketika dilihat lebih dalam, hasil penilaian sering kali hanya
berupa angka atau huruf yang tidak memiliki penjelasan lebih lanjut mengenai penilain
tersebut. padahal, pada penilaian siswa ada beberapa hal yang diamati yaitu afektif,
psikomotrik atau kognitif (penilaian tidak berkelanjutan). Penilaian merupakan
rangkaian kegiatan untuk memperoleh, menganalisis, dan menafsirkan data tentang
proses dan hasil belajar peserta didik yang dilakukan secara sistematis dan
berkesinambungan, sehingga menjadi informasi yang bermakna dalam pengambilan

58 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
keputusan. Penilaian pembelajaran harus dirancang untuk dapat mengukur dan
memberikan informasi mengenai pencapaian kompetensi peserta didik yang diperoleh
melalui kegiatan tatap muka, penugasan terstruktur, dan kegiatan mandiri tidak
terstruktur. Berbagai macam teknik penilaian dapat dilakukan secara komplementer
(saling melengkapi) sesuai dengan kompetensi yang dinilai.
Penilaian juga bertujuan untuk mengetahui seberapa besar keberhasilan
berdasarkan standar kompetensi yang kemudian diperluas menjadi kompetensi dasar,
penilaian juga dilakukan secara terstruktur, mempunyai jangka waktu untuk mengamati
keberhasilan dan pencapaian peserta didik. Oleh karena itu pentingnya mengenali lebih
dalam mengenai penilaian dalam pembelajaran matematika dengan cara mempelajari
filsafat, ideologi, paradigma, dan teori penilaian dalam pembelajaran matematika agar
memberikan inspirasi bagaimana mengorganisasikan proses penilaian yang ideal.
Pada makalah ini akan dibahas tentang penilaian pembelajaran, bagaimana cara
melakukan penilaian terhadap peserta didik, mengapa harus melakukan penilaian
terhadap peserta didik dan lain sebagainya. Semuanya dibahas dari sudut pandang filsafat,
ideologi, paradigma dan teori penilaian.

Learning Assesment

Evaluation
No Model Syntax Reference
Quantitative Qualitative
1 Behaviouristik 1. Orientasi Tes kemampuan - Penilaian Abidin, A. M. (2022).
(direct 2. Presentasi kognitif proses Penerapan Teori Belajar
learning) 3. Latihan terstruktur - Penilaian Behaviorisme dalam
4. Latihan terbimbing afektif Pembelajaran (Studi Pada
5. Latihan mandiri Anak ). An Nisa’, 15(1), 1–8
B.F Skinner, John B. Watson
2 Pembelajaran 1. Persiapan - Tes kognitif Abidin, A. M. (2022).
Ekspositoris 2. Penyajian (LOTS) Penerapan Teori Belajar
3. Korelasi - Pear assasmen Behaviorisme dalam
4. Menyimpulkan - Self assesmen Pembelajaran ( Studi Pada
5. Mengaplikasikan Anak ). An Nisa’, 15(1), 1–8
3 Sosial 1. Sajian masalah - Tes kognitif - Observasi Budiningsih. (2015). Belajar
Cognitive konseptual dan (LOTS) - Penilaian dan pembelajaran. PT.
kontekstual - Pear assasmen afektif Rineka Cipta.
2. Konfrontasi miskonsepsi - Tes diagnostic
terkait dengan masalah - Self assesmen Nurhadi. (2020). Teori
yang disajikan oleh kognitivisme serta
pendidik aplikasinya dalam
3. Konfrontasi sangkalan pembelajaran. 2, 77–95.
yang bersifat
demonstrasi, analogis, Rahyubi, 2012

59 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
atau contoh-contoh
konkrit
4. Konfrontasi pembuktian
pembuktian konsep dan
prinsip ilmiah
5. Konfrontasi materi dan
contoh-contoh
kontekstual
6. Konfrontasi pertanyaan-
pertanyaan untuk
memperluas pemahaman
dan penerapan
pengetahuan secara
bermakna.
4 Cognitive 1. Motivasi, fase awal - Tes kemampuan - Penilaian Robert M. Gagne dalam
information memulai pembelajaran kognitif (HOTS) proses Rusman (2014: 139)
process dengan adanya dorongan - Lembar penilaian - Penilaian
untuk melakukan suatu aktivitas afektif, Fahyuni, E. F., & Istikomah.
tindakan dalam mencapai psikomotorik (2016). Psikologi Belajar
tujuan tertentu (motivasi dan Mengajar. Nizamia
instrinsik dan ekstrinsik); Learning Center.
2. Pemahaman, fase
individu menerima dan Ismail, R. N., Mudjiran, &
memahami informasi Neviyarni. (2019).
yang diperoleh dari Membangun Karakter
pembelajaran. melalui Implementasi Teori
Pemahaman didapat Belajar Behavioristik
melalui perhatian; Pembelajaran Matematika
3. Pemerolehan, individu Berbasis Kecakapan Abad
memberikan 21. Menara Ilmu, 8(11), 76–
makna/mempersepsikan 88
segala informasi yang
ada pada dirinya
sehingga terjadi proses
penyimpanan dalam
memori peserta didik;
4. Penahanan, menahan
informasi yang sampai
pada dirinya sehingga
terjadi proses
penyimpanan dalam
memori siswa;
5. Ingatan kembali,
mengeluarkan kembali
informasi yang telah
disimpan, bila ada
rangsangan;
6. Generalisasi,
menggunakan hasil

60 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
pembelajaran untuk
keperluan tertentu;
7. Perlakuan, perwujudan
perubahan perilaku
individu sebagai hasil
pembelajaran;
8. Umpan balik, individu
memperoleh feedback da
ri perilaku yang telah
dilakukannya.
5 Meaningful 1. Membangun relevansi - Tes diagnostic - Penilaian
learning theory dan pemahaman awal - Tes kognitif proses
2. Mengorganisir informasi (HOTS) - Penilaian
3. Menerapkan dalam - Self assasment afektif dan
konteks nyata psikomotorik
6 Constructivism 1. Orientasi - Tes kognitif - Penilaian Kontesa, D. A., & Fauziati,
2. Elicitasi (HOTS) proses E. (2022). Teori
3. Rekonstruksi ide - Self assasment - Penilaian Connectivism Dan
4. Aplikasi ide afektif dan Implikasinya Terhadap
5. Review psikomotor Pemanfaatan E-Learning
ik Dalam Pembelajaran Di
- Rubrik Sekolah Dasar. Jurnal Mitra
penilaian Swara Ganesha, 9(2), 117–
laporan 126.
http://ejournal.utp.ac.id/inde
x.php/JMSG/article/view/21
56

Suprijono (2009: 41)


7 Discovery 1. Pemberian stimulasi - Tes diagnostic - Observasi Mukaramah, M., Kustina, R.,
learning 2. Pernyataan/ identifikasi - Tes kognitif - Portofolio & Rismawati. (2020).
masalah (HOTS) Analisis Kelebihan dan
3. Pengumpulan data - Self assasment Kekurangan Model
4. Pengolahan data Discovery Learning Berbasis
5. Pembuktian Media Audiovisual dalam
6. Generalisasi Pembelajaran Bahasa
Indonesia. Orphanet Journal
of Rare Diseases, 21(1), 1–9.
8 Pembelajaran 1. Orientasi pembelajaran - Tes diagnostic - Penilaian Mukaramah, M., Kustina, R.,
kolaboratif 2. Pembagian tugas - Tes kognitif proses & Rismawati. (2020).
terstruktur (HOTS) - Penilaian Analisis Kelebihan dan
3. Identifikasi dan - Self assasment afektif dan Kekurangan Model
menganalisis psikomotorik Discovery Learning Berbasis
4. Penyimpulan dan Media Audiovisual dalam
presentasi karya Pembelajaran Bahasa
5. Refleksi, penilaian, dan Indonesia. Orphanet Journal
penguatan tiap topik of Rare Diseases, 21(1), 1–9.
9 Problem 1. Indentifikasi masalah - Tes kemampuan - Penilaian Putrayasa, I. . (2013).
solving 2. Eksplorasi masalah kognitif proses Landasan Pembelajaran.
Undiksha Press.

61 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
3. Perencanaan dan - Lembar - Penilaian
pelaksanaan penilaian afektif dan
4. Evaluasi dan refleksi laporan psikomotorik
10 Pembelajaran 1. Mengidentifikasi dan - Tes kemampuan - Penilaian Malikah, S., Fauziati, E., &
reasoning mengolah masalah kognitif proses Maryadi, M. (2022).
2. Mengeksplorasi masalah - Lembar - Penilaian Perspektif Connectivisme
3. Menyeleksi strategi penilaian afektif dan terhadap Pembelajaran
pemecahan masalah laporan psikomotorik Daring Berbasis Google
4. Menemukan jawaban Workspace For Education.
5. Refleksi dan perluasan Edukatif : Jurnal Ilmu
Pendidikan, 4(2), 2050–
2058.

11 Problem based 1. Orientasi siswa kepada - Tes kemampuan - Observasi Hariyanto dan Warsono
learning masalah kognitif - Penilaian (2014)
2. Mendefinisikan masalah - Lembar penilaian portofolio
dan mengorganisasikan laporan
siswa untuk belajar
3. Memandu investigasi
mandiri maupun
kelompok
4. Menegembangkan dan
mempresentasikan karya
5. Refleksi dan penilaian
12 Project based 1. Menentukan pertanyaan - Tes kemampuan - Penilaian Putrayasa, I. . (2013).
learning mendasar kognitif proses Landasan Pembelajaran.
(mengumpulkan (HOTS) - Penilaian Undiksha Press.
informasi) - Lembar afektif dan
2. Mendesain perencanaan penilaian psikomotor
produk laporan ik
3. Menyusun jadwal - Lembar
pengerjaan proyek penilaian
4. Monitoring keaktifan dan product
perkembangan proyek
5. Menguji hasil
6. Pengalaman belajar
13 Sainstifik 1. Mengamati sebuah - Tes kemampuan - Penilaian
fenomena alam kognitif proses
2. Merumuskan pertanyaan (HOTS) - Penilaian
3. Mengumpulkan - Lembar afektif dan
informasi/ data penilaian psikomotor
4. Menalar/ mengasosiasi laporan ik
5. Mengkomunikasikan - Self assasment - Lembar
penilaian
aktivitas
14 Connectivism - Tes diagnostic 1. Penilaian Kontesa, D. A., & Fauziati,
karakteristik proses E. (2022). Teori
siswa 2. Penilaian Connectivism Dan
afektif dan Implikasinya Terhadap
Pemanfaatan E-Learning

62 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
- Tes kemampuan psikomotori Dalam Pembelajaran Di
kognitif k Sekolah Dasar. Jurnal Mitra
(HOTS) 3. Lembar Swara Ganesha, 9(2), 117–
- Lembar penilaian 126.
penilaian aktivitas http://ejournal.utp.ac.id/inde
laporan x.php/JMSG/article/view/21
- Self assasment 56

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, A. M. (2022). Penerapan Teori Belajar Behaviorisme dalam Pembelajaran ( Studi


Pada Anak ). An Nisa’, 15(1), 1–8.
American Federation of Teachers, National Council on Measurement in Education,
National Education Association. (1990). Standards for teacher competence in
educational assessment of students. Education Measurement: Issues and Practice,
9, 30–32.
Anderson, C.W., Holland, J.D. & Palincsar, A.S. (1997). Canonical and sociocultural
approaches to research and reform in science education: The story of Juan and his
group. The Elementary School Journal, 97(4), 359–383.
Anderson, G. (1998). Fundamentals of educational research (2nd edition). Bristol, PA:
Falmer Press.
Alexander, J. (2015). The Major Ideologies of Liberalism, Socialism and Conservatism.
Political Studies, 63(3), 981.
Bagus, L. (2002). Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Bertens, K. (2001). Sejarah Filsafat Barat, dari Thales ke Aristoteles. Yogyakarta:
Kanisius.
Blackburn, S. (2008). The Oxford Dictionary of Philosophy. Oxford: Oxford University
Press.
Budiningsih. (2015). Belajar dan pembelajaran. PT. Rineka Cipta.
Critten, J. (2015). Ideology and critical Self-Reflection in Information Literacy
Instruction. Communications in Information Literacy, 9(2), 149.
Descartes, Rene. (2009). Meditations on First Philosophy. London: Penguin Books.
Derrida, Jacques. (2001). Of Grammatology. Baltimore: Johns Hopkins University Press.

63 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
Dunlavey, R. dan Van Lente, F. (2009). Filsuf Jagoan Jilid 3 (Penerjemah: Margaretha
Widiastuti). Jakarta: KPG
Ernest, Paul. (2004). The Phylosophy of Mathematics Education. Taylor & Francis e-
Library.
Fahyuni, E. F., & Istikomah. (2016). Psikologi Belajar dan Mengajar. Nizamia Learning
Center.
Freire, Paulo. (2005). Pedagogy of the Oppressed. New York: Continuum International
Publishing Group.
Freire, P. (2002). Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan.
Pustaka Belajar.
Freire, P. (2003). Pendidikan Masyarakat Kota. PT. Hanindita Graha Widya.
Foucault, Michel. (1977). Discipline and Punish: The Birth of the Prison. New York:
Vintage Books.
Hardiman, F.B. (2004). Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Habermas, Jurgen. (1996). The Theory of Communicative Action. Boston: Beacon Press.
Hadiwijono, Harun. (2005). Sari Sejarah Filsafat 2. Yogyakarta: Kanisius.
Heidegger, Martin. (2012). Being and Time. Albany: State University of New York Press.
Ismail, R. N., Mudjiran, & Neviyarni. (2019). Membangun Karakter melalui
Implementasi Teori Belajar Behavioristik Pembelajaran Matematika Berbasis
Kecakapan Abad 21. Menara Ilmu, 8(11), 76–88.
Kant, I. (1929). Critique of Pure Reason (Penerjemah: Norman Kemp Smith). Boston:
Bedford.
Kontesa, D. A., & Fauziati, E. (2022). Teori Connectivism Dan Implikasinya Terhadap
Pemanfaatan E-Learning Dalam Pembelajaran Di Sekolah Dasar. Jurnal Mitra
Swara Ganesha, 9(2), 117–126.
http://ejournal.utp.ac.id/index.php/JMSG/article/view/2156
Klenowski, V. (1996). Connecting assessment and learning. Paper presented at the British
Educational Research Association annual conference, Lancaster University, 12–15
September, 1996.
Malikah, S., Fauziati, E., & Maryadi, M. (2022). Perspektif Connectivisme terhadap

64 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
Pembelajaran Daring Berbasis Google Workspace For Education. Edukatif : Jurnal
Ilmu Pendidikan, 4(2), 2050–2058.
Mukaramah, M., Kustina, R., & Rismawati. (2020). Analisis Kelebihan dan Kekurangan
Model Discovery Learning Berbasis Media Audiovisual dalam Pembelajaran
Bahasa Indonesia. Orphanet Journal of Rare Diseases, 21(1), 1–9.
Nelson, B. (2002a). Media release: Howard government focus on literacy and numeracy
pays dividends. Retrieved on 18 April 2005 from
http://dest.gov.au/ministers/nelson/apr02/n41_170402.htm
Newmann, F.M. (1992). Linking restructuring to authentic student achievement. In K.
Burke, (Ed.). Authentic assessment: A collection, pp. 133–148. Arlington Heights,
IL: Skylight.
Nurhadi. (2020). Teori kognitivisme serta aplikasinya dalam pembelajaran. 2, 77–95.
O’Neil, J. (1994). Aiming for new outcomes: The promise and the reality. Educational
Leadership, 51, 6–10.
Putrayasa, I. . (2013). Landasan Pembelajaran. Undiksha Press.
Parke, C.S., Lane, S., Silver, E.A., & Magone, M.E. (2003). Using assessment to improve
middle-grades mathematics teaching & learning. Reston, VA: National Council of
Teachers of Mathematics.
Parker, L.H., & Rennie, L.J. (1998). Equitable assessment strategies. In B.J. Fraser &
K.G. Tobin, (Eds.) International handbook of science education, pp. 897–910.
Dordrecht, The Netherlands: Kluwer.
Reimer, E. (1987). Sekitar Eksistensi Sekolah. PT. Hanindita Graha Widya.
Scurton, R. (1982). Kant. Oxford: Oxford University Press.
Starthern, P. (2001). 90 Menit Bersama Kant (Penerjemah: Frans Kowa). Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Shaklee, B.D., Barbour, N.E., Ambrose, R., & Hansford, S.J. (1997). Designing and using
portfolios. Boston: Allyn and Bacon.
Shepard, L.A. (1992). Why we need better assessments. In K. Burke, (Ed.). Authentic
assessment: A collection. pp. 37-48. Arlington Heights, ILL: Skylight.
Siemens, G. (2004). A Learning Theory for the Digital Age. Psu.Edu.
Tjahjadi, S.P.L. (2007). Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan: Dari Descartes Sampai
Whitehead. Yogyakarta: Kanisius

65 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n
Tost, J. T. (2016). The End of the End of Ideology. The American Psychological
Association, 61(7), 653.
Wittgenstein, Ludwig. (2009). Philosophical Investigations. Oxford: Blackwell
Publishers
Zulhammi. (2015). Teori Belajar Behavioristik dan Humanistik dalam Perspektif
Pendidikan Islam. DARUL’ILMI: Jurnal Ilmu Kependidikan Dan Keislaman, 3(1),
105–125.

66 | F i l s a f a t P e n e l t i a n & E v a l u a s i P e n d i d i k a n

Anda mungkin juga menyukai