Anda di halaman 1dari 14

PENGEMBANGAN DAN PERENCANAAN

KEBIJAKAN

Kelompok III
Tesalonika A B Wilar ( 19142010171 )
Cindy C Gumolung ( 19142010164 )
Yolanda Claudia Enar ( 2114202161 )
Nurfaidah ILam ( 1714201254 )
Firginia keles ( 19142010193 )

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN INDONESIA MANADO


FAKULTAS KEPERAWATAN
BAB I
PENDAHULUAN

A. Definisi Bencana
Bencana merupakan gangguan yang serius terhadap fungsi suatu
komunitas atau masyarakat yang dapat menyebabkan kerugian serta dampak
kepada manusia, ekonomi, properti atau ingkungan secara meluas dimana
kondisi yang terjadi melampaui kemampuan komunitas atau masyarakat yang
terkena dampak tersebut untuk mengatasinya dengan memanfaatkan sumber
daya yang ada ( Parker,J., 2019 )
Banyak dampak yang terjadi akibat bencana yang timbul pada suatu
komunitas atau daerah. Bencana dapat mengakibatkan kesakitan sampai
kematian penduduk, kehancuran fasilitas-fasilitas yang ada dan gangguan
pada setiap aspek yang terjadi dimasyarakat.
Bencana juga dapat merusak keutuhan masyarakat dan pemerintah
dengan menciptakan gangguan bahkan kekacauan yang nyata dan dapat
masuk untuk melemahkan masyarakat dan pemerintahan yang ada.
Berdasarkan berbagai hal yang terjadi akibat dari suatu bencana, maka
setiap negara telah menunjukkan keinginan untuk mengembangkan kebijakan-
kebijakan dalam penanganan bencana dalam rangka mencapai tujuan
nasional di setiap negara, maupun tujuan-tujuan yang lebih rinci seperti tujuan
sosial, ekonomi, lingkungan, kesehatan dan lain-lain yang berfokus pada
tahap-tahap bencana yaitu pra, saat dan pasca bencana.
Kebijakan strategis yang dikembangkan suatu negara tergantung dari
kesesesuaian pengaturan kelembagaan yang ada pada suatu negara,
bagaimana kebijakan dirumuskan, dikembangkan dan dimplementasikan dan
dimonitoring, dan bahkan bagaimana kebijakan tersebut dapat berkembang
pada suatu daerah atau negara. Hal ini terutama bagaimana manajemen
tanggap darurat sebagai hal yang sangat penting dan krusial diperlukan bagi
masyarakat disuatu daerah atau negara.

B. Kebijakan Penanganan Bencana


Kebijakan dalam penanganan bencana diharapkan dapat memberikan
kontribusi secara kritis dan konstruktif terhadap proses perubahan dalam
penanganan bencana dan peningkatan dalam pelayanan bencana baik pada
saat pra, saat dan pasca bencana.
Kebijakan penanganan bencana diharapkan bukan hanya sebagai
suatu peristiwa yang seperti dipaksakan dalam suatu daerah atau masyarakat
tetapi sebagai upaya penuh kesadaran yang dilakukan semua elemen
masyarakat atau sebagai bagian dari warga negara.
Oleh karena itu kebijakan penanganan bencana membutuhkan masukan
informasi mengenai sifat bencana sebagai fenomena yang timbul antara
manusia dan alam yang mengalami gangguan baik oleh karena alam maupun
non alam yang saling berkaitan erat satu sama lain dan sifat kebijakan yang
ditujukan untuk masyarakat dan lembaga yang akan membentuknya sebagai
sarana masyarakat untuk menggunakan kebijakan tersebut dalam merespon
dan menangani masalah mengenai bencana.
C. Kebijakan Penanganan Bencana Indonesia
Berdasarkan salah satu amanat yang termaktub dalam Undang-undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 pada alinea ke-4 yang menyebutkan
bahwa Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial (trndnnp-trndnnp Dasar 1945, n.d.).
Wujud pelaksanaan dari amanat tersebut maka dilakukan pembangunan
nasional dengan tujuan mewujudkan masyarakat adil dan sejahtera yang
senantiasa memperhatikan hak atas penghidupan disegala bidang termasuknya
didalamnya ketika menghadapi keadaan darurat seperti bencana.
Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan daerah yang sangat
menarik. Dari segi ilmu kebumian, mempunyai paparan benua yang luas,
pegunungan dengan lipatan tertinggi, adanya laut antar pulau yang sangat
dalam, laut sangat salam antara dua busur kepulauan, dua jalur gunung berapi
besar dunia dan beberapa jalur pegunungan lipatan dunia bertemu di
Indonesia.
Dari segi lingkungan, dikarunia dengan salah satu hutan tropis yang
paling luas dan kaya akan keanekaragaman hayati didunia. Dari segi geografi
dan kependudukan, merupakan negara kepulauan yang terdiri dari pulau-
pulau besar dan kecil, dimana penduduk diperkirakan akan mengalami
perkembangan di daerah perkotaan dibandingkan perdesaan (BNPB, 2016).
Namun disisi lain, Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai
keadaan geografıs, geologis, hidrologis, dan demografıs yang memungkinkan
terjadinya bencana, baik oleh karena faktor alam, non alam maupun karena
akibat manusia yang mengakibatkan munculnya korban jiwa, rusaknya
lingkungan, kehilangan harta benda, dan dampak psikologis. Oleh karena itu,
dibutuhkan penanganan terencana, terkoordinasi dan terpadu (Undang
Undang Republik Indonesia No 24 Tahun 2007, n.d.).
Dengan persetujuan DPR RI dan Presiden RI maka ditetapkan UU RI
No.24 Tahun 2007. Kebijakan inilah sebagai kebijakan tertinggi penanganan
bencana di Indonesia. Undang- Undang ini memiliki 13 Bab dan 85 pasal.
Beberapa hal yang diatur dalam Undang-Undang RI No.24 Tahun 2007 diatur
mengenai landasan, asas, prinsip, tujuan, tanggung jawab, bentuk lembaga
dipusat dan didaerah, hak masyarakat dalam penangggulangan bencana, peran
lembaga usaha, lembaga internasional dan lembaga asing non pemerintah,
penyelenggaraan penanggulangan bencana, pendanaan dan pengelolaan
bantuan, pengelolaan sumber daya bantuan bencana.
Landasan penanganan bencana di Indonesia adalah Pancasila dan UUD
1945. Sedangkan, asasnya adalah kemanusiaan, keadilan, kesamaan
kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, keseimbangan, keselarasan dan
keserasian, ketertiban kepastian hukum, kebersamaan, kelestarian lingkungan
hidup, dan ilmu pengetahuan dan teknologi.
 Penanggulangan bencana memiliki prinsip yaitu
1. cepat dan tepat, prioritas
2. koordinasi dan keterpaduan
3. berdayaguna dan berhasil guna
4. transparansi dan akuntabilitas
5. kemitraan, pemberdayaan
6. nondiskriminatif dan nonproletisi.

Adapun tujuan penanggulangan bencana yaitu untuk memberikan


perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana, menyelaraskan
peraturan perundang- undangan yang sudah ada, menjamin terselenggaranya
penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan
menyeluruh, menghargai budaya lokal, membangun partisipasi dan kemitraan
publik serta swasta, mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan,
dan kedermawana dan menciptakan perdamaian dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Sedangkan yang menjadi tanggung jawab dalam penanggulangan bencana
yaitu pemerintah dan pemerintah daerah. Sedangkan wewenang pemerintah
untuk upaya ini adalah penetapan kebijakan penanggulangan bencana selaras
dengan kebijakan pembangunan nasional, pembuatan perencanaan
pembangunan yang memasukkan unsur-unsur kebijakan penanggulangan
bencana, penetapan status dan tingkatan bencana nasional dan daerah,
penentuan kebijakan kerja sama dalam penanggulangan bencana dengan
negara lain, badan-badan, atau pihak-pihak internasional lain, perumusan
kebijakan tentang penggunaan teknologi yang berpotensi sebagai sumber
ancaman atau bahaya bencana; perumusan kebijakan mencegah penguasaan
dan pengurasan sumber daya alam yang melebihi kemampuan alam untuk
melakukan pemulihan dan pengendalian pengumpulan dan penyaluran uang
atau barang yang berskala nasional.
Sebagai turunan dari Undang-Undang No 24 Tahun 2007, maka
diterbitkanlah beberapa peraturan pemerintah untuk mengoperasionalkan
kegiatan penanganan bencana yaitu :
1. Peraturan Pemerintah No.21 Tahun 2008 tentang
penyelenggaraan penanggulangan bencana.
2. Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2008 tentang
pendanaan dan pengelolaan bantuan bencana.
3. Peraturan Pemerintah No.23 Tahun 2008 tentang peran
serta lembaga internasional dan lembaga asing non
pemerintah dalam penanggulangan bencana.
D. Penyelenggaraan, Pendanaan dam Pengelolaan Bantuan Bencana
Penyelenggaraan penanganan bencana terdiri dari tahap
prabencana, saat tanggap darurat, dan pascabencana. Adapun
tujuannya adalah untuk menjamin terselenggaranya pelaksanaan
penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi,
dan menyeluruh dalam rangka memberikan perlindungan kepada
masyarakat dari ancaman, risiko, dan dampak bencana. Badan yang
menyelenggarakan kegiatan penanganan bencana adalah Badan
Nasional Penanggulangan Bencana atau disingkat dengan BNPB,
merupakan lembaga pemerintah non-departemen sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan untuk ditingkat pusat,
sedangkan ditingkat daerah disebut Badan Penanggulangan
Bencana Daerah atau disingkat sebagai BPBD (Peraturan
Pemerintah RI No.21 Tahun 2008., n.d.). Sedangkan,
mengenai dana penanggulangan bencana merupakan tanggung|
awab bersama antara Pemerintah dan pemerintah daerah. Sumber
dana berasal APBN; APBD; dan/atau masyarakat. Dana ini
digunakan sesuai dengan penyelenggaraan penanggulangan
bencana yang meliputi tahap prabencana, saat tanggap darurat, dan
pascabencana. Dalam pelaksanaannya, Pemerintah dan pemerintah
daerah menyediakan dan memberikan bantuan bencana kepada
korban bencana. Bantuan tersebut bisa berupa santunan duka cita,
santunan kecacatan, pinjaman lunak untuk usaha produktif, dan
bantuan pemenuhan kebutuhan dasar. Pengelolaan bantuan
tersebut dilakukan oleh BNPB ditingkat pusat dan BPBP ditingkat
daerah yang berwenang mengkoordinasikan pengendalian,
pengumpulan, dan penyaluran bantuan darurat bencana ditingkat
masing-masing (Peraturan Pemerintah RI No.22 Tahun 2008.,n.d.).
Dibidang kesehatan, penyelenggaraan penanganan
bencana disebut dengan penanggulangan krisis kesehatan. Krisis
Kesehatan adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
menyebabkan timbulnya korban jiwa, luka/sakit, pengungsian,
dan/atau adanya potensi bahaya yang berdampak pada kesehatan
masyarakat yang memerlukan respon cepat di luar kebiasaan
normal dan kapasitas kesehatan tidak memadai.
Dalam penanganannya, dilakukan secara berjenjang
mulai dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan
Provinsi sampai dari Kementerian Kesehatan. Penanganan krisis
kesehatan dilaksanakan dengan sistem kluster. Klaster kesehatan
meliputi sub kluster yaaitu pelayanan kesehatan, pengendalian
penyakit dan kesehatan lingkungan, kesehatan reproduksi,
kesehatan jiwa, kesehatan jiwa, pelayanan gizi, identifikasi korban
mati akibat bencana (Disaster Victim Identification /DVI).
Klaster tersebut didukung oleh tim logistik kesehatan,
tim data dan informasi, tim promosi kesehatan. Klaster meliputi
Klaster Kesehatan Nasional yang dibentuk oleh Menteri dan
dikoordinasikan oleh Kepala Pusat yang menangani bidang krisis
kesehatan, Klaster Kesehatan Provinsi yang dibentuk dan
dikoordinasikan oleh Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dan Klaster
Kesehatan Kabupaten/Kota yang dibentuk dan dikoordinasikan
oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota (Peraturan Menteri
Kesehatan RI No.75 Tahun 2019., n.d.).

E. Kerjasama Multidisiplin Dalam Penanganan Bencana


Pada tahap sebelum bencana dimana pada fase tidak ada bencana,
kegiatannya adalah penyusunan rencana penanganan bencana yang lebih
banyak dititik beratkan oleh tanggung jawab setiap lembaga sebagai
pemangku kepentingan. Namun kerjasama lembaga akan tampak dalam
persiapan menangani bencana yang akan mungkin terjadi pada suatu daerah.
Kerjasama multidisplin atau antar profesi keilmuan difokuskan pada kegiatan
tanggap darurat, dimana keputusan penanganan bencana harus dibuat dengan
segera mengingat beratnya masalah bencana(Ada1geirsdottir,K., 2021). Ada
beberapa kerjasama multidisplin dalam penanganan bencana di Negara
Indonesia yaitu:
1. Rencana kontingensi sampai dari rencana operasi darurat bencana.
Pada fase ada resiko terjadinya bencana dengan jenis kegiatan
peringatan dini, mitigasi dan kesiapsiagaan maka dilakukan perencanaan
kontigensi, dimana ada peranan antar lembaga pemangku kepentingan untuk
bekerjasama merencanakan bagaimana penaganan bila suatu bencana terjadi
di suatu daerah. Perencanaan ini dijalankan dalam memastikan langkah-
langkah yang cepat dan tepat dalam menghadapi situasi bencana dengan
harapan dapat menghindari atau mengatasi secara lebih optimal situasi darurat
yang terjadi, dimana elemen-elemen yang ada sebagai pemangku kepentingan
menyepakati skenario, tujuan, kebijakan dan strategi serta langkah -langkah
manajerial maupun operasional untuk dilaksanakan dan setelah kesepakatan
maka dibuatlah dokumen rencana tersebut.
Tujuan rencana kontingensi adalah memberi kepastian bahwa adanya
kesiapan pemangku kepentingan disetiap disiplin yang berkaitan dalam
menanggapi dengan tepat situasi darurat serta kemungkinan dampak yang
dapat terjadi oleh karena bencana. Sebagai penyusun perencanaan kontingensi
adalah multi bidang dan merupakan pemangku kepentingan yang memiliki
tanggung|awab dan diberi instruksi dalam menangani bencana baik dari
elemen organisasi pemerintah, non pemerintah, lembaga- lembaga usaha dan
masyarakat yang terlibat dimana mempunyai keinginan, kapabilitas atau
kewenangan dalam membuat keputusan sebagai wakil dalam instansinya
masing-masing dengan sifat keadilan, kesetaraan gender dan tidak adanya
diskriminatif.
Sedangkan yang ditugaskan sebagai fasilitator memiliki tugas
memaparkan bahan, mengarahkan pertemuan dengan mengadakan diskusi dan
tanya jawab, menyediakan tugas secara kelompok dan memberikan
pendampingan dalam penyusunan dokumen tersebut secara rinci sampai
selesai dapat terbentuk dalam suatu lokakarya. Fasilitator dipilih dalam
berdasarkan kompetensi dan riwayat keahliannya dalam sebuah bidang
tertentu.
Kemudian untuk narasumber pada kegiatan penyusunan rencana
tersebut adalah seseorang yang mempunyai keahlian dibidangnya dalam
menyampaikan topik mengenai bagaimana menentukan kejadian bencana,
menilai resiko, dan mengembangkan skenario dalam menghadapi bencana dan
dampak bila itu dilakukan serta dapat dipertanggung|awabkan.
Narasumber dapat bersumber dari organisasi pemerintah, lembaga
usaha, tenaga dari perguruan tinggi, media massa maupun organisasi lainnya
sesuai dengan yang dibutuhkan (BNPB, 2019). Bila terjadi suatu bencana atau
dalam kondisi siaga darurat, maka rencana kontingensi akan diaktifkan
menjadi rencana operasi darurat bencana yang berdasarkan asumsi kejadian
dan rencana kontingensi yang telah disusun sebelumnya sesuai dengan
masalah bencana yang terjadi.
Hal ini diawali dari menerima masukan informasi umum kejadian awal
yang dapat bersumber dari berbagai lembaga baik pemerintah atau Lembaga
lain maupun masyarakat dan informasi resmi dari berbagai lembaga
sepertiBadan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Badan Geologi
Departemen Energi Sumber Daya Mineral, Kementerian Pekerjaan Umum,
Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian dan Kementerian lainnya dan
badan-badan lainnya, informasi dari tim reaksi cepat yang ditugaskan BNPB
maupun BPBD dengan tujuan untuk menganalisis keadaan darurat bencana
termasuk pengkajian kejadian dan perkembangan bencana.
Kepala bidang perencanaan memasukkan informasi-informasi kejadian
awal pada formular isian bencana yang memuat informasi mengenai peta
meliputi peta darurat bencana, sumberdaya dan evaluasi, permintaan bantuan
sumberdaya yang dibutuhkan, sumber bantuan sumber daya (BNPB/BPBD,
instansi/lembaga, dunia usaha dan masyarakat}, lokasi tujuan bantuan dan
ringkasan tindakan operasi dan ringkasan bantuan sumber daya. Tahapan
selanjutnya adalah menetapkan tujuan dan sasaran yang akan dicapai dalam
operasi melalui rapat yang disebut sebagai rapat rencana taktis/ teknis operasi.
Tujuan dan sasaran operasi dalam garis besar meliputi tindakan dalam
penyelamatan dan evaluasi korban bencana, pemenuhan kebutuhan dasar
korban bencana, penyediaan dan distribusi personil, logistik dan peralatan,
perlindungan kelompok rentan, pemulihan dengan segera fungsi sarana dan
prasarana vital. Penyusunan rencana operasi darurat bencana disesuaikan
dengan dampak dan tingkatan bencana yang dinyatakan oleh pemerintah atau
pemerintah daerah, Apabila dampak bencana bersifat nasional, maka rencana
operasi darurat bencana Komandan Darurat Bencana Tingkat Nasional yang
ditunjuk oleh Presiden sesuai dengan tingkat dan kewenangannya.
Ditingkat Provinsi/Kabupaten/Kota diperhatikan sesuai dampak dan
tingkat bencana, bila dampak setingkat Kabupaten/Kota maka komando
darurat bencana adalah BPBD Kabupaten/ Kota atau yang setingkat dengan
itu yang mempunyai tugas pokok dan fungsi dalam penanggulangan
bencana (Peraturan Kepala BNPB Nomor 24 Tahun 2010, n.d.)
2. Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu
Sistem ini disingkat dengan SPGDT merupakan suatu langkah-langkah
pelayanan korban gawat darurat yang terintegrasi dan berbasis call center
melalui penggunaan kode akses telekomunikasi 119 dimana dalam
pelaksanaannya melibatkan masyarakat. Untuk dapat terlaksananya SPGDT
maka dibentuk Pusat Komando Nasional yang berkedudukan di Kementerian
Kesehatan dan bertanggung jawab kepada Dlrektur Jenderal dan PSC (Public
Safety Center/Pusat Pelayanan Keselamatan Terpadu} yang dibentuk oleh
Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota.
Sistem komunikasi dilaksanakan dengan cara terintegrasi antara Pusat
Komando Nasional, PSC, dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Pusat
Komando Nasional (National Command Center) mempunyai fungsi sebagai
pemberi informasi dan panduan terhadap penanganan kasus
kegawatdaruratan. Sedangkan, masyarakat yang mengetahui dan mengalami
kegawatdaruratan medis dapat melaporkan dan/atau meminta bantuan melalui
Call Center 119.
PSC dapat dilakukan secara bersama- sama dengan unit teknis lainnya
di luar bidang kesehatan seperti kepolisian dan pemadam kebakaran
tergantung kekhususan dan kebutuhan daerah. Dalam pelaksanaan PSC
diperlukan ketenagaan meliputi koordinator, tenaga kesehatan, operator call
center dan tenaga lain. Tenaga kesehatan meliputi tenaga medis, tenaga
perawat, dan tenaga bidan yang terlatih kegawatdaruratan. Sistem penanganan
korban gawat darurat meliputi penanganan prafasilitas pelayanan kesehatan,
intrafasilitas dan antarfasilitas. Pemerintah Pusat, Daerah Provinsi, dan
Daerah Kabupaten/Kota mempunyai tugas dan tanggung jawab terhadap
pelaksanaan, pendanaan, pelaporan, pembinaan dan pengawasan SPGDT
(Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 19 Tahun 2016., n.d.).
F. Kerjasama Internasional Dalam Penanganan Bencana
Selain kerjasama antar lembaga pemerintah dan swasta yang ada disuatu
negara, kerjasama penanggulangan bencana dapat dilakukan oleh hubungan
dan kerjasama dari daerah luar negeri. Hubungan dan kerjasama tidak hanya
dilakukan antara negara namun dapat juga melibatkan non negara seperti
organisasi internasional, lembaga swadaya masyarakat, perusahaan,
kelompok- kelompok kecil bahkan secara individu (Peraturan Menteri Luar
Negeri No.3 Tahun 2019., n.d.}.
Kerjasama yang demikian pada berbagai bidang termasuk dalam
penanganan bencana sudah menjadi suatu kebutuhan karena suatu negara
merupakan bagian integral dari masyarakat internasional yang harus ikut
terlibat didalamnya. Peranannya diharapkan dapat memberi dukungan dalam
penguatan usaha-usaha menangani bencana, mengurangi ancaman dan risiko
bencana, dan mengurangi penderitaan penduduk yang terkena dampak
bencana, serta mempercepat proses rehabilitasi. Ternyata, lembaga-lembaga
internasional mendukung Pemerintah Indonesia dalam menguatkan
pengelolaan penanganan bencana untuk bertambah baik. Lembaga
internasional yang akan melakukan penanganan bencana haruslah
mempersiapkan proposal, nota kesepahaman, rencana kerja melalui konsultasi
dengan perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.
Pelaksanaan nota kesepahaman dan rencana kerja dikoordinasikan oleh
BNPB. BNPB melaksanakan pengawasan terhadap peran serta lembaga
internasional dan lembaga asing nonpemerintah. Kemudian, lembaga
internasional wajib menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatannya yang
akuntabel kepada BNPB, yang dilakukan secara periodik, pada akhir masa
tugasnya atau sewaktu-waktu jika diminta oleh BNPB. Peran serta lembaga
tersebut dalam penanganan bencana dapat dilakukan oleh masing-masing
lembaga, atau secara Bersama-sama ataupun juga bersama lembaga dari
negara asal sebagai mitra kerja (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
No.23 Tahun 2008, n.d.}.

Pengalaman bangsa Indonesia melakukan kerjasama internasional dalam


penanganan bencana antara lain adalah:
1. Kerjasama Negara Indonesia dengan Negara Jepang
Kerjasama Negara Indonesia dengan Negara Jepang sudah
berlangsung lama, dan kerjasamanya bukan hanya dalam penanganan bencana
tapi dalam hal lain seperti pembangunan infrastruktur seperti jalan lintas,
kereta bawah tanah, kesehatan, konservasi lingkungan alam, pertanian,
pendidikan dan lain-lain. Pada tahun 2018, sudah 60 tahun terjadinya
hubungan diplomatik antara Jepang dan Indonesia. Sebagai pemimpin
ASEAN, Indonesia memberikan kontribusi terhadap perdamaian dan stabilitas
regional, serta menjadi mitra terpercaya Jepang dalam menangani isu-isu global.
Kerjasama Indonesia dan Jepang dalam penanganan bencana yang
pernah dilakukan dalam kurun beberapa tahun terakhir adalah kerjasama
melalui universitas dan lembaga penelitian dengan kerjasama sain dan
teknologi (SATREPS) dalam rangka menguatkan sistem pengamatan tsunami
dan gunung berapi, perbuatan cara pelaksanaan pendidikan mitigasi bencana,
perumusan rencana mitigasi bencana di 2 provinsi dan 25 kabupaten/kota,
telah mengirimkan tim bantuan darurat lebih kurang 28 kali sejak tahun 2001,
berkolaborasi dengan Pemerintah Indonesia dalam pembangunan sekitar 250
bendungan dan lain- lain (JICA, 2018)
2. KerJasama Negara Indonesia dengan lembaga AHA Center
Pada tanggal 26 Juli 2005, negara-negara anggota ASEAN
menandatangani Perjanjian ASEAN tentang Penanggulangan Bencana dan
Tanggap Darurat atau dalam bahasa Inggris disebut sebagai ASEAN
Agreement on Disaster Management and Emergency Response (AADMER)
di Vientiane, Laos. Hasil kesepakatan berusaha secara bersama-sama dalam
berespon keadaan tanggap bencana melalui serangkaian upaya baik nasional,
kerjasama regional dan internasional. Perjanjian ini juga menghasilkan
penyusunan SOP yang akan menuntun tindakan berbagai pihak dalam
ASEAN Coordinatinp Centre for HttrlnflÍtnrinn Assistance on disaster
mannpement atau disingkat sebagai AHA Centre dalam melaksanakan
pengaturan kesiasiagaan regional untuk bantuan bencana dan tanggap darurat,
penggunaan tenaga militer dan sipíl, transportasi dan komunikasi, peralatan,
fasilitas, barang dan jasa, dan fasilitas antar negara, koordinasi
penanggulangan bencana dan operasi tanggap darurat secara bersama- sama
(The AHA Centre., 2022}. AHA Centre dibentuk pada tahun 2011 (Pusat
Sosial Asia Tenggara UGM, 2020).
AHA Centre didirikan oleh sepuluh Negara Anggota ASEAN
Berdasarkan to G atau antar pemerintahan yaitu Negara Brunei Darussalam,
Cambodia, Indonesia, Lao PDR, Malaysia, Myanmar, Philippines, Singapore,
Thailand dan Viet Nam. AHA Centre bekerjasama dengan Organisasi
Nasional Penanggulangan Bencana yang ada dimasing-masing negara (AHA
Centre, n.d.). AHA centre mempunyai kantor pusat di Indonesia. Adapun
tujuan didirikannya lembaga tersebut adalah untuk memfasilitasi kerjasama
dan koordinasi penanganan bencana di antara negara-negara anggota
ASEAN. Ada dua komitmen yang tinggi dalam peran AHA Centre yaitu
berperan dalam agen koordinasi regional utama ASEAN dalam pengelolaan
bencana dan tanggap darurat dan sebagai partnership building atau peran
kemitraan. Adapun negara-negara yang telah menjadi partner AHA Center
adalah Australia, Jepang, New Zealand, Amerika Serikat dan Uni Eropa
(Pusat Sosial Asia Tenggara UGM, 2020).

3. Negara Indonesla sebagai anggota PBB dalam Kerangka Sendai.


Kerangka Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana 2015-2030 diadopsi
melalui Konferensi Dunia Ketiga PBB di Sendai, Jepang, pada tanggal 18
Maret 2005. Para pemangku kepentingan setiap negara melakukan konsultasi
dimulai. pada bulan Maret 2012 dan negoisasi antar pemerintah dari Juli
2014 hingga Maret 2015 untuk pengurangan risiko bencana atas permintaan
Majelis Umum PBB. Kerangka Sendai ini merupakan instrumen penerus
Kerangka Aksi Hyogo (HFA_ 2005-2015 : membangun ketahanan bangsa dan
masyarakat terhadap bencana.
Kerangka Kerja ini memilki tujuan untuk mendapatkan output dalam 15 tahun
kedepan yaitu berkurangnya risiko dan kerugian jiwa akibat bencana yang
konkrit, mata pencaharian dan kesehatan serta aset ekonomi, fısik, sosial,
budaya dan lingkungan pada tingkatan orang, bisnis, komunitas dan negara.
Untuk mencapai hasil yang diharapkan, diperlukan komitmen yang kuat serta
keterlibatan pemimpin politik di setiap negara pada setiap tingkat dalam
melaksanakan dan menindaklanjutinya dalam rangka menciptakan lingkungan
yang kondusif dan memberdayakan sesuai keperluan.
Dalam rangka mencapai output yang diharapkan, maka tujuan yang harus
dicapai adalah mencegah risiko bencana baru dan mengurangi risiko bencana
yang sudah ada melalui penerapan pengukuran ekonomi, struktur, hukum,
sosial, kesehatan, kebudayaan, pendidikan, lingkungan hidup, teknologi,
politik dan institusi yang terintegrasi dan terinklusi sehingga dapat mencegah
dan mengurangi terpaan bahaya serta kerentanan akan bencana, meningkatkan
kesiapan untuk respon dan pemulihan, sehingga juga memperkuat
ketangguhan (UNISDR, 2015).
BAB II
KESIMPULAN
Penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri darri tiga tahap yaitu, tahap
prabencana, tahap darurat, dan tahap pasca bencana.
Kebijakan dalam penanganan bencana diharapkan dapat memberikan kontribusi
secara kritis dan konstruktif terhadap proses perubahan dalam penanganan
bencana dan peningkatan dalam pelayanan bencana baik pada saat pra bencana
dan paska bencana
BAB III
DAFTAR PUSTAKA

Adalgeirsdottir,K. (202 1). The Story of The Disaster-Relief HouseInIceland.In L.


Martins,A,N.,Fayazi,M.,Kikano,F.,Hobeica(Ed.),
€nhancinp Disaster Preparedness.From Huminitarinn ArcliitectuTe To
COmPuinity Resilience (pp. 41—58). Elsevier.
AHA Centre. (n.d.). Governing Board of The AHA Centre.
https://ahacentre.org/governing-board-of-the-aha- centre/
BNPB. (2016). Resiko Bencana indonesifi.
BNPB. (2019). Pedoman Penpusunnn fiencarin xontinpensi
Menghadapi Ancaman Bencana (4th ed.).
LICA. (2018). Pembangunan /ndonesiâ dan kerjasama
depang:MembangunMasaDepanBerdasarkan Kepercayaan.
https://www.jica.go.jp/publication/pamph/region/k u57pq00002izqzn-
att/indonesia_deve1opment_ind.pdf
Parker,J. (2019). Emergency Preparedness Through COf7lf7uniity
Cohesion. An Integral Approach to Resilience. Routledge.
Peraturan Kepala BNPB Nomor 24 Tahun 2010. (n.d.). Pedoman
Penpusunan fiencnnn Operasi Darurat &encann.
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 19 Tahun 2016. (n.d.).
Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu.
Peraturan Menteri Kesehatan RI No.75 Tahun 2019. (n.d.).
Penanggulangan Krisis xesehntnn.
Peraturan Menteri Luar Negeri No.3 Tahun 2019. (n.d.). Panduan Cfmttrl
Hubunpnn Luar Negeri oleh Pemerintah Daerah.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.23 Tahun 2008. (n.d.).
Peran Sertn Lembaga internosional Dan Lembaga Asing Nou Pemerintnh
Dalam Penanggulangan Bencana.
Peraturan Pemerintah RI No.21 Tahun 2008. (n.d.).
Penyelenggaraan Pencinggulangan Bencar:a.
Peraturan Pemerintah RI No.22 Tahun 2008. (n.d.).
Pendar:can Dan Pengelolaan &nfltiian Bencar:a.
Pusat Sosial Asia Tenggara UGM. (2020). Upaya AISEAN Dalam
Penanggulangan Bencana Melalui Lembaga AHA Centre.https: f f
pssat.ugm.ac.id/id/upaya- asean-dalam-penanggulangan-bencana-melalui-
lembaga-aha-centre/
The AHA Centre. (2022). !SASOP.!Standar Operating f'rocediire For
Regioncil Standby Arrangements And Coordir:ation of joint Disaster Relief
And Emergency Response Operations. https:f/ahacentre org/wp-
content/uploads/2022/05/SASOP-V3_approved.pdf
Cfndnnp-Cfndnnp Dasar 194!S. (n.d.).
Undang Undang Republik Indonesia No 24 Tahun 2007. (n.d.).
Penanggulangan Bencana.
UNISDR. (2015). Sendai Frameu›ork For Disaster Risk deduction 2O1IS-!
2O3O (1st ed.). https://www.preventionweb.net/files/43291_sendaif
rameworkfordrren.p
14

Anda mungkin juga menyukai