Anda di halaman 1dari 72

NASKAH AKADEMIK

RANCANGAN PERATURAN DAERAH


TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA
BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH
KOTA KEDIRI

PEMERINTAH KOTA KEDIRI

2013

1
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH
TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA
BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA KEDIRI

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Beberapa tahun belakangan ini, Indonesia memang sedang diguncang berbagai bencana
alam hampir di seluruh negeri, mulai dari tsunami, banjir, tanah longsor, gempa, gunung
meletus, dan masih banyak jenis bencana lainnya, seperi kelaparan, kemiskinan dan konflik
sosial. Beragam teori telah diajukan untuk menjelaskan penyebab terjadinya bencana, mulai
dari penggundulan hutan, lahan kritis, penyalahgunaan penggunaan lahan, sampai global
warming.
Sejak tahun 1900, secara empiris dampak bencana alam telah menyebabkan lebih dari
62 juta orang meninggal. Sekitar 85% di antaranya terjadi antara tahun 1900 dan 1950, dan
cenderung dipicu oleh bencana peperangan, wabah penyakit, maupun kelaparan. Namun sejak
tahun 1990, dampak kematian akibat bencana telah mengalami peningkatan, dimana lebih dari 1
juta orang meninggal dalam bencana alam. Pada tahun 2005, Palang Merah Internasional mencatat
negara-negara yang mengalami banyak bencana alam antara lain Kosta Rika, El Savador,
Guatemala, India, Meksiko, Nikaragua, Pakistan, Paraguay, Republik Afrika Tengah,
Romania, Sudan, dan Indonesia.
Kesadaran akan pentingnya upaya pengurangan risiko bencana telah mulai muncul pada
dekade 1990-1999 yang dicanangkan sebagai Dekade Pengurangan Risiko Bencana
Internasional. Upaya untuk mengurangi risiko bencana secara sistematik membutuhkan
pemahaman dan komitmen bersama dari semua pihak terkait terutama para pembuat keputusan
(decision makers). Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam
Resolusi Nomor 63 tahun 1999 telah menyerukan kepada Pemerintah di setiap negara untuk

2
menyusun dan melaksanakan Rencana Aksi Pengurangan risiko Bencana Nasional untuk
mendukung dan menjamin tercapainya tujuan dan sasaran pembangunan berkelanjutan.
Di samping itu, tuntutan global untuk melakukan pengurangan resiko bencana juga
diikat oleh komitmen global yang tertuang dalam Kerangka Aksi Hyogo (Hyogo Framework for
Action/ HFA) 2005-2015 yang menganjurkan seluruh negara di dunia agar menyusun
mekanisme terpadu pengurangan risiko bencana yang didukung kelembagaan dan kapasitas
sumber daya yang memadai. Ketiga hal ini belum menjadi prioritas di Indonesia.
Mencermati kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis, pada kenyataannya
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki tingkat kerawanan tinggi terhadap
terjadinya bencana, baik yang disebabkan oleh faktor alam, faktor non-alam maupun faktor
manusia. Pada umumnya, risiko bencana alam meliputi bencana akibat faktor geologi (gempa
bumi, tsunami, dan letusan gunung berapi), bencana akibat hidrometeorologi (banjir, tanah
longsor, kekeringan, angin topan), bencana akibat faktor biologi (wabah penyakit manusia,
penyakit tanaman/ternak, hama tanaman) serta kegagalan teknologi (kecelakaan industri,
kecelakaan transportasi, radiasi nuklir, pencemaran bahan kimia). Bencana akibat ulah manusia
terkait dengan konflik antar manusia akibat perebutan sumber daya yang terbatas, alasan
ideologi, religius serta politik. Sedangkan kedaruratan kompleks merupakan kombinasi dari situasi
bencana pada suatu daerah konflik.
Meskipun perencanaan pembangunan di Indonesia telah didesain sedemikian rupa
dengan maksud dan tujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat, meningkatkan rasa keadilan,
serta meminimalkan dampak perusakan yang terjadi pada lingkungan serta melindungi
masyarakat terhadap ancaman bencana. Namun pelaksanaannya masih acapkali terkendala upaya
penanganan yang tidak sistemik dan kurang koordinatif. Kelembagaan penanganan bencana yang
ada belum memilikikewenangan yang memadai dan mekanisme yang ada saat ini hanya
terbatas pada mekanisme penanganan tanggap darurat.
Menurut Charles Cohen dan Eric Werker dari Harvard Business School dalam
artikelnya yang berjudul The Political Economy of Natural Disasters, berpendapat bahwa
bencana alam cenderung terjadi lebih sering dan beragam pada negara miskin yang dikelola
dengan sistem politik yang buruk. Sejauh mana intervensi politik terjadi, nampaknya sangat
berpengaruh pada intensitas penanganan bencana alam tersebut.
Konteks ini menunjukkan bahwa Pemerintah dapat melakukan distribusi kekuatan politik
melalui pembelanjaan untuk menangani bencana alam. Pemerintah yang tak punya pendanaan

3
bagus akan terkena racket effect, yaitu secara sengaja memanipulasi populasi korban untuk
menarik bantuan dari luar. Persoalan menjadi semakin meruncing ketika sifat pemerintahnya
adalah koruptif, sehingga posisi pemerintah justru memiliki kemampuan untuk menggandakan
penyusutan tersebut.
Menurut kajian Cohen dan Walker, ternyata ada bias dalam pembelanjaan dana
bencana yang bersumber dari anggaran sendiri dibandingkan dari anggaran lain. Semakin
banyak pemerintah menggunakan dana dari anggaran sendiri dan tidak mengambil dana dari
sumber lain, bencana alam yang terjadi akan lebih sedikit.
Sebagai negara yang memiliki banyak wilayah yang rawan bencana, Indonesia sangat
berkepentingan untuk bisa menangani bencana secara lebih baik. Kompleksitas dari
permasalahan bencana tersebut memerlukan suatu penataan atau perencanaan yang matang
dalam penanggulangannya, sehingga dapat dilaksanakan secara terarah dan terpadu. Namun
demikian, secara umum penanggulangan bencana yang dilakukan selama ini belum didasarkan
pada langkah-langkah yang sistematis dan terencana, sehingga seringkali terjadi tumpang tindih
dan bahkan terdapat langkah upaya yang penting tidak tertangani.
Dalam rangka membangun kesatuan tindak pelaksanaan penanggulangan bencana yang
terencana, terpadu, terkoordinasi dan menyeluruh di tingkat daerah, maka keberadaan
kelembagaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) yang memiliki kewenangan
sendiri menjadi sesuatu yang amat penting. Keberadaan lembaga BPBD di Kabupaten atau Kota
bukan sesuatu yang absurd, namun hal itu menjadi penting sejalan dengan tuntutan dengan
Kerangka Aksi Hyogo, UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Peraturan
Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana;
Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan
Bencana; Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2008 tentang Peran Serta Lembaga
Internasional dan Lembaga Asing Non-pemerintah dalam Penanggulangan Bencana; Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 46 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja
Badan Penanggulangan Bencana Daerah.
Oleh karena karena persoalan penanganan bencana tidak sekedar hanya mengelola saat
bencana saja, namun juga pada proses sebelum dan sesudah terjadinya bencana sehingga dapat
mengurangi risiko atau dampak yang timbul dari bencana. Saat ini, telah ada perubahan
paradigm dalam penanganan bencana di Indonesia yang menyangkut tiga hal, yakni: a).
Penanganan bencana tidak lagi berfokus pada aspek tanggap darurat tetapi lebih pada

4
keseluruhan manajemen risiko, b). Perlindungan masyarakat dari ancaman bencana oleh
pemerintah merupakan wujud pemenuhan hak asasi rakyat dan bukan semata-mata karena
kewajiban pemerintah, c). Penanganan bencana bukan lagi menjadi tanggung jawab
pemerintah tetapi menjadi urusan bersama masyarakat. Sejalan dengan hal tersebut, maka
kehadiran kelembagaan baru, yakni Badan Penanganan Bencana Daerah (BPBD) di Kota Kediri
menjadi sangat penting dan mendesak untuk ditetapkan.
2. Identifikasi Masalah
2.1. Permasalahan Yang dihadapi

Sejalan dengan keluarnya UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana;


PP No. 21 Tahun 2008; PP No. 22 Tahun 2008; PP No. 23 Tahun 2008 serta Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 46 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Badan
Penanggulangan Bencana Daerah, maka permasalahan yang dihadapi Pemerintah Kota Kediri,
antara lain :
1. Meskipun telah banyak produk hukum daerah yang ditetapkan untuk mendukung
pelaksanaan penyelenggaraan otonomi daerah, namun penyediaan produk hukum daerah
yang menaungi kewenangan kelembagaan pengelolaan penanganan bencana daerah
(BPBD) secara fungsional dan optimal di Kota Kediri belum terwujud dan saat ini
masih berbentuk task force'.
2. Belum memadainya kinerja aparat dan sarana prasarana penanggulangan bencana sebagai
akibat belum adanya wadah kelembagaan yang bersifat fungsional dan optimal;
3. Masih rendahnya kesadaran dan pemahaman bagi aparat dan masyarakat terhadap resiko
bencana dan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana sebagai akibat belum adanya
lembaga yang bersifat fungsional dan optimal;
4. Belum optimalnya fungsi koordinasi dan sinkronisasi antara pemerintah pemerintah daerah
dengan stakeholder lainnya, seperti kecamatan, kelurahan/desa dan Masyarakat dalam
rangka pendataan mengenai daerah rawan bencana;
5. Belum tersedianya sarana dan Prasarana yang memadai untuk upaya komprehensif dalam
penanggulangan bencana, baik upaya rehabilitasi maupun rekonstruksi wilayah.
6. Belum optimalnya pemanfaatan jaringan informasi dan komunikasi yang efektif dalam
penyebaran informasi kebencanaan kepada masyarakat;

5
7. Belum terintegrasinya pengurangan resiko bencana dalam perencanaan pembangunan
secara efektif dan berkesinambungan.
8. Masih terbatasnya alokasi dan pendanaan terhadap kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi
yang bersumber dari dana daerah.

2.2. Kebutuhan Rancangan Perda

Seiring dengan persoalan di atas, maka menyusun sebuah produk hukum daerah terutama
terkait dengan pembentukan lembaga BPPD Kota Kediri menjadi penting. Selama ini, dalam
perancangan Peraturan Daerah, masyarakat hanya menjadi obyek, bukan subyek. Masyarakat
seringkali tidak diajak serta dalam proses perancangan Peraturan Daerah, padahal, masyarakat
berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan Peraturan Daerah,
Peraturan Kepala Daerah, dan /atau Peraturan Bersama Kepala Daerah 1.
Dengan ditetapkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 53 tahun 2011 tentang
Pembentukan Produk Hukum Daerah, diharapkan pembentukan produk hukum daerah yakni berupa
perda pembentukan BPBP Kota Kediri akan menjadi landasan yuridis secara lengkap, terpadu,
memenuhi asas, dan materi muatan yang lebih baik.
Secara selintas, maka substansi yang ada dalam Undang-Undang No 24 Tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana juga menjelaskan mengenai keterlibatan masyarakat. Berdasarkan
Pasal 26 mengenai Hak dan Kuwajiban Masyarakat, terutama pada ayat d.) masyarakat berperan serta
dalam perencanaan, pengoperasian, dan pemeliharaan program penyediaan bantuan pelayanan
kesehatan termasuk dukungan psikososial; e). Masyarakat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan
terhadap kegiatan penanggulangan bencana, khususnya yang berkaitan dengan diri dan
komunitasnya; f). Masyarakat melakukan pengawasan sesuai dengan mekanisme yang diatur
atas pelaksanaan penanggulangan bencana.
Sejalan dengan kondisi tersebut, maka kebutuhan untuk penyusunan Peraturan Daerah
untuk pembentukan Kelembagaan BPBD Kota Kediri menjadi sangat penting. Paling tidak, ada
lima alasan, antara lain :

1
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Pasal 39 ayat (1) jo. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2011
tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, Pasal 90 Ayat (1).

6
1. Keberadaan Perda pembentukan kelembagaan BPBD Kota Kediri akan meningkatkan
optimalisasi pengelolaan dan penanganan bencana, baik prabencana, saat bencana dan pasca
bencana dalam skala Kota.
2. Adanya payung hukum yang dapat menguatkan peran dan fungsi kelembagaan BPBD dalam
menjalankan tugas pokok dan fungsi keseharian untuk mengurangi bencana di Kota Kediri, baik
bencana alam maupun sosial secara optimal.
3. Dapat menguatkan proses koordinasi, sinkronisasi dan harmonisasi antar kelembagaan dalam
memaksimalkan penanganan dan pengelolaan bencana sehingga bisa menekan resiko bencana.
4. Memudahkan dalam pengambilan keputusan serta mempercepat proses penanganan bencana.
5. Mengoptimalkan pemanfaatan anggaran yang dapat digali baik melalui APBD maupun
kerjasama dengan lembaga lain untuk dapat mengotimalkan proses pengelolaan dan
penanganan bencana di Kota Kediri.

2.3. Pertimbangan Filosofis

Pertimbangan filosofis merupakan landasan filsafat atau pandangan yang menjadi dasar
cita-cita sewaktu menuangkan suatu masalah ke dalam peraturan perundang-undangan. Dasar
filosofis sangat penting untuk menghindari pertentangan peraturan perundang-undangan yang
disusun dengan nilai-nilai yang hakiki dan luhur di tengah-tengah masyarakat, misalnya etika,
adat, agama dan lain-lain.
Sejalan dengan kebutuhan pembentukan peraturan daerah yang baru, maka
pertimbangan filosofis sejalan dengan substansi materi Amandemen UUD 1945 yang
menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia bertanggung jawab melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan tujuan untuk
memberikan perlindungan terhadap kehidupan dan penghidupan, yang termaktub didalamnya
adalah perlindungan atas terjadinya bencana, guna mewujudkan kesejahteraan umum yang
berlandaskan Pancasila. Dinyatakan pula dalam undang-undang No 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana, bahwa penanggulangan bencana merupakan urusan bersama
pemerintah, masyarakat, dunia usaha, organisasi nonpemerintah, internasional, maupun pemangku
kepentingan (stakeholders) lainnya.

7
2.4. Sasaran yang akan diwujudkan

Sasaran yang akan diwujudkan dengan tersedianya peraturan Daerah tentang


Kelembagaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Kediri, antara lain:
1. Terwujudnya kesadaran, kesiapan dan kemampuan (pemerintah dan masyarakat) dalam
upaya penanggulangan bencana dan penanggulangan bencana melalui peningkatan
kapasitas ditingkat pusat dan daerah.
2. Terwujudnya sistem penanganan kedaruratan bencana yang efektif melalui peningkatan
koordinasi penanganan kedaruratan, peningkatan sarana dan prasarana pendukung, serta
peningkatan sistem logistik dan peralatan penanggulangan bencana yang efektif dan efisien.
3. Terwujudnya upaya rehabilitasi dan rekonstruksi yang lebih baik dibanding sebelum ,
melalui peningkatan kapasitas perencanaan rehabilitasii dan rekonstruksi yang handal,
peningkatan koordinasi pelaksanaan serta pengarusutamaan pengurangan risiko bencana
dalam setiap kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi dalam rangka pembangunan berkelanjutan.

2.5. Pokok Masalah

Berdasarkan kajian dan temuan-temuan empiris tersebut di atas, maka terdapat empat
persoalan dalam penyusunan kelembagaan BPPD Kota Kediri, yaitu:
1) Bagaimanakah persoalan penanganan bencana sebagai bagian dari kehidupan berbangsa,
bernegara, dan bermasyarakat mampu diatasi oleh pemerintahan Kota Kediri ?
2) Bagaimanakah bentuk produk hukum Daerah tentang Pembentukan BPBD Kota Kediri
yang mampu merefleksikan dan mengakomodir kewenangan daerah yang terdesentralisir ?
3) Pertimbangan-pertimbangan filosofis apa saja yang mampu memperkuat legitimasi produk
hukum daerah baru ?
4) Jangkauan dan materi apa yang perlu diatur sehingga produk hukum daerah baru tidak
bertentangan dan overlap dengan produk hukum diatasnya ataupun produk peraturan
sejenis lainnya ?

8
3. Maksud dan Tujuan

Seiring dengan hal tersebut, maka maksud dan tujuan penyusunan naskah akademis
ini dimaksudkan untuk memberikan deskripsi mengenai persoalan mendasar dan kebutuhan
Pembentukan Produk-Produk Hukum Daerah, yakni Rancangan Pembentukan Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Kediri. Terkait dengan tujuan dibuatnya naskah
akademis ini, antara lain:
1. Memberikan landasan dan kerangka pemikiran bagi Produk Hukum Daerah, yakni
Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Kediri.
2. Memberikan kajian dan kerangka filosofis, sosiologis, dan yuridis tentang perlunya Produk
Hukum Daerah, tentang Rancangan Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah
(BPBD) Kota Kediri
3. Mengkaji dan meneliti pokok-pokok materi apa saja yang ada dan harus ada dalam Rancangan
Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Kediri
4. Melihat keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya sehingga
jelaskedudukan dan ketentuan yang diaturnya.

4. Metode
4.1. Metode Kajian

Metode yang digunakan dalam penyusunan Naskah Akademik Pembentukan Badan


Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) yakni melalui metode penelitian normatif yang
berpangkal pada pendekatan pendekatan perundang-undangan (statute approach) yaitu dengan
mengkaji dan menganalisis keterhubungan antara Peraturan Daerah dan beberapa undang-undang
yang berkaitan dan relevan dengan topik masalah yang akan diteliti. Dalam konteks
penelitian hukum, pengkajian ini dapat digolongkan sebagai penelitian normatif-doktrinal dengan
pendekatan konseptual (conseptual approach).
Melalui pendekatan konseptual, maka penyusunan Naskah Akademik akan merujuk
pada prinsip-prinsip hukum yang dapat diketemukan dalam pandangan-pandangan sarjana
atau doktrin-doktrin hukum. Metode analisis yang digunakan adalah metode analisis krisis
(critical analysis) melalui pendekatan analisis komprehensif (comprehensive analysis). Melalui
pendekatan ini, sajian dalam Naskah Akademik tidak mengungkapkan hal-hal yang kurang

9
sempurna, akan tetapi juga mengapresiasi segi keunggulan (secara filosofis, sosiologis, dan
yuridis) dan sekaligus menawarkan solusi terhadap objek permasalahan yang dikaji.
Penulisan hukum ini menggunakan 3 (tiga) macam sumber hukum, yakni: a). Bahan
Hukum Primer digunakan peraturan perundang-undangan yang berkaitan antara lain
Amandemen UUD 1945, UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Peraturan
Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana;
Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan
Bencana; Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2008 tentang Peran Serta Lembaga
Internasional dan Lembaga Asing Non-pemerintah dalam Penanggulangan Bencana;
Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 46 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Badan
Penanggulangan Bencana Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 53 tahun 2011 tentang
Pembentukan Produk Hukum Daerah, b) . Bahan Hukum Sekunder yang akan digunakan
adalah buku-buku hukum yang dibuat oleh scholar jurnal hukum dan makalah serta hasil
penelitian. c). Bahan Hukum Tertier, berupa berita pada berbagai media massa.

4.2. Metode Analisis

Keseluruhan data yang diperoleh selama kajian berangsung, baik data primer, sekunder
dan tertier, ditelaah dan dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif. Hasil
penalaran dalam analisis kualitatif tersebut pada akhirnya mendeskripsikan tentang berbagai
kesimpulan untuk mengatasi permasalahan yang menjadi objek kajian.

4.3. Sistematika Kajian

Naskah akademik Produk Hukum Daerah, yakni Rancangan Pembentukan Peraturan


Daerah tentang Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana (BPBD) Kota Kediri akan
disusun dengan sistematika sebagai berikut :

10
Bab I. Pendahuluan,
Dalam bab pendahuluan ini akan digambarkan mengenai empat hal, yakni latar
belakang, identifikasi masalah dan tujuan serta kegunaan penyusunan Naskah
Akademik dan metode.
Latar belakang akan memuat pemikiran dan alasan-alasan perlunya penyusunan
Naskah Akademik sebagai acuan pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tertentu.
Dalam latar belakang dijelaskan mengapa pembentukan Rancangan Peraturan Daerah
perlu suatu kajian teori atau pemikiran ilmiah.
Identifikasi masalah akan digambarkan mengenai rumusan mengenai masalah apa yang
akan ditemukan dan memuat 4 (empat) pokok masalah, yaitu: 1). Bagaimanakah
persoalan penanganan bencana sebagai bagian dari kehidupan berbangsa,bernegara, dan
bermasyarakat mampu diatasi oleh pemerintahan Kota Kediri ?. 2). Bagaimanakah
bentuk produk hukum Daerah tentang Pembentukan BPBD Kota Kediri yang mampu
merefleksikan dan mengakomodir kewenangan daerah yang terdesentralisir ?. 3).
Pertimbangan-pertimbangan filosofis apa saja yang mampu memperkuat legitimasi
produk hukum daerah baru ?. 4). Jangkauan dan materi apa yang perlu diatur sehingga
produk hukum daerah baru tidak bertentangan dan overlap dengan produk hukum
diatasnya ataupun produk peraturan sejenis lainnya ?
Merumuskan tujuan dan kegunaan penyusunan Naskah Akademik adalah sebagai
acuan atau referensi penyusunan dan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah. Di
samping itu, penyusunan Naskah Akademik pada dasarnya merupakan suatu kegiatan
penelitian sehingga digunakan metode penelitian hukum atau penelitian lainnya dalam
mendapatkan keakuratan data yang dapat dibutuhkan sebagai bahan analisis.

Bab II Kajian Teoritis dan Praktis Empiris


Dalam bab ini akan diuraikan mengenai materi yang bersifat teoretis, asas, praktik,
perkembangan pemikiran, serta implikasi sosial, politik, dan ekonomi, keuangan
negara dari pengaturan dalam suatu Peraturan Daerah. Bab ini akan mengkaji
permasalahan yang dijadikan usulan Rancangan Peraturan Daerah melalui empat
kajian, yakni: a. Kajian Teoritis, b Kajian Asas/Prinsip, c. Kajian Empirik, dan d. Kajian
implikasi penerapan.

11
Bab III Evaluasi dan Analisis Peraturan Perundang-Undangan
Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai hasil kajian terhadap peraturan perundang-
undangan terkait yang memuat kondisi hukum yang ada, keterkaitan Peraturan Daerah
baru dengan peraturan perundang-undangan lain, harmonisasi secara vertikal dan
horizontal, serta status dari peraturan perundang-undangan yang ada, termasuk peraturan
perundang-undangan yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku serta peraturan
perundang-undangan yang masih tetap berlaku karena tidak bertentangan dengan
Peraturan Daerah yang baru.
Kajian terhadap peraturan perundang-undangan ini dimaksudkan untuk mengetahui
kondisi hukum atau peraturan perundang undangan yang mengatur mengenai
substansi atau materi yang akan diatur. Dalam kajian ini akan diketahui posisi dari
Peraturan Daerah yang baru. Analisis ini dapat menggambarkan tingkat sinkronisasi,
harmonisasi peraturan perundang-undangan yang ada serta posisi dari Peraturan
Daerah untuk menghindari terjadinya tumpang tindih pengaturan. Hasil dari
penjelasan atau uraian ini menjadi bahan bagi penyusunan landasan filosofis dan yuridis
dari pembentukan atau Peraturan Daerah yang akan dibentuk.

Bab IV Landasan Filosofis, Sosiologis dan Yuridis


Dalam bab ini akan digambarkan mengenai landasan filosofis, Sosiologis dan Yuridis
untuk mendukung rencana peraturan daerah. Landasan filosofis untuk
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan
hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah
bangsa Indonesia yang bersumber dariPancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa
peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai
aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai
perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara. Kemudian Landasan
yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan
yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan
hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang
akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.

12
Bab V Jangkauan, Arah Pengaturan, dan Ruang Lingkup Materi Muatan Peraturan Daerah
Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai ruang lingkup materi muatan Rancangan
Peraturan Daerah yang akan dibentuk. Kemudian ruang lingkup materi yang akan
dijelaskan akan mencakup: a. ketentuan umum memuat rumusan akademik mengenai
pengertian istilah, dan frasa; b. materi yang akan diatur; c.ketentuan sanksi; dan d.
ketentuan peralihan.

Bab VI Penutup
Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai kesimpulan dan saran. Kesimpulan akan
memuat rangkuman pokok pikiran yang berkaitan dengan praktik penyelenggaraan,
pokok elaborasi teori dan asas yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya.
Bab VII Daftar Pustaka
Daftar pustaka memuat buku, Peraturan Perundang-undangan, dan jurnal yang menjadi
sumber bahan penyusunan Naskah Akademik.

13
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. Pendahuluan

Dalam sistem negara kesatuan, maka hubungan antar pemerintah pusat dan daerah
berlangsung secara inklusif (inclusif authority model) dimana otoritas pemerintah daerah tetap
dibatasi oleh pemerintah pusat melalui suatu sistem kontrol yang berkaitan dengan
pemeliharaan kesatuan. Dalam rangka menjaga keharmonisan hubungan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah dalam Sistem Negara Kesatuan, maka telah dilakukan
pembagian kekuasaan dan kewenangan penyelenggara kepemerintahan melalui sistem
desentralisasi.
Salah satu aspek mendasar dalam sistem desentralisasi adalah adanya pembagian
pembagian urusan dan kewenangan antara pemerintahan pusat dan pemerintah daerah yang
secara umum diatur melalui UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Sebagai daerah otonom, maka Pemerintah Daerah memiliki kewenangan dalam seluruh
bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan
keamanan, peradilan, moneter, fiskal dan agama serta kewenangan bidang lain. Kewenangan di
bidang pemerintahan yang tidak diserahkan kepada daerah menjadi wewenang pemerintah pusat
dalam wujud dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

14
Dalam rangka melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan Daerah, maka Daerah diberi
kewenangan untuk menetapkan Peraturan Daerah sebagai sumber hukum untuk melaksanakan
otonomi dan tugas pembantuan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 136 ayat (1) UU No 32 Tahun
2004, yang menyatakan bahwa perda merupakan salah satu sarana dalam penyelenggaraan
otonomi daerah. Perda merupakan produk hukum yang dapat dibuat melalui prakarsa
inisiatif DPRD maupun Kepala Daerah sebagai penjabaran lebih lanjut dari perundang-undangan
yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.
Meskipun penyusunan Perda dapat diinisiasi oleh Kepala Daerah maupun DPRD,
akan tetapi hal mutlak yang harus dipenuhi adalah proses kajian ilmiah yang harus dilakukan
sebelumnya. Menurut UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan jo Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Produk Hukum Daerah diartikan sebagai naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan
hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam ranperda Provinsi, atau ranperda
Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.
Sejalan dengan peraturan tersebut terlihat bahwa penyusunan Perda merupakan kegiatan
ilmiah yang dapat dituangkan dalam penjelasan ataupun naskah akademik. Hal ini seiring dengan
materi dalam Pasal 56 dan Pasal 63, maka ranperda baik yang berasal dari DPRD atau yang
berasal dari Kepala Daerah disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik.
Hal sama juga dikuatkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2011
tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah pada Pasal 17 ayat (1) yang menyebutkan
pimpinan SKPD menyusun ranperda disertai naskah akademik dan/atau penjelasan atau
keterangan yang memuat pokok pikiran dan materi muatan yang diatur.Demikian pula Pasal
27 menyebutkan ranperda yang berasal dari DPRD dapat diajukan oleh anggota DPRD, komisi,
gabungan komisi atau balegda disampaikan secara tertulis kepada pimpinan DPRD disertai
naskah akademik dan/atau penjelasanatau keterangan yang memuat pokok pikiran dan materi
muatan yang diatur.
Mendasarkan hal tersebut, maka dalam rangka penyusunan Naskah Akademik
Pembentukan Produk Hukum Daerah Kota Kediri tentang Pembentukan Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) akan dibahas mengenai empat kajian, yakni: a.
Kajian Teoritis; b. Kajian Asas/ Prinsip, c. Kajian Empirik, dan d. Kajian implikasi penerapan

15
B. Kajian Teoritis
Human Security, Disaster Management dan Social Aspect

Human security merupakan ide tambahan dari para ekspansionis mengenai perspektif
pembangunan manusia (human development) melalui perhatiannya secara langsung untuk
penurunan resiko (downside risk). Human security sama halnya seperti pembangunan
manusia, dan merupakan dimensi sosial yang penting dalam sustainable development yang
memiliki tiga pilar, yaitu: a) lingkungan, b) ekonomi dan c) sosial (Khagram, Clare and Radd,
2003). Disaster management secara langsung memiliki konotasi seperti human security.
Banyak bencana alam seperti banjir, tsunami dan kemarau yang secara langsung
berhubungan dengan penurunan lingkungan dan perubahan iklim. Kejadian ini
mempengaruhi masyarakat miskin terutama dalam kehidupan, kepemilikan dan mata
pencahariannya.
Konsep vulnerability (sifat mudah kena serangan) adalah kunci dan konsep umum untuk
human security dan manajemen bencana. Human security difokuskan pada analisis siapa yang
mudah terkena serangan, bagaimana tindakan yang dilakukan melalui orang lokal dan
kondisi yang mempengaruhi sifat mudah kena serangan, serta tindakan apa yang dapat dilakukan
untuk mengurangi atau meredakan sifat mudah kena serangan (mitigate vulnerability). Korelasi
yang bagus dibangun oleh Vaux dan Lund (2003), dimana dampak kemarau tahun 2000 dan
bencana tahun 2001 di Gujarat India menggambarkan fokus yang spesifik pada keamanan mata
pencaharian para wanita di pedesaan.
Pengembangan institusional pada usaha skala kecil telah banyak menolong usaha
mereka untuk beberapa waktu yang lama. Sementara itu menurut Adger, Kelley dan Nguyen
(2001) untuk membatasi pengaruh kerusakan lingkungan pada mata pencaharian individu,
perluasan prospek kelangsungan pertumbuhan ekonomi dengan jalan mengurangi vulnerability,
mempertinggi daya juang dan mempromosikan strategi yang adaptive merupakan sesuatu
yang penting dan kritis untuk kehidupan lebih baik bagi petani, penangkap ikan, penduduk
hutan dan penduduk kota di Vietnam.
Secara signifikan telah terjadi peningkatan bencana alam pada akhir dekade ini, baik
dinegara maju maupun negara berkembang. Kenyataan ini telah mengkonstruksi sebuah
kebutuhan akan pengakuan pentingnya tindakan antisipasi persiapan bencana secara terencana.
Hingga awal tahun 1990an, ada kecenderungan penekanan pada aspek teknis didalam

16
pendekatan kesiapan keadaan terhadap bencana. Namun demikian, melalui International
Decade for Natural Disaster Reduction (1990-1999), kepentingan aspek social dinilai sebaik
aspek teknik dan secara perlahan akhirnya dapat diakui dalam The United Nations World
Conference on Disaster Reduction (UNISDR, 2005). Jepang dikenal sebagai negara yang sangat
rentan dan mudah kena bencana, karena menduduki peringkat 4 dunia dalam evaluasi fisik
terhadap badai tropis (UNDP 2004).
Sejak pengalaman gempa bumi Kobe, telah terjadi peningkatan kesadaran pentingnya
aspek social dalam menghadapi bencana, khususnya kapasitas masyarakat untuk
meresponnya. Pemerintahan local (local government) telah menetapkan Jishubosaisoshiki
(organisasi sukarela untuk antisipasi persiapan bencana) untuk mengembangkan masyarakat
didasarkan antisipasi persiapan bencana. Karenanya, banyak kasus dimana kegiatan
didasarkan pada msyarakat menjadi sangatlah penting. Kunci pertanyaan adalah apakah
pemerintahan local akan menghitung kemajuan kesuksesan implementasi dari kegiatan
pencegahan antisipasi bencana didasarkan pada masyarakat ?.

Social Capital dan Local Knowledge

Nakagawa and Shaw (2004) mencatat bahwa social capital (SC) memainkan peran
penting didalam proses merekonstruksi akibat bencana Kobe tahun 1995 dan bencana
Gujarat pada tahun 2001. Konsep Social Capital sekarang ini telah banyak menarik perhatian
dari agen pembangunan dan institusi-institusi penelitian. Menurut Miyagawa (2004), SC telah
diakui sebagai the basics of governance in the economic society of the present age . Seiring
dengan meningkatnya perhatian terhadap SC, maka telah banyak definisi yang diciptakan.
Menurut Putnam et al (1993) Social Capital didefinisikan sebagai ..features of social
organization, such as trust, norms [or reciprocity], and networks [of civil engagement], that can
improve the efficiency of society by facilitating coordinated actions. Sementara menurut The
World Bank (2000), Social Capital didefinisikan sebagai ....the institutions, relationships,
and norms that shape the quality and quantity of a society's social interactions. Hal senada
diungkapkan juga oleh Narayan (1997) yang mendefinisikan SC sebagai ....the rules, norms,
obligations, reciprocity and trust embedded in social relations, social structures and society's
institutional arrangements which enable its members to achieve their individual and community
objectives.

17
Analisis Putnam et al. (1993) mengenai social capital telah banyak menimbulkan
kontroversi diantara banyak ilmuwan social, khususunya dalam lapangan pembangunan. Mesipun
demikian, studi Social capital telah meluas dan berkembang menjadi banyak. Teori social
capital akhirnya telah banyak diaplikasikan dalam beragam disiplin. Putnam (2000)
memfokuskan fungsi Social capital dan membedakan antara ikatan (bonding) and pertemuan
(bridging). Ia menyatakan bahwa ikatan (bonding) berhubungan dengan Social Capital di dalam
kemasyarakatandimana setiap individu selalu mengetahui orang lain. Dengan kata lain, pertemuan
(bridging) menunjuk pada hubungan diantara individu yang tidak diketahui sebelumnya. Ikatan
(Bonding) adalah baik untuk membangun hubungan timbal-balik secara khusus dan
memobilisasi solidaritas di dalam masyarakat.
Sementara pertemuan (bridging), merupakan hal terbaik untuk membangun hubungan
pada asset eksternal dan untuk penyebaran informasi. Menurut Uphoff (1999) SC dapat
dibedakan menjadi dua, yakni antara structural dan cognitive. Structural berisi beragam
bentuk dari organisasi social, termasuk peran, aturan, sesuatu yang dapat dijadikan contoh
dan prosedure sebagus beragam jaringan yang memberi kontribusi terhadap kerjasama, sementara
cognitive berisi norma, nilai, sikap dan kepercayaan. Structural dan cognitive dalam Social
Capital adalah saling melengkapi, structure menolong menterjemahkan norma dan
kepercayaan dalam koordinasi tujuan diorientasikan pada perilaku (goal-orientated behavior).
Hal ini untuk memfasilitasi hubungan yang saling menguntungkan dalam tindakan
kerjasama. Mendasarkan hal tersebut, Uphoff telah mendefinisikan Social Capital sebagai the
factors which promote useful cooperative actions such as the social organizations and systems,
norms, networks, people's sense of values, consciousness and beliefs held by members of the
community and/or concerned external parties. Terkait dengan analisis, ada empat tipe
pandangan, yakni: bonding, bridging, structural and cognitive.
Bencana alam memiliki dampak yang besar pada tingkat local, khususnya mata
pencaharian kehidupan orang. Bencana saat ini menjadi lebih kompleks dan dampak perubahan
iklim merupakan potensi besar yang banyak merugikan (Aalst and Burton, 2002). Kerusakan yang
disebabkan oleh bencana alam ditingkat komunitas di Viet Nam telah meningkat pada akhir
tahun 20-an, meskipun usaha keras telah dilakukan oleh pemerintahan Vietnam, NGO dan
masyarakat local yang dilakukan dalam program pencegahan bencana (CCFSC, 2006).
Pemerintah dan beberapa organisasi kekurangan tenaga manusia dansumber keuangan untuk
dapat mengimplementasikan program penanganan bencana secara komprehensif ditingkat

18
keluarga pada area bencana yang mudah dijangkau, dan memobilisasi kapasitas local serta
kerjasama melalui komunitas harus ditetapkan sebagai komponen utama dari perencanaan
manajemen bencana (Norton and Chantry, 2002). Komunitas telah menunjukkan sumber
kekuatan mereka, memberi kontribusi ide innovatif dan pengetahuan local, dimana mereka
dapat memobilisasi dan menggunakan dengan tepat; dapat mengambil peran penting untuk
menyelesaikan masalah yang dapat membuat dasar kontribusi pada penyiapan dampak negatif
dari bencana alam.
Banyak studi kasus dan proyek penelitian yang menunjukkan bahwa tidak ada solusi
umum khususnya untuk mengurangi resiko bencana local. Pandangan terbaru menyatakan
bahwa program pencegahan bencana telah gagal untuk membujuk orang untuk berpartispasi
sebab intervensi mereka ada kekurangan untuk keduanya yakni keinginan dan instrumen untuk
memperbolehkan orang menggunakan pengetahuan mereka sendiri. Ada keyakinan bahwa usaha
terbesar akan membuat penguatan kapasitas pada orang ditingkat local untuk membangun
didasarkan pada pengetahuan mereka sendiri dan mengembangkan metodologi yang
mempromosikan kegiatan untuk mengurangi resiko di dalam kelangsungan cara mereka.
Jika diihubungkan dengan pengetahuan masyarakat dengan teknik modern untuk mencatat
dan menganalisis resiko yang dihubungkan data, maka hal ini merupakan salah satu cara yang
dapat digunakan dan memobilisasi kapasitas masyarakat. Merealisasikan peran penting dalam
masyarakat local didalam mengidentifikasi resiko/bahaya dan kebutuhan, the Development
Workshop telah melaksanakan keterlibatan masyarakat local dalam mapping proyek
pencegahan bencana melalui Geographic Information System (GIS) di Thua Thien Hue Province,
Central Viet Nam in 2005.
Integrasi pengetahuan local sangat penting kedalam proses manajemen resiko bencana.
Ada tiga alasan untuk integrasi, yakni: (i)pemetaan bencana (a hazard map) memainkan peran
penting dalam mengidentifikasi resiko bencana, dan ini merupakan alat yang efektive untuk
membuat pengetahuan local menjadi terlihat; (ii) pengetahuan local merupakan hal utama
sebagai manajemen resiko bencana untuk local; dan (iii) pemetaan GIS memiliki keuntungan
melebihi pemetaan konvensial. Pertama dari keseluruhannya, pemetaan bencana adalah dasar
untuk pengembangan masyarakat didasarkan metodologi untuk mengkoleksi dan
menggambarkan disaster vulnerabilities dan resiko yang dibandingkan dengan isi bagian dari
pengetahuan local (Hatfield, 2006). Pemetaan bencana adalah satu yang pertama dari tahapan
penyediaan community vulnerability (Wisner et al., 2004; Noson, 2002). Pemetaan bencana

19
dan analisis data juga memberi kontribusi pada ketepatan perencanaan dan alokasi sumber
untuk persiapan keadaan bencana (Morrow, 1999). Kedua, informasi yang dibandingkan pada
pengetahuan orang lokal atau kelompok lainnya dengan rentan waktu panjang yang memiliki
pertalian dengan tanah dan hal itu merupakan sumber biophysical yang selalu menjadi bagian
dari tradisi dan oleh karena itu jarang sekali tercatat (Hatfield, 2006). Hal ini dimaknai bahwa
pengetahuan lokal sangatlah penting dari sesuatu yang tidak jelas untuk sesuatu knowledge
holders mereka sendiri.
Konsekuensinya, keutamaan tujuan dari metodologi partisipatory untuk koleksi data
membuat sesuatu yang tidak jelas menjadi jelas. Kebanyakan kesusksesan cara untuk
melakukan hal itu untuk menggunakan proses dimana cocok dengan pengetahuan local
untuk ditranfer dari pikiran mereka kedalam peta. Alasan ini perlu digarisbawahi bahwa
nilai pemetaan yang berasal dari informasi pengetahuan lokal adalah spasial yang mendasar
dan peta semuanya merupakan ruang bahasa. Pengetahuan lokal yang akan diikuti para
perencana secara cepat untuk melalukan survey yang dibutuhkan dan peluang untuk mitigasi
(Twigg, 2004).

Building Safety

Realitas kejadian bencana saat ini, acapkali merupakan penggambaran bencana besar,
seperti Kobe Earthquake pada tahun 1995 di Jepan, Tsunami di Indian Ocean tahun 2004,
Pakistan Earthquake tahun 2005, Hurricane Katrina pada tahun 2005 di USA, dan lainnya.
Pemerintah pusat dan daerah memainkan peran signifikan dalam mencegah dan mengurangi
bahaya yang disebabkan oleh bencana alam. Bagaimanapun, masyarakat local adalah orang
yang menderita dari kebanyakan bencana. Ini menunjukkan bahwa manajemen bencana
tidak hanya diperankan oleh pemerintah tetapi juga oleh masyarakat. Meskipun orang local
perlu untuk menurut ukuran pada tingkatan individu, mereka sering tidak mengakui
pentingnya ukuran yang dibawanya atau mereka tidak mengambil tindakan untuk
pencegahan atau mengurangi bahaya setiap kejadian ketika mereka pentingnya menggunakan
ukuran tersebut. Gap antara intention' dan action' merupakan satu isu krusial pada
manajemen bencana. Pendidikan bencana adalah salah satu cara untuk memecahkan persoalan
tersebut. Sekolahan dapat menyediakan pendidikan untuk semua siswa secara sama.

20
Menurut Dixit (2004), Wisner et al. (2004), dan banyak peneliti dan pekerja di NGO, UN,
dan organisasi lainnya mencatat bahwa membangun keamanan (building safety) dan pendidikan
bencana adalah signifikan khususnya dalam kasus untuk earthquake disasters. Membangun
keamanan (building safety) berguna untuk mengurangi bahaya dalam perspective jangka
pendek dan pendidikan dapat memainkan peran signifikan dalam pengembangan budaya
pengurangan bencana dari perspektive jangka panjang. Pendidikan Bencana dapat dibagi
kedalam empat tipe. Seperti menyediakan pendidikan, dimana melalui sekolah termasuk guru
dan NGO atau organisasi lainnya. Ditambahkan, mereka mendapatkan pelatihan (mock drill,
evacuation training, rescue training, other types of trainings) dan belajar dalam kurikulum
dan ekstrakurikulum yang merupakan bagian dari pembelajaran, yang berisi pendidikan
pencegahan bahaya. Kebanyak training memfokuskan pada tanggapan (response), dan beberapa
pelatihan yang tidak mencukupi untuk mempromosikan ukuran sebelum bencana dan
kondisi yang memungkinkan menjadi bahaya.
Pentingnya pendidikan pencegahan bahaya pada tingkat sekolah telah diakui melalui
kerjanya Kuriowa (1993), Arya (1993), Andrew (1998), Frew (2002) and Shaw (2004).
Shaw and Kobayashi (2001) menekankan bahwa sekolah memainkan peran penting untuk
menumbuhkan kesadaran diantara murid, guru dan orang tua. Akan tetapi, Douglas et al.
(2001) memperluas peran dipundak para peneliti, perencana dan emergency managers untuk
memfasilitasi keadaan siap-siap (preparedness). Ditambahkan, UNESCO and Kyoto University,
Japan telah mengkoleksi studi kasus untuk pengurangan bahaya dari semua bencana dudinia dan
dipublikasikan oleh mereka. Studi kasus tersebut termasuk para pendidik, aktivis, dan peneliti
dari NGOs, peneliti dari pemerintah dan institusi yang berhubungan dengan bencana.
Kebanyakan studi kasus tidak hanya difokuskan pada sekolah dan khususnya para guru
untuk dapat mengurangi bahaya (Shaw et al. 2005).

C. Kajian Azas/Prinsip

Asas legaliatas selalu berkaitan erat dengan gagasan demokrasi dan Negara hukum.
Gagasan demokrasi selalu menuntut agar setiap bentuk peraturan perundang-undangan yang
lahir harus mendapat persetujuan dari wakil rakyat. Sedangkan dalam Negara hukum
menuntut agar semua hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan kenegaraan harus
berdasarkan atas peraturan perundang-undangan.

21
Dalam hal ini salah satu asas terpenting dalam asas legalitas adalah selalu menghendaki
agar apa saja tindakan dari badan atau pejabat tata usaha negara harus berdasarkan pada peraturan
perundang-undangan.Sebab tanpa berdasarkan peraturan perundang-undangan para pejabat tata
usaha Negara ataupun badan tidak mempunyai kewenangan melakukan tindakan yang dapat
mengubah keadaan hukum warga masyarakat.
Meskipun asas legalitas menjadi penting, namun dalam pembentukan produk hukum
banyak azas lainnya yang perlu dipatuhi. Berdasarkan Undang-undang No. 10 tahun 2004 asas-
asas yang berlaku dalam peraturan perundang-undangan dibagi menjadi 3 bagian yaitu
(Achmad Ruslan, 2006:13), yaitu: 1) Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang
baik, 2) Asas yang berkaitan dengan materi muatan peraturan perundang-undangan, 3) Asas lain
yang sesuai dengan bidang hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
Asas yang berkaitan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan meliputi
tujuh (7) asas, yaitu:
1. Asas kejelasan tujuan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan
harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai;
2. Asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat adalah bahwa setiap jenis peraturan
perundang-undangan harus dibuat lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-
undangan yang berwenang baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah;
3. Asas kesesuaian antara jenis dan muatan adalah bahwa pembentukan peraturan
perundang-undangan dengan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat
dengan jenis peraturan perundang-undangan;
4. Asas dapat dilaksanakan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan
harus memperhitungkan keberlakuan atau dapat dilaksanakan-nya peraturan tersebut dalam
masyarakat baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis;
5. Asas daya guna dan hasil guna adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan dibuat
karena memang benar-benar dibutuhkan dan akan bermanfaat dalam mengatur kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
6. Asas kejelasan rumusan adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus
memenuhi persyaratan teknis penyusunan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata
atau terminology, bahasa hukumnya jelas dan mudah dimenegrti sehingga tidak
menimbulkan berbagai interpretasi dalam pelaksanaannya.

22
7. Asas keterbukaan adalah bahwa proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai
dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka.
Sementara Asas yang dikandung dalam materi muatan peraturan perundang-undangan
menyangkut sepuluh (10) azas, yaitu :
1. Asas pengayoman adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat;
2. Asas kemanusiaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan
harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM) serta
harkat dan martabat setiap warga Negara dan penduduk Indonesia secara proporsional;
3. Asas kebangsaan adalah setiap materi muatan perundang-undangan harus mencerminkan
sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik dengan tetap menjaga prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
4. Asas kekeluargaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan
harus mencerminkan musyawarah mencapai mufakat dalam pengambilan keputusan kecuali
tidak tercapai maka dilakukan voting yang harus tetap dijaga dalam semangat kekeluargaan;
5. Asas kenusantaraan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan
harus senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi
peraturan perundang-undangan merupakan bagian dari seluruh sistem hukum nasional yang
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945;
6. Asas bhineka tunggal ika adalah setiap materi muatan peraturan perundang-undangan
harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku,golongan, kondisi khusus daerah,
dan budaya khususnya yang menyangkut masalah sensitif dalm kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara;
7. Asas keadilan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa terkecuali;
8. Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan adalah bahwa setiap materi
muatan perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan latar
belakang agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.;
9. Asas ketertiban dan kepastian hukum adalah bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui
jaminan adanya kepastian hukum;

23
10. Asas keseimbangan, keserasian dan keselaran adalah bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan
antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan Negara.
Selain asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana
diuraikan di atas berlaku pula asas-asas antara lain: asas tata urutan/susunan hirarki
peraturan. Asas ini berasal dari teorinya Hans Kelsen dan Hans Nawiasky kemudian
diadopsi (secara tersirat) ke dalam Pasal 7 ayat (4) yakni Jenis peraturan perundang-
undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi dan ayat (5), yang berbunyi Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan
adalah sesuai hirarki sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan penjelasannya'.
Jika ditinjau dari materi muatan, Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, terlihat
materi ditetapkan secara bertingkat dan bersifat delegatif, yaitu:
1. Materi muatan undang-undang berisi hal-hal yang mengatur lebih lanjut ketentuan UUD yang
meliputi: hak asasi manusia, hak dan kewajiban warga negara, pelaksanaan dan penegakan
kedaulatan negara, serta pembagian kekuasaan negara, wilayah negara dan pembagian
daerah, kewarga-negaraan dan kependudukan, keuangan, serta diperintahkan oleh suatu
undang-undang untuk diatur dengan undang-undang.
2. Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) sama dengan
materi muatan undang-undang.
3. Materi muatan Peraturan Pemerintah (PP) berisi materi untuk menjalankan undang-undang
sebagaimana mestinya adalah materi muatan yang diatur dalam Peratuan Pemerintah tidak
boleh menyimpang dari materi yang diatur dalam undang-undang yang bersangkutan.
4. Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintah oleh undang-undang atau
materi untuk melaksanakan peraturan pemerintah.
5. Materi muatan Peraturan Daerah adalah keseluruhan materi muatan dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan dan menampung kondisi khusus
daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
6. Materi muatan Peraturan Desa/yang setingkat adalah materi dalam rangka penyelenggaraan
urusan desa atau setingkat serta penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi.

24
Dalam aturan ini secara tegas dinyatakan bahwa peraturan perundang-undangan tingkat
bawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Asas
tersebut diadopsi dari teori jenjang norma hukum (stufen theory).
Sejalan dengan hal tersebut, maka azas pembentukan produk hukum daerah tentang
kelembagaan BPBD Kota Kediri lebih merefleksikan teori jenjang norma hukum, dimana
produk hukum daerah tentang kelembagaan BPBD Kota Kediri merupakan turunan dari peraturan
yang lebih tinggi, yakni : 1) Amandemen UUD 1945; 2) UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana, 3) Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana; 4) Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008
tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana; 5). Peraturan Pemerintah Nomor 23
Tahun 2008 tentang Peran Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Non-
pemerintah dalam Penanggulangan Bencana; 6). Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, 7). Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 46 Tahun 2008 tentang
Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah dan 8).
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 53 tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum
Daerah.

D. Kajian Praktis Empiris

Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan lain, dan
peraturan perundang-undangan yang lain. Ketentuan ini dapat dipandang sebagai kerangka
pembatas atau koridor dalam pembentukan Peraturan Daerah. Kerangka pembatas ini penting
artinya untuk meunjukkan, bahwa meskipun daerah mempunyai hak atau wewenang mengatur
urusan rumah tangganya sendiri yang dituangkan kedalam bentuk keputusan hukum berupa
Peraturan Daerah. Namun, kewenangan itu tidak dalam artian sebagai satuan pemerintahan
yang merdaka dan berdaulat, tetapi tetap dalam bingkai negara kesatuan dan sistem peraturan
perundang-undangan secara nasional.
Esensi dan urgensi Peraturan Daerah dalam pelaksanaan Otonomi Daerah adalah
sangat strategis. Peraturan Daerah sebagai produk hukum daerah merupakan sesuatu yang
inherent dengan sistem Otonomi Daerah. Hal ini sebagai konsekuensi dari sistem Otonomi
Daerah itu sendiri yang bersendikan kemandirian yang mengandung arti bahwa Daerah
berhak mengatur dan mengurus urusan rumah tangga pemerintahannya sendiri. Kewenangan

25
mengatur disini mengandung arti bahwa daerah berhak membuat keputusan hukum berupa
peraturan perundang-undangan, yang nomenklaturnya disebut Peraturan Daerah. Dengan
demikian, kehadiran atau keberadaan Peraturan Daerah menjadi sesuatu yang mutlak dalam
mengatur urusan rumah tangga daerah, namun dalam wadah negara kesatuan yang tetap
menempatkan hubungan Pusat dan Daerah yang bersifat subordinat dan independen.
Ruang lingkup kewenangan Pemerintah Daerah dalam membuat Peraturan Daerah telah
diberikan batasan berdasarkan undang-undang. Namun ditemukan berbagai kekhasan dalam
materi muatan Peraturan Daerah yang secara khusus mencerminkan berbagai potensi yang
dimiliki oleh suatu daerah otonom. Materi muatan Peraturan Daerahsangat dipengaruhi oleh kultur
budaya dan dinamika sosial politik serta pertumbuhan ekonomi. Namun seringkali upaya
pelayanan terhadap kebutuhan dan kepentingan masyarakat ternoda oleh kecenderungan untuk
menggunakan Peraturan Daerah sebagai mekanisme untuk menambah pendapatan asli daerah
yang berujung pada tindakan represif yang justru mengorbankan kepentingan rakyat. Peran
aktif masyarakat dalam setiap proses pembuatan Peraturan Daerah diharapkan mampu
meminimalisir kesenjangan dan masalah yang dapat terjadi.
Peraturan Daerah memiliki posisi dalam sistem hirarki peraturan perundang-undangan,
sehingga keberadaannya tidak luput dalam tatanan sistem prinsip yang berlaku. Keharusan
untuk tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi serta keharusan untuk melakukan
sinkronisasi dan harmonisasi dengan peraturan perundangan lainnya adalah hal yang perlu
senantiasa dihormati dalam bingkai negara hukum.
Sejalan dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 24 Tahun 27 tentang
Penanggulangan Bencana, khususnya Pasal 25 dan Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 46 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan
Bencana Daerah, maka telah dibentuk kelembagaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah
Kota Madiun.
Pemerintah Kota Madiun telah mengapresiasi penyusunan pembentukan produk hukum
daerah yang dituangkan dalam Peraturan Daerah Nomor 01 Tahun 2011 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Kota Madiun. Adapun
sistematika Pembentukan Produk Hukum Daerah di Kota Madiun yang berupa Perda Nomor 2
tahun 2011, menyangkut duabelas (12) bab dan berisi 39 Pasal, yakni:

BAB I : KETENTUAN UMUM

26
BAB II : PEMBENTUKAN
BAB III : KEDUDUKAN, TUGAS DAN FUNGSI
BAB IV : ORGANISASI
BAB V : KELOMPOK JABATAN FUNGSIONAL
BAB VI : TATA KERJA
BAB VII : ESELON DAN KEPEGAWAIAN
BAB VIII : KOORDINASI, KOMANDO DAN PENGENDALIAN
BAB IX : PEMBINAAN, PENGAWASAN DAN PELAPORAN
BAB X : PENGEANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN
BAB XI : PEMBIAYAAN
BAB XII : PENUTUP

Sementara di Kabupaeten Bantul, sejalan dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 24


Tahun 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, khususnya Pasal 18 ayat (1) dam
Pasal 25 serta Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 46 Tahun 2008 tentang Pedoman
Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah, maka pemerintah daerah
Kabupaeten Bantul dapat membentuk badan penanggulangan bencana daerah sebagai
bagian dari perangkat daerah melalui Peraturan Daerah Nomor 06 Tahun 2010 tentang
Pembentukan, Organisasi Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaeten Bantul
yang menyangkut Sembilan (9) bab dan berisi 51 Pasal, yakni:

BAB I : KETENTUAN UMUM


BAB II : PEMBENTUKAN, KEDUDUKAN, TUGAS DAN FUNGSI
BAB III : ORGANISASI
BAB IV : TATA KERJA
BAB V : PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN
BAB VI : PEMBIAYAAN
BAB VII : LAIN-LAIN
BAB VIII : KELOMPOK JABATAN FUNGSIONAL
BAB IX : KETENTUAN PERALIHAN

27
Mendasarkan kedua Peraturan Daerah antara Peraturan Daerah Nomor 01 Tahun 2011
tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Madiun dan
Peraturan Daerah Nomor 06 Tahun 2010 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata
Kerja BPBD Kabupaten Bantul, maka secara praktis-empiris kedua daerah tersebut telah
memenuhi kebutuhan hukum atau penyesuaian produk hukum daerah.
Meskipun demikian jika dilihat banyaknya Bab, maka terlihat ada perbedaan pada jumlah
Bab. Meskipun ada perbedaan jumlah Bab,akan tetapi materi yang sebenarnya diatur dari produk
hukum daerah tersebut memiliki kesamaan antara lain menyangkut proses pembentukan,
kedudukan, tugas dan fungsi, organisasi, eselonisasi jabatan, pengangkatan dan pemberhentian
serta tata kerja organisasi.
Mendasarkan ke dua kajian empirik-praktis terhadap dua (2) produk hukum daerah,
yakni Perda di Kota Madiun dan Kabupaten Bantul, maka dapat disimpulkan beberapa hal, yakni:
1. Ada variasi penyajian sistematika terutama dilihat dari jumlah Bab terhadap produk-produk
hukum daerah,
2. Adanya keragaman dan variasi dalam menetapkan bagian, sub bagian dan paragraf dimasing-
masing Bab dan atau Pasal dalam menjelaskan objek hukum.
3. Adanya keragaman dan variasi dilihat dari jumlah Pasal dalam masing-masing produk Hukum
daerah.
4. Adanya kesamaan mengenai materi utama dalam penyusunan produk hukum daerah tentang
pembentukan BPBD yang meliputi Pendahuluan; Pembentukan; Kedudukan, Tugas dan
Fungsi; Tata kerja Organisasi;Pengangkatan dan Pemberhentian Unsur Pelaksana, dan
Penutup.

E. Kajian Implikasi

Berdasarkan sistem norma hukum berjenjang (stufen theory) yang dianut Indonesia, suatu
produk perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi. Berdasarkan kewenangan pemerintah daerah terkait dengan otonomi daerah,
maka semua kewenangan daerah, baik kewenangan yang menjadi urusan wajib dan urusan
pilihan dari masing-masing pemerintahan daerah provinsi, kabupaten/kota, dapat menjadi
materi muatan peraturan daerah sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum.

28
Apabila terjadi pertentangan antara suatu Peraturan Daerah di suatu kabupaten atau
kota yang bertentangan dengan Peraturan Daerah di kabupaten atau kota lain, maka pada
hakikatnya hal tersebut tidak berimplikasi hukum karena masing-masing memiliki kewenangan
di lingkungan atau wilayah otonominya sendiri-sendiri. Hal tersebut berbeda bilamana
kemudian Peraturan Daerah yang diterbitkan memiliki implikasi yang bersinggungan dengan
kepentingan daerah lain, sehingga timbul perselisihan. Dalam konteks ini, peranan pemerintah
pusat berfungsi menyelesaikan melalui mekanisme administratif. Upaya hukum bagi penyelesaian
konflik antara daerah otonom dan Pemerintah yang berakar pada pembatalan produk hukum
daerah otonom sebaiknya tidak dilatari oleh analogi penyelesaian konflik antara konstitusi Negara
Bagian dan konstitusi federal lewat Mahkamah Agung. Dalam Negara Kesatuan kita perlu
berpegang pada prinsip bahwa daerah otonom adalah ciptaan Pemerintah. Dengan demikian
daerah otonom hanya dimungkinkan menempuh upaya hukum melalui upaya administratif.
Peraturan Daerah yang substansinya merupakan penjabaran lebih lanjut peraturan
perundang-Undangan yang lebih tinggi, dalam ketentuan perundang-undangan tidak begitu
jelas. Namun, penjabaran lebih lanjut peraturan atau kebijakan yang lebih tinggi oleh satuan
pemerintahan yang lebih rendah dapat dilakukan dalam rangka tugas pembantuan dan
dekonsentrasi. Kabupaten dan kota tidak mempunyai hubungan dekonsentrasi dengan satuan
pemerintahan yang lebih tinggi, oleh karena itu, Peraturan Daerah sebagai penjabaran lebih
lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi hanya mungkin dalam tugas pembantuan.
Provinsi mempunyai hubungan dekonsentrasi dengan satuan pemerintah lebih tinggi (Pusat).
Akan tetapi, hubungan ini bukan dengan Pemerintah Daerah Provinsi, melainkan dengan gubernur
Sebagai Wakil Pemerintah Pusat. Oleh karena itu, tidak mungkin dibentuk Peraturan Daerah
untuk melaksanakan tugas dekonsentrasi.
Meskipun Peraturan Daerah telah ditetapkan dalam rangka penyelenggaran otonomi
daerah, akan tetapi masih banyak produkhukum daerah yang mengandung beragam
kelemahan. Kelemahan utama dalam pelaksanaan Otonomi Daerah adalah adanya pemahaman
Pemerintah Daerah bahwa kewenangan seluas-luasnya serupa dengan konsep kewenangan
negara bagian pada negara federal sehingga seringkali Pemerintah Daerah bertindak ultra
vires dalam membuat berbagai Peraturan Daerah yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku secara nasional.
Meskipun secara empiris, peraturan daerah masih banyak yang bertentangan dengan
peraturan yang lebih atasnya, namun dalam konteks pembentukan produk hukum daerah

29
tentang pembentukan BPBP Kota Kediri tidak akan bertentangan dengan ketentuan di atasnya,
akan tetapi lebih sebagai pengejawantahan dari peraturan di atasnya.
Dengan dibentuknya BPBD Kota Kediri, maka akan memiliki beberapa implikasi, antara lain:
1. Mampu muwujudkan kesadaran, kesiapan dan kemampuan (pemerintah dan masyarakat)
dalam upaya penanggulangan bencana dan penanggulangan bencana melalui peningkatan
kapasitas ditingkat pusat dan daerah,
2. Mampu mewujudkan sistem penanganan kedaruratan bencana yang efektif melalui
peningkatan koordinasi penanganan kedaruratan, peningkatan sarana dan prasarana
pendukung, serta peningkatan sistem logistik dan peralatan penanggulangan bencana yang
efektif dan efisien.
3. Mampu mewujudkan upaya rehabilitasi dan rekonstruksi melalui peningkatan kapasitas
perencanaan rehabilitasi dan rekonstruksi yang handal, peningkatan koordinasi pelaksanaan
serta pengarusutamaan pengurangan risiko bencana dalam setiap kegiatan rehabilitasi dan
rekonstruksi dalam rangka pembangunan berkelanjutan.

Pembentukan BPBD Kota Kediri diharapkan akan memberi nilai kemanfaatan yang
banyak bagi pemerintah daerah maupun masyarakat seperti tergambar dalam implikasi empiris
seperti di Kota Madiun. Kota Madiun telah membentuk BPBD melalui Perda Nomor 01 tahun
2011 tentang Pembentukan BPBD Di Kota Madiun. Dalam rentan tiga tahun, BPBD Kota Madiun
telah berhasil melaksanakan penataan unit-unit penanggulangan bencana, seperti Pemadam
Kebakaran dan Tim Reaksi Cepat (TRC) yang memiliki jejaring kuat dengan tim SAR, PMI,
Satgana dan berbagai organisasi kemasyarakatan lainnya yang bergiat dalam upaya
penanggulangan bencana. Khusus dalam kaitannya dengan penguatan jejaring dengan PMI,
pengembangan kerjasama ini menjadi salah satu kekuatan yang andal, karena Ketua PMI
dijabat oleh Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah yang juga Sekretaris Daerah,
sehingga memungkinkan optimalisasi fungsi koordinasi, pelaksana dan komando yang dimiliki
Badan Penanggulangan Bencana Daerah.

30
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN

1. Evaluasi Peraturan Daerah

Salah satu instrumen bagi pemerintah daerah dalam melaksanakan rumah tangganya
sendiri, sehingga otonominya benar-benar nyata dan bertanggung jawab, adalah Peraturan Daerah,
sebagai produk legislatif daerah yang memungkinkan pengembangan segala potensi kekhasan
daerahmendapat payung yuridis yang jelas. Sebagian kalangan memandang Perda merupakan
Local Wet, yang mempunyai prototipe yang sebangun dengan Undang-Undang (Wet) di tingkat
pusat.
Dilihat dari ruang lingkup materi muatan, cara perumusan, pembentukan dan
pengundangannya, kedudukannya dalam tata urutan (hirarkis) peraturan perundang-undangan
(algemene verbindende voor schriften) serta daya berlakunya sebagai norma hukum,
sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang No. 10 tahun 2004 jo Undang-Undang No
12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, memang pandangan yang
melihat hal ini sebagai produk hukum yang mandiri tidaklah berlebihan.
Namun demikian, pandangan ideal tentang Perda tersebut seolah-olah diciderai oleh
ketentuan Pasal 185 ayat (5) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan

31
Daerah, yang memberikan kewenangan kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) untuk
membatalkan Perda tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Perda tentang Pajak dan
Retribusi, maupun Perda tentang RUTRK.
Sepanjang tahun 2007, Departemen Dalam Negeri telah membatalkan 100 Peraturan
Daerah yang dinilai melanggar peraturan di atasnya. Sebagian besar Perda yang dibatalkan
tersebut adalah Perda yang berkaitan dengan retribusi dan pajak daerah. Dengan demikian
sejak tahun 2002 hingga tahun 2007 yang lalu, Depdagri telah membatalkan 694 Perda dari ribuan
Perda yang sedang dalam proses dievaluasi. Menurut paparan Mentri Dalam Negeri Gamawan
Fauzi sejak 2002-2009 sebanyak 1.878 perda pajak daerah dan retribusi telah dibatalkan dari
yang telah diperiksa sebanyak 2.400 dari keseluruhan Perda yaitu sebanyak 3.082 perda 2.

2
www.deddagri.go.id. Berita Depdagri tanggal 18 Januari 2011.
Berdasarkan Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana
diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, bahwa selain karena bertentangan
dengan peraturan yang lebih tinggi dan kepentingan umum, Peraturan Daerah bisa juga dibatalkan
apabila dalam proses pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku 3. Peraturan
Daerah yang dinyatakan batal, maka Peraturan Daerah tersebut tidak dapat digunakan
sebagai dasar hukum suatu tindakan pemerintahan. Apabila suatu Peraturan Daerah
dibatalkan, maka gubernur/ bupati/ walikota menghentikan pelaksanaan Peraturan Daerah
tersebut paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya peraturan pembatalan 4.
Dalam hal pembuatan APBD, apabila Menteri Dalam Negeri menyatakan hasil evaluasi
rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dan rancangan Peraturan Gubernur tentang
penjabaran APBD bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi, gubernur bersama DPRD melakukan penyempurnaan selambat-
lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya hasil evaluasi 5. Apabila hasil evaluasi
tersebut tidak ditindaklanjuti oleh gubernur dan DPRD, dan gubernur tetap menetapkan
rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dan rancangan Peraturan Gubernur tentang
penjabaran APBD menjadi peraturan daerah dan Peraturan Gubernur, maka Menteri Dalam
Negeri membatalkan Peraturan Daerah dan Peraturan Gubernur dimaksudsekaligus
menyatakan berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya 6. Hal yang sama berlaku juga untuk
rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang APBD dan rancangan Peraturan
Bupati/Walikota tentang penjabaran APBD 7.

32
Peraturan Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan dengan Peraturan Presiden
berdasarkan usulan Menteri 8. Peraturan Presiden tersebut ditetapkan paling lambat 60 (enam
puluh) hari sejak Peraturan Daerah diterima oleh Pemerintah 9.

3
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004,
Pasal 31 Ayat (2)
4
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2007, Pasal 11 Ayat (1) dan (2) serta Pasal 22 Ayat (1)
5
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan daerah, Pasal 47 Ayat (5).
6
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005, Pasal 47 ayat (6) jo Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53
Tahun 2007, Pasal 22 Ayat (2) jo. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2007 tentang Tata Cara
Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dan Rancangan Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran
APBD sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 36 Tahun 2011, Pasal 5 Ayat (2).
7
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005, Pasal 48 ayat (5) dan (6).
8
Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan Dan Pengawasan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah, Pasal 37 Ayat (4)
9
Peraturanuntuk
Sementara Pemerintah Nomor 79Kepala
Peraturan Tahun 2005, Pasal 38
Daerah Ayat (1)
yang bertentangan dengan kepentingan umum,
Peraturan Daerah dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan
dengan Peraturan Menteri 10. Peraturan Menteri tersebut ditetapkan paling lambat 60 (enam
puluh) hari setelah Peraturan Kepala Daerah diterima oleh Menteri 11.
Pembatalan Peraturan Daerah melalui mekanisme tersebut menggambarkan sistem
hukum Indonesia tidak mengenal adanya peraturan perundang-undangan yang bersifat batal
demi hukum (van rechtswege nietig), dimana yang dikenal adalah sifat dapat dibatalkan
(viernietigbaar). Dalam hal ini berlaku asas praesumptio iustae causa atau juga dikenal dengan
vermoeden van rechtmatugheid, yang berarti bahwa tindakan pemerintahan harus dianggap sah
sampai adanya pembatalan. Tindakan pemerintahan tersebut salah satunya dapat berupa
Peraturan Daerah. Peraturan Daerah tersebut dianggap sah sepanjang belum dibatalkan.
Seiring dengan realitas masih banyaknya kasus pembatalan Perda dan dipihak lain
eksistensi Perda sangat dibutuhkan sebagai instrumen pelaksanaan otonomi daerah, maka aspek
pengawasan ataupengendalian sangat dibutuhkan. Tidak terbantahkan lagi bahwa Perda adalah
salah satu Peraturan Perundang-undangan. Seperti layaknya peraturan perundang-undangan
yang lain, pembentukan Perda tidak lepas dari pengawasan dan pengendalian. Sebenarnya hal
ini berkenaan dengan kontrol terhadap norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-
undangan, melalui apa yang biasa disebut dengan mekanisme kontrol norma hukum (legal
norm control mechanism)
Menurut Jimli Asshiddiqie (2006), ada tiga bentuk pengawasan/ pengendalian (norma
hukum dalam) peraturan perundang-undangan. Pertama, kontrol yuridis, yaitu

33
pengawasan/pengendalian peraturan perundang-undangan melalui uji materil (judicial review).
Dalam sistem peraturan perundang-undangan Indonesia untuk pengujian Undang-Undang
dengan Undang-Undang Dasar menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi (Pasal 10 ayat (1)
Undang-Undang No. 24 tahun 2003. Sedangkan untuk pengujian peraturan perundang-
undangan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang menjadi kewenangan Mahkamah
Agung (Pasal 31 Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 jo Undang-Undang No. 5 Tahun 2004).
Kedua, kontrol administratif, yaitu pengawasan/pengendalian peraturan perundang-undangan
oleh eksekutif atau lembaga administrasi yang menjalankan fungsi bestuur dibidang
eksekutif.

Dalam hal ini, misalnya kontrol administratif terhadap Undang-Undang berujung pada
pengesahan oleh Presiden.
Dalam hal Presiden terdapat hal yang luar biasa yang tidak memungkinkan Undang-
Undang tersebut diberlakukan, maka Presiden berwenang mengeluarkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang yang membatalkan keberlakukan Undang-Undang yang sudah
disetujui Dewan Perwakilan Rakyat tersebut (contohnya Undang-Undang No. 14 Tahun 1992
tentang Lalu Lintas Jalan. Ketiga, kontrol politik, yaitu pengawasan/pengendalian peraturan
perundang-undangan oleh lembaga polikik misalnya parlemen. Dalam hal iniperubahan
Undang-Undang melalui jalur hak inisiatif sebagai amandemen dari Undang-Undang yang
telah disahkan oleh Presiden.
Berdasarkan hal ini, norma hukum yang terdapat dalam Perda juga tidak luput dari legal
norm control mechanism tersebut. Kewenangan Mendagri untuk membatalkan Perda APBD
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185 ayat (5) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004,
merupakan bentuk kontrol administratif Mendagri yang menjalankan fungsi bestuur.
Dengan demikian, dari segi ini, validitas kewenangan Mendagri mempunyai dasar
yang lebih kuat, apalagi apabila dilihat dari kedudukan Mendagri sebagai pejabat yang
lebih tinggi. Kedudukan Mendagri yang lebih tinggi ini, bukan saja terlihat dari produk hukum
yang dihasilkannya lebih tinggi, tetapi juga memang kedudukannya yang lebih tinggi dari
DPRD dan Gubernur.

2. Analisis Peraturan Perundang-Undangan

34
Sebelum terbentuknya Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 jo Undang undang Nomor
12 tahun 2011, menurut Maria Farida Indrati, pembentukan peraturan perundang-undangan di
Indonesia dilakukan dengan berbagai landasan, yaitu:
1. Aglemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie (Stb. 1847: 23)
2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Peraturan Tentang Jenis dan bentuk
Peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat.
3. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1950 tentang Menetapkan Undang-undang Darurat
tentang Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia Serikat dan Berita Negara
Republik Indonesia Serikat dan tentang Mengeluarkan, Mengumumkan, dan Mulai Berlakunya
Undang-undang Federal dan Peraturan Pemerintah sebagai Undang-undang Federal.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1945 tentang Pengumuman dan Mulai Berlakunya
Undang-undang dan Peraturan Pemerintah.
5. Keputusan Presiden Nomor 234 Tahun 1960 tentang Pengembalian Seksi Pengundangan
Lembaran Negara dari Departemen Kehakiman ke Sekretariat Negara.
6. Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1970 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan
Undang-undang dan Rancangan Peraturan Pemerintah.
7. Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan
Undang-undang.
8. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1999 tentang Teknik Penyusunan Peraturan
Perundang-undangan dan Bentuk Rancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan
Pemerintah, dan Rancangan Keputusan Presiden.
Tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan di tingkat daerah sebelum
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 jo Undang undang Nomor 12 tahun 2011,
diberlakukan beberapa Keputusan Menteri, antara lain:
1. Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 21 Tahun 2001 tentang Teknik
Penyusunan dan Materi Muatan Produk-produk Hukum Daerah.
2. Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 22 Tahun 2001 tentang Bentuk
Produk-produk Hukum Daerah.
3. Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 23 Tahun 2001 tentang
Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah.
4. Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 24 Tahun 2001 tentang
Lembaran Daerah dan Berita Daerah.

35
Keempat Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah tersebut diberlakukan
sambil menunggu Peraturan Presiden sebagai pelaksanaan dari Pasal 27 Undang-undang
Nomor 10 Tahun 2004. Oleh karena Peraturan Presiden yang diperintahkan sampai saat ini
masih belum ada, Menteri Dalam Negeri telah menetapkan 3 (tiga) Peraturan Menteri
sebagai pengganti Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah pada tahun 2006 dan 1
(satu) Peraturan Menteri di tahun 2011, yaitu:
1. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 tahun 2006 tentang Jenis dan Bentuk Produk
Hukum Daerah.
2. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk
Hukum Daerah.
3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 tahun 2006 tentang Lembaran Daerah dan Berita
Daerah.
4. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 53 tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum
Daerah.
Sejalan dengan berlakunya Undang undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan
Produk Perundang-undangan dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 53 tahun 2011 tentang
Pembentukan Produk Hukum Daerah, maka diharapkan pembentukan produk hukum di
daerah seperti pembentukan BPBD di Kota Kediri lebih dapat memberi jaminan kepastian hukum.

36
BAB IV
LANDASAN FILOSOFI, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS

A. Pendahuluan

Dalam doktrin-doktrin ilmu hukum keberlakuan hukum secara filosofis, sosiologis dan
yuridis merupakan syarat mutlak untuk dapat membentuk peraturan yang baik. Hal tersebut
seperti dikemukakan oleh Rosjidi Ranggawidjaja (1998:43), bahwa suatu peraturan per-
undang-undangan yang baik sekurang-kurangnya harus memiliki tiga landasan, yaitu landasan
filosofis, landasan sosiologis, dan landasan yuridis, bahkan ada yang menambahkannya
landasan politis.
Materi muatan Peraturan Daerah yang menyimpang dari landasan yuridis, mengakibatkan
Peraturan Daerah tersebut dapat dibatalkan oleh pemerintah karena bertentangan dengan
peraturan perundangan yang lebih tinggi. Sedangkan materi muatan Peraturan Daerah yang
tidak sesuai dengan aspek filosofis dan aspek sosiologis dapat menimbulkan reaksi dari
masyarakat, sehingga menuntut Peraturan Daerah bersangkutan untuk dicabut. Akibat lebih
jauh, masyarakat tidak akan mematuhi keberlakuan Peraturan Daerah tersebut.
Dalam kenyataannya, masih banyak diketemukan beragam peraturan perundang-
undangan seperti peraturan daerah yang cenderung hanya mencerminkan satu keberlakuan
saja, yakni keberlakuan secara yuridis dan mengesampingkan keberlakuan secara sosiologis dan
filosofis. Kajian filosofis akan menguraikan mengenai landasan filsafat atau pandangan yang
menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan suatu masalah ke dalam peraturan perundang-
undangan. Untuk kajian yuridis, merupakan kajian yang memberikan dasar hukum bagi dibuatnya

37
suatu peraturan perundang-undangan, baik secara yuridis formal maupun yuridis materiil,
mengingat dalam bagian ini dikaji mengenai landasan hukum yang berasal dari peraturan
perundang-undangan lain untuk memberi kewenangan bagi suatu instansi membuat aturan
tertentu dan dasar hukum untuk mengatur permasalahan (objek) yang akan diatur. Kajian
sosiologis menjelaskan peraturan dianggap sebagai suatu peraturan yang efektif apabila tidak
melupakan bagaimana kebutuhan masyarakat, keinginan masyarakat, interaksi masyarakat
terhadap peraturan tersebut.

Sehingga dalam kajian ini realitas masyarakat yang meliputi kebutuhan hukum masyarakat,
kondisi masyarakat dan nilai-nilai yang hidup dan berkembang (rasa keadilan masyarakat 12.
Seiring dengan pentingnya landasan filosofi, sosiologis dan yuridis tersebut, maka dalam
kajian Naskah Akademik Pembentukan Produk Hukum Daerah yakni Pembentukan Badan
Penanggulangan Bencana Daerah Kota Kediri akan dipaparkan mengenai tiga (3) landasan
tersebut.

B. Landasan Filosofis

Sejalan dengan kebutuhan pembentukan peraturan daerah yang baru, maka


pertimbangan filosofis sejalan dengan substansi materi Amandemen UUD 1945 yang
menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia bertanggung jawab melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan tujuan untuk
memberikan perlindungan terhadap kehidupan dan penghidupan, yang termaktub didalamnya
adalah perlindungan atas terjadinya bencana, guna mewujudkan kesejahteraan umum yang
berlandaskan Pancasila. Dinyatakan pula dalam undang-undang No 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana, bahwa penanggulangan bencana merupakan urusan bersama
pemerintah, masyarakat, dunia usaha, organisasi nonpemerintah, internasional, maupun
pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya. Sejalan dengan hal tersebut, sangatlah jelas
bahwa landasan filosofis penanggulangan bencana merefleksikan upaya untuk melindungi
segenap bangsa Indonesia dengan tujuan memberikan perlindungan terhadap kehidupan dan
penghidupan
Disamping itu, pembentukan kelembagaan daerah yakni Badan Penanggulangan
Bencana Daerah di Kota Kediri memiliki relasi dengan Amandemen UUD 1945, yang berupaya

38
mengembangkan nilai desentralisasi. Eksistensi Daerah otonom diwujudkan untuk menyangga
tatanan Negara Kesatuan. Dasar kesatuan amat penting dalam mendudukannya dengan dasar
otonomi seluas-luasnya, maka otonomi seluas-luasnya tentu tidak boleh bertentangan dengan
dasar kesatuan, dan dasar kesatuan sebaliknya tidak boleh melenyapkan wujud dari otonomi
seluas-luasnya. Negara Kesatuan tidak dapat meniadakan Otonomi Daerah meskipun
kewenangan Otonomi Daerah sangat luas, untuk meniadakan wadah Negara Kesatuan.

12
Mahendro Putri kurnia, Pedoman Naskah Akademik PERDA Partisipatif.hlm. 53.
Seiring dengan hal tersebut, maka pembentukan daerah otonom dalam rangka
desentralisasi di Indonesia bercirikan pada tiga hal, yakni:a.) Daerah otonom tidak memiliki
kedaulatan. b). Desentralisasi dimanifestasikan dalam bentuk penyerahan atau pengakuan atas
urusan pemerintahan, c). Penyerahan atau pengakuan atas urusan tersebut didasarkan pada
pengaturan dan pengurusan kepentingan masyarakat setempat. Sejalan dengan hal tersebut, telah
ditetapkan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Pemberian otonomi diarahkan
pada empat hal yaitu: Pertama, dari aspek politik pemberian otonomi daerah bertujuan untuk
mengikutsertakan dan menyalurkan aspirasi masyarakat ke dalam program-program-
program pembangunan baik untuk kepentingan daerah sendiri maupun untuk mendukung
kebijakan nasional tentang demokarsi. Kedua, dari aspek manajemen pemerintahan, pemberian
otonomi daerah bertujuan meningkatkan daya guna penyelenggaraan pemerintahan terutama
dalam memberikan pelayanan dalam berbagai kebutuhan masyarakat. Ketiga, dari aspek
kemasyarakatan, pemberian otonomi daerah bertujuan meningkatkan partisipasi serta
menumbuhkembangkan kemandirian masyarakat untuk tidak perlu banyak bergantung kepada
pemberian pemerintah dalam proses pertumbuhan daerahnya sehingga daerah memiliki daya
saing yang kuat. Keempat, dari aspek ekonomi pembangunan, pemberianotonomi daerah
bertujuan menyukseskan pelaksanaan program pembangunan guna tercapainya kesejahteraan
rakyat yang makin meningkat.
Melihat kenyataan tersebut, maka tidaklah salah jika kemudian pembentukan lembaga
BPBP Kota Kediri secara filosofis diharapkan mampu melindungi warga masyarakat Kota
Kediri dari beragam ancaman bencana, baik alami maupun non alami.

C. Landasan Sosiologis

39
Sebagai wilayah kota yang merupakan salah satu Pemerintah Kota yang ada di wilayah
propinsi Jawa Timur, Kota Kediri terletak di wilayah selatan bagian barat Jawa Timur. Kota
Kediri dijadikan wilayah pengembangan kawasan lereng Wilis, dan sekaligus sebagai pusat
pengembangan regional eks Wilayah Pembantu Gubernur Wilayah III Kediri yang
mempunyai pengaruh timbal balik dengan daerah sekitarnya.
Secara geografis , Kota Kediri terletak di antara 111,05 derajat-112,03 derajat Bujur
Timur dan 7,45 derajat-7,55 derajat Lintang Selatan dengan luas 63,404 Km2. Dari aspek
topografi, Kota Kediri terletak pada ketinggian rata-rata 67 m diatas permukaan laut, dengan
tingkat kemiringan 0-40%
Struktur wilayah Kota Kediri terbelah menjadi 2 bagian oleh sungai Brantas, yaitu sebelah
timur dan barat sungai. Wilayah dataran rendah terletak di bagian timur sungai, meliputi Kec.
Kota dan kec.Pesantren, sedangkan dataran tinggi terletak pada bagian barat sungai yaitu Kec.
Mojoroto yang mana di bagian barat sungai ini merupakan lahan kurang subur yang sebagian
masuk kawasan lereng Gunung Klotok (472 m) dan Gunung Maskumambang (300 m) sedang
dibagian timur sungai merupakan lahan yang relatif subur dengan relief tanah yang datar.
Dikaki Gunung Klotok terdapat situs sejarah berupa Goa Selomangleng, goa ini merupakan
pesanggrahan Dewi Kilisuci putri Raja Airlangga dari Kerajaan Kahuripan. selain itu terdapat
relief kisah Patih Butho Locoyo,yang setia mendampingi Dewi Kilisuci dan simbol Butho
Locoyo ini menjadi Lambang Kota kediri.
Secara administratif, Kota Kediri berada di tengah wilayah Kabupaten Kediri dengan
batas wilayah sebagai berikut :
Sebelah utara : Kec. Gampengrejo dan Kec. Grogol
Sebelah Selatan : Kec. Kandat dan Kec. Ngadiluwih
Sebelah Timur : Kec. Wates dan Kec. Gurah
Sebelah Barat : kec. Banyakan dan Kec. Semen

3.1. Visi, Misi dan Arah Kebijakan

Sehubungan dengan program daerah sebagai pedoman bagi SKPDdalam merencanakan


program yang sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, maka disusunlah kebijakan
pembangunan daerah. Pemerintah Kota Kediri telah menyusun kebijakan pembangunan Kota
Kediri yang tertuang dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)
40
Kota Kediri tahun 2010 2014, dimana didalamnya telah ditetapkan komponen perencanaan
pembangunan selama 5 tahun yang meliputi visi, misi, strategi, arah dan strategi kebijakan
daerah serta prioritas daerah sebagai berikut :
Visi adalah pandangan jauh ke depan, kemana dan bagaimana Pemerintah Kota Kediri
harus dibawa dan dapat berkarya secara konsisten serta dapat eksis, antisipatif, inovatif, serta
produktif. Visi adalah gambaran yang menantang tentang masa depan Pemerintah Kota
Kediri, yang berisikan cita dan citra yang ingin diwujudkan, dibangun melalui proses refleksi
dan proyeksi yang digali dari nilai-nilai luhur yang dianut oleh seluruh stake-holder.
Seperti yang telah tertuang di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD) Kota Kediri Tahun 2010 2014 adalah: Tewujudnya Masyarakat Kota Kediri
yang Makmur, Mandiri dan Berakhlak Dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Makna dari pernyataan visi tersebut mengandung arti terjalinnya sinergi yang dinamis
antara masyarakat, Pemerintah Kota dan seluruh stakeholder dalam merealisasikan
pembangunan Kota Kediri secara terpadu. Secara filosofis visi tersebut dapat dijelaskan melalui
makna yang terkandung di dalamnya, yaitu :
1. Kota Kediri adalah satu kesatuan masyarakat hukum dengan segala potensi dan sumber
dayanya dalam sistem Pemerintahan di wilayah Kota Kediri.
2. Makmur adalah suatu kondisi masyarakat Kota Kediri yang sejahtera, serba cukup, rata-
rata mampu memenuhi kebutuhan standar hidup, antara lain meliputi pendidikan,
kesehatan, bahan pangan dan papan secara adil dan demokratis.
3. Mandiri adalah suatu kondisi masyarakat yang memiliki nilai lebih sehingga mampu secara
swadaya memenuhi kecukupan atas kebutuhan standar hidup.
4. Berakhlak dan atau berbudi pekerti, adalah kondisi kehidupan masyarakat yang berlandaskan
moral, etika, dan nilai-nilai agama sehingga memperkokoh sendi-sendi kehidupan
masyarakat dan mampu menjaga keseimbangan nilai-nilai budaya masyarakat.

Misi didefinisikan sebagai rumusan umum mengenai upaya-upaya yang akan dilaksanakan
untuk mewujudkan misi, dan berfungsi sebagai pemersatu gerak, langkah dan tindakan nyata
bagi segenap komponen penyelenggara pemerintahan tanpa mengabaikan mandat yang
diberikannya. Adapun Misi Pemerintah Kota Kediri adalah sebagai berikut :

41
1. Meningkatkan aksesibilitas pelayanan pendidikan dan kesehatan yang murah dan bermutu
untuk peningkatan derajat kesehatan dan kualitas sumber daya manusia;
2. Meningkatkan perekonomian masyarakat melalui peningkatan usaha industri, perdagangan,
koperasi dan UKM yang mampu mendukung penciptaan dan perluasan lapangan kerja;
3. Meningkatkan infrastruktur perkotaan dan penataan ruang yang berwawasan lingkungan
dan berkelanjutan;
4. Meningkatkan pelayanan publik melalui pelayanan prima dengan mewujudkan
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang baik dan bersih (good governance) yang
didukung oleh profesionalisme aparatur pemerintah;
5. Meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat, peran pemuda, pemberdayaan perempuan,
kesejahteraan perlindungan perem-puan dan anak, pengarusutamaan gender serta mewujudkan
kehidupan masyarakat yang tenteram dan tertib berlandaskan moral agama.

Kebijakan Umum adalah arah/tindakan yang ditetapkan oleh instansi Pemerintah untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pada dasarnya kebijakan adalah ketentuan ketentuan
yang digunakan sebagai pedoman, pegangan/petunjuk dalam pengembangan program kegiatan
guna tercapainya kelancaran dan keterpaduan dalam mencapai tujuan. Adapun kebijakan
umum yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Kediri dalam lima tahun mendatang
adalah sebagai berikut :
1. Meningkatkan aksesibilitas dan kualitas pelayanan pendidikan masyarakat Kota Kediri
melalui pembebasan biaya SPP dan meringankan biaya pendidikan bagi siswa tingkat SD
sampai dengan SMA terutama masyarakat miskin.
2. Meningkatkan aksesibilitas dan kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin, dengan
cara:
a. Membebaskan/memberikan keringanan biaya berobat bagi warga Kota Kediri.
b. Menempatkan 1 (satu) orang dokter disetiap Kelurahan.
c. Membebaskan biaya pengasapan/fogging untuk membasmi penyakit demam berdarah.
d. Membagikan Susu dan Makanan Tambahan bagi Balita dari keluarga miskin.
3. Mewujudkan percepatan reformasi birokrasi dan meningkatkan pelayanan publik menuju
pelayanan prima, melalui :
a. Percepatan dan kemudahan proses pelayanan perijinan, dengan cara memberikan
sosialisasi dan informasi mengenai tarip dan prosedur pelayanan perijinan

42
b. Memberikan pembebasan dalam pembuatan Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga.
c. Transparansi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) melalui kerjasama
dengan media elektronika.
4. Meningkatkan percepatan pertumbuhan ekonomi yang berku-alitas dengan cara menyiapkan
modal kerja bagi Koperasi, Usaha Mikro Kecil dan Menengah, peningkatan kualitas SDM
pelaku Koperasi, Usaha Mikro Kecil dan Menengah serta memperluas lapangan kerja.
Dalam rangka untuk mencapai visi dan misi tersebut, maka telah disusun Program
prioritas pembangunan Kota Kediri Tahun 2012 dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan
utama dan mendesak guna mengatasi masalah yang timbul dalam lingkup masyarakat Kota Kediri.
Program prioritas ini diharapkan dapat dilaksanakan secara sinergis, arif dan bijak dengan
melibatkan segenap unsur masyarakat, aparat pemerintah dan unsur swasta dengan
menyesuaikan kemampuan sumber daya Kota Kediri.
Dalam perencanaan pembangunan tahun 2012, Pemerintah Kota Kediri mempertimbangkan
hasil evaluasi capaian pelaksanaan kinerja tahun 2011 dan target kinerja RPJMD dan proyeksi
kemampuan keuangan tahun 2012. Selanjutnya program pembangunan daerah tetap
memperhatikan potensi yang dapat dikembangkan, kondisisosial, ekonomi, permasalahan
yang dihadapi, tantangan, serta sinkronisasi program pembangunan Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Pemerintah Kota Kediri telah menetapkan misi pembangunan yang dijabarkan dalam
prioritas pembangunan Kota Kediri tahun 2012, yang diarahkan untuk dapat memenuhi
kebutuhan pelayanan pendidikan, kesehatan serta kebutuhan mendesak lainnya sesuai dengan
kemampuan keuangan daerah yang dirinci dalam sasaran dan program sebagai berikut :
1. Meningkatkan aksesibilitas dan kualitas pendidikan dasar, menengah dan kejuruan serta
peningkatan manajemen pendidikan.
Kebijakan dibidang pendidikan diarahkan untuk : (a) mewujudkan pendidikan yang
berkualitas, merata dan terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat; dan (b) meningkatkan
mutu dan relevansi manajemen pendidikan sesuai dengan tuntutan lokal, nasional, maupun
global. Program pembangunan bidang pendidikan ini didukung dengan belanja tidak
langsung berupa hibah untuk Politeknik Kota Kediri, hibah untuk lembaga pendidikan
swasta tingkat dasar dan menengah, bantuan kepada dewan pendidikan, bantuan khusus
berkelanjutan pendidikan bagi pelajar dan mahasiswa, bantuan kepada perguruan tinggi,
bantuan/insentif untuk guru TPA/RA, bantuan/insentif untuk guru sekolah diniyah, guru

43
sekolah minggu Katolik/Kristen/Hindu, BKSM Pendidikan Menengah, bantuan sosial bagi
siswa serta bantuan operasional bagi Lembaga TK, dan bantuan untuk madrasah diniyah
(Program sharing dengan Pemerintah Provinsi Jawa Timur).
2. Meningkatkan aksesibilitas layanan kesehatan, mutu pelayanan kesehatan kepada
masyarakat dan penyediaan tenaga kesehatan.
Dengan memperhatikan hasil capaian kinerja pembangunan bidang kesehatan sampai dengan
tahun 2011, maka kebijakan pembangunan bidang kesehatan tahun 2012 diarahkan untuk :
a. Meningkatkan pelayanan kesehatan yang terjangkau dan memadai bagi masyarakat;
b. Meningkatkan kapasitas dan kualitas layanan kesehatan masyarakat;
c. Meningkatkan sarana, prasarana, dan tenaga kesehatan;
d. Meningkatkan lingkungan kehidupan yang sehat. Program pembangunan bidang kesehatan
tersebut didukung dengan belanja tidak langsung yang dialokasikan bagi masyarakat
miskin berupa Jaminan Pelayanan Kesehatan Masyarakat Kota Kediri.
3. Meningkatkan kualitas ketenagakerjaan, perluasan kesempatan kerja dan perlindungan
tenaga kerja.
Untuk menangani permasalahan bidang ketenagakerjaan diupayakan melalui peningkatan
kualitas tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja melalui pelatihan dan pembinaan
tenaga kerja, serta mendorong peningkatan industri kecil menengah dan investasi di Kota
Kediri sehingga membuka lapangan kerja untuk menyerap tenaga kerja yang tersedia. Disisi
lain, upaya perlindungan terhadap tenaga kerja dilaksanakan dengan mendorong setiap
perusahaan agar melaksanakan program jamsostek bagi seluruh karyawannya.
4. Pengentasan Penyandang Masalah Kesejahteraan sosial (PMKS), pelayanan dan
rehabilitasi sosial serta peningkatan kesejahteraan sosial.
Upaya penurunan jumlah PMKS dilaksanakan dengan mengefektifkan sistem perlindungan
sosial melalui pelayanan rehabilitasi sosial, bantuan dan jaminan sosial, perlu
jugadiberikan pelatihan-pelatihan dan pembinaan agar para PMKS dapat meningkatkan
kemandirian secara ekonomi. Pengentasan kemiskinan ini didukung secara komprehensif oleh
program lintas SKPD. Hal ini untuk mencapai sasaran meningkatnya kualitas dan cakupan
layanan sosial kepada masyarakat dan meningkatnya fasilitasi diklat kesejahteraan sosial.
Prioritas pembangunan ini didukung pula dengan belanja tidak langsung yang
dialokasikan untuk bentuan rumah tidak layak huni atau Rehabilitasi Sosial Daerah
Kumuh (RSDK), bantuan kepada panti sosial dan panti wreda, bantuan pengiriman tetirah

44
bagi penyandang cacat dan eks trauma, bantuan Lembaga Konsultasi Kesejahteraan
Keluarga (LK3), bantuan operasional TAGANA, pengadaan sarana dan prasarana bagi
keluarga miskin, bantuan transport orang terlantar dan bantuan pemakaman bagi orang
terlantar serta bantuan kepada yayasan penyandang cacat, dan bantuan untuk rumah singgah.
5. Pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan, pemeliharaan jalan, jembatan dan jaringan
irigasi, penanganan pengendalian banjir dan pengelolaan sungai brantas, sarana dan
prasarana transportasi darat serta pelayanan sistem transportasi angkutan orang dan
barang.
Pembangunan infrastruktur bertujuan untuk mendukung perkembangan bidang
perekonomian dan sosial masyarakat sehingga pemerintah daerah mengarahkan
pembangunan infrastruktur pada penyediaan jalan, jembatan, dan irigasi yang baik.
Dengan tersedianya jalan dan jembatan yang memadai akan memudahkan arus barang
dan jasa antar wilayah sehingga diharapkan perekonomian dan kehidupan sosial masyarakat
juga semakin baik. Sedangkan untuk pengendalian banjir serta meningkatkan produksi
pertanian maka perlu dilakukan pembangunan dan pemeliharaan jaringan irigasi. Disisi
lain, perbaikan pengelolaan bidang transportasi juga terus dilakukan agar layanan
transportasi semakin baik, aman, nyaman, terjangkau, serta menjamin keselamatan
masyarakat.
Prioritas pembangunan ini didukung pula dengan belanja tidak langsung yang
dialokasikan untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat (PNPM, Jasmas, dan SMPP), yang
dalam perencanaan dan pelaksanaannya melibatkan masyarakat dan kelompok masyarakat
dengan mengutamakan sumber daya lokal.
6. Peningkatan pelayanan perijinan, penataan administrasi kependudukan, standar
kompetensi pegawai serta peningkatan kemampuan aparatur pemerintah ditingkat
kelurahan.
Peningkatan pelayanan perijinan kepada masyarakat dilaksanakan secara berkelanjutan
dengan memperbaiki manajemen pelayanan dan memperluas cakupan layanan.
Peningkatan manajemen layanan juga diikuti dengan peningkatan kemampuan aparatur
Pemerintah Kota Kediri sesuai dengan standar kompetensi yang harus dimiliki.
Peningkatan kompetensi aparatur pemerintah dilaksanakan melalui pendidikan, pelatihan,
pembinaan kepada aparatur pemerintah secara berkala untuk menjamin kualitas layanan
kepada masyarakat. Disisi lain pemerintah juga melakukan perbaikan administrasi

45
kependudukan dengan membangun sistem yang berkaitan dengan administrasi kependudukan.
Prioritas ini diarahkan untuk meningkatkan kualitas layanan khususnya perijinan, tertib
administrasi kependudukan, serta layanan umum lainnya yang didukung oleh aparatur yang
berkualitas.
7. Pengembangan koperasi dan UMKM serta pengembangan kewirausahaan dan
keunggulankompetitif KUKM.
Masalah Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) perlu mendapatkan perhatian agar
dapat berperan, berkembang dan saling mengisi dengan usaha besar dalam pengembangan
ekonomi daerah, sehingga pengembangan Koperasi dan UKM diarahkan kepada peningkatan
kualitas kelembagaan koperasi, pengembangan sistem pendukung usaha bagi UKM dan
mendorong pengembangan keunggulan kompetitif bagi UKM.
Untuk mendukung program tersebut, Pemerintah Kota Kediri telah melakukan pembiayaan
dalam bentuk penyertaan modal koperasi untuk pinjaman lunak kepada para pelaku UKM,
agar pembiayaan yang telah diberikan berjalan efektif maka perlu dilakukan optimalisasi
penggunaan dan pengawasan yang memadai. Di sisi lain, untuk mendukung pembinaan
koperasi, pemerintah juga memberikan bantuan operasional kepada sekretariat Dekopinda Kota
Kediri.

Untuk mewujudkan visi dan merealisasikan misi maka perlu dirumuskan rencana
strategis yang dijabarkan dalam program-program pembangunan dan rencana kegiatan
dengan mengenali aspek-aspek kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan yang dihadapi.
Dalam rangka mencapai visi dan misi yang telah ditetapkan, tujuan dan sasaran
dirumuskan dalam bentuk kegiatan operasional yang lebih nyata dengan didasarkan pada faktor-
faktor keberhasilan yang telah diidentifikasi sebelumnya dnegan memperhitungkan kendala
positif atau negative dan sumber dana yang ada sehingga tujuan yang ditetapkan menjadi
lebih rasional.
Pencapaian tersebut sangat dipengaruhi oleh lingkungan internal dan eksternal yang
meliputi faktor kekuatan dan kelemahan serta faktor peluang dan tantangan. Indikator dan
faktor-faktor tersebut adalah :
Kekuatan
1. Rencana induk kota
2. Rencana tata ruang wilayah
3. rencana tata ruang kota

46
4. Dokumen pembangunan jangka menengah proyek prasarana perkotaan terpadu (PJM-P3T).
5. Pokok-pokok reformasi
6. Potensi dan posisi strategis
7. Kinerja pembangunan yang baik
8. Pemberdayaan masyarakat yang cukup berhasil
9. Adanya forum independent yang terlibat langsung dalam mekanisme pemerintahan dan
pembangunan.
10. Penetapan Kota Kediri sebagai salah satu pusat satuan wilayah pembangunan Jawa Timur
11. Pendapatan masyarakat meningkat
Kelemahan
1. Kondisi masyarakat belum sepenuhnya pulih akibat krisis ekonomi
2. Kualitas sumber daya yang masih perlu ditingkatkan
3. Sumber daya alam yang sangat terbatas
4. Pendapatan asli daerah yang relative kecil

Peluang
1. Otonomi daerah yang makin menguat
2. Pengelolaan potensi daerah yang makin mandiri
3. Peluang memasuki pasar bebas
4. Investasi asing dalam bentuk modal dan SDM yang berkualitas

Ancaman
1. Persaingan bebas baik antara daerah maupun luar negeri
2. Kemajuan teknologi yang sangat cepat
3. Tuntutan masyarakat yang makin tinggi
4. Pergeseran penggunaan lahan

3.2. Potensi Pembangunan Ekonomi

Perekonomian di tingkat Nasional maupun pertumbuhan perekonomian di tingkat


Jawa Timur, sangat mempengaruhi kinerja ataupun pertumbuhan ekonomi di tingkat Daerah
dalam hal ini Kota Kediri.
Perkembangan nilai PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) periode tahun 2005-
2010, mengalami peningkatan. Pada tahun 2005 meningkat sebesar 15,53% dari tahun
sebelumnya yaitu Rp.3 1,680 triliun, tahun 2006 sebesar Rp.37,743 triliun atau meningkat 19,14%
dari tahun 2005, kemudian meningkat lagi pada tahun 2007 sebesar 10,70% menjadi
Rp.41,784triliun, tahun 2008 meningkat 15,99% menjadi Rp.48,461 triliun, tahun 2009
meningkat 13,82% menjadi Rp.55,158 triliun, dan pada tahun 2010 mencapai Rp.60,333
triliun (angka amat sangat sementara).

47
Sedangkan PDRB ADHK kurun waktu tahun 2005-2010 rata-rata mengalami kenaikan
sebesar 4,24%; besaran nilai PDRB ADHK setiap tahunnya adalah : Rp. 18,792 triliun (2005); Rp.
19,768 triliun (2006); Rp.20,660 triliun (2007); Rp.21,662 triliun (2008); Rp.22,717 triliun
(2009); Rp.23,584 triliun (2010)(angka amat sangat sementara).
Sementara perkembangan ekonomi makro yang dilihat dari Pertumbuhan ekonomi Kota
Kediri ditentukan oleh 2 hal yaitu, oleh perkembangan aktivitas perekonomian masyarakat Kota
Kediri dan dipengaruhi pula oleh pertumbuhan atau peningkatan perekonomian skala Nasionai
maupun Jawa Timur.
Tingkat pertumbuhan perekonomian Kota Kediri dari tahun ke tahun selalu
mengalami perubahan, baik itu dengan adanya PT. Gudang Garam maupun tanpa adanya
PT. Gudang Garam. Pertumbuhan ekonomi di Kota Kediri dengan adanya PT. Gudang
garam dari tahun 2005-2010 sebagai berikut : 0,25% (2005); 5,19% (2006); 4,51% (2007); 4,66%
(2008); 5,06% (2009); dan 7,12% (2010).
Adapun pertumbuhan ekonomi Kota Kediri tanpa adanya PT. Gudang Garam tahun
2005-2010 adalah : 4,32% (2005); 4,21% (2006); 4,68% (2007); 5,05% (2008); 6,59% (2009) dan
7,24% (2010). Tingkat perkembangan masing-masing sektor penunjang pertumbuhan ekonomi
sebagaimana terpapar pada tabel berikut ini:
Tabel 3.1
Pertumbuhan Ekonomi Kota Kediri, Tahun 2005-2010 (%)
Lapangan Usaha Tahun
2005 2006 2007 2008 2009 2010*
Pertanian 3,11 2,46 02,15 0,91 2,23 1,54
Pertam. & Penggalian 2,26 3,13 3,46 12,93 -35,17 4,22
Industri pengolahan -2,07 4,21 3,84 3,68 3,57 8,25
Listrik, gas & air bersih 5,36 4,23 4,36 3,93 5,90 4,22
Bangunan 2,99 4,23 4,36 3,93 5,90 4,22
Perdagangan, Hotel & Resto 8,02 8,75 6,67 7,57 8,88 4,22
Pengangkutan & Komunikasi 5,74 8,37 7,94 10,09 11,12 4,22
Keu. Persewaan & jasa pers 3,83 4,12 4,17 4,69 8,63 4,22
Jasa-jasa 4,98 4,75 5,07 6,82 8,35 4,22
Dengan PT. GG 0,25 5,19 4,51 4,66 5,06 7,12
Tanpa PT. GG 4,32 4,21 4,68 5,05 6,59 7,24

48
Dari sudut pandang indikator inflasi, stabilitas ekonomi Kota Kediri terlihat cukup
mantap. Hal ini bisa dilihat dari rata-rata laju inflasi di Kota Kediri yang tidak melebihi dua
digit. Selama kurun waktu tahun 2006-2010, inflasi bulan Desember tertinggi terjadi pada tahun
2007 yang mencapai 1,28% sedangkan terendah tahun 2009 yang mencapai 0,63%, bahkan
terjadi deflasi pada tahun 2008 sebesar 0,58%.
Untuk inflasi periode "tahun kalender" (Januari-Desember) tertinggi terjadi pada tahun
2008 yang mencapai 9,52%, sedangkan terendah terjadi pada tahun 2009 sebesar 3,60%. Pada
posisi bulan Desember, kondisi akhir tahun, maka besaran inflasi periode "year on yeai" nilainya
sama dengan inflasi periode "tahun kalender".
Selama kurun waktu tahun 2006-2010, inflasi periode "bulanan" (Desember) tertinggi
terjadi pada tahun 2007 (1,28%), sedangkan terendah tahun 2009, yaitu 0,63%. Inflasi tahun
2010 naik 1,13%.
Pada inflasi periode "tahun kalender" (Januari-Desember), inflasi tahun 2006 (7,77%)
tercatat paling tinggi jika dibandingkan dengan tahun-tahun setelahnya. Adapun besaran
inflasi adalah sebagai berikut ; 7,77%(tahun 2006); 6,85% (tahun 2007); 9,52% (tahun 2008);
3,60% (tahun 2009) dan 6,80% (tahun 2010). Inflasi periode "year on year' tahun 2009 (3,60%)
paling rendah dibandingkan tahun 2006, 2007, 2008, 2010, dimana inflasi tertinggi terjadi pada
tahun 2008 yang mencapai 9,52%.
Tabel 3.2
Inflasi Bulanan, Tahun Kalender, year on year Tahun

Bulan/Tahun 2006 2007 2008 2009 2010


1. Desember 1,12 1,28 -0,58 0,63 1,13
2. Tahun Kalender 7,77 6,85 9,52 3,60 6,80
3. year on year 7,77 6,85 9,52 3,60 6,80
Inflasi di 7 kota di Jawa Timur yang masuk perhitungan inflasi nasional (Surabaya,
Malang, Kediri, Jember, Sumenep, Probolinggo, Madiun). Tingkat inflasi tahunan (yoy)
selama triwulan laporan yang tertinggi pada tahun 2010 adalah Kota Surabaya (7,34%),
sementara inflasi terendah terjadi di Kota Madiun (6,53%). Sementara itu, Kediri mengalami
inflasi sebesar (6,81%).
Dengan melihat angka inflasi yang sebenarnya masih dibawah angka propinsi
menunjukkan bahwa kegiatan perekonomian yang berjalan di Kota Kediri cukup baik.

49
Kemampuan dan kapasitas perekonomian terutama untuk dapat mengatur keseimbangan
peredaran keuangan dan stabilisasi harga terhadap bahan-bahan pokok dalam periode
tersebut tidak banyak mengalami gejolak, sehingga kontribusi terhadap nilai inflasi
menjadi rendah.
Tabel 3.3
Inflasi di 7 Kota di Jawa Timur Tahun 2010

Inflasi <7ty (%) Inflasi yoK (%)


Wilayah
Tw. III-2010 Tw. IV-2010 Tw. III-2010 Tw. IV-2010
Jatim 3,40 1,49 6,31 7,10
Surabaya 6,30 1,31 6,72 7,34
Malang 2,00 1,76 5,43 6,70
Kediri 2,49 1,83 5,52 6,81
Jember 0,62 2,59 5,80 7,10
Sumenep 0,71 0,96 6,17 6,75
Probolinggo 5,40 0,54 7,17 6,68
Madiun 3,32 2,02 5,29 6,53
*Sumber: Kajian Ekonomi Regional Jatim, Triwulan IV/2010

Dalam rangka menjaga stabilitas harga dan inflasi di Kota Kediri, TimPengendalian
Inflasi Daerah (TPID) secara periodik telah melakukan pemantauan inflasi dan
mengidentifikasi pola pasokan dan rantai distribusi komoditas-komoditas utama penyumbang
inflasi di Kota Kediri. Dengan diketahuinya pola pasokan dan rantai distribusi, serta tata niaga
komoditas, sumber-sumber penyebab inflasi di Kota Kediri dapat segera teridentifikasi dan
pemerintah daerah bisa segera melakukan langkah-langkah antisipatifmengendalikan kenaikan
harga dan pengendalian inflasi.
Sampai dengan akhir tahun 2010, Laju inflasi Kota Kediri masih tergolong dalam
kategori rendah, masih dibawah 2 digit, yaitu "year on year" 6,80%. Tingginya inflasi pada
volatile food ini disebabkan olehkenaikan harga beberapa komoditas utama bahan makanan
yangmempunyai bobot cukup tinggi dalam menyumbang inflasi seperti cabe merah, cabe
rawit, bawang merah, bawang putih, beras, ikan segar, serta beberapa kebutuhan pokok lainnya.
Kenaikan harga terjadi, pada awalnya lebih banyak dipengaruhi oleh penurunan stok/pasokan

50
akibat kondisi cuacakurang baik dan munculnya gangguan hama pada beberapa jenis tanaman
bahan pangan.

3.3. Pendidikan dan Angkatan Kerja

Jumlah penduduk Kota Kediri pada Tahun 2012 sebanyak 312.331 jiwa atau meningkat
dibanding jumlah penduduk Tahun 2011 sebanyak 302.671. Komposisi penduduk Kota
Kediri pada Tahun 2012 menurut kelompok umur dan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel
berikut.
Data tabel di atas menunjukkan bahwa komposisi penduduk Kota Kediri terdiri dari
157.043 laki-laki dan 155.288 perempuan, dengan tingkat kepadatan penduduk Kota Kediri pada
Tahun 2012 sebesar 4.926 jiwa per kilometer persegi.

Tabel 3.4
Komposisi Penduduk Menurut Kelompok Umur dan
Jenis Kelamin Kota Kediri Tahun 2012

NO KELOMPOK UMUR JUMLAH PENDUDUK


Laki-laki &
(TAHUN) Laki-laki Perempuan
Perempuan
1. <1 2.064 1.846 3.910
2. 1-4 9.402 8.822 18.224
3. 5-9 12.924 12.312 25.236
4. 10 - 14 11.994 11.318 23.312
5. 15 19 10.995 10.497 21.452
6. 20 24 11.538 10.781 22.319
7. 25 - 29 14.752 13.691 28.443
8. 30 34 15.793 14.355 30.148
9. 35 39 13.275 12.317 25.592
10. 40 44 12.432 11.546 23.978
11. 45 49 10.310 11.342 21.652
12. 50 54 9.927 10.216 19.543
13. 55 59 7.684 7.774 15.458
14. 60 64 5.287 5.498 10.785
15. 65 9.306 12.973 22.279

51
JUMLAH 157.043 155.288 312.331

Tingkat kepadatan penduduk terendah berada di kecamatan Pesantren, kemudian sedikit


lebih padat berada di Kecamatan Mojoroto, dan kepadatan tertinggi berada di Kecamatan Kota.
Kepadatan penduduk di Kecamatan Kota yang lebih tinggi dibanding dua kecamatan lainnya
disebabkan karena kawasan Kecamatan Kota merupakan pusat perdagangan dan jasa yang ada di
Kota Kediri. Untuk terus mendorong pemerataan perkembangan laju pertumbuhan ekonomi
dan pembangunan, Pemerintah Kota Kediri telah melakukan upaya-upaya penyebaran
pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di sejumlah kawasan.
Sementara di lihat dari aspek laju pertumbuhan penduduk Kota Kediri pada tahun
2011-2012 mencapai 3,09%, dengan rata-rata pertumbuhan penduduknya per tahun selama
periode tahun 2003-20012 sebesar 0,81%. Laju pertumbuhan penduduk ini utamanya
didorong oleh faktor relatif tingginya angka kelahiran dan faktor migrasi penduduk dari luar
Kota ke Kota Kediri karena daerah ini memiliki daya tarik sosial-ekonomi yang relatif lebih
baik dibanding daerah-daerah sekitarnya.
Jumlah penduduk usia produktif (usia15-64) Kota Kediri tahun 2012 juga relatif tinggi
yaitu berjumlah 219.370 orang atau sekitar 70,23% dibandingkan dengan besaran penduduk
pada usia 0-14 tahun dan 65 tahun ke atas yang hanya 29,77%. Tingginya jumlah penduduk usia
produktif Kota Kediri ini tentu menjadi modal dasar pembangunan Kota ini.
Di samping itu, tingkat pendidikan merupakan salah satu indikator utama ukuran kualitas
manusia. Semakin tinggi tingkat pendidikan rata-rata penduduk kota Kediri mencerminkan
semakin tingginya kualitas manusia di Kota Kediri. Tingkat pendidikan pendududk terbesar di
Kota Kediri pada tahun 2012 adalah setingkat SLTA. Salah satu unsur data indeks pendidikan
tersebut menunjukkan bahwa kualitas manusia di Kota Kediri sudah relatif baik yang bisa
menjadi modal utama pelaksanaan pembangunan. Tabel berikut ini menyajikan
perbandingan komposisi penduduk Kota Kediri menurut jenjang pendidikan tahun 2011 dan
pada tahun 2012.

Tabel 3.5
Komposisi Penduduk Kota Kediri Berdasarkan Tingkat Pendidikan

NO. JENJANG PENDIDIKAN 2011 2012


1. Strata III 51 52
2. Strata II 1.375 1.485
52
3. Diploma IV/ Strata I 21.766 23.025
4. Akademi/Diploma III/Sarjana Muda 4.888 5.038
5. Diploma I/II 2.678 2.606
6. SLTA / Sederajat 87.108 90.493
7. SLTP / Sederajat 48.713 49.611
8. Tamat SD / Sederajat 58.174 58.886
9. Belum Tamat SD / Sederajat 30.824 31.988
10. Tidak / Belum Sekolah 47.095 49.146
JUMLAH 302.672 312.331

Kualitas pelayanan pendidikan di Kota Kediri pada tahun 2012 salah satunya juga bisa
dilihat melalui indikator rasio guru per siswa pada setiap jenjang pendidikan yang dari tahun ke
tahun terus mengalami peningkatan. Rasio guru dan siswa sebesar 16 untuk tingkat SD/MI; 14
untuk tingkat SMP/MTS; 13 untung jenjang SMA/MA; serta 13 untuk jenjang pendidikan SMK.
Sedangkan tingkat partisipasi publik dalam penyelenggaraan pendidikan bisa dilihat melalui
indikator Angka Partisipasi Kasar (APK) penduduk usia sekolah (7s/d 18 tahun) pada tahun
2012 sebesar 169,9 %. Keberadaan lembaga-lembaga sekolah maupun kampus di Kota Kediri
yang relatif lebih baik dibanding daerah sekitarnya, mendorong semakin banyak pelajar dari luar
Kota Kediri yang berminat melanjutkan pendidikan di Kota Kediri, sehingga nilai APK Kota
Kediri relatif lebih tinggi dibanding daerah sekitarnya.
Hasil Susoda (Survei Sosial Ekonomi Daerah) Tahun 2007, angka partisipasi sekolah
penduduk Kota Kediri umur 7 12 tahun (usia SD) sebesar 94,45 persen, angka partisipasi
sekolah penduduk usia 13 15 tahun (SLTP) sebesar 98,54 persen, usia 16 18 tahun (SLTA)
82,09 persen dan usia 19 24 tahun (PT) sebesar 23,25 persen. Lembaga pendidikan, tenaga
kependidikan, prasarana dan sarana penunjang proses belajar mengajar di Kota Kediri tersedia
lengkap mulai dari jenjang pendidikan dini usia hingga perguruan tinggi.
Jumlah lembaga pendidikan anak dini usia khususnya lembaga TK mengalami
peningkatan dari 96 lembaga menjadi 98 lembaga pada Tahun 2007, sedangkan Lembaga
pendidikan SD/MI berjumlah 156 lembaga. Untuk lembaga pendidikan SMP/MTs dan
SMA/MA/SMK serta Perguruan Tinggi relatif tidak mengalami perubahan. Dari 20 Perguruan
Tinggi yang ada di Kota Kediri terdapat satu Perguruan Tinggi Negeri, yaitu STAIN
Kediri. Saat ini STAIN Kediri tidak hanya membuka jurusan yang mempelajari masalah

53
keagamaan, namun cakupannya lebih luas seperti Perguruan Tinggi umumnya. Sehingga
mendorong minat para pelajar dan mahasiswa untuk melanjutkan pendidikan di STAIN Kediri.
Disamping itu adanya perguruan tinggi swasta yang cukup ternama dan lembaga-lembaga kursus
serta pendidikan keahlian teknologi informatika, akademi, dan sekolah tinggi bidang
kesehatan turut serta memacu laju aktivitas perekonomian masyarakat Kota Kediri, dari
penyediaan tempat kost/rumah tinggal hingga kebutuhan konsumtif pelajar/mahasiswa.
Berbagai inovasi dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas output
pendidikan dalam rangka mengantisipasi perkembangan dan persaingan global. Sekolah-sekolah
yang ada di Kota Kediri didorong untuk berstandar nasional (SSN). Beberapa sekolah telah
menerapkan program sekolah berstandar internasional, yaitu SMP Negeri 1 dan SMP Negeri 4,
SMA Negeri 2 dan Sekolah Menengah Kejuruan Unggulan SMK Negeri 1 Kediri. Program
percepatan atau akselerasi yang menerapkan pembelajaran dengan sistim SKS dilaksanakan di
SMKN 1 Kediri.
Berbagai pilihan lembaga sekolah yang berkualitas terbaik di Kota Kediri mendorong
minat siswa untuk melanjutkan pendidikannya di Kota Kediri. Hal tersebut tercermin dari
cakupan jumlah anak usia sekolah (7-18 tahun) yang memperoleh pendidikan di Kota Kediri
jumlahnya semakin meningkat. Angka Partisipasi Kasar (APK) SD/MI sampai dengan
SMA/MA/SMK meningkat 1,72% dari 130,63% (2006) menjadi 131,75% pada tahun 2007,
sedangkan Angka Partisipasi Murni (APM) meningkat 3,09% untuk SD/MI; 1,05% untuk
SMP/MTs dan 2,32% untuk SMA/MA/SMK. Tahun 2007 tidak terdapat Angka Putus Sekolah
(APS) untuk jenjang pendidikan SD/MI, sedangkan untuk jenjang pendidikan menengah
APS mengalami penurunan sebesar 0,09% untuk SMP/MTs, SMA/MA sebesar 0,13% dan
SMK sebesar 0,19%. Rasio tenaga pendidik per siswa kondisinya juga semakin membaik, yaitu
1 : 18 untuk SD/MI; untuk SMP/MTs sebesar 1 : 13; SMA/MA sebesar 1 :14 dan 1 :13 untuk
SMK.
Perhatian Pemkot Kediri terhadap peningkatan kualitas dan pemerataan akses
terhadap pelayanan pendidikan semakin nyata dengan dikeluarkannya Instruksi Walikota
Kediri Nomor 9 Tahun 2005 dan Instruksi Walikota Kediri Nomor 1 Tahun 2008 yang
mengatur pelaksanaan sekolah gratis di Kota Kediri.
Disamping pendidikan secara formal di Kota Kediri juga terdapat pusat kajian
pendidikan agama. Keberadaan pondok-pondok pesantren yang tumbuh berkembang besar
seperti Pondok Lirboyo, Pondok Kedunglo/Wahidiyah, Pondok LDII, merupakan pusat

54
syiar Islam yang menjadi tempat belajar para santri dan tempat berkunjung umat Islam dari
berbagai penjuru daerah di Indonesia.
Disamping itu juga terdapat lembaga-lembaga pendidikan non Islam (Santa Maria, Santo
Yoseph, Kristen Petra) yang kualitasnya tidak diragukan lagi. Di samping pendidikan, data
mengenai kondisi makro ketenaga-kerjaan juga tersajikan dalam konteks ini. Jumlah Penduduk
Usia Kerja Kota Kediri pada tahun 2012 mencapai 207.065 orang atau sekitar 66,29 % dari total
jumlah penduduk. Sedangkan jumlah angkatan Kerjanya mencapai 138.590 orang atau 44,37%
dari jumlah penduduk. Mengetahui besarnya penduduk usia kerja dan jumlah angkatan kerja
tersebut, Pemerintah Kota Kediri salah satunya mengfokuskan pengembangan sektor
perdagangan dan jasa yang terbukti yang paling banyak memberikan kesempatan dan
lapangan kerja bagi penduduk di Kota Kediri.

Tabel 3.6
Kondisi Ketenagakerjaan Kota Kediri 2007-2012

JENIS DATA 2007 2008 2009 2010 2011 2012


Penduduk Usia Kerja 192.779 216.298 229.885 220.668 212.828 207.065
B Angkatan Kerja 133.460 140.055 134.868 134.276 139.756 138.590
Tingkat Pertisipasi
69,23% 64,75% 58,67% 60,85% 65,67% 66,93%
Angkatan Kerja (TPAK)
Pencari Kerja Terdaftar 4.188 4.278 2.181 2.244 1.368 1.225
Penempatan 1.408 698 642 691 366 393
Permintaan/Lowongan 1.653 2.794 1.496 1.119 1.383 642
Jumlah Penganggur 16.251 15.614 15.045 12.210 11.844 10.878
Tingkat Pengangguran
12,71 11,14 11,15 9.09 8.47 7,85
Terbuka (TPT) (persen)
Upah Minimum Kota
645.000 717.000 856.000 906.000 975.000 1.037.500
(UMK) (Rp)
Sumber data: Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Kediri dan BPS Kota Kediri

3.4. Potensi UKM dan Perdagangan


Peningkatan kesejahteraan pekerja di Kota Kediri juga terus ditingkatkan melalui
instrumen Upah Minimum Kota (UMK) Kediri yang terus mengalami peningkatan dari tahun ke
tahun. Tren peningkatan UMK ini bisa dilihat pada data yang menunjukkan bahwa peningkatan
terjadi sejak tahun 2007 yaitu Rp 645.000,-, meningkat menjadi Rp. 717.000,- pada tahun 2008,
naik lagi menjadi Rp. 856.000,- pada tahun 2009, kemudian Rp. 906.000 pada tahun 2010,

55
menjadi Rp. 975.000,- pada tahun 2011, dan pada tahun 2012 diterapkan UMK sebesar RP.
1.037.500,
Pembangunan perdagangan dimaksudkan untuk memperlancar arusbarang dan jasa
dalam rangka menunjang peningkatan produksi dan dayasaing berbagai produk dan jasa yang
dimiliki oleh Pemerintah Kota Kediriuntuk merangsang tumbuh dan kembangnya sektor
perdagangan di Kota Kediri.
Program yang dilaksanakan dalam pembangunan perdagangan di KotaKediri adalah
program pengembangan usaha perdagangan, di mana tujuanprogram ini adalah melindungi
kepentingan umum dan memberikanjaminan kepastian hukum bagi usaha perdagangan lokal.
Sasaran program perdagangan adalah memberikan perlindungan terhadap standarisasi
atau kebenaran atas kemetrologian, pengembangan pasar produk lokal maupun produk
unggulan, tersedianya informasi harga kebutuhan bahan pokok di Pasar Bandar, Pasar Pahing,
Pasar Setonobetek menjaga kestabilan harga kebutuhan pokok, membina dan memberdayakan
iklim usaha perdagangan formal dan informal. Kegiatan pokok dalam usaha pengembangan
perdagangan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Kediri adalah :
1. Pengawasan dan pelaksanaan tera dan tera ulang.
2. Pembinaan dan penyuluhan kemetorologian.
3. Penyediaan informasi harga dasar kebutuhan pokok.
4. Mengikuti pasar lelang Daerah
5. Pendataan Pembinaan, Penataan dan Pemberdayaan PK5 dan Asongan.
6. Pengembangan pasar melalui pameran promosi produk unggulan daerah dan andalan.
Seiring dengan perkembangan Kota Kediri, maka kegiatan perdagangan di Kota
Kediri juga meningkat, dimana Kota Kediri sebagai pusat koleksi dan distribusi barang dan
jasa mampu memberikan kenyamanan serta ketersediaan segala barang yang dibutuh kan
oleh masyarakat, sehingga mereka tidak perlu pergi dan berbelanja keluar kota Berdirinya pusat-
pusat perdagangan (mal) dan munculnya toko-toko serba ada.
Tabel 3.7
Pasar yang dikelola oleh
PD. Pasar Kota Kediri Tahun 2011

KECAMATAN JUMLAH PASAR LUAS PASAR JUMLAH


PEDAGANG
Mojoroto 4 17.334 639
Kota 3 85.067 1.837
Pesantren 2 22.012 1.414
56
JUMLAH 9 124.413 3890
Sumber: Disperindag Kota Kediri

3.5. Potensi Industri dan Produk Unggulan


Pemerintah Kota Kediri telah mencanangkan Tri Bina Kota sebagai landasan
pembangunan yang meliputi bidang pendidikan, perdagangan serta jasa dan industri. Dengan
berpijak pada landasan tersebut, Pemerintah Kota Kediri berkomitmen untuk memajukan
sektor perindustrian secara aktif dengan memperkuat daya dukung bagi pembangunan industri
sebagai salah satu basis penguatan ekonomi lokal yang handal.
Sebagai wilayah yang merupakan salah satu pemerintah kota yang ada di wilayah
Provinsi Jawa Timur, Kota Kediri dijadikan wilayah pengembangan kawasan lereng Gunung
Wilis, dan sekaligus sebagai pusat pengembangan regional eks Wilayah Pembantu Gubernur
Wilayah III Kediri yang mempunyai pengaruh timbal balik dengan daerah sekitarnya, termasuk
sektor perindustrian dan perdagangan.
Dalam usaha pembangunan sektor industri, Pemerintah Kota Kediri melaksanakan
program pengembangan industri. Program pengembangan industri adalah untuk
mengembangkan usaha industri dan meningkatkan kapasitas produksinya, khususnya bagi
Industri Kecil dan Menengah (IKM) serta keanekaragaman usaha produksi, sehingga muncul
banyak variasi produk yang bisa dijual ke pasar lokal maupun regional. Kegiatan pokok yang
dilaksanakan adalah :
1. Meningkatkan sarana dan prasarana Industri Kecil dan Menengah (IKM) seperti jalan
masuk, bantuan alat-alat produksi, serta berbagai kesempatan promosi;
2. Menumbuhkan dan mengembangkan industri rumah tangga dalam rangka mengatasi
pengangguran, kemiskinan dan perluasan lapangan kerja dengan jalan membuka industri
rumah tangga serta industri kecil yang benar-benar diawasi serta dibimbing oleh Dinas
Perindustrian Perdagangan Pertambangan dan Energi;
3. Meningkatkan dan mengembangkan diversifikasi, kualitas dan desain produk untuk
pengembangan pasar ekspor.

Dengan kedudukannya sebagai kawasan perkotaan yang sedang berkembang, di Kota


Kediri terdapat banyak unit-unit usaha industri dengan skala usaha yang bervariasi, meliputi
industri besar, menengah dan kecil. Berdasarkan klasifikasi subsektor industri nonmigas yang
57
ditetapkan oleh Kementerian Perindustrian RI, kondisi aktual sektor perindustrian di Kota Kediri
menurut jumlah unit usaha, tenaga kerja dan nilai produksinya disajikan dalam tabel
berikut:
Tabel 3.8
Subsektor Industri Non Migas

Unit Jumlah Tenaga Nilai Produksi


No. Subsektor
Usaha Kerja (Orang) (Rp)*
1 Industri Logam dan Mesin 122 1.231 21.316
2 Industri Kimia 18 139 10.461
3 Industri Aneka 79 860 256.561
4 Industri Hasil Pert.dan Kehutanan 60 41.630 5.187.913
5 Industri Makanan dan Minuman 179 1.716 51.492
6 Industri Tekstil, Pak.Jadi dan Kulit 48 373 9.517
7 Industri Kertas dan Percetakan 57 299 10.297
JUMLAH 563 46.248 5.547.557
Sumber : Disperindagtamben Kota Kediri, 2011

Berdasarkan klasifikasi di atas, diketahui bahwa subsektor industri hasil pertanian dan
kehutanan menyerap jumlah tenaga kerja dan nilai produksi yang dominan jika dibandingkan
dengan subsektor industri lainnya di Kota Kediri. Dalam hal ini, PT Gudang Garam Tbk. sebagai
salah satu industri pengolahan hasil tembakau terbesar di Indonesia memegang peranan
yang cukup penting dalam penyerapan tenaga kerja di Kota Kediri dan sekitarnya.
Selain industri-industri formal diatas, di Kota Kediri juga terdapat banyak industri-industri
informal yang memberikan kontribusi besar dalam penyerapan tenaga kerja. Pemerintah Kota
Kediri melalui satuan-satuan kerja terkait terus mendorong dan memfasilitasi pengurusan
dokumen legalitas usaha. Salah satunya dengan memberikan kemudahan perijinan bagi pelaku
usaha melalui unit layanan satu atap dan tidak dikenakan biaya.
Sebagian besar unit usaha IKM di Kota Kediri bergerak dalam produksi makanan
dan pengolahan hasil pertanian. Hal ini dikarenakan wilayah-wilayah penyangga (greater
area) di sekitar Kota Kediri merupakan penghasil berbagai komoditas pertanian sehingga
banyak pihak yang melihatnya sebagai peluang usaha yang prospektif dan kemudian diolah
menjadi produk yang memiliki nilai tambah, bahkan beberapa diantaranya telah berhasil
memasarkan produknya menembus pasar internasional.
Dalam perkembangan selanjutnya, IKM memainkan peran yangsemakin konkret
terhadap pembangunan daerah dan pertumbuhan ekonomi Kota Kediri. Terbukti bahwa jumlah

58
unit usaha dan daya serap tenaga kerja menunjukkan trend positif dari tahun ke tahun.
Pertumbuhan IKM di Kota Kediri dalam enam tahun terakhir dapat dilihat pada tabel di bawah
ini :
Tabel 3.9
Pertumbuhan IKM di Kota Kediri

JUMLAH UNIT NILAI PRODUKSI JML. TENAGA KERJA


No. TAHUN
USAHA (Rp)* (Orang)
1. 2006 448 354.618 5084
2. 2007 169 364.072 5.222
3. 2008 476 366.069 5.265
4. 2009 505 381.865 5.402
5. 2010 528 403.347 5.560
6 2011 560 437.339 5.825
Sumber : Disperindagtamben Kota Kediri, 2011

Berdasarkan data-data di atas, Sektor IKM di Kota Kediri menunjukkan pertumbuhan


(growth) yang cukup signifikan baik dari segi nilai produksi, nilai investasi maupun penyerapan
tenaga kerja.
Pemerintah Kota Kediri telah mencanangkan Tri Bina Kota sebagai landasan
pembangunan yang meliputi bidang pendidikan, perdagangan serta jasa dan industri. Dengan
berpijak pada landasan tersebut, Pemerintah Kota Kediri berkomitmen untuk memajukan
sektor perindustrian secara aktif dengan memperkuat daya dukung bagi pembangunan industri
sebagai salah satu basis penguatan ekonomi lokal yang handal.
Sebagai wilayah yang merupakan salah satu pemerintah kota yang ada di wilayah
Provinsi Jawa Timur, Kota Kediri dijadikan wilayah pengembangan kawasan lereng Gunung
Wilis, dan sekaligus sebagai pusat pengembangan regional eks Wilayah Pembantu Gubernur
Wilayah III Kediri yang mempunyai pengaruh timbal balik dengan daerah sekitarnya, termasuk
sektor perindustrian dan perdagangan.
Dengan kedudukannya sebagai kawasan perkotaan yang sedang berkembang, di Kota
Kediri terdapat banyak unit-unit usaha industri dengan skala usaha yang bervariasi, meliputi
industri besar, menengah dan kecil. Industri-industri besar yang ada di Kota Kediri bergerak di
bidang industri gula dan rokok. Sedangkan untuk Industri Kecil dan Menengah
(IKM)sebagian besar bergerak dalam produksi makanan serta pengolahan hasil pertanian.
Tema sentral yang mengemuka dalam pembangunan sektor perindustrian di Indonesia
adalah program pengembangan kompetensi inti daerah sebagai upaya mendorong terciptanya
59
produk berkelas global dengan mengoptimalkan sumber daya dan budaya lokal sehingga
tetap mempertahankan karakteristik khas suatu daerah. Untuk itu, langkah untuk melakukan
sosialisasi komoditas unggulan IKM kepada masyarakat merupakan rintisan awal yang
dilakukan oleh Pemerintah Kota Kediri untuk merumuskan konsep kompetensi inti daerah dalam
rangka membangun daya saing menuju kemandirian perekonomian.
Dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat di era global, para pelaku IKM dituntut
untuk mampu menghasilkan produk yang berkualitas dan memiliki karakteristik yang khas
sehingga memiliki keunggulan dibandingkan produk-produk kompetitor. Beberapa
komoditas unggulan yang dihasilkan IKM di Kota Kediri pada dasarnya telah memenuhi
kriteria dasar di atas sehingga memiliki peluang yang cukup besar dan kompetitif untuk menarik
minat konsumen baik di tingkat lokal, regional dan nasional. Namun, masyarakat umum
terutama di luar daerah belum banyak mengetahui jenis-jenis komoditas unggulan yang
belakangan semakin tumbuh dan berkembang.
Sebelumnya telah disebutkan bahwa sebagian besar unit usaha IKM di Kota Kediri
bergerak dalam produksi makanan dan pengolahan hasil pertanian. Hal ini dikarenakan
wilayah-wilayah penyangga (greater area) di sekitar Kota Kediri, seperti Kediri Kabupaten,
Nganjuk, Tulungagung dan Blitar, merupakan penghasil berbagai komoditas pertanian sehingga
banyak pihak yang melihatnya sebagai peluang usaha yang prospektif dan kemudian diolah
menjadi produk yang memiliki nilai tambah.
Booklet katalog produk ini merupakan salah satu inisiatif dan upaya Dinas Perindustrian
Perdagangan Pertambangan dan Energi Kota Kediri, selaku instansi yang berkenaan langsung
dalam pembinaan dan pendampingan IKM, untuk lebih memperkenalkan produk-produk
unggulan utama Kota Kediri. Mengingat keterbatasan tempat, kami tidak dapat memuat
keseluruhan unit usaha yang menghasilkan jenis komoditas yang sama. Pada beberapa jenis
komoditas, hanya disajikan masing-masing satu unit usaha yang dapat dijadikan sebagai
referensi awal bagi masyarakat dan pihak-pihak lain untuk mengenal lebih dalam masing-masing
komoditas. Adapun data yang lebih lengkap tersedia secara memadai pada Dinas
Perindustrian Perdagangan Pertambangan dan Energi Kota Kediri yang beralamat yang
beralamatkan di Jl. Penanggungan No.7 Kediri.
Dengan diterbitkannya katalog sederhana ini, diharapkan akan memberikan tambahan
wawasan bagi masyarakat umum akan produk-produk unggulan kreasi para pelaku IKM
Kota Kediri. Seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran para pelaku IKM tentang

60
pentingnya mutu produk dan kepuasan pelanggan (customer satisfaction), maka sudah
selayaknya tidak lagi muncul keragu-raguan terhadap kualitas dan kemampuan produk-
produk IKM untuk bersaing di tataran lokal, regional dan nasional. Produk-produk Unggulan
Kota Kediri yang menjadi fokus pembahasan pada booklet ini berjumlah 10 macam sebagai
berikut :
Tabel 3.10
Produk Unggulan Kota Kediri

1. Kerajinan Tenun Ikat Bandar Kidul 1. Industri Tahu


2. Kerajinan Anyaman Bambu 2. Industri Getuk Pisang
3. Kerajinan Kaca Hias (Grafir) 3. Industri Keripik Singkong
4. Kerajinan Sulak Bulu Ayam 4. Industri Sepatu Kulit
5. Kerajinan Gerabah Kriya 5. Industri Kayu Lapis

D. Landasan Yuridis.

Secara yuridis, Negara Republik Indonesia telah berusaha memberikan dasar


pengaturan terhadap pembentukan produk-produk perundangan dan produk hukum daerah.
Terkait dengan upaya pembentukan kelembagaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah
(BPBD) Kota Kediri, ada beragam pula pengaturan pembentukan produk-produk
perundangan yang dapat digunakan sebagai acuan, antara lain:

1) Amandemen UU Dasar 45,


Pasal 18 ayat 2, menyatakan:
Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Pasal 18 ayat, menyatakan


Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain
untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

Pasal 28D, ayat 3 menyatakan


Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

2) Undang Undang No. 7 Tahun tentang Penanggulangan Bencana

Pasal 8 menyatakan
Tanggung jawab pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana
meliputi: a). penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena

61
bencana sesuai dengan dengan standar pelayanan minimum; b). perlindungan masyarakat
dari dampak bencana; c). pengurangan risiko bencana dan pengurang-an risiko bencana
dengan program pembangunan; dan, d). pengalokasi-an dana penanggulangan bencana
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang memadai.

Pasal 9 menyatakan
Wewenang pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan rencana meliputi: a).
penetapan kebijakan penanggulangan bencana pada wilayahnya selaras dengan kebijakan
pembangunan daerah; b. pembuatan perencanaan pembangunan yang memasukkan
unsur-unsur kebijakan penanggulangan bencana; c. pelaksanaan kebijakan kerja sama
dalam penanggulangan bencana dengan provinsi dan/atau kabupaten/kota lain; d. pengaturan
penggunaan teknologi yang berpotensi sebagai sumber ancaman atau bahaya bencana
pada wilayahnya; e. perumusan kebijakan pencegahan pengu-asaan dan pengurasan
sumber daya alam yang melebihi kemampuan alam pada wilayahnya; dan f.
pengendalian pengumpulan dan penyaluran uang atau barang yang berskala provinsi,
kabupaten/ kota.

Pasal 18 menyatakan
1) Pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 membentuk Badan
Penanggulangan Bencana Daerah.
2) Badan Penanggulangan Bencana Daerah sebagaimana di- maksud pada ayat (1) terdiri
atas: b. badan pada tingkat kabupaten/kota dipimpin oleh seorang pejabat
setingkat di bawah bupati/walikota atau setingkat eselon IIa.

Pasal 19 menyatakan
(1) Badan Penanggulangan Bencana Daerah terdiri atas unsur: a. pengarah penanggulangan
bencana; dan b. pelaksana penanggulangan bencana.

Pasal 20 menyatakan
Badan Penanggulangan Bencana Daerah mempunyai fungsi: a. perumusan dan penetapan
kebijakan penanggulangan bencana & penanganan pengungsi dengan bertindak cepat
dan tepat, efektif dan efisien; serta, b.pengoordinasian pelaksanaan kegiatan
penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, dan menyeluruh.

Pasal 21 menyatakan
Badan Penanggulangan Bencana Daerah mempunyai tugas: a. menetapkan pedoman dan
pengarahan sesuai dengan kebijakan pemerintah daerah dan Badan Nasional
Penanggulangan Bencana terhadap usaha penanggulangan bencana yang mencakup
pencegahan bencana, penanganan darurat, rehabilitasi, serta rekon-struksi secara adil dan
setara; b. menetapkan standardisasi serta kebutuhan penyelenggaraan penanggulangan
bencana berdasarkan Peraturan Perundang-undangan; c. menyusun, menetapkan, dan
menginformasikan peta rawan bencana; d.menyusun dan menetapkan prosedur tetap
penanganan bencana; e. melaksanakan penyelenggaraan penanggulangan bencana pada
wilayahnya; f. melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada kepala
daerah setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan setiap saat dalam kondisi darurat
bencana; g.mengendalikan pengumpulan dan penyaluran uang dan barang; h.
mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari Anggaran Pendapatan
62
dan Belanja Daerah ; dan i. melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan Peraturan
Perundang-undangan.

Pasal 24 menyatakan
Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal23 ayat (2), unsur
pelaksana penanggulangan bencana daerah mempunyai tugas secara terintegrasi yang
meliputi: a. prabencana; b. saat tanggap darurat; dan c. pascabencana.

3) Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang organisasi perangkat Daerah


Pasal 45 menyatakan
Dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsi sebagai pelaksanaan peraturan perundang-
undangan dan tugas pemerintahan umum lainnya, pemerintah daerah dapat membentuk
lembaga lain sebagai bagian dari perangkat daerah

4) Peraturan Mendagri No 57 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penataan Organisasi


Perangkat Daerah, didalam Lampiran huruf M, Ketentuan Lain-lain angka 6 dinyatakan :
Pengaturan menegenai organisasi lembaga lain seperti Lembaga Penyuluh, penanggulangan
bencana, Unit Pelayanan perijinan terpadu, Sekretariat Komisi Penyiaran Indonesia
Daerah,Badan Narkotika dan lain-lain akan diatur tersendiri, dan merupakan perangkat daerah
di luar jumlah yang ditetapkan dalam kriteria,

5) Peraturan Mendagri No 46 Tahun 2008, Tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja
Badan Penanggulangan Bencana Daerah

Pasal 9 menyatakan
(1) Unsur Pelaksana BPBD Kabupaten/Kota berada di bawah dan bertanggungjawab
kepada Kepala BPBD Kabupaten/Kota.
(2) Unsur Pelaksana BPBD Kabupaten/Kota dipimpin Kepala Pelaksana yang membantu
Kepala BPBD Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan tugas & fungsi unsur pelaksana
BPBD Kabupaten/Kota sehari-hari.

Pasal 10 menyatakan
Unsur Pelaksana BPBD Provinsi dan BPBD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 dan Pasal 9 mempunyai tugas melaksanakan penanggulangan bencana
secara terintegrasi meliputi: a.prabencaa; b. saat tanggap darurat; dan c.pascabencana.

Pasal 11 menyatakan
Unsur Pelaksana BPBD Provinsi dan BPBD Kabupaten/Kota menyelenggarakan fungsi:
a.pengkoordinasian; b. pengakomodasian; dan c. pelaksana.

Pasal 12 menyatakan
Fungsi koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a, merupakan fungsi
koordinasi Unsur Pelaksana BPBD Provinsi dan BPBD Kabupaten/Kota dilaksanakan
melalui koordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah lainnya di daerah, instansi

63
vertikal yang ada di daerah, lembaga usaha, dan/atau pihak lain yang diperlukan pada
tahap pra bencana dan pasca bencana.
Pasal 13 menyatakan
Fungsi komando sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf b, merupakan fungsi
Komando Unsur Pelaksana BPBD Provinsi dan BPBD Kabupaten/Kota dilaksanakan
melalui pengerahan sumber daya manusia, peralatan, logistik dari satuan kerja perangkat
daerah lainnya, instansi vertikal yang ada di daerah serta langkah-langkah lain
yang diperlukan dalam rangka penanganan darurat bencana.

Pasal 14 menyatakan
Fungsi pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf c, merupakan fungsi
pelaksana Unsur Pelaksana BPBD Provinsi dan BPBD Kabupaten/Kota dilaksanakan
secara terkordinasi dan terintegrasi dengan satuan kerja perangkat daerah lainnya di
daerah, instansi vertikal yang ada di daerah dengan memperhatikan kebijakan
penyelenggaraan penanggulangan bencana dan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 16 menyatakan
Susunan Organisasi Unsur Pelaksana BPBD Kabupaten/Kota terdiri atas: a. klasifikasi A; dan
b. klasifikasi B.

Pasal 17 menyatakan
(1) Unsur Pelaksana BPBD Kabupaten/Kota klasifikasi A sebagai-mana dimaksud dalam
Pasal 16 huruf a, terdiri atas: a. Kepala Pelaksana; b. Sekretariat Unsur Pelaksana; c.
Bidang Pencegahandan Kesiap siagaan; d.Bidang Kedaruratan dan Logistik; dan e.
Bidang Rehabili-tasi dan Rekonstruksi.
(2) Sekretariat dan Bidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d
dan huruf e terdiri paling banyak 3 (tiga) Sub bagian dan masing-masing Bidang terdiri
atas 2 (dua) Seksi. Pasal 18 menyatakan Unsur Pelaksana BPBD Kabupaten/Kota
klasifikasi B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b, terdiri atas: a. Kepala
Pelaksana; b. Sekretariat Unsur Pelaksana; c. Seksi Pencegahan dan Kesiap-siagaan; d.
Seksi Kedaruratan dan Logistik; dan e. Seksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi.

Pasal 23 menyatakan
(1) Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (1) huruf a, adalah jabatan struktural eselon II. b.
(2) Kepala Sekretariat dan Kepala Bidang BPBD Kabupaten/Kota sebagai dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, adalah jabatan struktural
eselon III.b.
(3) Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
huruf a, adalah jabatan struktural eselon III.a.
(4) Kepala Sekretariat dan Kepala Seksi BPBD Kabupaten/Kota sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, adalah jabatan struktural
eselon IV.a.
(5) Kepala Subbagian dan Kepala Seksi BPBD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 18 huruf c, huruf d, dan huruf e, adalah jabatan
struktural eselon IV.a.

64
Pasal 34 menyatakan
(2) Pembiayaan BPBD Kabupaten/Kota dalam penanganan bencana dibebankan
pada APBD Kabupaten/Kota dan sumber anggaran lainnya yang sah dan tidak
mengikat.

Pasal 35 menyatakan
(1) Pembentukan BPBD Provinsi dan BPBD Kabupaten/Kota paling lambat 1
(satu) tahun sejak Peraturan Menteri ini ditetapkan.

6). Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah

Pasal 2 menyatakan
(1). Pembentukan Organisasi Perangkat Daerah ditetapkan dengan peraturan daerah dengan
berpedoman pada peraturan pemerintah ini.
(2). Peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengatur mengenai
susunan, kedudukan, tugas pokok organisasi perangkat daerah.
(3). Rincian tugas, fungsi, dan tata kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih
lanjut dengan peraturan gubernur/bupati/walikota.

Pasal 19 menyatakan
(1) Besaran organisasi perangkat daerah ditetapkan berdasarkan variabel: a. jumlah
penduduk; b. luas wilayah; dan c. jumlah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD).

Pasal 21 menyatakan
(1) Besaran organisasi perangkat daerah dengan nilai kurang dari 40 (empat puluh) terdiri
dari: a. sekretariat daerah, terdiri dari paling banyak, 3 (tiga) asisten; b. sekretariat
DPRD; c. dinas paling banyak 12 (dua belas); d. lembaga teknis daerah paling
banyak 8 (delapan); e. kecamatan; dan f. kelurahan.
(2). Besaran organisasi perangkat daerah dengan nilai antara 40 (empat puluh) hingga
70 (tujuh puluh) terdiri dari: a. sekretariat daerah, terdiri dari paling banyak, 3
(tiga) asisten; b. sekretariat DPRD; c. dinas paling banyak 15 (lima belas); d. lembaga
teknis daerah paling banyak 10 (sepuluh); e. kecamatan; dan f. kelurahan.
(3). Besaran organisasi perangkat daerah dengan nilai lebih dari 70 (tujuh puluh) terdiri
dari: a. sekretariat daerah, terdiri dari paling banyak 4 (empat) asisten; b. sekretariat
DPRD; c. dinas paling banyak 18 (delapan belas); d. lembaga teknis daerah
paling banyak 12 (dua belas); e. kecamatan; dan f. kelurahan.

Pasal 30 menyatakan
(2) Badan terdiri dari 1 (satu) sekretariat dan paling banyak 4 (empat) bidang,
sekretariat terdiri dari 3 (tiga) subbagian, dan masing-masing bidang terdiri dari 2
(dua) subbidang atau kelompok jabatan fungsional.

65
BAB V

JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN,


DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN PERDA

A. KETENTUAN UMUM

Ketentuan Umum yang akan dibuat dalam produk hukum daerah, mengenai Pembentukan
Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Kediri antara lain menyangkut beberapa
peristilahan dan frase, yakni:
1. Daerah adalah Kota Kediri .
2. Walikota adalah Walikota Kediri.
3. Sekretaris Daerah adalah Sekretaris Daerah Kota Kediri.
4. Eselon adalah tingkatan jabatan struktural.
5. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam
dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
6. Badan Nasional Penanggulangan Bencana yang selanjutnya disingkat BNPB adalah
lembaga pemerintah non departemen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
7. Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Kediri yang selanjutnya disebut BPBD iri
adalah perangkat daerah yang dibentuk untuk melaksanakan tugas dan fungsi
penanggulangan bencana.
8. Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi
penetapan kebijakan pembangunan yang beresiko timbulnya bencana, kegiatan
pencegahan bencana, tanggap darurat dan rehabilitasi

66
B. MATERI POKOK YANG AKAN DIATUR

1. Tujuan pembentukan produk Hukum Daerah, tentang BPBD


Tujuan yang diharapkan dari pembentukan produk Hukum Daerah tentang
pembentukan BPBD Kota Kediri adalah menjamin terselenggaranya upaya yang terencana,
sistemis, terintegrasi dan berkesinambungan diantara stakeholder Kota Kediri dalam empat
hal:
a. Memberi kepastian hukum bagi semua pihak dan stakeholder serta komunitas dalam
penyelenggaraan kegiatan kepemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada
masyarakat, terutama dalam penanganan bencana;
b. Memberi rasa aman dan keadilan bagi semua pihak dan stakeholder serta komunitas
dalam proses penyelenggaraan kegiatan kepemerintahan, pembangunan dan pelayanan
kepada masyarakat terutama dalam pengelolaan dan penanganan bencana dengan
memperhatikan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu
dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara;
c. Memberi akses persamaan kedudukan bagi semua pihak dan stakeholder serta
komunitas di hadapan hukum dalam penyelenggaraan kegiatan kepemerintahan,
pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat, terutama terkait dengan penanaganan
bencana;
d. Memberi akses perlindungan dan pengayoman kepada semua pihak atau stakeholder yang
berkepentingan dalam penyelenggaraan kegiatan kepemerintahan, pembangunan dan
pelayanan kepada masyarakat, terutama pengelolaan bencana;

2. Lingkup Pembentukan Produk Hukum Daerah

Lingkup pembentukan produk hukum daerah, terutama Pembentukan Badan


Penanggulangan Bencana Kota Kediri meliputi hal-hal yang bersifat memberi kepastian,
pengayoman maupun tindakan-tindakan diskriminatif dalam mencari keadilan untuk memenuhi
hak-hak seseorang dari segala bentuk tindak perlakuan diskriminatif. Lingkup muatan produk
hukum daerah, yakni Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana harus mampu
mengakomidir asas-asas hukum, antara lain:

67
a. Pengayoman, adalah bahwa setiap materi muatan peraturan daerah harus berfungsi
memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat;
b. Kemanusiaan, adalah bahwa setiap materi muatan peraturan daerah harus mencerminkan
perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap
warga negara dan penduduk indonesia secara proporsional;
c. Kebangsaan, adalah bahwa setiap materi muatan peraturan daerah harus mencerminkan sifat
dan watak bangsa Indonesia yang pluralistic (kebhinekaan) dengan tetap menjaga
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. Kekeluargaan, adalah bahwa setiap materi muatan peraturan daerah harus mencerminkan
musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan;
e. Kenusantaraan, adalah bahwa setiap materi muatan peraturan daerah merupakan bagian
dari sistem hukum nasional yang berdasarkan pancasila;
f. Bhineka tunggal ika, adalah bahwa materi muatan peraturan daerah harus memperhatikan
keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya
khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara;
g. Keadilan, adalah bahwa setiap materi muatan peraturan daerah harus mencerminkan
keadilan secara proporsional bagi setiap warga Negara tanpa kecuali;
h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, adalah bahwa setiap materi
muatan peraturan daerah tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan
latar belakang, antara lain agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial;
i. Ketertiban dan kepastian hukum, adalah bahwa setiap materi muatan peraturan daerah
harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya
kepastian hukum; dan/atau
j. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, adalah bahwa setiap materi muatan
peraturan daerah harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara
kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.

3. Prinsip dalam Pembentukan Produk Hukum Daerah

Dalam rangka untuk mencapai tujuan pembentukan produk-produk hukum daerah Kota
Kediri agar lebih pasti dan memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat, maka dalam penyusunan

68
pembentukan produk hukum daerah perlu ditetapkan beberapa prinsip sebagai pedoman
yang harus dipatuhi oleh para pelaksana di lapangan. Secara umum, prinsip yang
digunakan dalam pembentukan produk hukum daerah meliputi tujuh (7) prinsip utama, yakni:
1) Kejelasan tujuan, adalah bahwa setiap pembentukan peraturan daerah harus mempunyai
tujuan yang jelas yang hendak dicapai;
2) Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, adalah bahwa setiap peraturan daerah harus
dibuat oleh lembaga/pejabat yang berwenang, sehingga peraturan daerah tersebut dapat
dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak
berwenang;
3) Kesesuaian antara jenis dan materi muatan, adalah bahwa dalam pembentukan peraturan
daerah harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan peraturan
daerahnya;
4) Dapat dilaksanakan, adalah bahwa setiap pembentukan peraturan daerah harus
memperhitungkan efektivitas peraturan daerah tersebut di dalam masyarakat, baik secara
filosofis, yuridis, maupun sosiologis;
5) Kedayagunaan dan kehasilgunaan, adalah bahwa setiap peraturan daerah dibuat karena
memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
6) Kejelasan rumusan, adalah bahwa setiap peraturan daerah, sistematika dan pilihan kata
atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak
menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya; dan
7) Keterbukaan, adalah bahwa dalam proses pembentukan peraturan daerah mulai dari
perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka,
sehingga seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk
memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan daerah.

4. Strategi dan Upaya Penanganan.


Upaya penanganan yang perlu dilakukan untuk penyusunan produk-produk hukum daerah
yang lebih memberi rasa keadilan, kesamaan dan pengayoman, maka peran aparatur hukum
yang mampu menggerakan hukum bekerja dengan optimal harus memiliki beberapa karakter,
antara lain:
a. Keberanian untuk menerima tanggung jawab (the courage to assume responsibility)

69
b. Keberanian untuk melayani dengan baik (the courage to serve)
c. Keberanian untuk berargumen dengan pemimpin (the courage to challenge);
d. Keberanian untuk berpartisipasi dalam proses transformasi (the courage to participate in
transformation);
e. Keberanian untuk mengambil langkah moral (the courage to take moral action)
Agar produk hukum daerah Kota Kediri dapat berperanan secara lebih baik dan memiliki
nilai untuk merekatkan rasa kebangsaan, maka produk hukum harus mampu dilihat
sebagai sebuah system yang terdiri dari seperangkat bagian-bagian yang berhubungan satu
sama lain yang bekerja sendiri-sendiri atau bersama-sama menuju tujuan yang sama. Ada
tiga komponen pembentuk bekerjanya hukum secara lebih adil dan lebih baik, yakni : a) Legal
Structure (struktur hukum) yaitu bagian yang bergerak didalam suatu mekanisme atau
kelembagaan yang diciptakan oleh system hukum dan berfungsi untuk mendukung bekerjanya
system hukum. Dalam konteks operasional, struktur hukum ini didalamnya terdapat
aparatur hukum.b) Legal substance (substansi hukum) yaitu hasil actual yang diterbitkan oleh
system hukum (berupa norma-norma dan peraturan perundang-undangan), c) Legal culture
(budaya hukum) yang berupa ide-ide, sikap,harapan dan pendapat tentang hukum sebagai
keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana system hukum memperoleh tempatnya secara
baik dan bagaiman orang menerima hukum atau sebaliknya.

C. KETENTUAN PERALIHAN

Pada saat peraturan daerah ini mulai berlaku, maka keberadaan satuan koordinasi
Pelaksanaan Penanggulangan Bencana yang ada di daerah harus dilakukan penyesuaian.

D. KETENTUAN PENUTUP

Peraturan daerah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januarai 2015. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan peraturan daerah ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Daerah Kota Kediri.

70
BAB VI
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ruang lingkup muatan materi yang akan diatur dalam peraturan daerah ini yang meliputi
ketentuan susunan organisasi,pokok, fungsi dan tata kerja Badan Penanggulangan Bencana untuk
menyelenggarakan penanggulangan bencana yakni serangkaian upaya yang meliputi penetapan
kebijakan pembangunan yang beresiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana,
tanggap darurat dan rehabilitasi .
Dengan peraturan daerah ini dapat menjadi dasar hukum bagi pelaksanaan tugas pokok dan
fungsi serta menata hubungan kerja yang baik dan harmonis atar BPBD dan SKPD lainnya dalam
menjalankan fungsinya untuk membantu Kepala Daerah mencapai tujuan pembangunan Kota
Kediri sehingga terwujud kepastian dan optimalisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan,
pembangunan dan layanan publik secara adil menjadi sangat penting, terutama dalam
penanganan bencana.
Kepastian hukum sebagai landasan bagi setiap orang atau komunitas untuk berkegiatan dan
berperilaku menjadi sangat dibutuhkan ketika banyak perubahan dalam kehidupan masyarakat
saat ini. Pembuatan produk hukum daerah baru yakni pembentukan Badan Penanggulangan
Bencana Daerah Kota Kediri harus mampu merefleksikan kebutuhan perubahan yang terjadi,
seperti penciptaan rasa aman dan perlindungan dari bencana fisik maupun non fisik yang kian
banyak terjadi.
Seiring dengan visi Kota Kediri, yakni Tewujudnya Masyarakat Kota Kediri yang Makmur,
Mandiri dan Berakhlak Dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. maka
lahirnya produk hukum daerah tentang Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah
Kota Kediri akan mampu menjadi pendukung terwujudnya visi tersebut, terutama sebagai
bagian dari mewujudkan kemakmuran masyarakat.

B. Saran
Agar pelaksanaan Rancangan Peraturan Daerah tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan
Penanggulangan Bencana Daerah Kota Kediri dapat dilaksanakan secara baik, maka diperlukan :

71
1. Mekanisme dan prosedur yang transparan dari seluruh satuan Kerja Pemerintah Daerah dalam
membahas Rancangan Peraturan Daerah ini;
2. Penyusunan rancangan peraturan daerah ini segera diikuti dengan pembentukan Rancangan
Peraturan Walikota sebagai rincian tugas bagi Badan Penanggulangan Bencana Daerah , hal ini
mencegah terjadinya kekosongan hukum bagi SKPD terkait dalam melakukan tugas pelayanan
kepada masyarakat;
3. Perlunya dukungan pembiayaan yang cukup untuk melakukan pembahasan dan sosialisasi bagi
perubahan peraturan daerah ini terutama bagi SKPD dan masyarakat.

72

Anda mungkin juga menyukai