Anda di halaman 1dari 25

UI

2010

TINJAUAN KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA DALAM KONTROVERSI PEMUATAN KARIKATUR NABI MUHAMMAD DI MEDIA MASSA INTERNASIONAL

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Media dan Komunikasi Antar Budaya

Oleh AULIA DWI NASTITI | 0906561452

K O M U N I K A S I | F I S I P UI | 2 0 1 0

KERANGKA KONSEPTUAL
KONSEP BUDAYA
Definisi Budaya Kehidupan manusia tidak akan pernah dapat dilepaskan dari budaya karena dalam budaya lah manusia sejatinya hidup. Namun seringkali manusia tidak menyadari apa itu budaya, dan apa kaitannya dengan kehidupannya. Dalam bukunya, Communicating Across Culture, Gudykunst dan Kim (2003) mensarikan definisi Keesing (1974) mengenai budaya sebagai sebuah rujukan yang selalu kita gunakan dalam berinteraksi. Pada dasarnya, kita tidak menyadari kehadiran budaya sebagai pedoman dalam keseharian kita, tetapi perilaku kita merefleksikan bahwa seolah-seolah ada kesepakatan umum terhadap pedoman tersebut. Sementara itu, Ting Too-Mey (1999) merujuk pada DAndrade (1984) merumuskan budaya sebagai sebuah kerangka rujukan yang kompleks yang terdiri dari berbagai pola-pola tradisi, kepercayaan, nilai, norma, simbol, dan makna, yang ditularkan dalam berbagai tataran masyarakat melalui proses interaksi dan sosialisasi dalam anggota kelompok sosial tertentu. Oleh karena itulah, budaya dapat disebut sebagai enigma (Ting Too-Mey, 1999) karena ia memilki baik komponen konkret dan abstrak. Berbagai elemen tersebut terdapat dalam diri manusia dan dapat dinyatakan dalam metafora gunung es. Lapisan dasar (jumlahnya sebagian besar) diisi oleh komponen-komponen abstrak yang tak terlihat secara kasat mata, seperti nilai, norma, kepercayaan, tradisi, makna, dan kebutuhan universal. Sedangkan lapisan atas yang besarnya hanya sebagian kecil merupakan perwujudan konkret yang berupa artifak-artifak budaya seperti benda, fashion, musik, gambar, juga simbol-simbol verbal dan nonverbal lainnya.

1 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad

Fungsi Budaya Berangkat dari definisi budaya sebagai kerangka rujukan perilaku manusia dalam berinteraksi, Ting Too-Mey (1999) kemudian mengidentifikasikan lima fungsi budaya: (1) identity meaning function, yang berarti bahwa budaya berfungsi sebagai atribut dan penanda yang menunjukkan identitas kita melalui adanya kepercayaan, nilai, dan norma-norma budaya, (2) group inclusion function, yaitu budaya sebagai pemenuhan kebutuhan untuk berafiliasi dengan suatu kelompok dan membentuk perasaan menjadi bagian dalam kelompok tersebut (sense of belonging), (3) intergroup boundary regulation function, di mana budaya dalam in-group kita membentuk kecenderungan bersikap dalam interaksi dengan kelompok budaya lain (out-group), (4) ecological adaptation function, budaya mengajarkan proses adaptasi dalam inetraksi antar individu, kelompok budaya, dan dalam lingkungan luas, (5) cultural communication function, di mana budaya mempengaruhi cara berkomunikasi, dan komunikasi pun mempengaruhi budaya kita

KONSEP KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA

Definisi Komunikasi Antar Budaya Pada prinsipnya, komunikasi antar budaya didefiniskan sebagai proses pertukaran makna melalui simbol-simbol di antara orang-orang yang berasal dari budaya yang berbeda (Gudykunst & Kim, 2003; Ting Too-Mey, 1999). Komunikasi antar budaya dianggap sebagai proses yang lebih kompleks karena dihadapkan pada tantangan perbedaan budaya. Perbedaan budaya di antara dua pihak yang berkomunikasi berimplikasi pada timbulnya perbedaan sistem simbol dan bagaimana mereka memaknai simbol tersebut. Oleh karena itu, Ting Too-Mey (1999) berargumen bahwa untuk mewujudkan komunikasi interkultural yang efektif, kita harus memperhatikan identitas lawan bicara kita. Lima asumsi pokok dalam komunikasi antar budaya (Ting Too-Mey, 1999), yaitu: 1. Dalam komunikasi antar budaya terdapat berbagai perbedaan dengan tingkat tertentu antara dua anggota kelompok yang berinteraksi 2. Komunikasi antar budaya melibatkan proses encoding-decoding simbol-simbol verbal dan nonverbal dalam waktu yang bersamaan 3. Komunikasi antar budaya berpotensi besar menemui perselisihan makna (well-meaning clashes) karena adanya perbedaan budaya

2 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad

4. Komunikasi antar budaya selalu bersifat kontekstual dan tidak terjadi dalam ruang vakum, artinya komunikasi antar budaya selalu dipengaruhi oleh faktor-faktor situasional yang ada 5. Komunikasi antar budaya selalu terjadi dalam sistem yang melekat pada konteks interaksi tersebut yang bersifat dependen dan saling mempengaruhi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komunikasi Antar Budaya Berdasarkan model komunikasi antar budaya yang dikembangkan oleh Gudykunst dan Kim (2003), dapat diketahui beberapa faktor yang mempengaruhi proses komunikasi antar budaya, yang diklasifikasikan mejadi dua jenis, yaitu faktor personal yang terdapat dalam diri individu dan faktor situasional atau pengaruh dari luar. Faktor personal antara lain mencakup: pengaruh budaya, pengaruh sosiobudaya, dan pengaruh psikobudaya. Sementara faktor situasional diartikan sebagai pengaruh lingkungan dalam proses komunikasi antar budaya. Dalam kajian ini, pembahasan dibatasi hanya pada faktor-faktor yang mempengaruhi permasalahan, yaitu pengaruh budaya, pengaruh sosiobudaya, dan pengaruh psikobudaya. 1. Pengaruh Budaya Pengaruh budaya dalam komunikasi bersifat dialektik, timbal balik dan saling mempengaruhi. Dalam menelaah pengaruh budaya, digunakan dua pendekatan, pertama memahami bagaimana budaya mempengaruhi perilaku komunikasi seseorang dari dalam yaitu dari sudut pandang orang tersebut. Kedua, untuk memahami cara budaya mempengaruhi perilaku adalah dengan cara membandingkan dengan budaya lain. Untuk mendapatkan pemahaman yang fokus dan komprehensif, maka kita harus memahami perbedaan budaya dalam berbagai dimensi, antara lain dimensi individualisme-kolektivisme, dimensi variasi kebudayaan Hofstede, orientasi nilai Kluckhohn Strodbecks, serta dimensi pola variabel Parson. Dalam menelaah permasalahan kali ini, penulis menggunakan konsep budaya dalam dimensi individualis-kolektivis. Perbedaan dimensi kebudayaan individualis-kolektivis dikaji dalam level analisis kelompok kultural yaitu, kelompok budaya individualis memiliki kecenderungan untuk bersifat universal dalam standarisasi dan penilaian berbagai hal sesuai dengan objeknya (objektif). Sedangkan kebudayaan kolektivis cenderung memiliki preferensi penilaian yang lebih baik bagi anggota in-group-nya (subjektif). Kebudayaan kolektivis menekankan tujuan, kebutuhan, dan pandangan in-group terhadap anggotanya serta memprioritaskan norma sosial in-group itu dibanding kepentingan anggotanya. Sedangkan kebudayaan individual, menempatkan nilai-nilai in-group setara dengan nilai-nilai dan kepercayaan individu.

3 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad

2. Pengaruh Sosiobudaya Term sosiobudaya (sosiocultural) dapat diartikan sebagai kajian budaya berdasarkan aspek-aspek sosial yang berlaku di masyarakat, khususnya institusi dan kelompok sosial. Dalam kajian sosiokultural, asumsi yang berlaku adalah budaya dan kondisi sosial mempengaruhi proses komunikasi kita dengan orang lain (terutama komunikasi antar budaya). Seperti halnya pengaruh budaya, pengaruh sosiokultural dalam komunikasi antar budaya dapat dikaji melalui tiga pendekatan ilmiah, yaitu ilmu komunikasi, sosiologi, dan antropologi sosial. Sedangkan pengaruh sosiobudaya dalam komunikasi terlihat dari keanggotaan dalam kelompok sosial, identitas sosial dan peran sosial. Kelompok sosial merupakan sekumpulan individu yang saling berbagi pengalaman dan identitas sosial (simbol) dan keanggotaan dalam kelompok sosial mengacu pada keterikatan seorang individu dalam kelompoknya tersebut. Macam-macam kelompok sosial yaitu: (1) kelompok anggota dan

kelompok acuan (membership-reference group) dan (2) Kelompok dalam dan kelompok luar (ingroups-outgroups), selain itu juga terdapat klasifikasi lain yaitu kelompok mayoritas dan kelompok minoritas. Identitas sosial merupakan aspek penting yang mempengaruhi pembentukan konsep diri (self concept), dipelajari dari keanggotaan seorang individu dalam sebuah kelompok dan sekaligus mempengaruhi komunikasi kita dengan orang lain. Identitas sosial dipelajari melalui sosialisasi (primer dan sekunder). Tujuh identitas utama yang dimiliki oleh setiap individu (Gudykunst & Kim, 2003) yaitu: (1) Identitas Budaya, meliputi budaya individualis atau kolektivis, (2) Identitas Etnis, yang memicu labelling dan stereotyping, dan dihasilkan oleh proses asimilasi atau sebagai bentuk pluralisme, (3) Identitas Gender, meliputi feminin, maskulin, undifferentiated, dan androgynous, (4) Identitas Berdasarkan Keterbatasan, (5) Identitas Usia, (6) Identitas Kelas Sosial, berdasarkan pendapatan, pendidikan, pekerjaan dll, (7) Identitas Peran, meliputi beberapa variabel seperti

degree of personalness, degree of formality, dan degree of hirearchy. Sedangkan menurut Ting Too-Mey (1999), dalam setiap diri individu terdapat delapan domain identitas yang terklasifikasikan dalam dua tipe, yaitu primary identities dan situational identites. Primary identities merupakan identitas yang sifatnya tetap dan mencakup empat domain identitas, yaitu (1) cultural identity yang berasal dari afiliasi dengan kelompok kultural tertentu; (2) ethnic identity identitas yang diperoleh dari asal-usul nenek moyang dan mengacu pada etnis; (3) gender identity yang menunjukkan image laki-laki dan perempuan; dan (4) personal identity, identitas unik yang hanya dimiliki diri kita. Sedangkan situational identites didefinisikan sebagai identitas yang sifatnya berubah-ubah sesuai konteks dan situasi di mana interaksi tersebut berlangsung. Empat domain identitas yang termasuk dalam situational identity antara lain, (1) role identity, identitas berdasarkan peran yang kita jalankan dalam suatu interaksi; (2) relational identity,identitas yang kita

4 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad

miliki dari ikatan keluarga dan hubungan pertemanan; (3) facework identity, identitas yang berupa image kita dalam interaksi, dan (4) symbolic interaction identity atau identitas yang kita peroleh dari simbol-simbol verbal dan nonverbal ketika kita berkomunikasi. 3. Pengaruh Psikobudaya Pengaruh psikobudaya dalam komunikasi mengacu pada proses-proses yang terjadi dalam tataran kognitif kita yang mempengaruhi pemikiran, sikap, dan perilaku komunikasi (Gudykunst & Kim, 2003). Dalam konteks komunikasi antar budaya, konsep-konsep yang perlu digarisbawahi terkait dengan pengaruh psikobudaya adalah stereotype, prejudice, dan ethnocentrism. Stereotype didefinisikan oleh Lippman (1992) sebagai gambaran khas di kepala kita mengenai suatu hal. Dalam konteks interaksi, stereotipe berarti representasi kognitif atas kelompok lain yang mempengaruhi perasaan kita terhadap anggota kelompok tersebut (Gudykunst & Kim, 2003). Hewstone & Brown (1986) mnegklasifikasikan aspek-aspek dalam stereotip: kategorisasi individu berdasarkan keanggotaannya pada suatu kelompok, seperangkat atribut dianggap menggambarkan (hampir) seluruh anggota sebuah kategori, dan seperangkat atribut dianggap menggambarkan anggota individu sebuah kategori. Ketika kita berkomunikasi, kita cenderung menilai seseorang berdasarkan stereotip secara otomatis dan tidak disadari. Stereotipe dapat mengurangi ketidakpastian dan menambah tingkat prediksi, tetapi tidak meningkatkan akurasi. Implikasinya, stereotipe tidak menyebabkan miskomunikasi, tetapi potensi kesalahpahaman dalam interaksi, terutama interaksi antar budaya, karena stereotipe mempengaruhi cara kita membentuk persepsi. Prejudice, dalam Gudykunst dan Kim (2003) diartika sebagai sikap menghakimi satu individu berdasarkan kelompok dia berasal, hal ini umumnya bersifat negative dan mengarah pada diskriminasi. Prejudice bisa juga merupakan wujud ekspresi rasa takut, jijik, tidak suka, marah, kecemburuan. Berkaitan dengan prejudice, banyak kalangan menilai bahwa media berkontribusi besar dalam pembentukan citra baik / buruk budaya tertentu (prejudice). Ethnocentrism berarti tendensi untuk mengidentifikasi diri kita dengan kelompok kita (budaya, suku tertentu) dan untuk mengevaluasi kelompok luar (outgroups) beserta anggota-anggotanya berdasarkan standar tertentu (Gudykunst & Kim, 2003). Pada dasarnya setiap orang memiliki karakteristik etnosentris sampai pada tiongkat tertentu. Oleh karena itu, kita biasanya memandang nilai-nilai budaya sendiri secara lebih nyata dan benar , sehingga muncul pandangan superior terhadap budaya luar, dan kita menjadi khawatir ketika berinteraksi dengan orang asing. Berkaitan dengan proses interaksi etnosentrisme memiliki fungsi memperkuat ikatan kelompok, wujud ekspresi nilai, cara pandang budaya lain melalui frame budaya sendiri. Sedangkan implikasi negatif etnosentrisme adalah munculnya superioritas, sikap ekstrim yang mengancam budaya lain, menganggap budaya sendiri yang paling benar dan berusaha mengubah cara berpikir orang lain.

5 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad

Sejarah dalam Komunikasi Antar Budaya Merujuk pada argumen Martin dan Nakayama (2004), salah satu elemen penting yang harus diperhatikan dalam kajian komunikasi antar budaya adalah sejarah. Sejarah membentuk pemhaman mengenai siapa identitas kita, sebagai individu dan anggota kelompok sosial. Ketika berinteraksi, kita sebenarnya membawa sejarahpersonal kita, karenanya sejarah mempengaruhi bagaimana cara kita berinteraksi. Empat elemen sejarah personal yang mempengaruhi interaksi (Brislin, 1981): Childhood experience atau pengalaman masa lalu kita, Historical myths mitos-mitos sejarah, Language atau perbedaan sistem bahasa, dan Recent/vivid events atau pemberitaan media atas peristiwa aktual yang mempengeruhi pembentukan stereotype dan prejudice dalam interaksi. Identity Negotiation Perspective dan Mindful Intercultural Communication Identity Negotiation Perspective atau Perspektif Negosiasi Identitas merupakan sebuah cara pandang dalam komunikasi antar budaya yang menekankan pada hubungan antara nilai-nilai budaya dan konsep diri seseorang (Ting Too-Mey, 1999). Dalam perspektif negosiasi identitas, keduanya merupakan variabel penting dalam membentuk identitas seseorang. Pada dasarnya setiap individu memiliki dua macam identitas dalam dirinya yang bersumber dari dua sumber yang berbeda (Ting Too-Mey, 1999). Dua tipe identitas yang dimiliki individu adalah Social Identity dan Personal Identity. Menurut Brewer dan Miller (1996), Social identity mengacu pada konsep diri individu yang diperoleh dari keanggotaannya dalam suatu kelompok tertentu dan bersumber pada kelompok (group-based). Personal Identity merujuk pada konsep diri individu yang mendefinisikan seorang individu secara unik dan membedakannya dengan individu lainnya. Personal identity bersumber dari individu itu sendiri (person-based). Dua tipe identitas yang berasal dari dua sumber yang berbeda tersebut membentuk dua macam persepsi yang dimiliki individu ketika dirinya terlibat interaksi, yaitu intergroup-based perceptions atau persepsi yang hadir dalam benak individu ketika mengalami segregasi akibat proses kategorisasi sosial dan interpersonal-based perceptions yang timbul ketika individu berada dalam situasi interpersonal (Tajfel, 1981). Dalam proses komunikasi antar budaya, yang dinegosiasikan adalah dua identitas yang berbeda dengan budaya sebagai akar dan inti dari proses komunikasi tersebut, dan implikasi yang timbul dari negosiasi identitas tersebut adalah muculnya persepsi antar budaya antara dua pihak yang berinteraksi tersebut. Ting Too-Mey (1999) berpandangan bahwa negosiasi identitas merupakan prasyarat terjadinya komunikasi antar budaya yang sukses dan efektif. Komunikasi antar budaya yang baik disebut sebagai mindful intercultural communication, yang diindikasikan oleh kesediaan pihak-pihak yang berkomunikasi untuk menempatkan diri kada kerangka rujukan budaya lain dan upaya penyesuaian diri terhadap perbedaan-perbedaan budaya yang mempengaruhi perbedaan dalam memaknai interaksi.

6 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad

DESKRIPSI KASUS

CONTOH KASUS

Denmark, September 2005. Sebuah koran terbesar di Denmark, Jylland-Posten, memuat 12 buah gambar kartun yang menggambarkan sosok Nabi Muhammad sebagai seseorang yang bodoh, dungu, linglung, pendukung kekerasan, terorisme dan pengeboman, eksploitasi terhadap wanita melalui poligami. Bahkan beberapa kartun tersebut terang-terangan menuliskan kata-kata yang menghina Islam seperti prasangka bahwa Islam identik dengan terorisme, tirani teokrasi, inteloren terhadap kritik, takut akan ekspansi budaya barat, dan lain-lain. Enam dari kedua belas karikatur tersebut diterbitkan ulang di surat kabar Mesir, El Faqr, pada 30 Oktober 2005 untuk mendampingi sebuah artikel yang mengkritik keras tindakan Posten, namun saat itu karikatur-karikatur ini belum mendapat perhatian yang besar di luar Denmark. Hanya pada Desember 2005, saat Organisasi Konferensi Islam mulai menyatakan penentangannya, barulah kontroversi ini menghangat di dunia. Sebagian dari karikatur tersebut direproduksi dan diterbitkan di surat kabar di seluruh belahan dunia internasional, antara lain di Norwegia oleh surat kabar Magazinet, pada tanggal 10 Januari 2006. Koran Jerman, Die Welt; surat kabar Perancis France Soir dan banyak surat kabar lain di Eropa dan juga surat kabar di Selandia Baru dan Yordania. Di Indonesia sendiri, tercatat ada dua media massa yang menerbitkan karikatur-karikatur ini, masing-masing Tabloid Gloria (5 karikatur) dan Tabloid PETA.

7 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad

Menurut Jyllands-Postens, kartun-kartun tersebut dipublikasikan sebagai bentuk ungkapan satir atas penyensoran diri (self-censorship) dan kebebasan berpendapat (freedom of speech) yang dilatarbelakangi oleh penolakan dari berbagai pihak untuk menggambar Muhammad di buku seorang penulis Denmark bernama Kare Bluitgen. Mereka menolak untuk menggambar Muhammad karena cemas dan takut diserang ekstremis Muslim. Mendengar hal tersbut, Jyllands-Postens menuntut isu kebebasan berpendapat dengan memuat gambar-gambar karikatur Nabi Muhammad yang dalam pandangan umat Islam merupakan hal yang tabu dilakukan. Meskipun Jyllands-Posten mengatakan penerbitan gambar-gambar ini ditujukan untuk menunjukkan bahwa kebebasan berbicara berlaku bagi siapapun, banyak orang menganggap bahwa gambar-gambar tersebut adalah bentuk penghinaan terhadap Islam dan menunjukkan prasangka buruk terhadap Islam, serta berpotensi membentuk Islamofobia di Denmark. Pemuatan gambar-gambar Nabi Muhammad secara kartunis dengan image dan pencitraan yang bodoh dan buruk tersebut tak ayal memunculkan reaksi keras dari umat muslim seluruh dunia. Berbagai aksi dan protes dari dunia internasional dilayangkan kepada surat kabar dan pemerintah Denmark, mulai dari aksi dan protes yang bersifat damai, politis, dan diplomatis, sampai aksi dan protes yang sifatnya keras dan radikal. Protes-protes yang datang dari tataran internasional antara lain (Berita dikutip dari Republika dan detik.com) : - Organisasi Konferensi Islam dan Liga Arab meminta agar PBB menjatuhkan sanksi internasional terhadap Denmark. - Produk dari Denmark diboikot oleh konsumen di Arab Saudi, Kuwait dan negara Arab lain. - Selain itu ada protes besar-besaran oleh kaum Muslim di Indonesia, Malaysia, Pakistan, negara Arab dan negara lain yang mempunyai populasi Muslim, hampir semuanya menggunakan kekerasan. - Pada tanggal 4 Februari, Kedubes Denmark dan Norwegia di Suriah dibakar, akan tetapi tidak ada korban jiwa. Sehari kemudian pada tanggal 5 Februari Kedubes Denmark di Beirut, Lebanon juga dibakar oleh amukan massa. Akibat kejadian ini, Menteri Dalam Negeri Lebanon, Hassan al-Sabaa mengundurkan diri. Dua hari kemudian, pada 7 Februari, Iran resmi memutuskan hubungan dagang dengan Denmark - Sekjen PBB, Kofi Annan, menyatakan keprihatinannya akan peristiwa ini dan berkata bahwa "kebebasan pers" harus selalu diterapkan melalui penghormatan terhadap keyakinan agama dan ajaran seluruh agama".

8 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad

- Kemarahan warga muslim atas karikatur Nabi Muhammad SAW terus meluas. Bahkan di Palestina, dua pria bersenjata menculik seorang warga Jerman sebagai luapan kemarahan atas kartun kontroversial itu. - Pemerintah Indonesia melalui saluran OKI dan PBB telah menyampaikan nota protes keras atas pemuatan karikatur Nabi Muhammad SAW yang beredar di Denmark, Italia, Polandia, Prancis, dan Belanda.

Yang menarik dan tidak banyak diketahui oleh publik adalah, reaksi dunia Islam terhadap karikatur yang menghina tersebut tidak hanya dilayangkan dalam bentuk nota protes, boikot, atau bahkan tindakan ekstrem seperti pembakaran kedubes Denmark dan negara-negara Eropa tertentu, tetapi melalui karikatur balasan untuk menyindir betapa Barat seringkali menunjukkan standar ganda dalam bersikap. Selain itu, muncul gagasan untuk meng-counter penghinaan Barat melalui lomba karikatur bertema Yahudi yang inisiatifnya muncul dari sebuah surat kabar di Iran Hamshahri yang merencanakan lomba tersebut untuk menguji batas kebebasan berbicara, sebgaimana alasan yang digunakan banyak surat kabar Eropa dalam menyiarkan kartun Nabi tersebut. Pertanyaan penting bagi Muslim ialah, `apakah kebebasan berbicara Barat membolehkan mengangkat masalah, seperti, kejahatan Amerika Serikat dan Israel atau kejadian, seperti, Bencana Yahudi, atau kebebasan berbicara itu hanya bagus untuk menyerang nilai suci agama Tuhan? kata harian itu. (Dikutip dari Republika, 8 Februari 2006). Pada akhirnya, kontroversi dan perbenturan budaya ini mulai mereda setelah Jyllands-Posten sendiri telah meminta maaf karena telah menghina umat Muslim. Namun mereka tetap berpendapat bahwa mereka berhak menerbitkan karikatur tersebut, dengan alasan bahwa fundamentalisme Islam tidak dapat mengontrol hal-hal yang dapat diterbitkan media di Denmark.

9 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad

STUDI KASUS

ANALISIS KASUS
Berdasarkan ilustrasi kasus yang telah disajikan pada Bab Deskripsi Kasus, kita dapat menarik kesimpulan bahwa kasus tersebut merupakan salah satu contoh terjadinya benturan antar budaya (cultural clashing) di tingkat global. Dua komponen budaya yang menjadi esensi kajian antar budaya di sini adalah budaya Islam dan budaya Barat. Budaya Islam diwakili oleh kelompok negara-negara Islam seperti Liga Arab dan OKI, serta warga negara-negara Islam,s edangkan budaya Barat direpresentasikan oleh warga negara Denmark dan negara-negara Barat lainnya seperti Norwegia, Perancis, Australia, dan negara-negara lain yang turut mendukung pemuatan karikatur tersebut dalam media massa. Untuk menguraikan permasalahan yang sebenarnya terjadi dalam cultural clashing antara budaya Islam dan budaya Barat akibat pemuatan karikatur Nabi Muhammad tersebut, kita dapat mengkajinya dalam tinjuan komunikasi antar budaya. Karena pada dasarnya, hal fundamental yang membentuk suatu hubungan antar budaya, baik pada tingkat interpersonal maupun intergrup adalah proses komunikasi yang berlangsung di antara keduanya.

Konsep Budaya Ditinjau dari konsep budaya, klasifikasi budaya berdasarkan tingkat keanggotaan kelompok budaya dalam kasus di atas adalah wilayah dunia (global). Dalam klasifikasi ini terdapat dikotomi antara budaya Barat dan budaya Islam. Sesuai dengan definisi Gudykunst dan Kim (1999) yang memandang bahwa budaya merupakan kerangka rujukan dalam berperilaku, budaya Islam dan

10 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad

budaya Barat masing-masing memiliki kerangka rujukan masing-masing yang digunakan sebagai pedoman dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain serta membentuk cara memahami perilaku orang lain. Hal ini terlihat dari pemaknaan masing-masing pihak terhadap karikatur tersebut. Lebih jauh, merujuk definisi Ting Too-Mey (1999), yang memasukkan elemenelemen dalam kebudayaan yang terdiri dari berbagai pola-pola tradisi, kepercayaan, nilai, norma, simbol, dan sebagai sebuah sistem kerangka rujukan yang kompleks, dapat kita jelaskan bahwa Budaya Barat merujuk pada nilai-nilai kebebasan. Oleh karena itu, Barat menganggap bahwa pelarangan untuk menggambarkan sosok Nabi Muhammad adalah suatu bentuk pelanggaran. Pada akhirnya, pemahaman Barat tersebut membentuk sikap Barat untuk mengkomunikasikan nilai-nilai kebebasannya itu dalam bentuk karikatur Nabi Muhammad. Sedangkan dari sudut pandang budaya Islam, kerangka rujukan yang digunakan didasarkan pada peraturan dan nilai-nilai agama Islam yang notabene memberlakukan suatu batasan-batasan tertentu terkait dengan pemimpin agamanya, yaitu Nabi Muhammad SAW. Nilai-nilai Islam melarang Nabi Muhammad ditampilkan dalam bentuk simbol-simbol grafis, baik berupa gambar, lukisan, patung, foto, maupun film. Hal ini didasari pandangan bahwa Nabi Muhammad merupakan pemimpin spiritual yang sangat dihormati dalam budaya Islam sehingga penggambaran terhadap sosoknya memungkinkan terjadinya distorsi atau pengolahan tertentu yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Selan itu, nilai-nilai budaya Islam memberlakukan larangan tersebut sebagai upaya preventif agar sosok Nabi Muhammad dalam simbol-simbol grafis tersebut tidak disembah dan justru dijadikan sebagai berhala. Dalam konteks lima fungsi budaya Ting Too-Mey (1999) kita dapat mengidentifikasikan bahwa fungsi budaya bagi dunia Islam dan dunia Barat adalah sebagai (1) identity meaning function di mana aturan agama Islam ditempatkan sebagai sebagai atribut dan penanda yang menunjukkan identitas sebagai pemeluk agama Islam, dan nilai-nilai kebebasan serta ideologi liberal menjadi suatu identitas yang menunjukkan budaya Barat; (2) group inclusion function, yaitu nilai-nilai budaya Islam sebagai ikatan untuk berafiliasi dengan pemeluk agama Islam lainnya dan membentuk perasaan sense of belonging terhadap agama Islam dan dibuktikan dengan pembelaan ketika nilai-nilai tersebut dinodai oleh kelompok lain, sedangkan dalam budaya Barat, yang menjadi pembentuk inklusivitas anggotanya adalah persamaan pandangan untuk menghargai nilai-nilai freedom of expression bagaimanapun bentuknya. Sense of belonging anggota kelompok budaya Barat terbukti dari reproduksi dan republikasi karikatur Nabi Muhammad di media massa negara Barat lain selain Denmark disertai dengan dukungan terhadap jaminan kebebasan berpendapat; (3) dalam

intergroup boundary regulation function, budaya Islam dalam in-group negara-negara Muslim membentuk kecenderungan bersikap kontra atau meng-counter pesan-pesan yang dismpaikan oleh out-group yang dalam hal ini ada;ah budaya Barat, begitu pun sebaliknya budaya Barat; (4) ecological

11 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad

adaptation function, dapat dilihat dari sikap yang ditunjukkan oleh budaya Barat, di mana nilai-nilai kebebasan berpendapat yang diajarkan membentuk pemikiran kritis dalam menyikapi suatu isu dan mengadaptasikannya dalam interaksi dengan kelompok budaya Islam melalui tuntutan diselenggrakannya kebebasan sepenuhnya dengan cara ilustrasi satir erwujud karikatur Nabi Muhammad; (5) cultural communication function, di mana budaya mempengaruhi cara berkomunikasi, dan komunikasi pun mempengaruhi budaya kita yang terlihat jelas dari cara masingmasing budaya mengkomunikasikan kepentingannya. Budaya pemikiran bebas dan kritis Barat membentuk cara mereka mengkomunikasikan pesan-pesan secara satir dalam media massa, sementara pemikiran normatif Islam mempengaruhi cara Islam dalam menyampaikan

pertentangannya terhadap karikatur tersebut yaitu melalui jalan birokrasi dan advokasi melalui lembaga-lembaga internasional, juga melalui aksi protes ke Kedutaan Besar. Konsep Komunikasi Antar Budaya Merujuk pada Gudykunst & Kim (2003) dan Ting Too-Mey (1999) yang mendefinisikan komunikasi antar budaya sebagai proses pertukaran makna melalui simbol-simbol di antara orangorang yang berasal dari budaya yang berbeda, kita dapat menyimpulkan bahwa kontroversi pemuatan karikatur Nabi Muhammad sebagai suatu bentuk komunikasi antar budaya karena dalam kontroversi terdapat : (1) dua pihak berbeda budaya yang berkomunikasi, yaitu budaya Islam dan budaya Barat. Dan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, keanggotaan kelompok budaya yang berinteraksi dalam permasalahan kali ini berada pada tingkat wilayah dunia atau global dan aktoraktor yang berperan adalah kelompok, bukan individu yang berbeda budaya, sehingga level analisis dalam kajian ini adalah komunikasi antar dua kelompok dari dua budaya yang berbeda; (2) terdapat makna yang dipertukarkan melalui simbol-simbol. Dalam kasus ini terlihat jelas bahwa ada pertukaran makna, yaitu pemaknaan terhadap sebuah kebebasan dan aturan, yang dituangkan dalam simbol-simbol yang berupa gambar karikatur Nabi Muhammad dan pesan-pesan tertulis yang disampaikan dalam karikatur tersebut. Makna yang dipertukarkan oleh Barat adalah makna akan kebebasan akan suatu hal yang mutlak dan tidak seharusnya dibatasi oleh aturan agama dan makna tersebut direpresentasikan Barat dalam bentuk karikatur. Sementara itu, Islam juga mepertukarkaan makna pertentangannya terhadap pemikiran Barat dengan cara menuntut bahwa Barat selalu memakai standar ganda dalam memandang suatu persoalan yang terkait dengen kelompokkelompok tertentu. Oleh karena itu Islam menuangkan makna tersebut juga dalam karikatur balasan. Dalam kajian ini, ada komponen lain dalam interaksi antarbudaya yang penting untuk dikaji selain dua kelompok budaya yang terlibat dalam komuniaksi, yaitu media massa. Dalam kajian kali ini perlu digarisbawahi bahwa komunikasi yang terjadi merupakan mediated communication yang

12 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad

berarti kedua kelompok budaya tersebut mempertukarkan makna-makna melalui saluran media, yaitu surat kabar, televisi, dan juga internet. Peranan media massa dalam hal ini menjadi sentral dan esensial karena medialah yang mengkomunikasikan makna-makna yang ingin disampaikan masingmasing kelompok budaya. Penggunaan media massa dalam masalah ini terkait degan tingkat keanggotaan kelompok budaya yang berinteraksi, yaitu tingkatan wilayah dunia secara global. Karena pada dasarnya sasaran penerima pesan-pesan yang ingin dikomunikasikan Barat tersebut adalah budaya Islam itu sendiri secara global, maka satu-satunya saluran yang paling efektif adalah melalui media massa. Berdasarkan identifikasi Gudykunst dan Kim (2003) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi komunikasi antar budaya, dapat dilihat bahwa dalam kasus kontroversi pemuatan karikatur Nabi Muhammad, variabel-variabel yang mempengaruhi adalah: 1. Faktor Budaya Faktor budaya yang mempengaruhi proses komunikasi antar budaya Islam-Barat dalam permsalahan ini mengacu pada dimensi kebudayaan individualis-kolektivis dikaji dalam level analisis kelompok kultural. Budaya Barat mewakili kelompok budaya individualis di mana Barat memiliki kecenderungan untuk bersifat universal dalam standarisasi dan penilaian berbagai hal sesuai dengan objeknya (objektif). Hal ini terbukti dari penilaian Paus dari Vatikan yang notabene merupakan pemuka agama kelompok budaya Barat, tetapi turut menyayangkan sikap media massa JyllandsPostens yang memuat gambar yang mengindikasikan penghainaan terhadap umat Muslim. Sedangkan kebudayaan kolektivis diwakili oleh budaya Islam yang notabene banyak terdiri dari negera-negera Timur cenderung memiliki preferensi penilaian yang lebih baik bagi anggota in-groupnya (subjektif). Selain itu, kebudayaan Islam yang kolektivis menekankan tujuan, kebutuhan, dan pandangan in-group terhadap anggotanya serta memprioritaskan norma sosial in-group itu dibanding kepentingan anggotanya. Hal ini terlihat dari pembelaan yang dilkukan secara internasional jika salah satu aspek norma-norma Islam diserang oleh kelompok budaya lain. Berbagai macam reaksi yang timbul secara luas di tataran internasional juga menunjukkan kolektivitas budaya Islam. Sedangkan kebudayaan individual menempatkan nilai-nilai in-group setara dengan nilai-nilai dan kepercayaan individu. Hal ini tercermin ketika protes luas ditujukan kepada Denmark, negaranegara Barat lain tak turun tangan dan angkat bicara untuk membela Denmark, tetapi yang mereka lakukan adalah mereproduksi kartun tersebut karena yang mereka bela adalah nilai-nilai kebebasan berpendapatnya (objeknya), bukan Denmark sebagai pelaku awalnya (subjeknya).

13 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad

2. Faktor Sosiobudaya Dari segi pengaruh sosiobudaya (sosiocultural) dapat kita asumsikan bahwa terjadinya cultural clash atau benturan kebudayaan dalam kontroversi ini adalah karena adanya pengaruh budaya dan kondisi sosial mempengaruhi proses komunikasi kita dengan orang lain (terutama komunikasi antar budaya). Pengaruh ini dapat dilihat dari dua hal, yatu kelompok sosial dan identitas sosial. Berdasarkan klasfikasi kelompok sosial, dapat dilihat bahwa bagi negara-negara Muslim, kelompok budaya Islam meruoakan kelompok rujukan (reference group) atau kelompok yang digunakan sebagai standar penilaian diri sendiri maupun acuan bagi pembentukan sikap, dengan kerangka rujukannya adalah aaturan Islam sebagai aturan universal yang diterima, dijalnkan, serta dibela oleh para nggota kelompok-kelompok budaya Islam. Sedangkan budaya Barat lebih cenderung sebagai kelompok anggota (membership group) di mana keanggotaannya hanya bersifat identitas saja tanpa ada rujukan khusus dalam kelompok tersebut yang menjadi acuan bagi pembentukan sikap. Hal ini sangat terkait dengan tendensi kultural Barat yang budayanya lebih individualistik. Berdasarkan konsep tujuh identitas sosial Gudykunst & Kim (2003) dan delapan domain identitas Ting Too-Mey (1999), kita dapat melihat adanya identitas sosial yang melekat pada tiap-tiap kelompok baik budaya Islam maupun Barat yaitu: (1) Identitas Budaya atau cultural identity, meliputi budaya individualis atau kolektivis. Dalam hal ini, Barat memiliki identitas budaya individualis sedangkan Islam menunjukkan identitas budaya sebagai kelompok budaya kolektivis; (2) Identitas Peran atau role identity, meliputi beberapa variabel seperti degree of personalness, degree of formality, dan degree of hirearchy. Dalam intraksi antar budaya di permasalahan ini, umat Muslim sebagai anggota kelompok budaya Islam menjalankan peran sebagai pemeluk agama, sedangkan peran yang dimiliki oleh Barat adalah sebagai pembela nilai-nilai kebebasan berpendapat; (3) Identitas pencitraan atau facework identity berupa image atau pencitraan yang timbul dalam interaksi, di mana citra Islam di mata Barat adalah sebagai budaya yang kaku, pendukung kekerasan, dan membatasi kebebasan berpendapat, sementara image Barat di mata Islam adalah tidak menghargai nilai-nilai pluralisme karena melakukan penghinaan terhadap nilai-nilai agama lain serta selalu memakai standar ganda dalam menilai sesuatu; dan (4) Identitas simbolik atau symbolic interaction identity. Identitas Islam yang diciptakan oleh Barat digambarkan dalam simbol-simbol karikatur Nabi Muhammad yaitu sebagai kelompok budaya yang mendukung terorisme, kekerasan, eksploitasi wanita, dan intoleransi terhadap kebebasan manusia. Sementara simbol dalam karikatur balasan menunjukkan bahwa Barat-lah yang intoleran dengan selalu menerapkan standar ganda dan subjektif dalam melihat persoalan. Di sini dapat dilihat bahwa

14 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad

kdeua budaya mempertukarkan simbol-simbol dan pemaknaan identitas masing-masing dengan cara nonverbal. 3. Faktor Psikobudaya Pengaruh psikobudaya dalam komunikasi antar budaya pada dasarnya merupakan proses-proses yang terjadi dalam tataran kognitif individu yang mempengaruhi pemikiran, sikap, dan perilaku komunikasi (Gudykunst & Kim, 2003). Namun, dalam permasalahan ini, karena level analisisnya bukanlah individu tetapi mengacu pada kelompok kulturalnya, maka pengaruh psikobudaya yang dapat dijelaskan adalah hal-hal yang berkaitan dengan konsep stereotype, prejudice, dan ethnocentrism, yang secara tidak langsung dibentuk dan dipengaruhi oleh media sebagai konteks di mana komunikasi antara Barat dan Islam ini berlangsung.

Stereotype dan Prejudice, mengacu pada Lippman (1992) dan Gudykunst & Kim (2003), diartikan sebagai gambaran dan representasi kognitif atas kelompok lain yang mempengaruhi perasaan terhadap anggota kelompok tersebut. Sedangkan prejudice atau prasangka berarti citra negatif terhadap suatu kelompok yang umumnya dibentuk melalui media dan dapat mengarah pada rasa takut, jijik, benci, dan mendeskriminasi suatu kelompok tertentu. Dalam budaya Barat berkembang stereotip dan prasangka terhadap Islam di mana Islam dianggap sebagai budaya yang memiliki citra negatif. Streotip ini kemudian diresonansi oleh media massa Denmark dengan menggambarkan karikatur-karikaut Nabi Muhammad dan caption yang melekat di dalamnya. Dalam karikatur tersebut, Muhammad digambarkan sebagai teroris (dengan sorban yang berbentuk bom di kepalanya), seseorang yang dungu dengan gambar wajah yang terlihat konyol dengan caption Prophet daft and dumb, selain itu gambar terdapat gambar di mana di situ dituliskan bahwa image Nabi Muhammad yang merepresentasikan image budaya Islam adalah terrorism, theocratic tyranny, subjugation of women, intolerance of critics, dan lain-lainya. Sedangkan stereotipe Islam terhadap Barat ialah budaya yang tidak menghargai nilai-nilai agama, budaya sekuler, dan budaya yang selalu mengedepankan prasangka sehingga selalu memberlakukan standar ganda. Streotipe ini terlihat dari aksi-aksi protes yang dilakukan negera-negera Islam yang mengangkat isu penghargaan terhadap nilai-nilai agama dan karikatur bertema standar ganda. Implikasi dari adanya stereotipe dalam komunikasi antara budaya Islam dan Barat ini adalah munculnya mispersepsi terhadap pemaknaan karikatur tersebut. Barat memaknai karikatur tersebut sebagai bentuk kebebasan bicara sedangkan Islam memaknai karikatur tersebut sebagai bentuk penghinaan terhadap nilai-nilai budaya Islam.

15 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad

Ethnocentrism dalam kasus ini terlihat dari tendensi negara-negara Islam untuk mengidentifikasi diri dengan dengan budaya agama Islam dan menggunakan nilai-nilai fundamental Islam dalam mengevaluasi kelompok luar (outgroups) yang dalam hal ini adalah budaya Barat beserta anggotaanggotanya yaitu negara-negara Denmark, Perancis, dan Norwegia. Karena adanya etnosentrisme tersebut, masing-masing budaya menilai bahwa budayanya sendiri paling benar.

Sejarah dalam Komunikasi Antar Budaya Merujuk pada argumen Martin dan Nakayama (2004), salah satu perangkat analisis yang dapat digunakan dalam mengkaji benturan budaya dalam kasus ini adalah latar belakang sejarah masing-masing budaya yang terlibat interaksi. Sejarah budaya Barat yang harus berjuang keras untuk bebas dari belenggu otokrasi dan kekuasaan-kekuasaan yang mendominasi membentuk pemahaman bagi identitas sosial mereka sebagai budaya yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan. Sedangkan sejarah Islam mengajarkan bahwa Nabi Muhammad merupakan pemimipin spiritual yang sangat dihormati dan dijunjung tinggi karena nilai-nilai agama yang dibawa dan disebarkannya. Hal ini membentuk identitas budaya Islam sebagai kelompok budaya yang sangat menjunjung tinggi penghormatan terhadap Nabi Muhammad. Jika dikaji dari Brislin (1981), dapat diketahui bahwa elemen sejarah personal yang mempengaruhi interaksi antara budaya Barat dan Islam adalah elemen childhood experience atau pengalaman masa lalu budaya Islam dan budaya Barat yang membentuk sikap dan pandangan masing-masing anggota kelompoknya; elemen historical myths atau mitos-mitos sejarah bahwa budaya Islam menyelesaikan masalah dengan kekerasan mempengaruhi terbentuknya pandangan Barat terhadap Islam sebagai budaya yang terlalu membatasi hak manusia. Sementara mitos sejarah bahwa Barat adalah budaya yang ingkar terhadap nilai-nilai agama mempengaruhi terbentuknya pandangan Islam terhadap Barat sebagai kelompok budaya yang tidak bisa menghargai simbol-simbol agama lain; Language atau perbedaan sistem bahasa di sini terlihat dari perbedaan pemaknaan terhadap karikatur tersebut, di mana Barat menilai bahwa penggambaran humoris Nabi Muhammad adalah sebuah bentuk karya humor yang satir, sementara Islam menilai bahwa humor yang dilakukan tersebut melecehkan nilai-nilai fundamental agama Islam. Elemen Recent/vivid events yang berpengaruh dalam kasus ini adalah tragedi serangan World Trade Center New York pada tanggal 11 September 2001 serta berbagai aksi-aksi terorisme yang mengatasnamakan Islam yang diberitakan secara luas di media massa internasional secara tak langsung dan tidak sadar mempengaruhi pembentukan stereotype dan prasangka di dunia internasional bahwa Islam adalah budaya yang mendukung terorisme.

16 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad

Identity Negotiation Perspective dan Mindful Intercultural Communication Dilihat dalam perspektif negosiasi identitas yang dikemukakan oleh Ting Too-Mey (1999), dapat ditarik sebuah pemahaman bahwa kedua kelompok budaya, yaitu budaya Islam dan budaya Barat, gagal menegosiasikan identitas sosial mereka sehingga tercipta suatu kondisi interaksi yang mindlessness. Kegagalan mengosiasikan identitas sosial yang berbeda ini antara lain disebabkna oleh perbedaan persepsi yang dimiliki masing-masing kelompok budaya ketika berinteraksi, yaitu intergroup-based perceptions atau persepsi antar budaya dalam tetaran kelompok yang hadir dalam benak individu ketika akibat segregasi dan proses kategorisasi sosial terhadap budaya Islam. Kegagalan negosiasi identitas sosial, yang merupakan prasyarat terjadinya komunikasi antar budaya yang sukses dan efektif, ini jufa terjadi akibat tidak adanya kesediaan pihak-pihak yang berkomunikasi untuk menempatkan diri kada kerangka rujukan budaya lain dan upaya penyesuaian diri terhadap perbedaan-perbedaan budaya yang mempengaruhi perbedaan dalam memaknai interaksi, sehingga tak dapat dipungkiri yang terjadi adalah Mindless Intercultural Communication atau sebuah interaksi interkultural di mana pihak-pihak yang berinteraksi sangat mengandalkan pada kerangka rujukan yang familiar, melalui rutinitas yang selalui dipakai sejak dahulu, dan terpaku secara saklek dalam nilai-nilai budayanya sendiri sehingga timbul keengganan untuk menempatkan diri dalam sudut pandang budaya lain.

17 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad

PENUTUP

Uraian di atas telah memberikan pemahaman kita konsep budaya, konsep komunikasi antar budaya dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya, hubungan antara sejarah dan kekuasaan dengan perilaku kelompok budaya dalam komunikasi antar budaya, serta bagaiman suatu komunikasi antar budaya yang baik itu seharusnya berjalan (mindful intercultural communication). Semua konsep-konsep yang terkait dengan proses komunikasi antar budaya tersebut dianalisis dalam konteks komunikasi antar budaya dengan tingkat keanggotaan kelompok budaya berada pada tingkat wilayah dunia atau global dengan perbedaan budayanya adalah budaya Islam dan budaya Barat. Komunikasi yang berlangsung di antara kedua kelompok budaya tersebut adalah mediated communication atau berlangsung dalam media massa. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa dalam komunikasi antara kedua budaya tersebut telah terjadi cultural clash sebagai bentuk absennya mindfulness dalam berkomunikasi atau dapat dikatakan bahwa komunikasi antara budaya Islam dan budaya Barat dalam kasus ini telah menunjukkan mindlessness. Mindlessness ini terjadi karena dipengaruhi oleh faktor-faktor budaya yaitu perbedaan karakteristik antara budaya Islam dan budaya Barat, faktor sosiobudaya yaitu perbedaan identitas sosial antara keduanya yang berdasarkan perspektif negosiasi idemntitas perbedaan identitas sosial tersebut tidak mampu dinegosiasikan secara baik oleh keduanya, faktor psikobudaya yaitu munculnya stereotip, prasangka, dan etnosentrisme pada kedua belah pihak, dan juga pengaruh sejarah yang dalam permasalahan ini dipengaruhi oleh adanya mitos-mitos historis serta kejadian-kejadian aktual antara kedua kelompok tersebut yang membentuk persepsi terhadap masing-masing kelompok.

18 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad

DAFTAR PUSTAKA DAFTAR PUSTAKA

Gudykunst, William B and Kim, Young Yun. (2003). Communicating with Strangers : An Approach to Intercultural Communication. Fourth Edition. Boston : McGraw Hill. Jeanette S. Martin, Jeanette S dan Lillian Chaney. (2006) Intercultural Communication Choices in the Muhammad Caricature Debacle. Paper dipublikasikan pada Association for Business Communication Annual Convention 2006. Martin, Judith N and Nakayama, Thomas K. (2004). Intercultural Communication in Contexts. Boston: McGraw Hill. Rakhmat, Jalaludin. (2005) Psikologi Komunikasi. Bandung: Rosda Karya. Ting Too-Mey, Stella. (1999) Communicating Across Culture. New York: The Guildford Press. Yudhoyono, Susilo Bambang. (2006). Lets Try to Get Beyond Caricature. Artikel dalam The International Herald Tribune, 10 Februari 2006. Diakses dari http://www.nytimes.com/2006/ 02/10/opinion/10iht-edsby.html?_r=1 .

19 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad

LAMPIRAN : GAMBAR KARIKATUR DI JYLLANDS-POSTENS

20 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad

21 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad

22 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad

23 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad

LAMPIRAN : GAMBAR KARIKATUR BALASAN

Karikatur ini diambil dari surat kabar Yordania Al Ghad yang berpendapat bahwa Dunia Barat memakai standar ganda dalam kontroversi Jyllands-Posten ini. Teks dalam gambar ini menyatakan menurut arah jarum jam: "Yang ini rasis" ; "Yang ini anti-semitik" ; dan "Yang ini termasuk kebebasan berpendapat."

24 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad

Anda mungkin juga menyukai