Anda di halaman 1dari 137

MAKNA BENCANA DALAM KARYA FOTO JURNALISTIK

(Analisis Semiotika Foto Karya Putu Sayoga pada Harian Le Monde


Prancis Terkait Bencana Alam di Palu
Edisi 7-9 Oktober 2018)

PROPOSAL SKRIPSI

Oleh :
Afifah Rachmawati
201510040311074

Dosen Pembimbing :
Drs. Farid Rusman, M.Si
Rahadi, M.Si

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2019

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Komunikasi merupakan sebuah proses untuk menyampaikan suatu

pesan tertentu, salah satu caranya yakni dalam bentuk visual. Hal ini

menjadikan banyaknya media yang berperan sebagai perantaranya. Foto

adalah salah satu medium untuk menyampaikan sebuah pesan visual yang

tersirat maupun tersurat. Menurut Messaris, sebuah foto tidak hanya

mempresentasikan sebuah visual objek yang diproduksi, melainkan

mengandung pesan tertentu. 1 Foto merupakan bentuk analogi mekanis atas

realitas yang membuat foto tampil sebagai satu-satunya medium secara

eksklusif terberi dan terpenuhi sebagai pesan tertunjukkan (denotated

message).2 Sementara itu, dalam hubungan antara foto dan kata-kata, foto

perlu diinterpretasikan melalui teks yang ikut serta dalam perannya. Foto

merupakan hal yang tak terbantah sebagai bukti, namun menjadi lemah

apabila tidak ada makna oleh kata-kata yang mengikutinya.3

Salah satu media penyampai pesan yang menampilkan medium

fotografi sebagai alat informasi adalah media massa yang berbentuk harian

atau surat kabar.4 Adanya foto di media massa menjadi penting karena dapat

memberikan informasi kepada masyarakat yang sedang maupun tidak berada

di lokasi. Foto tersebut biasa disebut dengan foto jurnalistik. Taufan Wijaya

1 Seno Gumira Ajidarma, Kisah Mata: Fotografi antara Dua Subjek: Perbincangan tentang Ada,
Galangpress, Yogyakarta, hlm.27.
2 Ibid., hlm.27.
3 Ibid., hlm.29.
4 Rita Gani & Ratri Rizki Kusumalestari, Jurnalistik Foto Suatu Pengantar, Simbiosa Rekatama Media,
Bandung, 2013, hlm.60.

2
mengatakan bahwa, “Foto jurnalistik adalah sajian visual yang mengantarkan

sebuah peristiwa bernilai berita dari tempat berbeda kepada pembaca

sehingga mereka seolah-olah menyaksikan layaknya sedang berada di tempat

kejadian.”5

Pada perannya, foto jurnalistik yang disajikan dalam suatu media erat

kaitannya dengan fenomena alam, sosial, politik, maupun budaya. Tidak

lepas dari itu, fenomena bencana alam yang kerap kali terjadi di Indonesia

juga menjadi isu yang relevan untuk dibahas. Bencana alam sendiri termasuk

dalam salah satu bentuk perfect media event karena mengandung nilai berita

yang tinggi, demikian yang diutarakan oleh Bolduc, “From the journalistic

point of view, a natural disaster has all the ingredients for the perfect media

event (especially for the electronic media). It’s a brief, spectacular, often

mysterious, action-oriented, and portrays human suffering and courage.”6

Sementara itu, definisi bencana sendiri, menurut Undang-undang

Nomor 24 Tahun 2007 menyebutkan bahwa bencana adalah peristiwa atau

rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan

penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau

faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya

korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan

dampak psikologis.7 Sepanjang tahun 2018, dari data yang dihimpun oleh

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan bahwa

jumlah bencana yang terjadi yakni sebanyak 2.426. Sejumlah 2.350

5Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2014, hlm. xi.
6Hermin Indah Wahyuni, Kecenderungan “Framing” Media Massa Indonesia dalam Meliput Bencana
Sebagai Media Event. Yogyakarta, 2007, hlm. 5.
7Diakses dari https://bnpb.go.id//definisi-bencana pada 31 Januari 2019, pukul 08:42 WIB.

3
merupakan bencana hidrometeorologi seperti longsor, banjir, serta angin

puting beliung. Sisanya berupa bencana geologi yakni tsunami dan gempa

bumi.8 Di dalam hal ini, bencana merupakan salah satu oddity atau yang

menunjuk pada peristiwa yang tidak biasa. Salah satu bencana yang terbesar

dan terparah dalam kaleidoskop tahun 2018 adalah bencana alam gempa

bumi, tsunami dan likuifaksi yang melanda Palu pada medio bulan September

silam, tidak hanya di Indonesia saja, melainkan seluruh dunia. 9

Menurut IDN Times, tanggal 28 September 2018 akan selalu dikenang

oleh publik tanah air karena musibah gempa bumi dan tsunami yang melanda

kota Palu dan sekitarnya. Tercatat 2.000 lebih nyawa terenggut atas musibah

yang terjadi di bagian barat pantai pulau Sulawesi.10 Publikasi nasional

maupun internasional menjadi sorotan utama dalam sebuah tataran

komunikasi massa. Melalui publikasi media, segala aspek pemberitaan dapat

tersalurkan kepada khalayak. Bencana yang mengundang perhatian dunia ini

sontak membuat para negara sahabat simpati. Melalui media, berita ini

tersebar luas dan menelurkan bantuan-bantuan medis hingga logistik. Hal ini

memantik perhatian masyarakat karena dampak bencana tersebut

berpengaruh besar terhadap resiko yang ada. Faktor pendidikan, ekonomi,

sarana dan prasarana pada fasilitas publik merupakan di antaranya. 11

8 Diakses darihttps://tirto.id/2018-tahun-bencana-mematikan-di-indonesia-bagaimana-pemulihannya-
dcoxpada 31 Januari 2019, pukul 08:54 WIB.
9Diakses dari https://wtop.com/world/2018/11/10-of-the-deadliest-natural-disasters-in-2018/ pada 12
Agustus 2019, pukul 07:32 WIB.
10Diakses dari https://www.idntimes.com/hype/viral/rahul-fahry/bencana-alam-terparah-yang-terjadi-
sepanjang-tahun/fullpada 31 Januari 2019, pukul 09:05.
11Betty Gama. Representasi Jurnalisme Bencana dalam Perspektif Ranah Publik. Jurnal Semai Komunikasi.
Vol.1 No.2, 2011, hlm. 164.

4
Masyarakat tentu sangat peduli dengan liputan yang ada di media massa yang

menjadi poros utama dalam pemberitaan.

Ketika sebuah bencana terjadi, masyarakat memiliki keingintahuan

tinggi tentang berbagai hal mengenai bencana tersebut, mulai dari penyebab,

kronologi, kerugian, jumlah korban, dampak secara global, penanggulangan,

dan lain sebagainya. Sebuah ketidakpastian akan berita bencana alam yang

dipublikasi menyeruak tatkala masyarakat semakin mencari. Kebutuhan

informasi yang meningkat tajam ini menyebabkan liputan bencana di media

massa semakin tinggi pula. Pada posisi ini, media memegang kuasa besar

karena masyarakat menggantungkan sumber informasi mengenai bencana

dari media.12 Sayangnya, potensi kuasa yang besar ini kurang dimanfaatkan

dengan baik oleh media Indonesia. Alih-alih memberikan support system dan

publikasi mengenai penanggulangan bencana secara apik, justru media

Indonesia masih menunjukkan euforia saat memberitakan bencana.

Eksploitasi bencana sebagai ‘kisah satir yang menghibur’ serta berbagai

praktik dramatisasi demi kepentingan akumulasi modal semata masih

diterapkan. Dalam kacamata bisnis media, bencana merupakan ‘blessing in

disguise’ yang menjadi sumber informasi tanpa henti dan tak pernah kering

dengan kandungan nilai berita tinggi. 13 Dalam hal ini, eksploitasi terhadap

korban yang seringkali dimunculkan adalah untuk mengejar drama, bukan

karena ketidaktahuan tentang etika peliputan. 14 Beberapa di antaranya

‘masih’ mengandung foto yang melanggar etika jurnalistik seperti

12Muzayin Nazaruddin, Jurnalisme Bencana di Indonesia, Setelah Sepuluh Tahun. Vol.10, No.1, hlm. 80.
13Ibid.,
hlm. 80.
14Di akses dari http://www.remotivi.or.id/amatan/32/Jurnalisme-Bencana:-Tugas-Suci,-Praktik-Cemar, 26
Maret 2019, pukul 21.34 WIB.

5
memperlihatkan raut wajah kesedihan atau bahkan darah di tubuh korban.

Sentuhan humanis kurang begitu dirasakan ketika hanya menampilkan puing-

puing rumah dan bangunan yang berada dalam bingkai. Peristiwa heroik yang

dilakukan oleh tim Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan

(BNPP/BASARNAS), tentara, relawan, atau bahkan tim Palang Merah

Indonesia (PMI) menjadi potret yang menjual ketika bisa membuat

masyarakat berempati. Berbeda dengan media internasional yakni Le Monde,

melalui foto dari Putu Sayoga, visual yang ditampilkan cenderung berasal

dari sudut pandang yang humanis tanpa adanya eksploitasi korban bencana

dan tersaji dalam perspektif yang positif. Di dalam hal ini, fotografer

memiliki peran penting untuk mengambil gambar terkait bencana alam yang

telah terjadi. Demikian yang dilakukan oleh Putu Sayoga, seorang fotografer

independen yang berasal dari Bali, Indonesia. Ia berhasil menangkap momen

pada saat pasca bencana alam yang terjadi di Palu dan dipublikasikan oleh

harian terkemuka di Prancis yakni Le Monde.

Susan Sontag menuturkan bahwa “To photograph is to appropriate the

thing photographed. It means putting oneself into a certain relation to the

world that feels like knowledge—and, therefore, like power”. 15 Definisi

tersebut menjelaskan bahwa memotret berarti menyesuaikan hal yang di foto

atau dapat menempatkan diri ke dalam hubungan tertentu dengan dunia yang

terasa seperti pengetahuan— dan, karenanya, hal ini seperti kekuatan.

Kekuatan foto menjadi aspek penting ketika berdampak kepada pengamat

maupun orang yang melihat foto tersebut, terlebih foto jurnalistik.

15 Susan Sontag, On Photography, RosettaBooks LLC, New York, 2005, hlm.11.

6
Pengetahuan yang dimiliki oleh fotografer tentu berpengaruh terhadap

foto yang akan dihasilkan. Pentingnya pemahaman fotografer saat membaca

situasi dalam suatu peristiwa juga menjadi unsur pendukung terciptanya foto

yang bermakna. Ilmu pengetahuan terkait bencana alam terangkum dalam

mindset seorang fotografer yang akan mengeksekusi sebuah produk foto

jurnalistik. Pada buku “Kisah Mata”, Seno Gumira Ajidarma menuliskan

bahwa gambar-gambar yang dihasilkan oleh manusia, termasuk foto,

merupakan suatu bagian dari keberaksaraan visual.16 Foto menjadi bagian

dari tata cara dalam memahami sebuah bentuk media visual. Pada konteks ini,

fotografer berperan sebagai komunikator yang tak hanya menyampaikan

pesan tertulis pada caption yang ada, namun juga melalui teknik dalam aspek

fotografi seperti pengaturan komposisi, pencahayaan, pengambilan angle

yang dipadukan dengan elemen visual serta dikombinasikan dengan relasi

simbol yang melekat di dalamnya. Upaya ini dilakukan agar menghasilkan

makna tertentu dalam sebuah visual yang diwujudkan pada foto bencana alam

tersebut. Melalui foto, Putu Sayoga mengkonstruksikan makna terkait

kebencanaan yang dapat memunculkan sebuah potensi perubahan sosial

dengan pendekatan positif.

Foto-foto yang dieksekusi oleh Putu Sayoga menyodorkan sebuah

perspektif bahwasannya peliputan terkait bencana alam tidak semata-mata

terfokus pada korban dangan sisi kesedihan dan penderitaan, namun lebih

menonjolkan sisi-sisi kemanusiaan yang tercermin di dalamnya. Selain itu,

Putu Sayoga juga tidak hanya menampilkan foto tentang kerusakan

16 Kisah Mata, Op. Cit., hlm.26

7
infrastruktur berupa runtuhan bangunan yang ada, namun juga

memperlihatkan ekspresi yang tersirat pada korban bencana dengan tetap

memperhatikan etika jurnalistik yang berlaku. Putu Sayoga yang notabene

bukan seorang fotografer tetap pada sebuah perusahaan media dapat

membingkai secara apik dengan mengonstruksi realita yang ada. Hal ini yang

menjadikan peneliti tertarik untuk meneliti lebih dalam terkait makna dari

foto bencana karya Putu Sayoga yang dipublikasikan oleh harian Le Monde

dengan menggunakan teori semiotika yang akan dijelaskan pada bab

selanjutnya.

1.2.Rumusan Masalah

Berkaitan dengan fenomena yang telah diuraikan dalam latar belakang,

maka yang akan menjadi poin dalam penelitian ini adalah: Apa makna dari

simbol-simbol yang terkandung dalam foto jurnalistik bencana alam di Palu

oleh Putu Sayoga di Harian Le Monde Prancis Edisi 7-9 Oktober 2018?

1.3.Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk membongkar apa makna dari simbol-

simbol yang terkandung dalam foto jurnalistik bencana alam di Palu pada

karya Putu Sayoga di harian Le Monde Prancis edisi 7-9 Oktober 2018.

8
1.4. Signifikansi Penelitian

Pada kegiatan penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat

dalam ranah akademis maupun praktis. Adapun manfaat dari penelitian ini

yakni sebagai berikut:

1.4.1. Secara Akademis

Penelitian ini diharapkan dapat membantu menambah wacana

dalam kajian analisis semiotik pada karya fotografi. Selain itu

dapat menjadi sumber rujukan ilmiah dalam kajian Ilmu

Komunikasi, khususnya pada konteks fotografi jurnalistik bencana

alam.

1.4.2. Secara Praktis

Dalam praktiknya, penelitian ini diharapkan dapat menjadi

referensi bagi para fotografer atau para pecinta fotografi dalam

mengeksekusi foto jurnalistik bencana alam serta meningkatkan

kepekaan terhadap simbol-simbol yang ada dalam sebuah karya

foto. Selain itu juga dijadikan sebagai bahan dalam mengkaji

literasi visual pada kajian yang memproduksi teks visual

berdasarkan hasil penelitian nantinya.

9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Fotografi Sebagai Medium Komunikasi

Pada penelitian ini, subjek membahas tentang foto yang direkam oleh

fotografer Putu Sayoga dan telah dipublikasikan oleh harian Le Monde

Prancis. Dengan demikian, peneliti perlu menelaah lebih dalam terkait definisi

atau pengertian fotografi secara mendasar sebelum melakukan penelitian lebih

lanjut. Berdasarkan kutipan dari Gani & Kusumalestari, secara etimologi,

fotografi berasal dari Bahasa inggris yang berarti photography. Kata

photography sendiri merupakan adaptasi dari Bahasa Yunani, yaitu photos

atau yang biasa disebut cahaya dan graphein yang berarti gambar atau

menggambar. Secara harfiah, fotografi bermakna ‘menggambar dengan

cahaya.’17

Fotografi kerap kali disandingkan dengan cahaya karena dengan cahaya

maka foto dapat menjadi sebuah kesatuan yang padu. Tanpa adanya cahaya,

maka tidak akan terjadi proses untuk menciptakan sebuah gambar. Selain itu,

foto juga merupakan gabungan dari medium komunikasi dan linguistik yang

kemudian dapat diterapkan pada bidang lain. Foto disebut medium

komunikasi karena terkait dengan tanda yang membentuk makna serta

menyiratkan suatu pesan di dalamnya. Kata komunikasi atau communication

sendiri berasal dari kata Latin yakni communis yang berarti “sama”,

communicatio, communico, communicare yang berarti “membuat sama” (to

17Rita Gani & Ratri Rizki Kusumalestari, Op. Cit., hlm. 7.

10
make common). Istilah dalam Bahasa Latin (communis) dianggap sebagai asal

kata komunikasi atau akar dari kata Latin lainnya yang mirip. 18

Berbicara tentang definisi komunikasi yang tidak untuk dicari

kebenaran atau kesalahannya. Banyak sekali definisi yang ada di dunia, mulai

dari aspek yang sempit maupun luas. Tubs dan Moss mendefinisikan bahwa

komunikasi adalah proses dalam penciptaan makna antara dua individu

(komunikator 1 dan komunikator 2) atau lebih, sedangkan Guddykunst dan

Kim mendefinisikan komunikasi (antarbudaya) sebagai “proses transaksional,

simbolik yang melibatkan pemberian makna dari berbagai individu (berasal

dari budaya yang berbeda). 19 Semua hal ini turut andil dalam menentukan

kemampuan dalam visual literacy.20 Pada penelitian ini, peneliti

menggunakan fotografi sebagai medium komunikasi untuk menafsirkan

makna yang terkandung dalam sebuah peristiwa yakni bencana alam yang

terjadi di Palu pada tahun 2018.

Sementara itu, pada perkembangan fotografi, metode EDFAT

diperlukan untuk mengomunikasikan sebuah pesan. Metode ini cukup dikenal

oleh para praktisi, yakni para fotografer. Namun, tidak demikian dengan

akademisi. EDFAT adalah salah satu metode yang dikenalkan oleh Frank

Hoy, seorang pengajar dari Newhouse School of Public Communication dari

Syracuse University yang berpindah ke Arizona State University. 21 EDFAT

dijadikan pertimbangan dalam mengeksekusi sebuah foto. Satu-satunya

18Deddy Mulyana. Ilmu Komunikasi Suatu pengantar, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2014, hlm.46.
19Ibid., hlm. 65
20Reynold Sumayku, Pada Suatu Foto, Kaifa Publishing, Bandung, 2016, hlm. 116.
21Di akses dari http://csinema.com/metode-edfat-dalam-fotografi/pada 25 Maret 2019, pukul 23.39 WIB.

11
penulis buku yang mengutarakan perihal EDFAT adalah Streisel (2007). 22

EDFAT sendiri merupakan akronim dari Entire, Detail, Frame, Angle dan

juga Time.

a. Entire, biasa artikan dengan established shot atau pemandangan dari

atmosfer tempat kejadian yang di ambil dengan sudut lebar untuk

mengambil gambar tersebut.

b. Detail, berperan sebagai gambar dengan prioritas atau fokus utama pada

subjek dengan kekuatan cerita yang akan dibuat. Dalam hal ini, detail juga

diartikan sebagai tahap pengambilan keputusan atas sesuatu atau yang

biasa disebut ‘point of interest’.

c. Frame, bagian ini dapat dijadikan sebagai estetika dalam gambar karena

memposisikan subjek dalam sebuah bingkai. Kreativitas sangat diperankan

untuk menciptakan sebuah gambar dari unsur ini. Fase ini memberikan

wadah bagi fotografer untuk mengeksplorasi komposisi, tekstur, pola serta

bentuk subjek foto.

d. Angle, penempatan dari sebuah objek atau gambaran visual. Sudut

pandang yang akan di ambil oleh fotografer berdasarkan bidikan kamera

serta komposisi yang solid akan menampilkan sebuah perspektif.

e. Time, berdasarkan waktu yang tepat atau justru sebaliknya, fotografer

perlu menangkap gambar dengan tanggap untuk menghasilkan foto yang

kuat. Mulai dari waktu penyinaran cahaya yang dikombinasikan dengan

diafragma serta ketepatan empat aspek yaitu Entire, Detail, Frame, dan

22Setiyanto & Irwandi. Foto Dokumenter Bengkel Andong Mbah Musiran: Penerapan dan Tinjauan Metode
EDFAT dalam Penciptaan Karya Fotografi. Vol.13, No.1, hlm.32

12
Angle. Pengetahuan teknis untuk membekukan gerakan atau memilih

ketajaman ruang diperlukan sebagai prasyarat dasar dalam eksekusi foto. 23

Pada penelitian ini, peneliti juga mengacu pada metode EDFAT untuk

membantu dalam membongkar makna apa yang terkandung dalam foto

jurnalistik bencana alam.

2.2. Macam-Macam Media Komunikasi

Media dalam komunikasi sangat beragam. Pada mulanya, media sendiri

berfungsi untuk penyampaian suatu pesan. Harold Lasswell mengatakan

bahwa pesan didefinisikan sebagai seperangkat simbol verbal dan nonverbal

yang mewakili gagasan, nilai, perasaan atau maksud komunikator 24. Maka

dari itu, pesan dapat dirujuk sebagai makna yang berperan dalam

penyampaian ide maupun gagasan kepada manusia lain. Penyampaian ini

tidak hanya melalui bahasa namun juga berbentuk lambang dalam bentuk

komunikasi visual. Dalam penyampaian pesan, Hafied Cangara

menggolongkan jenis media menurut karakteristiknya menjadi empat macam,

diantaranya25 :

1. Media Antarpribadi

Media ini merupakan media untuk hubungan perseorangan

(antarpribadi), maka media yang digunakan untuk menyampaikan

pesan adalah utusan (kurir), surat, dan telepon.

23Setiyanto & Irwandi. Op. Cit., hlm.32.


24Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, 2007, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, hlm. 63.
25Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, 2006, PT. Raja Grafindo Persada, hlm.137.

13
2. Media Kelompok

Pada sebuah aktivitas komunikasi yang melibatkan khalayak lebih

dari 15 orang, media yang digunakan adalah media kelompok seperti

seminar, rapat ataupun konferensi.

3. Media Publik

Media publik biasa digunakan jika khalayak mencapai 200 orang,

contohnya yakni rapat akbar, rapat draksasa dan semacamnya.

4. Media Massa

Jika khalayak tersebar tanpa diketahui lokasi mereka berada, maka

yang digunakan adalah media massa. Media massa sendiri adalah alat

yang digunakan sebagai penyampai pesan dari sumber kepada

khalayak (penerima) dengan alat-alat komunikasi mekanis seperti

surat kabar (dalam hal ini, foto termasuk di dalamnya karena

merupakan kesatuan bagian dengan pemberitaan), radio, film, dan

televisi.

Dari pelbagai macam karakteristik di atas, fotografi dapat dikategorikan

menjadi salah satu medium dengan bentuk komunikasi visual yang dapat

disalurkan melalui media massa berupa surat kabar.

2.3. Jenis-Jenis Fotografi

Pada perkembangan fotografi, ada beberapa jenis yang dikelompokkan

secara garis besar untuk merekam sebuah momen tertentu, di antaranya

adalah26 :

26 Diakses dari https://dis.cic.ac.id/files/modul/6105-mod-cb9c84.pdf, Konsep Dasar Fotografi, pada 21


Oktober 2019, pukul 09.00 WIB.

14
a. Foto Manusia

Pada jenis foto manusia, obyek utama yang di sorot adalah

manusia, baik anak-anak, maupun orang tua, laki-laki atau perempuan.

Unsur manusia dapat menawarkan nilai serta daya Tarik untuk

divisualisasikan, kategori dalam foto manusia yakni foto portrait, human

interest, stage photography, sport, glamour photography, ataupun

wedding photography.

b. Foto Nature

Pada jenis nature, obyek utamanya ialah benda dan makhluk hidup

alami (natural) seperti tumbuhan, hewan, hutan, dan lain-lain. Foto flora,

fauna serta lanskap termasuk di dalamnya.

c. Foto Arsitektur

Jenis foto ini memfokuskan kepada bangunan-bangunan dalam

berbagai ukuran, bentuk, warna ataupun desain. Keindahan dari suatu

bangunan baik dari segi budaya, sejarah dan konstruksinya ditampilkan

agar memunculkan sebuah nilai estetika.

d. Foto Still Life

Foto still life adalah jenis foto yang menciptakan sebuah gambar

dari benda atau obyek mati. Hal ini menjadi menarik karena gambar

tersebut dibuat seolah tampak ‘hidup’, komunikatif, ekspresif serta

mengandung pesan yang akan disampaikan. Jenis foto ini merupakan jenis

yang menguji kreativitas, imajinasi, serta kemampuan teknis.

15
e. Foto Jurnalistik

Foto jurnalistik merupakan foto yang digunakan untuk merekam

sebuah peristiwa tertentu untuk kepentingan pers atau informasi. Pada

penyampaian pesannya, foto jurnalistik harus bergandengan dengan

caption (tulisan atau keterangan yang menerangkan isi foto) sebagai

bagian dari penyajian jenis ini. Jenis foto ini seringkali dijumpai dalam

media massa (surat kabar, majalah, buletin, dll)

Pada perannya, foto jurnalistik turut andil menjadi satu dari bagian pada

jenis-jenis fotografi yang difungsikan demi kepentingan dalam penyampaian

suatu informasi melalui media massa yang berbentuk surat kabar.

2.4. Foto Jurnalistik Sebagai Medium Komunikasi pada Surat Kabar

Sebuah medium fotografi yang berbentuk foto jurnalistik tidak dapat

dipungkiri bahwa perannya sebagai media penyampai pesan menjadi aspek

konkrit dalam berkehidupan. Pesan yang disampaikan dapat bersumber dari

kejadian nyata ataupun tidak, sampai pada penyampaian ide yang sangat

subjektif.27 Menurut Thomas Elliot Berry dalam Gani & Kusumalestari 28

pada buku Journalism In America an Introduction to The News Media fungsi

dasar sebuah foto jurnalistik dalam media massa di antaranya adalah to

communicate the news, untuk mengomunikasikan sebuah berita kepada

masyarakat. Foto dinilai lebih komunikatif karena dapat “berbicara” di

banding hanya tulisan saja. Hal ini menjadikan foto sebagai bilah yang sangat

penting dalam suatu pemberitaan di media. Selanjutnya yakni to generate

27Michael Langford, Basic Photography 7th Edition, 2000, Oxford: Focal Press. hlm. 22.
28 Gani & Kusumalestari, Op. Cit., hlm.60.

16
interest yang berfungsi untuk menarik minat pembaca. Foto menjadi point of

interest dari sebuah headline berita. Apabila foto yang ditampilkan oleh

sebuah media itu menarik, maka tidak jarang pembaca akan tertarik untuk

membaca surat kabar tersebut. Yang ketiga adalah to make a brief but

important announcement, yaitu untuk memberikan pesan singkat tanpa

mengurangi nilai berita.

Foto sebagai penyalur pesan serta pandangan personal dari seorang

fotografer pun menjadi medium yang jauh dari objektifitas sebuah realita,

keadaan atau isu, karena sebuah foto dapat berperan fleksibel daripada

rekaman sederhana mengenai suatu waktu. Melalui foto-foto jurnalistik pada

harian atau surat kabar Le Monde, Putu Sayoga menyajikan dokumentasi

pribadinya untuk merekam bencana alam yang terjadi di Palu. Pesan yang

dibawakan pada sebuah foto tidak lepas dari pandangan personal dari seorang

fotografer. Karya fotonya dapat memperlebar kemungkinan dengan

munculnya metafora. Realitas dari metafora terbentuk melalui foto yang

mencerminkan siapa dan apa yang dipercayai oleh seorang fotografer. 29

Meskipun media massa bersifat obyektif, namun dari sudut pandang

pengambilan karya foto tentu bersumber dari bagaimana hubungan pribadi

seorang fotografer dengan lingkungan sekitar yang menjadi objek

fotografinya. Untuk mencapai sebuah pesan tertentu, fotografer perlu

berinteraksi dan memberi respon pada aspek eksternal yang ada di sekitar

lingkungannya. Hasil respon seorang fotografer dari lingkungan sekelilingnya

bisa berupa penciptaan foto yang mengandung nilai-nilai dan harapan

29Ibid., hlm. 9.

17
tertentu.30 Hal yang mengacu pada pentingnya foto jurnalistik dalam sebuah

media massa yakni berdasar pada penyampaian pesannya yang sarat akan

nilai.

Pada dasarnya foto jurnalistik tidak berdiri sendiri, namun ada tulisan

atau teks yang menyertainya. Perannya dalam publikasi media sangatlah kuat.

Foto yang menyertai tulisan ini tentu menjadi penting apabila memiliki nilai

berita yang dapat berpengaruh terhadap kehidupan manusia. Kekuatan nilai

berita menjadi poin utama dalam sebuah media komunikasi massa. Sebagai

contoh, pada pembukaan festival fotografi internasional yakni Paris Photo,

Libération (koran Prancis) menghilangkan seluruh foto dari edisi 14

November 2013. Langkah yang mereka lakukan sebagai bentuk kampanye

bahwa kekuatan fotografi memegang peran penting di tengah berbagai

tantangan.31 Hal ini menjadikan pembaca merasa aneh ketika melihat koran

tanpa foto. Brigitte Ollier, seorang jurnalis dari Libération’s Culture desk

menyatakan,

“A visual shock. For the first time in its history, Libération is

published without photographs. In their place: a series of empty

frames that create a form of silence; an uncomfortable one. It’s

noticeable, information is missing, as if we had become a mute

newspaper. [A newspaper] without sound, without this little internal

music that accompanies sight,”32

30Mark Galer. Location Photography, Second Edition. 2002. Italy: Focal Press, hlm. 132.
31Diakses dari http://lensa.fotokita.net/2015/11/kampanye-mendukung-para-fotografer-koran-prancis-terbit-
tanpa-foto/pada 8 April 2019, pukul 07.33 WIB.
32Diakses dari https://www.bjp-online.com/2013/11/french-newspaper-removes-all-images-in-support-of-
photographers/ pada 8 April 2019, pukul 07.40 WIB.

18
Gambar 2.1
Salah satu media massa di Prancis, Libération.33

Sepanjang sejarah, Libération adalah salah satu media massa

internasional yang pernah menayangkan berita tanpa foto. Sebuah seri

bingkai kosong terpampang di seluruh halaman yang menandakan bahwa

pentingnya foto jurnalistik sebagai media komunikasi menjadi nyata. Hal

ini serta mengindikasikan bahwa foto jurnalistik berperan sebagai

kekuatan dalam pendukung suatu informasi.

2.5. Foto Jurnalistik Sebagai Bentuk Komunikasi Visual

Menganut pada kajian utama dalam peneliti ini, peneliti menitikberatkan

pada kajian mengenai foto jurnalistik. Foto jurnalistik sendiri merupakan

sebuah bentuk komunikasi visual yang digunakan untuk menyampaikan pesan

dari peristiwa atau kejadian tertentu.

33Diakses dari https://www.phographer.com/2013/11/french-newspaper-without-photos.html pada 13


Agustus 2019, pukul 09.20 WIB.

19
Secara umum, foto jurnalistik merupakan gambar yang dihasilkan lewat

proses fotografi untuk menyampaikan suatu pesan, informasi, cerita suatu

peristiwa yang menarik bagi publik dan disebarluaskan melalui media

massa.34 Berbagai foto yang ada di media tentu memiliki ciri dan karakteristik

tersendiri untuk disebut sebagai foto jurnalistik. Tidak semua foto yang

ditampilkan di media merupakan foto jurnalistik. Dalam buku yang berjudul

Photojournalism The Visual Approach karya Frank P. Hoy35 menyebutkan

bahwa fotojurnalistik adalah bentuk fotografi komunikasi. Komunikasi yang

disampaikan oleh pesan visual dari pandangan fotografer terhadap subyek

berdasarkan fakta sosial dan bukan merupakan ekspresi pribadi. Tujuannya

sendiri adalah untuk memenuhi kebutuhan mutlak dalam penyampaian

informasi, sesuai dengan kebebasan pers (freedom of press) maupun

kebebasan berbicara (freedom of speech).

Foto jurnalistik sendiri dibagi menjadi beberapa cabang fotografi

yakni fotografi dokumentasi, street photography atau fotografi selebritas

yang berdasarkan kualitas dari ketepatan waktu. 36 Sementara itu, World Press

Photo Foundation (WPPF) atau yang biasa dikenal sebagai Badan Foto

Jurnalistik Dunia menyebutkan kategori foto jurnalistik menjadi beberapa

bagian37, namun yang concern terhadap fenomena yang peneliti kaji yakni

termasuk dalam kategori foto berita (spot news) atau peristiwa tak terduga

yang gambarnya dapat di ambil secara langsung oleh fotografer, manusia

34 Gani & Kusumalestari, Op Cit., hlm. 47.


35Audi Mirza Alwi, 2004, Fotojurnalistik: Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media Massa, Jakarta:
PT. Bumi Aksara, hlm.4.
36Arsa Widitiarsa Utoyo. Analisis Semiotik Pada Junalistik Foto. Vol.2, No.2, 2018, hlm. 99
37Gani & Kusumalestari, Op Cit., hlm. 63.

20
dalam berita (people in the news) atau kategori yang biasa menampilkan

tokoh masyarakat yang inspiratif, humoris, dan lain sebagainya, serta

lingkungan sosial (social and environtment) yang berkenaan dengan

kehidupan sosial serta lingkungan di sekitarnya diabadikan oleh fotografer

melalui bidikan kamera.

Selanjutnya, aspek penting yang harus ada dalam foto jurnalistik adalah

yang mengandung unsur-unsur informatif, faktual serta mampu bercerita.

Selain itu, keindahan teknis tentu menjadi nilai tambah dalam foto

jurnalistik.38 Fotografi, di sisi lain menyoroti secara total dalam satu elemen

cerita, biasanya peristiwa utamanya. Goodnow berasumsi bahwa foto

memberikan kebenaran saat ini. 39 Pada tahun 1970-an dan awal 1980-an, ada

kecenderungan yang banyak mempengaruhi perkembangan foto jurnalistik.

Sejumlah fotografer yang tak puas memotret mencoba penyajian karakter

tertentu pada keselarasan warna dan kontras.40 Hal ini tidak masalah selama

tidak mengubah esensi utama dari suatu foto. Aspek yang membedakan foto

jurnalistik dengan genre foto lainnya yakni tidak memperbolehkan adanya

manipulasi seperti mengganti warna, latar belakang, menambah obyek

tertentu, atau digital imaging lainnya.

Pernah terjadi sebuah kejanggalan ketika ada manipulasi foto jurnalistik

milik Brian Walski dari LA Times yang sangat populer. Tahun 2003, Walski

berhasil meliput invasi Irak yang berada dekat Kota Basra. Saat ia keliling

untuk memotret, ia mendapati sebuah kelompok penduduk yang dilokalisasi

38Wijaya, Op Cit., hlm.24.


39Ken Smith, Op. Cit., hlm.353.
40Reynold Sumayku, Op. Cit., hlm. 86.

21
oleh para tentara yang curiga kepada warga sipil yang merupakan milisi

pembawa senjata. Pada saat tentara Inggris tersebut memberi perintah kepada

seorang laki-laki yang sedang berjalan dan menggendong anak agar

merunduk, Walski berhasil memotretnya beberapa kali. Setelah berhasil

mendapatkan beberapa portrait disana, ia segera mengirimkannya melalui

internet. Foto Walski tersebut dikirim ke Hartfort Courant melalui server

sistem foto grup media Tribune News Corporation (termasuk LA Times dan

Tribune).

Kejanggalan terjadi ketika seorang staf mengamati foto yang dikirim

oleh Walski bahwasannya ada seseorang yang memiliki pose, lipatan celana

dan warna yang sama dalam satu frame. Singkatnya, Walski dipecat karena

hal ini. Penggabungan foto (digital imaging) melalui Photoshop yang

sederhana dalam foto tersebut sebenarnya digunakan untuk memperkuat

cerita yang akan dibawakan oleh Walski. Sayangnya, hal ini dinilai haram

untuk sebuah produk foto jurnalistik. Kesalahan dalam memanipulasi foto

jurnalistik tentu berakibat fatal terhadap kepercayaan publik.

22
Gambar 2.2
Foto jurnalistik oleh Brian Walski yang menggunakan digital
imaging.41

Hingga adanya quote dari Washington Times yang ditempel di komputer

redaksi yang berbunyi, “If you can’t do it in the darkroom, don’t do it here”.42

Maksud dari kutipan tersebut adalah “jika kamu tidak bisa memanipulasi foto di

kamar gelap (tempat untuk mencuci foto), maka jangan dilakukan disini

(komputer).” Himbauan ini secara tidak langsung menjadi tamparan untuk para

redaktur foto agar tidak melakukan penggabungan foto seperti yang dilakukan

41Di akses dari http://www.alteredimagesbdc.org/walski, pada 14 Agustus 2019, pukul 07.35 WIB.
42Ibid., hlm. 98

23
oleh Brian Walski pada saat itu. Pada akhirnya, kejujuran dalam sebuah foto

jurnalistik kembali kepada hati nurani seorang jurnalis.43

2.6. Foto Jurnalistik Bencana Alam

Salah satu bentuk dari luasnya dunia komunikasi adalah bentuk

dari visualisasi foto pada sebuah gambar yang memiliki pesan dan cerita.

Foto seolah dapat diajak bicara oleh orang yang melihat. Foto yang dapat

membawa emosi pada sang penikmat merupakan foto yang baik.

Begitupula dengan foto jurnalistik, tanpa rekayasa, sentuhan digital

imaging, foto jurnalistik diharapkan dapat menyentuh aspek tersebut

dalam realitasnya.44

Secara sederhana, foto jurnalistik mengacu pada aturan dan kaidah

yang berlaku pada saat ini. Hakikatnya, foto jurnalistik bencana alam

merupakan sebuah foto yang dipublikasikan kepada khalayak melalui

media massa, internet, atau media lain dan berisi produk jurnalistik dari

suatu peristiwa bencana alam. Penyampaian pesan yang dilakukan oleh

man behind the gun yakni seorang fotografer akan berhasil mengabadikan

sebuah momen tertentu sejalan dengan adanya 5W+1H (What, Why,

Where, When, Who dan How) yang secara literal terlihat dan dapat

dipahami secara utuh apabila hadir sebuah keterangan foto (caption) yang

membubuhi. Meskipun tidak semua foto dapat dijelaskan menggunakan

unsur tersebut dengan lengkap, namun peran caption sangatlah penting.

43Ibid., hlm 101.


44Nico Kurnia Jati. 2017. Hiperrealitas Fotografi Jurnalistik. Vol.17, No.1, hlm.16.

24
Pada buku yang berjudul "The Photographic Message", Roland

Barthes menuturkan ada tiga tahapan dalam membaca foto yang sifatnya

konseptual. Pertama yakni perseptif yang dapat diartikan sebagai tahap

transformasi gambar menuju kategori verbal yang bersifat imajinatif.

Selanjutnya yaitu tahap konotasi kognitif yang merupakan tahap

collecting serta upaya dalam menghubungkan unsur sejarah dari analogi ke

denotasi ke dalam imajinasi paradigmatik hingga menghasilkan

pengetahuan kultural. Ketiga, tahap etis-ideologis yang disebut tahap

pengumpulan pelbagai penanda yang siap dirangkai menjadi "kalimat"

sehingga dapat menentukan motif. Semua tahapan itu berkaitan dengan

interaksi manusia karena memiliki makna tertentu dalam

penyampaiannya.45

Begitupula dengan foto jurnalistik bencana alam yang memiliki

pelbagai aspek yang perlu dikaji. Sebagai contoh, penanganan bencana

ditindaklanjuti setelah munculnya foto yang memberikan informasi kepada

khalayak. Hal ini mengindikasikan pentingnya fotografi sebagai medium

penyampai pesan. Foto saat bencana terjadi (gempa bumi, tsunami,

gunung meletus) maupun pasca bencana (kondisi sosial ekonomi

masyarakat, kunjungan pejabat, penyaluran bantuan berupa logistik, dan

lain sebagainya) merupakan produk foto jurnalistik bencana alam.

Pentingnya foto bencana alam juga didasarkan pada pengambilan aspek

dalam pendekatan fotografi yang dapat diterima oleh masyarakat.

45Arsa Widitiarsa Utoyo, Op Cit., hlm.100.

25
Sementara itu, berkaitan dengan pemberitaan mengenai bencana

alam, peran fotografer dalam menangkap momen serta menyampaikan

pesan juga merupakan menjadi poin penting. Media menjadi salah satu

pihak yang berpengaruh dalam isu bencana. Berita ataupun foto yang

tersaji tidak hanya menyangkut bagaimana kejadian atau bencana tersebut

digambarkan saat kejadian, namun juga mempengaruhi bagaimana

peristiwa tersebut akan diingat. 46 Rangkaian dari relasi antar tanda yang

ada pada saat bencana alam terjadi merupakan sebuah pengetahuan sosial

yang membentuk sebuah realitas. Pesan-pesan yang dibawakan menjadi

sebuah petunjuk dari informasi yang ada. Kehancuran, kesedihan,

kekalutan menjadi makna yang tak lepas dari adanya sebuah peristiwa

bencana alam.

Dalam berkehidupan sosial, masyarakat akan mengalami paparan

terhadap media. Oleh sebab itu, peran fotografer dibutuhkan untuk terus

melakukan pendokumentasian serta penggalian pengetahuan lokal adaptif

serta kolaboratif dengan pengetahuan dan teknologi modern mengenai

antisipasi kebencanaan yang ada. 47 Konstruksi sosial secara positif

terbangun apabila foto yang ditampilkan berisi material positif di

dalamnya, sehingga pada akhirnya dapat membawa unsur perubahan pada

masyarakat melalui frame yang direkam, baik dari segi sosial, ekonomi

maupun budaya.

46Ibid., hlm.84
47Di akses dari https://www.mongabay.co.id/2019/01/02/memaknai-bencana-alam-dengan-perspektif-baru/
pada 4 Oktober 2019, pukul 07.55 WIB.

26
2.7. Nilai Foto Jurnalistik Bencana Alam

Foto jurnalistik bencana alam harus memiliki nilai yang dapat

menunjang tercapainya fungsi foto tersebut. Sumadiria dalam Gani &

Kusumalestari, menuturkan bahwa ada pelbagai unsur yang mendukung

adanya foto jurnalistik, namun yang dapat disimpulkan oleh peneliti terkait

bencana alam di antaranya yaitu :

1. Kebaruan (Newness), berita yang baru menjadi penting karena pembaca

perlu mengetahui hal tersebut. Ketika terjadi bencana alam, jurnalis foto

harus jeli dalam menangkap momen yang ada dengan memanfaatkan

space dalam mengambil angle yang tepat dan menarik (apabila bencana

tersebut sering terjadi), seperti contoh banjir di Jakarta. Masyarakat akan

jenuh apabila foto yang ditampilkan seputar bundaran HI.

2. Keluarbiasaan (Unusualness), dalam hal ini, luar biasa merupakan hal

yang unik dan mampu membuat masyarakat tertarik untuk melihatnya.

Cerita baru maupun mode baru dalam pengambilan foto mampu membuat

sudut pandang yang tidak menjemukan. Semakin besar suatu peristiwa,

maka semakin besar pula nilai berita yang ditimbulkan.

3. Akibat (Impact), foto yang memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan

masyarakat. Sesuatu yang berdampak luas berbanding lurus dengan besar

dampak sosial budaya, ekonomi dan politik yang terkandung di dalamnya.

Akibatnya, masyarakat aware terhadap berita yang dipublikasikan.

Sebagai contoh, foto bencana alam di Aceh (2004) yang menyedot

perhatian banyak media luar negeri sehingga pendistribusian bantuan yang

datang ke Indonesia semakin sarat.

27
4. Aktual (Timeliness), berita yang sedang terjadi atau baru terjadi menjadi

nilai berita yang tinggi. Kecepatan dalam berkirim pesan dari jurnalis foto

ke kantor redaksi kini tidak menjadi masalah yang berarti. Orientasi dalam

aktualitas merupakan hal mutlak yang harus dipenuhi oleh berita. 48

5. Kedekatan (Proximity), semakin dekat lokasi bencana, maka berita akan

semakin menarik. Foto berguna untuk mengingat kembali mengenai

berbagai hal terkait berita tersebut. Proximity memiliki dua unsur penting,

yakni geografis dan psikologis. Pada ranah geografis, masyarakat dapat

mengingat kejadian yang terletak di suatu daerah. Sedangkan pada aspek

psikologis, foto yang ditampilkan tentu merasuk pada perasaan maupun

pikiran seseorang ketika melihat objek dalam peristiwa tersebut.

6. Informasi (Information), setiap berita kebencanaan tentu memiliki

informasi. Namun, tidak semua informasi memiliki nilai berita. Foto yang

kredibel yakni yang dapat memuat informasi yang lengkap dengan disertai

caption. Dalam hal ini, foto memegang peranan penting dalam melengkapi

adanya sebuah informasi hingga menjadi sebuah berita yang bernilai.

7. Ketertarikan Manusiawi (Human Interest), masyarakat memiliki rasa

humanis sehingga tertarik dengan foto yang menceritakan tentang

peristiwa menyentuh hati. Bencana alam merupakan salah satu peristiwa

yang memiliki nilai human interest yang tinggi karena bisa memancing

emosi seseorang yang melihatnya.

8. Orang Penting (Prominence), tokoh publik, selebritas, pesohor memiliki

nilai berita tinggi tatkala terjun ke dalam sebuah peristiwa. Masyarakat

48Ibid., hlm. 52

28
tertarik apabila tokoh tersebut diberitakan di media. Dalam konteks

bencana alam, foto yang memuat tokoh publik yang sedang berkunjung ke

suatu daerah bisa menyedot perhatian publik, terlepas dari kontestasi

politik yang kadang mengesampingkan empati dari persoalan hati nurani.

9. Kejutan (Surprising), kejutan dalam hal ini bisa merujuk pada perbuatan

serta ucapan seseorang. Nilai berita dapat berasal pada aspek ini.

Contohnya, ketika terjadi bencana alam di Palu, adanya foto Presiden

Trump menyampaikan belasungkawa kepada Indonesia menjadi menarik.

Siapa sangka bahwa Trump mengirim pelbagai bala bantuan seperti tim

SAR dan beberapa pihak lainnya untuk membantu Indonesia dalam

penanganan bencana alam yang terjadi. 49

10. Konflik (Conflict), pada setiap bencana alam tentu terjadi konflik. Seperti

pendistribusian bantuan yang tidak merata, penanganan bencana oleh

pemerintah yang kurang sustainable, dan lain sebagainya. Hal ini menjadi

point of interest terkait peristiwa kebencanaan.

Adanya nilai jurnalistik ini dapat menjadi acuan para jurnalis foto

atau fotografer independen untuk senantiasa berada pada aspek yang

berada pada jalur yang benar dan tidak menyimpang.

2.8. Optimisme Foto Jurnalistik Bencana Alam

Optimisme dalam KBBI adalah sebuah paham (keyakinan) atas segala

sesuatu dari yang baik serta menyenangkan atau sikap yang selalu memiliki

49Di akses dari https://www.voaindonesia.com/a/presiden-trump-sampaikan-belasungkawa-pada-indonesia-


siap-bantu/4594629.html, pada 2 April 2019, pukul 08.35 WIB.

29
harapan baik dalam segala hal. 50 Jurnalisme positif atau optimis berperan

dalam penyampaian informasi yang bagus dengan baik dan informasi yang

tidak baik dengan bagus. Maka dari itu, jurnalisme positif ini memegang kode

etik jurnalistik, elemen-elemen dasar jurnalisme, aturan perundang-undangan

yang mengatur pers serta mengandung nilai-nilai berita dengan sistematis. 51

Optimisme dalam foto jurnalistik bencana alam memiliki andil yang

penting dalam pemberitaan di media. Bagaimana segala aspek dalam

pemberitaan terkait bencana alam dapat dilihat dari segi positif tanpa

memperlihatkan segi negatif. Sebuah bentuk liputan bencana yang bisa

memberikan dampak positif secara psikologis untuk korban maupun keluarga

serta masyarakat. Jurnalisme optimis dalam liputan bencana dapat berperan

dalam pemulihan kondisi sosial pasca bencana. Proses rekonstruksi dan

rehabilitasi wilayah terdampak bencana akan dengan cepat terbangun apabila

adanya jurnalisme bencana yang fokus terhadap optimisme. 52

Sorotan foto bencana alam tanpa adanya eksploitasi korban merupakan

kunci utama. Ketika dramatisasi foto menjadi sebuah komoditi dalam

pemberitaan di media, maka pengemasan secara positif perlu dicanangkan.

Maraknya foto yang menjadi komoditi dalam politik praktis menjadikan foto

tersebut tidak memiliki nilai kemanusiaan yang berarti. Demi mendapatkan

foto eksklusif, banyak fotografer yang mengesampingkan hati nurani dan etika

jurnalistik. Di kalangan media di Indonesia, pendidikan dalam meliput

50Diakses dari https://kbbi.web.id/optimisme pada 2 April 2019, pukul 08.47 WIB.


51Di akses dari http://company.timesindonesia.co.id/jurnalisme-positif, 26 Maret 2019, pukul 21.55 WIB.
52Hartinah Sanusi. Jurnalisme dan Bencana (Refleksi Peran Jurnalis dalam Liputan Bencana Gempa,
Tsunami dan Likuifaksi Palu-Donggala), hlm.222.

30
bencana hampir tak ada sehingga media Indonesia tidak memiliki standar

operasional yang jelas untuk meliput bencana. 53

Kendati demikian, foto jurnalistik harus mampu mendukung berita

yang mengemas mengenai hal positif apa yang mampu menjadi bahan bacaan

oleh masyarakat dengan mematuhi kebijakan yang ada terkait foto bencana

alam. Namun realitanya, Kompas yang mengadaptasi foto dari Reuters pernah

memuat foto mayat-mayat di Lambaro pada 28 Januari 2005 dari sudut atas

dan agak jauh. Fotografer berupaya untuk mengurangi detail dari tubuh mayat.

Sebuah foto bencana yang berhasil terekspos dari sudut pandang banyaknya

korban tewas. Hal ini tentu menyalahi etika jurnalistik karena sebagian orang

mungkin tetap menganggapnya sadis. 54

Pemahaman mengenai optimisme dalam eksekusi foto bencana alam

sangat penting. Hal demikian perlu dilakukan agar mengedepankan pesan

positif dan tidak menimbulkan korban merasa depresi akibat melihat foto

tersebut serta membangun masyarakat Indonesia yang kuat dan penuh

optimisme.

2.9. Makna Sosial dari Bencana Alam

Peristiwa bencana alam tak lepas dari unsur individual maupun

kesatuan masyarakat yang tergabung menjadi suatu kelompok sosial. Pada

perannya, bencana alam menjadi sebuah fenomena sosial karena melibatkan

unsur manusia di dalamnya. Manusia menjadi korban terdampak yang secara

lahir dan batin mengalami ancaman tersebut. Indonesia yang merupakan

53Ahmad Arif,Jurnalisme Bencana, Bencana Jurnalisme, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), Jakarta,
hlm. 34.
54Ibid., hlm.45

31
negara yang terletak di area ring of fire mengalami banyak sekali kerugian

atas wilayah geografisnya. Gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi di Palu

merupakan salah satu dari sekian banyak bencana alam yang pernah terjadi.

Oleh karena itu, kajian terkait bencana alam seringkali digemingkan untuk

mengatasi adanya krisis tertentu. Selain persoalan geografis, spektrum

selanjutnya dari disiplin ilmu yang merupakan irisan dari bencana alam yakni

pada ilmu sosial.

Pada dasarnya, fenomena bencana alam terbentuk dalam sebuah

konstruksi sosial kemasyarakatan dan telah terpupuk dalam kebudayaan yang

mengakar. Masyarakat yang tumbuh di daerah rentan bencana memiliki

pengetahuan dan kesadaran untuk melakukan sebuah eksekusi ketika bencana

alam terjadi. Hal ini terbentuk berdasarkan realitas kehidupan sosial yang

sehari-hari dijalani. Realitas tersebut tidak berhenti pada konsep individual,

melainkan menjadi bagian penting pada kelompok sosio-kultural di

dalamnya.55 Bencana alam juga seringkali dikaitkan bahwasannya masyarakat

melihat bencana alam datang dari luar kemampuan manusia atau menjadi

suatu peristiwa yang menimpa diri mereka. Hal ini merupakan salah satu

bentuk pandangan konvensional yang mengaggap bahwa bencana merupakan

sifat alam yang menjadikan bencana adalah karena kecelakaan semata.

Sementara itu, bencana alam juga diyakini sebagai “kehendak Tuhan” di mana

kejadian tersebut menjadi sebuah peringatan, cobaan, bahkan kutukan, hingga

55Charles R. Ngangi. Konstruksi Sosial dalam Realitas Sosial. ASE-Vol.7 No.2, hlm.3

32
manusia tak berhak dan tidak dapat mempersiapkan diri menghadapi

bencana.56

2.10. Fotografi: Makna-Makna di Balik Tanda

Makna, menjadi perhatian disiplin komunikasi, sosiologi, antropologi,

psikologi dan linguistik. Menurut Rakhmat, dalam Sobur, begitu banyaknya

pakar yang mengulas makna sehingga makna hampir kehilangan makna itu

sendiri.57 Ada tiga hal yang dijelaskan oleh para linguis dan filsuf dalam usaha

menjelaskan istilah makna. Ketiga hal tersebut adalah: (1) menjelaskan makna

kata secara alamiah, (2) mendeskripsikan makna dalam proses komunikasi, (3)

menjelaskan dalam proses komunikasi. Pada hal ini, Kempson berpendapat

bahwa istilah makna dapat dilihat dari segi: (1) kalimat; (2) kata; (3) apa yang

dibutuhkan pembicara untuk melakukan komunikasi. 58

Pada perannya, makna sangat dipengaruhi oleh faktor yang ada diluar

pengalaman hidup manusia, seperti simbol dan tanda. Hal demikian

menyebutkan bahwa makna tidak selalu dihasilkan oleh proses pada alam

sadar manusia. Ogden dan Richards menyatakan bahwa definisi makna lebih

dikaitkan dengan sebuah terminologi lain seperti nilai, referensi, intensi, atau

bahkan emosi. Sehingga Ogden dan Richards setuju jika makna yang terdapat

dalam berbagai simbol layak diperlakukan sebagai sebuah bahasa. 59 Makna

berfungsi sebagai penghubung bahasa dengan dunia luar yang sesuai dengan

56 Dr. Rahmawati Husein, Bencana di Indonesia dan Pergeseran Paradigma Penanggulangan Bencana:
Catatan Ringkasan, hlm. 2.
57Ibid., hlm.45
58Alex Sobur., Op.Cit., hlm 255
59Radityo Widiyatmojo. Semiotik Kebun Binatang Dalam Photobook Berjudul Wildtopia, Jurnal Sospol,
Vol.4 No.2, Hlm 108-123.

33
kesepakatan para pemakainya sehingga dapat saling dimengerti.60 Makna

tersebut dapat bersumber dari tanda-tanda dan simbol yang mendasarinya.

Seperti yang dinyatakan oleh Marcel Danesi bahwa makna bisa diilustrasikan

pada berbagai elemen visual seperti simbol dan tanda. Sehingga munculnya

sebuah ilmu yang mempelajari tentang tanda, yakni biasa disebut semiotika. 61

Sementara itu, mengacu pada pembahasan semiotika, secara definitif,

semiotika sendiri adalah sebuah ilmu atau bentuk metode analisis untuk

mengkaji tanda. Semiotika atau yang dikenal semiologi oleh Barthes

mempelajari bagaimana manusia (human) dalam memaknai suatu hal

(things).62 Menurut Segers dalam Sobur, semiotika adalah suatu disiplin ilmu

yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi dengan sarana signs

'tanda-tanda' dan berdasarkan pada sign system (code) 'sistem tanda'.63

Pada dasarnya, semiotika berasal dari bahasa Yunani yakni semeion

yang berarti "tanda" atau seme yang bermakna "penafsir tanda". Tanda pada

masa itu masih merujuk pada sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain.

Tanda menjadi sebuah perkenalan dari munculnya makna tertentu yang

diyakini akan menjadi suatu identitas dalam suatu kebudayaan.

Munculnya semiotika diawali oleh tokoh bernama Ferdinand de

Saussure. Saussure menyajikan sebuah konsep hubungan pemaknaan yang

bersifat timbal balik antara penanda (signifiant) dan petanda (signifie) pada

ranah bahasa. Makna yang ada pada tanda berakhir pada suatu lingkaran sosial

60Aminuddin, Semantik (Pengantar Studi Tentang Makna), Penerbit Sinar Baru Algensindo, Bandung, hlm.7.
61Marcel Danesi. Messages, Signs, and meanings: an introduction to semiotics. 3rd edition, hlm. 10.

62Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, hlm. 15.
63Ibid., hlm. 16.

34
budaya yang linier dan tidak adanya kedinamisan untuk memahami makna

yang bersumber dari tanda tersebut. Pada saat itu, semiotika berkembang

secara struktural, seperti dengan aliran strukturalisme yang ada di Eropa.

Kemampuan manusia dalam memahami dan memaknai suatu tanda

berkembang secara dinamis. Hal ini dapat dikatakan bahwa tanda bersifat

asosiatif (berdasarkan pengalaman; gagasan; ingatan yang dimiliki oleh

manusia, tidak sekadar kembangan yang berlaku pada sebuah ranah sosial

budaya saja.)

Seiring berjalannya waktu, muncul Charles Sanders Peirce yang

menjadi tokoh yang cukup berpengaruh dalam perkembangan semiotika

sebagai ilmu yang mengkaji tanda. Semiotika yang awalnya berkembang

secara struktural, kini menjadi lebih pragmatis. Proses dalam pemaknaannya

disebut proses semiosis. Adanya sign, interpretant, dan object menjadi sebuah

tahapannya. Pertama, identifikasi dari tanda atau yang berfungsi sebagai

representamen oleh panca indera disebut tanda (sign). Selanjutnya proses

pengaitan secara spontan pada tanda berdasarkan pengalaman kognisi dari

manusia, disebut objek (object). Tahap ketiga yakni interpretan (interpretant),

proses penafsiran dari objek yang ada. Pada hal ini, Pierce melihat bahwa

tanda sebagai apa yang mewakili apa. Keragaman makna yang terbentuk

bergantung pada manusia yang memaknai tanda melalui proses penafsiran

atau dialektika interpretasi yang merujuk pada realitas atau denotatum.64

Selain itu, tokoh yang bernama Roland Barthes juga turut andil dalam

pergerakan pada pemaknaan sebuah tanda. Barthes menyebutkan

64Rifai dan Puspitasari, 2018, Representasi Ideologi Islam dalam Cerita Pendek: Analisis Semiotika, hlm.101

35
bahwasannya bahasa merupakan sebuah sistem tanda yang mencerminkan

asumsi dari masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Pada salah satu

bukunya yang berjudul Camera Lucida: Reflections on Photography, Barthes

menjelaskan tentang hubungan antara makna, subyektifitas serta budaya

masyarakat di dalamnya melalui fotografi. Foto tidak hanya bersifat

memorial, namun juga memiliki fungsi untuk memberikan pengetahuan,

informasi, hiburan, representasi, kejutan, atau bahkan provokasi.65

Roland Barthes, seorang pemikir strukturalis yang gemar dalam

memperaktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Barthes lahir

pada tahun 1915 di Cherbourg. Menghabiskan sebagian masa hidupnya di

kota kecil dekat pantai Atlantik bernama Bayonne. Belum genap usia satu

tahun, ayah Barthes wafat dalam sebuah pertempuran di Laut Utara. Usia

sembilan tahun, Barthes dan keluarganya pindah ke Paris. Meskipun ia

sempat terkena penyakit Tuberkulosa (TBC), namun tidak menghentikannya

untuk tetap membaca banyak hal. Ia menuliskan banyak buku, di antaranya

adalah Le degree zero de l’ecriture atau “Nol Derajat di Bidang Menulis”

(1953, diterjemahkan dalam Bahasa inggris, Writing Degree Zero, 1977).

Tulisan Barthes yang terbit pada majalah Prancis, yakni Les Letters

nouvelles membahas serangkaian “Mythology of the Month” (Mitologi Bulan

Ini) yang mengungkap tentang aspek denotatif, konotatif, dan mitos yang

dihubungkan dan membentuk masyarakat. Ia menjelaskan mengenai

65Roland Barthes. Camera Lucida: Reflections on Photography,1980,hlm. 28.

36
fenomena keseharian yang menunjukkan sebuah konotasi yang terkandung

dalam mitologi berdasarkan hasil konstruksinya yang cermat. 66

Barthes mengemukakan pendapatnya bahwa pemaknaan terhadap

objek tidak hanya membawa informasi, namun juga membentuk sistem yang

terstruktur dari tanda itu sendiri. Hadirnya semiotika yakni untuk mempelajari

mengenai bagaimana manusia memaknai suatu hal. 67 Terlepas dari

pembedaan yang mungkin dilakukan oleh semiotisi tertentu atas makna

(significance) dan arti (meaning). Relasi dari tanda dan makna hanya

dipelajari dalam satu dari tiga cabang semiotika yakni semantika. Dua cabang

yang lain adalah pragmatika (pragmatic) dan sintaksis (syntax), tidak

mempelajari makna, namun lebih ke relasi formal di antara tanda dengan

tanda lainnya serta relasi yang dibangun antara tanda dan penggunanya.

Selanjutnya, semiotika tidak sebatas mempelajari simbol, melainkan tanda-

tanda yang pada umumnya jauh lebih luas lagi cakupannya. Sementara itu,

semiotika mengkaji tanda atau relasi antar tanda. Kata kuncinya adalah

‘relasi’ dan bukan tanda itu sendiri. Semiotika yang mengkaji relasi tanda

dimaksud dengan kajian berdasarkan relasi tanda yang satu dengan tanda

yang lainnya; relasi tanda dengan maknanya, obyek yang dirujuknya, serta

relasi tanda-tanda dengan para penggunanya atau interpreternya. 68

Dalam perkembangannya, Roland Barthes berhasil mengeksplorasi

teori dari Saussure. Saussure membuat model yakni penanda (signifier) dan

66Ibid., hlm.68.
67Alex Sobur, Op. Cit., hlm.15.
68Kris Budiman, Semiotika Visual, hlm.viii.

37
petanda (signified) yang saling berhubungan pada komponen tanda.

Sedangkan Barthes menambahkannya dengan adanya mitos.

Gambar 2.3
Tatanan dalam pertandaan Roland Barthes.
Konotasi berada pada tatanan kedua. Selanjutnya, sistem tanda dari
tatanan pertama disisipkan pada tatanan kedua dalam mitos atau sesuatu
yang mengandung nilai budaya.69

Pada gambar di atas membuktikan bahwa Barthes mengungkap

adanya dua tatanan dalam analisis semiotika, yang pertama yakni denotasi

yang berisi realitas dan tanda. Penanda (signifier) dan petanda (signified)

menjadi komponen dalam penyampaian maknanya. Tatanan pertama yang

digawangi oleh penanda ini diartikan sebagai suatu realitas yang sebenarnya

(denotasi). Makna denotasi itu bersifat langsung, adanya makna khusus pada

sebuah tanda yang bersifat objektif atau umum. 70

69John Fiske, Cultural and Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif, Terj. Yosal
Iriantara dan Idi Subandy Ibrahim, Jalasutra, Yogyakarta, 2004, hlm. 118.
70Huda & Hamim, 2015, Analisis Semiotika Fotografi “Alkisah” Karya Rio Motret (Rio Wibowo), hlm.3

38
Sedangkan tatanan kedua yang berisi konotasi dan mitos yang

bermula dari adanya kultur dari masyarakat. Konotasi menjadi gambaran

secara implisit tatkala tanda bertemu dengan perasaan atau emosi pengguna

serta nilai-nilai kultural yang mendasari. 71 Barthes menuturkan faktor

pentingnya konotasi dalam sebuah penanda pada tatanan pertama. Denotasi

dan konotasi dalam suatu foto menjadi jelas pemaknaannya ketika proses ini

ditangkap oleh bingkai (frame), sudut pandang kamera, rana, dan lain

sebagainya. Konotasi, dalam maknanya tidak sekadar mempunyai makna

tambahan namun merupakan bagian dari kedua tanda denotatif yang

melandasinya. Sumbangan dari Barthes dalam penyempurnaan semiologi

Saussure dituturkan pada prosedur konotasi di bawah ini 72,

a. Trick Effects (Manipulasi Foto), memanipulasi foto dengan tingkat

berlebihan untuk menyampaikan pesan komunikator. Pertimbangan sistem

nilai yang berlaku pada masyarakat tentu menjadi peran penting agar sejalan

dengan apa yang diharapkan. Model digital imaging yang berlebihan juga

termasuk dalam trick effect ini.73 Pada jenis foto jurnalistik, adanya

kemurnian dalam foto sangat penting adanya. Realitas atau kebenaran pada

foto berpengaruh dengan berita yang akan dibawakan. Adapun pengolahan

gambar yang diperbolehkan dalam foto jurnalistik yakni memperbaiki presisi,

cropping (tanpa mengubah esensi dari foto yang akan disampaikan),

mengatur tingkat kontras, kecerahan, serta keseimbangan warna.

71John Fiske, Op. Cit., hlm.118


72Huda & Hamim, Op. Cit., hlm.3
73Rio Motret, Op., Cit., hlm.3

39
a. Angle (Pose), sikap atau ekspresi dari objek berkaitan dengan

ekspresi wajah, gesture, Bahasa nonverbal, dan lain-lain yang berdasar dari

ketentuan masyarakat. Pada perkembangannya, pose ini menjadi posisi yang

sangat penting dalam pemikiran Barthes.

b. Object (Objek), suatu benda atau objek yang dikomposisikan

sedemikian rupa yang akan membentuk asumsi publik dengan maksud

tertentu. Contohnya gambar anak yang menunjuk pada stock of signs, seperti

keuletan, keceriaan, kejujuran, dan lain lain.

c. Photogenia (Fotogenia), seni memotret dengan pelbagai teknik

yang dikombinasikan dengan editing, exposure, panning, efek gerak,

pencahayaan, warna serta efek freezing. Selain itu, adanya aspek formal

fotografi dalam foto antara lain seperti yang dinyatakan oleh Markowski

(1984) dalam buku Membaca Fotografi Potret, Irwandi & Apriyanto

mengklasifikasikan 10 elemen visual dalam fotografi yaitu nada

(tone);cahaya (light); bayangan dan bayangan lunak (shadow and cast

shadow); garis (line); bentuk (shape); perspektif (perspective); tekstur

(texture); ruang (space); dan komposisi (composition). Elemen visual tersebut

akan dijadikan bahan analisis untuk sampel foto yang telah ditentukan. 74

d. Aestheticism (Estetika), gambar yang dikaitkan dengan komposisi

tertentu sehingga menimbulkan makna-makna tertentu.

e. Syntax (Sintaksis), hal ini akan hadir ketika adanya sebuah photo

stories yang menampilkan dalam satu judul. Makna tidak akan muncul jika

74Soetarjo, Lelyana Septianti. 2018. Kajian Semiotika Konotasi Roland Barthes pada Wanita Jawa pada
Kartu Pos Tahun 1900-1910. Vol.1, No.1., hlm. 13.

40
hanya berasal dari bagian-bagian foto tunggal atau lepas yang tidak

terintegrasi dengan judul.

Hal di atas merupakan suatu bentuk langkah dari Roland Barthes

untuk mempengaruhi gambar sebagai analogon. Enam langkah tersebut

dipandang sebagai kegiatan menulis karena pada hakikatnya lewat jalan

tersebut, fotografer dapat menemukan berbagai tanda sehingga muncul

sebagai bentuk makna. Unsur-unsur di atas juga disebutkan dalam bukunya

yang berjudul The Photographic Message. Pada enam aspek di atas, dalam

foto jurnalistik, peran trick effect sangat dilarang karena akan mengaburkan

fakta yang ada. Maka dari itu, peneliti tidak menggunakan unsur trick effect

dalam menganalisis foto yang akan diteliti. Sementara itu, hadirnya mitos

menjadi peran dalam cara kerja pada tatanan kedua. Aspek material mitos

yakni berasal dari penanda-penanda pada the second order semiological

system yang dapat disebut sebagai konotator atau retorik yang tersusun dari

tanda pada sistem pertama; sementara petanda-petandanya sendiri dapat

dinamakan sebagai fragmen ideologi. 75 Mitos adalah sebuah cerita dalam

suatu kebudayaan yang diyakini untuk memahami beberapa aspek dari alam

atau realitas. Bagi Barthes, mitos merupakan cara berpikir dari suatu

kebudayaan tentang sesuatu, seperti halnya konseptualisasi dalam memahami

sesuatu. Pada gambar 2.3, konotasi merupakan bagian dari sistem pemaknaan

tatanan kedua dari penanda, lain halnya dengan mitos yang menjadi bagian

75 Kris Budiman, Op. Cit., hlm.38

41
dari pemaknaan tatanan kedua dari petanda. 76 Implikasi cara kerja lebih lanjut

dari mitos disebutkan bahwasannya,

“Cara kerja mitos yang paling penting adalah menaturalisasi sejarah.


Hal ini menunjuk pada fakta bahwa mitos sesungguhnya merupakan produk
sebuah kelas sosial yang telah meraih dominasi dalam sejarah tertentu: makna
yang disebarluaskan melalui mitos pasti membawa sejarah bersama mereka,
namun pelaksanaannya sebagai mitos membuat mereka mencoba
menyangkalkan dan menampilkan makna tersebut sebagai alami (natural),
bukan bersifat historis atau sosial.”77

2.11. Tanda dalam Karya Foto Jurnalistik

Tanda berfungsi sebagai unsur dasar dalam kajian semiotika dan

komunikasi yang mengandung makna. Pada perannya, tanda memiliki dua

unsur yakni petanda (makna) dan penanda (bentuk).78 Charles Sanders

Peirce pernah bertutur bahwa “..dunia ini bertaburan dengan tanda-tanda,

jika tidak tersusun dari tanda-tanda yang eksklusif.”79 Oleh karena itu,

tanda merupakan hal yang menarik dan mengandung petunjuk tertentu

tentang kita maupun karya visual berupa foto jurnalistik. Menurut Berger,

tanda-tanda yang memiliki dimensi visual bisa dijadikan pertimbangan

pada pelbagai analisis, di antaranya 80:

a. Penggunaan Warna

Adanya pelbagai jenis warna tentu mempengaruhi sebuah kehidupan.

Perbedaan emosi juga cenderung ditimbulkan dari perbedaan warna (di

dunia Barat). Sebagai contoh, warna merah memberi kesan nafsu, panas,

76Ibid., hlm.121.
77John Fiske. 2012. Pengantar Ilmu Komunikasi, hlm.145.
78Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual, Jalasutra, Yogyakarta, hlm. 105.
79Arthur Asa Berger, Pengantar Semiotika: Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer, Penerbit Tiara
Wacana, Yogyakarta, hlm.ix
80Ibid., hlm.47

42
bahaya. Warna violet berhubungan dengan kerajaan dan kekayaan. Warna

biru menandakan suasana dingin, halus dan tenang. Dalam budaya Barat,

warna hitam menandakan sebuah keletihan, namun pada budaya kita,

warna hitam digunakan sebagai tanda duka cita.

Selain Berger, Michael Langford dalam Basic Photography juga

menyebutkan colour and tone values (nilai dan sifat warna) dalam elemen

komposisinya. Penggunaan warna tentu juga berkontribusi pada suasana

hati atau pesan apa yang akan di bawa oleh fotografer. Contohnya,

pemandangan yang didominasi oleh warna hijau dan biru menunjukkan

keteduhan. Merah dan kuning memiliki hubungan yang berkebalikan

dengan warna sebelumnya, warna merah dan kuning diasosiasikan dengan

kehangatan atau sinar matahari. Nilai dan sifat warna dalam fotografi

sangat penting karena adanya penekanan di dalamnya. Area warna yang

tidak diinginkan dapat ditundukkan dengan bayangan ataupun tembakan

terhadap cahaya, atau bisa dikaburkan dengan beberapa objek yang

menjadi foreground.81

b. Ukuran

Berbicara soal ukuran, perhatian pada hal tersebut tidak hanya pada

dimensi yang ada namun juga unsur keterkaitan antara tanda dan sistem

tanda. Variasi bentuk pada tanda, mulai dari ukuran terkecil hingga

terbesar menjadi sorotannya. Perubahan skala ukuran yang dimaksud

Berger lebih mengedepankan nilai estetika daripada fungsinya sebagai

sarana komunikasi.

81Michael Langford,Op. Cit., hlm. 134.

43
c. Ruang Lingkup

Ruang lingkup seringkali diasosiasikan dengan hubungan sistem

tanda. Berbagai tanda begitu rumit dan memiliki tampilan yang relatif

sedikit dan kurang kontras dengan “ruang kosong”. Tanda-tanda lain

seperti foto jurnalistik menggunakan ruang kosong sebagai tanda yakni

berupa cakupan atau luas wilayah dari sebuah konteks foto.

d. Kontras

Berger mendefinisikan kontras sebagai perbedaan antara elemen yang

ada dalam tanda, seperti warna, ketajaman, tekstur, dan ukuran. Kontras

digunakan untuk menampilkan “ketelitian” persepsi pada tampilan

tertentu. Pada karya foto jurnalistik, aspek kontras ini menjadi perhatian

atau point of interest bagi para fotografer dan juga pengamat foto.

e. Bentuk

Bentuk maupun simbol didasarkan untuk menjelaskan suatu pesan

yang akan dikonstruksi. Sebagai contoh, jantung berwarna merah yang

dipakai sebagai lambang cinta seringkali diasumsikan dengan Hari

Valentine.

f. Detail

Peran detail menjadi penting ketika dapat berfungsi sebagai penjelas

dari tanda yang memberikan sejumlah manfaat. Pada sebuah foto, bila

fotografer menampilkan fokus lembut untuk melihat detail, maka citra

dari fokus lembut tersebut dapat dihubungkan dengan emosi, impian dan

lain sebagainya. Detail juga menjadi aspek utama dalam karya foto

44
jurnalistik karena digunakan untuk menonjolkan objek yang dimaksud

oleh sang fotografer.

g. Angle

Penempatan atau positioning dalam sebuah foto berdampak pada

pesan yang akan dikemukakan oleh fotografer. Melalui angle tertentu,

makna yang disampaikan tentu mengacu pada fokus objek.

Sebaran tanda-tanda berdasarkan komposisi di atas dapat

memberikan makna secara langsung maupun tidak langsung ketika

dipahami sebagai bentuk visual.

Berkenaan dengan segi visual fotografi jurnalistik, relasi antar tanda

juga dapat dilihat dari ragam teknik dalam pengambilan fotonya. Terkait

dengan fotogenia yang merupakan salah satu bagian dari tahap konotatif

foto, Roland Barthes memberikan tabel pemaknaan dalam teknik

menganalisis foto82 :

Tabel 2.1
Fotogenia

Tanda Makna Konotasi

Fotogenia Teknik

Fotografi

Pemilihan Lensa Normal Normalitas keseharian

Close Up Dekat, intim

Medium Up Ada hubungan personal

82Husnywaris, 2009 dalam Skripsi Priya Gilang Rifanda, 2018, Semiotika Foto Jurnalistik Pemaknaan
Interaksi Sosial Bencana Alam, hlm.19.

45
dengan subjek

Full Shot Hubungan tidak

personal

Long Shot Tidak personal,

menghubungkan subjek

dengan konteks

Tele Jauh, tidak personal

Lebar Dramatis

Sudut Pandang Datar Keseharian,

(Angle) berdasarkan realitas

Low Key Menampilkan sisi

muram, suram

High Key Cerah, kebahagiaan

Low Angle Menambah sentuhan

subjek berkuasa,

mendominasi, dan

memperlihatkan otoritas

Eye Level Potret sejajar dengan

subjek, memberi kesan

kesamaan, sederajat

High Angle Membuat subjek

tampak tidak berdaya,

merasa didominasi,

kurang otoritas,

46
dikuasai

Fokus Depth Focusing Semua unsur dalam foto

di anggap penting

Selective Perhatian terfokus pada

Focusing unsur tertentu dalam

foto

Penempatan Atas Memberi kesan subjek /

subjek / objek objek berkuasa

pada bidang foto Bawah Subjek / objek tidak

penting

Pinggir Subjek / objek tidak

penting

Tengah Subjek / objek penting

Pada tabel di atas, fotogenia berdasarkan unsur konotatif pada

pemaknaan sebuah karya foto jurnalistik. Melewati pelbagai tahapan tanda

yang akan menghadirkan makna itu sendiri. Pemaknaan dalam suatu tanda

atau simbol disampaikan melalui indera penglihatan yang nampak secara

visual dalam gambar maupun karya fotografi jurnalistik.

Sementara itu, tanda dalam perannya juga turut serta pada ranah

metafora yang dapat disejajarkan dengan gaya bahasa kiasan yang

berdasarkan persamaan maupun perbandingan. Hal ini dimaksudkan untuk

mencoba menunjukkan sebuah kesamaan ciri-ciri dalam temuan makna.

Menurut Gerald Zaltman dan Lindsay Zaltman, metafora kerap

47
didefinisikan sebagai representasi sesuatu atas sesuatu yang lain. Beragam

bentuk idiomatis menjadi “jalan pintas”, bentuk representasi atau ekspresi

non-literal. Zaltman mengatakan ada tujuh deep metaphors universal yang

bisa dijadikan referensi, salah satunya yakni aspek balance

(keseimbangan) yang meliputi ide mengenai harmoni, penyesuaian,

kesetimbangan, dan pemeliharaan. Hal ini dicontohkan dengan

keseimbangan sosial, fisik, maupun estetika. 83 Sedangkan aspek

selanjutnya yakni metonimia, bagian dari sinekdok ini dibagi menjadi dua

bagian yaitu totum pro parte: pengungkapan keseluruhan objek padahal

yang dimaksud sebagian. Pars pro toto: pengungkapan sebagian dari

objek untuk menunjukkan keseluruhan objek. Hubungan dalam metonimi

berkaitan dengan keseluruhan dan bagian berdasarkan konteks yang

familiar. Adanya sebab-akibat dalam sebuah pertandaan yang saling

berhubungan juga terangkum di dalamnya. Metonimia merupakan sebutan

pengganti untuk perbuatan atau obyek dengan atribut yang melekat. 84

2.12. Penelitian Terdahulu

Pada penelitian ini, peneliti terinspirasi dari penelitian terdahulu

sebagai tolak ukur penelitian. Adanya kesimpulan mengenai penelitian

terdahulu ini menjelaskan hasil penelitian lain yang relate dan cukup

relevan dengan pendekatan permasalahan yang akan dikaji oleh peneliti.

83Faiz Yajri. 2012. Politik Metafora dalam Strategi Branding Komoditas Agribisnis (Analisis Semiotika
Strukturalisme Terhadap Konstruksi Teks Majalah Trubus Mengenai Komoditas Jabon). Jakarta: Universitas
Indonesia. hlm.17.
84Agustina Kusuma Dewi. 2017. Analisis Ideologi Visual pada Iklan Cetak Adidas Versi Chu-mu Yen, “No
One Gets Up When A Whole World Kicks.” Jurnal Desain Komunikasi Visual, FSRD, ITENAS, hlm.30.

48
Peneliti melakukan analisa terhadap penelitian terdahulu yang memiliki

persamaan ataupun perbedaan dalam eksekusinya.

1. Denotasi dan Konotasi dalam Fotojurnalistik Bencana Alam Tanah

Longsor di Banjarnegara pada Harian Kompas Edisi 13-18 Desember

2014 oleh Yudho Priambodho (2015). Yudho merupakan alumnus

mahasiswa Jurusan Fotografi, Fakultas Seni Media Rekam, Institut Seni

Indonesia Yogyakarta. Pada penelitian yang dilakukan oleh Yudho

menghasilkan temuan makna pada sebelas foto yang telah diterbitkan oleh

Harian Kompas berdasarkan fotografer yang berbeda-beda. Ia

mengkajinya dalam kategorisasi tertentu yakni foto kejadian bencana

longsor, foto kunjungan pejabat negara, foto tindakan dan dampak pasca

bencana alam tanah longsor yang di analisis menggunakan metode

semiotika Roland Barthes dengan menggali makna langsung (denotasi)

atau tidak langsung terbaca (konotasi) dari foto melalui tahap efek tiruan,

pose, objek, fotogenia, estetisme dan sintaksis. Selain itu, ia juga

menganalisis pemaknaannya menggunakan teori Kempson serta secara

fotografi pada tataran ideasional dan teknikal.

Penelitian ini menghasilkan temuan bahwa pemaknaan denotatif

yang didapatkan dari fotojurnalistik bencana alam yang telah dikaji tidak

memiliki kontras makna dengan subyek yang tergambar pada

fotojurnalistik tersebut, sedangkan makna konotasi yang dijelaskan

kurang terpapar secara lengkap karena analisis konotatif yang memiliki

dua unsur pembentuk konotasi (menurut analisis Roland Barthes) yakni

aestheticism dan syntax tidak digunakan dalam menganalisis

49
fotojurnalistik. Namun, dibalik itu, penuturan terkait caption bisa

dijadikan inspirasi yakni pada bagian makna fotojurnalistik menurut

Kempson yang dapat menjadi pelengkap sebuah fotojurnalistik bencana

alam. Maka dari itu, peneliti ingin menjadikan penelitian terkait foto

jurnalistik bencana alam gempa bumi dengan maksimal dan menjadi

kembangan dari tulisan milik Yudho dengan subjek yang berbeda yakni

foto jurnalistik bencana alam di Palu oleh fotografer independen Putu

Sayoga yang telah dipublikasikan oleh media internasional yaitu Le

Monde Prancis.

2. Makna Bencana dalam Foto Jurnalistik (Analisis Semiotika Foto

Terhadap Karya Kemal Jufri pada Pameran Aftermath: Indonesia in

Midst of Catastrophes Tahun 2012) oleh Isye Naisila Zulmi (2014). Isye,

alumni mahasiswi konsentrasi jurnalistik, Jurusan Komunikasi dan

Penyiaran Islam, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi,

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini menganalisis

foto yang ditampilkan oleh karya foto jurnalistik yang masuk dalam

pameran tunggal mengenai bencana yang terjadi di Indonesia. Ia mengkaji

rangkaian foto yang ditampilkan Kemal yang mendapat penghargaan dari

organisasi dunia dalam bidang fotografi yakni World Press Photo pada

kategori People in The News tahun 2011.

Penelitian ini juga membahas tentang analisis denotasi, konotasi

dan mitos yang ada pada foto jurnalistik yang bertajuk Aftermath. Metode

yang digunakan yaitu semiotika dari Roland Barthes. Objektivitas yang

dihasilkan oleh temuannya mampu diungkapkan dengan baik sejalan

50
dengan fenomena yang terjadi pada masyarakat. Pada hal ini, peneliti

ingin menjadikan skripsi milik Isye sebagai referensi pada tataran

denotasi, konotasi (trick effect, pose, object, photogenia, aesteticism,

syntax) serta mitos. Kelemahan dari penelitian ini tidak mencantumkan

analisis caption dari foto sehingga kurang menunjang adanya foto

jurnalistik bencana alam.

51
BAB III
METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan oleh peneliti yakni adalah metode penelitian

berupa analisis semiotika karena digunakan untuk membongkar makna yang

berasal dari simbol-simbol yang ada dalam ranah foto jurnalistik yang akan

diteliti. Hal ini juga didasarkan pada konsep semiotika foto atau visual yang

merupakan salah satu bidang semiotika yang menaruh minat pada penyelidikan

terhadap segala jenis makna yang disampaikan melalui indra penglihatan (visual

senses).85 Analisis ini berdasarkan teori semotik model Roland Barthes dengan

konsep denotasi, konotasi serta mitos. Selain itu, pemaknaan caption pada foto

yang membubuhi juga diteliti menggunakan metode dari Kempson yang melihat

kesesuaian antara foto dan teks yang ada sebagai pendukung terbentuknya makna

visual dari foto jurnalistik bencana alam.

3.1. Pendekatan dan Tipe Penelitian

Mengacu pada permasalahan yang telah dirumuskan pada bab

sebelumnya, maka pendekatan penelitian yang sesuai adalah pendekatan

kualitatif. Pendekatan ini digunakan untuk menganalisa serta menjelaskan

masalah yang terjadi pada penelitian terkait. Menurut Muslimin Machmud,

pendekatan kualitatif adalah suatu penelitian yang ditujukan untuk

mendeskripsikan dan menganalisis adanya fenomena, peristiwa, sikap,

aktivitas sosial, serta pemikiran orang baik individu ataupun kelompok. 86

Dalam penelitian ini, peneliti memilih pendekatan kualitatif karena tujuannya

85 Kris Budiman, Op. Cit., hlm.9.


86 Muslimin Machmud, Op. Cit., hlm. 51.

52
adalah untuk menggambarkan serta mengungkapkan (to describe and to

explore) dan juga menggambarkan dan menjelaskan (to describe and to

explain) makna serta simbol-simbol yang terkandung dalam foto jurnalistik

bencana alam di Palu oleh Putu Sayoga yang telah dipublikasikan oleh harian

Le Monde Prancis.

Penelitian ini menggunakan tipe kualitatif interpretatif yang mana data

yang ditemukan peneliti berkaitan dengan metode tersebut. Analisis tentang

semiotika diinterpretasikan untuk menelusuri makna yang ada.

3.2. Fokus Penelitian

Fokus penelitian ini berada pada hal yang mengacu dengan tujuan

penelitian agar dapat menjawab rumusan masalah yang ada. Maka dari itu,

peneliti memfokuskan pada makna dari foto bencana alam di Palu karya

fotografer Putu Sayoga yang telah dipublikasikan oleh harian Le Monde

Prancis pada 7-9 Oktober 2018. Identifikasi yang beragam pada pemaknaan

pesan visualnya didasarkan makna denotasi, konotasi dan mitos yang dilihat

dari pelbagai jenis angle, komposisi, setting, gesture, mimik muka (facial)

dari seseorang menampilkan makna yang tersirat dan tersurat, serta

menganalisis isi dari caption foto tersebut.

Dokumentasi yang diteliti meliputi foto beserta caption yang ada pada

harian Le Monde Prancis. Foto merupakan bentuk visual yang dapat

diinterpretasikan melalui simbol yang ada didalamnya. Sedangkan caption

menjadi alat pendukung yang dapat melengkapi adanya foto yang akan

diteliti. Elemen visual yang berbentuk foto jurnalistik bencana alam ini

menjadi sebuah objek untuk dikaji dengan caption yang mengikutinya.

53
3.3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan peneliti gunakan yakni metode

dokumentasi. Beberapa dokumentasi untuk keperluan peneliti akan

dikumpulkan sejalan dengan unit analisis yang akan diteliti. Data diperoleh

melalui observasi terlebih dahulu pada pengamatan diunggahan media sosial

Instagram @putu_sayoga dan juga @lemondefr, lalu peneliti menghubungi

secara langsung melalui pemilik foto terkait data yang dibutuhkan.

3.4. Analisis Data

Unit analisis data pada penelitian ini yakni berupa foto dan caption

yang menjadi bagian atau elemen terkecil yang bisa membangun sebuah

pesan dan makna. Foto merupakan objek visual yang tidak bergerak dan

menampilkan adanya suatu peristiwa di dalamnya. Harian Le Monde Prancis

berhasil mempublikasikan foto jurnalistik bencana alam hasil karya Putu

Sayoga pada tanggal 7-9 Oktober 2018. Jumlah foto jurnalistik bencana alam

hasil karya Putu Sayoga yang diterbitkan oleh harian Le Monde Prancis ada

lima foto. Dokumentasi yang akan diteliti yaitu berjumlah lima foto dengan

perspektif kebencanaan.

Teknik analisis yang digunakan oleh peneliti adalah analisis semiotika

oleh Roland Barthes sebagai teori utamanya. Dalam teorinya, Barthes

mengembangkan bahwasannya semiotika memiliki dua tingkatan penandaan,

ada pada tingkat denotasi, konotasi dan mitos. Tanda dapat ditelaah menjadi

dua tahap, tahap pertama yakni dilihat dari background pada ‘petanda’ dan

‘penanda’-nya. Tahap ini disebut denotatif yang dapat menelaah secara verbal

atau bahasa. Dalam KBBI, denotasi merupakan makna kata atau kelompok

54
kata yang didasarkan atas penunjukan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa

yang didasarkan atas kesepakatan tertentu dan bersifat umum atau objektif. 87

Sedangkan konotasi adalah makna yang tidak sebenarnya atau implisit.

Sebagai tatanan tingkat kedua dari penanda, konotasi memiliki peran dalam

penelaahan unsur budaya yang terkandung dalam suatu foto.

Selanjutnya dalam tatanan kedua dalam menganalisis kerja tanda yaitu

mitos. Mitos yang dimaksud bukan yang ada di pemikiran masyarakat pada

umumnya. Namun, mitos menurut Barthes adalah kerangka berpikir dari

kebudayaan tertentu tentang sesuatu atau sebuah paradigma berpikir dalam

memahami suatu hal.

Tahapan dalam proses analisis data yang akan digunakan dapat

dijelaskan sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi simbol dan elemen visual yang terkandung dalam foto

jurnalistik bencana alam dengan menggunakan analisis penanda (signifiant)

dan petanda (siginifié).

2. Melakukan penafsiran dan menjelaskan makna denotasi, konotasi (pose,

object, photogenia, aestheticism, dan syntax), dan mitos yang ada dalam

foto.

3. Menganalisis caption berdasarkan metode Kempson yang menjelaskan

kesesuaian makna yang ditampilkan melalui kalimat dalam proses

komunikasi bersamaan dengan foto jurnalistik yang akan diteliti.

4. Menarik kesimpulan pada penelitian.

87Diakses darihttps://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/denotasi, pada 25 Januari 2019 pukul 00:33 WIB.

55
BAB IV
GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN

4.1. Fotografer Putu Sayoga

Gambar 4.1
Putu Sayoga

I Putu Sayoga Wicaksana, seorang fotografer independen yang

lahir pada 26 Februari 1986. Lelaki yang akrab dipanggil Sayoga ini

merupakan alumni Universitas Gajah Mada jurusan Politik dan

Pemerintahan, Indonesia. Putu Sayoga berfokus pada foto dokumenter dan

perjalanan yang berbasis di Pulau Bali. Meskipun begitu, Sayoga juga

merambah di dunia foto jurnalistik sejak tahun 2010. Harian New York

Times, majalah New Yorker, maupun bacaan lokal yakni tirto.id menjadi

referensi yang mendukung pada dunia jurnalistik dan fotografi.

Menjalani aktivitas sebagai seorang fotografer independen

menjadikannya sukses dan menelurkan beberapa karyanya di media

nasional maupun internasional. Sayoga mulai menekuni dunia fotografi

56
pada tahun 2007. Kini, publikasi karyanya telah tersebar luas. Al Jazeera,

Days Japan, DestinAsian Indonesia, Die Zeit, GEO, Forbes Asia,

Monocle, The New York Times, termasuk Le Monde yang menjadi bagian

penting dalam proses perjalanannya sebagai fotografer. Sayoga juga

pernah berpameran tunggal di The Alleyway Café, Bali Indonesia dengan

judul The Fragile Coast (2016). Ia juga merupakan salah satu pendiri dari

Arka Project, sebuah kolektif fotografer dokumenter di Indonesia, bersama

Yoppy Pieter dan Muhammad Fadli pada tahun 2014. Selain itu, pameran

kolektif juga pernah dilaksanakan di pelbagai daerah, diantaranya adalah

Chennai Photo Biennale di Chennai, India dengan judul Don Quixote of

Literacy (2019), Festival Insumatra di Padang, Indonesia dengan judul

Memories (2019), serta di Galeri Nasional Jakarta, Indonesia dengan judul

Fragile Coast (2014).

Selain menggeluti bidang fotografi secara profesional, Putu Sayoga

juga pernah menjadi pembicara di beberapa acara diskusi. Contohnya saat

Walkingalam88 mengadakan acara dengan tema “Diskusi Proyek Foto dan

Publikasinya”, Sayoga berbagi pengalaman yang ia miliki. Putu Sayoga

juga merupakan salah satu mentor dalam Doc.Now! Documentary

Photography Workshop di Bali (2017) dan Yogyakarta (2016). Menjadi

fotografer independen memberikan kesempatan bagi Putu Sayoga untuk

mengeksplorasi lebih dalam kemampuannya dalam memotret tanpa

adanya kepentingan perusahaan tertentu. Keleluasaan ini menghasilkan

ekspresi pribadi yang dituangkan dalam pelbagai frame foto yang ia ambil,

88Komunitas fotografi dokumenter dengan pendekatan street photography di Malang.

57
salah satunya ketika bencana alam di Palu. Tidak seperti fotografer staf

pada umumnya yang bekerja dengan deadline dari perusahaan, Putu

Sayoga sebagai fotografer independen secara bebas dalam memotret

momen yang ada. Hal demikian menghasilkan foto-foto anti mainstream

dan tetap memperhatikan komposisi serta etika foto jurnalistik yang ada

sehingga pesan yang disampaikan tetap netral. Sayoga menghindari

adanya korban bencana alam yang bersimbah darah serta mengambil

visual dari sudut pandang yang berbeda. Dokumentasi foto bencana Palu

ditampilkan di beberapa media internasional yakni Le Monde, De

Ooggetuige, dan salah satu fotonya masuk dalam kategori Bloomberg’s

Week in Pictures pada Oktober 2018.

4.2. Harian Le Monde Prancis

Harian atau surat kabar yang biasa dikenal sebagai media massa

cetak ini termasuk media utama yang ada di belahan dunia. Dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia, surat kabar didefinisikan sebagai

lembaran-lembaran kertas bertuliskan berita dan sebagainya atau koran. 89

Le Monde merupakan salah satu media massa terkemuka yang ada di

negara Prancis. Harian ini berdiri pada tahun 1944 setelah tentara Jerman

meninggalkan Paris (Perang Dunia II) dan menjadi koran pertama yang

terbit di Kota Mode. Le Monde berdiri karena adanya upaya dari Jenderal

Charles de Gaulle yang ingin Prancis memiliki surat kabar besar dan

dihormati secara internasional. Awalnya, Le Monde dikhususkan untuk

kalangan diplomatik dan organisasi internasional, namun setelah

89https://kbbi.web.id/surat%20kabar di akses pada 29 April 2019, pukul 10.42 WIB.

58
mendapatkan otonomi, posisinya berubah menjadi referensi dunia dalam

kontribusi terhadap kritik pada satu pemikiran dalam pembangunan

paradigma baru. Hal ini menjadikan Le Monde sebagai jurnal terbesar di

negara Prancis. 90

Pada akhir tahun pertamanya, akurasi dan independensi Le Monde

sangat signifikan dan telah mencapai 150.000 kopi.91 Sejak awal, Le

Monde telah melakukan liputan berita nasional dan internasional secara

mendalam dengan analisis yang cermat. Le Monde ini beralamatkan di 80

Boulevard Auguste Blanqui, Paris, IdF 75013, Prancis. Le Monde juga

merupakan harian nasional yang paling populer setelah Le Parisien, Le

Figaro dan l’Equipe. Harian yang didirikan oleh Hubert Beuve-Méry ini

tersebar di 120 negara. Rata-rata pembaca dari luar negeri kurang lebih

30.852 orang perbulan, dibandingkan Le Parisien dengan jumlah pembaca

3.234, l’Equipe sebanyak 8.484 dan 9.674 untuk Le Figaro. Rata-rata

pembaca di Le Monde berada di antara 50-64 tahun sebanyak 26,3%,

sisanya yakni kelompok usia 35-49 tahun (2010).92

Le Monde memiliki beberapa rubrik di antaranya yaitu

internasional, ekonomi, politik, sosial, olahraga, opini, budaya, dan

sebagainya. Seperti halnya harian pada umumnya, Le Monde juga

memiliki jurnalis dan koresponden di wilayah Asia Tenggara, salah

90Trindade & Hartmann. 2014. Guidelines For IPC Journalists. Vol.2, hlm. 576.
91https://www.britannica.com/topic/Le-Monde di akses pada 16 April 2019, pukul 09.02 WIB.
92https://www.connexionfrance.com/Archive/Why-Le-Monde-is-still-a-must-read di akses pada 15 April
2019, pukul 21.00 WIB.

59
satunya yakni Bruno Philip.93 Bruno Philip merupakan jurnalis yang

meliput bencana alam di Palu dan menuangkan menjadi beberapa tulisan

berita internasional yang di ulas dalam harian Le Monde. Bruno adalah

penulis naskah berita yang didukung oleh foto milik Putu Sayoga.

4.3. Bencana Alam di Palu

Bencana alam di Palu berawal dari pergeseran lempeng tektonik

sebesar 7,4 skala Richter pada tanggal 28 September 2018. Gempa bumi

yang terletak di daerah Sulawesi Tengah ini bukan yang pertama, namun

yang terkuat.94 Gempa yang terjadi ini mengakibatkan pergeseran sekitar

10 meter di bawah permukaan tanah saat Patahan Palu Koro melintasi

Kota Palu. Sejak saat itu, ada sedikitnya 500 gempa susulan di Palu. Dapat

dipastikan bahwa potensi gempa bumi di Indonesia sangat rawan karena

letaknya yang berada di pertemuan tiga lempeng utama dunia, yakni

Eurasia, Pasifik dan Indoaustralia. Tidak hanya itu, Indonesia juga terletak

di Cincin Api Pasifik atau yang biasa disebut Ring of Fire. Cincin Api

Pasifik yaitu daerah ‘tapal kuda’ sepanjang 40.000 km yang sering

mengalami letusan gunung berapi dan gempa bumi yang mengelilingi

cekungan di Samudra Pasifik.

Selang beberapa menit setelah terjadinya gempa bumi pada bulan

September silam, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG)

merilis peringatan tsunami. Gelombang laut itu melanda Palu dengan

ketinggian 0,5 hingga enam meter. Hal ini mengakibatkan Palu menjadi

93https://www.babelio.com/auteur/Bruno-Philip/461015 di akses pada 12 April 2019, pukul 10.19 WIB.


94https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-45832237 di akses pada 29 April 2019, pukul 07.27 WIB.

60
porak-poranda. Gelombang air laut setinggi enam meter terbentuk karena

Teluk Palu yang berwujud panjang dan menyempit yang mengakibatkan

kecepatan serta ketinggian gelombang semakin bertambah ketika menuju

Kota Palu. Setelah gempa dan tsunami melanda, fenomena lain terjadi,

yakni likuifaksi. Likuifaksi terjadi ketika tanah berpasir terendam air.

Guncangan yang ditimbulkan gempa menyebabkan tanah kehilangan

ikatan sehingga melarut seperti air dan mengalir, membawa kendaraan dan

bangunan di atasnya.

Dampak kerusakan gempa ini yakni ada 985 desa terdampak, 2.256

orang meninggal dunia, 16.335 hilang, 14.254 luka berat, 235.911

mengungsi serta adanya 534 gempa susulan. Data yang dilansir oleh act.id

ini diambil oleh BNPB per 29 Oktober 2018. 95 Badan SAR Nasional

menyebutkan, perumahan Balaroa di Kota Palu, kurang lebih 1.700 rumah

tertelan bumi setelah gempa hingga mengakibatkan tanah menjadi cair.

Ratusan hingga ribuan orang diyakini terkubur.

Pada saat itu, bantuan berdatangan yang berasal dari sejumlah

negara. BBC.com melansir, secara kolektif, Inggris, Australia, Selandia

Baru dan Amerika Serikat memberikan US$20,8 juta, menurut

Departemen Luar Negeri Australia pada 10 Oktober 2018. Bantuan

internasional yang berdatangan tidak lain adalah dalam bidang transportasi

udara, tenda, generator, alat pengolahan air, rumah sakit lapangan serta

fogging. Namun, pada saat itu bantuan internasional lebih difokuskan pada

95https://act.id/gempa-palu/ di akses pada 29 April 2019, pukul 07.54 WIB.

61
pengolahan air, transportasi, tenda serta genset untuk kebutuhan listrik. 96

29 Negara dan empat badan kemanusiaan telah menawarkan bantuan,

namun hanya 17 negara yang sesuai dengan kebutuhan pemerintah

Indonesia. AS, Prancis, Ceko, Swiss, Norwegia, Turki, Uni Eropa, Korea

Selatan, Australia, Hungaria, Selandia Baru, Qatar, Arab Saudi, Thailand,

India, Jepang, Singapura serta Cina merupakan negara yang turut

membantu.

Kini, beberapa bulan setelah bencana Palu berlalu. Lebih dari 600

kepala keluarga di camp pengungsian Balaroa masih menunggu kepastian

terkait Hunian sementara (Huntara) yang disiapkan oleh pemerintah. 97

Sementara itu, Peace Winds Japan dan ACT (Aksi Cepat Tanggap) pada

28 April 2019 meresmikan 160 unit pengungsian berupa kompleks Hunian

Nyaman Terpadu atau Integrated Community Shelter (ICS) untuk para

penyintas di Kelurahan Tondo, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu,

Sulawesi Tengah. Saat ini ACT telah membangun sedikitnya 11 lokasi

kompleks HNT yang tersebar di Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Donggala

dengan total 1.026 unit shelter.98 Bencana alam gempa bumi di Palu yang

mengakibatkan tsunami dan likuifaksi merupakan yang terbesar dan

terparah dalam kaleidoskop bencana alam sepanjang tahun 2018.

96https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-45717773 di akses pada 29 April 2019, pukul 07.58 WIB.


97https://news.detik.com/foto-news/d-4435929/melihat-kondisi-terkini-warga-palu-5-bulan-usai-
gempa/2#share_top di akses pada 29 April 2019, pukul 08.32 WIB.
98http://www.tribunnews.com/nasional/2019/04/28/peace-winds-japan-dan-act-resmikan-160-unit-shelter-
untuk-penyintas-bencana-palu di akses pada 29 April 2019, pukul 08.40 WIB.

62
BAB V
ANALISIS PEMAKNAAN FOTO BENCANA ALAM

Bencana alam merupakan sebuah kejadian yang tidak dirancang oleh

manusia yang menimbulkan pengaruh besar bagi kehidupan masyarakat. Besar

ataupun kecil, bencana tentu memberikan pengalaman traumatis kepada setiap

korban terdampak. Kehilangan harta benda maupun kerabat menjadi titik balik

adanya sebuah perubahan. Adanya media massa turut menyiarkan berita duka

dalam kejadian tersebut.

Media cetak, elektronik, atau online menjadi sarana untuk menyampaikan

apa yang sedang terjadi. Tidak hanya berupa tulisan, namun foto juga berperan

penting untuk memberikan kekuatan berita berupa pesan yang akan dibawakan

oleh seorang jurnalis maupun fotojurnalis yang ada di media, baik lokal, nasional,

maupun internasional. Pendekatan yang digunakan oleh fotografer tentu

berpengaruh terhadap foto yang akan dihasilkan. Pemahaman mengenai literasi

visual bersumber dari adanya pengalaman yang mendasarinya. Sementara itu,

karya foto jurnalistik dari fotografer Indonesia secara independen menjadi

menarik tatkala muncul di media internasional. Peristiwa besar yang

melatarbelakangi adanya potret kebencanaan yang menyelimuti Sulawesi Tengah

melibatkan imaji serta rasa membuat Indonesia yang dipeluk secara global.

Pada bab ini, peneliti akan mengeksplorasi terkait makna yang muncul

dari simbol-simbol yang terkandung dalam foto jurnalistik bencana alam karya

Putu Sayoga pada harian Le Monde Prancis edisi 7-9 Oktober 2018.

63
5.1. Makna Keberlangsungan Hidup

Gambar 5.1
A Palu, le 6 octobre.
PUTU SAYOGA POUR LE MONDE.

Tabel 5.1
Analisis penanda dan petanda 1.

Penanda Petanda

Elemen visual dalam foto:

a. Korban bencana alam Tiga orang pada foto di atas


merupakan sekelompok masyarakat
yang merupakan korban bencana
alam yang mengalami kehilangan
baik harta, benda, maupun keluarga.

b. Pemakaman islam umum Nisan menjadi sebuah simbol bagi


seseorang yang telah tiada.
Pemakaman islam yang terletak di
area pengungsian menjadi sebuah
pengingat bagi korban bencana alam
bahwa setiap yang hidup pasti akan
kembali keharibaanNya.

64
c. Baju yang berserakan Tumpukan baju yang berserakan
menunjukkan bahwa itu adalah hasil
donasi atau sumbangsih dari para
relawan. Terlihat dari kotak kardus
dengan kertas putih yang berada di
atas tanah.

Pianika identik dengan alat musik


d. Pianika yang dimainkan untuk reggae, dub,
dan minimalist classic music99
maupun kegiatan berkesenian lain.
Perpaduan antara seruling dan
keyboard ini memiliki tuts yang
terdiri dari nada pokok (tuts putih)
dan nada kromatis (tuts hitam). Alat
musik tekan-tiup ini ditemukan oleh
Hohner di tahun 1950. Selain itu,
pianika juga dikenal sebagai alat
musik melodika.

e. Pohon pisang Sebuah tanaman tropis yang dapat


tumbuh dengan baik di dataran
rendah sampai ketinggian 1300 meter
di atas permukaan laut. 100 Pohon
pisang ini bisa tumbuh di beberapa
jenis tanah, yang paling baik yakni
tanah aluvial (tanah liat) dengan
kandungan kalsium dan bahan
organik.
Tahap Denotasi :

Denotasi adalah hubungan antara penanda dan petanda dalam sebuah

tanda. Menurut Spradley dalam Tinarbuko, makna denotatif yakni yang berperan

untuk menjabarkan makna referensial atau hal-hal tertentu yang ditunjuk oleh

kata-kata.101 Pemaknaan dalam tahap denotasi dalam sebuah foto dapat dilakukan

dalam rangka transformasi gambar menuju kategori verbal atau yang biasa disebut

verbalisasi gambar. Hal ini dinamakan tahapan perseptif.

99Diakses dari https://www.melodicashack.com/history-of-the-melodica/ pada tanggal 18 September 2019,


pukul 19.14 WIB.
100Diakses dari https://alamtani.com/panduan-teknis-budidaya-pisang/ pada tanggal 18 September 2019,
pukul 19.22 WIB
101Sumbo Tinarbuko, Op Cit., hlm. 19.

65
Pada foto 5.1 dapat dijelaskan dengan penafsiran tanda (analogon) yang

terdapat di dalamnya, diantaranya adalah :

• Dua perempuan sedang memilah dan memilih baju donasi yang

akan ia bawa dengan latar belakang pemakaman umum di Balaroa,

Palu.

• Seorang anak laki-laki berdiri di atas nisan sembari memainkan

alat musik berupa pianika.

Makna denotasi dalam sebuah atensi dari beberapa analogon di atas

menunjukkan bahwa secara verbal, foto tersebut menunjukkan adanya dua orang

perempuan dan satu anak laki-laki yang berdiri dengan latar belakang pemakaman

merupakan korban bencana alam di Palu. Seorang perempuan yang mengenakan

jaket ungu-hitam menunjukkan wajah sinis seolah tidak mau di foto (kiri) dengan

mengernyitkan dahinya serta menampakkannya dirinya secara natural apa yang

terjadi dengan keadaannya saat itu. Selanjutnya, di tengah ada sosok ibu

berkerudung hitam yang mengenakan jaket biru-hitam. Ia terlihat sedang mencari

pakaian layak dari karung yang berisi pakaian-pakaian. Tumpukan pakaian

tersebut didominasi untuk perempuan yang disimbolkan oleh warna-warna serta

motif yang ada. Selain itu, seorang anak laki-laki berdiri (kanan) mengenakan

baju kebesaran dengan gambar kartun Power Rangers serta warna biru-putih

dengan celana jeans biru. Anak tersebut bermain alat musik pianika. Raut wajah

sedihnya tidak bisa dipungkiri walau ia mencoba menghibur diri dengan

memainkannya. Mereka bertiga sedang berada di shelter atau tempat

penampungan yang ada di area pemakaman umum di Balaroa, Palu. Selain itu, di

sebelah kanan terdapat hammock atau tempat tidur gantung yang terbuat dari

66
sarung. Sementara itu, pohon pisang yang ada di area pemakaman tersebut

mengindikasikan bahwa lokasi tersebut masih dikategorikan yakni daerah yang

masih subur pasca terkena bencana alam. Sepeda motor juga nampak di beberapa

titik menandakan bahwa masih ada transportasi yang bisa digunakan untuk

mencari penghidupan.

Tahap Konotasi :

Berbicara mengenai konotasi, konotasi sendiri adalah makna yang tersirat

atau tidak eksplisit. Teori konotasi menurut Spradley menyebutkan bahwa semua

signifikansi sugesti dan simbol lebih dari pada arti referensialnya.102 Pemahaman

dalam menjelaskan makna konotasi dari sebuah foto berkaitan dengan tahap

konotasi kognitif. Tanda yang penandanya mempunyai keterbukaan dari petanda

atau makna. Unsur-unsur tersebut dibagi menjadi :

a. Pose

Data pada gambar 5.1 menunjukkan bahwa tujuan fotografer yakni

berfokus pada foreground dengan adanya tiga orang yang mengalami

kesedihan yang mendalam akibat bencana alam yang menimpanya. Hal ini

mengindikasikan bahwasannya bencana alam yang terjadi begitu dahsyat

dan menghancurkan hidup mereka, terlebih dari sisi psikologis. Ekspresi

wajah yang ditonjolkan oleh tiga orang tersebut sangat mendukung situasi

yang terjadi saat itu. Anak kecil dengan wajah tertunduk yang

menampilkan sorot keputusasaan sengaja ia bendung dan dilampiaskan

pada alat musik yang dibawanya. Lelaki tersebut seperti kehilangan tempat

bermainnya sehingga dia harus bermain di tanah perkuburan di Balaroa.

102Sumbo Tinarbuko, Op Cit., hlm. 20.

67
Pada dasarnya, musik dapat digunakan sebagai alat untuk pelipur lara atau

memberikan ketenangan jiwa. 103 Cara dalam bermain pianika pun tidak

seperti sedia kala, lelaki tersebut memainkannya tanpa selang atau pipa

untuk mengeluarkan alunan nadanya namun langsung dengan

meniupkannya secara langsung menggunakan bibirnya. Jari-jarinya

menekan nada kromatis (tuts berwarna hitam yang berisi tanda kres dan

mol) untuk memunculkan nada-nada. Seperti dalam hidup yang

diibaratkan sebuah tangga nada yakni adanya hitam dan putih. Anak

tersebut menekan nada berwarna ‘hitam’ yang seringkali dikonotasikan

selayaknya ia sedang berada dalam keadaan yang tidak baik. 104 Dalam hal

ini, apa yang ditampakkan oleh lelaki tersebut ketika memainkan pianika

yakni menunjukkan bahwa adanya keinginan untuk merasakan sebuah

kebahagiaan serta mendapatkan hiburan pasca bencana alam yang terjadi.

Di samping itu, nampak dua orang perempuan dengan wajah

muram. Perempuan berjaket ungu-hitam yang berdiri membawa beberapa

baju donasi seolah tidak ingin di foto karena kondisi yang sedang di

alaminya. Sementara itu, perempuan yang duduk dan mengenakan daster

bunga-bunga serta jaket biru-hitam menampakkan wajah tak acuh pada

fotografer dan tetap mengais-ngais baju layaknya mencari sebuah harapan

di dalamnya. Kerutan pada dahi yang ada di wajahnya seakan menjadi

pertanda bahwa ia harus tetap kuat tatkala bencana alam menghadang.

103https://manfaat.co.id/10-manfaat-bermain-piano-baik-bagi-otak-jiwa-dan-masa-depandi akses pada


tanggal 18 Juli 2019, pukul 21.41 WIB.
104Zuhriah.2018. Makna Warna dalam Tradisi Budaya; Studi Kontrastif Antara Budaya Indonesia dan
Budaya Asing. Makassar, Universitas Hasanuddin. Hlm. 5.

68
Sementara itu model sudut pandang high key menampakkan

kecerahan pada momen yang di ambil, sementara angle pada anak laki-

laki menggunakan eye level agar menampilkan potret sejajar dan

memberikan kesamaan rasa antara fotografer maupun anak tersebut.

b. Object

Point of Interest dalam foto ini menampakkan tiga orang yang

sedang beraktivitas. Satu perempuan (kiri) sedang berdiri sembari

membawa baju donasi, satu perempuan (tengah) sedang melihat sesuatu

sembari mencari baju di dalam karung, sedangkan satu anak laki-laki

memainkan pianika. Putu Sayoga merekam sebuah kejadian dengan

pilihan objek dari foreground orang yang beraktivitas pasca bencana alam

gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi yang telah terjadi. Di samping itu,

baju yang dikenakan dengan seadanya tersebut mencerminkan bagaimana

kondisi yang sedang dialami. Gambar Power Ranger pada baju anak kecil

tersebut seperti menandakan bahwa sosok pahlawan seakan dibutuhkan

untuk membantu bencana alam yang telah terjadi. Gambar bintang di

celana juga bisa dikaitkan dengan adanya ‘satu harapan’ yang tersirat

yakni untuk meraih kebahagiaan. Bintang dimaknai dengan sebagai

sebuah harapan dan cita-cita yang ingin dicapai oleh manusia 105. Salah

satu harapan yang berdekatan dengan keadaan ini yakni dengan bebasnya

lahan bermain untuk anak laki-laki tersebut.

105https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/17/12/19/p17vep313-simbol-bulan-
bintang, di akses pada tanggal 22 Juli 2019, pukul 07.47 WIB.

69
Atmosfer pemakaman sebagai background seperti mengingatkan

bahwa setiap insan yang hidup pasti akan kembali. Di sekitar tempat

tersebut juga terdapat pohon pisang yang menandakan bahwa tanah yang

ada di Balaroa masih tetap subur dan masih bisa mewakilkan sisi

kesegaran yang dilambangkan oleh ‘warna hijau’ yang ada. Warna hijau

sendiri merupakan warna yang identik dengan adanya harapan,

pertumbuhan serta keamanaan. 106 Sementara itu, sepeda motor dan mobil

di luar pemakaman juga masih berfungsi sebagai alat transportasi untuk

menunjukkan bahwa kelangsungan hidup para korban masih bisa terjamin.

c. Photogenia

Jika melihat pada sumber foto pada gambar 5.1, teknik

pengambilan gambar yang digunakan untuk memperdalam kekuatan foto

yakni dengan memfokuskan pada ekspresi para korban dan juga

lingkungan di sekitarnya. Teknik yang biasa di sebut dengan

environmental portrait ini mendukung foto secara keseluruhan yang

disajikan dengan pengambilan foto secara medium up, dengan model eye-

level yang ditujukan pada anak kecil yang berdiri sembari memainkan

pianika dengan makna kesejajaran atau adanya pendekatan sosial antara

fotografer dan korban bencana alam tersebut. Sedangkan pada ibu yang

mengenakan jaket biru-hitam serta ungu-hitam di ambil dengan angle long

shot. Foto tersebut di ambil di luar ruangan serta memperlihatkan teknik

pencahayaan normal dengan matahari yang tidak begitu bersinar terang.

Kejelasan warna dan pencahayaan dalam foto tersebut cenderung

106 Zuhriah, Op.Cit., hlm.10.

70
seimbang sehingga potret manusia beserta objek yang ada di pemakaman

terlihat detail. Pencahayaan tersebut membuat foto memberikan kesan

kesedihan. Selain itu, Putu Sayoga merekam visual pada kameranya

dengan focal length 39 milimeter.

Sementara itu, diafragma yang digunakan yakni dengan bukaan

lebar sehingga mencakup latar belakang yang cukup luas. Angle yang

miring dalam frame tersebut menyiratkan makna bahwasannya foto

tersebut di ambil di daerah terdampak akibat gempa bumi, sebagaimana

diketahui bahwa gempa merupakan bencana alam yang identik dengan

goncangan akibat pergerakan lempeng tektonik. Foto yang dibawakan oleh

Putu Sayoga tersebut secara tidak langsung juga memberikan unsur

“cerita” di dalamnya.

Tolok ukur dan definisi dari foto yang bercerita tentu bisa
meluas, sesuai dengan karakter serta kebutuhan dari suatu media.
Pada umumnya, foto bercerita tidak hanya memberikan informasi
secara visual tetapi sekaligus mampu menggugah perasaan tertentu
pada pemirsanya.107

d. Aestethicism

Pengambilan foto berbentuk landscape yang cenderung medium up

ini memberikan ruang untuk sekeliling agar lingkungan sekitar juga turut

berperan. Fotografer ingin menyampaikan point of Interest yang ada

dengan memberikan pesan bagaimana kesedihan yang dialami oleh korban

yakni dua orang perempuan dan satu anak laki-laki yang ada namun

dengan sisi optimisme yang dibangun melalui angle yang telah dipaparkan

pada aspek sebelumnya.

107Reynold Sumayku. Op Cit., hlm. 61

71
Sementara itu, komposisi yang nampak dari foreground maupun

background memberikan makna bahwasannya walaupun tidak adanya

sebuah interaksi pada dua perempuan dan satu laki-laki tersebut, aktivitas

masih tetap berlangsung mana kala bencana telah menimpa mereka

beberapa waktu lalu.

e. Syntax

Fotografer membuat para penikmat foto dapat memahami apa yang

ingin diutarakan melalui sebuah foto dengan disertai keterangan foto yang

ada. Pesan kesedihan yang dibalut dengan rasa kekeluargaan tercermin

dalam ekspresi wajah yang dibawa oleh tiga subjek yang ada dalam foto.

Kita dapat memahami bahwa fotografer berhasil menyampaikan pesan

dengan menonjolkan ekspresi para korban caption singkat yang

membubuhinya. Peneliti yakin bahwa siapapun yang melihat foto ini akan

memiliki insting dan pemikiran bahwa tiga orang tersebut sedang

mengalami kesedihan yang mendalam akibat bencana alam yang melanda

tempat tinggal atau bahkan keluarga serta sanak saudara mereka. Syntax

dalam foto dibangun melalui penempatan objek yang sesuai dengan pesan

yang disampaikan fotografer.

Jika dilihat dari beberapa aspek yang telah disebutkan, pada foto ini

terlihat bagaimana kondisi pasca terjadinya gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi

di Palu yang telah menelan banyak korban. Peneliti mengamati bahwasannya

fotografer ingin menyampaikan apa yang dialami oleh korban dengan

menampilkan foto yang terfokus pada ekspresi ibu-ibu dan anak tersebut serta

diperkuat dengan overview lingkungan sekitarnya. Gempa bumi yang berulang-

72
kali terjadi membuat korban harus tinggal di tempat penampungan sementara.

Tempat penampungan tersebut berlokasi tepat di dekat pemakaman islam,

Balaroa, Palu. Ekspresi yang ditunjukkan fotografer pada foto ini memperlihatkan

kepedihan dan penderitaan yang dialami oleh korban. Kehilangan harta benda

maupun sanak saudara merupakan hal yang paling menyakitkan dalam hidup

mereka. Meskipun begitu, para korban harus tetap semangat dalam menjalani

kehidupan di dunia. Melalui foto ini, peneliti melihat bahwa fotografer berhasil

mengabadikan gambar yang mewakili penderitaan para korban gempa bumi Palu

tahun 2018 dengan tetap memperhatikan etika foto jurnalistik yang ada. Foto yang

berperan sebagai medium dalam penyampaian berita melalui mata sang fotografer

ini menjadikan kita sebagai manusia dapat merasakan bagaimana situasi dan

kondisi yang sedang dialami oleh mereka.

Dari beberapa keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa penduduk lokal

tetap melakukan aktivitas setelah terjadinya bencana alam yang menimpa. Selain

itu, foto tersebut juga menggambarkan makna bahwa masyarakat yang telah

terkena bencana masih bisa survive untuk mencari kehidupan. Salah satunya

dengan mencari sandangan berupa pakaian yang berasal dari donasi. Beberapa

baju yang berserakan mempertegas maksud dari sang fotografer agar khalayak

Prancis turut bersimpati terhadap penduduk Palu di kala situasi belum kembali

seperti sedia kala. Selanjutnya, adanya sosok anak laki-laki yang bermain pianika

atau melodika melampiaskan kesedihannya dengan memainkan alat tersebut agar

terhibur dan dapat terus melanjutkan hidupnya. Di sisi lain, ia seperti ingin

menuntaskan kepedihan dengan kebahagiaan kecil.

73
Selain kebahagiaan kecil, di dunia ini tersirat kesedihan yang melingkupi

kehidupan yang fana ini. Bencana alam seringkali ditandai dengan major label

kesedihan yang mendalam karena banyaknya harta benda maupun sanak saudara

yang menjadi korban. Rekaman fotografi menjadi alat untuk recalling things

sehingga dapat membuat seseorang tergerak untuk bersimpati atau bahkan

berempati untuk membantu mengulurkan tangan terhadap korban bencana alam

yang ada.

Mitos :

Foto dalam gambar 5.1 ini memiliki mitos yang dapat dikembangkan

yakni berasal dari beberapa elemen yang digabung menjadi sebuah makna

kesedihan dan keputusasaan dalam sebuah penderitaan yang tercermin dari raut

wajah korban bencana alam. Bencana besar yang melanda tentu menjadi titik

balik para korban untuk terus melanjutkan hidup ke arah yang lebih baik.

Meninggalkan apa-apa yang ada di belakang meskipun kehilangan merupakan hal

yang sulit untuk dilalui. Harta benda, sanak saudara, dan segala yang hilang pasti

akan berlalu. Namun, kekuatan dalam rasa ikhlas dan syukur akan dirasakan

apabila mereka telah melalui ujian ini dan menjalani seperti cara mereka survive

seperti pesan yang dibawakan dalam gambar 5.1 tersebut.

Dari foto di atas, dapat diamati juga bagaimana pesan kesedihan yang

tercermin dengan balutan kesederhanaan. Sementara proses penerimaan terhadap

keadaan digambarkan oleh dua perempuan yang tetap melakukan aktivitas

pemenuhan sandangan pasca bencana alam. Mereka tetap memilih dan memilah

baju donasi meskipun terletak di area pemakaman. Hal itu membuat kita turut

merasakan malangnya keadaan dari dua perempuan dan satu anak laki-laki yang

74
merupakan korban bencana alam meskipun keterangan foto yang mengikutinya

cukup singkat.

Pada situasi sulit yang muncul dalam gambar 5.1, tidak peduli meskipun

sedang berada di pemakaman, mereka tetap leluasa dalam memilih dan memilah

sandang untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Selain itu, ada kepiluan yang

sengaja dibendung oleh seorang anak laki-laki yang bermain pianika di tempat

penampungan sementara di sana. Hal ini menandakan adanya sebuah siklus agar

manusia terus melanjutkan hidup secara natural. Hidup berdampingan dengan

bencana merupakan salah satu hal yang menjadi kesadaran bagi warga Palu untuk

selalu menerima keadaan atau realita yang sedang terjadi di daerah dengan potensi

bencana yang besar.

Di sisi lain, peran pemerintah Indonesia dalam penanganan bencana ini

dapat dinilai kurang karena menempatkan shelter di dekat area pemakaman serta

tidak memberikan ruang yang strategis untuk korban bencana untuk melakukan

aktivitas pasca bencana alam. Meskipun begitu, keberlangsungan hidup oleh para

korban bencana alam tetap di dorong oleh unsur optimisme karena tidak

mempermasalahkan hal tersebut meskipun shelter berada di area pemakaman. Hal

ini berbeda dengan kondisi di Prancis yang melihat pemakaman sebagai hal yang

kultus dan sakral untuk menjadikannya sebagai rumah sementara seperti keadaan

yang terjadi pasca bencana alam di Palu. Bahkan untuk sekadar mengambil foto di

pemakaman sendiri merupakan suatu hal yang dilarang karena kuburan dianggap

sebagai properti pribadi bagi masyarakat Prancis.108

108 Diakses dari http://www.pariscemeteries.com/questions-1, pada tanggal 20 Oktober 2019, pukul 20.00
WIB.

75
Analisis Caption Foto :

A Palu, le 6 octobre.
PUTU SAYOGA POUR LE MONDE.
Secara fotografis, pesan yang terkandung dalam foto belum nampak ketika

hanya digambarkan dengan keterangan foto singkat mengenai lokasi dan waktu

pada saat peristiwa tersebut berlangsung. Caption yang membubuhi foto di atas

kurang memberikan korelasi secara menyeluruh karena informasi hanya seputar

lokasi kejadian beserta waktu yang telah disebutkan. Masyarakat akan lebih

mudah memahami foto tersebut apabila ada caption yang lengkap berupa 5W+1H

di bawahnya. Sebuah pesan masuk ke dalam pikiran kita yang secara tidak

langsung kita respon begitu saja. Caption singkat berupa ‘A Palu’ menjelaskan

bahwa kejadian atau peristiwa tersebut sedang berada di Kota Palu, Sulawesi

Tengah, Indonesia. Sementara itu, ‘6 octobre’ memberikan informasi bahwa

gambar 5.1 di ambil pada tanggal 6 Oktober 2018.

Pada dasarnya, caption adalah sebuah teks yang menyertai foto


jurnalistik. Caption juga membantu dalam pengarahan perspektif pada
suatu foto serta menjelaskan detail informasi yang tidak ada dalam
gambar. Mengutip Cartier Bresson, ia juga menambahkan bahwa
keterangan foto seharusnya tidak memberikan informasi berupa
pengulangan dengan visual yang sudah ada. Berkaitan dengan waktu
pembaca yang berharga dengan ruang pada media cetak yang terlalu
sempit untuk sebuah pengulangan informasi. Ia menghembuskan nafas
untuk menghidupkan foto dengan memberi pendalaman terhadap suatu
kejadian. Ia mempertemukan foto dengan konteksnya serta membantu
pembaca dalam membangun pemahaman akan sebuah cerita dibalik
foto.109

109Taufan Wijaya, Op. Cit., hlm.53.

76
5.2. Makna Kemandirian pada Muslimah

Gambar 5.2
A Palu, dans la province de Sulawesi, samedi 6 octobre.
PUTU SAYOGA POUR LE MONDE.

Tabel 5.2
Analisis penanda dan petanda 2

Penanda Petanda

Elemen visual dalam foto:

a. Perempuan berhijab Sosok perempuan berhijab biasanya


didampingi oleh mahram-nya
kemanapun ia pergi. Namun tidak
demikian dengan perempuan di gambar
5.2, keberaniannya nampak ketika ia
menyusuri jalan di tengah puing-puing
bangunan yang berserakan pasca
terjadinya bencana alam.

Bencana alam yang terjadi tentu


b. Puing-puing bangunan meninggalkan bekas, salah satunya yakni
puing-puing reruntuhan bangunan.
Genting bersama retakan dinding serta

77
jalanan aspal yang mencuat
mengakibatkan korban bencana
kehilangan tempat tinggalnya. Puing-
puing yang berserakan mengakibatkan
perubahan tata ruang pada daerah
tersebut.

Tanah yang awalnya subur dapat berubah


c. Tanah pasca bencana karena kehilangan zat pasca bencana. Hal
demikian juga mengakibatkan degradasi
lahan serta hilangnya tanah untuk lahan
pertanian baik vertikal maupun
horizontal.

Tahap Denotasi :

Tahapan denotasi yang ada ialah menggambarkan apa pesan yang tersurat

pada foto tersebut. Penggambaran makna secara langsung dari sebuah tanda yang

bersifat objektif dan umum. Dalam sumber gambar 5.2, unsur denotasi yang ada

menjelaskan tentang :

• Seorang korban perempuan melintasi area rumah dan bangunan yang telah

hancur karena gempa bumi, tsunami dan likuifaksi.

• Di daerah tersebut digambarkan rusaknya infrastruktur yang masif dengan

adanya atap atau genteng serta puing-puing bangunan yang berserakan.

Sementara itu, ada beberapa pohon kelapa sawit serta tower yang masih

berdiri tegak.

• Adanya tanah yang kering dan tak terstruktur akibat bencana alam.

Jika dilihat dari gambar di atas, maka yang disampaikan oleh fotografer

yakni seorang korban perempuan yang mengenakan jilbab panjang berwarna

merah muda dan rok hitam panjang sedang berjalan melintasi area rumah dan

bangunan yang telah hancur akibat bencana alam yang telah terjadi. Timbunan

genteng serta puing-puing yang berserakan menjadi penanda adanya bencana

78
alam yang telah terjadi. Sementara itu, tanah kering dan tidak terstruktur tersebut

mengindikasikan bahwa daerah tersebut telah mengalami fenomena ‘tanah

bergerak’ atau yang biasa dikenal sebagai likuifaksi.

Tahap Konotasi :

Tahapan ini terletak pada signifikasi kedua yang diutarakan oleh Roland

Barthes. Tanda yang penandanya mempunyai keterbukaan dari petanda atau

makna. Unsur-unsur dalam konotasi tersebut dijabarkan menjadi beberapa bagian,

diantaranya adalah:

a. Pose

Seorang perempuan sedang melintasi jalan di area reruntuhan

bangunan mengenakan pakaian lengan panjang bermotif garis berwarna

merah, putih, hitam yang didominasi oleh jilbab panjang berwarna merah

muda serta rok hitam. Ekspresi dari perempuan tersebut tidak begitu

terlihat karena fotografer mengambil angle dengan posisi frame fokus

pada kerusakan infrastruktur yang ada di area pemukiman Balaroa, Palu.

Meskipun begitu, dari pose yang ditampilkan, perempuan tersebut

memiliki identitas sebagai seorang muslimah karena ditandai dengan gaya

penampilan (busana) yang ia kenakan.

Warna merah muda (pink) pada jilbab panjang yang dikenakan

merupakan warna yang menyuarakan maskulinitas pada awalnya.

Keberanian dan semangat muda juga termasuk di dalamnya. Hal demikian

berdasar pada sejarah di Eropa dan Amerika bahwasannya sebelum abad

ke-20, warna pink merupakan derivasi dari warna merah yang berkonotasi

berani dan pada saat itu, meskipun laki-laki mendominasi warna tersebut.

79
Seiring berjalannya waktu, warna pink mengalami pergeseran makna

menjadi simbol feminitas, yakni pada saat masa Perang Dunia (PD).

Selain itu, warna pink juga menjadi sebuah simbol ekspresi dari sisi

maskulinitas dalam diri perempuan yang direproduksi menjadi simbol

feminitas baru. Tidak dapat dipungkiri bahwa pergeseran tersebut didasari

oleh kecemburuan sosial perempuan terhadap budaya patriarki yang

menciptakan hierarki antara perempuan dan laki-laki yang menyebabkan

ketimpangan antara kewajiban dan hak. Warna pink yang awalnya adalah

warna maskulin dianggap sebagai salah satu piranti dari sebuah ekspresi

kemampuan diri akibat perubahan perilaku sosial pada masa Perang

Dunia.

Adanya kesempatan serta kemampuan perempuan dalam

melakukan pekerjaan yang sama dengan laki-laki menjadi titik balik yang

merubah konstruksi secara revolusioner. Saat ini, warna pink berdiri

dengan pijakan feminitas (memiliki sifat feminin seperti kasih sayang dan

kelembutan) yang dimulai sejak pertengahan tahun 1960 hingga 1970an di

Amerika Serikat. Hal ini merupakan pengaruh isu-isu sosial yang

berkembang, seperti masa resesi, gerakan feminisme, isu lingkungan serta

akibat dari kebutuhan industri.110

Selain itu, warna hitam pada rok tersebut melambangkan kekuatan.

Sosok perempuan tersebut mengenakan warna hitam untuk menguatkan

dirinya pasca gempa bumi yang menimpanya. Menguatkan kaki untuk

110M. Faishol Fuady. Pergeseran Makna Warna Pink dari Maskulinitas Menjadi Feminitas di Amerika
Serikat Tahun 1940-1970. Jurnal Desain Interior. Vol.2, No.2, Desember 2017

80
berpijak di bumi ini dengan perpaduan dari simbol feminitas yang ia

kenakan di jilbab panjangnya yang juga merupakan sebuah identitas

seorang muslimah.

a. Object

Kerusakan infrastruktur yang nampak pada foto merupakan akibat

dari gempa bumi, tsunami dan likuifaksi yang berada di Balaroa, Palu.

Puing-puing bangunan merupakan bekas pemukiman warga, terlihat dari

tumpukan genting yang berserakan. Di area tersebut juga terdapat pohon

kelapa sawit yang masih kokoh. Pohon tersebut merupakan pohon yang

paling subur di sana. Selain itu, pohon kelapa sawit yang ada di daerah

tersebut menyimbolkan bahwa Palu merupakan daerah dengan tanah yang

berjenis Latosol. Tanah latosol ini merupakan dengan tanah dengan ciri

warna merah hingga cokelat. Memiliki sifat yang mudah menyerap air

serta memiliki kandungan bahan organik dengan pH tanah netral hingga

asam.111

Pada gambar 5.2, fotografer memilih objek yang berada di Balaroa,

Palu karena lokasi tersebut menjadi daerah parah yang terdampak bencana

alam. Pada hal ini, Balaroa merupakan salah satu lokasi perumnas yang

luas dan berada di jalur patahan gempa yang membuat dataran tanah

bergerak naik dan turun. Gerakan tanah ini menyebabkan rumah-rumah

111https://ilmugeografi.com/ilmu-bumi/tanah/jenis-tanah-yang-baik-untuk-kelapa-sawit, di akses pada


tanggal 23 Mei 2019, pukul 11.27 WIB.

81
tenggelam. Perumnas Balaroa terletak di atas jalur sesar Palu Koro yang

menjadi salah satu daerah yang mengalami kerusakan yang terparah. 112

Balaroa yang memiliki luas 2,38 km persegi dengan jumlah

penduduk berjumlah 11.661 jiwa mengalami kehancuran berkeping-

keping. Pada medio bulan September 2018, bencana dahsyat melanda Palu

dan meluluhlantakkan sebagian besar provinsi tersebut, tidak terkecuali

Kecamatan Balaroa. Menurut Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo

Nugroho dalam kumparan.com, kondisi tanah yang fluktuatif

mengakibatkan tanah mengalami degradasi sedalam 5 meter serta

kenaikan setinggi 2 meter. 113

Kesan kebencanaan semakin terlihat ketika foto yang ditampakkan

berupa kehancuran Balaroa serta masih ada unsur orang yang survive

dalam situasi tersebut, yakni seorang perempuan musilm yang berjalan

seperti tetap tegar dalam menghadapi ujian yang diberikan oleh Tuhan

Yang Maha Esa. Sosok tersebut melintasi bongkahan kenangan yang ia

miliki dengan ketegaran hati. Penempatan subjek kecil di sebelah kanan

juga memberikan space bagi penikmat foto untuk berpikir bahwa

dahsyatnya bencana alam yang meluluhlantakkan Palu ini mengakibatkan

manusia menjadi sosok yang kecil di mata Allah SWT.

112Di akses dari https://kumparan.com/@kumparannews/tentang-wilayah-di-balaroa-yang-lenyap-usai-


gempa-palu-1538397071762704143, pada 2 September 2019, pukul 21.41 WIB.
113 Ibid.

82
b. Photogenia

Kedalaman foto yang ingin disampaikan fotografer di Balaroa

yakni dengan memperlihatkan sosok hamba Allah dengan ketegaran hati

yang besar meskipun memiliki postur tubuh mungil karena bidikan lensa

kamera. Ketajaman foto yang ditampilkan merata. Sementara itu, suhu

serta warna yang disajikan sesuai dengan keadaan pada siang hari di

Balaroa, Palu. Panas yang menyengat terlihat dari bayangan pada seorang

perempuan yang jalan melintas puing-puing bangunan yang telah runtuh.

Masifnya kerusakan yang berada pada background sosok

perempuan (dengan angle long shoot) yang melintas menandakan bahwa

bencana Palu amatlah dahsyat. Ruang yang diberikan untuk kerusakan

alam yang terjadi sangat lebar. Foto tersebut di ambil dengan teknik long

shoot karena dapat menampakkan bagaimana kondisi sekitar Balaroa yang

terkena bencana alam. Sosok muslimah yang berjalan seolah

mengidentifikasikan bahwa manusia adalah makhluk yang sangat kecil di

mata Allah SWT dengan latar dampak dari bencana alam yang merupakan

qadar dariNya. Pancaran sinar matahari serta awan mendung menjadi

pendukung bagaimana suasana nestapa terbentuk.

c. Aesthetic

Berbicara mengenai aesthetic yang tidak hanya mengacu pada

keindahan suatu foto, namun juga tentang komposisi serta format gambar

yang diambil oleh seorang fotografer. Pada foto yang peneliti analisis

menggunakan format gambar landscape serta dengan format long shot

atau jauh dengan jarak pandang fotografer. Obyek format gambar terlihat

83
sistematis dengan menampilkan point of interest yang berada pada rule of

thirds di bagian kanan. Perempuan muslim tersebut berjalan ke arah kanan

yang memiliki identitas bahwa ‘kanan’ yang disimbolkan sebagai sesuatu

yang baik. Hal tersebut dapat digambarkan bahwa sosok perempuan

muslim tersebut telah bangkit dari sebuah keterpurukan dan berjalan

menuju tempat yang lebih baik.

d. Syntax

Adanya foto di atas menceritakan bahwa fotografer ingin

menyampaikan pesan bahwa kerusakan infrastruktur akibat bencana alam

juga terjadi di Balaroa. Sosok muslimah menampakkan simbol ketegaran

karena tetap dapat berjalan melintasi area bencana seorang diri. Oleh

karena itu, keberanian sosok muslimah yang merupakan korban bencana

alam dapat menjadi teladan untuk bangkitnya dari penderitaan pasca

bencana di Balaroa, Palu.

Menurut makna konotasi yang telah dijabarkan di atas, peneliti dapat

menyimpulkan bahwa pada sumber gambar 5.3 menjelaskan mengenai

kehancuran daerah Balaroa yang disandingkan dengan sosok muslimah dengan

sikap pemberani berjalan di tengah puing-puing reruntuhan bangunan di daerah

Balaroa, Palu. Pakaian yang dikenakan merupakan sebuah identitas bahwa ia

adalah seorang muslimah. Ruang yang diberikan fotografer terhadap realitas

kerusakan sangat besar. Sementara itu, perempuan sebagai obyeknya digambarkan

begitu kecil untuk memaknai bahwa manusia itu ialah sosok yang sangat kecil

dihadapanNya.

84
Mitos :

Seorang perempuan muslim atau muslimah yang nampak berjalan sendiri

ditengah kerusakan bencana alam seperti digambarkan sebagai sosok perempuan

yang tangguh. Belantika tanah air yang terkena bencana ini tidak menghentikan

langkahnya untuk mencari sebuah kehidupan yang lebih baik. Sosoknya menjadi

sebuah identitas bahwa perempuan dapat menjadi seorang yang mandiri walaupun

telah kehilangan sanak saudara. Langkah kakinya yang lebar menggambarkan

bahwa ia semangat untuk segera melewati masa yang sulit itu. Perempuan dalam

gambar 5.2 seakan menjadi pemimpin akan dirinya sendiri.

Terlepas dari itu, bencana tidak menggoyahkan perempuan tersebut untuk

mengenakan pakaian sesuai dengan syariat islam. Ia tidak tergerus oleh kebutuhan

estetika di kala bencana melanda, sebagaimana diketahui bahwa busana bagi

seorang muslimah merupakan cerminan kepribadian. Hijab syar’i yang dikenakan

oleh perempuan tersebut untuk menutupi seluruh tubuhnya. Hal ini digunakan

untuk menghalangi orang asing (non mahram) untuk bisa melihat sedikitpun dari

bagian tubuhnya ataupun perhiasan yang dipakai. “Wanita adalah aurat, apabila

dia keluar, setan menghiasinya (pada pandangan lelaki)” (HR. At-Tirmidzi

No.1176, beliau berkata, “Hadits ini hasan shahih.”114 Pakaian yang dikenakan

oleh muslimah tersebut telah sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al-A’raaf:

26 dan An-Nahl: 81. Fungsi dari pakaian tersebut adalah sebagai penutup aurat,

sebagai perhiasan (memperindah penampilan dihadapan Allah dan sesama

manusia selama tidak melanggar batas dalam Islam), serta sebagai pelindung

114Ahmad Fauzi. 2016. Pakaian Wanita Muslimah dalam Perspektif Hukum Islam. IQTISHODIA,
Vol.1,No.1, hlm.45.

85
tubuh dari hal-hal yang merusak seperti dingin, panas, sengatan matahari, angin

kencang dan sebagainya. 115

Analisis Caption :

A Palu, dans la province de Sulawesi, samedi 6 octobre.


PUTU SAYOGA POUR LE MONDE.

Keterangan pada gambar 5.2 memberikan afirmasi bahwa lokasi

foto tersebut di ambil di Palu, Provinsi Sulawesi pada tanggal 6 Oktober

(2018). Caption singkat ini belum mampu menjelaskan secara keseluruhan

apa yang terjadi dalam foto tersebut. Maka, berita yang disajikan mestinya

cukup berisi informasi yang padat terkait apa yang sedang terjadi di

Kecamatan Balaroa, Palu. Pada dasarnya caption membingkai suatu

momen dengan menyediakan sarana bahasa dalam rangka membangun

narasi logis yang dapat memasuki kembali melalui ruang foto. 116 Tanpa

caption, sebuah foto hanyalah sebuah gambar yang bisa dilihat tanpa bisa

diketahui apa pesan yang akan disampaikan. 117

115Ibid., hlm.54.
116Ken Smith. Handbook of Visual Communication: Theory, Methods, and Media, hlm.353.
117Audy Mirza Alwi, Op. Cit., hlm. 6.

86
5.3. Makna Religiusitas Umat Kristen

Gambar 5.3
Des chrétiens prient dans une église pentecótiste de Palu, dimanche 7
octobre. PUTU SAYOGA POUR LE MONDE.

Tabel 5.3
Analisis penanda dan petanda 3.

Penanda Petanda

Elemen visual dalam foto:


a. Umat Kristen Sejumlah umat Kristen yang berdoa
kepada Tuhan Yesus menjadikan
dirinya sosok yang lemah. Pengharapan
akan doa ditujukan kepada Tuhannya
agar memberikan kedamaian maupun
keselamatan dalam menjalani
kehidupan.

b. Gedung gereja Tempat berkumpul umat Kristen yang


digunakan untuk beribadah dengan
sejumlah ritual, selain itu gereja juga
digunakan sebagai tempat untuk
melangsungkan pernikahan.

87
c. Tanaman hijau (Palem) Tanaman hijau (Palem) yang berada
dalam ruangan atau tempat tertentu
diindikasikan sebagai sebuah kesegaran.
Selain itu, warna hijau menjadi simbol
yang tenang dan menjadi warna
dominan untuk daun. Secara metafor,
tanaman hijau juga dilambangkan
sebagai harapan dan keselamatan.
Warna hijau secara emosional juga
dapat berarti keamanan. 118 Menurut
umat Kristen, warna hijau pada daun
palem melambangkan musim semi yang
menggantikan musim dingin, Yesus
hadir untuk memberikan keselamatan,
suasana baru penuh damai dan suka cita
untuk mengganti segala dosa dan duka
cita.119 Oleh sebab itu, pada zaman
Romawi, daun palem merupakan tanda
kemenangan atas maut. Hingga pada
saat ini, daun palem tetap digunakan
sebagai simbol umat Kristen untuk
melaksanakan peribadatan bernama
Minggu Palma.120

Tahap Denotasi :

Makna denotasi berisi realitas dan tanda. Tatanan pertama yang digawangi

oleh penanda ini diartikan sebagai suatu realitas yang sesungguhnya. Berdasarkan

tinjauan gambar 5.3 dapat peneliti jabarkan makna denotasi dari penafsiran tanda

(analogon) yang terdapat di dalam foto tersebut, diantaranya adalah :

• Beberapa umat Kristen sedang berdoa di sebuah gereja Pantekosta, Palu.

• Dua orang terdepan menampilkan wajah dengan kesedihan yang

mendalam ketika berdoa.

118Zuhriah, 2018, Makna Warna dalam Tradisi Budaya; Studi Kontrastif Antara Budaya Indonesia dan
Budaya Asing, hlm. 10.
119 Diakses dari https://tuhanyesus.org/makna-minggu-palma pada 7 Oktober 2019, pukul 11.50 WIB.
120 Diakses dari https://tirto.id/makna-minggu-palma-yang-dirayakan-seluruh-umat-katolik-di-dunia-cGFM
pada 7 Oktober 2019, pukul 11.40 WIB.

88
• Tanaman hijau berupa tanaman Palem yang nampak di sumber foto

menunjukkan kesegaran dan ketenangan pada area peribadatan umat

Kristen.

Makna denotasi yang telah disebutkan di atas menggambarkan bahwa

Umat Kristen sedang melaksanakan kegiatan peribadatan minggu di gereja

Pantekosta Palu pasca kejadian bencana gempa bumi, tsunami dan likuifaksi.

Tangan yang menengadah ke atas menandakan kesungguhan dalam proses

peribadatan tersebut. Kerutan pada dahi serta mata yang menutup rapat menjadi

sebuah tanda bahwa sosok lelaki yang menjadi point of interest dalam foto

tersebut sedang menahan tangis, begitupula dengan wanita di sampingnya. Bibir

yang bersenandung merupakan salah satu simbol bahwa kumpulan umat Kristen

tersebut sedang mengagungkan Tuhannya. Sementara itu, cincin yang tersemat di

jari manis sebelah kanan sosok lelaki yang sedang berdoa tersebut menjadi simbol

bahwa lelaki tersebut telah menikah.

Pakaian menjadi penting dalam sebuah peribadatan dalam bersekutu pada

Tuhan Yesus. Mereka menggunakan pakaian yang bermacam-macam, di

antaranya adalah kaos berkerah, kemeja, batik yang menandakan bahwa mereka

merupakan kumpulan jemaat yang berniat untuk meminta sebuah pengharapan

kepada Tuhannya. Beberapa orang mengenakan baju yang mayoritas berwarna

biru. Sementara itu, raut wajah yang ditampilkan meyakinkan bahwa mereka

berperan sebagai keluarga korban bencana alam yang meminta pertolongan pada

Tuhan agar diberikan keselamatan dan kedamaian. Raut wajah kesedihan yang

tercermin amatlah dalam karena melihat kesungguhannya dalam berdoa, sehingga

mata yang tertutup rapat seakan menahan tangis seperti akan tumpah ruah. Di

89
gereja tersebut, tidak hanya orang dewasa yang berdoa, namun ada juga anak kecil

yang turut andil dalam proses peribadatan.

Tahap Konotasi :

Berkenaan dengan konotasi, sebuah makna yang bersifat implisit atau

mengedepankan makna yang berkorelasi dengan sesuatu yang tidak dapat

dipahami secara gamblang. Menurut Piliang dalam Tinarbuko, makna konotasi

meliputi aspek makna yang berkaitan dengan perasaan dan emosi serta ideologi

dan nilai-nilai kebudayaan yang ada di dalamnya. 121 Pada pemahaman tentang

makna konotasi dalam sebuah foto, Barthes memberi sebuah tahapan berupa

konotasi kognitif, di mana penandanya memiliki keterbukaan petanda atau makna.

Artinya, konotasi adalah makna yang dapat menghasilkan makna pada lapisan

kedua yang sifatnya tidak eksplisit atau tersembunyi. Selain itu, aspek kognitif

juga dijelaskan sebagai sebuah tahap dalam upaya menghubungkan unsur sejarah

analogi ke denotasi ke dalam imajinasi paradigmatik hingga menghasilkan

pengetahuan kultural. Prosedur yang diidentifikasikan oleh Barthes terkait dengan

konotasi yakni sebagai berikut :

a. Pose

Sikap atau pose dari gambar 5.3 menunjukkan bahwa fotografer

ingin menunjukkan aktivitas kerohanian pasca bencana alam. Beberapa

umat Kristen yang berada di gereja Pantekosta atau yang tengah memecah

menjadi gereja Bethany Indonesia di Palu ini sedang menengadahkan

tangannya ke atas (berdoa kepada Tuhan). Fokus yang dituju yakni lebih

ditunjukkan kepada gestural tangan yang ditengadahkan ke langit yang

121Sumbo Tinarbuko, Op Cit., hlm. 20.

90
melambangkan pengharapan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta mimik

wajah yang ditampilkan oleh para jemaat gereja Pantekosta. Tidak ada

liturgi122 yang berarti dalam hal ini karena masyarakat penganut agama

Kristen memiliki perbedaan dengan Katolik yang memperhatikan tata

kebaktian yang begitu seksama. Sosok lelaki yang ada di depan sendiri

seolah menjadi sosok seperti pemimpin dalam proses peribadatan tersebut

meskipun sebetulnya dalam agama Kristen pemimpin selalu menghadap

jemaat. Kesan yang terbentuk dari mimik muka dan gestural tangan

merupakan bentuk nonverbal yang dilakukan oleh umat Kristen yang

dapat mendukung sebuah kekuatan foto jurnalistik yang ada. Ada pula

sosok ibu yang berada di barisan paling depan yang mengenakan pakaian

batik bunga berwarna hijau seperti kain jarik. Ibu tersebut tidak

mengangkat tangannya, bukan berarti ia tidak khusyuk dalam berdoa.

Beberapa di antaranya ada yang mengangkat tangannya ada yang tidak.

Hal ini tidak begitu berpengaruh terhadap cara berdoa umat Kristen.

Sementara pakaian yang digunakan terlihat apa adanya, tidak

seperti ketika umat Kristen melangsungkan kegiatan peribadatan dengan

menggunakan pakaian yang rapi dan tertata. Hal ini melambangkan

bahwasannya umat Kristen yang sedang beribadah di gereja Pantekosta

mengalami keadaan yang berbeda dari hari biasanya. Bencana alam yang

terjadi membuat mereka pada akhirnya memakai pakaian apa yang ada.

Selain itu, pakaian yang mayoritas digunakan yakni berwarna biru sebagai

tanda agar mereka di beri ‘ketenangan’.

122 Tata cara kebaktian

91
b. Object

Pemilihan object yang ada di sumber gambar 5.3 yakni memiliki

point of Interest yaitu sosok yang sedang berdoa dengan khidmat. Putu

Sayoga merekam sebuah visual dengan pemilihan objek berupa orang-

orang yang sedang berdoa sebagai foreground foto. Sementara pada

background-nya, terlihat sisi dari bangunan gereja yang masih kokoh. Hal

ini menandakan bahwa tidak semua infrastruktur di Palu hancur lebur.

Masih ada bangunan yang berdiri tegak yang menjadi ‘rumah’ bagi umat

Kristen untuk berdoa dan berharap agar tanah yang ia pijak bisa pulih

seperti sedia kala. Selain itu, bangunan di belakang para jemaat terlihat

minimalis dengan mengedepankan warna abu-abu menampilkan nuansa

semakin membuat area gereja terkesan sedikit gloomy. Perpaduan antara

bangunan dan tanaman hijau yang berada di sisi kanan foto mencerminkan

sebuah kekalutan yang dibalut oleh kesegaran dari eksistensi daun

tersebut. Tanaman hijau berupa pohon yang berada pada samping jemaat

yang masih utuh juga memberikan kesegaran dan kesejukan tersendiri bagi

mereka yang sedang berdoa.

Kondisi pasca bencana Palu membuat orang-orang dalam foto

tersebut merasa was-was dan takut apabila bencana kembali menyapanya.

Terlihat dari sorot matanya yang redup dan beberapa memejamkan mata

sembari menangis pilu. Mereka juga ada yang mengangkat tangan sembari

berdoa. Hal demikian adalah salah satu bentuk komunikasi transendental

yang bisa memberikan efek berupa ketenangan batin pada situasi tersebut.

Komunikasi transendental sendiri adalah sebuah bentuk komunikasi yang

92
terjadi antara manusia dengan Tuhan. 123 Komunikator dari komunikasi

transendental adalah Tuhan dan manusia. Pesan yang dikandung berupa

nyanyian-nyanyian atau senandung yang dibawakan oleh umat Kristen

yang sedang berdoa kepada Tuhan. Komunikan atau penerimanya pada

dasarnya sama dengan komunikator atau sumbernya. Salurannya adalah

kitab injil yang diyakini membawa pesan tertentu untuk kehidupan umat

Kristen. Efek atau umpan balik yang diharapkan pada sebuah komunikasi

transendental ini yakni terkabulnya doa yang sejalan dengan ketenangan

batin yang mereka dapatkan. Melihat para korban yang sedang khusyuk

menandakan bahwa hal tersebut menggambarkan optimisme dalam hidup

pasca bencana alam.

Sementara itu, prosesi ini nampak terletak di halaman gereja

karena ditandai oleh foto pada bagian belakang subyek terlihat luas dengan

konsep semi outdoor. Cahaya masuk begitu saja tanpa adanya sekat yang

tertutup. Hal ini menandakan bahwa umat Kristen masih merasa waspada

akan gempa susulan yang bisa terjadi kapanpun setelah bencana besar

melanda. Dengan mereka berada di halaman gereja, mereka bisa sewaktu-

waktu pergi dari tempat tersebut untuk menyelamatkan diri.

c. Photogenia

Foto yang diambil dengan sudut medium shoot ini memberikan

ruang untuk fotografer dalam penyampaian maknanya. Keseimbangan

warna yang nampak pada foto di atas terlihat jelas dan merata untuk

hadirnya sebuah komposisi yang tepat. Skin tone untuk warna dari foto

123Wahidah Suryani Djafar, Komunikasi Transendental Manusia-Tuhan, Vol.12 No.2 (2015): Al-Farabi.

93
tersebut juga terlihat riil. Warna yang semi redup tersebut membawa

visual terkesan khidmat. Ketajaman foto yang disiratkan yakni berdasar

pada kesungguhan seseorang yang sedang berdoa. Penekanannya terlihat

pada point of interest yang menunjukkan sosok lelaki dan wanita yang

berdoa dengan khidmat. Sebuah komunikasi dengan Tuhan di sebuah

gereja di daerah pasca bencana.

Kekhusyukan dalam berdoa semakin terlihat ketika cahaya yang

masuk tidak terlalu banyak dan sedikit gelap. Pencahayaan ini

menandakan sebuah makna kekhusyukan dalam berdoa. Teknik low light

sangat membantu dalam penyampaian pesan untuk memberikan sisi

khidmat dalam peribadatan. Sementara itu, karakter lembut, gradasi halus

serta bayangan yang lembut juga dibawakan dalam foto menunjukkan

karakter pencahayaan soft light. Di sisi lain, kecepatan ialah salah satu

teknik yang ada dalam konteks fotografi, kecepatan yang digunakan

fotografer pada foto ini 1/1250. Kecepatan yang tinggi membuat subyek

dari sebuah foto terlihat membeku, tujuannya tidak lain adalah untuk

memperlihatkan bagaimana situasi dan kondisi yang saat itu terjadi dengan

jelas. Hal ini terlihat dari sekumpulan umat Kristen yang berdoa di sebuah

bangunan permanen yakni gereja yang menjadi salah satu tempat yang

disinggahi dalam keadaan pasca bencana alam gempa bumi, tsunami, dan

likuifaksi yang telah melanda Palu.

Foto ini menggunakan diafragma dengan bukaan kecil yakni f/2.8

sehingga point of interest yang disajikan oleh fotografi lebih condong

kepada sosok lelaki yang menengadahkan tangannya tinggi-tinggi

94
tersebut. Sementara itu, penempatan sudut atau angle dari sebelah kanan

membuat objek terlihat semakin menjiwai. Foto yang di ambil dengan

model selective focusing ini menampakkan sisi yang fokus terhadap sosok

orang yang sedang berharap sungguh-sungguh kepada Tuhannya. Hal

demikian dapat dilihat dari banyaknya umat Kristen yang sedang

beribadah dan menampakkan wajah dalam keadaan sedih penuh harap.

Background (latar belakang) yang ditampakkan yakni sedikit bagian

bangunan dari Gereja Pantekosta Palu yang nampak berwarna abu-abu

dengan desain minimalis dan dilengkapi daun yang berwarna hijau.

Tanaman yang berperan sebagai latar belakang orang yang sedang berdoa

tersebut memberikan nuansa kesegaran di tengah ‘birunya’ baju yang

mengandung perasaan kalut mereka akan kerabat maupun harta benda

yang telah hilang ketika bencana alam menghempas.

d. Aestethicism

Format foto yang disajikan pada sebuah estetika gambar 5.3 ini

yakni berbentuk horizontal. Format yang datar ini menjadi dinamis ketika

dikombinasikan dengan sudut pandang yang sempit dengan focal length

28 mm. Namun, dengan begitu jarak pengambilan mid shoot ini

menampilkan separuh badan manusia dan mampu merekam momen

dengan jelas. Hal ini tentu menyajikan sebuah interaksi keseluruhan dari

aktivitas yang sedang dilakukan oleh para jemaat gereja, yaitu berdoa

dengan khidmat dan memperlihatkan sebagai sosok dengan penuh

pengharapan. Sudut pandang yang sempit digunakan agar foto

memperlihatkan bagaimana foto berbicara mengenai informasi yang ada.

95
Henri Cartier-Bresson, salah satu pendiri agensi foto
terkemuka “Magnum” menjabarkan bahwa foto jurnalistik
berkisah dengan sebuah gambar, melaporkannya dengan
menggunakan kamera, merekamnya dalam waktu yang seharusnya
berlangsung seketika saat suatu citra mulai nampak, maka
terungkaplah sebuah cerita. 124

e. Syntax

Foto tersebut menggambarkan sebuah ketulusan dan kekhusyukan

umat Kristen dalam berdoa. Bencana alam membuat korban yang selamat

maupun keluarga yang ditinggalkan lebih khidmat dalam beribadah,

terlihat dari raut wajah yang sangat sedih dan menahan tangis. Penjiwaan

yang tercermin begitu dahsyat sehingga membuat penikmat foto melihat

kedalaman dalam suatu hubungan komunikasi antara manusia dengan

Tuhannya.

Pada makna konotasi terdapat beberapa aspek yang telah disebutkan di

atas, kegiatan kerohanian yang berada di gereja Pantekosta tidak menurunkan

semangat para jemaat untuk tetap berdoa di kala bencana telah menyapa. Justru

kekuatan doa menyebabkan suatu bentuk harapan baru untuk menjalani kehidupan

yang lebih baik ke depannya. Gambar 5.3 menunjukkan beberapa umat Kristen

dalam sebuah kesungguhan untuk meminta kepada Tuhannya. Gerakan nonverbal

berupa tangan yang menengadah maupun menyingkapkan tangan menjadi sebuah

simbol dalam sebuah kekhidmatan. Hal demikian didukung oleh raut wajah para

jemaat yang sungguh-sungguh dalam proses peribadatan.

124JUFOC, 2015, Orientasi Dasar Jurnalistik Fotografi: IMAGINE, hlm.59.

96
Mitos :

Keadaan para jemaat menggambarkan pesan yang menunjukkan cara agar

dapat meneruskan hidup pasca bencana alam terjadi. Salah satunya dengan berdoa

kepada Tuhan untuk meminta pertolongan. Berdoa adalah salah satu kegiatan

sakral yang biasa digunakan oleh umat yang beragama. Pada gambar 5.3, umat

Kristen berdoa begitu khidmatnya dengan segala kesungguhannya. Raut wajah

dengan menahan tangis, tangan yang menengadah menyimbolkan kesungguhan

dalam meminta sesuatu kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mereka berkumpul

menjadi satu di suatu ruangan gereja yang menyimbolkan bahwa eksistensi atau

keberadaan mereka dalam membutuhkan bantuan dari Tuhan sangatlah besar.

Emosi yang dibawakan tercermin dari bagaimana mereka berpose. Tidak ada yang

melihat ke dinding maupun membuka mata untuk memandang satu sama lain.

Semua menunduk pilu dan memohon dengan penuh harap. Adanya sebuah

perkumpulan atau crowded pada sebuah gereja di daerah bencana menjadi salah

satu bentuk adanya super power yang bisa menggerakkan massa untuk bertindak

bersama dalam proses pemulihan pasca bencana alam. Salah satunya yakni

dengan mendekatkan diri kepada Tuhannya.

Bencana alam secara alamiah membawa sosok manusia menjadi yang

lebih dekat dengan Tuhan. Secara disadari atau tidak. Mereka berharap akan

keselamatan, keamanan, serta keberlanjutan untuk sebuah kehidupan yang lebih

baik. Hal ini beriringan dengan perasaan yang sedang getir dialami oleh umat

Kristen tersebut. Kematian yang menghampiri pada sanak saudara, kehilangan

harta benda merupakan hal besar yang menyisakan duka. Oleh sebab itu, beberapa

subyek yang tergambar dalam foto di atas menggambarkan sebuah kesedihan

97
yang dibalut dalam pesan religiusitas pasca bencana alam gempa bumi, tsunami,

dan likuifaksi yang melanda daerahnya.

Analisis Caption :

Des chrétiens prient dans une église pentecótiste de Palu, dimanche 7


octobre. Putu Sayoga pour Le Monde.

Keterangan foto yang disajikan pada gambar ini menjelaskan

bahwa umat Kristen sedang beribadah minggu di gereja Pantekosta di

Palu, Sulawesi Tengah, Indonesia pada tanggal 7 Oktober (2018). Foto ini

merupakan hasil karya Putu Sayoga yang dipublikasikan oleh harian di

Prancis, yakni Le Monde. Tidak seperti biasanya, proses peribadatan yang

ada di gambar 5.3 dilangsungkan di halaman gereja. Pasca bencana alam,

para korban mengalami trauma akan runtuhnya bangunan yang sedang

mereka diami sehingga memutuskan untuk beribadah di luar gereja.

Caption foto yang ditayangkan oleh Le Monde mayoritas tidak

menggunakan 5W+1H dengan utuh, namun dijelaskan pada narasi yang

diulas pada bagian naskah berita yang dibawakan.

98
5.4. Makna Rumah pada Unsur Sosial Budaya

Gambar 5.4
Une maison de la municipalité de Sigi, le 6 octobre. Putu Sayoga pour
“Le Monde”.

Tabel 5.4
Analisis penanda dan petanda 4.

Penanda Petanda

Elemen visual dalam foto:


a. Bangunan permanen Bangunan permanen berupa rumah
yang berfungsi sebagai tempat
bernaung, berlindung, berteduh,
ataupun melakukan kegiatan sehari-
hari dalam suatu kehidupan.

b. Pagar Sebuah pembatas lahan milik seorang


individu dari individu yang lain
maupun pemerintah.

99
c. Pohon kelapa Sulawesi Tengah adalah provinsi
penghasil kopra125 di jazirah Pulau
Sulawesi. Semua kabupaten dan kota
di provinsi ini memiliki areal tanaman
kelapa. Pohon yang tinggi menjulang
ini sudah mulai punah akibat
pertambahan jumlah penduduk yang
menjadikan kebun kelapa
dialihfungsikan menjadi areal
pemukiman penduduk.126

d. Kemiringan tanah Tanah yang ada di Sigi terlihat miring


akibat gempa bumi sehingga likuifaksi
pun tak terelakkan. Likuifaksi sendiri
terjadi pada lapisan bawah tanah yang
berupa butiran berukuran pasir. Air
yang ada di dalamnya ikut terbawa
keluar sehingga terjadinya
likuifaksi.127

Tahap Denotasi :

Makna sebenarnya atau denotasi yang nampak pada gambar 5.4 dapat

dilihat dengan penafsiran tanda (analogon) yang terdapat di dalamnya, di

antaranya adalah :

• Sebuah rumah warga yang terkena dampak bencana alam gempa bumi,

yang mengakibatkan likuifaksi di Kabupaten Sigi, Palu. Tanah yang

awalnya datar kini nampak miring beberapa derajat akibat dari bencana

yang melanda. Tiang pada depan rumah yang miring ke kanan

menandakan bahwa rumah tersebut hampir roboh.

125daging kelapa yang telah dijemur dan dikeringkan untuk dibuat minyak; kelapa kering.
Diakses dari https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/kopra pada 4 September 2019, pukul 05.33 WIB.
126Diakses dari https://www.suarakarya.id/detail/84283/Hamparan-Perkebunan-Kelapa-Tersebar-Di-Seluruh-
Wilayah-Sulawesi-Tengah pada 4 September 2019, pukul 05.27 WIB.
127Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20180930155918-199-334437/mengenal-likuifaksi-
fenomena-tanah-bergerak-gempa-palupada 24 September 2019, pukul 13.30 WIB.

100
• Pagar yang di cat warna merah dan putih berdiri tegak dan sedikit miring

menyesuaikan dengan tingkat kemiringan tanah yang ada di daerah pasca

bencana alam tersebut.

• Sementara itu, pepohonan kelapa yang berada di belakang rumah

mengindikasikan bahwa tanah di daerah Sigi merupakan daerah yang juga

menjadi identitas Sulawesi Tengah sebagai jazirah penghasil kopra.

Makna denotasi ini dapat berkembang melalui beberapa macam tafsiran tanda

dari analogon yang terlihat. Secara verbal, pesan yang disampaikan yakni dengan

memberikan informasi bahwa masih ada rumah di Kabupaten Sigi, Palu yang

masih kokoh walaupun tiang penyangga sedikit miring akibat bencana alam

gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi yang melanda. Likuifaksi sendiri merupakan

gejala peluruhan pasir lepas yang bercampur air akibat gempa bumi, di mana gaya

pemicu melebihi gaya yang dimiliki oleh litologi setempat dalam menahan suatu

goncangan. Kejadian yang dapat diakibatkan oleh likuifaksi ini adalah penurunan

sebagian (differential settlement) atau bahkan pondasi bangunan menjadi miring

(titling) seperti foto tersebut.128

Tahap Konotasi :

Pada tahapan atau pemaknaan tatanan kedua, konotasi berperan dalam

memberikan andil pada sebuah makna berdasarkan gambaran implisit. Konotasi

juga dapat muncul tatkala tanda bertemu dengan perasaan atau emosi pengguna

serta nilai-nilai kulturalnya. Sementara itu, Barthes menyumbangkan beberapa

128Risna Widyaningrum, 2012, Penyelidikan Geologi Teknik Potensi Liquifaksi Daerah Palu, Provinsi
Sulawesi Tengah, Bandung.

101
aspek dalam penyempurnaan semiologi Saussure dan menunjukkannya ke dalam

beberapa aspek berikut :

a. Pose

Jika dilihat lebih dalam, gambar 5.4 menampakkan bangunan

rumah serta lingkungan di sekitarnya. Hal ini merupakan bentuk alami dari

sebuah kenampakan setelah kejadian bencana alam. Ketiadaan manusia

sebagai obyek menyebabkan pose tidak bisa dilihat secara gestural dan

natural seperti ‘manusia’ sebagaimana mestinya.

b. Object

Object yang terdapat pada gambar 5.4 yakni bentuk dari bangunan

rumah yang hampir roboh. Hal ini menjadikannya sebagai point of interest

sehingga terlihat lebih detail dengan porsi yang lebih lebar daripada obyek

pendukung yang lainnya. Bentuk bangunan yang hampir roboh ini dapat

diartikan bahwa tanah yang menyangga rumah tersebut mengalami

pergerakan lempeng tektonik. Tanah yang bergeser dari aslinya

menyebabkan rumah menjadi miring sedemikian rupa. Pada konteks

gempa bumi, kerusakan infrastruktur seperti ini sudah umum. Namun

untuk pengambilan foto dalam konteks bangunan seperti ini dapat

dimaknai sebagai simbol dari sebuah ‘kekuatan’. Meskipun rumah tersebut

hampir roboh, namun pada dasarnya bentukan dari rumah tersebut masih

terlihat secara eksplisit.

Sementara itu, pagar yang terletak sebagai pembatas antara lahan

milik individu dan individu yang lain maupun jalan raya masih utuh

meskipun sedikit miring akibat bencana yang telah terjadi. Identitas yang

102
muncul pada pagar ini yakni identitas warna dari bendera Indonesia, yaitu

merah dan putih. Hal demikian menyimbolkan bahwa foto tersebut

berlokasi di Indonesia. Warna tersebut melambangkan bahwa pemilik

rumah tersebut memiliki jiwa nasionalisme tinggi. Pada dasarnya, warna

merah melambangkan ‘keberanian’ dan warna putih melambangkan

‘kesucian’. Pada foto ini tidak ditampilkan obyek manusia untuk

mendukung adanya sebuah rumah karena penampakan rumah dengan

kondisi bangunan tersebut merupakan rumah yang tidak layak untuk

dihuni oleh manusia. Terlepas dari unsur kewaspadaan yang dialami

ketika akan menetap pada rumah yang terkena bencana alam.

c. Photogenia

Jika dilihat pada sumber gambar 5.4, photogenia memiliki andil

dan proses di dalamnya. Teknik fotografi yang mendasar dapat terlihat

dari eksposur atau segi pencahayaan. Eksposur adalah tindakan

mengarahkan film yang peka cahaya atau sensor gambar ke cahaya.

Dengan demikian, kamera dan lensa mengontrol intensitas cahaya dan

lamanya waktu (durasi) yang memungkinkan cahaya ini mengenai film

atau sensor gambar. Dalam hal ini, intensitas cahaya ditentukan oleh

ukuran bukaan di lensa dan durasi cahaya ditentukan oleh rana. 129

Visual yang ditampakkan menggunakan natural light atau cahaya

natural ini berada pada area terbuka atau outdoor. Pencahayaan dari foto

ini menggunakan radiasi dari cahaya matahari langsung dan bukan melalui

tembakan flash eksternal. Suasana mendung dipadukan dengan bangunan

129Mark Galer,Op., Cit, hlm.10.

103
yang hampir roboh menjadikan kesan rumah terdampak menjadi seakan

tajam dan mendukung suasana yang ada. Pengambilan gambar dengan

kondisi pencahayaan gelap dan terang umumnya di sebut dengan

ketajaman kontras. Lebar frame foto dapat mencakup keadaan di sekitar

rumah tersebut. Pagar warna merah putih, rumah depan yang mengalami

kemiringan, rumah jerami yang ada di belakang, serta pepohonan kelapa

yang masih berdiri dengan kokoh.

Sementara itu, kecepatan adalah salah satu teknik untuk merekam

momen yang ada. Foto yang statis ini menggunakan kecepatan atau

exposure time 1/1000 dengan diafragma yang lebar yakni f/8. Mengenai

hal ini, beberapa objek dapat masuk sekaligus dalam satu frame dan

memberikan pesan tersendiri. Pemaknaannya pada visual ini menjurus

bagaimana Putu Sayoga ingin memperlihatkan kondisi pemukiman atau

rumah warga yang masih berdiri setelah terkena bencana alam.

d. Aestethicism

Estetika yang muncul pada sumber gambar 5.4 yakni dengan

komposisi foto horizontal dengan teknik pengambilan foto medium shoot.

Teknik ini dimanfaatkan oleh fotografer untuk menangkap momen secara

detail kepada obyek berupa bangunan rumah yang hampir roboh tersebut.

Kesan adanya jarak antara rumah dan tanah yang berada di depan pagar

juga menandakan bahwa pesan yang disampaikan tidak hanya

menampakkan gambar rumah yang miring akibat bencana alam, namun

area sekelilingnya juga terlihat. Beberapa objek foto terlihat dalam satu

frame. Perpaduan antara objek dari bangunan, pagar, pohon kelapa, dan

104
tanaman yang ada di halaman rumah membuat foto menjadi semakin

hidup. Fokus atau depth focusing pada foto bertujuan untuk menjelaskan

bahwa unsur dalam foto tersebut dianggap penting.

Pada foto tersebut, Depth of Field (DOF) berperan untuk

memainkan ketajaman suatu objek. DOF yang lebar menampakkan fokus

pada banyak sisi. Teknik blur tidak digunakan dalam foto ini untuk

mempertajam DOF. Keterangan-keterangan tersebut membawa sebuah

kesimpulan bahwa komposisi yang dibawakan dalam sudut pandang

aesthetic tidak terlalu berlebihan.

e. Syntax

Dalam foto ini, syntax yang dibangun adalah melalui sebuah

keterkaitan antara bangunan yang hampir roboh namun tetap berdiri, serta

pohon kelapa yang masih utuh di belakang pemukiman warga. Sebuah

bentuk ‘kekuatan’ yang ada pada tanah di Sigi yang menyebabkan ada

beberapa rumah yang tetap berdiri meskipun hampir roboh.

Pada gambar 5.4, foto rumah tersebut menjelaskan secara tersirat

bahwasannya pentingnya rumah dalam pelbagai fungsinya. Bencana alam gempa

bumi, tsunami serta likuifaksi yang telah melanda menyebabkan banyaknya warga

yang kehilangan wadah untuk melakukan kegiatan sosial, salah satunya berupa

tempat tinggal. Peneliti melihat bahwa fotografer ingin memberikan informasi

bahwa di daerah Sigi terdapat rumah yang masih berdiri walaupun mengalami

kemiringan beberapa derajat akibat bencana alam yang telah terjadi. Selain itu,

tanaman yang masih subur mengindikasikan bahwa tanah di sana masih dapat

105
memberikan kehidupan bagi masyarakat sekitar. Contohnya yakni pohon kelapa

yang masih kokoh di belakang rumah yang menjadi point of interest.

Mitos:

Rumah yang berguna sebagai tempat pelindung oleh manusia memberikan

pesan tersirat bahwa rumah merupakan salah satu ruang yang vital dalam

peranannya. Rumah adalah salah satu kebutuhan dasar manusia berupa mikro

kosmos yang berfungsi untuk melindungi diri dari gangguan binatang, kriminal,

cuaca, atau sebagai tempat istirahat, pembinaan keluarga, simbol aktualisasi status

ekonomi serta budaya maupun fungsi lainnya. 130 Rumah yang hampir roboh pada

gambar 5.4 menggambarkan adanya suatu bentuk pentingnya eksistensi rumah itu

sendiri. Sarana untuk mengedepankan aspek sosial budaya menjadi petanda

berdirinya sebuah rumah.

Pada masyarakat suku Kaili di Kabupaten Sigi, Palu, rumah adat pada

zaman dahulu memiliki konstruksi yang kuat dan tahan gempa serta tsunami. Hal

demikian mengalami kontradiksi dengan desain rumah pada masa modern. Pada

dasarnya, bangunan tradisional Indonesia merupakan hasil dari pengetahuan

masyarakat mengenai keselarasan hidup dengan lingkungan. Penggunaan bahan

material yang mempengaruhi kekuatan struktur suatu bangunan terhadap

guncangan mampu menguatkan rumah panggung sebagai rumah adat Sulawesi

Tengah.131 Terlepas dari itu, kehidupan modern saat ini adalah penyebab dari

terkikisnya kebudayaan yang ada di daerah tersebut. Seiring dengan

perkembangan kehidupan manusia dalam proses menghuni rumah, identitas lokal

130Rosmiaty Arifin. 2010. Perubahan Identitas Rumah Tradisional Kaili di Kota Palu. Jurnal Ruang,
Volume 2, No.1, hlm.1.
131Diakses dari https://properti.kompas.com/read/2018/10/07/160000721/rumah-tradisional-sulawesi-tahan-
gempa-dan-tsunami?page=all, pada 19 September 2019, pukul 23.39 WIB.

106
pada rumah tradisional mulai terkikis bahkan hilang sama sekali dan digantikan

oleh rumah modern. Akibatnya, kecenderungan generasi yang akan datang tidak

menemukan lagi bentuk rumah tradisional dengan ciri identitas lokalnya. Di

samping itu, pembangunan rumah dengan penataan ruang-ruang kadangkala tidak

sesuai dengan karakter fisik lokal, sehingga dikhawatirkan terjadinya perubahan

pola spasial ruang pada rumah tradisional. 132

Pada zaman sekarang, masyarakat cenderung membangun rumah

menggunakan beton seperti yang ditampilkan pada foto seperti pada gambar 5.4.

Sebaliknya, rumah adat sebetulnya bisa jadi alternatif untuk mengatasi daerah

rawan bencana seperti di Sigi. Penggunaan kayu pilihan sebagai pondasi justru

dapat menguatkan struktur bangunan apabila gempa mengguncang dengan skala

tertentu, bahkan gelombang tsunami dengan debris yang tidak lebih dari dua

meter.

Meskipun begitu, rumah pada sumber data 5.4 tersebut tetap berdiri walau

tanah telah menggerakkan bagian bawahnya sehingga konstruksi berupa tiangnya

mengalami kemiringan. Tidak adanya manusia dalam frame mengindikasikan

hilangnya fungsi sosial secara sementara pasca bencana alam. Masyarakat

terdampak meninggalkan rumah tersebut untuk menyelamatkan diri dari bencana

yang bisa saja menyusul kapan saja.

Analisis Caption :

Une maison de la municipalité de Sigi, le 6 octobre. Putu Sayoga pour


“Le Monde”.

132Rosmiaty Arifin, Op.Cit., hlm. 21.

107
Keterangan pada foto berfungsi untuk memberikan informasi kepada

khalayak terkait kejadian atau situasi seperti apa yang sedang terjadi. Di media

harian Le Monde, caption yang dibawakan cukup singkat dengan menjelaskan

bahwa gambar 5.4 merupakan rumah di kabupaten Sigi, yang di ambil pada

tanggal 6 Oktober oleh Putu Sayoga.

Tidak adanya penunjang secara utuh seperti 5W+1H menjadikan

minimnya informasi yang dibawakan pada sebuah foto. Terlepas dari informasi

yang dibawakan oleh naskah berita yang berdiri sebagai poros utamanya.

5.5. Makna Sikap Kemanusiaan

Gambar 5.5
Des sauveteurs portent un corps retrouvé dans le village de Petobo, prés
de Palu, le 6 octobre. PUTU SAYOGA POUR LE MONDE.

108
Tabel 5.5
Analisis penanda dan petanda 5.

Penanda Petanda

Elemen visual dalam foto:


a. Tentara Nasional Indonesia Tentara yang memiliki fisik yang kuat
(TNI) serta mentalnya yang seperti baja
menjadikannya sebagai sosok pahlawan
untuk warga. Bencana alam di Sulawesi
Tengah memanggilnya sebagai tim
penyelamat korban bencana yang
terjadi pada akhir tahun 2018.

b. Badan Nasional Pencarian dan Pekerjaan dari BNPP atau BASARNAS


Pertolongan (BNPP) / Badan adalah untuk mencari, menyelamatkan
SAR (Search and Rescue) atau mengevakuasi korban terdampak.
Nasional Satuan ini menunjukkan betapa
pentingnya tim penyelamat yang rela
mengorbankan hari-hari bersama
keluarga di rumah demi membantu para
korban bencana alam.

c. Ayam Seekor hewan unggas yang melintas


menandakan bahwa masih ada makhluk
yang hidup dan melintas di tengah
reruntuhan bangunan akibat gempa
bumi, tsunami, dan likuifaksi yang
melanda Palu.

d. Puing-puing bangunan Puing-puing bangunan yang berserakan


merupakan hasil dari reruntuhan akibat
bencana alam yang dahsyat.

e. Tanah yang retak Tanah di Palu yang mengalami


keretakan tersebut berjenis Aluvial
(tanah liat) yang menandakan bahwa
daerah tersebut dibentuk oleh endapan
aluvium, yakni lapisan tanah yang
umumnya terdiri dari pasir di bagian
atas, lanau di bagian tengah dan
lempung di bagian bawah. 133 Tanah
yang ditunjukkan pada gambar 5.5
tersebut mengalami penurunan dan
perpindahan lateral tanah akibat efek

133Risna Widyaningrum, Op. Cit., hlm.3-1.

109
likuifaksi pada bangunan konstruksi
yang sebelumnya berdiri tegak.

Tahap Denotasi :

Makna sebenarnya yang ada pada tahapan denotasi menjadi penting dalam

proses penyampaian suatu pesan yang terdapat pada aspek visual. Menurut

tahapan denotasi, bahasa yang disampaikan secara langsung dan jelas. Data pada

gambar 5.5 dapat dijabarkan dengan penafsiran tanda (analogon) yang terdapat

dalam foto tersebut, di antaranya adalah:

• Delapan orang dalam foto tersebut sedang membantu korban

dalam evakuasi bencana alam gempa bumi yang diakibatkan oleh

fenomena likuifaksi di Petobo, Palu, Sulawesi Tengah, Indonesia.

Tim BNPP atau BASARNAS, TNI, serta para relawan membawa

korban meninggal yang ada dalam kantong jenazah (bodybag)

berwarna kuning tersebut. Mereka terlihat mengenakan masker

agar mencegah aroma jenazah yang meninggal atau benda-benda

menyengat akibat dari bencana alam. Begitupula dengan sepatu

yang mereka kenakan, sepatu boot merupakan sepatu yang tepat

untuk digunakan dalam proses evakuasi korban bencana.

• Tanah yang terlihat di foto menandakan bahwa tanah akibat

bencana likuifaksi tersebut menyebabkan kekeringan sehingga

memunculkan retakan. Daerah Petobo yang merupakan daerah

pemukiman warga terlihat porak-poranda.

• Atap rumah berserakan serta beberapa pepohonan pun ikut

tumbang.

110
• Ayam yang melintas menyimbolkan masih adanya kehidupan yang

berlangsung di daerah pasca bencana tersebut.

Makna denotasi yang terkandung di dalamnya yakni untuk memberi

tahukan pesan bahwa tim penyelamat sedang melakukan tugasnya. Beberapa

orang yang tergabung dalam proses pengevakuasian korban yakni terdiri atas tim

BNPP, TNI serta para relawan. Sementara itu, tanah yang dipijak menyimbolkan

bahwa tanah di Petobo sedang dalam keadaan tidak normal. Meskipun tanah

mengalami keretakan-keretakan pada sisi atas, namun hal ini tak menghentikan

langkah tim penyelamat untuk melaksanakan aksinya.

Tahap Konotasi :

Pada tahapan konotasi, makna yang ada tidak sekadar mempunyai makna

tambahan namun juga merupakan bagian dari kedua tanda denotatif yang

melandasinya. Hidayat dalam Huda menuturkan bahwa Barthes melakukan

penyempurnaan untuk suatu prosedur konotasi dan terbagi menjadi delapan aspek,

di antaranya adalah :

a. Pose

Pose atau sikap yang ditampilkan oleh gambar 5.5. yakni adanya

beberapa orang berjalan yang menyisir jalanan untuk memberikan harapan

bagi keluarga korban yang masih hidup. Mereka melakukan aksi dalam

proses evakuasi korban jenazah korban bencana alam demi memberikan

informasi kepada keluarga yang ditinggalkan. Tangan yang terlihat

mengayun beriringan ketika melakukan perjalanan menuju tempat

pengumpulan jenazah melambangkan kekompakan pada tim penyelamat

tersebut. Sepatu boots membawa mereka untuk melangkah pada tanah-

111
tanah yang tidak stabil akibat bencana likuifaksi. Tim pencarian korban

bencana alam ada yang mengenakan topi berwarna kuning serta berwarna

oranye. Adapun laki-laki yang mengenakan topi kuning adalah tim

relawan, serta tim Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (BNPP)

yang berada di garda terdepan dengan mengenakan topi oranye. Ada pula

Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang turut berkontribusi di dalamnya.

Sikap positif dari tim penyelamat mampu memberikan dorongan terhadap

masyarakat untuk tetap optimis dalam menghadapi bencana alam yang

telah melanda. Foto natural yang dibawakan oleh seorang fotografer tentu

menjadi kunci utamanya.

Pada foto yang ada pada gambar 5.5, terlihat bagaimana ekspresi

ataupun pose yang ditampakkan dari beberapa orang dalam frame tersebut.

Beberapa penyelamat tidak mengenakan masker untuk menutup

hidungnya. Aroma menyengat dari korban yang dibawa seakan tidak ia

pedulikan. Hal ini sudah dianggap lumrah dan biasa oleh tim penyelamat

setelah hidup berhari-hari di daerah pasca bencana. Para penyelamat

terlihat begitu tenang dalam potret beku fotografer. Langkah kaki yang

dijejakkan oleh tim penyelamat sangat berharga bagi masyarakat

terdampak. Kedatangan sosok manusia yang hilang tentu amat dinanti oleh

keluarga korban, apapun bentuknya.

Jika ditelaah lagi, situasi dan kondisi di Petobo sangat mencekam

karena terlihat puing-puing bangunan yang telah hancur dan atap yang

berserakan, serta jalanan yang sudah dipenuhi oleh lumpur kering akibat

112
likuifaksi. Namun hal ini tak menghentikan langkah tim penyelamat untuk

mengamalkan tugas baktinya.

b. Object

Object dalam foto ini yakni terfokus pada bagaimana bentuk

evakuasi pasca bencana alam dari tim penyelamat yang merupakan

gabungan antara BNPP, relawan serta TNI. Point of interest yang terletak

pada aktivitas yang menunjukkan adanya beberapa orang yang sedang

berjalan di tengah puing-puing bangunan yang berserakan. Tim

penyelamat yang membawa korban dalam kantong jenazah menjadi

indikasi bahwa ada korban meninggal yang ditemukan di daerah Petobo.

Reruntuhan pemukiman warga yang ada di Petobo hancur berkeping-

keping juga menjadi background dalam foto tersebut. Sementara ayam

yang melintas di tanah yang retak menjadi tanda bahwa masih ada harapan

untuk hidup pasca bencana alam yang melanda daerah tersebut.

Pada fase ini, kesan kemanusiaan dibangun ketika masih ada

beberapa orang yang peduli terhadap sesama. Meluangkan waktu untuk

menjadi tim penyelamat yang dekat dengan resiko terjangkitnya sebuah

traumatis terhadap bencana alam. Sosok obyek yang ada dalam foto

tersebut memperlihatkan bahwa tugas para relawan begitu berharga.

Tugasnya untuk mengevakuasi serta memberikan pertolongan terhadap

korban bencana alam membuat keluarga korban yang masih hidup merasa

sangat bersyukur dan terbantu dengan adanya tim penyelamat.

Pada dasarnya, Petobo merupakan daerah yang berpotensi tinggi

terhadap penurunan tanah serta perpindahan lateral secara kuantitatif,

113
dalam hal ini merupakan likuifaksi. Tidak lepas dari bencana alam gempa

bumi yang juga melanda, sejarah mengatakan hal yang sejalan dengan data

yang dilansir oleh Widyaningrum bahwa gempa bumi di bagian tengah

Sulawesi telah tercatat sejak abad ke-19, di mana beberapa diantaranya

mempunyai magnitude yang tidak lebih dari tahun 2018 yakni 7,4 SR.

Namun frekuensi tsunami yang tinggi pernah terjadi di Teluk Palu dengan

gelombang mencapai 15 meter. 134

c. Photogenia

Menurut sumber data 5.5, teknik yang di ambil dari foto tersebut

berada di daerah terbuka (outdoor). Foto tersebut menggunakan cahaya

alami yakni dari cahaya matahari. Fotografer menyampaikan sebuah pesan

bahwa udara pada pagi hari di Palu terasa hangat pasca bencana menyapa.

Sementara itu, konsistensi dari warna dengan white balance terlihat nyata

dengan sentuhan natural light dari sinar matahari yang bersinar. Sebuah

ketajaman visual yang nampak dengan suhu normal menunjukkan portrait

dari subyek pada foto dengan sentuhan originalitas. Terpaan matahari yang

menyatu dengan aktivitas evakuasi seakan menjadi kekuatan tersendiri

bahwa masih ada harapan yang nyata setelah terjadinya bencana.

Perpaduan antara gelap terang yang ada dengan tone yang digunakan oleh

fotografer menjadikan sebuah kesan optimisme terbangun.

Pada momen ini, cahaya yang direfleksikan membawa bentuk bak

sebuah kata menuju mata yang memandang melalui perantara fotografer,

134Risna Widyaningrum, Op. Cit., hlm. 2-7.

114
sama seperti suara yang keluar dari apa yang diutarakan. 135 Cahaya

merupakan hal yang fundamental dalam fotografi. Tanpa adanya cahaya,

foto tak akan terlihat. Sementara itu, diafragma lebar yang di setting oleh

fotografer membuat fokus terlihat merata. Sudut pandang yang

ditampilkan tidak hanya pada aktivitas evakuasi, namun juga pada

reruntuhan bangunan yang ada di sekitarnya. Selain itu, exposure yang

digunakan terlihat seimbang antara kecepatan, ISO, maupun

diafragmanya. Angle berupa long shoot membuat kurangnya intimasi

dengan obyek yang ada pada foto. Meskipun begitu, pengambilan dengan

model ini memberikan arti bahwa fotografer ingin memperjelas situasi

yang ada dengan menampakkan kegiatan evakuasi dengan pelbagai obyek

di dalamnya. Sosok penyelamat terlihat kecil dan terlihat secara

keseluruhan pada sudut pengambilannya yang lebar. Tidak lepas dari

penggambaran sosok manusia yang di anggap kecil di mata Tuhan yang

Maha Esa.

Teknik pengambilan gambar menggunakan exposure time 1/320.

Umumnya, teknik ini menjadi settingan yang cukup aman dengan

menunjukkan berhentinya obyek yang berjalan. Speed yang cenderung

tinggi membuat pergerakan dari tim penyelamat seperti berhenti.

Diafragma dengan bukaan f.8 menampilkan foreground cukup fokus dan

detail dan tidak menampakkan sisi blur pada foto sama sekali.

135Michael Langford. Basic Photography, hlm. 24.

115
d. Aestethicism

Estetika pada sebuah komposisi tentu menjadi peranan yang sangat

penting. Gambar yang dinamis akan nampak berarti seiring dengan pesan

yang dibawakan. Begitupula dengan makna konotasi yang bermunculan

ketika sebuah gambar menampilkan sisi estetisnya. Estetika menjadi

potongan yang penting pada sebuah komunikasi visual. Tidak hanya

menjadi sebuah ‘benda’ namun juga sebuah sistem dari hubungan ekologis

dan proses yang membuat sebuah benda tersebut memiliki interpretasi. 136

Berbicara pada foto dalam gambar 5.5, foto dengan format

landscape dengan sedikit sentuhan high angle ini menghadirkan berbagai

objek di dalamnya. Pengambilan yang disertai dengan point of interest

secara keseluruhan memiliki makna timbal balik antara manusia dengan

alam. Sementara itu, poin dari rule of third yang ada menampakkan obyek

dengan begitu sistematis. Hal demikian menampilkan aspek lingkungan

yang ada di daerah Petobo, Palu, Sulawesi Tengah.

Timbunan reruntuhan dari pemukiman menjadi sebuah simbol

yang bersenandung. Pengambilan angle dengan long shoot memberikan

kesan bahwa manusia adalah makhluk Tuhan yang amat kecil ketika

bencana besar melanda. Estetika dalam foto ini ditampakkan dengan porsi

beberapa orang yang berjajar namun tidak tumpang tindih yang

menyimbolkan bahwa mereka berdiri di atas makna kekompakan. Sejalan

dengan kesan kemanusiaan yang terbangun.

136 Ken Smith. Handbook of Visual Communication: Theory, Methods, and Media, hlm.6.

116
e. Syntax

Tanpa menggunakan keterangan pada foto, peneliti melihat

bahwasannya penggambaran dari salah satu proses pertolongan korban

bencana cukup jelas. Penampakan dari aksi para tim penyelamat mampu

menjadi sosok pahlawan pada peristiwa pasca bencana alam dengan

melihat foto tersebut. Likuifaksi yang telah terjadi di daerah Petobo

ditampakkan dari tanah yang mengalami keretakan. Semburannya yang

kuat mampu menyedot bangunan yang ada di atasnya. Ketika tim

penyelamat datang, tanah sudah mengering meskipun masih terlihat pecah.

Hal ini melambangkan bahwa bencana alam yang ada di Palu telah

mengalami fase yang lebih baik dari sebelumnya.

Dari beberapa aspek yang telah peneliti jelaskan sebelumnya, maka pesan

dan makna konotasi yang dapat di telaah dari foto ini yakni dengan memahami

sikap saling tolong menolong. Beragamnya suku, budaya, serta agama tidak

menutup kemungkinan untuk menjadi seorang penolong atau tim penyelamat.

Indonesia yang menjunjung tinggi sikap tersebut tentu menjadi alat yang positif

bagi masyarakat. Persatuan antara relawan, tim BNPP atau yang biasa disebut

Badan SAR Nasional, serta aparat negara seperti TNI yang berperan sebagai tim

penyelamat tentu berdampak terhadap proses evakuasi korban bencana alam.

Kesiapan dalam proses tersebut patut diberikan apresiasi positif karena untuk

menolong korban bencana alam.

Perlengkapan serta peralatan tim penyelamat setidaknya harus


sesuai dengan standart operational procedure yang ada, yakni dengan
membawa kantong mayat, pyroteknik (buoy smoke, hand flare, parachutte
signal), makanan darurat, dan pakaian lapangan (baju lapangan, celana

117
lapangan, topi rimba, sepatu lapangan (safety shoes), jaket, ikat pinggang
lapangan).137
Mitos :

Mitos yang muncul pada gambar 5.5 adalah tentang kemanusiaan sosial

yang tergambarkan dalam sebuah aksi penyelamatan. Gabungan antara Tim BNPP

(Badan SAR Nasional), relawan maupun aparat negara seperti TNI yang berperan

dalam evakuasi menjadi poin penting. Adanya bentuk simpati dalam interaksi

sosial yang berlangsung menandai adanya kerja sama (cooperation) dalam

pelaksanaan evakuasi korban bencana. Proses simpati sendiri sebenarnya

merupakan suatu proses di mana seseorang merasa tertarik pada pihak lain, dalam

hal ini keinginan untuk memahami pihak lain untuk bekerja sama dengannya. 138

Para tim penyelamat yang membantu korban bencana alam simpati terhadap

keadaan alam yang telah terjadi sehingga melakukan aksi pertolongan tersebut.

Mereka melakukan kerja sama satu sama lain untuk membantu proses evakuasi

pasca bencana alam gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi yang telah melanda

daerah Petobo.

“Kerjasama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka


memiliki kepentingan yang sama dan pada yang bersamaan mempunyai
cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk
memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut; kesadaran akan adanya
kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta
penting dalam kerja sama yang berguna” 139

Perbedaan status sosial tidak menghentikan langkah mereka untuk

melakukan sebuah bentuk pertolongan terhadap sesama manusia. Baik relawan

137 Diakses dari http://jdih.basarnas.go.id/resources/document/produk-hukum/PK_14_tahun_2015_126.pdf


pada 8 September 2019, pukul 12.00 WIB.
138Soerjono Soekanto, 2001,Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, hlm. 70.
139Cooley dalam Soerjono Soekanto, Op. Cit., hlm. 80.

118
yang berlatar belakang berbeda dengan para TNI maupun Tim BNPP. Hal ini

didasarkan dengan sila kedua dalam Pancasila, yakni kemanusiaan yang adil dan

beradab. Kegiatan pada gambar 5.5 sesuai dengan butir Pancasila sila kedua yaitu

menjunjung tinggi nilai kemanusiaan berupa pertolongan terhadap korban

bencana alam, mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia, serta

mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabat

sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.140 Pertolongan yang dilakukan oleh

beberapa orang yang nampak pada foto di atas menggambarkan solidaritas tim

penyelamat dalam evakuasi korban dalam kerelaannya meninggalkan keluarga

selama berhari-hari untuk menyalurkan tangan pada korban bencana. Pemberian

bantuan secara langsung sangat dibutuhkan oleh para korban bencana alam di

Palu, Sulawesi Tengah. Meskipun bencana alam yang melanda tidak dinobatkan

sebagai bencana nasional141, tim penyelamat tetap menjadi sosok yang

mempertahankan sikap kemanusiaan yang tinggi dalam perannya untuk

mewujudkan Indonesia yang lebih beradab.

Analisis Caption :

Des sauveteurs portent un corps retrouvé dans le village de Petobo, prés

de Palu, le 6 octobre. PUTU SAYOGA POUR LE MONDE.

Pada ranah ini, caption merupakan keseimbangan data yang tersaji

pada teks gambar. Caption sangat membantu menjelaskan informasi dari

suatu gambar. Menurut Hicks, caption foto adalah bagian dasar atau unit

dari foto jurnalistik. Pada bagian tersebut dapat dibentuk pendekatan-

140Diakses dari https://dcc.ac.id/galeri_dok/upload/144_2-%20Materi%20Pengamalan%20Pancasila.pdf


pada tanggal 24 September 2019, pukul 07.07 WIB.
141Diakses dari https://megapolitan.kompas.com/read/2018/09/30/17324771/alasan-pemerintah-tak-
tetapkan-gempa-tsunami-palu-sebagai-bencanapada 24 September 2019, pukul 07.17 WIB.

119
pendekatan foto jurnalistik. 142 Pada gambar 5.5, foto yang ditampilkan di

media masa Le Monde menuliskan keterangan yang memiliki arti yakni

‘Tim penyelamat membawa mayat yang ditemukan di Desa Petobo, dekat

Palu, pada 6 Oktober.’ Hal ini menjelaskan bahwasannya ada pesan

kemanusiaan yang terbangun dari tim penyelamat yang sedang

mengevakuasi korban bencana alam di daerah Petobo pada tanggal 6

Oktober 2018. Kegiatan saling tolong menolong ini mengindikasikan

bahwa rakyat Indonesia memiliki sikap kemanusiaan yang masih

dilestarikan, salah satunya yakni saat bencana alam terjadi.

5.6. Diskusi Hasil Analisis

Lima foto yang terangkum dalam pemberitaan media Le Monde

Prancis edisi 7-9 Oktober 2019 merupakan hasil interpretasi peneliti terhadap

fenomena bencana alam yang terjadi di Palu, Sulawesi Tengah pada

September 2018. Kehadiran medium foto jurnalistik sebagai alat visual dalam

sebuah media massa disuguhkan dengan adanya elemen-elemen berdasarkan

pemaknaan yang telah ada.

Pemaknaan terhadap karya foto jurnalistik secara tidak langsung

menampilkan unsur perubahan sosial yang terlihat pada sebuah sistem dalam

kehidupan pasca bencana alam. Identitas dari kebudayaan dengan sifat dasar

berupa kekeluargaan, hidup serba selaras, religiusitas serta aspek kerakyatan

tercermin di dalamnya.143

142Oscar Motuloh, Suatu Pendekatan Visual dengan Suara Hati, 2000.


143Baharuddin. Bentuk-bentuk Perubahan Sosial dan Kebudayaan. Hlm.198.

120
Perubahan sosial yang nampak pada aspek ‘kekeluargaan’

tergambarkan oleh sebuah foto dengan makna keberlangsungan hidup pasca

bencana alam. Konstruksi simbol yang dibangun sejalan dengan medium foto

yang dibawakan. Selanjutnya identitas ‘hidup serba selaras’ ditampilkan pada

foto dengan makna kemandirian muslimah pasca bencana alam. Keselarasan

hidup muncul ketika perempuan tersebut tetap mempertahankan agamanya

sebagai pondasi meskipun bencana alam yang cukup dahsyat telah melanda

tanah Palu.

Sementara itu, berkaitan dengan identitas bangsa Indonesia yang

memiliki sifat ‘religiusitas’ disimbolkan oleh sosok umat Kristen yang sedang

memanjatkan doa dengan begitu khidmatnya. Pemaknaan ini cukup memberi

ruang bagi masyarakat untuk melihat betapa dalam kepedihan yang dirasakan

ketika bencana terjadi. Tidak lepas dari itu, makna rumah dalam unsur sosial

dan budaya juga merupakan identitas penting dalam kebudayaan Indonesia.

Bentuk dari kebutuhan tersier yang mengalami kemiringan ini menjadi sebuah

pertanda bahwasannya tanah yang ada di sana telah dilanda bencana dan

menjadi salah satu indikasi dalam perubahan sosial, yakni hilangnya fungsi

sosial secara sementara yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat.

Sedangkan aspek ‘kerakyatan’ disimbolkan dengan aksi dari tim

penyelamat yang melakukan evakuasi terhadap korban bencana alam.

Fotografer membentuk realita bahwasannya kejadian tersebut terjadi di daerah

terdampak. Pertolongan yang hadir menjadi penting dalam pemberitaan di

media agar memunculkan bantuan-bantuan lain untuk kelangsungan hidup

pasca bencana alam yang terjadi. Selain itu, foto menjadi medium yang

121
berharga dalam memberikan informasi terkait peristiwa yang terjadi di

Indonesia yang disebarluaskan di Prancis.

Foto yang telah dianalisis tersebut dimaksudkan untuk melihat apa saja

simbol yang nampak dalam foto sehingga penafsiran tentang pesan bencana

alam dapat tercerna melalui metode semiotika yang mengkaji tentang konsep

denotasi, konotasi, serta mitos. Selain itu, pemaknaan keterangan berupa teks

pada foto juga ditampilkan untuk memperkuat foto jurnalistik yang telah

ditelaah. Pada komposisi elemen, visualisasi mayor ditunjukkan dengan

lanskap bencana alam. Unsur manusia dengan aspek human interest maupun

environmental portrait juga menjadi obyek tambahan pada foto yang identik

dan dihasilkan oleh fotografer. Pemaknaan ini menjelaskan mengenai keadaan

warga serta lingkungan terdampak bencana.

Fungsi dari pandangan terhadap tampilan horison atau lanskap

bencana menjadi penting dalam ranah kebencanaan untuk memberikan

informasi terkait situasi yang sedang terjadi di area pasca bencana. Beberapa

simbol atau lambang yang ada pada foto seperti puing-puing bangunan yang

hancur, keretakan tanah yang menyebar, hingga langit mendung yang

mendukung suasana nestapa memperkuat elemen visual pada foto jurnalistik.

Suguhan visualisasi puing-puing hasil reruntuhan bangunan membangun

sebuah estetika dalam fotografi. Hal demikian dilihat dari unsur estetik dalam

foto yang didasarkan pada komposisi garis, pola, warna serta tekstur yang

dimanfaatkan oleh fotografer agar terlihat menarik dan tetap menggambarkan

aspek aktualitas dalam ranah jurnalistik. Penggunaan warna yang tersaji

dituangkan pada foto lanskap ketika sinar matahari melintas pada siang

122
maupun sore hari. Keadaan ini membuat foto terlihat lebih dinamis dan

menyala tatkala kegiatan evakuasi sedang dilaksanakan. Visualisasi retakan

tanah yang terkena likuifaksi menjadi unsur estetis yang ditampilkan melalui

texture sehingga menjadikannya lebih nyata.

Kenampakan alam pasca bencana ditampilkan oleh fotografer dengan

obyek yang terkandung di dalamnya. Hal ini merepresentasikan wujud pesan

dan makna yang ingin disampaikan. Pada lima foto yang ada pada harian Le

Monde Prancis edisi 7-9 Oktober 2018 ini mengulas tentang bagaimana

keadaan alam pasca bencana Palu yang menjadi bagian tak terpisahkan dari

sebuah lingkungan sosial yang tak luput oleh bencana. Porsi manusia dan

kenampakan alam yang disajikan oleh fotografer memiliki makna yang

beragam serta menjelaskan keadaan atau penekanan yang tersurat maupun

tersirat pada suatu kondisi. Visualisasi manusia yang ada dalam foto

mengandung pesan yang nampak dan disalurkan berdasarkan angle, gestur,

ekspresi yang dipadu dengan lingkungan sekitar bencana. Perekaman manusia

menggunakan pelbagai sudut pandang, mulai dari medium shoot hingga long

shoot yang menjadi penting dalam kajian kebencanaan. Hal demikian

mengandung pesan bahwa manusia tak lepas dari pijakan bencana alam yang

terjadi di bumi ini. Sosoknya menjadi sebuah subyek penting yang tergambar

dalam rana. Visual yang ada pada foto Putu Sayoga menggambarkan manusia

dengan beragam ekspresi dengan busana yang dikenakan dan dapat menjadi

sebuah refleksi bagaimana perubahan sosial yang terjadi pasca bencana gempa

bumi, tsunami, serta likuifaksi yang melanda daerah Palu dan sekitarnya.

123
Foto yang disajikan dalam media Le Monde memiliki pesan terkait

bencana alam dengan sudut pandang yang luas. Keberagaman persepsi dapat

terjadi, namun adanya keterangan pada foto atau caption dapat meminimalisir

pemaknaan secara luas dan lebih terarah. Penjelasan yang terdapat pada

keterangan foto di Le Monde cenderung lebih singkat dan padat serta tidak

memuat unsur 5W+1H seperti di Indonesia pada umumnya. Namun, meskipun

begitu, caption singkat yang ada tetap mengandung aktualitas serta bagaimana

kedekatan (proximity) antara obyek yang di ambil. Selanjutnya, aspek teknis

yang tergambar pada foto memunculkan pesan secara visual dalam pelbagai

macam bentuknya. Perihal aspek photogenia atau teknik foto yang meliputi

point of interest, exposure, pencahayaan, dan sebagainya yang tergabung

dalam elemen visual yang melekat dalam foto jurnalistik.

Pengambilan foto dengan dominan pagi, siang maupun sore menjadi

latar waktu yang tepat untuk menggambarkan bagaimana keadaan yang

sedang terjadi. Pada waktu tersebut, arah jatuh dari pancaran sinar matahari

menjadi lebih lembut sehingga menambah kesan estetis pada foto. Warna-

warna yang nampak pada obyek foto menggambarkan sebuah asa yang masih

melekat pada tanah bencana. Sementara itu, foto yang ditampilkan oleh Putu

Sayoga juga diambil dari bermacam latar belakang, namun tetap

menggunakan sudut lebar pada kamera agar suasana dapat terlihat secara jelas.

Visual lanskap dengan diafragma lebar disajikan untuk merekam bingkai yang

lebih luas dengan memberi ruang bagi obyek foto yakni manusia yang terkena

bencana. Di samping itu, pada foto dengan tipikal environmental portrait,

pemaknaan diciptakan dengan kesan kedekatan antara subyek yang difoto

124
dengan audien yang memandang. Foto yang diambil dengan angle eye level

berfungsi untuk menyejajarkan antara obyek yang ada di foto dengan audien.

Hal ini dimaksudkan agar adanya sebuah pesan simpati terhadap korban

bencana alam. Begitupula dengan sudut medium shoot yang memiliki

kedekatan yang cukup stabil untuk menggambarkan bagaimana kondisi yang

sedang terjadi di daerah yang tertimpa bencana. Selain itu, lanskap yang

divisualisasikan dengan kemiringan tertentu yang berasal dari kamera

fotografer memberikan penekanan bahwa pesan yang ada di dalamnya yakni

berada pada tanah yang terkena bencana alam gempa bumi.

Le Monde tidak menampilkan foto yang hiperbola dan dramatis,

namun tetap memberikan porsi yang tepat sejalan dengan aktualitas yang ada

di Indonesia. Foto yang disajikan dengan pendekatan humanis nampak

melalui pesan optimisme yang terbangun dalam foto bencana alam yang ada.

Harian Prancis ini, memberitakan bencana alam Palu dari sudut pandang yang

positif dengan visualisasi berdasarkan makna yang telah diteliti. Dengan

demikian, bencana alam yang ada di Indonesia yang seperti tiada habisnya ini

menggulirkan fenomena foto jurnalistik bencana alam, sehingga tujuan dalam

pengambilan foto yang bermakna akan terus menjadi bagian penting di

dalamnya.

125
BAB VI
PENUTUP

6.1. Kesimpulan

Lima foto jurnalistik karya Putu Sayoga yang telah dipublikasikan oleh

media Prancis yakni Le Monde ini sebagian besar memiliki pesan dan makna

kebencanaan dari segi perubahan sosial pasca terkena bencana, di mana aspek

tersebut berdasar pada sebuah identitas kebudayaan Indonesia yakni sifat

religiusitas, kekeluargaan, hidup serba selaras, dan juga kerakyatan. Melalui sudut

pandang social and environment yang ditampilkan, rekaman foto bencana ini

dapat tersalurkan dengan baik di media massa di Prancis. Dengan kata lain, Le

Monde menempatkan segi kebencanaan dengan pelbagai frame dengan tujuan

untuk mengkomunikasikan bahwa Indonesia telah terkena bencana alam yang

dahsyat dan memberikan informasi kepada khalayak yang ada di Prancis terkait

berita ini tanpa adanya rekayasa visual.

Melalui elemen visual yang tampil pada media Le Monde, foto jurnalistik

karya Putu Sayoga ini memiliki makna kebencanaan yang muncul sebagai

visualisasi pesan fotografer terhadap apa yang sedang terjadi dengan keadaan

lingkungan serta manusia yang survive maupun gugur di dalamnya. Foto yang

ditampilkan merupakan salah satu bagian penting untuk menyajikan medium

visual dengan cara pandang atau perspektif baru terkait pengambilan gambar

tanpa adanya eksploitasi korban bencana alam. Hal ini nampak pada hasil analisis

denotasi muncul pada pemaknaan yang telah dibongkar oleh peneliti. Selanjutnya,

pemaknaan foto juga nampak dengan sentuhan jurnalisme optimis yang muncul

tatkala makna konotasi serta mitos tampak pada tataran gagasan dalam suatu

126
gambaran visual. Foto yang dipublikasikan menjadi sebuah pengingat bagi

masyarakat Prancis bahwa bencana alam mampu menjadi sebuah medium untuk

menyalurkan dorongan positif yang tercermin di dalamnya, yakni dengan

memberikan angin segar berupa bantuan kemanusiaan untuk para korban bencana

alam yang terdampak, refleksi atas bencana yang terjadi, pengharapan atas doa-

doa, maupun perjalanan menuju kebaikan. Suguhan visual dalam bentuk

pengharapan terhadap Yang Maha Esa ditampilkan agar kehidupan terus berjalan

sebagaimana mestinya. Sementara itu, kerusakan alam yang terjadi digambarkan

sebagai sebuah titik balik agar berupaya tegar serta membentuk pribadi baru agar

lebih bijaksana. Pada akhirnya, foto jurnalistik bencana alam juga berperan

sebagai alat untuk menggugah audience agar memiliki kepedulian terhadap

sesama manusia.

6.2. Saran

1. Diharapkan bagi fotografer, khususnya yang akan melakukan liputan

terkait bencana alam untuk mengkaji foto yang ada dengan metode

semiotika agar tercipta sebuah visual yang sarat akan makna berdasarkan

relasi antar tanda ataupun simbol yang terdapat di dalamnya. Hal ini juga

berkaitan dengan pengajian mendalam untuk pembentukan suatu kesan

tertentu sehingga melahirkan produk foto jurnalistik yang menghasilkan

pesan optimisme pada hasil karyanya.

2. Pembangunan kajian semiotika dengan wacana kritis perlu dikuatkan

untuk membongkar apa makna yang terkandung dalam sebuah bentuk

visualisasi karya fotografi. Melalui kajian tersebut, arah perkembangan

karya seni visual akan dapat berlangsung secara positif serta penuh makna.

127
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Ajidarma, Seno Gumira. 2016. Kisah Mata: Fotografi antara Dua Subjek:
Perbincangan tentang Ada, Yogyakarta: Galangpress
Aminuddin. 2016. Semantik (Pengantar Studi Tentang Makna). Bandung:
Penerbit Sinar Baru Algensindo.
Arif, Ahmad. 2010. Jurnalisme Bencana, Bencana Jurnalisme: Kesaksian dari
Tanah Bencana. Jakarta: KPG (Kepustakaan Popular Gramedia).
Berger, Arthur Asa. 2010. Pengantar Semiotika: Tanda-tanda dalam Kebudayaan
Kontemporer. Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana.
Budiman, Kris. 2011. Semiotika Visual: Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas.
Cangara, Hafied. 2006. Pengantar Ilmu Komunikasi. PT. Raja Grafindo Persada.
Danesi, Marcel. 2004. Messages, Signs, and Meanings: an introduction to
semiotics. 3rd edition. Toronto: Canadian Scholars’ Press Inc.
Fiske, John. 2004. Cultural and Communication Studies: Sebuah Pengantar
Paling Komprehensif, Terj. Yosal Iriantara dan Idi Subandy Ibrahim,
Yogyakarta: Jalasutra.
Galer, Mark. Location Photography, Second Edition. 2002. Italy: Focal Press.
Gani, Rita & Kusumalestari, Ratri Rizki. 2013. Jurnalistik Foto Suatu Pengantar.
Cetakan Pertama. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
JUFOC. 2015. ORDAS (Orientasi Dasar). Malang: -
Langford, Michael. Basic Photography 7th Edition. 2000. Oxford: Focal Press.
Machmud, Muslimin. 2016. Tuntunan Penulisan Tugas Akhir Berdasarkan
Prinsip Dasar Penelitian Ilmiah. Malang: Selaras.
Mirza Alwi, Audi. 2004, Fotojurnalistik: Metode Memotret dan Mengirim Foto
ke Media Massa. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Mulyana, Deddy. 2014. Ilmu Komunikasi Suatu pengantar. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Motuloh, Oscar. 2000. Suatu Pendekatan Visual dengan Suara Hati, ___
Ridwan, Ita Rustiati. Menyikapi Bencana Sebagai Fenomena Sosial Terintegrasi.
Serang Banten: UPI.
Sobur, Alex. 2006. Semiotika Komunikasi. Cetakan Keenam. Bandung: PT.

128
Remaja Rosdakarya.
Smith, Ken, dkk. 2005. Handbook of Visual Communication: Theory, Methods,

and Media. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc., Publishers.

Sontag, Susan. 2005. On Photography. New York: Rosetta Books, LLC.


Sumayku, Reynold. 2016. Pada Suatu Foto: Cerita dan Filosofi dalam Fotografi.
Bandung: Kaifa Publishing.
Soekanto, Soerjono. 2001. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada.
Susanto, Eko Hari, dkk. 2011. Komunikasi Bencana. Yogyakarta: Mata Padi
Pressindo.
Widyaningrum, Risna. 2012, Penyelidikan Geologi Teknik Potensi Liquifaksi
Daerah Palu, Provinsi Sulawesi Tengah, Bandung: -.
Wijaya, Taufan. 2014. Foto Jurnalistik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Tinarbuko, Sumbo. 2009. Semiotika Komunikasi Visual. Yogyakarta: Jalasutra.

Jurnal:
Arifin, Rosmiaty. 2010. Perubahan Identitas Rumah Tradisional Kaili di Kota
Palu. Jurnal Ruang, Volume 2, No.1.
Baharuddin. Bentuk-bentuk Perubahan Sosial dan Kebudayaan.
Djafar, Wahidah Suryani. 2015. Komunikasi Transendental Manusia-Tuhan,
Vol.12 No.2: Al-Farabi.
Dewi, Agustina Kusuma. 2017. Analisis Ideologi Visual pada Iklan Cetak Adidas
Versi Chu-mu Yen, “No One Gets Up When a Whole World Kicks.” Jurnal
Desain Komunikasi Visual, FSRD, No.2, Vol.4: ITENAS,
Gama, Betty. 2011. Representasi Jurnalisme Bencana dalam Perspektif Ranah
Publik. Jurnal Semai Komunikasi. Vol.1 No.2.
Fauzi, Ahmad. 2016. Pakaian Wanita Muslimah dalam Perspektif Hukum Islam.
IQTISHODIA, Vol.1, No.1.
Huda, Muhammad Miftahul & Hamim. 2015. Analisis Semiotika Fotografi
“Alkisah” Karya Rio Motret (Rio Wibowo). Jurnal Untag.
Husein, Rahmawati. Bencana di Indonesia dan Pergeseran Paradigma
Penanggulangan Bencana: Catatan Ringkasan.

129
Kurnia Jati, Nico. 2017. Hiperrealitas Fotografi Jurnalistik. Vol.17, No.1.
Nazaruddin, Muzayin. 2015. Jurnalisme Bencana di Indonesia, Setelah Sepuluh
Tahun. Vol.10, No.1.
Ngangi, Charles R. 2011. Konstruksi Sosial dalam Realitas Sosial.
ASE-Vol.7 No.2.
Pramono, Rudy. 2016. Perspektif Sosiologis dalam Penanggulangan Bencana.
Jurnal Masyarakat & Budaya Vol.18 No.1.
Rifai, Ahmad & Puspitasari. 2018. Representasi Ideologi Islam dalam Cerita
Pendek: Analisis Semiotika. Vol.4, No.1.
Setiyanto, Pamungkas Wahyu & Irwandi. 2017. Foto Dokumenter Bengkel
Andong. Mbah Musiran: Penerapan dan Tinjauan Metode EDFAT dalam
Penciptaan Karya Fotografi. Vol. 13, No.1.
Utoyo, Arsa Widitiarsa. 2018. Analisis Semiotik Pada Junalistik Foto. Vol.2
No.2.
Wahyuni, Hermin Indah. 2007. Kecenderungan “Framing” Media Massa
Indonesia dalam Meliput Bencana Sebagai Media Event. Yogyakarta.
Widiyatmojo, Radityo. 2018. Semiotik Kebun Binatang Dalam Photobook
Berjudul Wildtopia. Jurnal Sospol, Vo.4, No.2.
Zuhriah. 2018.Makna Warna dalam Tradisi Budaya; Studi Kontrastif Antara
Budaya Indonesia dan Budaya Asing. Makassar

Situs Web:
https://alamtani.com/panduan-teknis-budidaya-pisang/ diakses pada tanggal 18
September 2019, pukul 19.22 WIB
https://bnpb.go.id//definisi-bencana diakses pada 31 Januari 2019, pukul
08:42 WIB.
http://csinema.com/metode-edfat-dalam-fotografi/ diakses pada 25 Maret 2019,
pukul 23.39 WIB.
https://dis.cic.ac.id/files/modul/6105-mod-cb9c84.pdf, Konsep Dasar Fotografi,
diakses pada 21 Oktober 2019, pukul 09.00 WIB.
https://dcc.ac.id/galeri_dok/upload/144_2

130
%20Materi%20Pengamalan%20Pancasila.pdf diakses pada tanggal 24
September 2019, pukul 07.07 WIB.
http://jdih.basarnas.go.id/resources/document/produk-
hukum/PK_14_tahun_2015_126.pdf diakses pada 8 September 2019,
pukul 12.00 WIB.
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/denotasi, diakses pada 25 Januari 2019, pukul
00:33 WIB.
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/kopra diakses pada 4 September 2019, pukul
05.33 WIB.
https://kbbi.web.id/optimisme, diakses pada 2 April 2019, pukul 08.47 WIB.
http://lensa.fotokita.net/2015/11/kampanye-mendukung-para-fotografer-koran
prancis-terbit-tanpa-foto/ diakses pada 8 April 2019, pukul 07.33 WIB
https://manfaat.co.id/10-manfaat-bermain-piano-baik-bagi-otak-jiwa-dan-masa
depan di akses pada tanggal 18 Juli 2019, pukul 21.41 WIB.
https://www.melodicashack.com/history-of-the-melodica/, diakses pada tanggal
18 September 2019, pukul 19.14 WIB.
http://www.pariscemeteries.com/questions-1, diakses pada tanggal 20 Oktober
2019, pukul 20.00 WIB.
https://properti.kompas.com/read/2018/10/07/160000721/rumah-tradisional
sulawesi-tahan-gempa-dan-tsunami?page=all, diakses pada 19 September
2019, pukul 23.39 WIB.
https://tirto.id/2018-tahun-bencana-mematikan-di-indonesia-bagaimana-
pemulihannya-dcoxdiakses pada 31 Januari 2019, pukul 08:54 WIB.
https://tirto.id/makna-minggu-palma-yang-dirayakan-seluruh-umat-katolik-di
dunia-cGFM diakses pada 7 Oktober 2019, pukul 11.40 WIB.
https://tuhanyesus.org/makna-minggu-palma diakses pada 7 Oktober 2019, pukul
11.50 WIB.
https://wtop.com/world/2018/11/10-of-the-deadliest-natural-disasters-in-2018/
diakses pada 12 Agustus 2019, pukul 07:32 WIB.
https://www.dictio.id/t/apa-yang-dimaksud-dengan-denotasi-dan-konotasi/8808 di
akses pada tanggal 15 Agustus 2019, pukul 11.50 WIB.
https://www.idntimes.com/hype/viral/rahul-fahry/bencana-alam-terparah-yang-

131
terjadi-sepanjang-tahun/fulldiakses pada 31 Januari 2019, pukul 09:05.
https://www.aa.com.tr/id/turki/foto-jurnalis-indonesia-menang-di-istanbul-photo
awards/936203diakses pada 3 Maret 2019, pukul 16.37 WIB.
http://www.alteredimagesbdc.org/walski, di akses pada 14 Agustus 2019, pukul
07.35 WIB.
https://www.bjp-online.com/2013/11/french-newspaper-removes-all-images-in
support-of-photographers/diakses pada 8 April 2019, pukul 07.40 WIB.
https://kumparan.com/@kumparannews/tentang-wilayah-di-balaroa-yang
lenyap-usai-gempa-palu1538397071762704143, diakses pada 2
September 2019, pukul 21.41 WIB.
https://www.mongabay.co.id/2019/04/10/jejak-tua-di-area-likuifaksi-sulawesi
tengah/diakses pada 4 September 2019, pukul 08.40 WIB.
https://www.mongabay.co.id/2019/01/02/memaknai-bencana-alam-dengan
perspektif-baru/diakses pada 4 Oktober 2019, pukul 07.55 WIB.
https://www.phographer.com/2013/11/french-newspaper-without-photos.html,
diakses pada 13 Agustus 2019, pukul 09.20 WIB.
http://www.remotivi.or.id/amatan/32/Jurnalisme-Bencana:-Tugas
Suci,-Praktik-Cemar diakses pada26 Maret 2019, pukul 21.34 WIB.
https://www.suarakarya.id/detail/84283/Hamparan-Perkebunan-Kelapa-Tersebar
Di-Seluruh-Wilayah-Sulawesi-Tengah diakses pada 4 September 2019,
pukul 05.27 WIB.
https://www.voaindonesia.com/a/presiden-trump-sampaikan-belasungkawa-pada
indonesia-siap-bantu/4594629.html, diakses pada 2 April 2019, pukul
08.35 WIB.

Skripsi:
Artana, Hamdani Alif. 2014. Retorika Visual Buku Foto Requiem Karya Mamuk
Ismuntoro dalam Mengangkat Isu Bencana Lumpur Lapindo. Malang:
Universitas Brawijaya.
Naisila Zulmi, Isye. 2014. Makna Bencana dalam Foto Jurnalistik (Analisis
Semiotika Terhadap Karya Kemal Jufri pada Pameran Aftermath:
Indonesia in Midst of Catastrophe Tahun 2012). Jakarta: Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah.

132
Pertiwi, Adhika. 2012. Pemahaman Jurnalis Mengenai Konsep Jurnalisme
Bencana (Wawancara Lima Jurnalis Media Cetak, Media Televisi dan
Media Online). Jakarta: Universitas Indonesia.
Priambodo, Yudho. 2015. Denotasi dan Konotasi dalam Fotojurnalistik Bencana
Alam Tanah Longsor di Banjarnegara pada Harian Kompas Edisi 13-18
Desember 2014. Yogyakarta: Institut Seni Indonesia.
Rifanda, Priya Gilang. 2018. Semiotika Foto Jurnalistik Pemaknaan Interaksi
Sosial Bencana Alam (Analisis Semiotika Roland Barthes dalam
Kumpulan Foto Jurnalistik Karya Ulet Ifansasti dalam Media Getty
Images). Yogyakarta: Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”.
Yajri, Faiz. 2012. Politik Metafora dalam Strategi Branding Komoditas
Agribisnis (Analisis Semiotika Strukturalisme Terhadap Konstruksi Teks
Majalah Trubus Mengenai Komoditas Jabon). Jakarta: Universitas
Indonesia.

133
LAMPIRAN

Lampiran foto serta berita dari media massa Le Monde.

7 Oktober 2018.

134
7 Oktober 2018.

135
8 Oktober 2018.

136
9 Oktober 2018.

137

Anda mungkin juga menyukai