BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Memahami perkembangan aspek afektif peserta didik merupakan salah
satu faktor untuk mencapai hasil yang baik dalam proses pendidikan, tidak hanya
dalam hasil akademik tapi juga dalam hal pembentukan moral.
Afektif mencakup emosi atau perasaan yang dimiliki oleh setiap peserta
didik, yang juga perlu mendapatkan perhatian dalam pembelajaran. Pemahaman
guru tentang perkembangan afektif siswa sangat penting untuk keberhasilan
belajarnya. Setiap peserta didik memiliki emosi yang berbeda, sehingga
rangsangan yang diberikan juga harus berbeda.
Reaksi emosional dapat berkembang menjadi kebiasaan, sehingga
mempengaruhi perkembangan nilai, moral dan sikap individu ataupun peserta
didik. Penjelasan di atas menjelaskan tentang bagaimana keterkaitan emosional
pada tingkah laku yang akan dilakukan. Untuk lebih jelas mengenai
perkembangan emosional, makalah ini akan membahas bagaimana perkembangan
emosional dan keterkaitan antara nilai, sikap dan moral yang mencangkup pada
makalah yang berjudul Perkembangan Afektif.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka permasalahan
2.
b. Apa pengertian dan keterkaitan antara nilai, moral, dan sikap, serta pengaruhnya
terhadap tingkah laku?
c. Bagaimana karakteristik nilai, moral, dan sikap remaja?
d. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan nilai, moral, dan sikap?
e. Bagaimana perbedaan individu dalam perkembangan nilai, moral dan sikap?
f. Bagaimana upaya-upaya pengembangan nilai, moral, dan sikap remaja dalam
penyelanggaraan pendidikan?
C.
Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
b. Menjelaskan saling keterkaitan antara nilai, moral, dan sikap, serta pengaruhnya
terhadap tingkah lakunya.
c. Menjelaskan karakteristik nilai, moral, dan sikap remaja.
d. Menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan nilai, moral, dan
sikap.
e. Menjelaskan perbedaan individu dalam perkembangan nilai, moral dan sikap.
f. Memberi contoh upaya-upaya pengembangan nilai, moral, dan sikap remaja dalam
penyelanggaraan pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Emosi
Kehidupan seseorang pada umunya penuh dengan dorongan dan minat
untuk mencapai atau memiliki sesuatu. Seberapa banyak dorongan-dorongan dan
minat-minat yang dimilikinya merupakan dasar pengalaman emosionalnya.
Perjalanan kehidupan seseorang tidak selalu sama. Keinginan dan minat yang
berbeda-beda dimiliki oleh setiap individu menurut pola hidupnya masingmasing. Selain itu jalan atau cara yang dilakukan untuk memuwujudkan minat dan
keinginan yang didorong oleh emosional itu berbeda satu sama lain.
Seseorang yang pola kehidupannya berlangsung mulus, di mana dorongandorongan dan keinginan-keinginan atau minatnya dapat terpenuhi atau dapat
berhasil dicapai, karena cenderung memiliki perkembangan emosi yang stabil dan
dengan demikian dapat menikmati hidupnya. Hal itu juga didukung dengan nilai,
sikap dan moral yang ke arah positif.
Sedangkan bagi pola kehidupan yang tidak berlangsung dengan mulus atau
terdapat hambatan yang membuatnya tidak terlalu menikmati hidupnya, karena
emosionalnya tidak stabil. Sehingga nilai, moral dan sikapnya terkadang
cenderung ke arah negatif.
Hubungan anatar emosiona dengan nilai, moral dan sikap adalah dorongan
emosional dapat mempengaruhi pemikiran-pemikiran dan tingkah lakunya.
Karena itu, seseorang individu dalam merespon sesuatu lebih banyak dia arahkan
oleh penalaran dan pertimbangan-pertimbangan yang objektif.
1. Pengertian Emosi
Perasaan senang atau tidak senang yang selalu menyertai perbuatanperbuatan kita sehari-hari disebut warna afektif. Warna afektif ini kadang-kadang
kuat, kadang-kadang lemah tau kadang-kadang tidak jelas (samar-samar). Dalam
hal warna afektif tersebut kuat, maka perasaan-perasaan menjadi lebih mnedalam,
lebih luas dan lebih terarah. Perasaan-perasaan tersebut disebut emosi (Sarlito,
1982:59). Di samping perasaan seneng atau tidak seneng, beberapa contoh macam
emosi yang lain adalah gembira, cinta, marah, takut, cemas dan benci.
Emosi dan perasaan adalah dua hal yang berbeda. Emosi dan perasaan
merupakan suatu gejala emosional yang secar kualitatif berkelanjutan, akan tetapi
tidak jelas batasnya. Pada suatu saat warna afektif dapat dikatakan sebagai
perasaan, tetapi juga dapat dikatakan sebagai emosi; contohnya marah yang
ditunjukan dalam bentuk diam. Jadi sukar sekali kita mendefinisikan emosi.
Menurut Crow & Crow (1958) pengertian emosi adalah sebagai berikut :
An emotion, is an affective experience that accompanies generalized
inner adjustment and mental and physiological stirredup states in the individual,
and that shows it self in his overt behavior.
Jadi, emosi adalah pengalaman afektif yang disertai penyesuaian dari
dalam diri individu tentang keadaan mental dan fisik dan berwujud suatu tingkah
laku yang tampak.
Emosi juga ditandai oleh perubahan-perubahan fisik. Pada saat terjadi
emosi sering kali terjadi perubahan-perubahan pada fisik antara lain berupa ;
a). Reaksi elektris pada kulit: meningkat bila terpesona.
b). Peredaran darah: bertambah cepat bila marah.
c). Denyut jantung: bertambah cepat bila terkejut.
d). Pernapasan : bernapas panjang kalau kecewa.
e). Pupil mata : membesar bila marah.
f). Liur : mengering kalau takut atau tegang.
g). Bulu roma : berdiri kalau takut.
h). Pencernaan : mencret-mencret kalau tegang.
i). Otot : ketegangan dan ketakutan menyebabkan otot menegang atau bergetar
(tremor).
j). Komposisi darah : komposisi darah akan ikut berubah karena emosional yang
menyebabkan kelenjar-kelenjar lebih aktif.
Dengan cara mengamati hal-hal yang membangkitkan emosi orang lain, anakanak bereaksi dengan emosi dan metode ekspresi yang sama dengan orang-orang
yang diamati.
3)
Anak menirukan reaksi emosional orang lain yang tergugah oleh rangsangan yang
sama dengan rangsangan yang telah membangkitkan emosi orang yang ditiru.
Disini anak hanya menirukan orang yang dikagumi dan mempunyai ikatan
emosional yang kuat dengannya.
4)
Dengan metode ini objek situasi yang pada mulanya gagal memancing reaksi
emosional, kemudian dapat berhasil dengan cara asosiasi. Pengkondisian terjadi
dengan mudah dan cepat pada tahun-tahun awal kehidupan karena anak kecil
kurang mampu menalar, kurang pengalaman untuk menilai situasi secara kritis,
dan kurang mengenal betapa tidak rasionalnya reaksi mereka. Setelah melewati
masa kanak-kanak, penggunaan metode pengkondisian semakin terbatas pada
perkembangan rasa suka dan tidak suka.
5)
aspek reaksi.
Kepada anak diajarkan cara bereaksi yang dapat diterima jika sesuatu emosi
terangsang. Dengan pelatihan, anak-anak dirangsang untuk bereaksi terhadap
rangsangan yang biasanya membangkitkan emosi yang menyenangkan dan
dicegah agar tidak bereaksi secara emosional terhadap rangsangan yang
membangkitkan emosi yang tidak menyenangkan.
Anak memperhalus ekspresi-ekspresi kemarahannya atau emosi lain ketika
ia beranjak dari masa kanak-kanak ke masa remaja. Mendekati berakhirnya usia
remaja, seorang anak telah melewati banyak badai emosional yang lebih tenang
yang mewarnai pasang surut kehidupannya, ia juga telah belajar dalam seni
kelas, pada kesempatan lain ia mungkin takut untuk berpartisipasi dalam kegiatan
menghapal. Akibatnya ia mungkin memutuskan untuk membolos, atau mungkin ia
melakukan kegiatan yang lebih jelek lagi yaitu melarikan diri dari semuanya itu,
dari orangtuanya, guru-gurunya, atau dari otoritas-otoritas lain. Penderitaan
emosional dan frustasi mempengaruhi efektivitas belajar. Faktor-faktor afektif
dalam pengalaman individu mempengaruhi jumlah dan luasnya apa yang
dipelajari. Seorang anak di sekolah akan belajar lebih efektif bila ia termotivasi,
karena ia merasa perlu belajar. Sekali hal ini ada pada dirinya, selanjutnya ia akan
mengembangkan usahanya untuk menguasai bahan yang dipelajari. Jika telah ada
rasa senang karena berhasil mencapai prestasi, hal ini akan mengurangi rasa akan
kelelahan.
Motivasi untuk belajar akan membantu individu dalam memusatkan
perhatian pada apa yang ia sedang kerjakan dan dengan cara itu berarti ia akan
memperoleh kepuasan. Karena reaksi setiap pelajar tidak sama, rangsangan untuk
belajar yang diberikan harus berbeda-beda dan disesuaikan dengan kondisi anak.
Dengan demikian, rangsangan-rangsangan yang menghasilkan perasaan yang
tidak menyenangkan, akan sangat mempengaruhi hasil belajar dan demikian pula
rangsangan yang menghasilkan perasaan yang menyenangkan akan
mempermudah siswa belajar.
5. Perbedaan Individual dalam Perkembangan Emosi
Meskipun pola perkembangan emosi dapat diramalkan, tetapi terdapat
perbedaan dalam segi frekuensi, intensitas, serta jangka waktu dari berbagai
macam emosi, dan juga saat pemunculannya. Perbedaan ini sudah mulai terlihat
sebelum masa bayi berakhir dan semakin bertambah frekuensinya serta lebih
mencolok sehubungan dengan bertambahnya usia anak-anak.
Dengan meningkatnya usia anak, semua emosi diekspresikan secara lebih
lunak karena mereka telah mempelajari reaksi orang lain terhadap luapan emosi
yang berlebihan, sekalipun emosi itu berupa kegembiraan atau emosi yang
menyenangkan lainnya. Selain itu karena anak-anak mengekang sebagian ekspresi
emosi mereka, emosi tersebut cenderung bertahan lebih lama daripada jika emosi
itu diekspresikan secara lebih terbuka. Oleh sebab itu, ekspresi emosional mereka
menjadi berbeda-beda.
Perbedaan itu sebagian disebabkan oleh keadaan fisik anak pada saat itu
dan taraf kemampuan intelektualnya, dan sebagian lagi disebabkan oleh kondisi
lingkungan. Anak yang sehat cenderung kurang emosional dibandingkan dengan
anak yang kurang sehat. Ditinjau kedudukannya sebagai anggota suatu kelompok,
anak-anak yang pandai bereaksi lebih emosional terhadap berbagai macam
rangsangan dibandingkan dengan anak-anak yang kurang pandai. Tetapi
sebaliknya mereka juga cenderung lebih mampu mengendalikan ekspresi emosi.
Cara mendidik yang otoriter mendorong perkembangan emosi kecemasan
dan takut, sedangkan cara mendidik yang permisif atau demokratis mendorong
berkembangnya semangat dan rasa kasih sayang. Anak-anak dari keluarga yang
berstatus sosial ekonomi rendah cenderung lebih mengembangkan rasa takut dan
cemas dibandingkan dengan mereka yang berasal dari keluarga berstatus sosial
ekonomi tinggi.
6. Upaya Pengembangan Emosi Remaja dan Implikasinya dalam
Penyelenggaraan Pendidikan
Dalam kaitannya dengan emosi remaja awal yang cenderung banyak
melamun dan sulit diterka, maka satu-satunya hal yang dapat dilakukan oleh guru
adalah konsisten dalam pengelolaan kelas dan memperlakukan siswa seperti orang
dewasa yang penuh tanggung jawab. Guru-guru dapat membantu mereka yang
bertingkah laku kasar dengan jalan mencapai keberhasilan dalam pekerjaan/tugastugas sekolah sehingga mereka menjadi anak yang lebih tenang dan lebih mudah
ditangani. Salah satu cara yang mendasar adalah dengan mendorong mereka untuk
bersaing dengan diri sendiri.
Apabila ada ledakan-ledakan kemarahan sebaiknya kita memperkecil
ledakan emosi tersebut, misalnya dengan jalan tindakan yang bijaksana dan lemah
lembut, mengubah pokok pembicaraan, dan memulai aktivitas baru. Jika
kemarahan siswa tidak juga reda, guru dapat minta bantuan kepada petugas
bimbingan penyuluhan. Dalam diskusi kelas, tekankan pentingnya memperhatikan
1. pengertian dan saling keterkaitan antara nilai, moral, dan sikap serta
pengaruhnya terhadap tingkah laku.
Nilai-nilai kehidupan adalah norma-norma yang berlaku dalam
masyarakat, misalnya adat kebiasaan dan sopan santun (Sutikna, 1988:5). Sopan
santun,adat, dan kebiasaan serta niali-niai yang terkandung dalam pancasila
Keyakinan moral lebih terpusat pada apa yang benar dan kurang pada apa yang
salah.keadilan muncul sebagai kekuatan moral yang dominant.
3)
Penilaian moral menjadi semakin kognitif. Hal ini mendorong remaja lebih berani
mengambil keputusan terhadap berbagai masalah moral yang dihadapinya.
4)
5)
Penilaian moral secara psikologis menjadi lebih mahal dalam arti bahwa penilaian
moral merupakan badan emosi dan menimbulkan ketegangan emosi.
Menurut Furter (1965) (dalam Monks, 1984:252), kehidupan moral
merupakan problematic yang pokok dalam masa remaja. Maka perlu kiranya
untuk meninjau perkembangan moralitas ini mulai dari waktu anak dilahirkan,
untuk dapat memahami mengapa justru pada masa remaja hal tersebut menduduki
tempat yang sangat penting.
Dari hasil penyelidikan-penyelidikannya Kohlberg mengemukakan enam
tahap (stadium) perkembangan moral yang berlaku secara universal dan dalam
urutan tertentu. Ada tiga tingkat perkembangan moral menurut Kohlberg, yaitu
tingkat :
Tingkat I ; prokonvensional, yang terdiri dari stadium 1 dan 2
diidentifikasi adalah orang-orang dewasa yang simpatik,teman-teman, orangorang terkenal,dan hal-hal yang ideal yang diciptakan sendiri.
Menurut psikoanalisis moral dan nilai menyatu dalam konsep superego.
Superego dibentuk melalui jalan internalisasi larangan-larangan atau perintahperintah yang datang dari luar (khusunya dari orang tua) sedemikian rupa
sehingga akhirnya terpencar dalam diri sendiri. Karena itu, orang-orang yang tak
mempunyai hubungan yang harmonis dengan orang tuanya di masa kecil,
kemungkina besar tidak mampu mengembangkan superego yang cukup kuat,
sehingga mereka bisa menjadi orang yang sering melanggar norma masyarakat.
Teori-teori lain yang non-psikoanalisis beranggapan bahwa hubungan anak
orang tua bukan satu-satunya sarana pembentuk moral. Para sisiolog
beranggapan bahwa masyarakat sendiri mempunyai peran penting dalam
pembentukan moral. Tingkah laku yang terkendali disebabkan oleh adanya
kontrol dari masyarakat itu sendiri yang mempunyai sanksi-sanksi tersendiri buat
pelanggar-pelanggarnya (Salito,1992:92).
Di dalam usaha membentuk tingakah laku sebagai pencerminan nilai-nilai
hidup tertentu ternyata bahwa faktor lingkungan memegang peranan penting.
Diantara segala unsur lingkungan sosial yang berpengaruh, yang tampaknya
sangat penting adalah unsur lingkungan berbentuk manusia yang langsung dikenal
atau dihadapi oleh seseorang sebagai perwujudan dari nilai-nilai tertentu. Dalam
hal ini lingkungan sosial terdekat yang terutama terdiri dari mereka yang
berfungsi sebagai pendidik dan pembina. Makin jelas sikap dan sifat lingkungan
terhadap nilai hidup tertentu dan moral makin kuat pula pengaruhnya untuk
membentuk (atau meniadakan) tingkah laku yang sesuai.
Teori perkembangan moral yang dikemukakan oleh kohlberg
menunjukkan bahwa sikap moral bukan hasil sosialisasi atau pelajaran yang
diperoleh dari kebiasaan dan hal-hal ini yang berhubungan dengan nilai
kebudayaan. Tahap-tahap perkembangan moral terjadi dari aktivitas spontan pada
anak-anak (Singgih G.1990:202). Anak memang berkembang melalui interaksi
sosial, tetapi interaksi ini mempunyai corak yang khusus dimana faktor pribadi,
faktor si anak dalam membentuk aktivitas-aktivitas ikut berperan. Dalam
Perwujudan nilai, moral, dan sikap tidak terjadi dengan sendirinya. Proses
yang dilalui seseorang dalam pengembangan nilai-nilai hidup tertentu adalah
sebuah proses yang belum seluruhnya dipahami oleh para ahli (Surakhmad, 1980:
17).
Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam mengembangkan nilai,
moral, sikap remaja adalah:
1. Menciptakan Komunikasi
Mengikutsertakan, remaja dalam beberapa pembicaraan dan dalam
pengambilan keputusan keluarga, sedangkan dalam kelompok sebaya, remaja
turut serta secara aktif dalam tanggung jawab dan penentuan maupun keputusan
kelompok. Dan remaja juga berpartisipasi untuk mengembangkan aspek moral
misalnya dalam kerja kelompok, sehingga dia belajar tidak melakukan sesuatu
yang akan merugikan orang lain karena hal ini idak sesuai dengan nilai atau
norma-norma moral.
2.
B. Saran
Sebagai orang tua hendaklah memahami kondisi anak dan perkembangan
emosional anak ketika memasukin masa remaja. Agar dapat memahami kondisi
tersebut hendaklah orang mengadakan pendekatan terhadap anak tentang apa yang
ia rasakan. Dan anak pun hendaklah menjadi lebih terbuka serta berusaha
mengendalikan emosional pada dirinya.
DAFTAR PUSTAKA
Hartono, Agung dan Sunarto. 2008. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta :
Rineka Cipta.