Anda di halaman 1dari 21

PERKEMBANGAN AFEKTIF (PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK)

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
Memahami perkembangan aspek afektif peserta didik merupakan salah
satu faktor untuk mencapai hasil yang baik dalam proses pendidikan, tidak hanya
dalam hasil akademik tapi juga dalam hal pembentukan moral.
Afektif mencakup emosi atau perasaan yang dimiliki oleh setiap peserta
didik, yang juga perlu mendapatkan perhatian dalam pembelajaran. Pemahaman
guru tentang perkembangan afektif siswa sangat penting untuk keberhasilan
belajarnya. Setiap peserta didik memiliki emosi yang berbeda, sehingga
rangsangan yang diberikan juga harus berbeda.
Reaksi emosional dapat berkembang menjadi kebiasaan, sehingga
mempengaruhi perkembangan nilai, moral dan sikap individu ataupun peserta
didik. Penjelasan di atas menjelaskan tentang bagaimana keterkaitan emosional
pada tingkah laku yang akan dilakukan. Untuk lebih jelas mengenai
perkembangan emosional, makalah ini akan membahas bagaimana perkembangan
emosional dan keterkaitan antara nilai, sikap dan moral yang mencangkup pada
makalah yang berjudul Perkembangan Afektif.
B.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka permasalahan

Perkembangan Afektif adalah:


1.

a. Apa pengertian emosi?


b. Bagaimana karakteristik perkembangan emosi?
c. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi perkembangan emosi?
d. Bagaimana hubungan antara emosi dan tingkah laku?
e. Bagaimana perbedaan individu dalam perkembangan emosi?

f.Bagaimana upaya pengembangan emosi remaja dan implikasinya dalam


penyelenggaraan pendidikan?

2.

a. Menjelaskan pengertian nilai, moral, dan sikap

b. Apa pengertian dan keterkaitan antara nilai, moral, dan sikap, serta pengaruhnya
terhadap tingkah laku?
c. Bagaimana karakteristik nilai, moral, dan sikap remaja?
d. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan nilai, moral, dan sikap?
e. Bagaimana perbedaan individu dalam perkembangan nilai, moral dan sikap?
f. Bagaimana upaya-upaya pengembangan nilai, moral, dan sikap remaja dalam
penyelanggaraan pendidikan?
C.

Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1.

a. Menjelaskan pengertian emosi

b. Menjelaskan karakteristik perkembangan emosi


c. Menjelasakan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi
d. Menjelaskan hubungan antara emosi dan tingkah laku.
e. Menjelaskan perbedaan individu dalam perkembangan emosi.
f. Memberi contoh upaya pengembangan emosi remaja dan implikasinya dalam
penyelenggaraan pendidikan.
2.

a. Menjelaskan pengertian nilai, moral, dan sikap

b. Menjelaskan saling keterkaitan antara nilai, moral, dan sikap, serta pengaruhnya
terhadap tingkah lakunya.
c. Menjelaskan karakteristik nilai, moral, dan sikap remaja.
d. Menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan nilai, moral, dan
sikap.
e. Menjelaskan perbedaan individu dalam perkembangan nilai, moral dan sikap.
f. Memberi contoh upaya-upaya pengembangan nilai, moral, dan sikap remaja dalam
penyelanggaraan pendidikan.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Emosi
Kehidupan seseorang pada umunya penuh dengan dorongan dan minat
untuk mencapai atau memiliki sesuatu. Seberapa banyak dorongan-dorongan dan
minat-minat yang dimilikinya merupakan dasar pengalaman emosionalnya.
Perjalanan kehidupan seseorang tidak selalu sama. Keinginan dan minat yang
berbeda-beda dimiliki oleh setiap individu menurut pola hidupnya masingmasing. Selain itu jalan atau cara yang dilakukan untuk memuwujudkan minat dan
keinginan yang didorong oleh emosional itu berbeda satu sama lain.
Seseorang yang pola kehidupannya berlangsung mulus, di mana dorongandorongan dan keinginan-keinginan atau minatnya dapat terpenuhi atau dapat
berhasil dicapai, karena cenderung memiliki perkembangan emosi yang stabil dan
dengan demikian dapat menikmati hidupnya. Hal itu juga didukung dengan nilai,
sikap dan moral yang ke arah positif.
Sedangkan bagi pola kehidupan yang tidak berlangsung dengan mulus atau
terdapat hambatan yang membuatnya tidak terlalu menikmati hidupnya, karena
emosionalnya tidak stabil. Sehingga nilai, moral dan sikapnya terkadang
cenderung ke arah negatif.
Hubungan anatar emosiona dengan nilai, moral dan sikap adalah dorongan
emosional dapat mempengaruhi pemikiran-pemikiran dan tingkah lakunya.
Karena itu, seseorang individu dalam merespon sesuatu lebih banyak dia arahkan
oleh penalaran dan pertimbangan-pertimbangan yang objektif.
1. Pengertian Emosi
Perasaan senang atau tidak senang yang selalu menyertai perbuatanperbuatan kita sehari-hari disebut warna afektif. Warna afektif ini kadang-kadang
kuat, kadang-kadang lemah tau kadang-kadang tidak jelas (samar-samar). Dalam
hal warna afektif tersebut kuat, maka perasaan-perasaan menjadi lebih mnedalam,
lebih luas dan lebih terarah. Perasaan-perasaan tersebut disebut emosi (Sarlito,

1982:59). Di samping perasaan seneng atau tidak seneng, beberapa contoh macam
emosi yang lain adalah gembira, cinta, marah, takut, cemas dan benci.
Emosi dan perasaan adalah dua hal yang berbeda. Emosi dan perasaan
merupakan suatu gejala emosional yang secar kualitatif berkelanjutan, akan tetapi
tidak jelas batasnya. Pada suatu saat warna afektif dapat dikatakan sebagai
perasaan, tetapi juga dapat dikatakan sebagai emosi; contohnya marah yang
ditunjukan dalam bentuk diam. Jadi sukar sekali kita mendefinisikan emosi.
Menurut Crow & Crow (1958) pengertian emosi adalah sebagai berikut :
An emotion, is an affective experience that accompanies generalized
inner adjustment and mental and physiological stirredup states in the individual,
and that shows it self in his overt behavior.
Jadi, emosi adalah pengalaman afektif yang disertai penyesuaian dari
dalam diri individu tentang keadaan mental dan fisik dan berwujud suatu tingkah
laku yang tampak.
Emosi juga ditandai oleh perubahan-perubahan fisik. Pada saat terjadi
emosi sering kali terjadi perubahan-perubahan pada fisik antara lain berupa ;
a). Reaksi elektris pada kulit: meningkat bila terpesona.
b). Peredaran darah: bertambah cepat bila marah.
c). Denyut jantung: bertambah cepat bila terkejut.
d). Pernapasan : bernapas panjang kalau kecewa.
e). Pupil mata : membesar bila marah.
f). Liur : mengering kalau takut atau tegang.
g). Bulu roma : berdiri kalau takut.
h). Pencernaan : mencret-mencret kalau tegang.
i). Otot : ketegangan dan ketakutan menyebabkan otot menegang atau bergetar
(tremor).
j). Komposisi darah : komposisi darah akan ikut berubah karena emosional yang
menyebabkan kelenjar-kelenjar lebih aktif.

2. Karakteristik Perkembangan Emosional.

Secara tradisional masa remaja dianggap sebagai periode badai dan


tekanan, suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari
perubahan fisik dan kelenjar.
Pola emosi remaja adalah sama dengan pola emosi masa kanak-kanak.
Jenis emosi yang secara normal dialami adalah : cinta/kasih sayang, gembira,
amarah, takut, dan cemas, cemburu, sedih, dan lain-lain. Perbedaannya terletak
pada macam dan derajat rangsangan yang mengakibatkan emosinya, dan
khususnya pola pengendalian yang dilakukan individu terhadapat ungkapan emosi
mereka.
Remaja sendiri menyadari bahwa aspek-aspek emosional dalam kehidupan
adalah penting (Jersild, 1957:133). Untuk selanjutnya berikut ini dibahas beberapa
kondisi emosional sebagai berikut:
a.Cinta/Kasih Sayang
Faktor penting dalam kehidupan remaja adalah kapasitasnya untuk
mencintai orang lain dan kebutuhannya untuk mendapatkan cinta dari orang lain.
Kemampuan untuk menerima cinta sama pentingnya dengan kemampuan untuk
memberinya.
Kebutuhan untuk memberi dan menerima cinta menjadi sangat penting,
walaupun kebutuhan-kebutuhan akan perasaan itu disembunyikan secara rapi.
Para remaja yang berontak secara terang-terangan, nakal dan mempunyai sikap
permusuhan besar kemungkinannya disebabkan oleh kurangnya rasa cinta dan
dicintai yang tidak disadari.
b. Gembira
Pada umumnya individu dapat mengingat kembali pengalamanpengalaman yang menyenangkan yang dialami selama remaja. Perasaan gembira
dari remaja belum banyak diteliti. Perasaan gembira sedikit mendapat perhatian
dari petugas peneliti daripada perasaan marah dan takut atau tingkah laku
problema lain yang memantul-mantulkan kesedihan. Rasa gembira akan dialami
apabila segala sesuatunya berlangsung dengan baik dan para remaja akan
mengalami kegembiraan jika ia diterima sebagai seorang sahabat atau bila ia jatuh
cinta dan cintanya itu mendapat sambuta (diterima) oleh yang dicintai.

c. Kemarahan dan Permusuhan


Sejak masa kanak-kanak, rasa marah telah dikaitkan dengan usaha remaja
untuk mencapai dan memiliki kebebasan sebagai seorang pribadi yang mandiri.
Rasa marah merupakan gejala yang penting di antara emosi-emosi yang
memainkan peranan yang menonjol dalam perkembangan kepribadian. Pertama,
diantara emosi-emosi ini adalah cinta, dimana kita ketahui bahwa dicintai dan
mencintai adalah gejala emosi bagi perkembangan pribadi yang sehat. Rasa marah
juga penting dalam kehidupan, karena melalui rasa marahnya seseorang
mempertajam tuntutannya sendiri dan pemilikan minat-minatnya sendiri.
Mendekati saat mencapai remaja, dia telah melalui banyak fase dalam
perkembangan emosional, antara lain dalam kaitanya dengan perbuatan marah dan
cara menyatakan kemarahan itu. Kondisi-kondisi dasar yang menyebabkan
timbulnya rasa marah kurang lebih sama, tetapi ada beberapa perubahan
sehubungan dengan pertambahan umurnya dan kondisi-kondisi tertentu yang
menimbulkan rasa marah atau meningkatnya penguasaan kendali emosional.
Banyaknya hambatan yang menyebabkan anak kehilangan kendali terhadap rasa
marah, sedikit berpengaruh pada kehidupan emosional remaja. Tetapi rasa marah
tersebut terus akan berlanjut pemunculannya apabila minat-minatnya, rencanarencananya dan tindakan-tindakannya dirintangi.
Dalam upaya memahami remaja, ada 4 faktor yang sangat penting
sehubungan dengan rasa marah.
1). Adanya kenyataan bahwa perasaan marah berhubungan dengan usaha manusia
untuk memiliki dirinya dan menjadi dirinya sendiri. Meskipun marah sering kali
tampak tolol dan tidak terkendali, namun rasa marah akan terus berlanjut
sepanjang ada kehidupan, dan sangat berfungsi sebagai usaha individu untuk
menjadi seorang pribadi sesuai dengan haknya. Selama masa remaja, fungsi
marah terutama untuk melindungi haknya untuk menjadi bebas/independen, dan
menjamin hubungan antara dirinya dan pihak lain yang berkuasa.
2). Pertimbangan penting lainnya ialah ketika individu mencapai masa remaja, dia
tidak akan merupakan subjek kemarahan yang berkembang dan kemudian menjadi
surut, tetapi juga mempuyai sikap-sikap dimana ada sisa kemarahan dalam bentuk

permusuhan yang meliputi sisa kemarahan masa lalu. Sikap-sikap permusuhan


berbentuk dendam, kesedihan, prasangka atau kecenderungan untuk merasa
tersiksa. Sikap-sikap permusuhan dapat juga tampak dalam suatu kecendrungan
untuk menjadi curiga dan keengganan atau menganggap bahwa orang lain tidak
bersahabat dan mempunyai motif yang jelek. Sikap-sikap permusuhan mungkin
tampak dalam cara-cara yang bersifat pura-pura. Remaja bukannya menampakkan
kemarahan langsung tetapi remaja lebih menunjukkan keinginan yang sangat
besar. Contoh dalam kampanye politik, seorang remaja mungkin menyanyikan
lagu kebanggaan dari seorang calon, padahal sebenarnya ia bersifat bermusuhan
terhadap calon tersebut tetapi sifatnya itu ditekan.
3). Seringkali perasaan marah sengaja disembunyikan dan seringkali tampak dalam
bentuk yang samar-samar. Bahkan seni dari cinta mungkin dipakai sebagai alat
kemarahan. Contohnya : Jika seorang anak laki-laki yang mempunyai latar
belakang kecemburuan dan sikap-sikap permusuhan yang tidak terselesaikan
terhadap saudara perempuannya dan terhadap gadis-gadis pada umumnya,
akhirnya dia mempunyai kebiasaan untuk menarik gadis-gadis hanya untuk
menunjukan perolehannya terhadap gadis-gadis yang jatuh hati padanya.
4). Kemarahan mungkin berbalik pada dirinya sendiri. Dalam beberapa hal, aspek ini
merupakan aspek yang sangat penting dan juga paling sulit dipahami.
d. Ketakutan Dan Kecemasan
Menjelang anak mencapai masa remaja, dia telah mengalami serangkaian
perkembangan panjang yang mempengaruhi pasang surut berkenaan dengan rasa
ketakutannya. Banyak ketakutan-ketakutan baru muncul karena adanya
kecemasan-kecemasan dan rasa berani yang bersamaan dengan perkembangan
remaja itu sendiri.
Satu-satunya cara untuk menghindarkan diri dari rasa takut adalah
menyerah terhadap rasa takut, seperti terjadi bila seorang begitu takut sehingga ia
tidak berani mencapai apa yang ada sekarang atau masa depan yang tidak
menentu.
Biehler (1972) membagi ciri-ciri emosional ramaja menjadi dua rentang
usia yaitu 12-15 tahun dan usia 15-18 tahun.

Ciri-ciri emosional remaja berusia 12-15 tahun:


1). Pada usia seorang siswa/anak cenderung banyak murung dan tidak dapat diterka.
Sebagian kemurungan sebagai akibat dari perubahan-perubahan biologis dalam
hubungannya dengan kematangan seksual dan sebagian karena kebingungannya
dalam menghadapi apakah ia masih sebagai anak-anak atau sebagai seorang
dewasa.
2). Siswa mungkin bertingkah laku kasar untuk menutupi kekurangan dalam hal rasa
percaya diri.
3). Ledakan-ledakan kemarahan mungkin biasa terjadi. Hal ini seringkali terjadi
sebagai akibat dari kombinasi ketegangan psikologis, ketidakstabilan biologis dan
kelelahan karena bekerja terlalu keras atau pola makan yang tidak tepat atau tidur
yang tidak cukup.
4). Seorang remaja cenderung tidak toleran terhadap orang lain dan membenarkan
pendapatnya sendiri yang disebabkan kurangnya rasa percaya diri. Mereka
mempunyai pendapat bahwa ada jawaban-jawaban absolut dan bahwa mereka
mengetahuinya.
5). Siswa-siwa di SMP mulai mengamati orang tua dan guru-guru mereka secara lebih
objektif dan mungkin menjadi marah apabila mereka ditipu dengan gaya guru
yang bersikap serba tahu (maha tahu).
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Emosi
Sejumlah penelitian tentang emosi anak menunjukkan bahwa
perkembangan emosi mereka bergantung pada faktor kematangan dan faktor
belajar (Hurlock, 1960;266). Reaksi emosional yang tidak muncul pada awal
kehidupan tidak berarti tidak ada, reaksi tersebut mungkin akan muncul
dikemudian hari, dengan berfungsinya sistem endokrin. Kematangan dan belajar
terjalin erat satu sama lain dalam mempengaruhi perkembangan emosi.
Metoda belajar yang menunjang perkembangan emosi antara lain adalah :
1)

Belajar dengan coba-coba

Anak belajar secara coba-coba untuk mengekspresikan emosi dalam bentuk


perilaku yang memberikan pemuasan terbesar kepadanya, dan menolak perilaku
yang memberikan pemuasan sedikit atau sama sekali tidak memberikan kepuasan.
2)

Belajar dengan cara meniru

Dengan cara mengamati hal-hal yang membangkitkan emosi orang lain, anakanak bereaksi dengan emosi dan metode ekspresi yang sama dengan orang-orang
yang diamati.
3)

Belajar dengan cara mempersamakan diri (learning by identification)

Anak menirukan reaksi emosional orang lain yang tergugah oleh rangsangan yang
sama dengan rangsangan yang telah membangkitkan emosi orang yang ditiru.
Disini anak hanya menirukan orang yang dikagumi dan mempunyai ikatan
emosional yang kuat dengannya.
4)

Belajar melalui pengkondisian

Dengan metode ini objek situasi yang pada mulanya gagal memancing reaksi
emosional, kemudian dapat berhasil dengan cara asosiasi. Pengkondisian terjadi
dengan mudah dan cepat pada tahun-tahun awal kehidupan karena anak kecil
kurang mampu menalar, kurang pengalaman untuk menilai situasi secara kritis,
dan kurang mengenal betapa tidak rasionalnya reaksi mereka. Setelah melewati
masa kanak-kanak, penggunaan metode pengkondisian semakin terbatas pada
perkembangan rasa suka dan tidak suka.
5)

Pelatihan atau belajar di bawah bimbingan dan pengawasan, terbatas pada

aspek reaksi.
Kepada anak diajarkan cara bereaksi yang dapat diterima jika sesuatu emosi
terangsang. Dengan pelatihan, anak-anak dirangsang untuk bereaksi terhadap
rangsangan yang biasanya membangkitkan emosi yang menyenangkan dan
dicegah agar tidak bereaksi secara emosional terhadap rangsangan yang
membangkitkan emosi yang tidak menyenangkan.
Anak memperhalus ekspresi-ekspresi kemarahannya atau emosi lain ketika
ia beranjak dari masa kanak-kanak ke masa remaja. Mendekati berakhirnya usia
remaja, seorang anak telah melewati banyak badai emosional yang lebih tenang
yang mewarnai pasang surut kehidupannya, ia juga telah belajar dalam seni

menyembunyikan perasaan-perasaannya. Jadi, emosi yang ditunjukkan mungkin


merupakan selubung bagi yang disembunyikan. Kondisi-kondisi kehidupan atau
kulturlah yang menyebabkan ia merasa perlu menyembunyikan perasaanperasaannya. Kenyataan bahwa para remaja kadang-kadang tidak mengetahui
perasaan mereka atau tidak mampu menghayati perasaan mereka.
Orang tua dan guru-guru hendaknya menyadari bahwa perubahan ekspresi
yang tampak ini tidak berarti bahwa emosi tidak lagi berperan dalam kehidupan
anak muda. Ia tatap membutuhkan perangsang-parangsang yang memadai untuk
pengembangan-pengembangan pengalaman emosional. Karena anak tumbuh
dalam kekuatan fisik dan pemahaman, responnya berbeda terhadap apa yang
sebelumnya dianggap sebagai ancaman atau rintangan cita-citanya. Ia pada
akhirnya perlu mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan tingkah lakunya
dengan apa yang sedang terjadi padanya.
4. Hubungan Antara Emosi dan Tingkah Laku serta Pengaruh Emosi
Terhadap Tingkah Laku
Gangguan emosi dapat menjadi penyebab kesulitan berbicara. Hambatanhambatan dalam berbicara tertentu telah ditemukan bahwa tidak disebabkan oleh
kelainan dalam organ berbicara. Ketegangan emosional yang cukup lama
mungkin menyebabkan seseorang gagap. Seorang gagap seringkali relative dapat
normal dalam berbicara, apabila mereka dalam keadaan relaks atau senang. Bila
dia dihadapkan kepada situasi-situasi yang menyebabkan ia kebingungan, dapat
terjadi ia akan menunjukkan ketidak normalan dalam bicara. Sikap sikap takut,
malu malu atau agresif dapat merupakan akibat dari ketegangan emosi atau
frustasi dan dapat muncul dengan hadirnya individu tertentu atau situasi-situasi
tertentu. Justru karena reaksi kita berbeda-beda terhadap setiap oarnag yang kita
jumpai, mak jika kita merespon dengan cara yang sangat khusus terhadap
hadirnya individu-individu tertentu akan merangsang timbulnya emosi tertentu.
Seorang siswa tidak senang kepada gurunya bukan karena pribadi guru,
namun bisa disebabkan seauatu yang terjadi pada anak sehubungan dengan situasi
kelas. Jika ia merasa malu karena gagal dalam menghapal bahn pelajaran di muka

kelas, pada kesempatan lain ia mungkin takut untuk berpartisipasi dalam kegiatan
menghapal. Akibatnya ia mungkin memutuskan untuk membolos, atau mungkin ia
melakukan kegiatan yang lebih jelek lagi yaitu melarikan diri dari semuanya itu,
dari orangtuanya, guru-gurunya, atau dari otoritas-otoritas lain. Penderitaan
emosional dan frustasi mempengaruhi efektivitas belajar. Faktor-faktor afektif
dalam pengalaman individu mempengaruhi jumlah dan luasnya apa yang
dipelajari. Seorang anak di sekolah akan belajar lebih efektif bila ia termotivasi,
karena ia merasa perlu belajar. Sekali hal ini ada pada dirinya, selanjutnya ia akan
mengembangkan usahanya untuk menguasai bahan yang dipelajari. Jika telah ada
rasa senang karena berhasil mencapai prestasi, hal ini akan mengurangi rasa akan
kelelahan.
Motivasi untuk belajar akan membantu individu dalam memusatkan
perhatian pada apa yang ia sedang kerjakan dan dengan cara itu berarti ia akan
memperoleh kepuasan. Karena reaksi setiap pelajar tidak sama, rangsangan untuk
belajar yang diberikan harus berbeda-beda dan disesuaikan dengan kondisi anak.
Dengan demikian, rangsangan-rangsangan yang menghasilkan perasaan yang
tidak menyenangkan, akan sangat mempengaruhi hasil belajar dan demikian pula
rangsangan yang menghasilkan perasaan yang menyenangkan akan
mempermudah siswa belajar.
5. Perbedaan Individual dalam Perkembangan Emosi
Meskipun pola perkembangan emosi dapat diramalkan, tetapi terdapat
perbedaan dalam segi frekuensi, intensitas, serta jangka waktu dari berbagai
macam emosi, dan juga saat pemunculannya. Perbedaan ini sudah mulai terlihat
sebelum masa bayi berakhir dan semakin bertambah frekuensinya serta lebih
mencolok sehubungan dengan bertambahnya usia anak-anak.
Dengan meningkatnya usia anak, semua emosi diekspresikan secara lebih
lunak karena mereka telah mempelajari reaksi orang lain terhadap luapan emosi
yang berlebihan, sekalipun emosi itu berupa kegembiraan atau emosi yang
menyenangkan lainnya. Selain itu karena anak-anak mengekang sebagian ekspresi
emosi mereka, emosi tersebut cenderung bertahan lebih lama daripada jika emosi

itu diekspresikan secara lebih terbuka. Oleh sebab itu, ekspresi emosional mereka
menjadi berbeda-beda.
Perbedaan itu sebagian disebabkan oleh keadaan fisik anak pada saat itu
dan taraf kemampuan intelektualnya, dan sebagian lagi disebabkan oleh kondisi
lingkungan. Anak yang sehat cenderung kurang emosional dibandingkan dengan
anak yang kurang sehat. Ditinjau kedudukannya sebagai anggota suatu kelompok,
anak-anak yang pandai bereaksi lebih emosional terhadap berbagai macam
rangsangan dibandingkan dengan anak-anak yang kurang pandai. Tetapi
sebaliknya mereka juga cenderung lebih mampu mengendalikan ekspresi emosi.
Cara mendidik yang otoriter mendorong perkembangan emosi kecemasan
dan takut, sedangkan cara mendidik yang permisif atau demokratis mendorong
berkembangnya semangat dan rasa kasih sayang. Anak-anak dari keluarga yang
berstatus sosial ekonomi rendah cenderung lebih mengembangkan rasa takut dan
cemas dibandingkan dengan mereka yang berasal dari keluarga berstatus sosial
ekonomi tinggi.
6. Upaya Pengembangan Emosi Remaja dan Implikasinya dalam
Penyelenggaraan Pendidikan
Dalam kaitannya dengan emosi remaja awal yang cenderung banyak
melamun dan sulit diterka, maka satu-satunya hal yang dapat dilakukan oleh guru
adalah konsisten dalam pengelolaan kelas dan memperlakukan siswa seperti orang
dewasa yang penuh tanggung jawab. Guru-guru dapat membantu mereka yang
bertingkah laku kasar dengan jalan mencapai keberhasilan dalam pekerjaan/tugastugas sekolah sehingga mereka menjadi anak yang lebih tenang dan lebih mudah
ditangani. Salah satu cara yang mendasar adalah dengan mendorong mereka untuk
bersaing dengan diri sendiri.
Apabila ada ledakan-ledakan kemarahan sebaiknya kita memperkecil
ledakan emosi tersebut, misalnya dengan jalan tindakan yang bijaksana dan lemah
lembut, mengubah pokok pembicaraan, dan memulai aktivitas baru. Jika
kemarahan siswa tidak juga reda, guru dapat minta bantuan kepada petugas
bimbingan penyuluhan. Dalam diskusi kelas, tekankan pentingnya memperhatikan

pandangan orang lain dalam mengembangkan/meningkatkan pandangan sendiri.


Kita hendaknya waspada terhadap siswa yang sangat ambisius, berpendirian
keras, dan kaku yang suka mengintimidasi kelasnya sehingga tidak ada seseorang
yang berani tidak sependapat dengannya atau menentangnya.
Remaja ada dalam keadaan yang membingungkan dan serba sulit. Dalam
banyak hal ia tergantung pada orangtua dalam keperluan-keperluan fisik dan
merasa mempunyai kewajiban kepada pengasuhan yang mereka berikan dari saat
dia tidak mampu memelihara dirinya sendiri. Namun ia harus lepas dari
orangtuanya agar ia menjadi orang dewasa yang mandiri, sehingga adanya konflik
dengan orangtua tidak dapat dihindari. Apabila terjadi friksi semacam ini, para
remaja mungkin merasa bersalah, yang selanjutnya dapt memperbesar jurang
antara dia dengan orangtuanya.
Seorang siswa yang merasa bingung terhadap rantau peristiwa tersebut
mungkin merasa perlu menceritakan penderitaannya, termasuk mungkin rahasiarahasia pribadinya kepada orang lain. Karena itu seorang guru diminta untuk
berfungsi dan bersikap seperti pendengar yang simpatik.
Siswa sekolah menengah atas banyak mengisi pikirannya dengan hal-hal
yang lain daripada tugas-tugas sekolah. Misalnya seks, konflik dengan orangtua,
dan apa yang akan dilakukan dalam hidupnya setelah ia tamat sekolah. Salah satu
persoalan yang paling membingungkan yang dihadapi oleh guru ialah bagaimana
menghadapi siswa yang hanya mempunyai kecakapan terbatas tetapi yang selalu
memimpikan kejayaan. Seorang guru tidak ingin membuat mereka putus asa,
tetapi jika ia mendorong siswa tersebut.
B.

Perkembangan Nilai, Moral, dan Sikap

1. pengertian dan saling keterkaitan antara nilai, moral, dan sikap serta
pengaruhnya terhadap tingkah laku.
Nilai-nilai kehidupan adalah norma-norma yang berlaku dalam
masyarakat, misalnya adat kebiasaan dan sopan santun (Sutikna, 1988:5). Sopan
santun,adat, dan kebiasaan serta niali-niai yang terkandung dalam pancasila

adalah nilai-nilai hidup yang manjadi pegangan seseorang dalam kedudukannya


sebagai warga Negara dengan sesama warga Negara.
Nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila yang termasuk dalam sila
kemanusiaan yang adil dan beradab, antara lain :
1) mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan persamaan kewajiban antara
sesama manusia,
2) mengembangkan sikap tenggang rasa, dan
3) tidak semena-mena terhadap rang lain, berani membala kebenaran dan
keadilan, dan sebagainya.
Moral adalah ajaran tentang baik buruk perbuatan dan kelakuan, akhlak,
kewajiban, dan sebagainya (Purwadarminto, 1957: 957). Dalam moral diatur
segala perbuatan yang dinilai tidak baik dan perlu dihindari. Moral berkaitan
dengan kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang benar dan yang
salah. Dengan demikian, moral merupakan kendali dalam bertingkah laku.
Dalam kaitannya dengan pengalaman nilai-nilai hidup, maka moral
merupakan kontrol dalam bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai
hidup yang dimaksud. Misalnya dalam pengalaman nilai hidup : tenggang rasa,
dalam perilakunya eseorang akan selalu memperhatikan perasaan orang lain, tidak
semau gue. Dia dapat membedakan tindakan yang benar dan yang salah.
Nilai-nilai kehidupan sebagai norma dalam masyarakat senantiasa
menyangkut persoalan antara baik dan buruk, jadi berkaitan dengan moral. Dalam
hal ini aliran psikoanalisis tidak membeda-bedakan antara moral,norma, dan nilai
(Sarlito, 1991:91). Semua konsep itu menurut freud menyatu dalam konsepnya
tentang superego yang merupkan bagian dari jiwa yang berfungsi untuk
mengendalikan tingkah laku ego sehingga tidak bertentangan dengan masyarakat.
Sedangkan, menurut Gerung, sikap secara umum diartikan sebagai
kesediaan bereaksi individu terhadap sesuatu hal (Mappiare, 1982:58).sikap
berkaitan dengan motif dan mendasari tingkah laku seseorang dapat diramalkan
tingkah laku apa yang dapat terjadi dan akan diperbuat jika telah diketahui
sikapnya. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi
berupa kecenderungan (predisposisi) itngkah laku. Jadi sikap merupakan kesiapan

untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan


terhadap objek tersebut.
Dengan demikian, keterkaitan antara nilai, moral, sikap, dan tingkah laku
akan tampak dalam pengalaman nilai-nilai. Dengan kata lain nilai-nilai perlu
dikenal terlebih dulu, kemudian dihayati dan didorong oleh moral, baru akan
terbentuk sikap tertentu terhadap nilai-nilai tersebut dan pada akhirnya terwujud
tingkah laku sesuai dengan nilai-nilai yang dimaksud.
2. Karakteristik Nilai, Moral, dan Sikap Remaja
Michel meringkaskan lima perubahan dasar dalam moral yang harus
dilakukan oleh remaja (Hurlock alih bahasa Istiwidayanti dan kawan-kawan,
1980: 225) sebagai berikut :
1)
2)

pandangan moral individu makin lama makin menjadi lebih abstrak.

Keyakinan moral lebih terpusat pada apa yang benar dan kurang pada apa yang
salah.keadilan muncul sebagai kekuatan moral yang dominant.

3)

Penilaian moral menjadi semakin kognitif. Hal ini mendorong remaja lebih berani
mengambil keputusan terhadap berbagai masalah moral yang dihadapinya.
4)

5)

Penilaian moral menjadi kurang egosentris.

Penilaian moral secara psikologis menjadi lebih mahal dalam arti bahwa penilaian
moral merupakan badan emosi dan menimbulkan ketegangan emosi.
Menurut Furter (1965) (dalam Monks, 1984:252), kehidupan moral
merupakan problematic yang pokok dalam masa remaja. Maka perlu kiranya
untuk meninjau perkembangan moralitas ini mulai dari waktu anak dilahirkan,
untuk dapat memahami mengapa justru pada masa remaja hal tersebut menduduki
tempat yang sangat penting.
Dari hasil penyelidikan-penyelidikannya Kohlberg mengemukakan enam
tahap (stadium) perkembangan moral yang berlaku secara universal dan dalam
urutan tertentu. Ada tiga tingkat perkembangan moral menurut Kohlberg, yaitu
tingkat :
Tingkat I ; prokonvensional, yang terdiri dari stadium 1 dan 2

Pada stadium 1,anak berorientasi kepada kepatuhan dan hukuman. Anak


menganggap baik atau buruk atas dasar akibat yang ditimbulkanya. Anak hanya
mengetahui bahwa aturan-aturan ditentukan oleh adanya kekuasaan yang tidak
bisa di ganggu gugat. Ia harus menurut atau kalau tidak, akan memperoleh
hukuman.
Pada stadium 2, berlaku prinsip Relativistik-Hedonism. Pada tahapan ini,
anak tidak lagi secara mutlak tergantung kepada aturan yang ada di luar dirinya,
atau ditentukan oleh orang lain, tetapi mereka sadar bahwa setiap kejadian
mempunyai beberapa segi. Jadi, ada relativisme. Relativisme ini artinya
bergantung pada kebutuhan dan kesanggupan seseorang (hedonistik). Misalnya
mencuri ayam karena kelaparan. Karena perbuatan mencuri untuk memenuhi
kebutuhannya (lapar), maka mencuri dianggap sebagai perbuatan yang bermoral,
meskipun perbuatan mencuri itu sendiri diketahui sebagai perbuatan yang salah
karena ada akibatnya, yaitu hukuman.
Tingkat II : konvensional
Stadium 3, menyangkut orientasi mengenai anak yang baik. Pada stadium
ini, anak mulai memasuki umur belasan tahun, dimana anak memperlihatkan
orientasi perbuatan-perbuatan yang dapat dinilai baik atau tidak baik oleh orang
lain. Masyarakat adalah sumber yang sangat menentukan, apakah perbuatan
seorang baik atau tidak. Menjadi anak yang manis masih sangat penting dalam
stadium ini.
Stadium 4, yaitu tahap mempertahankan norma-norma sosial dan otoritas.
Pada stadium ini perbuatan baik ang diperlihatkan seseorang bukan hanya agar
dapat diterima oleh lingkungan masyarakatnya, melainkan bertujuan agar dapat
ikut mempertahankan atura-aturan atau norma-norma sosial. Jadi perbuatan baik
merupakan kewajiban untuk ikut melaksanakan aturan-aturan yang ada, agar tidak
timbul kekacauan.
Tingkat III : pasca-konvensional
Stadium 5, merupakan tahap orientasi terhadap perjanjian antara dirinya
dengan lingkungan sosial. Pada stadium ini ada hubungan timbal balik antara
dirinya dengan lingkungan sosial, dengan masyarakat. Seseorang harus

memperlihatkan kewajibannya, harus sesuai dengan tuntutan norma-norma sosial


karena sebaliknya, lingkungan sosial atau masyarakat akan membeikan
perlindungan kepadanya.
Originalitas remaja juga tampak dalam hal ini. Pertama, remaja masih mau
diatur secara ketat oleh hukum-hukum umum yang lebih tinggi. Meskipun disini
kata hati sudah mulai berbicara, namun penilaian-penilaiannya masih belum
timbul dari kata hati yang sudah betul-betul diinternalisasi, yang seringkali
tampak dalam sikap yang kaku.
Stadium 6. tahap ini disebut prinsip univesal. Pada tahap ini ada norma
etik disamping norma pribadi dan subjektif. Dalam hubungan dan perjanjian
antara seseorang dengan masyarakaatnya ada unsur-unsur subjektif yang menilai
apakah suatu perbuatan itu baik atau tidak baik. Subjektivisme ini berarti ada
perbedaan penilaian antara seseorang dengan orang lain. Dalam hal ini, unsur
etika akan menentukan apa yang boleh dan baik dilakukan atau sebaliknya.
Remaja mengadakan penginternalisasian moral yaitu remaja melakukan tingkah
laku-tingkah laku moral yang dikemudikan oleh tanggung jawab batin sendiri.
Tingkat perkembangan moral pasca konvensional harus dicapai selama masa
remaja.
Menurut Furter (1965), menjadi remaja berarti mengerti nilai-nilai
(Monks, 1984: 257). Mengerti nilai-nilai ini tidak berarti hanya memperoleh
pengertian saja melainkan juga dapat menjalankannya/mengamalkannya. Hal ini
selanjutnya berarti bahwa remaja sudah dapat menginternalisasikan penilaianpenilaian moral, menjadikannya sebagai nilai-nilai pribadi. Untuk selanjutnya
penginternalisasian nilai-nilai ini akan tercermin dalam sikap dan tingkah lakunya.
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai, Moral, Dan
Sikap
Berdasarkan seumlah hasil penelitian, perkembangan internalisasi nilainilai terjadi melalui identifikasi dengan orang-orang yang dianggapnya sebagai
model.bagi anak-anak usia 12 dan 16 tahun, gambaran-gambaran ideal yang

diidentifikasi adalah orang-orang dewasa yang simpatik,teman-teman, orangorang terkenal,dan hal-hal yang ideal yang diciptakan sendiri.
Menurut psikoanalisis moral dan nilai menyatu dalam konsep superego.
Superego dibentuk melalui jalan internalisasi larangan-larangan atau perintahperintah yang datang dari luar (khusunya dari orang tua) sedemikian rupa
sehingga akhirnya terpencar dalam diri sendiri. Karena itu, orang-orang yang tak
mempunyai hubungan yang harmonis dengan orang tuanya di masa kecil,
kemungkina besar tidak mampu mengembangkan superego yang cukup kuat,
sehingga mereka bisa menjadi orang yang sering melanggar norma masyarakat.
Teori-teori lain yang non-psikoanalisis beranggapan bahwa hubungan anak
orang tua bukan satu-satunya sarana pembentuk moral. Para sisiolog
beranggapan bahwa masyarakat sendiri mempunyai peran penting dalam
pembentukan moral. Tingkah laku yang terkendali disebabkan oleh adanya
kontrol dari masyarakat itu sendiri yang mempunyai sanksi-sanksi tersendiri buat
pelanggar-pelanggarnya (Salito,1992:92).
Di dalam usaha membentuk tingakah laku sebagai pencerminan nilai-nilai
hidup tertentu ternyata bahwa faktor lingkungan memegang peranan penting.
Diantara segala unsur lingkungan sosial yang berpengaruh, yang tampaknya
sangat penting adalah unsur lingkungan berbentuk manusia yang langsung dikenal
atau dihadapi oleh seseorang sebagai perwujudan dari nilai-nilai tertentu. Dalam
hal ini lingkungan sosial terdekat yang terutama terdiri dari mereka yang
berfungsi sebagai pendidik dan pembina. Makin jelas sikap dan sifat lingkungan
terhadap nilai hidup tertentu dan moral makin kuat pula pengaruhnya untuk
membentuk (atau meniadakan) tingkah laku yang sesuai.
Teori perkembangan moral yang dikemukakan oleh kohlberg
menunjukkan bahwa sikap moral bukan hasil sosialisasi atau pelajaran yang
diperoleh dari kebiasaan dan hal-hal ini yang berhubungan dengan nilai
kebudayaan. Tahap-tahap perkembangan moral terjadi dari aktivitas spontan pada
anak-anak (Singgih G.1990:202). Anak memang berkembang melalui interaksi
sosial, tetapi interaksi ini mempunyai corak yang khusus dimana faktor pribadi,
faktor si anak dalam membentuk aktivitas-aktivitas ikut berperan. Dalam

perkembangan moral, kohlberg menyatakan adanya tahap-tahap yang berlangsung


sama pada setiap kebudayaan. Penahapan yang dikemukakan bukan mengenai
sikap moral yang khusus, melainkan berlaku pada proses penalaran yang
didasarinya. Moral sifatnya penalaran menurut kohlberg, perkembangannya
dipengaruhi oleh perkembangan nalar sebagaimana dikemukakan oleh piaget.
Makin tinggi tingkat penalaran seseorang menurut tahap-tahap perkembangan
piaget, makin tinggi pula tingkat moral seseorang.
4. Perbedaaan Individual Dalam Perkembangan Nilai, Moral, dan Sikap
Menurut Kohlberg, faktor kebuadayaan mempengaruhi perkembangan
moral, terdapat berbagai rangsangan yag diterima oleh anak-anak dan ini
mempengaruhi tempo perkembangan moral. Bukan saja mengenai cepat atau
lambatnya tahap-tahap perkembangan yang dicapai. Perbedaaan perseorangan
juga dapat dilihat pada latar belakang kebudayaan tertentu.
Pemahaman konsep dan nilai tenggang rasa, bila dibandingkan dengan
sikap serta tingkah lakunya dalam kaitannya dengan tenggang rasa,
memungkinkan kita menempatkan individu dalam satu kontinum.
a. Di ujung paling kiri, kita kelompok individu yang hampir-hampir atau sama sekali
tidak tahu tentang konsep dan nilai tenggang rasa dan karenanya juga tidak
bertindak secara benar ditinjau dari konsep tenggang rasa.
b. Di ujung paling kanan terdapat individu yang baik pengetahuan maupun tingkah
lakunya, mencerminkan penghayatan nilai tenggang rasa yang sangat
meyakinkan.
Jadi perbedaaan-perbedaan individual dalam pemaham nilai-nilai, dan
moral sebaga pendukung sikap dan perilakunya. Dan mungkin terjadi individu
atau remaja yang tidak mencapai perkembangan nilai, moral, dan sikap serta
tingkah lakunya yang diharapkan padaanya.
5. Upaya Mengembangkan Nilai, Moral, dan Sikap Remaja serta
Implikasinya Dalam Penyelenggaraan Pendidikan

Perwujudan nilai, moral, dan sikap tidak terjadi dengan sendirinya. Proses
yang dilalui seseorang dalam pengembangan nilai-nilai hidup tertentu adalah
sebuah proses yang belum seluruhnya dipahami oleh para ahli (Surakhmad, 1980:
17).
Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam mengembangkan nilai,
moral, sikap remaja adalah:
1. Menciptakan Komunikasi
Mengikutsertakan, remaja dalam beberapa pembicaraan dan dalam
pengambilan keputusan keluarga, sedangkan dalam kelompok sebaya, remaja
turut serta secara aktif dalam tanggung jawab dan penentuan maupun keputusan
kelompok. Dan remaja juga berpartisipasi untuk mengembangkan aspek moral
misalnya dalam kerja kelompok, sehingga dia belajar tidak melakukan sesuatu
yang akan merugikan orang lain karena hal ini idak sesuai dengan nilai atau
norma-norma moral.
2.

Menciptakan Iklim Lingkungan Yang Serasi


Usaha pengembangan tingkah laku nilai hidup hendaknya tidak hanya

mengutamakan pendekatan-pendekatan intelektual semata-mata tetapi juga


mengutamakan adanya lingkungan yang kondusif di mana faktor-faktor
lingkungan itu sndiri merupakan penjelmaan yang konkret dari nilai-nilai hidup
tersebut. Selain itu lingkungan bersifat mengajak mengajak, mengundang atau
memberi kesempatan akan lebih aktif daripada lingkungan yang ditandai dengan
larangan dan peraturan yang membatasi.
3. Memberikan Motivasi
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Emosi adalah pengalaman afektif yang disertai penyesuaian dari dalam diri
individu tentang keadaan mental dan fisik dan berwujud suatu tingkah laku yang
tampak. Emosi juga adalah warna afektif yang kuat dan ditandai oleh perubahan-

perubahan fisik. Adapun beberapa kondisi emosional seperti cinta/kasih sayang,


gembira, kemarahan dan permusuhan, ketakutan dan kecemasan. Sedangkan
pembagian ciri-ciri emosional dibagi menjadi dua menurut Biehler (1972) yaitu
remaja berusia 12-15 tahun dan remaja usia 15-18 tahun. Dan faktor-faktor
perkembangan emosional dipengaruhi oleh:
1. Belajar dengan coba-coba
2. Belajar dengan cara meniru
3. Belajar dengan cara mempersamakan diri (learning by
identification)
4. Belajar melalui pengkondisian
5. Pelatihan atau belajar di bawah bimbingan dan pengawasan,
terbatas pada aspek reaksi.
Nilai-nilai kehidupan adalah norma-norma yang berlaku dalam masyarakat
atau prinsip-prinsip hidup yang menjadi pegangan seseorang dalam hidupnya,
baik sebagai warga negara. Sedangkan moral adalah ajaran tentang baik, buruk
perbuatan dan kelakuan, akhlak dan sebagainya. Sikap adalah kesian bereaksi
individu terhadap sesuatu hal. Keterkaitan antaar lain, moral dan sikap tampak
dalam pengalaman nilai-nilai.

B. Saran
Sebagai orang tua hendaklah memahami kondisi anak dan perkembangan
emosional anak ketika memasukin masa remaja. Agar dapat memahami kondisi
tersebut hendaklah orang mengadakan pendekatan terhadap anak tentang apa yang
ia rasakan. Dan anak pun hendaklah menjadi lebih terbuka serta berusaha
mengendalikan emosional pada dirinya.
DAFTAR PUSTAKA
Hartono, Agung dan Sunarto. 2008. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta :
Rineka Cipta.

Anda mungkin juga menyukai